ESTABLISHMENT (PE)
C. Pemajakan BUT
Berdasarkan pasal 2 ayat (1a) bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan
perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. Namun kenyataannya ada beberapa
perbedaan antara keduanya, yaitu dalam penentuan objek pajak, perlakuan biaya dan tarif pajak.
1. Objek Pajak BUT
Objek pajak BUT berdasarkan pasal 5 ayat (1) UU PPh dikategorikan dalam 3 jenis
berikut.
a. Attribution Income, yaitu penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap
tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai; dengan demikian semua
penghasilan tersebut dikenakan pajak di Indonesia.
b. Force of Attraction Income, yaitu penghasilan kantor pusat dari usaha atau
kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan
yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia.
Berdasarkan ketentuan pasal 5 ayat (1) huruf b penghasilan kantor pusat yang
berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan barang dan pemberian jasa, yang sejenis
dengan yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap dianggap sebagai penghasilan bentuk
usaha tetap, karena pada hakikatnya usaha atau kegiatan tersebut termasuk dalam
ruang lingkup usaha atau kegiatan dan dapat dilakukan oleh bentuk usaha tetap.
Usaha atau kegiatan yang sejenis dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha
tetap, misalnya terjadi apabila sebuah bank di luar Indonesia yang mempunyai bentuk
usaha tetap di Indonesia, memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui bentuk
usaha tetapnya kepada perusahaan di Indonesia.
Penjualan barang yang sejenis dengan yang dijual oleh bentuk usaha tetap,
misalnya kantor pusat di luar negeri yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia
menjual produk yang sama dengan produk yang dijual oleh bentuk usaha tetap
tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada pembeli di
Indonesia.
Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa yang diberikan oleh
bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat perusahaan konsultan di luar Indonesia
memberikan konsultasi yang sama dengan jenis jasa yang dilakukan bentuk usaha
tetap tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada klien di
Indonesia.
c. Effectively Connected Income, yaitu penghasilan sebagaimana tersebut dalam
Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan
efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan
penghasilan dimaksud.
Sesuai dengan pasal 5 ayat (3) huruf b yang tidak termasuk objek pajak bagi BUT
adalah pembayaran yang diterima atau diperoleh dari kantor pusat, berupa berikut
ini:
- Royalti atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta, paten, atau hak-
hak lainnya.
- Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya.
- Bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.
2. Pengurang Penghasilan/Biaya BUT
Berdasarkan pasal 6 ayat (1) seperti halnya wajib pajak badan dalam negeri, bentuk
usaha tetap dapat mengurangkan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, termasuk hal berikut.
a. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha,
antara lain:
1) Biaya pembelian bahan.
2) Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium,
bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang.
3) Bunga, sewa, dan royalti.
4) Biaya perjalanan.
5) Biaya pengolahan limbah.
6) Premi asuransi.
7) Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
8) Biaya administrasi.
9) Pajak, kecuali Pajak Penghasilan.
b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal
11A Undang-Undang PPh.
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan.
e. Kerugian selisih kurs mata uang asing.
f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
g. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan.
h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat berikut.
1) Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial.
2) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak.
3) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis
mengenai penghapusan piutang/ pembebasan utang antara kreditur dan debitur
yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau
khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan
untuk jumlah utang tertentu.
4) Syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan
piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf k yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
i. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
k. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
l. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Seperti halnya badan dalam negeri, apabila BUT mengalami kerugian, berdasarkan Pasal
6 ayat (2) UU PPh kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun
pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 tahun. Namun, ada yang membuat BUT
berbeda dengan subjek pajak badan dalam negeri, yaitu bahwa selain diperbolehkan untuk
mengurangkan biaya-biaya di atas, berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU PPh, BUT juga
diperbolehkan untuk mengurangkan biaya-biaya yang berkenaan dengan hal berikut.
a. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian
jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT
di Indonesia.
b. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 UU PPh yang diterima atau
diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta
atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
c. Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya
yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap. Biaya administrasi
kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto yang
diterima atau diperoleh suatu BUT di Indonesia adalah biaya administrasi yang
dikeluarkan oleh kantor pusat yang berkaitan dalam rangka untuk menunjang usaha
atau kegiatan BUT yang bersangkutan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan. Besarnya biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk
dikurangkan dari penghasilan bruto di Indonesia sebagaimana dimaksud di atas
setinggi-tingginya adalah sebanding dengan besarnya peredaran usaha atau kegiatan
BUT di Indonesia terhadap seluruh peredaran usaha aau kegiatan perusahaan di
seluruh dunia. Atau, batas terseut dapat diformulasikan berdasarkan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-62/PJ/1995 sebagai berikut.
D. Hak Pemajakan atas Deviden yang memiliki Hubungan Efektif dengan BUT
Apabila penerima deviden memiliki hubungan efektif dengan BUT yang berada di negara
sumber, penghasilam deviden tersebut akan diperlakukan sebagai laba usaha BUT dengan
memperhitungkan biaya-biaya yang dapat dikurangkan untuk menghitung penghasilan kena
pajak. Pada pasal 7 OECD Model mengatakan Apabila dalam suatu kasus orang/badan yang
menerima deviden memiliki tempat usaha tetap/BUT yang berada di negara di mana
pembayaran deviden berkedudukan, dan deviden tersebut adalah hasil dari saham yang
merupakan bagian dari kekayaan dari BUT atau kepemilikan saham tersebut mempunyai
hubungan efektif dengan BUT, maka deviden tersebut dianggap sebagai laba usaha BUT
dan karenanya penghasilan tersebut akan digabungkan dengan penghasilan BUT dan
dikenakan pajak berdasarkan laba usaha perusahaan (Timbul, 2019:145-146).
Melalui SE-02 Dirjen Pajak menegaskan bahwa sebagaimana diatur dalam KEP
667/PJ./2001 WPLN yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia dimaksud adalah
WPLN yang berasal dari negara yang belum mempunyai tax treaty dengan Indonesia (Non
Treaty Partner) dan WPLN yang berasal dari treaty partner Indonesia, maka besarnya pajak yang
terutang disesuaikan dengan tarif Branch Profit Tax sebagaimana diatur dalam tax treaty.
Rumus (Representative Office/Liaison) berdasarkan KMK 834/KMK 04/1994 jo. Kep.
667/PJ/2001 sebagai berikut:
Norma Penghasilan Netto 1%
Tarif PPh (Maximal) 30%
Jumlah PPh = 30% x 1% 0,3%
Laba setelah PPh = 1% - 0,3% 0,7%
Tarif PPh Pasal 26 (4) 20%
PPh Pasal 26 = 20% x 0,7% 0,14%
Tarif Efektif = 0,3% + 0,14% 0,44%
Keterangan: Besifat Final, Dihitung dari Nilai Ekspor Bruto (Irwan, 2019:125)
- Sales Rp 45.000.000.000
- COGS Rp 25.000.000.000
- Gross Profit Rp 20.000.000.000
- Expenses Rp 10.000.000.000
- EBT Rp 10.000.000.000
Pertanyaan:
Berapakah PPh yang harus dibayar BUT Lancelot? Berdasarkan PMK 14/KMK
03/2011 apa yang akan terjadi sehubungan dengan perpajakan BUT tersebut?
Jelaskan!
3. Maxis Inc. yang berkedudukan di Amerika menutup perjanjian lisensi dengan PT Serayu
untuk mempergunakan merek dagang Maxis Inc. atas hak tersebut, Maxis Inc menerima
royalty dari PT Serayu. Sehubungan dengan perjanjian tersebut, Maxis Inc memberikan jasa
manajemen kepada PT Serayu melalui BUT di Indonesia, dan dalam rangka pemasaran
produk PT Serayu yang menggunakan merek Maxis Inc tersebut.
Pertanyaan:
Pada kasus diatas dalam penggunaan merek dagang oleh PT Serayu yang memiliki
hubungan efektif dengan BUT di indoneisa, bagaimana perlakuan atas royalty tersebut?
Jelaskan!
4. Crunchy merupakan suatu BUT di Indonesia dengan penghasilan kena pajak (PKP) Rp
15.000.000.000. Crunchy yang berasal dari madagaskar ini merupakan non treaty partner
dengan Indonesia.
Pertanyaan:
Bagaimana perhitungan pajak penghasilan crunchy?
5. Berikan penjelasan mengenai Bentuk Usaha Tetap (BUT) dan sebutkan BUT yang ada di
Indonesia apa saja lengkap dengan jenis usahanya serta jelaskan apa saja yang terjadi jika
laba BUT akan ditanamkan kembali ke Indonesia berdasarkan PMK 14 tahun 2011!
6. Artur KPD merupakan Perwakilan dagang dengan kantor pusat di negara kepulauan
Solomon yang tidak mempunyai tarif P3B atau tax treaty. Pendapatan kantor perwakilan
dagang di Indonesia mendapatkan penghasilan atas penjualan dari wilayah Indonesia
sebesar Rp 15.500.000.000. Berapakah PPh yang dipungut atas kantor perwakilan dagang
di Indonesia atas penghasilannya tersebut?
7. Morris KPD merupakan Perwakilan dagang dengan kantor pusat di Inggris, negara P3B
dengan tarif branch profit tax 10%. Pendapatan kantor perwakilan dagang di Indonesia
mendapatkan penghasilan atas penjualan dari wilayah Indonesia sebesar Rp
30.000.000.000. Berapakah PPh yang dipungut atas kantor perwakilan dagang Inggris di
Indonesia atas penghasilannya?
8. Alfa KPD merupakan perwakilan dagang dengan kantor pusat di Prancis, negara mitra P3B
memiliki tarif branch profit tax 15%. Pendapatan kantor perwakilan dagang di Indonesia
mendapatkan penghasilan atas penjualan dari wilayah Indonesia sebesar Rp
20.000.000.000. Berapakah PPh yang dipungut atas Alfa KPD di Indonesia atas
penghasilannya?
9. Apakah perbedaan antara Bentuk Usaha Tetap dengan Tempat Usaha Tetap?
10. Bagaimana pemajakan atas BUT?
BAB 9 PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (TAX TREATY)
Setiap negara di dunia mempunyai kedaulatan penuh dalam mengenakan pajak menurut
undang-undang domestik di negaranya. Dalam suatu transaksi internasional, di mana masing-
masing negara mempertahankan aturan domestik negaranya maka tidak dapat dihindari adanya
kemungkinan pengenaan pajak berganda.
Sebagai ilustrasi digambarkan sebagai berikut: Tn Salim seorang penduduk Indonesia
sebagai subjek pajak dalam negeri Indonesia menjadi pemegang saham di Singapore Trading
Pte Ltd sebuah perusahaan yang berkedudukan di Singapura. Pada suatu waktu Singapore
Trading Pte Ltd membagikan dividen kepada para pemegang sahamnya. Berdasarkan ketentuan
domestik UU Pajak Singapura atas penghasilan dividen yang diterima Tn Salim akan dikenakan
pajak di Singapura. Sedangkan berdasarkan ketentuan domestik UU Pajak Indonesia, sebagai
subjek pajak dalam negeri maka penghasilan Tn Salim baik yang diterima/diperoleh di Indonesia
maupun diperoleh di luar negeri akan dikenakan pajak di Indonesia. Akibatnya penghasilan
berupa dividen yang diterima/diperoleh Tn Salim akan dikenakan pajak dua kali yaitu oleh
Singapura maupun oleh Indonesia atas satu jenis penghasilan.
Setiap negara pada dasarnya tidak menghendaki pengenaan pajak berganda. Selain
menimbulkan ketidakadilan pajak berganda, juga akan menghambat transaksi internasional.
Aturan domestik masing-masing negara umumnya telah mengatur mekanisme untuk mengurangi
pajak berganda ini. Di dalam UU Pajak domestik Indonesia, yaitu di pasal 24 UU PPh sudah
diatur mengenai perlakuan kredit pajak atas pajak yang dibayar di luar negeri. Namun ketentuan
tersebut belum cukup efektif untuk benar-benar menghindarkan dampak pajak berganda. Selain
karena pengkreditan pajak di luar negeri dibatasi maksimal sebanding dengan penghasilan di
luar negeri dibanding dengan penghasilan kena pajak terhadap PPh terutang juga masalah sudut
pandang dalam melihat sumber penghasilan.
Berikut ini adalah ilustrasi yang dapat menggambarkan ketidakefektifan tersebut. Tn
Kurniawan seorang wajib pajak dalam negeri, adalah pegawai dari PT Maju Jaya. Pada suatu
waktu sehubungan dengan pekerjaannya dia harus melaksanakan tugasnya di Amerika selama
100 hari. Untuk itu, dia mendapatkan penghasilan sebesar USD 10,000 dari PT MAJU JAYA
Ketentuan pajak domestik Amerika mengatur bahwa sumber penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan adalah pada negara tempat pekerjaan tersebut dilakukan. Sementara itu Indonesia,
menganggap bahwa sumber penghasilan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
adalah pada negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat
kedudukan atau berada.
Jadi pada kasus ini, Indonesia dan Amerika sama-sama menganggap berhak untuk
memajaki penghasilan Tn Kurniawan karena dua-duanya menganggap negaranya adalah negara
sumber penghasilan. Indonesia akan memajaki dengan tarif progresif, sementara Amerika akan
memajaki sesuai dengan tarif pajak yang berlaku di Amerika. Perlakukan untuk mengkreditkan
pajak yang dibayar di Amerika berdasarkan pasal 24 UU PPh tidak dapat digunakan karena
penghasilan Tn Kurniawan tersebut dianggap bersumber dari Indonesia, bukan dari luar negeri.
Dengan kata lain, pajak yang dikenakan di Amerika tidak dapat dikreditkan di Indonesia. Dengan
demikian, atas penghasilan Tn Kurniawan tersebut terjadi pengenaan pajak berganda
Untuk supaya dapat lebih efektif mengurangi pajak berganda yang belum terakomodasi
dalam UU PPh, maka perlu dilakukan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) dengan
negara lain untuk membagi hak pemajakan. Selain sebagai sarana menghindarkan pengenaan
pajak berganda, P3B juga dapat digunakan sebagai alat negara yang melakukan persetujuan
untuk saling tukar informasi, konsultasi bersama atau mengadakan mutual agreement, sehingga
dapat mengurangi adanya praktik penghindaran pajak.
Persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) atau dikenal dengan istilah tax treaty
adalah perjanjian pajak antara dua negara secara bilateral yang mengatur mengenai pembagian
hak pemajakan yang diterima atau diperoleh penduduk dari salah satu atau kedua negara pada
pihak persetujuan.
1. Esensi P3B
Tax treaty adalah perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka
meminimalisasi pemajakan berganda dan berbagai usaha penghindaran pajak. Perjanjian ini
digunakan oleh penduduk dua negara untuk menentukan aspek perpajakan yang timbul dari
suatu transaksi di antara mereka. Penentuan aspek perpajakan tersebut dilakukan
berdasarkan klausul-klausul yang terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan sesuai jenis
transaksi yang sedang dihadapi.
Adanya P3B dilakukan dalam upaya mengeliminasi beban pajak berganda yang
disebabkan oleh hubungan ekonomi dari dua yuridikasi yang berbeda. Bahkan di beberapa
literatur menyebutkan bahwa tujuan dilakukannya kesepakatan tersebut adalah untuk
mendorong adanya investasi langsung (foreign direct investment atau FDI) (Gunadi, 2013)
serta mencegah terjadinya tax evasion. Selain itu, beberapa negara berkembang juga telah
“menginvestasikan” dana dan waktu untuk menegosiasikan P3B. Negara-negara tersebut
juga sudah rela mengalami tax revenue loss untuk mereduksi barrier investasi, dengan
harapan upaya tersebut dapat menarik FDI (Neumayer, 2007; Baker, 2012). Julia Braun dan
Martin Zagler (2014) mencatat bahwa terdapat sekitar 2.600 P3B yang telah disepakati,
1.300 diantaranya merupakan perjanjian antara negara maju dan negara berkembang serta
800 di antara masing-masing negara berkembang.
Sebagai suatu perjanjian, sebuah treaty adalah kontrak yang mengikat suatu negara
dengan negara lain dalam hal perlakuan perpajakan. Oleh sebab itu, di dalamnya selalu
berisi klausul-klausul, pasa-pasal, dan ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu aspek
transaksi dan pihak tertentu. Pasal-pasal atau ayat-ayat (article) yang terdapat dalam sebuah
tax treaty pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi empat bagian besar, ayitu bagian
yang mengungkapkan cakupan tax treaty, bagian yang mengatur minimalisasi pengenaan
pajak berganda, bagian rentang pencegahan penghindaran pajak, dan bagian yang
mencakup hal-hal lainnya.
Semua bagian dalam kesepakatan yang sudah dicapai oleh dua negara yang melakukan
perjanjian selalu diperkaya dengan berbagai definisi/pengertian dan istilah (terminologi) yang
sering disebutkan dalam suatu tax treaty. Berbagai definisi, istilah dan pengertian inilah yang
menjadi lebih penting untuk dipahami oleh setiap pihak khususnya berkaitan dengan
kepentigan dalam bentuk praktik bisnis sehari-hari.
2. Kedudukan P3B
Kedudukan P3B di Indonesia terhadap UU PPh diperlakukan sebagai lex specialis.
Karena itu, apabila ada pertentangan antara undang-undang domestik Indonesia dengan
P3B, aturan-aturan yang ada dalam P3B akan didahulukan. Namun, perlu diingat bahwa
tujuan diadakannya P3B adalah untuk menghindari adanya pemajakan berganda. Agar tidak
terjadi pemajakan berganda atas penghasilan yang sama yang diterima atau diperoleh oleh
subjek yang sama maka suatu P3B membatasi hak pemajakan suatu negara untuk
mengenakan pajak atas suatu penghasilan tersebut. Ketika masing-masing ketentuan
domestik suatu negara sama-sama mengenakan pajak atas penghasilan yang sama, maka
berdasarkan P3B, hak masing-masing negara tersebut untuk mengenakan pajak atas suatu
penghasilan dapat dihilangkan atau dibatasi. Dengan kata lain, ketika suatu negara
mengadakan P3B maka negara tersebut setuju untuk dibatasi haknya untuk mengenakan
pajak berdasarkan pembatasan yang diatur dalam P3B.
P3B tidak memberikan hak pemajakan baru kepada negara yang mengadakan P3B.
Adapun pengenaan pajak suatu negara atas suatu jenis penghasilan didasarkan atas
ketentuan domestik negara tersebut. Dengan demikian, apabila dalam P3B suatu negara
diberi hak pemajakan atas suatu penghasilan tertentu, akan tetapi negara tersebut
berdasarkan hukum domestiknya tidak mengenakan pajak atas penghasilan tertentu
tersebut maka negara tersebut tidak dapat mengenakan pajak atas penghasilan tertentu
tersebut, walaupun P3B memberikan hak pemajakan kepada negara tersebut.
Penerapan ketentuan P3B dan UU Domestik dapat digambarkan dalam tabel berikut ini:
Ketentuan UU Domestik Ketentuan P3B Ketentuan yang diterapkan
Mengatur Mengatur P3B
Mengatur Tidak Mengatur UU Domestik
Tidak Mengatur Mengatur -
Tidak Mengatur Tidak Mengatur -
3. Model P3B
Terdapat dua model P3B yang sering dijadikan acuan negara-negara di dunia dalam
membuat P3B, yaitu Organization for Economic Cooperation and Development
Model (OECD Model) dan United Nations Model (UN Model). Namun, biasanya
dalam perundingan masing-masing negara akan mengajukan Model P3B-nya
masing-masing yang merupakan modifikasi dari OECD Model dan UN Model,
tergantung dari sudut pandang kepentingan negara tersebut. Berikut adalah
penjelasan model P3B ditambah dengan beberapa metode lain
1) Model OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development)
Model OECD merupakan model P3B untuk negara-negara maju (Advanced countries),
didirikan di Paris, 14 Desember 1960. Pada tahun 2009 beranggotakan 30 negara, yaitu
Australia, Austria, Belgia, Kanada, Republik Ceko, Denmark, Finlandia, Prancis, Jerman,
Yunani, Hongaria, Islandia, Irlandia, Italia, Inggris, Jepang, Korea Selatan, Luksemburg,
Meksiko, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugal, Slovakia, Spanyol,
Swedia, Swiss, Turki dan Amerika Serikat. Karena negara-negara tersebut adalah
negara-negara pengekspor modal maupun jasa, sehingga model ini lebih
mengedepankan pada asas domisili pada negara yang memberikan jajsa atau
menanamkan modal, dimana hak pemajakannya berada di negara domisili (residence
principle). Secara periodic Model OECD (1963, 1977, 1992, 2003 dan 2008) sealu
diperbaharui (update) untuk menyesuaikan dengan perkembangan perekonomian dunia.
2) Model UN (United Nations/PBB)
Model UN merupakan model P3B yang didesain secara khusus untuk kebutuhan negara-
negara berkembang (developing countries), seperti Indonesia. Model ini memberikan hak
pemajakan yang lebih luas kepada negara sumber atas penghasilan yang timbul dari
wilayahnya, karena negara-negara tersebut adalah negara-negara pengimpor modal
maupun jasa, sehingga negara-negara tersebut menjadi tempat sumber penghasilan. Hal
ini dilakukan misalnya dengan menambahkan satu kriteria lagi, yakni time test, untuk
menetapkan keberadaan suatu BUT sehubungan dengan kegiatan pemberian jasa-jasa
di negara itu. Jadi, model ini lebih menerapkan pemajakan yang berasal dari negara yang
memberi penghasilan.
3) Model US (United States)
P3B antara Amerika Serikat dengan negara mitra runding mendasarkan pada Model US
(1981). Pada Februari 2016 Departemen Keuangan AS mengumumkan perilisan “U.S.
Model Income Tax Convention” yag baru direvisi. Model Pajak Penghasilan Konvensi
yang akan berfungsi sebagai teks dasar yang akan digunakan leh Departemen Keuangan
Amerika Serikat saat menegosiasikan tax treaties. Rilisan hari ini merupakan update
pertama terhadap U.S model income tax treaty sejak tahun 2006. Model income tax treaty
2016 ini juga menggabungkan rekomendasi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS)
menurut OECD. BEPS adalah strategi perencanaan pajak (tax planning) yang
memanfaatkan gap dan kelemahan-kelemahan yang terdapat daam peraturan
perundang-undangan perpajakan domestic untuk “menghilangkan” keuntungan atau
mengalihkan keuntungant teresebut ke negara lain yang memiliki tariff pajak yang rendah
atau bahkan bebas pajak. Tujaun akhirnya adalah agar perusahaan tidak perlu membayar
pajak atau paja yang dibayar nilainya sangat kecil terhadap pendapatan perusahaan
secara keseluruhan (OECD, 2013).
4) Model Indonesia
Model P3B yang dianut oleh Indonesia mengombinasikan Model UN dan prinsip-prinsip
pokok yang terkandung dalam UU perpajakan nasional. Perpaduan antara dua model itu
menghasilkan suatu model yang disebut Model Indonesia yang menjadi dasar berpijak
dalam perundingan P3B (Rachmanto, 2004:4). Hal-hal yang dapat mendorong
perkembangan negara Indonesia menjadi lebih maju, dapat diatur dalam perjanjian ini,
misalnya penghasilan atas guru dan peneliti, yang dalam kedua model UN dan OECD
tidak diatur, namun dalam Model Indonesia diatur dalam pasal tersendiri. Itulah mengapa
Tax Treaty satu negara belum tentu sama degan tax treaty negara lainnya.
Perbeedaan yang mencolok antara model OECD dan model UN adalah bahwa Model
OECD menganut Resident Principle, sedangkan model UN cenderung menganut
pembagian yang adil diantara negara domisili dan negara sumber.
OECD Model dibuat berdasarkan perspektif atau kepentingan negara-negara maju,
sedangkan UN Model dibuat perdasarkan perspektif atau kepentingan negara-negara
berkembang. OECD Model lebih mengedepankan pada asas domisili negara yang
memberikan jasa atau menanamkan modal, di mana hak pemajakannya berada di negara
domisili. Sedangkan UN Model lebih mengedepankan asas sumber penghasilan, karena
negara berkembang umumnya yang menggunakan jasa dan yang menerima modal dari luar
negeri, sehingga model ini lebih menerapkan pemajakan yang berasal dari negara yang
memberi penghasilan (negara sumber). Indonesia mempunyai model sendiri yang disebut
P3B Model Indonesia (Indonesian Model) yang merupakan modifikasi dari UN Model.
4. Ruang Lingkup P3B
Untuk memberikan gambaran ruang lingkup P3B dapat dilihat dari struktur P3B dari
masing-masing model dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.
OECD Model UN Model Model P3B Indonesia
Title Title Title
CHAPTER I CHAPTER I CHAPTER I
Scope of The Convention Scope of The Convention Scope of Agreement
Article 1 Article 1 Article 1
Person Covered Person Covered Person Covered
Article 2 Article 2 Article 2
Taxes Covered Taxes Covered Taxes Covered
CHAPTER II CHAPTER II CHAPTER II
Definitions Definitions Definitions
Article 3 Article 3 Article 3
General definitions General definitions General definitions
Article 4 Article 4 Article 4
Resident Resident Resident
Article 5 Article 5 Article 5
Permanent establishment Permanent establishment Permanent
establishment
CHAPTER III CHAPTER III CHAPTER III
OECD Model UN Model Model P3B Indonesia
Taxation of Income Taxation of Income Taxation of Income
Article 6 Article 6 Article 6
Income from immpvable Income from immpvable Income from immpvable
property property property
Article 7 Article 7 Article 7
Business profits Business profits Business profits
Article 8 Article 8 Article 8
Shipping, inland waterways Shipping, inland Shipping dan air
transport And air transport waterways transport And transport
air transport
Article 8 (alternative a)
Article 8 (alternative b)
Article 9 Article 9 Article 9
Associated enterprises Associated enterprises Associated enterprises
Article 10 Article 10 Article 10
Devidens Devidens Devidens
Article 11 Article 11 Article 11
Interest Interest Interest
Article 12 Article 12 Article 12
Royalties Royalties Royalties
Article 13 Article 13 Article 13
Capital Gains Capital Gains Capital Gains
Article 14 Article 14 Article 14
Independent personal Independent personal Independent personal
services (deleted) services services
Article 15 Article 15 Article 15
Income from employment Dependent personal Dependent personal
sevices sevices
Article 16 Article 16 Article 16
Directors’ fees Directors’ fees and Directors’ fees
remuneration of top-level
managerial officials
OECD Model UN Model Model P3B Indonesia
Article 17 Article 17 Article 17
Artistes and sportsmen Artistes and portspersons Artistes and athletes
Article 18 Article 18 Article 18
Pensions Pensions and social Pensions and annuities
security payments
Article 18 (alternative a)
Article 18 (alternative a)
Article 19 Article 19 Article 19
Government service Government service Government service
Article 20
Teachers and
researches
Article 20 Article 20 Article 20
Students Students Students and trainees
Article 21 Article 21 Article 21
Other income Other income Other income
CHAPTER IV CHAPTER IV
Taxation of capital Taxation of capital
Article 22 Article 22
Capital Capital
CHAPTER V CHAPTER V CHAPTER V
Methods for Elimination of Methods for Elimination of Special Provisions
Double Taxation Double Taxation
Article 23 a Article 23 a
Exemption method Exemption method
Article 23 b Article 23 b Article 23
Credit method Credit method Method for elimination of
double taxation
CHAPTER VI CHAPTER VI
Special Provisions Special Provisions
Article 24 Article 24 Article 24
Non-disrimination Non-disrimination Non-disrimination
OECD Model UN Model Model P3B Indonesia
Article 25 Article 25 Article 25
Mutual agreement procedure Mutual agreement Mutual agreement
procedure
Article 25 (alternative a)
Article 25 (alternative b)
Article 26 Article 26 Article 26
Exchange of information Exchange of information Exchange of information
Article 27 Article 27
Assistance in the collection of Assistance in the
taxes collection of taxes
Article 28 Article 28 Article 28
Members of diplomatic Members of diplomatic Members of diplomatic
mission and consular posts mission and consular mission and consular
posts posts
Article 29
Territorial extension
CHAPTE VII CHAPTE VII CHAPTE VII
Final Provisions Final Provisions Final Provisions
Article 30 Article 30 Article 30
Entry into force Entry into force Entry into force
Article 31 Article 31 Article 31
Termination Termination Termination
A. Treaty Shopping
Secara teori tujuan utama dari tax treaties adalah menghapus hambatan pajak pada kegiatan
ekonomi internasional. Investor asing akan mendapatkan kepastian hokum dari adanya tax
treaties karena tax treaty mengalokasikan hak pemajakan antara negara tuan rumah (host
country) tempat pendapatan timbul, dan negara asal (home country) tempat penerima
pendapatan bertempat tinggal. Elemen ini dari tax treaties ini pada hakikatnya adalah
pengurangan withholding tax, yang membatasi hak pemajakan negara tuan rumah.
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty merupakan kesepakatan
untuk membagi hak pemajakan, atau mengurangi hak pemajakan antara dua negara. Melalui
P3B, penduduk negara mitra P3B dimungkinkan untuk mendapatkan pengurangan tarif atau
bahkan tidak dilakukan pemajakan di negara mitra P3B lainnya. Melalui treaty shopping,
keuntungan berupa pengurangan tarif pajak dimanfaatkan oleh pihak yang tidak berhak. Dengan
kata lain, treaty shopping merupakan suatu cara untuk mendapatkan manfaat suatu tax treaty
oleh pihak yang sebenarnya tidak berhak atas manfaat tax treaty tersebut. Treaty shopping
biasanya melibatkan para pihak yang memiliki hubungan istimewa, atau bahkan dengan sengaja
mendirikan perusahaan yang semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak (special purpose
company). Van Weeghel menyatakan “treaty shopping cannotes a situation in which a person
who is not entitled to the benefits of a tax treaty make use-in the wides meaning of the world- of
an individual or legal person in order to obtain those treaty benefits thar are not available directly.”
Treaty shopping umumnya mengacu pada situasi saat seseorang yang tinggal di satu negara
asal (home country) dan memperoleh pendapatan atau capital gains dari negara lain (source
country), dapat memperoleh benefit dari tax treaty antara negara sumber dan negara lain/negara
ketiga (third country). Situasi ini sering muncul saat seseorang tinggal (resident) di negara asal
(home country), namun negara asal (home country) tidak memiliki tax treaty dengan negara
sumbernya (source country).
Contoh Perusahaan “CoCO” yang tinggal dikepulauan Cayman (home country) mungkin
memiliki perusahaan “AMCo” di AS (source country). Dividen yang dibayarkan dari AmCo kepada
CoCo akan dikenai pemotongan pajak (withholding) 30% di AS. Jika CoCo membentuk
perusahaan “UKCo” di Inggris (third country) dan mentransfer saham AmCo ke UKCo, dividen
akan dibayarkan AmCo kepada UKCo dan, tanpa menggunakan anti-treaty shopping rules,
dividen tersebut akan memenuhi syarat masuk sebagai benefit berdasarkan tax treaty Amerika
B. Beneficial Owner
Dalam model P3B terdapat ketentuan mengenai beneficial owner. Ketentuan beneficial
owner umumnya dimuat terkait dengan pemajakan atas penghasilan dividen, bunga, dan royalti.
Maksud dari adanya ketentuan beneficial owner adalah untuk menangkal prkatik treaty shopping
dengan cara mencegah penduduk yang tidak mempunyai treaty menikmati manfaat suatu treaty.
Dalam OECD Model, UN Model, maupun Model P3B Indonesia, pada pasal yang mengatur
pengurangan tarif pajak oleh negara sumber atas dividen, bunga, dan royalti disebutkan bahwa
pengurangan tarif pajak akan diberikan apabila beneficial owner dari dividen, bunga, atau royalti
adalah penduduk dari negara mitra P3B. Seandainya dividen, bunga, atau royalti tersebut
diterima oleh penduduk negara treaty partner, tetapi beneficial owner dari penghasilan bukan
penduduk negara mitra P3B, penerima penghasilan tersebut tidak berhak mendapatkan
pengurnagan tarif pajak.
Menurut Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 jo. PER-25/PJ/2010 ketentuan
perpajakan di Indonesia yang memuat aturan tentang pencegahan penyalahgunaan P3B oleh
orang/badan yang tidak berhak adalah sebagai berikut.
1. Orang ppribadi atau badan yang dicakup dalam P3B adalah orang pribadi atau badan yang
merupakan SPDN dan/atau subjek pajak dalam negeri dari negara mitra P3B. P3B tidak
diterapkan dalam hal terjadi penyalahgunaan P3B, meskipun penerima penghasilan telah
sesuai dengan ketentuan.
2. Penyalahgunaan P3B dapat terjadi dalam hal:
PT ARKA PT DELTA
Indonesia
60% 50%
Keterangan:
a. PT ARKA ditetapkan memiliki pengendalian langsung pada XIN Ltd karena kepemilikan
modal > 50% dari jumlah saham yang disetor, sehingga XIN Ltd merupakan BULN
Nonbursa terkendali langsung bagi PT ARKA.
b. PT DELTA ditetapkan memiliki pengendalian langsung pada PARK Ltd karena
kepemilikan modal paling rendah 50% dari jumlah saham yang di setor, sehingga PARK
Ltd merupakan BULN Nonbursa terkendali langsung bagi PT DELTA.
c. PT ARKA ditetapkan memiliki pengendalian tidak langsung pada MAXX Pte Ltd karena
terdapat penyertaan modal > 50% dari jumlah saham yang disetor pada setiap tingkat
penyertaan modal, sehingga MAXX Pte Ltd merupakan BULN Nonbursa terkendali
tidak langsung bagi PT ARKA.
d. PT DELTA ditetapkan memiliki pengendalian tidak langsung pada MAXX Pte Ltd karena
> 50% dari jumlah saham yang disetor pada MAXX Pte Ltd dimiliki secara Bersama
sama oleh WPDN (PT DELTA) dan WPDN Lainnya (PT ARKA) melalui BULN Nonbursa
terkendali langsung (XIN Ltd bagi PT ARKA dan PARK Ltd bagi PT DELTA), sehingga
MAXX Pte Ltd juga merupakan BULN Nonbursa terkendali tidak langsung bagi PT
DELTA.
1. Hitunglah besarnya Deemed Devidend jika:
a. XIN Ltd memiliki laba setelah pajak sebesar USD 1.500.000 (tidak termasuk bagian
laba atau deviden dari MAXX Pte Ltd) dan memiliki kewajiban SPT Tahunan PPh
tanggal 30 April 2017.
b. PARK Ltd memiliki laba setelah pajak sebesar USD 3.000.000 (tidak termasuk
bagian laba atau deviden dari MAXX Pte Ltd) dan memiliki kewajiban SPT Tahunan
PPh tanggal 30 April 2017.
c. MAXX Pte Ltd memiliki laba setelah pajak sebesar USD 1.000.000
d. Saat diperolehnya Deemed Devidend pada XIN Ltd dan PARK Ltd adalah 31 Agustus
2017. Nilai kurs USD yang berlaku pada tanggal tersebut adalah sebesar Rp
11.550/USD