Anda di halaman 1dari 101

BAB 8 PEMAJAKAN BENTUK USAHA TETAP (BUT) / PERMANENT

ESTABLISHMENT (PE)

A. Bentuk Usaha Tetap (BUT) dalam P3B


Ketentuan mengenai bentuk usaha tetap (permanent establishment) dalam OECD
Model diatur di pasal 5 yang mengatur 7 hal pokok yaitu
1. Pengertian bentuk usaha tetap (BUT)/ permanent establisment (ayat 1)
2. Yang termasuk dalam jenis BUT asset/asset type permanent establishment (ayat 2)
3. Aktivita konstruksi yang dapat menimbulkan BUT (ayat 3)
4. Kegiatan usaha yang dianggap tidak menimbulkan BUT (ayat 4)
5. Agen yang tidak independen dapat menimbulkan BUT (ayat 5)
6. Agen yang independen tidak menimbulkan BUT (ayat 6)
7. Anak Perusahaan (subsidiary) tidak dianggap menimbulkan BUT (ayat 7)

B. Pengertian Bentuk Usaha Tetap (BUT)


Pengertian bentuk usaha tetap (BUT) menurut Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang PPh Nomor
36 Tahun 2008 adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia yang dapat berupa:
a. Tempat kedudukan manajemen.
b. cabang perusahaan.
c. Kantor perwakilan.
d. Gedung kantor.
e. Pabrik.
f. Bengkel.
g. Gudang.
h. Ruang untuk promosi dan penjualan.
i. Pertambangan dan penggalian sumber alam.
j. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi.
k. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan.
l. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan.
m. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
n. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.
o. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia.
p. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha
melalui internet.
BUT berdasarkan definisi tersebut dapat diambil pengertian yaitu bentuk usaha yang
dipergunakan Subjek Pajak luar negeri untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia. Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1a) UU PPh, bentuk usaha tetap merupakan subjek
pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. Lebih lanjut,
dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1a) UU PPh dijelaskan bagi wajib pajak luar negeri yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia,
pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan
Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam UU PPh maupun UU KUP.
Kategori BUT yang diberikan pengertian dan cakupannya oleh UU PPh ada empat jenis, yaitu :
a. BUT Aktiva/Fisik
BUT jenis aktiva penentuan ada atau tidaknya BUT dengan melihat adanya aktiva berupa
suatu tempat usaha (place of business), yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan 2omput
termasuk juga mesin-mesin, peralatan, 2omput dan 2omputer atau agen elektronik atau
peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh
penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Dalam UU PPh, bentuk usaha tetap
yang termasuk dalam kategori BUT jenis aktiva adalah:
1) Tempat kedudukan manajemen.
2) Cabang perusahaan.
3) Kantor perwakilan.
4) Gedung kantor.
5) Pabrik.
6) Bengkel.
7) Gudang.
8) Ruang untuk promosi dan penjualan.
9) Pertambangan dan penggalian sumber alam.
10) Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi.
11) Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan.
12) Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha
melalui internet.
b. BUT Aktivitas
BUT jenis aktivitas, penentuan ada atau tidaknya BUT dengan melihat apakah ada
aktivitas tertentu yang dilakukan di Indonesia. Jadi, penentuannya bukan didasarkan pada
ada atau tidaknya aktiva atau tempat usaha, namun lebih kepada ada atau tidaknya suatu
aktivitas tertentu yang dilakukan di Indonesia. Yang termasuk BUT jenis aktivitas adalah
proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan dan pemberian jasa dalam bentuk apapun
oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan.
Termasuk dalam kelompok BUT Aktivitas yaitu
1. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan
2. Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
Contoh: Perusahaan AA Ltd adalah sebuah perusahaan yang bergerak dibidang
jasa konstruksi, didirkan dan bertempat kedudukan di Belanda. Pada tahun 2015
perusahaan AA Ltd mendapatkan sebuah proyek pembangunan jembatan di
Indonesia yang berlokasi di Palembang, dengan masa pekerjaan selama 7 bulan.
Pertanyaan: Bagaimana pemajakan atas proyek pembangunan jembatan di
Palembang?
Jawab: Sesuai pasal 5 ayat (3) (a) Tax treaty Indonesia – Belanda yang
menyatakan: Istilah “bentuk usaha tetap” juga meliputi: suatu bangunan, konstruksi,
proyek perakitan atau instalasi, atau kegiatan penyediaan yang berhubungan
dengannya, tetapi hanya apabila bangunan, proyek, atau kegiatan tersebut
berlangsung untuk masa lebih dari 6 (enam) bulan.
Pemajakan dilakukan di Indonesia adalah sebatas pengashiulan yang diperoleh
dari proyek konstruksi pembangunan jembatan di Palembang saja. Sedangkan atas
penghasilan lainnya yang diperoleh di luar Indonesia, tidak akan dipajaki di Indonesia.
Karena masa pekerjaan tersebut berlangsung lebih dari time test (6 bulan), maka
perusahaan AA Ltd akan dianggap mempunyai suatu bentuk usaha tetap di Indonesia
c. BUT Keagenan
Termasuk dalam jenis BUT Keagenan adalah orang atau badan yang bertindak selaku
agen yang kedudukannya tidak bebas. Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang
pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan
atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat
kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai
bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang
mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya
bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.
Contoh: ABC Holding Ltd adalah suatu perusahaan yang didirkan dan bertempat
kedudukan di Malaysia. Perusahaan itu menjalankan usaha di negara Indonesia melalui
makelar, komisioner umum atau agen lainnya yang berdiri sendiri, yakni PT. MOP yang
bertindak dalam rangka kegiatan usahanya yang lazim. Pertanyaannya bagaimana status
ABC Holding Ltd., apakah sebagai WPDN/WPLN?
Jawab: Sesuai pasal 5 yat 6 Tax Treaty Indonesia – Malaysia, ABC Holding Ltd Malaysia
tidak dianggap mempunyai suatu bentuk usaha tetap di negara Indonesia semata-mata
karena perusahaan itu menjalankan usaha di negara Indonesia melalui PT. MOP sebagai
makelar, komisioner umum atau agen lainnya yang berdiri sendiri sepanjang PT. KLM
tersebut bertindak dalam rangka kegiatan usahanya yang lazim.
d. BUT Asuransi
Berupa agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko
di Indonesia. Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia
dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut
menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui
pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti
bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu
diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat
kedudukan di Indonesia.
Contoh: PT. PP menutup polis asuransi kerugian dengan membayar premi asuransi atas
kebakaran gedung yang berlokasi di Jakarta kepada PT. CC sebagai sebuah perusahaan
asuransi yang didirkan dan bertempat kedudukan di Indonesia. Oleh PT. CC kemudian di
reasuransikan kepada DD Ltd, yaitu sebuah perusahaan asuransi yang berkedudukan di
Malaysia. Pertanyaan: Bagaimana status DD Ltd, apakah sebagai WPDN/WPLN/BUT?
Jawab: Dalam kasus diatas, DD Ltd dianggap memiliki BUT di Indonesia karena
pembayaran premi asuransi dan menanggung risiko di Indonesia.

C. Pemajakan BUT
Berdasarkan pasal 2 ayat (1a) bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan
perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. Namun kenyataannya ada beberapa
perbedaan antara keduanya, yaitu dalam penentuan objek pajak, perlakuan biaya dan tarif pajak.
1. Objek Pajak BUT
Objek pajak BUT berdasarkan pasal 5 ayat (1) UU PPh dikategorikan dalam 3 jenis
berikut.
a. Attribution Income, yaitu penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap
tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai; dengan demikian semua
penghasilan tersebut dikenakan pajak di Indonesia.
b. Force of Attraction Income, yaitu penghasilan kantor pusat dari usaha atau
kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan
yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia.
Berdasarkan ketentuan pasal 5 ayat (1) huruf b penghasilan kantor pusat yang
berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan barang dan pemberian jasa, yang sejenis
dengan yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap dianggap sebagai penghasilan bentuk
usaha tetap, karena pada hakikatnya usaha atau kegiatan tersebut termasuk dalam
ruang lingkup usaha atau kegiatan dan dapat dilakukan oleh bentuk usaha tetap.
Usaha atau kegiatan yang sejenis dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha
tetap, misalnya terjadi apabila sebuah bank di luar Indonesia yang mempunyai bentuk
usaha tetap di Indonesia, memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui bentuk
usaha tetapnya kepada perusahaan di Indonesia.
Penjualan barang yang sejenis dengan yang dijual oleh bentuk usaha tetap,
misalnya kantor pusat di luar negeri yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia
menjual produk yang sama dengan produk yang dijual oleh bentuk usaha tetap
tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada pembeli di
Indonesia.
Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa yang diberikan oleh
bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat perusahaan konsultan di luar Indonesia
memberikan konsultasi yang sama dengan jenis jasa yang dilakukan bentuk usaha
tetap tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada klien di
Indonesia.
c. Effectively Connected Income, yaitu penghasilan sebagaimana tersebut dalam
Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan
efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan
penghasilan dimaksud.
Sesuai dengan pasal 5 ayat (3) huruf b yang tidak termasuk objek pajak bagi BUT
adalah pembayaran yang diterima atau diperoleh dari kantor pusat, berupa berikut
ini:
- Royalti atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta, paten, atau hak-
hak lainnya.
- Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya.
- Bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.
2. Pengurang Penghasilan/Biaya BUT
Berdasarkan pasal 6 ayat (1) seperti halnya wajib pajak badan dalam negeri, bentuk
usaha tetap dapat mengurangkan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, termasuk hal berikut.
a. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha,
antara lain:
1) Biaya pembelian bahan.
2) Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium,
bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang.
3) Bunga, sewa, dan royalti.
4) Biaya perjalanan.
5) Biaya pengolahan limbah.
6) Premi asuransi.
7) Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
8) Biaya administrasi.
9) Pajak, kecuali Pajak Penghasilan.
b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal
11A Undang-Undang PPh.
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan.
e. Kerugian selisih kurs mata uang asing.
f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
g. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan.
h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat berikut.
1) Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial.
2) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak.
3) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis
mengenai penghapusan piutang/ pembebasan utang antara kreditur dan debitur
yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau
khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan
untuk jumlah utang tertentu.
4) Syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan
piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf k yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
i. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
k. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
l. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Seperti halnya badan dalam negeri, apabila BUT mengalami kerugian, berdasarkan Pasal
6 ayat (2) UU PPh kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun
pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 tahun. Namun, ada yang membuat BUT
berbeda dengan subjek pajak badan dalam negeri, yaitu bahwa selain diperbolehkan untuk
mengurangkan biaya-biaya di atas, berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU PPh, BUT juga
diperbolehkan untuk mengurangkan biaya-biaya yang berkenaan dengan hal berikut.
a. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian
jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT
di Indonesia.
b. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 UU PPh yang diterima atau
diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta
atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
c. Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya
yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap. Biaya administrasi
kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto yang
diterima atau diperoleh suatu BUT di Indonesia adalah biaya administrasi yang
dikeluarkan oleh kantor pusat yang berkaitan dalam rangka untuk menunjang usaha
atau kegiatan BUT yang bersangkutan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan. Besarnya biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk
dikurangkan dari penghasilan bruto di Indonesia sebagaimana dimaksud di atas
setinggi-tingginya adalah sebanding dengan besarnya peredaran usaha atau kegiatan
BUT di Indonesia terhadap seluruh peredaran usaha aau kegiatan perusahaan di
seluruh dunia. Atau, batas terseut dapat diformulasikan berdasarkan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-62/PJ/1995 sebagai berikut.

Peredaran Usaha BUT di Indonesia


= Biaya administrasi kantor pusat X
Peredaran Usaha Perusahaan
di Seluruh Dunia
Seperti halnya badan dalam negeri berdasarkan pasal 9 Undang-Undang PPh terdapat
beberapa pengeluaran yang tidak boleh dibebankan sebagai pengurang dalam menghitung
PPh bagi BUT, antara lain sebagai berikut.
a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti deviden, termasuk
deviden yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis.
b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham.
c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
1) cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan
konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
2) cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk
oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3) cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
4) cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
5) cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
6) cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri
untuk usaha pengolahan limbah industri.
d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar
oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak
yang bersangkutan.
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi
seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan
di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan.
g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan.
h. Pajak Penghasilan.
i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi.
j. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa
denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
Yang membedakan BUT dari Subjek Pajak badan dalam negeri adalah bahwa selain tidak
diperbolehkan mengurangkan biaya-biaya di atas, berdasarkan Pasal 5 ayat (3) huruf c UU
PPh, BUT juga tidak diperbolehkan mengurangkan pembayaran kepada kantor pusat dalam
bentuk berikut.
a. Royalti atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta, paten, atau hak-hak
lainnya.
b. Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya.
c. Bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.
Konsisten dengan perlakuan ini, maka menurut UU PPh pembayaran dalam bentuk
tersebut di atas yang diterima atau diperoleh dari kantor pusat tidak dianggap sebagai Obyek
Pajak, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.
3. Tarif Pajak BUT
BUT dikenakan tarif PPh Badan pasal 17 ayat (1), yaitu sebesar 25%. Tarif ini berlaku
sejak tahun pajak 2010. Selain dikenai tarif PPh Badan pasal 17 ayat (1), berdasarkan Pasal
26 ayat (4) Undang-Undang PPh, atas penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari
suatu BUT akan dikenakan pajak tambahan sebesar 20%.
Pengecualian dari pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) diberikan apabila seluruh
penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan dari suatu bentuk usaha tetap
ditanamkan kembali di Indonesia Menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 14/PMK.03/2011
dalam bentuk berikut.
a. Penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia
sebagai pendiri atau peserta pendiri.
b. Penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di
Indonesia sebagai pemegang saham.
c. Pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh bentuk usaha tetap untuk menjalankan
usaha bentuk usaha tetap atau melakukan kegiatan bentuk usaha tetap di Indonesia.
d. Investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh bentuk usaha tetap untuk menjalankan
usaha bentuk usaha tetap atau melakukan kegiatan bentuk usaha tetap di Indonesia.
Seluruh penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan dari suatu bentuk
usaha tetap yang ditanamkan kembali di Indonesia yang dikecualikan dari pengenaan pajak
penghasilan harus memenuhi persyaratan berikut.
a. Penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir tahun pajak
berikutnya, setelah tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi bentuk usaha
tetap yang bersangkutan.
b. Bentuk usaha tetap yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan
dan/atau saat mulai berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang
dilakukan kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak terdaftar.
Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal pada
perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta
pendirian, ditambah lagi harus memenuhi persyaratan berikut.
a. Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif telah
melakukan kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak
perusahaan tersebut didirikan.
b. Bentuk usaha tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas
penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak perusahaan
baru dimaksud berproduksi komersial.
Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal pada
perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang
saham, ditambah lagi harus memenuhi persyaratan berikut.
a. Perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia mempunyai kegiatan
usaha aktif di Indonesia.
b. Bentuk usaha tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas
penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak penyertaan
modal.
Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk pembelian aktiva tetap atau
investasi berupa aktiva tidak berwujud, ditambah lagi persyaratan bahwa bentuk usaha tetap
yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau
pengalihan atas investasi berupa aktiva tidak berwujud, paling sedikit dalam jangka waktu 3
(tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau investasi aktiva tidak berwujud yang
bersangkutan.
Dalam hal persyaratan-persyaratan di atas tidak lagi dipenuhi, atas penghasilan kena
pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan dari suatu bentuk usaha tetap yang terkait,
dikenai PPh Pasal 26 ayat (4) terhitung sejak diperolehnya penghasilan kena pajak yang
bersangkutan, dan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
perpajakan.
Wajib pajak bentuk usaha tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh
penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan di Indonesia, wajib
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal yang
dilakukan kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak terdaftar, dengan
melampirkan pada surat pemberitahuan tahunan untuk pajak diterima atau diperolehnya
penghasilan yang bersangkutan. Selain itu, wajib pajak bentuk usaha tetap wajib
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai realisasi penanaman kembali yang
telah dilakukan, kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak terdaftar, dengan
melampirkan pada surat pemberitahuan tahunan untuk tahun pajak saat dilakukan realisasi
penanaman kembali tersebut. Pemberitahuan tersebut paling sedikit meliputi hal-hal sebagai
berikut.
A. Jumlah penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan dari bentuk usaha
tetap dan tahunan pajak yang bersangkutan.
B. Bentuk penanaman kembali, jumlah realisasi penanaman kembali, dan tahun pajak
dilakukan realisasi penanaman kembali.
Wajib pajak bentuk usaha tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh
penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan di Indonesia wajib
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat mulai berproduksi komersial.
Pengertian saat berproduksi komersial adalah saat perusahaan yang baru didirikan tersebut
telah memulai memproduksi barang untuk dijual bagi perusahaan manufaktur atau saat
perusahaan mulai melakukan penjualan barang dan/atau jasa bagi perusahaan selain
manufaktur. Keputusan tentang saat berproduksi komersial ditetapkan oleh kepala kantor
pelayanan pajak tempat wajib pajak bentuk usaha tetap terdaftar atas nama direktur jenderal
pajak berdasarkan hasil penelitian kantor pelayanan pajak paling lama 6 (enam) bulan
setelah wajib pajak bentuk usaha tetap menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
mengenai saat berproduksi komersial. Penetapan saat berproduksi komersial tersebut
dilakukan berdasarkan keadaan sebenarnya dengan memperhatikan saat mulai berproduksi
komersial yang disampaikan oleh wajib pajak bentuk usaha tetap yang bersangkutan.
Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan direktur jenderal pajak tidak menerbitkan surat
keputusan tentang saat berproduksi komersial, saat berproduksi komersial adalah
berdasarkan pemberitahuan tertulis yang disampaikan oleh wajib pajak bentuk usaha tetap
yang bersangkutan.
Dalam hal induk perusahaan dari wajib pajak bentuk usaha tetap adalah wajib pajak
dalam negeri dari negara yang telah mempunyai P3B dengan Indonesia, besarnya tarif untuk
menghitung PPh Pasal 26 ayat (4) adalah sebagaimana ditentukan dalam persetujuan
penghindaran pajak yang berlaku. Apabila hasil dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib
pajak bentuk usaha tetap dikenai pajak penghasilan yang bersifat final, dasar pengenaan
PPh Pasal 26 ayat (4) adalah penghasilan yang dihitung berdasarkan pembukuan yang
sudah dilakukan koreksi fiskal, dikurangi dengan jumlah pajak penghasilan yang bersifat
final.

C. Hak Pemajakan atas Pengalihan Harta Bergerak BUT


Hak pemajakan kepada negara sumber juga diberikan atau keuntungan yang diperoleh
dari pengalihan harta bergerak yang merupakan bagian dari harta BUT sesuai pasal 13 ayat
2 yaitu harta bergerak yang digunakan untuk menjalankan kegiatan usaha. Dengan
demikian, ketentuan ini tidak berlaku apabila yang dialihkan adalah harta gerak yang tidak
digunakan untuk menjalankan kegiatan usaha (Timbul, 2019; 126)

D. Hak Pemajakan atas Deviden yang memiliki Hubungan Efektif dengan BUT
Apabila penerima deviden memiliki hubungan efektif dengan BUT yang berada di negara
sumber, penghasilam deviden tersebut akan diperlakukan sebagai laba usaha BUT dengan
memperhitungkan biaya-biaya yang dapat dikurangkan untuk menghitung penghasilan kena
pajak. Pada pasal 7 OECD Model mengatakan Apabila dalam suatu kasus orang/badan yang
menerima deviden memiliki tempat usaha tetap/BUT yang berada di negara di mana
pembayaran deviden berkedudukan, dan deviden tersebut adalah hasil dari saham yang
merupakan bagian dari kekayaan dari BUT atau kepemilikan saham tersebut mempunyai
hubungan efektif dengan BUT, maka deviden tersebut dianggap sebagai laba usaha BUT
dan karenanya penghasilan tersebut akan digabungkan dengan penghasilan BUT dan
dikenakan pajak berdasarkan laba usaha perusahaan (Timbul, 2019:145-146).

E. Hak Pemajakan atas Bunga yang dibebankan kepada BUT


“interest may also be taxed in the contracting state in which it arises” , pemahaman ini
memiliki arti dan cakupan yang luas apabila pihak yang membayar bunga memiliki BUT di
suatu negara. Hak pemajakan dikaitkan dengan negara di mana pembayaran bunga timbul.
Dalam hal ini, apabila pihak yang melakukan pembayaran bunga memiliki sebuah BUT di
suatu negara tempat BUT terletak. Pasal 11 ayat (5) mengatur bahwa penghasilan bunga
dianggap timbul atau bersumber (arise in) di suatu negara bilamana pembayar bunga
dimaksud dibebankan kepada BUT yang berada di salah satu negara yang mengadakan
P3B, bunga tersebut dianggap timbul di negara di mana BUT berada (Timbul, 2019:165-166).

F. Kantor Perwakilan Dagang Asing/Representative Office (RO) atau Liaison


Bagi wajib pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia
dikenakan PPh pasal 15 menggunakan norma penghitungan khusus menurut Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 634/KMK.04/1994 jo Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-667/PJ/2001.
Penghasilan neto dari wajib pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di
Indonesia ditetapkan sebesar 1% dari nilai ekspor bruto. Pelunasan pajak penghasilan bagi wajib
pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia adalah 0,44% dari
nilai ekspor bruto dan bersifat final. Yang dimaksud dengan nilai ekspor bruto adalah semua nilai
pengganti atau imbalan yang diterima atau diperoleh wajib pajak luar negeri yang mempunyai
kantor perwakilan dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan
yang berada atau bertempat kedudukan di Indonesia. Khusus untuk kantor perwakilan dagang
yang berasal dari negara mitra P3B Indonesia, maka besarnya tarif pajak yang terutang
disesuaikan dengan tarif Branch Profit Tax dari suatu BUT tersebut sebagaimana dimaksud
dalam P3B terkait.
Pembayaran dan pelaporan PPh dari WPLN yang mempunyai kantor perwakilan dagang di
Indonesia dan administrasinya di kantor pelayanan pajak dilakukan sebagai berikut:
1. WPLN yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia wajib membayar PPh
yang terutang dalam suatu masa pajak ke bank persepsi atau kantor pos dan giro
selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya
penghasilan dengan menggunakan surat setoran pajak final;
2. WPLN yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia wajib melaporkan
pembayaran PPh yang dilakukan ke kantor pelayanan pajak selambat-lambatnya tanggal
20 bulan berikutnya setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan, dengan
menggunakan bentuk formulir sesuai lampiran I KEP-667/PJ./2001 dan dilampiri dengan
lembar ke-3 SSP Final.

Melalui SE-02 Dirjen Pajak menegaskan bahwa sebagaimana diatur dalam KEP
667/PJ./2001 WPLN yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia dimaksud adalah
WPLN yang berasal dari negara yang belum mempunyai tax treaty dengan Indonesia (Non
Treaty Partner) dan WPLN yang berasal dari treaty partner Indonesia, maka besarnya pajak yang
terutang disesuaikan dengan tarif Branch Profit Tax sebagaimana diatur dalam tax treaty.
Rumus (Representative Office/Liaison) berdasarkan KMK 834/KMK 04/1994 jo. Kep.
667/PJ/2001 sebagai berikut:
Norma Penghasilan Netto 1%
Tarif PPh (Maximal) 30%
Jumlah PPh = 30% x 1% 0,3%
Laba setelah PPh = 1% - 0,3% 0,7%
Tarif PPh Pasal 26 (4) 20%
PPh Pasal 26 = 20% x 0,7% 0,14%
Tarif Efektif = 0,3% + 0,14% 0,44%
Keterangan: Besifat Final, Dihitung dari Nilai Ekspor Bruto (Irwan, 2019:125)

G. Perusahaan Pelayaran dan Penerbangan Luar Negeri


Wajib pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri dikenakan PPh
menggunakan norma penghitungan khsuus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-
Undang PPh menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996. Wajib pajak
perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan yang dikenakan PPh pasal 15 adalah wajib pajak
perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan yang bertempat kedudukan di luar negeri yang
melakukan usaha melalui bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Penghasilan neto bagi wajib pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri
ditetapkan sebesar 6% (enam persen) dari peredaran bruto. Besarnya pajak penghasilan bagi
wajib pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri adalah sebesar 2,64% (dua
koma enam puluh empat persen) dari peredaran bruto dan bersifat final.
Peredaran bruto wajib pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri
seperti tersebut di atas adalah semua nilai pengganti atau imbalan berupa uang atau nilai uang
dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari suatu pelabuhan ke pelabuhan lain
di Indonesia dan/atau dari pelabuhan Indonesia ke pelabuhan di luar Indonesia. Dengan
demikian, tidak termasuk penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh perusahaan
pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri tersebut dari pengangkutan orang dan/atau barang
dari pelabuhan di luar negeri ke pelabuhan di Indonesia.
LATIHAN SOAL
A. Tentukan Pernyataan dibawah ini dengan menuliskan B (Benar) atau S (Salah)
1. Jika ada warga negara Indonesia memiliki penghasilan di negara lain maka Indonesia tidak
akan mengenakan pajak kepada warga negara tersebut …
2. Pajak berganda akan menghambat transaksi internasional …
3. Pasal 24 UU PPh mengatur mengenai perlakuan kredit pajak atas pajak yang dibayar
didalam negeri …
4. P3B diperlukan agar tidak ada pengenaan pajak secara berganda terhadap penghasilan
yang didapatkan …
5. Aturan P3B akan dimenangkan meskipun bertentangan dengan Undang-Undang
Pengashilan …
6. OECD merupakan standar yang harus dipatuhi pada saat suatu negara melakukan P3B …
7. Subjek pajak tidak tercakup dalam P3B …
8. Cakupan P3B hanya meliputi pajak daerah saja …
9. Pembatasan besarnya persentase tarif pajak tergantung dari besarnya persentase
penyertaan modal yang disetor …
10. Permintaan bantuan penagihan pajak antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah
negara mitra dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak …
B. Jawablah pertanyaan dibawah ini secara jelas dan lengkap!
1. Hitunglah PPh BUT sebagai berikut.
- Peredaran bruto sebesar Rp 200.000.000.000
- Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan sebesar Rp
100.000.000
- Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT dari harta yang dimiliki sebesar Rp
250.000.000
- Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, pemberian jasa
di Indonesia yang dilakukan BUT sebesar Rp 70.000.000
- Biaya kantor pusat atas kegiatan, penjualan barang, pemberian jasa di Indonesia Rp
60.000.000
- Penghasilan dari hubungan efektif BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan
penghasilan sebesar Rp 40.000.0000
- Biaya terkait kegiatan yang memberikan penghasilan Rp 30.000.000
- Biaya administrasi kantor pusat yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT
- Kompensasi kerugian sebesar Rp 70.000.000
Pertanyaan:
a. Hitunglah penghasilan neto fiskal dari transaksi diatas!
b. Berapa jumlah penghasilan kena pajak dari BUT diatas?
c. Hitunglah PPh terutang, sisa laba dan PPh pasal 26 ayat 4 (branch profit tax) dari BUT
diatas!
2. Lancelot merupakan suatu BUT di Indonesia dengan penghasilan kena pajak (PKP) sebesar
Rp. 10.000.000.000. Memiliki laporan keuangan sebagai berikut:

- Sales Rp 45.000.000.000
- COGS Rp 25.000.000.000
- Gross Profit Rp 20.000.000.000
- Expenses Rp 10.000.000.000
- EBT Rp 10.000.000.000
Pertanyaan:
Berapakah PPh yang harus dibayar BUT Lancelot? Berdasarkan PMK 14/KMK
03/2011 apa yang akan terjadi sehubungan dengan perpajakan BUT tersebut?
Jelaskan!
3. Maxis Inc. yang berkedudukan di Amerika menutup perjanjian lisensi dengan PT Serayu
untuk mempergunakan merek dagang Maxis Inc. atas hak tersebut, Maxis Inc menerima
royalty dari PT Serayu. Sehubungan dengan perjanjian tersebut, Maxis Inc memberikan jasa
manajemen kepada PT Serayu melalui BUT di Indonesia, dan dalam rangka pemasaran
produk PT Serayu yang menggunakan merek Maxis Inc tersebut.
Pertanyaan:
Pada kasus diatas dalam penggunaan merek dagang oleh PT Serayu yang memiliki
hubungan efektif dengan BUT di indoneisa, bagaimana perlakuan atas royalty tersebut?
Jelaskan!
4. Crunchy merupakan suatu BUT di Indonesia dengan penghasilan kena pajak (PKP) Rp
15.000.000.000. Crunchy yang berasal dari madagaskar ini merupakan non treaty partner
dengan Indonesia.
Pertanyaan:
Bagaimana perhitungan pajak penghasilan crunchy?
5. Berikan penjelasan mengenai Bentuk Usaha Tetap (BUT) dan sebutkan BUT yang ada di
Indonesia apa saja lengkap dengan jenis usahanya serta jelaskan apa saja yang terjadi jika
laba BUT akan ditanamkan kembali ke Indonesia berdasarkan PMK 14 tahun 2011!
6. Artur KPD merupakan Perwakilan dagang dengan kantor pusat di negara kepulauan
Solomon yang tidak mempunyai tarif P3B atau tax treaty. Pendapatan kantor perwakilan
dagang di Indonesia mendapatkan penghasilan atas penjualan dari wilayah Indonesia
sebesar Rp 15.500.000.000. Berapakah PPh yang dipungut atas kantor perwakilan dagang
di Indonesia atas penghasilannya tersebut?
7. Morris KPD merupakan Perwakilan dagang dengan kantor pusat di Inggris, negara P3B
dengan tarif branch profit tax 10%. Pendapatan kantor perwakilan dagang di Indonesia
mendapatkan penghasilan atas penjualan dari wilayah Indonesia sebesar Rp
30.000.000.000. Berapakah PPh yang dipungut atas kantor perwakilan dagang Inggris di
Indonesia atas penghasilannya?
8. Alfa KPD merupakan perwakilan dagang dengan kantor pusat di Prancis, negara mitra P3B
memiliki tarif branch profit tax 15%. Pendapatan kantor perwakilan dagang di Indonesia
mendapatkan penghasilan atas penjualan dari wilayah Indonesia sebesar Rp
20.000.000.000. Berapakah PPh yang dipungut atas Alfa KPD di Indonesia atas
penghasilannya?
9. Apakah perbedaan antara Bentuk Usaha Tetap dengan Tempat Usaha Tetap?
10. Bagaimana pemajakan atas BUT?
BAB 9 PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (TAX TREATY)

A. Penghindaran Pajak Berganda Secara Bilateral

Setiap negara di dunia mempunyai kedaulatan penuh dalam mengenakan pajak menurut
undang-undang domestik di negaranya. Dalam suatu transaksi internasional, di mana masing-
masing negara mempertahankan aturan domestik negaranya maka tidak dapat dihindari adanya
kemungkinan pengenaan pajak berganda.
Sebagai ilustrasi digambarkan sebagai berikut: Tn Salim seorang penduduk Indonesia
sebagai subjek pajak dalam negeri Indonesia menjadi pemegang saham di Singapore Trading
Pte Ltd sebuah perusahaan yang berkedudukan di Singapura. Pada suatu waktu Singapore
Trading Pte Ltd membagikan dividen kepada para pemegang sahamnya. Berdasarkan ketentuan
domestik UU Pajak Singapura atas penghasilan dividen yang diterima Tn Salim akan dikenakan
pajak di Singapura. Sedangkan berdasarkan ketentuan domestik UU Pajak Indonesia, sebagai
subjek pajak dalam negeri maka penghasilan Tn Salim baik yang diterima/diperoleh di Indonesia
maupun diperoleh di luar negeri akan dikenakan pajak di Indonesia. Akibatnya penghasilan
berupa dividen yang diterima/diperoleh Tn Salim akan dikenakan pajak dua kali yaitu oleh
Singapura maupun oleh Indonesia atas satu jenis penghasilan.
Setiap negara pada dasarnya tidak menghendaki pengenaan pajak berganda. Selain
menimbulkan ketidakadilan pajak berganda, juga akan menghambat transaksi internasional.
Aturan domestik masing-masing negara umumnya telah mengatur mekanisme untuk mengurangi
pajak berganda ini. Di dalam UU Pajak domestik Indonesia, yaitu di pasal 24 UU PPh sudah
diatur mengenai perlakuan kredit pajak atas pajak yang dibayar di luar negeri. Namun ketentuan
tersebut belum cukup efektif untuk benar-benar menghindarkan dampak pajak berganda. Selain
karena pengkreditan pajak di luar negeri dibatasi maksimal sebanding dengan penghasilan di
luar negeri dibanding dengan penghasilan kena pajak terhadap PPh terutang juga masalah sudut
pandang dalam melihat sumber penghasilan.
Berikut ini adalah ilustrasi yang dapat menggambarkan ketidakefektifan tersebut. Tn
Kurniawan seorang wajib pajak dalam negeri, adalah pegawai dari PT Maju Jaya. Pada suatu
waktu sehubungan dengan pekerjaannya dia harus melaksanakan tugasnya di Amerika selama
100 hari. Untuk itu, dia mendapatkan penghasilan sebesar USD 10,000 dari PT MAJU JAYA
Ketentuan pajak domestik Amerika mengatur bahwa sumber penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan adalah pada negara tempat pekerjaan tersebut dilakukan. Sementara itu Indonesia,
menganggap bahwa sumber penghasilan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
adalah pada negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat
kedudukan atau berada.
Jadi pada kasus ini, Indonesia dan Amerika sama-sama menganggap berhak untuk
memajaki penghasilan Tn Kurniawan karena dua-duanya menganggap negaranya adalah negara
sumber penghasilan. Indonesia akan memajaki dengan tarif progresif, sementara Amerika akan
memajaki sesuai dengan tarif pajak yang berlaku di Amerika. Perlakukan untuk mengkreditkan
pajak yang dibayar di Amerika berdasarkan pasal 24 UU PPh tidak dapat digunakan karena
penghasilan Tn Kurniawan tersebut dianggap bersumber dari Indonesia, bukan dari luar negeri.
Dengan kata lain, pajak yang dikenakan di Amerika tidak dapat dikreditkan di Indonesia. Dengan
demikian, atas penghasilan Tn Kurniawan tersebut terjadi pengenaan pajak berganda
Untuk supaya dapat lebih efektif mengurangi pajak berganda yang belum terakomodasi
dalam UU PPh, maka perlu dilakukan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) dengan
negara lain untuk membagi hak pemajakan. Selain sebagai sarana menghindarkan pengenaan
pajak berganda, P3B juga dapat digunakan sebagai alat negara yang melakukan persetujuan
untuk saling tukar informasi, konsultasi bersama atau mengadakan mutual agreement, sehingga
dapat mengurangi adanya praktik penghindaran pajak.

B. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)

Persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) atau dikenal dengan istilah tax treaty
adalah perjanjian pajak antara dua negara secara bilateral yang mengatur mengenai pembagian
hak pemajakan yang diterima atau diperoleh penduduk dari salah satu atau kedua negara pada
pihak persetujuan.
1. Esensi P3B
Tax treaty adalah perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka
meminimalisasi pemajakan berganda dan berbagai usaha penghindaran pajak. Perjanjian ini
digunakan oleh penduduk dua negara untuk menentukan aspek perpajakan yang timbul dari
suatu transaksi di antara mereka. Penentuan aspek perpajakan tersebut dilakukan
berdasarkan klausul-klausul yang terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan sesuai jenis
transaksi yang sedang dihadapi.
Adanya P3B dilakukan dalam upaya mengeliminasi beban pajak berganda yang
disebabkan oleh hubungan ekonomi dari dua yuridikasi yang berbeda. Bahkan di beberapa
literatur menyebutkan bahwa tujuan dilakukannya kesepakatan tersebut adalah untuk
mendorong adanya investasi langsung (foreign direct investment atau FDI) (Gunadi, 2013)
serta mencegah terjadinya tax evasion. Selain itu, beberapa negara berkembang juga telah
“menginvestasikan” dana dan waktu untuk menegosiasikan P3B. Negara-negara tersebut
juga sudah rela mengalami tax revenue loss untuk mereduksi barrier investasi, dengan
harapan upaya tersebut dapat menarik FDI (Neumayer, 2007; Baker, 2012). Julia Braun dan
Martin Zagler (2014) mencatat bahwa terdapat sekitar 2.600 P3B yang telah disepakati,
1.300 diantaranya merupakan perjanjian antara negara maju dan negara berkembang serta
800 di antara masing-masing negara berkembang.
Sebagai suatu perjanjian, sebuah treaty adalah kontrak yang mengikat suatu negara
dengan negara lain dalam hal perlakuan perpajakan. Oleh sebab itu, di dalamnya selalu
berisi klausul-klausul, pasa-pasal, dan ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu aspek
transaksi dan pihak tertentu. Pasal-pasal atau ayat-ayat (article) yang terdapat dalam sebuah
tax treaty pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi empat bagian besar, ayitu bagian
yang mengungkapkan cakupan tax treaty, bagian yang mengatur minimalisasi pengenaan
pajak berganda, bagian rentang pencegahan penghindaran pajak, dan bagian yang
mencakup hal-hal lainnya.
Semua bagian dalam kesepakatan yang sudah dicapai oleh dua negara yang melakukan
perjanjian selalu diperkaya dengan berbagai definisi/pengertian dan istilah (terminologi) yang
sering disebutkan dalam suatu tax treaty. Berbagai definisi, istilah dan pengertian inilah yang
menjadi lebih penting untuk dipahami oleh setiap pihak khususnya berkaitan dengan
kepentigan dalam bentuk praktik bisnis sehari-hari.
2. Kedudukan P3B
Kedudukan P3B di Indonesia terhadap UU PPh diperlakukan sebagai lex specialis.
Karena itu, apabila ada pertentangan antara undang-undang domestik Indonesia dengan
P3B, aturan-aturan yang ada dalam P3B akan didahulukan. Namun, perlu diingat bahwa
tujuan diadakannya P3B adalah untuk menghindari adanya pemajakan berganda. Agar tidak
terjadi pemajakan berganda atas penghasilan yang sama yang diterima atau diperoleh oleh
subjek yang sama maka suatu P3B membatasi hak pemajakan suatu negara untuk
mengenakan pajak atas suatu penghasilan tersebut. Ketika masing-masing ketentuan
domestik suatu negara sama-sama mengenakan pajak atas penghasilan yang sama, maka
berdasarkan P3B, hak masing-masing negara tersebut untuk mengenakan pajak atas suatu
penghasilan dapat dihilangkan atau dibatasi. Dengan kata lain, ketika suatu negara
mengadakan P3B maka negara tersebut setuju untuk dibatasi haknya untuk mengenakan
pajak berdasarkan pembatasan yang diatur dalam P3B.
P3B tidak memberikan hak pemajakan baru kepada negara yang mengadakan P3B.
Adapun pengenaan pajak suatu negara atas suatu jenis penghasilan didasarkan atas
ketentuan domestik negara tersebut. Dengan demikian, apabila dalam P3B suatu negara
diberi hak pemajakan atas suatu penghasilan tertentu, akan tetapi negara tersebut
berdasarkan hukum domestiknya tidak mengenakan pajak atas penghasilan tertentu
tersebut maka negara tersebut tidak dapat mengenakan pajak atas penghasilan tertentu
tersebut, walaupun P3B memberikan hak pemajakan kepada negara tersebut.
Penerapan ketentuan P3B dan UU Domestik dapat digambarkan dalam tabel berikut ini:
Ketentuan UU Domestik Ketentuan P3B Ketentuan yang diterapkan
Mengatur Mengatur P3B
Mengatur Tidak Mengatur UU Domestik
Tidak Mengatur Mengatur -
Tidak Mengatur Tidak Mengatur -
3. Model P3B
Terdapat dua model P3B yang sering dijadikan acuan negara-negara di dunia dalam
membuat P3B, yaitu Organization for Economic Cooperation and Development
Model (OECD Model) dan United Nations Model (UN Model). Namun, biasanya
dalam perundingan masing-masing negara akan mengajukan Model P3B-nya
masing-masing yang merupakan modifikasi dari OECD Model dan UN Model,
tergantung dari sudut pandang kepentingan negara tersebut. Berikut adalah
penjelasan model P3B ditambah dengan beberapa metode lain
1) Model OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development)
Model OECD merupakan model P3B untuk negara-negara maju (Advanced countries),
didirikan di Paris, 14 Desember 1960. Pada tahun 2009 beranggotakan 30 negara, yaitu
Australia, Austria, Belgia, Kanada, Republik Ceko, Denmark, Finlandia, Prancis, Jerman,
Yunani, Hongaria, Islandia, Irlandia, Italia, Inggris, Jepang, Korea Selatan, Luksemburg,
Meksiko, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugal, Slovakia, Spanyol,
Swedia, Swiss, Turki dan Amerika Serikat. Karena negara-negara tersebut adalah
negara-negara pengekspor modal maupun jasa, sehingga model ini lebih
mengedepankan pada asas domisili pada negara yang memberikan jajsa atau
menanamkan modal, dimana hak pemajakannya berada di negara domisili (residence
principle). Secara periodic Model OECD (1963, 1977, 1992, 2003 dan 2008) sealu
diperbaharui (update) untuk menyesuaikan dengan perkembangan perekonomian dunia.
2) Model UN (United Nations/PBB)
Model UN merupakan model P3B yang didesain secara khusus untuk kebutuhan negara-
negara berkembang (developing countries), seperti Indonesia. Model ini memberikan hak
pemajakan yang lebih luas kepada negara sumber atas penghasilan yang timbul dari
wilayahnya, karena negara-negara tersebut adalah negara-negara pengimpor modal
maupun jasa, sehingga negara-negara tersebut menjadi tempat sumber penghasilan. Hal
ini dilakukan misalnya dengan menambahkan satu kriteria lagi, yakni time test, untuk
menetapkan keberadaan suatu BUT sehubungan dengan kegiatan pemberian jasa-jasa
di negara itu. Jadi, model ini lebih menerapkan pemajakan yang berasal dari negara yang
memberi penghasilan.
3) Model US (United States)
P3B antara Amerika Serikat dengan negara mitra runding mendasarkan pada Model US
(1981). Pada Februari 2016 Departemen Keuangan AS mengumumkan perilisan “U.S.
Model Income Tax Convention” yag baru direvisi. Model Pajak Penghasilan Konvensi
yang akan berfungsi sebagai teks dasar yang akan digunakan leh Departemen Keuangan
Amerika Serikat saat menegosiasikan tax treaties. Rilisan hari ini merupakan update
pertama terhadap U.S model income tax treaty sejak tahun 2006. Model income tax treaty
2016 ini juga menggabungkan rekomendasi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS)
menurut OECD. BEPS adalah strategi perencanaan pajak (tax planning) yang
memanfaatkan gap dan kelemahan-kelemahan yang terdapat daam peraturan
perundang-undangan perpajakan domestic untuk “menghilangkan” keuntungan atau
mengalihkan keuntungant teresebut ke negara lain yang memiliki tariff pajak yang rendah
atau bahkan bebas pajak. Tujaun akhirnya adalah agar perusahaan tidak perlu membayar
pajak atau paja yang dibayar nilainya sangat kecil terhadap pendapatan perusahaan
secara keseluruhan (OECD, 2013).
4) Model Indonesia
Model P3B yang dianut oleh Indonesia mengombinasikan Model UN dan prinsip-prinsip
pokok yang terkandung dalam UU perpajakan nasional. Perpaduan antara dua model itu
menghasilkan suatu model yang disebut Model Indonesia yang menjadi dasar berpijak
dalam perundingan P3B (Rachmanto, 2004:4). Hal-hal yang dapat mendorong
perkembangan negara Indonesia menjadi lebih maju, dapat diatur dalam perjanjian ini,
misalnya penghasilan atas guru dan peneliti, yang dalam kedua model UN dan OECD
tidak diatur, namun dalam Model Indonesia diatur dalam pasal tersendiri. Itulah mengapa
Tax Treaty satu negara belum tentu sama degan tax treaty negara lainnya.
Perbeedaan yang mencolok antara model OECD dan model UN adalah bahwa Model
OECD menganut Resident Principle, sedangkan model UN cenderung menganut
pembagian yang adil diantara negara domisili dan negara sumber.
OECD Model dibuat berdasarkan perspektif atau kepentingan negara-negara maju,
sedangkan UN Model dibuat perdasarkan perspektif atau kepentingan negara-negara
berkembang. OECD Model lebih mengedepankan pada asas domisili negara yang
memberikan jasa atau menanamkan modal, di mana hak pemajakannya berada di negara
domisili. Sedangkan UN Model lebih mengedepankan asas sumber penghasilan, karena
negara berkembang umumnya yang menggunakan jasa dan yang menerima modal dari luar
negeri, sehingga model ini lebih menerapkan pemajakan yang berasal dari negara yang
memberi penghasilan (negara sumber). Indonesia mempunyai model sendiri yang disebut
P3B Model Indonesia (Indonesian Model) yang merupakan modifikasi dari UN Model.
4. Ruang Lingkup P3B
Untuk memberikan gambaran ruang lingkup P3B dapat dilihat dari struktur P3B dari
masing-masing model dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.
OECD Model UN Model Model P3B Indonesia
Title Title Title
CHAPTER I CHAPTER I CHAPTER I
Scope of The Convention Scope of The Convention Scope of Agreement
Article 1 Article 1 Article 1
Person Covered Person Covered Person Covered
Article 2 Article 2 Article 2
Taxes Covered Taxes Covered Taxes Covered
CHAPTER II CHAPTER II CHAPTER II
Definitions Definitions Definitions
Article 3 Article 3 Article 3
General definitions General definitions General definitions
Article 4 Article 4 Article 4
Resident Resident Resident
Article 5 Article 5 Article 5
Permanent establishment Permanent establishment Permanent
establishment
CHAPTER III CHAPTER III CHAPTER III
OECD Model UN Model Model P3B Indonesia
Taxation of Income Taxation of Income Taxation of Income
Article 6 Article 6 Article 6
Income from immpvable Income from immpvable Income from immpvable
property property property
Article 7 Article 7 Article 7
Business profits Business profits Business profits
Article 8 Article 8 Article 8
Shipping, inland waterways Shipping, inland Shipping dan air
transport And air transport waterways transport And transport
air transport
Article 8 (alternative a)
Article 8 (alternative b)
Article 9 Article 9 Article 9
Associated enterprises Associated enterprises Associated enterprises
Article 10 Article 10 Article 10
Devidens Devidens Devidens
Article 11 Article 11 Article 11
Interest Interest Interest
Article 12 Article 12 Article 12
Royalties Royalties Royalties
Article 13 Article 13 Article 13
Capital Gains Capital Gains Capital Gains
Article 14 Article 14 Article 14
Independent personal Independent personal Independent personal
services (deleted) services services
Article 15 Article 15 Article 15
Income from employment Dependent personal Dependent personal
sevices sevices
Article 16 Article 16 Article 16
Directors’ fees Directors’ fees and Directors’ fees
remuneration of top-level
managerial officials
OECD Model UN Model Model P3B Indonesia
Article 17 Article 17 Article 17
Artistes and sportsmen Artistes and portspersons Artistes and athletes
Article 18 Article 18 Article 18
Pensions Pensions and social Pensions and annuities
security payments
Article 18 (alternative a)
Article 18 (alternative a)
Article 19 Article 19 Article 19
Government service Government service Government service
Article 20
Teachers and
researches
Article 20 Article 20 Article 20
Students Students Students and trainees
Article 21 Article 21 Article 21
Other income Other income Other income
CHAPTER IV CHAPTER IV
Taxation of capital Taxation of capital
Article 22 Article 22
Capital Capital
CHAPTER V CHAPTER V CHAPTER V
Methods for Elimination of Methods for Elimination of Special Provisions
Double Taxation Double Taxation
Article 23 a Article 23 a
Exemption method Exemption method
Article 23 b Article 23 b Article 23
Credit method Credit method Method for elimination of
double taxation
CHAPTER VI CHAPTER VI
Special Provisions Special Provisions
Article 24 Article 24 Article 24
Non-disrimination Non-disrimination Non-disrimination
OECD Model UN Model Model P3B Indonesia
Article 25 Article 25 Article 25
Mutual agreement procedure Mutual agreement Mutual agreement
procedure
Article 25 (alternative a)
Article 25 (alternative b)
Article 26 Article 26 Article 26
Exchange of information Exchange of information Exchange of information
Article 27 Article 27
Assistance in the collection of Assistance in the
taxes collection of taxes
Article 28 Article 28 Article 28
Members of diplomatic Members of diplomatic Members of diplomatic
mission and consular posts mission and consular mission and consular
posts posts
Article 29
Territorial extension
CHAPTE VII CHAPTE VII CHAPTE VII
Final Provisions Final Provisions Final Provisions
Article 30 Article 30 Article 30
Entry into force Entry into force Entry into force
Article 31 Article 31 Article 31
Termination Termination Termination

C. Isi Model P3B Indonesia


Pada bagian ini akan dibahas pasal demi pasal ketentuan yang dimuat dalam model P3B
Indonesia. Model P3B Indonesia biasanya dijadikan posisi runding dasar ketika Indonesia
menegosiasikan P3B dengan negara lain.
1. Judul P3B
AGREEMENT BETWEEN
THE GOVERNMENT OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF ….
FOR THE AVOIDANCE OF DOUBLE TAXATION AND THE PREVENTION OF FISCAL
EVASION WITH RESPECT TO TAXES ON INCOME
Dari peristilahan yang digunakan dalam menyebut tax treaty, OECD Model dan UN Model
menggunakan istilah agreement (persetujuan), bukan menggunakan istilah convention
(perjanjian) seperti yang digunakan dalam OECD Model dan UN Model, sehingga
penyebutan tax treaty di Indonesia adalah Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B),
bukan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.
Istilah agreement (persetujuan) digunakan Model P3B Indonesia karena istilah convention
atau perjanjian di Indonesia umumnya digunakan untuk konvensi, yaitu perjanjian yang
melibatkan lebih dari dua negara (multilateral), sedangkan agreement (persetujuan)
digunakan untuk perjanjian yang melibatkan dua negara (bilateral).
2. Subjek Pajak yang Dicakup Tercakup Dalam P3B
Pasal 1 Model P3B mengatur mengenai subjek yang dicakup dalam P3B, yaitu subjek
pajak yang menjadi penduduk salah satu atau kedua negara yang terikat pesetujuan. Dalam
P3B menggunakan istilah “… persons who are residents…” Meskipun menggunakan istilah
persons, yang menjadi subjek disini pengertiannya tidak semata-mata orang pribadi, namun
juga meliputi badan. Istilah persons disini mengandung arti orang pribadi (natural person)
dan badan hukum (legal person).
Jadi, P3B tersebut berlaku bagi orang pribadi maupun badan yang menjadi penduduk
salah satu atau kedua negara yang terikat persetujuan. Dengan demikian, penduduk negara
diluar kedua negara yang terikat persetujuan tersebut tidak berhak menikmati
fasilitas/perlindungan P3B.
3. Pajak yang Dicakup Dalam P3B
Pajak yang lazim dicakup dalam P3B adalah pajak yang dapat menimbulkan masalah
pengenaan pajak berganda internasional, yaitu pajak penghasilan dan pajak kekayaan.
Pajak lain misalnya PPN dan PPnBM tidak dicakup dalam P3B karena tidak menimbulkan
masalah pajak berganda internasional, sebab pada dasarnya PPN dan PPnBM merupakan
pajak atas konsumsi dalam negeri (local tax).
Cakupan P3B tidak hanya untuk pajak pusat saja namun juga meliputi pajak daerah,
selama jenis pajak tersebut termasuk dalam kategori pajak penghasilan atau pajak
kekayaan. Hal ini bisa dilihat dalam pasal 2 ayat (1) Model P3B menunjukkan jenis pajak
yang dicakup P3B tanpa memperdulikan siapa yang memungut pajak tersebut. Karena
kenyataannya di beberapa negara, pajak penghasilan bisa dipungut pemerintah pusat atau
bisa pula oleh pemerintah daerah.
4. Ketentuan Umum
Pasal 3 P3B Model P3B memberikan definisi umum mengenai istilah yang dipakai.
Beberapa istilah didefinisikan di pasal-pasal yang mengatur khusus mengenai itu, misalnya
definisi royalti diatur di pasal yang khusus mengatur royalti. Beberapa definisi umum yang
diatur dalam pasal 3, antara lain seperti berikut.
a. Istilah "person" meliputi orang pribadi, perusahaan dan setiap kumpulan dari orang-
orang dan/atau badan-badan.
b. Istilah "company" (perusahaan) berarti setiap badan hukum atau lembaga lainnya yang
untuk kepentingan perpajakan diperlakukan sebagai badan hukum.
c. Istilah "enterprise of a Contracting State" (perusahaan dari suatu Negara Pihak pada
Persetujuan) berarti suatu perusahaan yang dijalankan oleh penduduk suatu Negara
Pihak pada Persetujuan dan “enterprise of the other Contracting State" (perusahaan dari
Negara Pihak lainnya pada persetujuan) berarti suatu perusahaan yang dijalankan oleh
penduduk dari Negara Pihak lainnya pada Persetujuan.
d. Istilah "international traffic" (lalu lintas internasional) berarti setiap pengangkutan dengan
kapal laut atau pesawat udara yang dioperasikan oleh perusahaan dari suatu Negara
Pihak pada persetujuan, kecuali jika kapal laut atau pesawat udara tersebut semata-
mata dioperasikan di antara tempat-tempat di Negara Pihak lainnya pada persetujuan;
e. Istilah 'Pejabat yang berwenang" berarti:
1) Di Indonesia:
Menteri Keuangan atau wakilnya yang sah:
2) Di ……………………..:
……………………………………………………………………………..
f. Istilah "national" (warga negara) berarti:
1) setiap orang pribadi yang memiliki kewarganegaraan pada suatu negara pihak pada
persetujuan;
2) setiap badan hukum, persekutuan dan perkumpulan yang mendapatkan status
kewarganegaraan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di suatu negara
pihak pada persetujuan.
Tujuan adanya definisi adalah supaya tidak terjadi perbedaan interpretasi dalam
penggunaan istilah tersebut ketika P3B diterapkan. Namun bisa saja dalam praktek
masih muncul perbedaan penafsiran. Maka dalam melakukan interpretasi biasanya
digunakan pendekatan sebagai berikut :
a. Yang pertama harus diterapkan adalah definisi yang diatur dalam P3B, atau aturan-
aturan tentang penafsiran suatu P3B.
b. Apabila aturan khusus tersebut tidak ada, maka dilihat apakah UU Domestik
memberikan definisi khusus .
c. Apabila di UU Domestik tidak ada, atau tidak dapat diterapkan maka digunakan
aturan umum interpretasi (general rule of interpertation) P3B dalam Viena
Convention on the Law of Treatise 1969.
5. Penduduk
Untuk keperluan P3B, berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Model P3B Indonesia yang dimaksud
dengan penduduk suatu negara yang terikat persetujuan adalah setiap orang/badan, yang
menurut perundang-undangan negara tersebut, dapat dikenakan pajak di negara tersebut
berdasarkan domisilinya, tempat kediamannya, tempat kedudukan manajemennya, atau
atas dasar lainnya yang sifatnya serupa.
Dalam hal Indonesia, definisi penduduk negara yang terikat persetujuan akan mengacu
pada definisi Subjek Pajak dalam negeri yang diatur dalam UU PPh. Berdasarkan Pasal 2
ayat (3) UU PPh, untuk keperluan perpajakan, yang dimaksud dengan subjek pajak dalam
negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia; dan
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Sedangkan untuk negara lain, maka sesuai dengan ketentuan UU Domestik negara
tersebut, misalnya Amerika Serikat, pengertian penduduk dalam hal ini adalah sebagai
berikut :
a. Setiap warga negara Amerika Serikat.
b. Orang asing yang masuk dalam uji kriteria yang disebut sebagai uji keberadaan
substansial (subtantial present test), yaitu:
1) orang tersebut berada di Amerika Serikat selama tahun berjalan; ditambah
2) sepertiga jumlah dari orang tersebut berada di Amerika Serikat pada tahun
sebelumnya; ditambah
3) seperenam dari jumlah hari orang tersebut berada di Amerika Serikat 2 tahun
sebelumnya.
Dengan mendasarkan pengertian penduduk untuk kepentingan perpajakan pada UU
domestik masing-masing negara, ada kemungkinan bahwa seseorang atau suatu badan
menjadi penduduk pada kedua negara yang terikat persetujuan (dual resident).
P3B akan memberikan solusi yang sering disebut dengan istilah tie breaker rules. Pasal
4 ayat (2) Model P3B mengatur apabila berdasarkan ketentuan di atas orang pribadi menjadi
penduduk pada kedua negara yang terikat persetujuan (dual resident), status
kependudukannya akan ditentukan sebagai berikut.
1) Ia akan dianggap sebagai penduduk suatu negara yang terikat persetujuan di mana ia
mempunyai tempat tinggal tetap; jika ia mempunyai tempat tinggal tetap di kedua negara
yang terikat persetujuan , ia akan dianggap sebagai penduduk negara yang terikat
persetujuan di mana ia mempunyai hubungan-hubungan pribadi dan ekonomi yang lebih
erat (tempat yang menjadi pusat perhatiannya/centre of vital interest).
2) Jika negara yang terikat persetujuan yang menjadi pusat perhatiannya tidak dapat
ditentukan, ia akan dianggap sebagai penduduk negara yang terikat persetujuan di mana
ia mempunyai tempat yang biasa ia gunakan untuk berdiam.
3) Jika ia mempunyai tempat kebiasaan berdiam di kedua negara yang terikat persetujuan
atau sama sekali tidak mempunyainya di salah satu negara tersebut, pejabat-pejabat
yang berwenang dari kedua negara akan berusaha memecahkan masalah ini melalui
persetujuan bersama.
Perbedaan yang ada terkait aturan tie brake rule untuk orang pribadi antara Model P3B
Indonesia dengan OECD Model dan UN Model adalah dalam OECD Model dan UN Model
ditambahkan satu lagi kriteria yaitu jika ia mempunyai tempat kebiasaan berdiam di kedua
Negara yang terikat persetujuan atau sama sekali tidak mempunyainya di salah satu negara
tersebut, maka ia akan dianggap sebagai penduduk menurut status kewarganegaraan.
Model P3B Indonesia tidak menggunakan status kewarganegaraan dalam memecahkan
status kependudukan ganda (dual resident).
Tie brake rule di atas berlaku dalam penetapan status penduduk untuk orang pribadi.
Untuk pihak selain orang pribadi, Pasal 4 ayat (3) Model P3B Indonesia mengatur bahwa
apabila suatu pihak selain orang pribadi (misalnya subjek pajak badan) menjadi penduduk
pada kedua negara yang terikat persetujuan, pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua
negara akan berusaha memecahkan masalah ini melalui persetujuan bersama. Hal ini
berbeda dengan OECD Model dan UN Model, dalam kedua model ini untuk menentukan
status penduduk selain orang pribadi terlebih dahulu dilihat dari tempat manajemen efektif
berada (efective management) terletak. Dalam P3B yang berlaku saat ini, contoh P3B yang
menggunakan tempat manajemen efektif (efective management) berada untuk memecahkan
domisili rangkap badan adalah P3B Indonesia-Amerika.
Untuk menentukan status kependudukan orang pribadi atau badan dibuktikan dengan
Certificate of Domicile, Certificate of Residence atau Surat Keterangan Domisili (SKD) yang
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang (competent authority) masing-masing negara
menurut Peraturan Dirjen Pajak PER-61/PJ2009 j.o. PER-24/PJ/2010. Dalam penerapannya
di Indonesia, ada tiga syarat supaya ketentuan P3B dapat diberlakukan. Pertama, penerima
penghasilan bukan subjek pajak dalam negeri Indonesia. Kedua, persyaratan administratif
untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah dipenuhi. Ketiga, tidak terjadi
penyalahgunaan P3B oleh wajib pajak luar negeri. Dalam hal persyaratan tersebut tidak
terpenuhi, pemotong/pemungut pajak wajib memotong atau memungut pajak yang terutang
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang PPh.
6. Bentuk Usaha Tetap
Pasal 5 Model P3B Indonesia mengatur mengenai pengertian dan kriteria BUT. Aturan
mengenai kriteria BUT ini penting, mengingat di dalam P3B dikenal konsep “no PE no tax”,
yang artinya jika tidak ada BUT (permanent establishment/PE) negara sumber tidak boleh
memajaki penghasilan dari usaha. Dengan demikian, Indonesia boleh memajaki penghasilan
usaha (business income) penduduk negara mitra P3B hanya mempunyai BUT di Indonesia.
Pengertian Bentuk Usaha Tetap menurut P3B adalah suatu tempat usaha dimana melalui
tempat usaha tetap tersebut usaha dari suatu perusahaan seluruhnya atau sebagian
dijalankan. Jenis BUT yang diatur dalam Model P3B meliputi BUT Aktiva, BUT Aktivitas, BUT
agen dan BUT asuransi.
a. BUT Aktiva menurut Model P3B
Salah satu kriteria utama adanya BUT adalah adanya suatu tempat tetap (fixed place)
yang digunakan untuk melakukan usaha. Dalam pasal 5 ayat (2) Model P3B disebutkan
cakupan BUT aktiva meliputi:
1) suatu tempat kedudukan manajemen;
2) suatu cabang;
3) suatu kantor;
4) suatu pabrik;
5) suatu bengkel;
6) suatu gudang atau tempat yang digunakan sebagai gerai penjualan;
7) suatu pertanian atau perkebunan;
8) suatu tambang, sumur minyak atau gas bumi, tempat penggalian atau tempat
pengambilan sumber daya alam lainnya, anjungan pengeboran atau kapal kerja
yang digunakan untuk eksplorasi atau eksploitasi sumber daya alam.
Namun demikian, menurut Model P3B, tidak serta merta setiap ada tempat tetap selalu
menimbulkan BUT. Dalam pasal 5 ayat (4) diberikan pengecualian, yang
mengakibatkan suatu tempat tetap tidak dianggap menimbulkan BUT, yaitu:
1) penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dengan maksud untuk menyimpan atau
memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan;
2) pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan milik
perusahaan semata-mata dengan maksud untuk disimpan atau dipamerkan;
3) pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan milik
perusahaan semata-mata dengan maksud untuk diolah oleh perusahaan lain;
4) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk
melakukan pembelian barang-barang atau barang dagangan, atau untuk
mengumpulkan informasi, bagi keperluan perusahaan;
5) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata untuk tujuan periklanan atau
penyediaan informasi;
6) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk
melakukan kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat sebagai kegiatan persiapan atau
kegiatan penunjang, bagi keperluan perusahaan;
7) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk
melakukan gabungan kegiatan-kegiatan seperti disebutkan di atas sepanjang
kegiatan-kegiatan tempat usaha tetap yang merupakan hasil penggabungan tadi
bersifat sebagai kegiatan persiapan atau kegiatan penunjang.
Jika diperhatikan, pengecualian ini tidak terdapat dalam kriteria BUT menurut Undang-
Undang PPh. Jadi, bisa jadi menurut Undang-Undang PPh dianggap ada BUT,
sedangkan menurut P3B tidak dianggap BUT. Konsekuensinya, jika tidak dianggap BUT,
maka negara sumber tidak berhak memajaki penghasilan yang diperoleh penduduk
negara mitra P3B (negara domisili).
b. BUT aktivitas menurut P3B
Kriteria BUT aktivitas dalam Model P3B diatur di pasal 5 ayat (3), yaitu:
1) Lokasi pembangunan, sebuah proyek konstruksi, perakitan atau instaalasi atau
kegiatan pengawasan yang berhubungan dengannya , tetapi hanya apabila
bangunan, proyek atau kegiatan tersebut berlangsung untuk masa lebih dari
…………… bulan;
2) Pemberian jasa-jasa, termasuk jasa konsultasi, yang dilakukan oleh suatu
perusahaan melalui pegawai atau orang lain yang dipekerjakan untuk tujuan
tersebut, tetapi hanya apabila kegiatan-kegiatan tersebut berlangsung di negara
treaty partner (dalam proyek yang sama atau yang berhubungan) untuk suatu masa
atau masa-masa yang berjumlah lebih ...... dalam periode 12 (dua belas) bulan.
Dari kriteria tersebut dapat dilihat bahwa kriteria BUT, aktivitas untuk kegiatan konstruksi
menurut P3B berbeda dengan kriteria BUT aktivitas untuk kegiatan konstruksi menurut
Undang-Undang PPh. Bedanya adalah Model P3B memberikan time test untuk proyek
bangunan, konstruksi atau instalasi, sedangkan menurut Undang-Undang PPh untuk
proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan tidak diberikan time test.
Konsekuensinya menurut Undang-undang PPh, setiap proyek konstruksi, instalasi, atau
proyek perakitan akan selalu menimbulkan BUT, sedangkan jika menurut Model P3B
akan timbul BUT jika melebihi time test.
Untuk BUT jasa (selain konstruksi), model P3B memberikan peluang time test yang lebih
panjang untuk kegiatan pemberian jasa daripada time test pada Undang-Undang PPh
(time test BUT aktivitas menurut UU PPh adalah 60 hari jangka waktu 12 bulan).
Dalam praktiknya, terdapat beberapa P3B Indonesia yang sekarang berlaku hak
pemajakan atas penghasilan yang berasal dari penyerahan jasa tertentu tidak melalui
mekanisme time test untuk menentukan adanya BUT. Negara sumber langsung dapat
melakukan pemajakan atas penghasilan tersebut dengan tarif yang ditentukan dalam
P3B. Jadi, perlakuan pemajakannya masuk dalam ketentuan pemajakan atas royalti
atau diatur secara tersendiri.
c. BUT agen menurut P3B
Terkait dengan kegiatan keagenan, Model P3B juga mengatur bahwa kegiatan
keagenan dapat menimbulkan BUT. Pada pasal 5 ayat (5) diatur bahwa di mana orang
atau badan (selain agen yang berdiri sendiri) yang bertindak di suatu negara (negara
sumber) atas nama suatu perusahaan dari negara lainnya (negara domisili), maka
perusahaan tersebut dianggap memiliki bentuk usaha tetap di negara tersebut (negara
sumber) atas kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh orang untuk perusahaan tersebut,
jika orang atau badan tersebut:
1) Di negara itu mempunyai wewenang untuk menutup kontrak-kontrak atas nama
perusahaan; atau
2) Tidak memiliki wewenang seperti itu, tetapi biasa mengurus di negara itu barang-
barang persediaan atau barang-barang dimana ia secara teratur memberikan
barang-barang atau barang dagangan atas nama perusahaan tersebut; atau
3) Di negara itu membuat atau mengolah barang perusahaan atau barang dagang milik
perusahaan.
Namun demikian, suatu perusahaan dari suatu negara tidak akan dianggap
mempunyai suatu bentuk usaha tetap di negara lainnya hanya karena perusahaan
itu menjalankan usaha di negara lainnya itu melalui makelar (broker), agen komisi
umum (general commission agent) atau agen lainnya yang berdiri sendiri (bebas),
asalkan orang tersebut yang bertindak dalam rangka kegiatan usahanya yang lazim.
Tetapi, apabila kegiatan-kegiatan seperti agen tersebut seluruhnya atau hampir
seluruhnya atas nama perusahaan itu, ia tidak akan dianggap sebagai agen yang
berdiri sendiri.
Perbedaan pengertian BUT jenis agen menurut Model P3B dengan UU PPh adalah
berdasarkan UU PPh, setiap agen yang tidak bebas akan dianggap sebagai BUT.
Sementara itu, berdasarka P3B agen yang tidak bebas hanya akan dianggap
sebagai BUT apabila telah memenuhi salah satu syarat diatas.
d. BUT asuransi
Terkait dengan BUT jenis asuransi, sesuai pasal 5 ayat (6) Model P3B suatu perusahaan
asuransi dari negara mitra P3B (negara domisili) kecuali mengenai reasuransi, dianggap
mempunyai BUT di negara sumber jika perusahaan tersebut memungut premi di negara
sumber atau menanggung risiko yang terjadi di negara sumber melalui seorang pegawai
atau melalui suatu perwakilan yang bukan merupakan agen yang berkedudukan bebas.
Berbeda dengan pengertian menurut UU PPh tentang BUT jenis ini, P3B memberikan
pengecualian terhadap kegiatan reasuransi.
7. Pemajakan Harta Tak Bergerak
Model P3B mengatur bahwa penghasilan yang diperoleh penduduk dari suatu negara
(negara domisili) dari harta tak bergerak (termasuk penghasilan dari pertanian dan
kehutanan) yang berdada di negara lainnya dapat dikenakan pajak di negara lainnya tersebut
(negara sumber). Jadi, hak pemajakan atas penghasilan dari harta tak bergerak diberikan di
negara sumber.
Pengertian harta tak bergerak mengacu pada ketentuan undang-undang negara dimana
harta tak bergerak tersebut terletak. Istilah harta tidak bergerak juga mencakup benda-benda
yang menyertai harta tidak bergerak, ternak, dan peralatan yang dipergunakan dalam
pertanian dan kehutanan, hak-hak terhadap mana ketentuan-ketentuan dalam perundang-
undangan umum yang berkenaan dengan pertanahan berlaku, hak memungut hasil atas
harta tidak bergerak dan hak atas pembayaran-pembayaran tetap atau tidak tetap sebagai
penggantian atas pengerjan atau hak untuk mengerjakan, kandungan mineral dan sumber-
sumber daya alam lainnya. Namun, untuk kapal laut, perahu, dan pesawat udara tidak
dianggap sebagai harta tidak bergerak. Penghasilan dari kapal laut, perahu dan pesawat
udara diatur tersendiri dalam pemajakan sehubungan dengan pelayaran dan penerbangan.

8. Pemajakan Laba Usaha


Berdasarkan ketentuan pasal 5 Model P3B, laba usaha (business profits) suatu
perusahaan negara mitra P3B hanya akan dikenakan pajak di negara mitra P3B tersebut,
kecuali jika perusahaan itu menjalankan usaha di negara di Indonesia melalui suatu bentuk
usaha tetap (BUT) yang berada negara Indonesia. Jadi, prinsipnya hak pemajakan atas laba
usaha berada di negara domisili, kecuali jika di negara sumber ada bentuk usaha tetap, maka
negara sumber dapat memajaki penghasilan tersebut (prinsip “no PE no tax”).
Apabila suatu perusahaan menjalankan usaha melalui bentuk usaha tetap di negara lainnya,
laba perusahaan itu dapat dikenakan pajak di negara lainnya tersebut, tetapi hanya atas
jumlah penghasilan yang dianggap berasal dari:
1) Bentuk usaha tetap;
2) Penjualan barang yang dilakukan di negara lainnya atau barang dagangan dari jenis
yang sama atau serupa seperti yang dijual melalui bentuk usaha tetap; atau
3) Kegiatan usaha lainnya yang dijalankan di negara lain dari jenis yang sama atau serupa
seperti yang dilakukan melalui bentuk usaha tetap.
Jadi, negara sumber tempat BUT berkedudukan dapat memajaki atas penghasilan yang
berasal dari BUT itu sendiri (attribution income) maupun penghasilan dari penjualan barang
atau kegiatan lainnya yang sejenis dengan BUT (force of attraction income).
Dalam praktik, tidak semua P3B Indonesia memuat ketentuan hal pemajakan atas
penghasilan dari penjualan barang, atau kegiatan lainnya yang sejenis (force of attraction
rules), yaitu dengan negara berikut.
a. P3B Indonesia dengan Inggris.
b. P3B Indonesia dengan Jepang.
c. P3B Indonesia dengan Perancis.
d. P3B Indonesia dengan Seychelles.
e. P3B Indonesia dengan Singapura.
f. P3B Indonesia dengan Swiss.
g. P3B Indonesia dengan Turki.
Dalam P3B Indonesia dengan negara-negara tersebut diatas yang menjadi objek pajak BUT
hanyalah laba usaha dari BUT saja (atribution income). Laba usaha kantor pusat yang
berasal dari penjualan barang atau transaksi lainnya yang sejenis dengan yang dilakukan
BUT di Indonesia tidak dapat dianggap sebagai penghasilan BUT sehingga tidak boleh
dipajaki di Indonesia.
Selain penghasilan atribution income dan force of attraction income, yang menjadi objek
pajak untuk BUT dalam P3B adalah penghasilan berupa modal (dividen, bunga, royalti) yang
mempunyai hubungan efektif dengan BUT (effectively connected income). Ketentuan ini
dapat ditemukan pada pasal-pasal Model P3B menyangkut dividen (pasal 10), bunga (pasal
11), dan royalti (pasal 12).
Untuk menghitung PPh, dalam Model P3B dimuat ketentuan bahwa untuk menentukan
besarnya laba suatu BUT, dapat dikurangkan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
kepentingan usaha dari BUT tersebut, termasuk biaya administrasi kantor pusat yang
dikeluarkan, baik di negara dimana BUT itu berada ataupun tempat lain. Model P3B tidak
mengatur tarif pajak untuk BUT, sehingga dalam aplikasinya digunakan tarif pajak menurut
peraturan domestik masing-masing negara, dalam hal Indonesia diterapkan tarif pasal 17
Undang-Undang PPh.
9. Pemajakan Perusahaan Pelayaran dan Penerbangan
Menurut Model P3B, untuk pemajakan pesawat udara dalam jalur lalu lintas internasional
hanya akan dikenakan pajak di negara mitra P3B dimana perusahaan yang mengoperasikan
peswat udara tersebut menjadi penduduk/resident.
Untuk pemajakan sehubungan dengan pengoperasian kapal laut dalam jalur lalu lintas
internasional, penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diperoleh suatu perusahaan
penduduk negara mitra P3B yang berasal pengoperasian kapal-kapal dalam jalur lalu lintas
internasional dapat dikenakan pajak di Indonesia. Akan tetapi, pajak yang dikenakan tersebut
akan dikurangi dengan jumlah yang sama dengan 50 persen daripadanya.
Perlu diperhatikan bahwa yang dapat dipajaki di Indonesia dengan tarif sebesar 50% dari
tarif yang berlaku adalah penghasilan yang berasal dari Indonesia dari pengoperasian kapal
laut dalam jalur lalu lintas internasional. Penghasilan sehubungan dengan pengoperasian
kapal laut dalam jalur lalu lintas domestik Indonesia tunduk sepenuhnya pada peraturan
perundang-undangan Indonesia.
Istilah “lalu lintas internasional” mengacu kepada definisi yang diberikan P3B. Dalam Model
P3B Indonesia “lalu lintas internasional” berarti setiap pengangkutan oleh kapal laut atau
pesawat udara yang dioperasikan oleh perusahaan dari suatu negara pihak pada
persetujuan (negara domisili), kecuali jika kapal atau pesawat udara itu semata-mata
dioperasikan antara tempat-tempat di negara pihak lainnya (negara sumber).
10. Hubungan Istimewa
Pasal 9 Model P3B mengatur perlakuan hubungan istimewa. Apabila suatu transaksi
dipengaruhi hubungan istimewa, dimana dalam transaksi tersebut terdapat laba yang tidak
sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, maka negara pada pihak persetujuan
diberikan kewenangan untuk melakukan koreksi atas laba tersebut sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Ketentuan ini juga memberikan kewenangan negara yang mengikatkan diri dalam P3B
untuk melakukan correlative adjustment. Correlative adjustment adalah penyesuaian
penghitungan atas laba yang dikenai pajak sebuah perusahaan di suatu negara, sebagai
tindak lanjut atas suatu penyesuaian (primary adjustment) yang dilakukan oleh otoritas pajak
negara lain atas penghitungan laba yang dikenai pajak perusahaan di negara lain yang
menjadi lawan transaksi perusahaan tersebut.
11. Pemajakan Dividen
Pengertian dividen dalam Model P3B adalah pendapatan dari saham-saham atau hak-
hak lainnya yang bukan merupakan surat utag, namun ikut serta dalam pembagian
keuntungan, demikian halnya pendapatan dari hak-hak perseroan lainnya yang dalam hal
pengenaan pajaknya diperlakukan sebagai pendapatan dari saham menurut perudang-
undangan pajak negara di mana badan yang melakukan pembayaran berkedudukan.
Dalam Model P3B diatur bahwa dividen yang dibayarkan oleh suatu perusahaan yang
merupakan penduduk Indonesia kepada penduduk negara mitra P3B dapat dikenakan pajak,
naik di negara mitra P3B maupun di Indonesia. Namun demikian, jika Indonesia mengenakan
pajak, maka tarif pajak yang dikenakan tersebut tidak boleh melebihi persentase tertentu.
Pembatasan besarnya persentase tarif pajak yang dikenakan umumnya tergantung dari
besarnya persentase penyertaan modal yang disetor. Semakin besar persentase penyertaan
modal, biasanya tarif yang dikenakan semakin rendah.
Persentase tarif pajak atas dividen dibedakan atas penyertaan langsung (direct
investment) yang jumlahnya substansial dengan penyertaan lainnya (portfolio investment).
Penyertaan langsung (direct investment) apabila penyertaannya cukup besar, misalnya 25%
atau lebih. Tarif pajak yang dikenakan untuk dividen dari langsung (direct investment)
umumnya lebih rendah dibandingkan dengan penyertaan lainnya (portfolio investment).
Dalam Model P3B juga dimuat ketentuan mengenai perlakuan branch profit tax. Dalam
pasal 10 ayat (5) Model P3B diatur apabilla suatu perusahaan yang merupakan penduduk
suatu negara pihak pada persertujuan (negara domisili) memiliki bentuk usaha tetap di
negara pihak lainnya pada persetujuan (negara sumber), keuntungan dari bentuk usaha
tetap dapat dikenakan pajak tambahan di negara lainnya (negara sumber) sesuai dengan
hukum yang belaku, namun pajak tambahan yang dikenakan tidak akan melebihi………….
Persen dari jumlahlaba setelah dikurangi pajak penghasilan dan pajak-pajak lainnya atas
penghasilan yang dikenakan atasnya di negara lain (negara sumber). Persentase tarif branch
profit tax dalam P3B umumnya lebih rendah dibandingkan dengan tarif branch profit tax
sebagaimana diatur di pasal 26 ayat (4) Undang-Undang PPh yang ditentukan sebesar 20%.
12. Pemajakan Bunga
Pasal 11 Model P3B mengatur bahwa bunga yang timbul di Indonesia dan dibayarkan
kepada penduduk negara mitra P3B dapat dikenakan pajak di negara mitra P3B maupun di
Indonesia. Namun demikian, jika Indonesia mengenakan pajak, maka tarif pajak yang
dikenakan tersebut tidak boleh melebihi persentase tertentu.
Perlu diperhatikan berdasarkan pasal 11 ayat (3) Model P3B, bunga yang diterima oleh
pemerintah negara mitra P3B, termasuk pemerintah daerahnya, bagian ketatanegaraannya,
bank sentral, atau lembaga keuangan yang dikuasai oleh pemerintah tersebut, yang seluruh
modalnya dimiliki oleh pemerintah tersebut, akan dibebaskan dari pengenaan pajak di
Indonesia.
13. Pemajakan Royalti\
Pengertian royalti menurut Model P3B adalah pembayaran-pembayaran baik secara
periodik atau tidak, dan dalam bentuk atau nama apapun atau nomenklatur sejauh mana
mereka dibuat sebagai pertimbangan untuk:
a. Penggunaan, atau hak untuk menggunakan, setiap hak cipta, paten, desain atau model,
rencana, rumus rahasia atau proses, merek dagang, kekayaan atau hak lainnya; atau
b. Penggunaan, atau hak untuk menggunakan peralatan industrial, komersial atau ilmiah;
atau
c. Penyediaan pengetahuan teknis, industri atau perdagangan atau informasi; atau
d. Penyediaan bantuan yang merupakan tambahan untuk setiap kekayaan atau hak seperti
yang disebutkan dala huruf (a), setiap peralatan seperti disebutkan dalam huruf (b), atau
setiap pengetahuan atau informasi seperti disebutkan dalam huruf (c); atau
e. Penggunaan, atau hak untuk menggunakan:
1) Film-film gambar hidup (bioskop), atau
2) Film atau video yang digunakan dalam hubungannya dengan televisi, atau
3) Kaset untuk penggunaan yang terkait dengan penyiaran radio.
Berdasarkan Pasal 12 Model P3B, royalti yang berasal dari suatu Indonesia dan
dibayarkan kepada penduduk negara mitra P3B dapat dikenakan pajak di negara mitra P3B
maupun di Indonesia. Namun demikian, jika Indonesia mengenakan pajak, maka tarif pajak
yang dikenakan tersebut tidak boleh melebihi persentase tertentu.
14. Pemajakan Keuntungan Pengalihan Harta
Pemajakan atas keuntungan pengalihan harta (capital gain) sangat tergantung dari jenis
harta yang dialihkan. Dalam Model P3B, pemajakan atas keuntungan pengalihan harta dibagi
menjadi beberapa hal, yaitu: keuntungan pengalihan harta tak gerak, keuntungan pengalihan
harta BUT, keuntungan pengalihan harta terkait dengan pelayaran dan penerbangan
internasional, serta keuntungan pengalihan harta lainnya.
a. Keuntungan pengalihan harta tak gerak
Menurut rumusan Model P3B, keuntungan yang diperoleh penduduk negara mitra P3B
dari pemindahtanganan harta tak gerak dan terletak di Indonesia dapat dikenakan pajak
di Indonesia.
b. Keuntungan pengalihan harta BUT
Keuntungan dari pemindahtanganan harta tak gerak yang merupakan bagian kekayaan
suatu bentuk usaha tetap termasuk keuntungan dari pemindahtanganan bentuk usaha
tetap (tersendiri atau dengan seluruh perusahaan) yang terletak di Indonesia dapat
dikenakan pajak di Indonesia (negara tempat BUT terletak).
c. Keuntungan pengalihan harta terkait dengan pelayaran dan penerbangan internasional
Keuntungan dari pemindahtanganan kapal atau pesawat udara yang dioperasikan
dalam jalur lalu lintas internasional, kapal yang terlibat dalam transportasi perairan
pedalaman atau harta bergerak yang terkait dengan pengoperasian kapal, pesawat, atau
perahu, hanya akan dikenakan pajak di negara domisili.
d. Keuntungan pengalihan harta lainnya
Keuntungan pengalihan harta lainnya berdasarkan P3B dipajaki di negara tempat pihak
yang memperoleh penghasilan tersebut menjadi penduduk (negara domisili).
15. Pemajakan Penghasilan dari Pekerjaan Bebas
Istilah “jasa-jasa profesional” menurut Model P3B meliputi kegiatan-kegiatan bebas di
bidang ilmu pengetahuan, kesusasteraan, kesenian, kependidikan, atau pengajaran, dan
juga pekerjaan-pekerjaan bebas yang dilakukan oleh dokter, insinyur, pengacara, dokter gigi,
arsitek, dan akuntan.
Sesuai dengan pasal 14 Model P3B, penghasilan yang diperoleh penduduk negara mitra
P3B sehubungan dengan jasa profesional atau pekerjaan bebas lainnya akan dikenakan
pajak di negara mitra P3B, kecuali jika ia memiliki tempat usaha tetap yang tersedia baginya
secara teratur di Indonesia untuk tujuan melakukan kegiatan-kegiatannya atau ia berada di
Indonesia untuk suatu masa atau periode secara keseluruhan melebihi…….. hari dalam
jangka wakt dua belas bulan (melebihi time test). Lamanya time test atau jumlah hari dalam
tanda titik-titik tersebut ditentukan kedua negara ketika melakukan perundingan P3B.
Dari ketentuan tersebut, terdapat dua hal yang menentukan apakah negara sumber dapat
memajaki, yaitu sebagai berikut.
a. Adanya tempat usaha tetap yang terletak di Indonesia untuk melakukan kegiatan bebas.
b. Keberadaan di Indonesia melebihi time test.
16. Pemajakan Penghasilan Karyawan
Sesuai Pasal 15 Model P3B Indonesia, penghasilan berupa gaji, upah, dan imbalan
serupa lainnya yang diperoleh penduduk negara mitra P3B sehubungan dengan pekerjaan
akan dikenakan pajak di negara mitra P3B, kecuali pekerjaan tersebut dilakukan di
Indonesia. Jika pekerjaan tersebut dilakukan di Indonesia, maka atas penghasilan tersebut
dapat dikenakan di Indonesia. Jadi, Indonesia dapat memajaki sepanjang pekerjaan
dilakukan di Indonesia. Namun demikian, imbalan yang diperoleh penduduk negara mitra
P3B dari pekerjaan yang dilakukan di Indonesia hanya akan dikenakan pajak di negara mitra
P3B, jika:
a. Penerima imbalan tersebut berada di Indonesia untuk suatu masa atau periode tidak
melebihi……… hari dalam jangka waktu dua belas bulan (titik-titik tersebut merupakan
time test) dimulai atau berakhir dalam tahun pajak yang bersangkutan; dan
b. Imbalan tersebut dibayarkan oleh, atau atas nama, seorang pemberi kerja yang bukan
merupakan penduduk Indonesia; dan
c. Imbalan tersebut tidak menjadi beban suatu bentuk usaha tetap atau tempat usaha tetap
yang dimiliki oleh pemberi kerja di Indonesia.
Ketiga syarat tersebut bersifat kumulatif, artinya jika ketiga syarat tersebut dipenuhi
Indonesia tidak boleh memajaki. Namun, apabila satu atau lebih syarat tidak dipenuhi maka
Indonesia dapat memajaki. Penentuan hak pemajakan negara sumber juga bisa dilihat dari
time test. Apabila pekerjaan yang dilakukan di negara sumber sudah melebihi time test, maka
negara sumber berhak memajaki.
17. Pemajakan Direktur
Sesuai pasal 16 Model P3B, imbalan yang diterima direktur dan pembayaran-pembayaran
serupa lainnya yang diperoleh penduduk negara mitra P3B dalam kedudukannya sebagai
anggota dewan direktur dari sebuah perusahaan yang merupakan penduduk Indonesia
dapat dikenakan pajak di Indonesia. Pemajakan atas penghasilan direktur berbeda dengan
pemajakan atas penghasilan dari pekerjaan bebas dan karyawan. Perbedaannya, yaitu untuk
pemajakan atas penghasilan direktur tidak memerlukan time test.
18. Pemajakan Artis dan Olah Ragawan
Sesuai pasal 17 Model P3B penghasilan yang diperoleh penduduk negara mitra P3B
sebagai penghibut, seperti artis teater, film, radio atau artis televisi atau pemain musik
sebagai olahragawan, dari kegiatan-kegiatan sebagai orang pribadi dilakukan di Indonesia,
dapat dikenakan pajak di Indonesia. Dalam hal penghasilan yang berkenaan dengan
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh artis atau atlet tersebut tidak diterima oleh artis atau
atlet itu sendiri, tetapi orang/badan lainnya, Indonesia tetap berhak memajaki penghasilan
tersebut.
Perlu diperhatikan penghasilan artis dan atlet ini akan dipajaki di Indonesia tanpa melihat
berapa lama artis dan atlet tersebut berada di Indonesia, tetapi mempertimbangkan apakah
kegiatan yang dilakukan di Indonesia dalam rangka kegiatannya sebagai
artis/penghibur/atlet.
Menyimpang dari ketentuan-ketentuan diatas, penghasilan yang diperoleh artis dan atlet
dari kegiatan-kegiatan mereka tersebut di negara sumber akan dibebaskan dari pengenaan
pajak di negara sumber jika kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka suatu
kunjungan secara substansial didukung oleh salah satu atau kedua negara yang terikat
persetujuan.
19. Pemajakan Pensiun
Sesuai dengan pasal 18 Model P3B, setiap pensiun atau imbalan sejenis lainnya yang
dibayarkan kepada penduduk negara mitra P3B yang bersumber dari Indonesia dengan
mempertimbangkan dari pekerjaan sebelumnya dilakukan di Indonesia dapat dikenakan
pajak di Indonesia. Dengan kata lain, sepanjang pekerjaan sebelumnya dilakukan di
Indonesia maka Indonesia dapat memajaki.
20. Pemajakan Pegawai Pemerintah
Sesuai pasal 19 Model P3B gaji, upah dan imbalan lainnya yang serupa, selain pensiun,
yang dibayarkan oleh negara mitra P3B, atau bagian ketatanegaraan, atau pemerintah
daerahnya kepada seseorang sehubungan dengan jasa yang diberikan kepada negara mitra
P3B atau bagian ketatanegaraannya atau pemerintah akan dikenakan pajak hanya di negara
mitra P3B. namun, gaji upah dan imbalan serupa lainnya hanya akan dikenakan pajak di
Indonesia apabila jasa-jasa tersebut dilakukan di Indonesia dan orang tersebut adalah
penduduk Indonesia yang:
a. Merupakan warga negara Indonesia; atau
b. Tidak menjadi penduduk Indonesia semata-mata hanya untuk maksud memberikan
jasa-jasa tersebut.
21. Pemajakan Guru dan Peneliti
Sesuai pasal 20 Model P3B, seseorang yang segera sebelum mengunjungi Indonesia
merupakan penduduk negara mitra P3B yang datang atas undangan dari pemerintah
Indonesia atau atas undangan universitas, perguruan tinggi, sekolah, museum atau lembaga
budaya lainnya yang berada di Indonesia atau berdasarkan program resmi pertukaran
kebudayaan, hadir di Indonesia untuk masa yang tidak melebihi dua tahun berturut-turut dan
semata-mata untuk tujuan mengajar, memberikan kuliah atau melakukan penelitian di
lembaga dimaksud akan dibebaskan dari pengenaan pajak di Indonesia atas imbalan yang
diterima dari kegiatan tersebut, asalkan pembayaran imbalan tersebut diperoleh dari luar
Indonesia (bukan dari Indonesia).
22. Pemajakan Pelajar dan Pemagang
Sesuai pasal 21 Model P3B atas pembayaran yang diterima oleh pelajar atau peserta
pelatihan bisnis (pemagang) yang pada saat atau segera sebelum mengunjungi Indonesia
merupakan penduduk negara mitra P3B dan yang berada di Indonesia semata-mata untuk
keperluan hidupnya, pendidikan atau pelatihan tidak akan dikenakan pajak di Indonesia,
asalkan pembayaran-pembayaran tersebut timbul dari sumber dari luar Indonesia (tidak
berasal dari Indonesia).
23. Pemajakan Penghasilan Lain-Lain
Ketentuan pemajakan atas penghasilan lain-lain (other income) pada Model P3B diatur di
Pasal 22. Berdasarkan Model P3B, jenis-jenis penghasilan penduduk negara mitra P3B, dari
manapun asalnya, yang tidak diatur pada pasal-pasal terdahulu dalam P3B, selain
penghasilan dalam bentuk lotere, hadiah akan dikenakan pajak di negara mitra P3B. jadi,
pada prinsipnya menurut Model P3B penghasilan lain-lain dikenakan di negara mitra P3B,
kecuali untuk penghasilan dalam bentuk lotere dan hadiah dapat dipajaki di Indonesia.
24. Metode Penghindaran Pajak Berganda
Metode penghindaran pajak berganda dalam Model P3B Indonesia diatur di pasal 23.
Ketentuan ini pada dasarnya mengatur perlakuan perpajakan terhadap penduduk di masing-
masing negara atas penghasilan yang dikenakan pajak negara sumber (di luar negeri).
Metode penghindaran pajak berganda dalam Model P3B sejalan dengan perlakuan kredit
pajak luar negeri yang diatur dalam Pasal 24 UU PPh. Karena Indonesia menganut metode
kredit pajak maka metode yang dianut dalam Model P3B sejalan metode tersebut. Apabila
penduduk dari suatu negara pihak pada persetujuan (negara domisili)
memperolehpenghasilan dari negara pihak lainnya pada persetujuan (negara sumber),
jumlah pajak atas penghasilan yang terutang di negara pihak lainnya pada persetujuan
(negara sumber) sesuai dengan ketentuan Model P3B, dapat dikreditkan terhadap pajak
yang dikenakan terhadap penduduk tersebut di negara pihak pada persetujuan yang disebut
pertama (negara domisili). Namun demikian, jumlah kredit pajak tersebut, tidak akan melebihi
jumlah pajak atas penghasilan di negara pihak pada persetujuan yang disebut pertama
(negara domisili) yang dihitung sesuai dengan undang-undang dan peraturan
pelaksanaannya.
25. Ketentuan Non-Diskriminasi
Berdasarkan Psal 24 ayat (1) Model P3B Indonesia, warga negara dari suatu negara pihak
pada persetujuan tidak akan dikenakan pajak atau kewajiban apapun yang berkaitan dengan
pengenaan pajak di negara pihak lainnya pada persetujuan yang berlainan atau lebih
memberatkan dari pengenaan pajak dan kewajiban-kewajiban yang dimaksud, yang dapat
dikenakan terhadap warga negara dari negara lainnya dalam keadaan yang sama.
Pengenaan pajak atas bentuk usaha tetap yang dimiliki oleh suatu perusahaan dari
negara pihak pada persetujuan di negara pihak lainnya pada persetujuan, tidak akan
dilakukan dengan cara yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan pengenaan pajak
terhadap perusahaan-perusahaan yang menjalankan kegiatan-kegiatan yang sama di
negara lainnya. Ketentuan ini tidak akan diartikan sebagai mewajibkan suatu negara pihak
pada persetujuan untuk memberikan kepada penduduk negara pihak lainnya pada
persetujuan suatu potongan perseorangan, keringanan-keringanan dan pengurangan-
pengurangan untuk kepentingan perpajakan yang merupakan beban status sipil atau
tanggung jawab keluarga yang diberikan kepada penduduknya sendiri.
Perusahaan dari suatu negara pihak pada persetujuan, dimana seluruh atau sebagian
modalnya dimiliki atau dikendalikan, baik secara langsung maupun tidak langsung oleh satu
atau lebih penduduk negara pihak lainnya pada persetujuan, tidak akan dikenakan pajak atau
kewajiban apapun yang berhubungan dengan itu di negara pihak pada persetujuan yang
disebut pertama yang berlainan atau lebih memberatkan daripada pengenaan pajak ataupun
kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan itu, jika dibandingkan dengan pengenaan pajak
terhadap perusahaan lain yang serupa dari negara pihak pada persetujuan yang disebut
pertama.
Bunga, royalti dan pengeluaran pembayaran-pembayaran lainnya akan dibayar oleh
suatu perusahaan di negara pihak dari persetujuan kepada penduduk negara pihak dari
persetujuan lainnya, untuk kepentingan penentuan pajak atas keuntungan dari perusahaan,
menjadi berkurang sesuai dengan kondisi-kondisi seolah-olah itu telah dibayarkan kepada
penduduk negara yang disebutkan pertama. Hal yang sama, setiap utang dari suatu
perusahaan negara pihak terhadap penduduk dari negara pihak lainnya, untuk kepentingan
penentuan pajak atas modal dari perusahaan, menjadi berkurang sesuai dengan kondisi-
kondisi yang telah diatur dalam perjanjian terhadap penduduk dari negara yang disebut
pertama.
26. Persetujuan Bersama
Pasal 25 ayat (1) Model P3B Indonesia mengatur bahwa apabila penduduk suatu negara
pihak pada persetujuan menganggap bahwa tindakan-tindakan salah satu atau kedua
negara pihak pada persetujuan mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak
yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan persetujuan ini, maka terlepas dari cara-cara
penyelesaian yang diatur dalam perundang-undangan nasional di masing-masing negara, ia
dapat mengajukan masalahnya kepada pejabat yang berwenang di negara pihak pada
persetujuan dimana ia menjadi penduduk negara itu, atau jika masalahnya menyangkut dari
ayat 1 Pasal 24, kepada pejabat-pejabat yang berwenang di negara dimana ia menjadi warga
negara. Masalah tersebut harus diajukan dalam waktu dua tahun sejak tanggal diterimanya
pemberitahuan mengenai tindakan yang menimbulkan pengenaan pajak yang tidak sesuai
dengan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan ini.
Pejabat yang berwenang akan berusaha, apabila keberatan yang diajukan kepadanya itu
beralasan dan apabila ia tidak dapat mencapai suatu penyelesaian yang memuaskan, akan
berusaha menyelesaikannya masalah itu melalui persetujuan bersama antara pejabat yang
berwenang dari negara pihak lainnya pada persetujuan dengan maksud untuk
menghindarkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan persetujuan ini.
Pejabat yang berwenang dari negara pihak pada persetujuan akan berusaha untuk
menyelesaikan setiap kesulitan ataupun keraguan-keraguan yang timbul dalam penafsiran
ataupun pelaksanaan persetujuan. Mereka dapat pula saling berkonsultasi bersama untuk
mencegah terjadinya pajak berganda dalam hal tidak diatur dalam persetujuan ini.
Pejabat yang berwenang dari negara pihak pada persetujuan dapat saling berhubungan
secara langsung dengan tujuan untuk mencapai persetujuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat-ayat terdahulu. Pejabat-pejabat yang berwenang, melalui konsultasi akan menetapkan
prosedur-prosedur, syarat-syarat, cara-cara dan teknik-teknik yang sesuai untuk merealisir
prosedur persetujuan bersama yang diatur dalam pasal ini.
27. Pertukaran Informasi
Berdasarkan pasal 26 ayat (1) Model P3B Indonesia, pejabat-pejabat yang berwenang
dari kedua negara pihak pada persetujuan akan melakukan tukar-menukar informasi yang
diperlukan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan ini atau untuk
melaksanakan undang-undang nasional negara masing-masing mengenai pajak yang
dicakup dalam negara yang bersangkutan tidak bertentangan dengan persetujuan ini,
khususnya untuk mencegah terjadinya penggelapan atau penyeludupan pajak. Pertukaran
informasi tidak dibatasi oleh ketentuan pasal 1. Setiap informasi yang diterima oleh suatu
negara pihak pada persetujuan akan dijaga kerahasiaannya dengan cara yang sama seperti
apabila informasi itu diperoleh berdasarkan perundang-undangan nasional negara tersebut.
Bagaimanapun, informasi yang dianggap rahasia itu hanya dapat diungkapkan kepada orang
atau badan atau pejabat-pejabat (termasuk pengadilan dan badan-badan administratif) yang
berkepentingan dalam penetapan atau penghindaran pajak, pelaksanaan undang-undang
atau penuntutan, atau dalam memutuskan keberatan berkenaan dengan pajak-pajak yang
dicakup dalam Persetujuan ini. Orang dan badan serta para pejabat tersebut hanya boleh
memberikan informasi itu untuk maksud tersebut diatas. Namun demikian, dapat juga
mengungkapkan informasi itu di dalam pengadilan umum atau dalam pengambilan
keputusan pengadilan.
Namun, ketentuan-ketentuan dalam ayat 1 sama sekali tidak dapat ditafsirkan sedemikian
rupa sehingga membebankan kepada negara pihak pada persetujuan kewajiban untuk:
a. Melaksanakan tindakan-tindakan administratif yang bertentangan dengan perundang-
undangan dan praktik administrasi yang berlaku di negara tersebut ataupun di negara
pihak lainnya pada persetujuan;
b. Memberikan informasi yang tidak mungkin diperoleh berdasarkan perundang-undangan
atau dalam praktik admnistrasi yang lazim di negara tersebut ataupun di negara pihak
lainnya pada persetujuan;
c. Memberikan informasi yang mengungkapkan setiap rahasia di bidang perdagangan,
usaha, industri, perniagaan atau keahlian atau tata cara perdagangan, atau informasi
lainnya yang pengungkapannya bertentangan dengan kebijaksanaan umum.
28. Bantuan Pemungutan Pajak
Dalam pasal 27 OECD Model dan pasal 27 UN Model dimuat ketentuan tentang bantuan
pemungutan pajak (assistance in the collection of taxes). Pada intinya, dalam ketentuan
tersebut diatur bahwa salah satu negara pihak persetujuan dapat meminta bantuan kepada
negara lainnya untuk melakukan penagihan pajak yang terutang. Ketentuan bantuan
penagihan pajak ini tidak terdapat dalam Model P3B Indonesia. P3B Indonesia yang berlaku
saat ini hanya dengan beberapa negara saja yang mengatur mengenai bantuan penagihan
pajak, yaitu Aljazair, Amerika Serikat, Belgia, Mesir, Venezuela, Filipina, Vietnam, dan
Yordania.
Dalam ketentuan domestik Indonesia menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-42/PJ/2011, permintaan bantuan penagihan pajak antara pemerintah Indonesia dengan
pemerintah negara mitra dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui Direktur
Peraturan Perpajakan II setelah menerima surat permintaan dari unit Direktorat Jenderal
Pajak. Permintaan Bantuan Penagihan Pajak oleh Direktur Peraturan Perpajakan II tersebut
dapat dilakukan kepada competent authority negara mitra P3B atas utang pajak
sebagaimana terdapat dalam surat ketetapan pajak, surat tagihan pajak, surat keputusan
pembetulan, surat keputusan keberatan atau putusan banding, atau putusan peninjauan
kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.
Pelaksanaan dan ruang lingkup bantuan penagihan pajak dilakukan berdasarkan ketentuan
bantuan penagihan pajak yang terdapat dalam P3B.
29. Perlakuan Diplomat
Berdasarkan pasal 27 Model P3B Indonesia, persetujuan P3B tidak akan mempengaruhi
hak-hak istimewa di bidang fiskal dari para pejabat diplomatik atau konsuler berdasarkan
peraturan umum dalam hukum internasional atau berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam
suatu persetujuan khusus.
30. Pemberlakuan P3B
Berdasarkan pasal 28 Model P3B Indonesia, persetujuan P3B akan mulai berlaku pada
tanggal terakhir dimana masing-masing pemerintah saling memberitahu secara tertulis
bahwa persyaratan konstitusional formal yang diperlukan di masing-masing negara yang
telah dipenuhi. Ketentuan-ketentuan persetujuan ini akan berlaku:
a. Mengenai pajak yang dipotong pada sumber penghasilan, untuk penghasilan yang
diperoleh pada atau setelah tanggal 1 Januari tahun takwim berikutnya sesudah
berlakunya persetujuan ini;
b. Mengenai pajak penghasilan lainnya, tahun pajak dimulai pada atau setelah tanggal 1
Januari tahun takwim berikutnya sesudah tahun berlakunya persetujuan ini.
31. Penghentian P3B
Berdasarkan pasal 29 Model P3B Indonesia, persetujuan P3B akan tetap berlaku smapai
diakhiri oleh salah satu negara pihak pada persetujuan. Masing-masing negara pihak pada
persetujuan dapat mengakhiri berlakunya persetujuan ini, melalui saluran-saluran diplomatik,
dnegan menyampaikan pemberitahuan tertulis tentang berakhirnya persetujuan pada atau
sebelum hari ke-30 pada bulan Juni setiap tahun takwim berikutnya setelah jangka waktu 5
tahun sejak berlakunya persetujuan. Dalam hal demikian, persetujuan ini akan berlaku:
a. Mengenai pajak yang dipotong pada sumber penghasilan, untuk penghasilan yang
diperoleh pada atau setelah tanggal 1 Januari tahun takwim berikutnya setelah
pemberitahuan berakhirnya persetujuan diberikan;
b. Mengenai pajak-pajak penghasilan lainnya, untuk tahun-tahun pajak yang dimulai pada
atau setelah tanggal 1 Januari tahun takwim berikutnya setelah pemberitahuan
berakhirnya persetujuan diberikan.
LATIHAN SOAL
A. Tentukan Pernyataan dibawah ini dengan menuliskan B (Benar) atau S (Salah)
1. Pengenaan pajak di setiap negara memiliki kebijakan perpajakan yang berbeda-beda
diantaranya ada yang mempunyai kebijakan pengenaan pajak secara world wide income dan
beberapa negara lain hanya mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari
negara itu saja …
2. Tujuan diadakannya P3B yaitu agar tidak terjadi pemajakan berganda atas penghasilan yang
sama yang diperoleh oleh subjek pajak yang berbeda dengan cara membatasi hak
pemajakan suatu negara untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan tersebut …
3. Transaksi lintas batas negara (cross border transaction) sangat memungkinkan terjadinya
pengenaan pajak berganda yuridis internasional …
4. Pajak berganda yuridis internasional akan membantu transaksi barang dan jasa, aliran
modal, perpindahan teknologi dan sumber daya manusia …
5. Tujuan lan dari P3B adalah memfasilitasi kerjasama antar dua negara dalam rangka
mencegah praktik penghindaran pajak, seperti kesepakatan mengenai pertukaran informasi
dan bantuan penagihan pajak …
6. Asas sumber penghasilan lebih diutamakan karena negara berkembang umumnya yang
menggunakan jasa dan yang menerima modal dari dalam negeri, sehingga UN Model lebih
menerapkan pemajakan yang berasal dari negara yang memberi penghasilan …
7. Orang pribadi yang menjadi penduduk pada kedua negara yang terikat persetujuan, status
kependudukannya aka dianggap sebagai penduduk suatu negara yang terikat persetujuan
di mana ia mempunyai tempat tinggal tetap …
8. Model P3B untuk BUT jasa selain konstruksi memberikan peluang time test yang lebih
panjang untuk kegiatan pemberian jasa daripada time test untuk BUT aktivitas menurut UU
PPh yaitu selama 30 hari dengan jangka waktu 12 bulan …
9. Hak pemajakan dalam Model P3B menggunakan dua pendekatan untuk mencegah pajak
berganda diantaranya bahwa penghasilan yang dapat dipajaki di negara sumber akan
diterapkan metode penghindaran pajak berganda di negara domisili, yaitu exemption method
and credit method …
10. Penghasilan yang diperoleh artis dan atlet dari kegiatan-kegiatan mereka di negara sumber
tetap akan dikenakan pajak di negara sumber itu sendiri jika kegiatan-kegiatan tersebut
dilakukan dalam rangka suatu kunjungan yang secara substansial didukung oleh salah satu
negara yang terikat persetujuan …
B. Jawablah pertanyaan dibawah ini secara jelas dan lengkap!
1. Apa yang dimaksud dengan setiap negara memiliki kedulatan penuh dalam mengenakan
pajak yang ada didalam negaranya? Jelaskan berikut dengan contoh!
2. Mengapa dalam suatu transaksi internasional memiliki kemungkinan besar dikenakan pajak
secara berganda atau double taxation? Jelaskan berikut dengan contoh!
3. Apa perbedaan antara tax treaty dan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda?
4. Apa yang akan terjadi apabila Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tidak bersifat lex
specialis? Jelaskan berikut dengan contoh!
5. Siapa yang menentukan model P3B suatu negara menggunakan UN Model atau OECD
Model?
6. Apakah diperbolehkan apabila suatu negara tidak menggunakan model P3B UN Model atau
OECD? Mengapa?
7. Apa yang melatarbelakangi didalam judul P3B menggunakan istilah agreement bukan
convention?
8. Jenis pajak apa saja yang diatur dalam P3B?
9. Apa pengertian penduduk untuk negara Malaysia?
10. Jika dilihat dari P3B antara Indonesia dengan Thailand apabila terjadi transaksi pembayaran
dividen yang berasal dari negara Indonesia kepada salah satu warga negara Thailand negara
manakah yang berhak memajaki atas transaksi tersebut? Sebutkan pasal yang dijadikan
dasar jawaban Anda!
BAB 10 TAX HAVEN COUNTRY
A. Penyebab Adanya Tax Haven Country
Fenomena tax havens timbul sebagai reaksi manusia sebagai homo ekonomikus terhadap
ketentuan pajak di negara tempatnya tinggal yang lebih tinggi dibandingkan dengan tarif pajak di
negara tax havens. Rasionalistas ekonomi yang dipicu oleh profit motive inilah yang menjadi
alasan mengapa mereka memindahkan uangnya ke negara tax havens. Banyaknya tax havens
countries jelas mengganggu negara lain, dan ini menjadi salah satu tantangan yang dihadapi
OECD. Untuk memudahkan operasionalitasnya, modus operandi yang dilakukan oleh negara-
negara tax havens adalah undang-undang dan kebijakannya dibuat sedemikian rupa agar bisa
dipergunakan untuk menghindari atau mengelabui ketentuan pajak dari negara lain.

B. Pengertian Tax Haven Country


Prof. D. Larry Crumbley, CPA, Ph.D,. Jack P. Friedman, CPA, Ph.D., dan Susan B. Andrers,
CPA, M.S dalam Dictionary of Tax Term (1994: 297) mendefiniskan tax haven:
“A jurisdiction that allows transactions to take place in conditions of extreme secrecy that may
allows tax payers to avoid taxation. “
“Tax haven adalah suatu yuridikasi yang membolehkan transaksi berlangsung dalam kondisi
yang sangat dirahasiakan yang melagisasi wajib pajak menghindari pajak.”
Secara nomenklatur, tax havens merupakan tempat yang menwarkan lingkungan kegitan
usaha dengan bebas pajak atau dengan pajak minimal (Gunadi, 2007: 284)
Tax haven country adalah kebijakan pajak suatu negara yang dengan sengaja memberikan
fasilitas pajak, berupa penetapan tarif pajak yang rendah atau bahkan tidak mengenakan pajak
sama sekali. Hal ini bertujuan agar penghasilan penduduk negara lain bisa dialihkan ke negara
tersebut. Arti dari tax haven pada UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan pasal
18 ayat (3c) menyebutkan bahwa tax haven adalah negara yang memberikan perlindungan
pajak. Sedangkan SE Dirjen Pajak Nomor SE-04/PJ.7/1993 menyebutkan bahwa kriteria tax
haven, adalah (a) Negara yang tidak memungut pajak, atau (b) Memungut pajak lebih rendah
dari Indonesia. Namun kriteria yang umum diterima oleh masyarakat internasional adalah kriteria
yang disusun oleh OECD. Pada Harmful Tax Competition, An Emerging Global Issue, OECD
membagi dua jenis negara, yaitu tax haven dan harmful preferential tax. Kriteria tax haven adalah
sebagai berikut:
a. Tidak memungut pajak dalam nominal tertentu saja (tidak berdasarkan presentase),
b. Tidak ada atau tidak efektifnya mekanisme exchange of information,
c. Tidak adanya transparansi dalam administrasi pajak,
d. Adanya kebijakan ring fencing (adanya perbedaan perlakuan perpajakan bagi residen
dan non residen).
Definisi tax haven country bisa berbeda-beda di masing-masing negara, tergantung dari
ketentuan masing-masing negara mendefinisikan tax haven country (Darussalam, 2007). Jepang
mengategorikan suatu negara merupakan tax haven country jika beban pajak yang
sesungguhnya dibayar kurang dari 25% dari penghasilan kena pajak. Jepang mengategorikan
suatu negara merupakan tax haven country jika beban pajak yang sesungguhnya dibayar kurang
dari 15% dari penghasilan kena pajak. Prancis mengategorikan suatu negara sebagai tax haven
country jika pajak terutang di negara tersebut jumlahnya kurang dari 66,67% dari pajak yang
terutang seandainya penghasilan tersebut dihitung berdasarkan ketentuan perpajakan Prancis.
Inggris mengklasifikasikan suatu negara sebagai tax haven country jika pajak terutang di negara
tersebut jumlahnya kurang dari 75% dari pajak yang terutang seandainya penghasilan tersebut
dihitung berdasarkan ketentuan perpajakan Inggris.
The United States Government Accountability Office memberikan 5 karakteristik tax havens
country, yaitu sebagai berikut.
a. Tidak ada pajak atau pajak hanya nominal saja.
b. Tidak adanya pertukaran informasi perpajakan dengan negara lain.
c. Tidak ada transparansi dalam pelaksanaan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.
d. Tidak ada kewajiban bagi badan usaha asing untuk berada secara fisik pada negara itu.
e. Mempromosikan negara atau wilayahnya sebagai offshore financial center.
OECD mengakui bahwa setiap negara memiliki hak untuk menentukan apakah perlu
memberlakukan pajak langsung (pajak penghasilan) dan mengenakan pajak dengan tarif tertentu
yang sesuai kepentingan negaranya. Analisis faktor-faktor kunci lainnya yang dibutuhkan untuk
suatu negara untuk dianggap sebagai tax haven. Tiga faktor lain yang perlu dipertimbangkan
adalah sebagai berikut.
a. Tidak ada transparansi.
b. Memiliki ketentuan dan praktek administrasi yang menghambat pertukaran informasi dengan
negara lain terkait dengan wajib pajak yang mendapat keuntungan dari tidak adanya
pengenaan pajak.
c. Tidak ada kewajiban untuk adanya aktivitas secara substansial.
Sebagai ganti dari penerimaan negara berupa pajak, yang menjadi sumber penghasilan
utama bagi tax haven country adalah biaya pendirian perusahaan, iuran tahunan dan biaya untuk
jasa-jasa tambahan lainnya (Pribadi, 2004). Berikut ini beberapa kategori fasilitas perpajakan
yang membuat negara-negara tersebut dianggap sebagai tax haven country atau menyerupai tax
haven country.
a. Negara tidak mengenakan pajak sama sekali. Contohnya Bahama, Bahrain, Bermuda,
Cayman Island, Monaco, dan Nauru. Negara-negara ini memberikan fasilitas tidak ada pajak
atas penghasilan atau keuntungan atau pendapatan, capital gain atau atas kekayaan.
b. Negara mengenakan pajak langsung, namun dengan tarif relatif rendah. Contohnya British
Virgin Island, Channel Island, Swiss, Hongkong (sebelum bergabung dengan China 1999).
Di negara-negara ini pajak atas penghasilan atau keuntungan atau pendapatan, capital gain
atau atas kekayaan tetap ada tapi tarif yang digunakan relatif sangat rendah.
c. Negara yang menerapkan teritorial dalam mengenakan pajak. Contohnya Costa Rica,
Liberia, Malaysia, Panama, Philipina. Negara-negara ini mengenakan pajak atas
penghasilan yang hanya berasal dari dalam negeri (domestic source of income) dan
membebaskan pajak penghasilan yang berasal dari luar negeri.
d. Negara yang memiliki tax treaty dengan negara lain yang mengenakan tarif pajak tinggi.
Contohnya British Virgin Island (dengan USA), Cyprus (dengan USA) dan Netherland Antilles
(dengan USA). Negara ini menjadikan negaranya sebagai alternatif utama tax haven.
e. Negara memberikan fasilitas tertentu untuk aktivitas khusus. Contohnya Inggris, Denmark
dan Belanda. Negara ini disebut juga sebagai secondary tax haven atau tidak murni sebagai
tax haven, karena hanya menyediakan fasilitas tertentu dan tidak seluruh kebijakan
perpajakan berorientasi kepada tax haven. Fasilitas ini umumnya menyangkut penarikan
modal dari luar negeri untuk ditanamkan di negara tersebut.
f. Negara yang menampung pencucian uang haram. Contoh Bahama, Panama, Cook Island,
Niue, Republik Dominika, Israel, Libanon, Rusia, Kepulauan Marshall, Republik Nauru,
Filipina, Liechstein, St Kitts Navis, Vincent dan Grenadines. Negara-negara ini disebut
sebagai surga uang haram karena sebagai tempat menampung pencucian uang haram
(money laundring) hasil dari bisnis ilegal. Fasilitas yang disediakan menyangkut tidak
diusutnya asal muasal uang tersebut dan negara ini merupakan bagian tahap layering dari
proses praktik money laundring.
Pada KTT G20 London pada tanggal 2 April 2009, negara-negara G20 sepakat untuk
mengumumkan daftar hitam (black list) tax haven country, yang diklasifikasikan dalam 4 kategori
berdasarkan standar yang disepakati secara internasional (internationally agreed tax standard).
Daftar hitam tersebut pertama kali diterbitkan oleh OECD, dan telah diperbaharui pada tanggal 2
April 2009 dalam rangka pertemuan G20 di London. Perubahan berikutnya dibuat 7 April 2009
untuk mengeluarkan beberapa negara yang masuk dalam kategori tidak kooperatif. Keempat
kategori tersebut adalah seperti berikut.
1. Negara yang telah secara substansial menerapkan standar (Those that have substantially
implemented the standard) termasuk negara-negara seperti Argentina, Australia, Brazil,
Kanada, Cina, Republik Ceko, Prancis, Jerman, Yunani, Guernsey, Hungaria, Irlandia, Italia,
Jepang, Jersey, Isle of Man, Meksiko, Belanda, Polandia, Portugal, Rusia, Slowakia, Afrika
Selatan, Korea Selatan, Spanyol, Swedia, Turki, Uni Emirat Arab, Inggris, dan Amerika
Serikat.
2. Tax havens yang mempunyai komitmen, tetapi belum sepenuhnya mengimplementasikan
standar (Tax havens that have committed to – but not yet fully implemented – the standard)
termasuk Andorra, Bahama, Cayman Islands, Gibraltar, Liechtenstein, dan Monako.
3. Pusat-pusat keuangan yang telah berkomitmen tetapi belum sepenuhnya
mengimplementasikan standar (Financial centres that have committed to – but not yet fully
implemented – the standard) termasuk Chile, Costa Rika, Malaysia, Filipina, Singapura,
Swiss, Uruguay dan tiga negara Uni Eropa - Austria , Belgia, dan Luxemburg).
4. Mereka yang belum berkomitmen pada standar (Those that have not committed to the
standard).
Negara-negara di tingkat bawah standar (Those that have not committed to the standard)
digolongkan sebagai negara-negara yang tidak kooperatif (non cooperative tax haven). Uruguay
awalnya diklasifikasikan sebagai yang tidak kooperatif. Namun, setelah permohonan banding
OECD menyatakan bahwa telah memenuhi ketentuan transparansi dan bergerak ke atas dari
daftar. Filipina sudah dilaporkan sudah mengambil langkah untuk menghapus dirinya dari daftar
hitam dan Malaysia begitu juga Malaysia dan Costa Rika. Pada tanggal 7 April 2009, OECD,
mengumumkan bahwa Costa Rika, Malaysia, Filipina dan Uruguay telah dihapus dari daftar hitam
setelah mereka telah membuat komitmen penuh untuk bersedia saling bertukar informasi sesuai
standar OECD.
Di Indonesia, sebelumnya melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 650/KMK.04/1994
yang memuat daftar 32 negara untuk berkepentingan penerapan pasal 18 ayat (4) UU PPh (saat
diperolehnya deviden tertentu), yang secara tersirat sebagai tax haven country:
1. Argentina 17. Macau
2. Bahama 18. Mauritius
3. Bahrain 19. Mexico
4. Balize 20. Nederland antiles
5. Bermuda 21. Nikaragua
6. British Isle 22. Panama
7. British Virgin Islan 23. Paraguay
8. Gayman Island 24. Peru
9. Channel Island greensey 25. Qatar
10. Channel Island jersey 26. St. Lucia
11. Cook Island 27. Saudi arabia
12. El Salvador 28. Uruguay
13. Estonia 29. Venezuela
14. Hong Kong 30. Vanuatu
15. Liechtenstein 31. Yunani
16. Lithuania 32. Zambia
Namun ketentuan telah dicabut dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
256/PMK.04/2008 sehingga saat ini daftar tax haven country menjadi tidak ada. Direktorat
Jenderal Pajak cukup waspada dengan masalah tax haven country ini. Sesuai dengan PER-
39/PJ/2009 dalam penyampaian SPT PPh Badan wajib pajak ada kewajiban menyampaikan
lampiran khusus tambahan 3A-2, yaitu pernyataan transaksi dengan pihak yang merupakan
penduduk negara tax heaven country. Kriteria tax haven country yang diberikan dalam lampiran
VIII PER-39/PJ/2009, yaitu sebagai berikut.
a. Negara yang mengenakan tarif pajak rendah atau negara yang tidak mengenakan PPh.
b. Negara yang menerapkan kebijakan kerahasiaan bank dan tidak melakukan pertukaran
informasi.
1) Negara yang mengenakan tarif rendah adalah negara yang mengenakan tarif pajak atas
penghasilan lebih rendah 50% dari tarif badan di Indonesia (untuk tahun 2009 lebih
rendah dari 14% dan untuk tahun 2010 lebih rendah dari 12,5%).
2) Negara yang menerapkan kebijakan kerahasiaan bank dan tidak melakukan pertukaran
informasi adalah negara atau jurisdiksi yang berdsarkan perundang-undangannya
melarang pemberian informasi nasabahnya, termasuk untuk keperluan informasi yang
berkaitan dengan perpajakan.
Negara tax haven atau mendekati tax haven akan merugikan negara lain yang tidak
menerapkan kebijakan yang sama. Adanya tax haven country merupakan cikal bakal terjadinya
praktik-praktik yang tidak sehat di bidang perpajakan internasional diantaranya transfer pricing,
controled foreign corporation dan treaty shopping.
C. Gambaran Kriteria Negara-Negara Tax Haven
Irfansyah (2010) Pada dasarnya ada beberapa kemudahan peraturan di negara-negara tax
haven, yaitu sebagai berikut:
1. Kemudahan di bidang peraturan pajak.
2. Rahasia perbankan di negara tax haven sangat kuat dipegang teguh kerahasiaannya.
3. Kemudahan di bidang pendirian perusahaan atau pendirian bank.
Kemudahan pajak merupakan basis dari tax haven country, maka negara-negara tax haven
sering dibagi ke dalam 5 kategori, sebagai berikut:
1. Negara bebas pajak, di negara yang bebas pajak ini, siapa saja akan dibebaskan dari
pajak, yang ada hanya semacam bea materai (stamp duties). Di negara ini tidak
mengenal pajak badan/perusahaan, pajak hadiah, pajak undian, PBB, pajak
penjualan/PPN, pajak kekayaan dsb. Hal ini dapat kita temukan di negara seperti,
Bahama island, Djibouti, Cayman island, Cook Island dsb.
2. Negara system pajak territorial, di negara yang menerapkan system ini terdapat
diskriminasi pajak, yaitu pemberlakuan pajak yang berbeda terhadap pendapatan dari
sumber luar negeri dengan pendapatan dari sumber pendapatan dalam negeri.
Pendapatan dari sumber luar negeri, pajak dibebaskan, tetapi pendapatan dalam negeri
akan dikenakan pajak sebagaimana mestinya. System ini dapat kita temukan di negara
Singapura, Hongkong, Panama, Venezuela dsb.
3. Negara dengan pajak yang rendah, pada kelompok ini negara memberlakukan pajak
pada rate yang sangat rendah. Negara yang termasuk kedalam golongan negara pajak
rendah ini seperti Barbados dan Antiles Belanda dengan pajak badan maksimum sebesar
0%-1%.
4. Negara yang hanya membebankan pajak tertentu, dalam kelompok ini negara hanya
membebaskan pajak tertentu saja dan tidak semua jenis pajak diebaskan. Seperti negara
irlandia yang membebaskan pajak untuk usaha manufaktur dan pemrosesan ekspor.
5. Negara yang membebankan pajak untuk perusahaan tertentu saja, pada kelompok ini
terdapat negara-negara yang membebaskan pajak atau setidak-tidaknya memberikan
insentif pajak untuk perusahaan tertentu saja. Misalnya negara Luxemburg, Antiles
Belanda dan Singapura yang memberikan intensif pajak pada perusahaan offshore &
holding company yang memenuhi kualifikasi tertentu. Atau seperti negara-negara
Jamaica, Barbados, Granada atau Antigua yang mengurangi pajak bagi perusahaan.
Selain itu kemudahan pajak juga menyebabkan banyak perusahaan-perusahaan
internasional yang mempunyai holding company yang berkedudukan di negara tax haven
tersebut.
LATIHAN SOAL
A. Tentukan Pernyataan dibawah ini dengan menuliskan B (Benar) atau S (Salah)
1. Kebijakan pajak suatu negara yang dengan sengaja memberikan fasilitas pajak berupa
penetapan tarif pajak yang rendah atau bahkan tidak mengenakan pajak sama sekali dengan
tujuan agar penghasilan penduduk negara lain bisa dialihkan ke negara tersebut, hal ini
disebut dengan tax heaven country …
2. Organization for Economics Co-operation and Development mengakui bahwa setiap negara
memiliki hak untuk menentukan apakah perlu memberlakukan pajak secara tidak langsung
dan mengenakan pajak dengan tarif tertentu yang sesuai dengan kepentingan negaranya …
3. Salah satu fasilitas perpajakan adalah tarif yang tinggi dikenakan kepada negara yang
memiliki tax treaty dengan negara lain …
4. Salah satu kategori negara yang tidak kooperatif yaitu negara yang secara substansial telah
menerapkan standar seperti negara-negara yang terdapat di Uni Eropa …
5. Kriteria tax heaven country salah satunya negara yang mengenakan tarif rendah adalah
negara yang mengenakan tariff pajak atas penghasilan lebih rendah 12,5% dari tarif untuk
pajak yang dikenakan terhadap WP Badan di Indonesia …
6. Sebagai ganti penerimaan negara berupa pajak, maka yang menjadi sumber penghasilan
utama bagi tax heaven country adalah biaya pendirian perusahaan, iuran tahunan, dan biaya
untuk jasa-jasa tambahan lainnya …
7. Salah stau karakteristik tax heaven country berdasarkan The US Government Accountability
Office bahwa bagi badan usaha asing untuk berada di negara tersebut wajib ada secara fisik

8. Hongkong merupakan salah satu negara tax heaven country dimana memberikan fasilitas
perpajakan dengan cara mengenakan pajak secara langsung dengan tarif yang sangat tinggi

9. Pada KTT G-20 di London sepakat mengumumkan blacklist tax heaven country dengan cara
mengklasifikasikan 4 kategori, salah satunya tax heaven yang mempunyai komitmen, tetapi
belum sepenuhnya mengimplementasikan standar seperti Pulau Bahama …
10. Saudi Arabia bukan negara yang tersirat sebagai tax heaven country berdasarkan KMK
Nomor 650/KMK.04/1994 …
B. Jawablah pertanyaan dibawah ini secara jelas dan lengkap!
1. Apa yang dimaksud homo ekonomikus?
2. Mengapa pajak dikategorikan menjadi beban padahal pajak itu merupakan kewajiban setiap
wajib pajak sama halnya dengan wajibnya membayar listrik karena wajib pajak
menggunakannya?
3. Apa dampak dari banyaknya negara yang menjadi negara surga pajak atau tax havens
country?
4. Apa tujuan dari negara yang termasuk kedalam kategori tax haven country?
5. Bolehkah pajak disuatu negara dibebaskan? Mengapa bisa seperti itu? Jelaskan!
6. Apakah tax haven country melanggar ketentuan hukum internasional? Jelaskan!
7. Pajak merupakan kedaulatan setiap negara sehingga apabila suatu negara memberikan
banyak fasilitas kepada wajib pajaknya maka hal itu diperbolehkan namun mengapa ketika
pajak dibebaskan dikatakan tax haven country yang dapat merugikan negara lain?
8. Mengapa penetapan setiap negara dalam menentukan tax haven country berbeda? Apa
yang menjadi dasar dalam penetapannya?
9. Mana yang lebih besar pendapatan dari pajak atau pendapatan dari biaya pendirian
perusahaan, iuran tahunan dan biaya untuk jasa-jasa tambahan lain?
10. Apa yang menjadi penyebab tidak adanya daftar negara yang termasuk kedalam negara tax
haven country?
BAB 11 TRANSFER PRICING
A. Pengertian Transfer Pricing
Praktek transfer pricing pada prinsipnya didorong oleh alasan pajak (tax motive) dan
bukan alasan pajak (non-tax motive), masalah transfer pricing ini tidak terlepas dari fenomena
bisnis yang multi unit yang akan melakukan ekspansi usaha ke luar negeri. Tujuan penetapan
harga transfer adalah untuk mentransmisikan data keuangan di antara departemen-
departemen atau divisi-divisi di perusahaan pada waktu mereka saling menggunakan barang
dan jasa satu sama lain (Irwan, 2019:167).
Transfer Pricing adalah kebijakan suatu perusahaan dalam menentukan harga transfer
suatu transaksi antarpihak yang dipengaruhi hubungan istimewa. Transfer pricing sendiri
sebenarnya adalah istilah yang netral, namun sering kali transfer pricing dikonotasikan
sebagai praktik penghindaran pajak yang dilakukan para pihak yang dipengaruhi hubungan
istimewa.
Transfer pricing dalam konteks pajak internasional timbul akibat adanya perbedaan tarif
pajak antarnegara. Ada dua cara yang paling mendasar dalam penghindaran pajak melalui
transfer pricing. Pertama, memindahkan penghasilan ke negara yang tarif pajaknya rendah.
Kedua, memindahkan biaya ke negara yang tarif pajaknya tinggi.
Transfer pricing dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan penghasilan, dasar
pengenaan pajak atau biaya dari suatu wajib pajak ke wajib pajak lainnya, yang direkayasa
untuk menekan keseluruhan jumlah pajak terutang atas wajib pajak-wajib pajka yang
mempunyai hubungan istimewa tersebut. Rekayasa tersebut dapat terjadi pada hal-hal berikut
ini.
a. Harga penjualan.
b. Harga pembelian.
c. Alokasi biaya administrasi dan umum.
d. Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham.
e. Pembayaran lisensi, komisi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen,
imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya.
f. Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang
mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar.
g. Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak mempunyai
substansi usaha.
Globalisasi ekonomi membawa dampak meningkatnya transaksi internasional (cross
border transaction). Salah satu masalah perpajakan yang timbul dari transaksi ini adalah
masalah transfer pricing. Dampaknya bias overpricing atau underpricing. Selain motivasi
bisnis, biasanya dimaksudkan untuk mengendalikan mekanisme arus sumber daya antar
anggota grup dan maksimalisasi laba setelah pajak (Irwan, 2019;168).
Menurut SE-04/PJ.7/1993 didasari bahwa dengan perkembangan dunia usaha yang
demikian cepat, yang sering kali bersifat lintas negara dan diperkenalkannya produk dan
metode usaha baru yang semula belum dikenal, maka bentuk dan variasi transfer pricing
dapat tidak terbatas. Transfer pricing dapat terjadi antar wajib pajak dalam negeri atau antara
wajib pajak dalam negeri dengan pihak luar negeri, terutama yang berkedudukan di tax haven
countries (negara yang tidak memungut/memungut pajak lebih rendah dari Indonesia).
Terhadap transaksi antarwajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut, undang-
undang perpajakan kita menganut azaz materiil (substance over form rule).
Strategi yang paling umum digunakan dalam hal penghindaran pajak ialah transfer
pricing. Perusahaan multinasional sering terdiri dari beberapa perusahaan seperti, branches,
subsidiary, agency, dan/atau permanent establishment yang pada gilirannya diperintah oleh
perusahaan induk. Harga transfer atau transfer pricing itu sendiri legal, namun ini adalah juga
metode yang memungkinkan, terutama perusahaan-perusahaan multi nasional untuk
menghindari pajak yang besar dari pembayaran ke negara-negara tertentu dan menjadi illegal
jika tidak sesuai dengan prinsip arm’s length principle (Timbul, 2019;247-248).
B. Hubungan Istimewa
Diperlukan suatu kehati-hatian ketika otoritas perpajakan melakukan enforcement dalam
kasus transfer pricing. Otoritas perpajakan harus punya alasan kuat untuk mengatakan bahwa
para pihak telah melakukan transfer pricing untuk tujuan penghindaran/penggelapan pajak.
Sebelum membuktikan adanya transfer pricing, pertama harus dibuktikan terlebih dahulu
bahwa para pihak terdapat hubungan istimewa. Menurut UU PPh, hubungan istimewa di
antara wajib pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang
lain yang disebabkan kepemilikan atau penyertaan modal; atau adanya penguasaan melalui
manajemen atau penggunaan teknologi
Dalam hal wajib pajak orang pribadi, hubungan istimewa terjadi karena adanya hubungan
darah atau perkawinan, sesuai pasal 18 (4) UU PPh, hubungan istimewa dianggap ada
apabila ada hal berikut ini.
1. Wajib pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) pada wajib pajak lain, atau hubungan antara wajib
pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua wjaib
pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua wajib pajak atau lebih yang
disebut terakhir.
2. Wajib pajak menguasai wajib pajak lainnya atau dua atau lebih wajib pajak berada di
bawah penguasaan yang sama, baik langsung maupun tidak langsung. Hubungan
istimewa di antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui
manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak terdapat hubungan
kepemilikan. Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan
berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan di antara
beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut
3. Terdapat hubungan keluarga, baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan
lurus dan atau ke samping satu derajat.
Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat” adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan “hubungan keluarga sedarah dalam
garis keturunan ke samping satu derajat” adalah saudara. Yang dimaksud dengan
“keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat” adalah mertua dan anak
tiri, sedangkan “hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu
derajat” adalah ipar.
Setelah para pihak dapat diidentifikasi ada hubungan istimewa, kemudian ditentukan
berapa harga wajarnya.

C. Penanganan Transfer Pricing


Untuk mengatasi masalah transfer pricing OECD mengeluarkan OECD Transfer Pricing
Guide Lines (OECD Guide Lines) sebagai panduan tidak hanya bagi otoritas pajak tapi juga
bagi perusahaan multinasional dalam menyelesaikan perselisihan masalah transfer pricing.
Dalam OECD Guide Lines, diberikan panduan diantaranya:
1. Penerapan the arm's length principle.
2. Traditional Transaction Methods, meliputi penggunaan comparable uncontrolled price
method , resale price method dan cost plus method.
3. Metode lainnya, meliputi Profit split method dan Transactional net margin method.
4. Pendekatan administrasi dalam rangka penghindaran dan penyelesaian sengketa
transfer pricing, meliputi pemeriksaan, beban pembuktian dan sanksi.
5. Dokumentasi, meliputi panduan dalam dokumentasi dan prosedur dokumentasi.
6. Ketentuan mengenai harta tidak berwujud.
7. Ketentuan mengenai pemberian jasa antar grup.
8. Cost contribution arrangement
Berdasarkan OECD Guide Lines, negara perlu punya kewenangan untuk dapat melakukan
penghitungan kembali (koreksi) atas harga yang ditetapkan oleh para pihak yang ada
hubungan istimewa jika transaksi yang dilakukan tidak menggambarkan penghasilan kena
pajak yang sebenarnya di negara tersebut.
Indonesia telah memiliki yang aturan untuk menangkal praktik transfer pricing. Dalam Pasal
18 (3) UU PPh diatur bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali
besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan
istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang
tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.

Sejalan dengan OECD, ketentuan perpajakan di Indonesia mewajibkan perusahaan yang


melakukan transaksi dipengaruhi hubungan istimewa untuk menerapkan prinsip kewajaran
dan kelaziman usaha. Kewajiban ini berlaku untuk penentuan harga transfer atas transaksi
yang dilakukan wajib pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap di Indonesia dengan wajib
pajak luar negeri di luar Indonesia (international transfer pricing). Dalam hal wajib pajak
melakukan transaksi-transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang
merupakan wajib pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap di Indonesia (domestic transfer
pricing), kewajiban penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha berlaku untuk transaksi
yang dilakukan oeh wajib pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa
untuk memanfaatkan perbedaan tarif pajak menurut Peraturan Jenderal Pajak Nomor PER-
43/PJ/2010 stdd PER-32/PJ/2011, yang disebabkan antara lain:
a. Perlakuan pengenaan pajak penghasilan final atau tidak final pada sektor usaha
tertentu;
b. Perlakuan pengenaan pajak penjualan atas barang mewah; atau
c. Transaksi yang dilakukan dengan wajib pajak kontraktor kontrak kerja sama migas.

D. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (The Arm’s Length Principal)


Wajib pajak dalam melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa wajib menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
a. Melakukan analisis kesebandingan dan menentukan pembanding.
b. Menentukan metode penentuan harga transfer yang tepa.
c. Menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha berdasarkan hasil analisis
kesebandingan dan metode penentuan harga transfer yang tepat ke dalam transaksi
yang dilakukan antara wajib pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
d. Mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan harga wajar atau laba wajar
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku
Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (Arm’s Length Principle/ALP) mendasarkan pada
norma bahwa harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar, transaksi tersebut
mencerminkan harga pasar yang wajar (Fair Market Value/FMV).
Wajib pajak yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa dengan nilai seluruh transaksi tidak melebihi Rp 10.000.000.000 dalam 1 (satu)
tahun pajak untuk setiap lawan transaksi, dikecualikan dari kewajiban di atas.
E. Analisis Kesebandingan
Dalam melakukan transaksi harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
a. Transaksi yang dilakukan antara wajib pajak dengan pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dianggap sebanding dengan transaksi yang dilakukan antara
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam hal :
1) Tidak terdapat perbedaan kondisi yang material atau signifikan yang dapat
mempengaruhi harga atau laba dari transaksi yang diperbandingkan; atau
2) Terdapat perbedaan kondisi, namun dapat dilakukan penyesuaian untuk
menghilangkan pengaruh yang material atau signifikan dari perbedaan kondisi
tersebut terhadap harga atau laba.
b. Dalam hal tersedia data pembanding internal dan data pembanding eksternal dengan
tingkat kesebandingan yang sama, maka wajib pajak wajib menggunakan data
pembanding internal untuk penentuan harga wajar atau laba wajar. Data pembanding
internal adalah data harga wajar atau laba wajar dalam transaksi sebanding yang
dilakukan oleh wajib pajak dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa. Data pembanding eksternal adalah data wajar atau laba wajar dalam
transaksi sebanding yang dilakukan oleh wajib pajak lain dengan pihak-pihak yang
tidak mempunyai hubungan istimewa. Data pembanding internal dan data
pembanding eksternal harus memenuhi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
tingkat kesebandingan. Dalam hal data pembanding internal telah memenuhi faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesebandingan, maka data pembanding
eksternal tidak diperlukan. Data pembanding eksternal dapat diperoleh dari database
komersial maupun database lainnya.
c. Dalam hal data pembanding internal yang tersedia bersifa insidental, maka data
pembanding internal dimaksud hanya dapat dipergunakan dalam transaksi yang
bersifat insidental antara wajib pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa.
Wajib Pajak wajib mendokumentasikan langkah-langkah, kajian, dan hasil kajian dalam
melakukan analisis kesebandingan dan penentuan pembanding, penggunaan data
pembanding internal dan/atau data pembanding eksternal serta menyimpan buku, dasar
catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
F. Faktor yang Mempengaruhi Kesebandingan
Dalam melaksanakan Analisis Kesebandingan harus dilakukan analisis atas faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi tingkat kesebandingan antara lain:
a. Karakteristik barang/harta berwujud dan barang/harta tidak berwujud yang
diperjualbelikan, termasuk jasa.
Untuk menilai dan menganalisis karakterisktik barang/harta berwujud dan barang/harta
tidak berwujud harus dilakukan analisis terhadap jenis barang atau jasa yang
diperjualbelikan, dialihkan, atau diserahkan, baik oleh pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa maupun oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa.
Untuk menilai dan menganalisis karakteristik barang berwujud, harus dipertimbangkan
antara lain:
1) ciri-ciri fisik barang;
2) kualitas barang;
3) daya tahan barang;
4) tingkat ketersediaan barang; dan
5) jumlah penawaran barang.
Untuk menilai dan menganalisis karakteristik barang tidak berwujud harus
dipertimbangkan, antara lain :
1) jenis transaksi;
2) jenis barang tidak berwujud yang diserahkan;
3) jangka waktu dan tingkat perlindungan yang diberikan; dan
4) potensi manfaat yang dapat diperoleh dari penggunaan barang tidak berwujud
tersebut.
Sedangkan untuk menilai dan menganalisis karakteristik jasa, harus dipertimbangkan,
antara lain:
1) sifat dan jenis jasa; dan
2) cakupan pemberian jasa.
b. Fungsi masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
Dalam melakukan penilaian dan analisis fungsi (functional analysis) harus dilakukan
analisis dengan mengidentifikasi dan membandingkan kegiatan ekonomi yang
signifikan dan tanggung jawab utama yang diambil atau akan diambil oleh pihak-pihak
yang mempunyai hubungan istimewa dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa. Kegiatan ekonomi dianggap signifikan dalam hal kegiatan tersebut
berpengaruh secara material pada harga yang ditetapkan dan/atau laba yang diperoleh
dari transaksi yang dilakukan. Dalam melakukan penilaian dan analisis fungsi, harus
dipertimbangkan, antara lain:
1) struktur organisasi dan posisi perusahaan yang diuji dalam kelompok usaha serta
manajemen mata rantai (supply chain management) kelompok usaha;
2) fungsi-fungsi utama yang dijalankan oleh suatu perusahaan seperti desain,
pengolahan, perakitan, penelitian, pengembangan, pelayanan, pembelian, distribusi,
pemasaran, promosi, transportasi, keuangan, dan manajemen serta karakteristik
utama perusahaan seperti jasa maklon (toll manufacturing), manufaktur dengan
fungsi dan risiko terbatas (contract manufacturing), dan manufaktur dengan fungsi
dan risiko penuh (fully fledge manufacturing);
3) jenis aktiva yang digunakan atau akan digunakan seperti tanah, bangunan,
peralatan, dan harta tidak berwujud, serta sifat dari aktiva tersebut seperti umur,
harga pasar, dan lokasi;
4) risiko yang mungkin timbul dan harus ditanggung oleh masing-masing pihak yang
melakukan transaksi seperti risiko pasar, risiko kerugian investasi, dan risiko
keuangan.
c. Ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian.
Dalam melakukan penilaian dan analisis atas ketentuan-ketentuan dalam
kontrak/perjanjian, harus dilakukan analisis terhadap tingkat tanggung jawab, risiko, dan
keuntungan yang dibagi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk
dibandingkan dengan ketentuanketentuan dalam kontrak/perjanjian yang dilakukan
oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, yang meliputi ketentuan
tertulis dan tidak tertulis. Dalam hal tidak terdapat dokumen tertulis, hubungan kontrak
para pihak dapat dilakukan dari peran/perilaku para pihak atau prinsip ekonomi, yang
umumnya mengatur hubungan para pihak tersebut.
d. Keadaan ekonomi.
Analisis keadaan ekonomi diperlukan untuk memperoleh tingkat kesebandingan dalam
pasar tempat beroperasinya para pihak yang melakukan transaksi.
Keadaan ekonomi yang harus diidentifikasi untuk menentukan tingkat kesebandingan
pasar mencakup:
1) Lokasi geografis;
2) Ukuran pasar;
3) Tingkat persaingan dalam pasar serta posisi persaingan antara penjual dan
pembeli;
4) Ketersediaan barang atau jasa pengganti;
5) Tingkat permintaan dan penawaran dalam pasar, baik secara keseluruhan maupu
regional;
6) Daya beli konsumen;
7) Sifat dan cakupan peraturan pemerintah dalam pasar;
8) Biaya produksi termasuk biaya tanah, upah tenaga kerja, dan modal; biaya
transportasi; dan tingkat pasar;
9) Tanggal dan waktu transaksi; dan sebagainya.
e. Strategi usaha.
Penilaian dan analisis atas strategi usaha, harus dilakukan antara lain dengan
mengidentifikasi inovasi dan pengembangan produk baru, tingkat diversifikasi
barang/jasa, tingkat penetrasi pasar, dan kebijakan-kebijakan usaha lainnya, yang
terjadi pada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dan pihak-pihak yang
tidak mempunyai hubungan istimewa.

G. Metode Penghitungan Harga Wajar


Dalam penentuan metode harga wajar atau laba wajar wajib dilakukan kajian untuk
menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang paling sesuai (the most appropiate
method). Metode penentuan harga transfer sebagaimana yang dapat diterapkan diantaranya:
a. Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable
uncontrolled price/CUP) adalah metode penentuan harga transfer yang dilakukan
dengan membandingkan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan harga barang atau jasa dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa dalam kondisi
atau keadaan yang sebanding.
Contoh penggunaan metode CUP ini misalnya, PT Arka memiliki saham 25% saham
PT Restu. Atas penyerahan barang PT Arka ke PT Restu, PT Arka membebankan harga
jual Rp 1.600 per unit, berbeda dengan harga yang diperhitungkan atas penyerahan
barang yang sama kepada PT Bersama (tidak memiliki hubungan istimewa) yaitu Rp
2.000 per unit. Pada contoh tersebut harga pasar sebanding/CUP atas barang yang
sama adalah yang dijual kepada PT Bersama yang tidak ada hubungan istimewa.
Dengan demikian harga yang wajar adalah Rp 2.000 per unit. Harga ini dipakai sebagai
dasar perhitungan penghasilan dan/atau pengenaan pajak (Irwan, 2019:170)
Kondisi yang tepat dalam menerapkan metode perbandingan harga antara pihak yang
tidak mempunyai hubungan istimewa (comparable uncontrolled price/CUP), antara lain:
a) Barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki karakteristik yang identik dalam
kondisi yang sebanding; atau;
b) Kondisi transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa dengan pihak-pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa identik atau
memiliki tingkat kesebandingan yang tinggi atau dapat dilakukan penyesuaian yang
akurat untuk menghilangkan pengaruh dari perbedaan kondisi yang timbul.
Apabila tidak ada kondisi diatas yang sesuai, maka metode CUP tidak dapat
digunakan dan wajib pajak harus menggunakan metode lain yang sesuai.

b. Metode harga penjualan kembali (Resale Price Method/RPM) adalah metode


penentuan harga transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam
transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi laba kotor wajar,
yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan kembali produk tersebut
kepada pihak lain yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau penjualan kembali
produk yang dilakukan dalam kondisi wajar.
Contoh PT Arka memiliki 25% saham PT Restu. Atas oenyerahan barang ke PT Restu,
PT Arka membebankan harga jual Rp 1.600 per unit. PT Arka tidak melakukan
penjualan kepada pihak ketiga yang tidak memiliki hubungan istimewa. PT Restu
menjual kembali barang yang dibeli dari PT Arka ke pihak yang tidak ada hubungan
istimewa dengan harga Rp 2.500 per unit. Laba kotor sebanding untuk penjualan barang
tersebut adalah 20% dari harga jualnya. Untuk menguji kewajaran harga penjualan dari
PT Arka ke PT Restu, dapat diterapkan metode harga penjualan kembali/RPM. Maka
dengan metode ini harga penjualan barang PT Arka ke PT Restu yang wajar untuk
perhitungan pajak penghasilan/dasar pengenaan pajak adalah Rp 2.000 (Rp 2.500 –
(20% x Rp 2.500)) (Irwan, 2019:171)
Kondisi yang tepat dalam menerapkan metode harga penjualan kembali (Resale Price
Method/RPM), antara lain adalah:
a) Tingkat kesebandingan yang tinggi antara transaksi antara wajib pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan transaksi antara wajib pajak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa, khususnya tingkat kesebandingan berdasarkan
hasil analisis fungsi, meskipun barang atau jasa yang diperjualbelikan berbeda; dan
b) Pihak penjual kembali (reseller) tidak memberikan nilai tambah yang signifikan atas
barang atau jasa yang diperjualbelikan.
c. Metode biaya-plus (cost plus method) adalah metode penentuan harga transfer yang
dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan
yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau
tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi sebanding
dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa pada harga pokok penjualan
yang telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
Contoh PT Arka memperoleh bahan baku dan bahan pembantu produksinya dari para
pemasok yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Harga pokok barang yang
diproduksi per unit adalah Rp 1.500 dan laba kotor yang pada umumnya diperoleh dari
penjualan barang yang sama antar pihaj yang tidak mempunyai hubungan istimewa
adalah 40% dari harga pokok. Dengan menerapkan metode biaya plus maka harga jual
yang wajar atas barang tersebut dari PT Arka kepada PT Restu untuk tujuan
penghitungan penghasilan kena pajak/dasar pengenaan pajak adalah Rp 2.100 (Rp
1.500 + (40% x Rp Rp 1.500)) (Irwan, 2019;172-173)
Kondisi yang tepat dalam menerapkan metode biaya plus (cost plus method/CPM),
antara lain adalah:
1) barang setengah jadi dijual kepada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa;
2) terdapat kontrak/perjanjian penggunaan fasilitas bersama (joint facility agreement)
atau kontrak jual beli jangka panjang (long term buy and supply agreement) antara
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; atau
3) bentuk transaksi adalah penyediaan jasa.
d. Metode pembagian laba (Profit Split Method/PSM) adalah metode penentuan harga
transfer berbasis laba transaksional (transactional profit method based) yang dilakukan
dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi yang akan dibagi oleh
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut dengan menggunakan dasar
yang dapat diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan pembagian laba yang
selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antarpihak-pihak yang
tidak mempunyai hubungan istimewa, dengan menggunakan metode kontribusi
(contribution profit split method) atau metode sisa pembagian laba (residual profit split
method).
Metode pembagian laba (profit split method/PSM) secara khusus hanya dapat
diterapkan dalam kondisi sebagai berikut:
1) transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sangat terkait
satu sama lain sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukan kajian secara terpisah;
atau
2) terdapat barang tidak berwujud yang unik antara pihak-pihak yang bertransaksi yang
menyebabkan kesulitan dalam menemukan data pembanding yang tepat.
Langkah-langkah penerapan metode pembagian laba kontribusi antara lain sebagai
berikut.
1) Menggabungkan laba bersih usaha para pihak sebagai satu kesatuan.
2) Menentukan fungsi, aset, dan risiko yang berkontribusi terhadap laba bersih usaha.
3) Mengidentifikasi data eksternal.
Sebelum melakukan pembobotan atas fungsi, terlebih dahulu dapat melakukan
analisis data pasar eksternal yang merefleksikan bagaimana pihak independen
mengalokasikan profit dalam kondisi yang sebanding. Jika data tidak tersedia, dapat
menggunakan data internal untuk melakukan pembobotan. Analisis kontribusi
dilakukan berdasarkan analisis terperinci apakah fungsi, aset, dan risiko yang
digunakan untuk mengalokasikan profit dapat diterima/dibenarkan secara ekonomi.
4) Melakukan pembobotan atas fungsi dan menentukan persentase pembagian laba.
Pembobotan didasarkan pada nilai relatif atas fungsi yang dilakukan dan kontribusi
ekonomis oleh setiap pihak afiliasi yang bertransaksi. Nilai relatif atas fungsi yang
dilakukan dapat dikaitkan dengan biaya yang dikeluarkan, aset yang digunakan, dan
lain sebagainya
5) Mengalokasikan laba sesuai bobot kontribusi tiap-tiap pihak afiliasi. Setelah
diperoleh presentase laba, selanjutnya dilakukan perhitungan pembagian laba untuk
masing-masing pihak afilasi yang bertransaksi berdasarkan bobot kontribusi.
6) Menentukan laba wajar
Koreksi positif atas laba operasi bersih diatribusikan kepada transaksi afiliasi yang
terjadi, yaitu transaksi pembelian
Metode pembagian laba sisa (RPSM) diterapkan dalam kasus di mana kedua pihak
yang bertransaksi memiliki kontribusi unik dan sangat bernilai (misalnya kontribusi
unique/valuable intangible property).
Langkah-langkah penerapan metode pembagian laba sisa, antara lain sebagai berikut:
1) Menggabungkan laba bersih usaha para pihak afiliasi sebagai satu kesatuan.
2) Menentukan kontribusi unik tiap-tiap pihak.
3) Mengidentifikasi fungsi rutin (simple function) tanpa kontribusi unik masing-masing
pihak.
4) Mencari pembanding untuk fungsi rutin tanpa kontribusi unik. Berdasarkan fungsi
rutin yang dilakukan oleh setiap pihak, dapat ditentukan pembanding untuk fungsi
rutin tersebut.
5) Menghitung bagian laba masing-masing pihak tanpa kontribusi unik.\
Setelah mendapatkan pembanding eksternal untuk fungsi rutin masing-masing
pihak, maka langkah selanjutnya adalah mengalokasikan laba berdasarkan
kompensasi rutin dengan menggunakan metode satu sisi (one-sided method).
6) Menentukan nilai relatif atas kontribusi unik masing-masing pihak.
Residual profit (yaitu laba yang tersisa setelah langkah 5 diatribusikan kepada pihak
afiliasi berdasarkan nilai relatif atas kontribusi unik yang dimiliki oleh masing-masing
pihak.
Pendekatan berikut ini dapat dijadikan dasar dalam menentukan nilai relatif kontribusi
unik pihak afiliasi:
a) Benchmark pasar eksternal yang merefleksikan nilai pasar wajar atas intangible
property;
b) Biaya yang dikapitalisasi atas pengembangan, perbaikan, dan pembaruan
intangible property, dikurangi jumlah amortisasi yang sesuai berdasarkan umur
penggunaan tiap intangible property tersebut; atau
c) Jumlah biaya aktual pengembangan intangible property dalam tahun-tahun
terakhir, apabila biaya tersebut selama masa itu konstan dan umur penggunaan
intangible property pihak-pihak yang terlibat tidak jauh berbeda.
7) Membagi residual profit berdasarkan nilai relatif kontribusi unik masing-masing pihak
Setelah diperoleh nilai relatif kontribusi unik masing-masing pihak maka langkah
selanjutnya adalah mengalokasikan residual profit berdasarkan nilai relatif kontribusi
unik masing-masing pihak.
8) Menentukan laba wajar.
e. Metode laba bersih transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM)
adalah metode penentuan harga transfer yang dilakukan dengan membandingkan
presentase laba bersih operasi terhadap biaya, penjualan, aktiva, atau terhadap dasar
lainnya atas transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan
presentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak
lain yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau presentase laba bersih operasi
yang diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa lainnya.
Dalam penggunaan metode TNMM perlu melakukan pemilihan Profit Level Indicator
(PLI) yang paling sesuai dengan fakta dan kondisi. PLI ditunjukkan dalam bentuk
perbandingan antara laba bersih usaha dengan penjualan, total biaya, aset, dan lain-
lain. Penentuan penyebut (denominator) yang digunakan dalam metode TNMM
dilakukan dengan mempertimbangkan profit driver perusahaan dan independendi dari
denominator yang digunakan. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan
PLI adalah jenis usaha dan ketersediaan data. Perusahaan penyedia jasa, pabrikan
(manufaktur) dan sejenisnya pada umumnya menggunakan laba bersih usaha
dibandingkan dengan total biaya sebagai PLI. Sementara itu, kegiatan distribusi pada
umumnya menggunakan laba bersih usaha yang dibandingkan dengan penjualan.
Rasio yang digunakan sebagai PLI adalah net margin, net mark-up, dan return on assets
(ROA).
1) Rasio Tingkat Pengembalian Penjualan (Net Margin)
Laba Bersih Usaha
𝑁𝑒𝑡 𝑀𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛 = X 100%
Penjualan
2) Rasio Tingkat Pengembalian Total Biaya (Net Mark-up)
Laba Bersih Usaha
𝑁𝑒𝑡 𝑀𝑎𝑟𝑘 𝑈𝑝 = X 100%
HPP + Biaya Operasi
3) Rasio Tingkat Pengembalian Aset (ROA)
Laba Bersih Usaha
𝑅𝑂𝐴 = X 100%
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑡𝑖𝑛𝑔 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡
Laba Bersih Usaha
𝑅𝑂𝐴 = X 100%
Total Aset − Aset Non Operasi Termasuk Kas
Kondisi yang tepat dalam menerapkan metode laba bersih transaksional
(Transactional Net Margin Method/TNMM), antara lain adalah:
a) Salah satu pihak dalam transaksi hubungan istimewa melakukan kontribusi yang
khusus; atau
b) Salah satu pihak dalam transaksi hubungan istimewa melakukan transaksi yang
kompleks dan memiliki transaksi yang berhubungan satu sama lain.
Perlu diperhatikan, dalam menerapkan metode penentuan harga transfer yang
paling sesuai, wajib diperhatikan hal-hal sebagai berikut.
a) Kelebihan dan kekurangan setiap metode.
b) Kesesuaian metode penentuan harga transfer dengan sifat dasar transaksi antar
pihak yang mempunyai hubungan istimewa, yang ditentukan berdasarkan analisis
fungsional.
c) Ketersediaan informasi yang handal (sehubungan dengan transaksi antarpihak
yang tidak mempunyai hubungan istimewa) untuk menerapkan metode yang dipilih
dan/atau metode lain.
d) Tingkat kesebandingan antarpihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan
transaksi antarpihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa, termasuk
kehandalan penyesuaian yang dilakukan untuk menghilangkan pengaruh yang
material dari perbedaan yang ada.
H. Harga Wajar atau Laba Wajar
Harga Wajar atau Laba Wajar berdasarkan metode-metode penentuan harga transfer
dapat ditentukan dalam bentuk harga atau laba tunggal (single price) atau dalam bentuk
rentang harga wajar atau laba wajar (arm's length range/ALR). Rentang harga wajar atau
laba wajar merupakan rentangan antara kuartal pertama dan ketiga yang harus memenuhi
persyaratan: transaksi atau data pembanding yang digunakan dapat diandalkan dan
didukung dengan bukti-bukti dan penjelasan yang memadai bahwa penetapan harga atau
laba tunggal tidak dapat dilakukan.
Dalam hal persyaratan tersebut tidak dapat dipenuhi, maka rentang harga wajar atau
laba wajar tidak dapat dipergunakan. Yang dimaksud dengan rentang harga wajar atau
laba wajar (arm's length range/ALR) adalah rentang harga atau laba dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, yang merupakan hasil
pengujian beberapa data pembanding dengan menggunakan metode penentuan harga
transfer yang sama.
I. Transaksi Jasa
Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha wajib diterapkan atas transaksi jasa yang
dilakukan antara wajib pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
Transaksi tersebut dianggap memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha sepanjang
memenuhi ketentuan berikut.
a. Penyerahan atau perolehan jasa benar-benar terjadi. Penyerahan atau perolehan jasa
dianggap benar-benar terjadi apabila terdapat manfaat ekonomis atau komersial yang
dapat menambah nilai atas penyerahan atau perolehan jasa dimaksud.
b. Nilai transaksi jasa antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sama
dengan nilai transaksi jasa yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa yang mempunyai kondisi yang sebanding, atau yang dilakukan
sendiri oleh wajib pajak untuk keperluannya. Dalam menentukan nilai transaksi jasa
harus diterapkan melalui analisis kesebandingan.
Transaksi jasa antara wajib pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa
dianggap tidak memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam hal transaksi jasa
terjadi hanya karena terdapat kepemilikan perusahaan induk pada salah satu atau
beberapa perusahaan yang berada dalam satu kelompok usaha. Transaksi jasa tersebut
termasuk biaya atau pengeluaran yang terjadi sehubungan dengan :
a. kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan induk, seperti rapat pemegang saham
perusahaan induk, penerbitan saham oleh perusahaan induk, dan biaya pengurus
perusahaan induk;
b. kewajiban pelaporan perusahaan induk, termasuk laporan keuangan konsolidasi
perusahaan induk, kecuali terdapat bukti mengenai adanya manfaat yang terukur yang
dinikmati oleh Wajib Pajak;
c. perolehan dana/modal yang dipergunakan untuk pengambilalihan kepemilikan
perusahaan dalam kelompok usaha, kecuali pengambilalihan tersebut dilakukan oleh
Wajib Pajak dan manfaatnya dinikmati oleh Wajib Pajak.
J. Transaksi Harta Tidak Berwujud
Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha wajib diterapkan atas transaksi pemanfaatan
dan pengalihan harta tidak berwujud yang dilakukan oleh wajib pajak dengan pihak yang
mempunyai hubungan istimewa. Harta tidak berwujud adalah suatu aktiva yang pada
umumnya memiliki masa manfaat yang panjang dan tidak mempunyai bentuk fisik serta
memiliki kegunaan dalam kegiatan operasi perusahaan dan penggunaannya tidak untuk
dijual kembali, seperti paten, hak cipta atau merek dagang.
Harta tidak berwujud dapat berupa harta tidak berwujud sehubungan dengan fungsi
perdagangan (trade intangibles) dan harta tidak berwujud sehubungan dengan fungsi
pemasaran (marketing intangibles). Harta tidak berwujud sehubungan dengan fungsi
perdagangan (trade intangibles) pada umumnya terjadi melalui kegiatan riset dan
pengembangan yang berisiko dan mahal, sehingga pemiliknya berusaha mengganti
pengeluaran tersebut melalui penjualan barang, perjanjian lisensi atau kontrak jasa. Harta
tidak berwujud sehubungan dengan fungsi pemasaran (marketing intangibles) meliputi,
antara lain merek dagang atau nama dagang yang membantu meningkatkan pemasaran
dari barang dan jasa, daftar pelanggan, dan saluran distribusi. Merek dagang adalah nama,
simbol atau gambar yang unik yang dimiliki sebagai identitas dari suatu barang atau jasa
tertentu yang dihasilkan oleh pabrikan atau dealer, dimana penggunaannya oleh pihak lain
diatur oleh hukum domestik atau hukum internasional.
Transaksi pemanfaatan harta tidak berwujud yang dilakukan antara wajib pajak
dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa dianggap memenuhi prinsip kewajaran
dan kelaziman usaha sepanjang memenuhi ketentuan berikut.
a. Transaksi pemanfaatan harta tidak berwujud benar-benar terjadi.
b. Terdapat manfaat ekonomis atau komersial.
c. Transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa mempunyai nilai
yang sama dengan transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa yang mempunyai kondisi yang sebanding dengan
menerapkan analisis kesebandingan dan menerapkan metode penentuan harga
transfer yang tepat ke dalam transaksi.
Dalam melakukan analisis kesebandingan untuk transaksi harus dipertimbangkan,
antara lain:
a. Keterbatasan geografis dalam pemanfaatan hak atas harta tidak berwujud;
b. Eksklusifitas hak yang dialihkan; dan
c. Keberadaan hak pihak yang memperoleh harta tak berwujud untuk turut serta dalam
pengembangan harta dimaksud.
K. Kesepakatan Kontribusi Biaya (Cost Contribution Arrangements)
Kesepakatan kontribusi biaya (cost contribution arrangements) adalah kesepakatan
yang dibuat oleh para pihak yang mempunyai hubungan istimewa untuk berbagi risiko dari
mengembangkan, menghasilkan atau mendapatkan aset, jasa atau hak, dan untuk
menentukan fungsi dan peranan para pihak dalam kesepakatan atas aset, jasa atau hak
dimaksud. Para pihak dalam kesepakatan kontribusi biaya (cost contribution
arrangements) behak untuk mendapatkan manfaat pelaksanaan kesepakatan kontribusi
biaya (cost contribution arrangements) sebagai pemilik efektif (effective owners).
Dalam hal terdapat kesepakatan kontribusi biaya (cost contribution arrangements),
maka kontribusi biaya antara para pihak yang mempunyai hubungan istimewa harus sama
dibandingkan dengan kontribusi biaya dalam kesepakatan yang dilakukan antara pihak-
pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa.
L. Dokumentasi Transfer Pricing
Wajib pajak wajib menyelenggarakan dan menyimpan buku, catatan, dan dokumen
yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 Undang-Undang KUP dan peraturan pelaksanaannya.
Termasuk pengertian dokumen meliputi dokumen yang menjadi dasar penerapan prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha pada transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa. Wajib pajak wajib menyampaikan dokumentasi transfer pricing, yang
terdri atas satu set dokumen induk dan satu set lampiran dari dokumen induk.
Wajib pajak dapat menentukan sendiri jenis dan bentuk dokumen yang disesuaikan
dengan bidang usahanya sepanjang dokumen tersebut mendukung penggunaan metode
penentuan harga wajar atau laba wajar yang dipilih, termasuk laporan keuangan yang
tersegmentasi. Dokumen penentuan harga wajar atau laba wajar yang harus disediakan
oleh wajib pajak sekurang-kurangnya mencakup hal berikut.
a. Gambaran perusahaan secara rinci seperti struktur kelompok usaha, struktur
kepemilikan, struktur organisasi, aspek-aspek operasional kegiatan usaha, daftar
pesaing usaha, dan gambaran lingkungan usaha.
b. Kebijakan penetapan harga dan/atau penetapan alokasi biaya.
c. Hasil analisis kesebandingan atas karakteristik produk yang diperjualbelikan, hasil
analisis fungsional, kondisi ekonomi, ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian,
dan strategi usaha.
d. Pembanding yang terpilih.
e. Catatan mengenai penerapan metode penentuan harga wajar atau laba wajar yang
dipilih oleh wajib pajak serta alasan penolakan metode yang tidak dipilih.
Wajib pajak wajib melaporkan transaksi yang dilakukannya dengan pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan
wajib pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak pada transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Kewenangan Direktur
Jenderal Pajak tersebut tidak dilakukan apabila wajib pajak telah memenuhi prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi yang dilakukan dengan pihak-pihak yang
memiliki hubungan istimewa. Penghitungan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan metode dan dokumen
penentuan harga wajar atau laba wajar yang diterapkan oleh wajib pajak.
Dalam hal wajib pajak tidak dapat memberikan penjelasan yang memadai dan/atau
menunjukkan dokumen pendukung penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha,
Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan harga wajar atau laba wajar berdasarkan
data atau dokumen lain dan metode penentuan harga wajar atau laba wajar yang dimlai
tepat oleh Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan kewenangan berdasarkan Pasal 13
ayat (1) Undang-Undang KUP.
M. Correlative Adjustment
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyesuaian (correlative adjustment)
terhadap penghitugan penghasilan kena pajak wajib pajak sebagai tindak lanjut atas
suatu penyesuaian (primary adjustment) yang dilakukan oleh:
a. Direktorat Jenderal Pajak atas penghitungan penghasilan dan pengurangan yang
dilakukan oleh wajib pajak dalam negeri lainnya termasuk bentuk usaha tetap yang
menjadi lawan transaksi wajib pajak; atau
b. Otoritas pajak negara lain atas penghitungan penghasilan dan pengurangan yang
dilakukan oleh wajib pajak negara tersebut yang menjadi lawan transaksi wajib pajak
dalam negeri termasuk bentuk usaha tetap di Indonesia.
Atas penyesuaian yang dilakukan oleh otoritas pajak negara lain, wajib pajak tidak
diperkenankan untuk melakukan sendiri penyesuaian penghitungan pajaknya.
N. Mutual Agreement Procedure
Wajib pajak dapat mengajukan permohonan prosedur persetujuan bersama (Mutual
Agreement Procedure/MAP) kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai ketentuan dalam
persetujuan penghindaran pajak berganda atau P3B untuk menyelesaikan sengketa
perpajakan yang menyangkut penerapan ketentuan dalam P3B sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, termasuk dalam hal wajib pajak tidak menyetujui penyesuaian yang
dilakukan oleh otoritas pajak di negara mitra P3B terhadap wajib pajak yang menjadi
lawan transaksinya. Persetujuan penghindaran pajak berganda yang selanjutnya disebut
P3B adalah perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara/jurisdiksi
lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
Prosedur persetujuan bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) tersebut adalah
prosedur administratif yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang dari Indonesia
dengan pejabat yang berwenang dari negara mitra P3B untuk menyelesaikan sengketa
perpajakan yang timbul sehubungan dengan penerapan P3B.
O. Advance Pricing Agreement
Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah perjanjian
tertulis antara Direktur Jenderal Pajak dengan wajib pajak atau antara Direktur Jenderal
Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 18
ayat (3a) Undang-Undang PPh. Wajib pajak dapat mengajukan permohonan
kespeakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) kepada Direktur Jenderal
Pajak sesuai ketentuan yang berlaku, sebagai upaya menghindari permasalahan yang
mungkin timbul dalam transaksi yang dilakukan antara wajib pajak dengan pihak-pihak
yang mempunyai hubungan istimewa.
Manfaat dari diselenggarakan APA dalam buku Irwan (2019: 175) menyebutkan
sebagai berikut:
1. Memberikan kepastian wajib pajak atas perhitungan mengenai harga transaksi
dengan menggunakan metode yang disetujui
2. Memberikan kepastian terhadap kegiatan wajib pajak termasuk kepastian
mengenai kewajiban pajak yang berkaitan dengan transfer pricing
3. Mengurangi biaya dan waktu saat diaudit, karena selama periode APA berlaku
harga transaksi yang telah disepakati oleh wajib pajak dan otoritas pajak.
4. Dapat mencegah praktik transfer pricing yang tidak benar dan semata-mata hanya
untuk meghindari pajak.
LATIHAN SOAL
A. Tentukan Pernyataan dibawah ini dengan menuliskan B (Benar) atau S (Salah)
1. Transfer Pricing identik dengan transaksi antar perusahaan dalam satu grup (memiliki
hubungan istimewa) berupa penagihan penghasilan kena pajak dari perusahaan di
negara yang tarif pajaknya tinggi ke negara dengan tarif pajak yang rendah …
2. Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang atau tidak memiliki
substansi usaha bukan bagian dari rekayasa transfer pricing untuk penghindaran pajak

3. Akibat dari adanya transfer pricing yaitu terjadinya pengalihan penghasilan, dasar
pengenaan pajak atau biaya dari satu wajib pajak ke wajib pajak lainnya, yang direkayasa
untuk menekan sebagian jumlah pajak terutang atas pajak yang dimiliki wajib pajak yang
mempunyai hubungan istimewa …
4. Sebelum membuktikan adanya transfer pricing maka harus dibuktikan terlebih dahulu ada
atau tidaknya hubungan istimewa antara para pihak, salah satunya hubungan istimewa
dapat terjadi karena wajib pajak memiliki penyertaan modal langsung atau tidak langsung
paling tinggi 25% pada WP lain atau hubungan antara WP dengan penyertaan paling
tinggi 25% pada dua WP atau lebih …
5. Penerapan the arm’s length principle salah satu guidelines dalam menyelesaikan
perselisihan masalah transfer pricing yang dikeluarkan oleh OECD …
6. Transfer pricing dapat terjadi antarwajib pajak dalam negeri atau antara wajib pajak dalam
negeri dengan wajib pajak luar negeri, terutama yang berkedudukan di tax heaven
country (negara yang memungut pajak tidak lebih rendah dari Indonesia) …
7. Metode penentuan harga transfer yang dilakukan dengan menambahkan tingkat laba
kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan
lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa
pada harga pokok penjualan yang telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman
usaha merupakan salah satu metode transfer pricing yaitu Transactional Net Margin
Method …
8. Wajib pajak dapat mengajukan mutual agreement procedure untuk menyelesaikan
sengketa perpajakan terkait penerapan ketentuan dalam P3B sesuai dengan ketentuan
yang berlaku …
9. Correlative adjustment tidak dilakukan atas penghitungan penghasilan dan pengurangan
yang dilakukan oleh WPDN lainnya tidak termasuk BUT yang menjadi lawan transaksi
pajak …
10. Dalam Advance Pricing Agreement dijelaskan bahwa WP dapat mengajukan
permohonan kesepakatan harga transfer kepada DJP sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, sebagai upaya menghindari permasalahan yang mungkin timbul dalam transaksi
yang dilakukan antara WP dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa …
BAB 12 CONTROLLED FOREIGN CORPORATE DAN SPECIAL
PURPOSE COMPANY

A. Latar Belakang CFC


Transaksi internasional yang dilatarbelakangi oleh perkembangan ekonomi dan
perdagangan internasional dalam era golbalisasi ini menjadikan para investor Indonesia
melakukan investasi ke luar negeri atau yang dikenal dengan nama outward investment.
Perdagangan internasional yang terjadi ini menjadi peluang bagi investor dalam melakukan cara-
cara penghindaran pajak internasional yang dilakukan oleh perusahaan multinasional. Indonesia
tentu melihat kejadian ini dan tidak ingin potensi penerimaan pajak dari hasil investasi yang
dilakukan investor dengan penanaman modal wajib pajak di luar negeri hilang karena adanya
penghindaran pajak tersebut.
Penghindaran pajak yang sering dilakukan dalam investasi di luar negeri ini adalah
penangguhan pembagian deviden yang dikenal pada umumnya dengan istilah controlled foreign
corporation (CFC). CFC ini dilakukan dengan sengaja atas control dari induk perusahaan dengan
alasan bisnis. Deviden dari luar negeri berhak untuk dipajaki di Indonesia apabila telah benar-
benar dibagikan. Maka, apabila deviden tersebut masih ditunda atau ditangguhkan
pembagiannya, Indonesia tidak akan memiliki hak memajaki atas deviden tersebut.
Menteri keuangan memiliki wewenang untuk menentukan saat diperolehnya deviden selain
dari cara badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, maka hal ini dapat mengurangi
kemungkinan penghindaran pajak atas penanaman modal di luar negeri. Ketentuan pencegahan
atas penghindaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak dalam negeri yang melakukan
pengalihan penghasilan ke perusahaan terkendali yang berada di negara-negara yang
mengenakan pajak rendah atau tidak mengenakan pajak adalah pengertian dari CFC Rules
(Irwan, 2019:133).

B. Controlled Foreign Corporation


Controlled Foreign Corporation (CFC) adalah suatu skema penghindaran pajak dengan
menunda pembayaran penghasilan yang seharusnya diterima di suatu negara. Caranya dengan
menempatkan anak perusahaan di tax haven country. Anak perusahaan di tax haven country ini
digunakan untuk menampung penghasilan yang diterima.
Salah satu upaya untuk mencegah wajib pajak dalam menunda mengirim penghasilan ke
Indonesia melalui pasal 18 ayat (2) UU PPh memberi kewenangan kepada menteri keuangan
untuk menerapkan saat diperolehnya dividen oleh wajib pajak dalam negeri atas penyertaan
modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa
efek dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Memiliki penyertaan mdal paling rendah 50% dari jumlah saham yang disetor pada
badan usaha di luar negeri.
b. Secara bersama-sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan
modal paling rendah 50% dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar
negeri.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan, saat diperolehnya dividen oleh wajib pajak
dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang
menjual sahamnya di bursa efek adalah sebagai berikut.
a. Pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat
pemberitahuan tahunan penghasilan badan usaha di luar negeri tersebut untuk tahun
pajak yang bersangkutan.
b. Pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir, apabila badan usaha di luar negeri
tersebut tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan
pajak penghasilan atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian surat
pemberitahuan tahunan pajak penghasilan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 256/PMK.03/2008 dan PMK ini direvisi pada tahun 2017 melalui PMK Nomor
107/PMK.03/2017.
Besarnya dividen yang wajib dihitung oleh wajib pajak dalam negeri adalah sebesar jumlah
dividen yang menjadi haknya terhadap laba setelah pajak yang sebanding dengan
penyertaannya pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di
bursa efek. Ketentuan ini tidak berlaku apabila sebelum batas waktu di atas, badan usaha di luar
negeri dimaksud sudah membagikan dividen yang menjadi hak wajib pajak.
Dividen tersebut wajib dilaporkan dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan
untuk tahun pajak saat dividen tersebut dianggap diperoleh. Selain itu, wajib pajak wajib
melampirkan laporan keuangan dari badan usaha di luar negeri pada surat pemberitahuan
tahunan pajak penghasilan. Apabila wajib pajak dalam negeri menerima pembagian dividen
dalam jumlah yang melebihi jumlah dividen yang dilaporkan, atas kelebihan jumlah dividen
tersebut wajib dilaporkan dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan pada tahun
pajak dibagikannya dividen tersebut.
Pajak atas dividen yang telah dibayar atau dipotong di luar negeri dapat dikreditkan sesuai
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008. Pengkreditan pajak yang dibayar atau dipotong dilakukan pada
tahun pajak dibayarnya atau dipotongnya pajak tersebut. Dalam hal belum ada pajak secara
nyata dibayar di luar negeri atas dividen yang ditetapkan saat perolehannya, maka pajak atas
dividen tersebut tidak boleh diperhitungkan sebagai kredit pajak luar negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008, dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak saat ditetapkan perolehan dividen.
Pada dasarnya CFC Rules ini menekankan bahwa wajib pajak dalam negeri yang
mempunyai perusahaan di luar negeri yang tidak terdaftar pada bursa efek di luar negeri dan
memiliki penyertaan modal minimal 50% baik sendiri atau Bersama-sama dengan wajib pajak
dalam negeri lainnya maka penghasilan deviden dari CFC tersebut akan diperhitungkan dengan
rumus : (Laba bersih CFC x Persentase penyertaan pada CFC).

C. Penentuan Perolehan Deemed Deviden.


Demeed Deviden diperoleh atas penyertaan modal langsung wajib pajak dalam negeri
pada Badan Usaha Luar Negeri (BULN) Nonbursa terkendali langsung ditetapkan pada
akhir bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat
pemberitahuan tahunan pajak penghasilan bagi BULN Nonbursa terkendali langsung
untuk tahun pajak yang bersangkutan. Menghitung besaran Deemed Deviden dengan
cara mengalikan presentase penyertaan modal wajib pajak dalam negeri pada BULN
Nonbursa terkendali langsung dengan dasar pengenaan Deemed Deviden. DPP
Deemed Deviden ini adalah laba setelah pajak BULN Nonbursa terkendali langsung.
Deemed Deviden yang dapat diperhitungkan adalah selama jangka waktu 5 (lima)
tahun kebelakang secara berturut-turut terhitung sejak tahun diterimannya deviden. Jika
deviden yang diterima lebih besar dari Deemed Deviden yang dapat diperhitungkan,
maka atas selisih tersebut dikenai pajak penghasilan dan dilaporkan dalam SPT Tahunan
PPh Tahun diterimanya deviden (Irwan, 2019:135).
Contoh Kasus:
1. Penentuan saat diperolehnya Deemed Deviden oleh WPDN atas penyertaan modal
langsung pada BULN Nonbursa terkendali langsung:
PT Rexy yang merupakan WPDN, pada akhir tahun pajak 2018 memiliki penyertaan
modal langsung sebesar 65% dari jumlah saham yang disetor Abraham Ltd. Di negara
asalnya UEA saham Abraham Ltd tidak diperdagangkan di bursa efek. Maka penentuan
saat diperolehnya Deemed Deviden oleh PT Rexy adalah sebagai berikut:
a. Apabila tahun pajak Abraham Ltd adalah 1 januari s/d 31 desember 2018 dan
batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh di negara tersebut paling lambat 31
Mei 2019, maka saat diperolehnya Deemed Deviden adalah pada akhir bulan
keempat setelah berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Tahunan di negara
UEA, yaitu September 2019 dan;
b. Apabila tahun pajak Abraham Ltd adalah 1 april 2018 s/d 31 maret 2019 dan
Abraham Ltd tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan SPT Tahunan PPh di
negara tersebut, maka saat diperolehnya Deemed Deviden adalah pada akhir
bulan ketujuh setelah tahun pajak Abraham Ltd berakhir yaitu 31 Oktober 2019.
Contoh Perhitungan:
Pada tahun pajak 2018, Abraham Ltd memperoleh laba setelah pajak sebesar USD
100.000. Tahun pajak Abraham Ltd. Adalah 1 januari s/d 31 desember 2018 dan batas
waktu penyampaian SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak di negara tersebut paling
lambat 31 mei 2018, sehingga saat diperolehnya Deemeed Deviden bagi PT Rexy atas
penyertaan modalnya pada Abraham Ltd adalah 30 september 2019. Nilai kurs USD
terhadap rupiah yang berlaku pada tanggal 30 september 2018 adalah Rp 11.500/USD.
Maka dengan demikian besarnya Deemed Deviden tahun 2018 yang diperoleh Abraham
Ltd yang diperoleh PT Rexy adalah 65% x USD 100.000 = USD 65.000. Deemed Deviden
tersebut dilaporkan PT Rexy adalah sebesar USD 65.000 x Rp 11.500/USD = Rp
747.500.000 dalam SPT Tahunan Pajak 2019.
2. PT PALMA CPO and SING OIL PTE Ltd, Singapore. Set up a company in Singapore.
Palma CPO owns 75% of SING OIL PTE Ltd. Share SING OIL PTE Ltd Singapore
reported net income for USD 750.000 for the year ended 31 desember 2019. But it doesn’t
declare any dividend. Assume the filing deadline in Singapore is 31 march, what is PT
PALMA CPO should do regarding the net income reorted by the subsidiary?
Answer : PT PALMA CPO should recognize dividend revenue by July 31 2019 for USD
562.500 (75% x USD 750.000).

D. Special Purpose Company


Special Purpose Company adalah sebuah perusahaan yang dibuat untuk tujuan
tertentu. Dalam konteks perpajakan tujuan dari pendirian special purpose company
adalah untuk melakukan penghindaran pajak. Salah satu bentuk penghindaran pajak
yang memanfaatkan keberadaan special purpose company adalah untuk menghindari
pengenaan pajak atas keuntungan penjualan saham.
Untuk mencegah praktik penghindaran pajak, ketentuan pasal 18 ayat (3c)
Undang-Undang PPh mengatur bahwa penjualan atau pengalihan saham perusahaan
antara (conduit company/special purpose company) yang didirikan atau bertempat
kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country) yang
mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan
di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan
atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
atau bentuk usaha tetap di Indonesia.
Terhadap penjual yang berstatus sebagai wajib pajak luar negeri yang merupakan
penduduk dari negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
(P3B) dengan Indonesia, pemotongan PPh Pasal 26 hanya dilakukan apabila hak
pemajakan berdasarkan P3B berada pada pihak Indonesia berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 258/PMK.03/2008. Penghasilan dari penjualan atau
pengalihan saham kepada wajib pajak dalam negeri, dipotong pajak oleh pembeli wajib
pajak dalam negeri dan kepada wajib pajak luar negeri tersebut diberikan bukti
Pemotongan PPh Pasal 26. Namun, apabila saham dibeli oleh wajib pajak luar negeri,
berlaku ketentuan berikut ini.
a. Pihak yang ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah badan yang didirikan atau
berkedudukan di Indonesia yang sahamnya diperjualbelikan oleh pemegang saham wajib
pajak luar negeri di luar bursa efek.
b. Badan tersebut harus mencatat akta pemindahan hak atas saham yang dijual.
Ketentuan lain mengenai special purpose company juga diatur dalam pasal 18 ayat (2b).
dalam ketentuan ini diatur bahwa wajib pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva
perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk dimaksud demikian (special purpose
company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut
sepanjang wajib pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau
badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga. Ketentuan ini dimaksud untuk
mencegah penghindaran pajak oleh wajib pajak yang melakukan pembelian saham/penyertaan
pada suatu perusahaan wajib pajak dalam negeri melalui perusahaan luar negeri yang didirikan
khsusus untuk tujuan tersebut (special purpose company).
Dalam konteks ketentuan pasal 18 ayat (2) Undang-Undang PPh, yang dimaksud saham
atau aktiva perusahaan dalam hal ini adalah sebagai berikut.
a. Saham atau aktiva yang sebelumnya dimiliki dan/atau dijaminkan oleh wajib pajak dalam
negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian, sehubungan
dengan perjanjian utang piutang.
b. Aktiva yang merupakan aset kredit (piutang) kepada wajib pajak dalam negeri yang
ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian, sehubungan dengan
perjanjian utang piutang.
Pihak atau badan yang dibentuk untuk maksud melakukan pembelian saham atau aktiva
perusahaan (special purpose company) sebenarnya merupakan pihak atau badan yang tidak
mempunyai substansi usaha dan yang dibentuk oleh wajib pajak dalam negeri yang bertujuan
antara lain untuk membeli saham atau aktiva wajib pajak dalam negeri lainnya.
LATIHAN SOAL
A. Tentukan Pernyataan dibawah ini dengan menuliskan B (Benar) atau S (Salah)
1. Karena adanya tax heaven country dan negara-negara yang mengenakan pajak lebih rendah
disbanding dengan negara asal maka salah satu cara ialah dengan melakukan penundaan
pajak yang disebut dengan Controlled Foreign Corporation (CFC) …
2. Salah satu upaya untuk mencegah wajib pajak dalam menunda mengirim penghasilan ke
Indonesia yaitu dengan memberi kewenangan kepada menteri keuangan untuk menetapkan
saat diperolehnya dividen oleh wajib pajak dalam negeri maupun wajib pajak luar negeri atas
penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri termasuk usaha yang menjual sahamnya
di bursa efek …
3. Sesuai dengan peraturan Menteri Keuangan, saat diperolehnya dividen oleh wajib pajak
dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha
yang menjual sahamnya di bursa efek yaitu pada bulan keempat setelah berakhirnya batas
waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan
usaha di luar negeri tersebut untuk tahun pajak berikutnya …
4. Besarnya dividen yang wajib dihitung oleh wajib pajak dalam negeri adalah sebesar jumlah
dividen yang menjadi haknya terhadap laba setelah pajak yang sebanding dengan
penyertaannya pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya
di bursa efek …
5. Dalam hal belum ada pajak secara nyata dibayar di luar negeri atas dividen yang ditetapkan
saat perolehannya, maka pajak atas dividen tersebut tetap diperhitungkan sebagai kredit
pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 …
6. Sebuah perusahaan yang dibuat untuk tujuan tertentu, salah satunya untuk menghindari
pengenaan pajak atas keuntungan penjualan saham disebut sebagai special purpose
company …
7. Penjualan saham perusahaan yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang
memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia tidak dapat
diteteapkan sebagai pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia atau BUT di Indonesia …
8. Ketentuan special purpose company mengatur bahwa wajib pajak yang melakukan
pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan, dapat ditetapkan
sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang wajib pajak yang
bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan
terdapat kewajaran penetapan harga …
9. Pihak atau badan yang mempunyai substansi usaha dan yang dibentuk oleh wajib pajak
dalam negeri yang bertujuan antara lain untuk membeli saham atau aktiva wajib pajak dalam
negeri lainnya dapat disebut sebagai special purpose company …
10. Penjualan atau pengalihan saham antara special purpose company yang didirikan di tax
heaven country yang memiliki hubungan istimewa dengan BUT di Indonesia dapat ditetapkan
sebagai penjualan atau pengalihan saham BUT di Indonesia berhak untuk dipajaki di
Indonesia …
B. Jawablah pertanyaan dibawah ini secara jelas dan lengkap!
1. Mengapa perkembangan transaksi internasional mengakibatkan adanya peluang untuk
melakukan tav evasion?
2. Jika dibandingkan mana yang lebih besar antara potensi penerimaan pajak yang berasal
dari dalam negeri dan luar negeri? Mengapa demikian?
3. Mengapa yang menjadi cara dalam melakukan penghindaran pajak adalah dari dividen?
Jelaskan!
4. Apakah fiskus di Indonesia bisa memajaki penghasilan yang berasal dari dividen namun
belum dibagikan? Jelaskan!
5. Apakah CFC merupakan sebuah tax avoidance? Jelaskan!
6. Mungkinkah menteri keuangan tidak mengetahui ada wajib pajak yang dengan sengaja
dengan tujuan menghindari pajak menunda mengirim penghasilan ke Indonesia?
Jelaskan!
7. Apa yang dimaksud dengan deemed deviden?
8. Jika perusahaan didirikan diluar negeri dengan tujuan menjadi BUT apakah termasuk
kedalam SPV? Jelaskan!
9. Apabila akan membuat SPV dengan tujuan penghindaran pajak apa pertimbangan yang
harus dilakukan oleh wajib pajak?
10. Apakah membuat SPV merupakan tax avoidance?
BAB 13 TREATY SHOPPING

A. Treaty Shopping
Secara teori tujuan utama dari tax treaties adalah menghapus hambatan pajak pada kegiatan
ekonomi internasional. Investor asing akan mendapatkan kepastian hokum dari adanya tax
treaties karena tax treaty mengalokasikan hak pemajakan antara negara tuan rumah (host
country) tempat pendapatan timbul, dan negara asal (home country) tempat penerima
pendapatan bertempat tinggal. Elemen ini dari tax treaties ini pada hakikatnya adalah
pengurangan withholding tax, yang membatasi hak pemajakan negara tuan rumah.
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty merupakan kesepakatan
untuk membagi hak pemajakan, atau mengurangi hak pemajakan antara dua negara. Melalui
P3B, penduduk negara mitra P3B dimungkinkan untuk mendapatkan pengurangan tarif atau
bahkan tidak dilakukan pemajakan di negara mitra P3B lainnya. Melalui treaty shopping,
keuntungan berupa pengurangan tarif pajak dimanfaatkan oleh pihak yang tidak berhak. Dengan
kata lain, treaty shopping merupakan suatu cara untuk mendapatkan manfaat suatu tax treaty
oleh pihak yang sebenarnya tidak berhak atas manfaat tax treaty tersebut. Treaty shopping
biasanya melibatkan para pihak yang memiliki hubungan istimewa, atau bahkan dengan sengaja
mendirikan perusahaan yang semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak (special purpose
company). Van Weeghel menyatakan “treaty shopping cannotes a situation in which a person
who is not entitled to the benefits of a tax treaty make use-in the wides meaning of the world- of
an individual or legal person in order to obtain those treaty benefits thar are not available directly.”
Treaty shopping umumnya mengacu pada situasi saat seseorang yang tinggal di satu negara
asal (home country) dan memperoleh pendapatan atau capital gains dari negara lain (source
country), dapat memperoleh benefit dari tax treaty antara negara sumber dan negara lain/negara
ketiga (third country). Situasi ini sering muncul saat seseorang tinggal (resident) di negara asal
(home country), namun negara asal (home country) tidak memiliki tax treaty dengan negara
sumbernya (source country).
Contoh Perusahaan “CoCO” yang tinggal dikepulauan Cayman (home country) mungkin
memiliki perusahaan “AMCo” di AS (source country). Dividen yang dibayarkan dari AmCo kepada
CoCo akan dikenai pemotongan pajak (withholding) 30% di AS. Jika CoCo membentuk
perusahaan “UKCo” di Inggris (third country) dan mentransfer saham AmCo ke UKCo, dividen
akan dibayarkan AmCo kepada UKCo dan, tanpa menggunakan anti-treaty shopping rules,
dividen tersebut akan memenuhi syarat masuk sebagai benefit berdasarkan tax treaty Amerika

BANI BINEKAS & RIZKI INDRAWAN – PAJAK INTERNASIONAL 1


Serikat – Inggris. Jika pendekatan ini berhasil, dividen yang kena withholding tax 30% atas
dividen yang dibayarkan oleh AmCo dapat dikurangi menjadi nol. Selain itu, karen Inggris tidak
mengenak withholding tax atas dividen yang dibayarkan kepada non-UK residents, tingkat pajak
keseluhran (overall tax rateI) grup perusahaan bisa menurun. Namun, perlu dipastikan bahwa
dalam peraturan pajak penghasilan negara bagian Inggris terhadap pembayaran dividen dari
AmCo kepada UKCo tidak akan dikenai pajak penghasilan pemerintah Inggris.
Treaty shopping dikategorikan sebagai sebuah upaya penyalahgunaan P3B (treaty abuse).
Hal ini dikarenakan treaty shopping menggunakan beberapa pasal dalam perjanjian
penghindaran pajak berganda yang tidak sesuai dengan tujuan tax treaty. Padahal tujuan awal
dari tax treaty adalah untuk menghindari pajak berganda dan mencegah terjadinya penghindaran
pajak.

B. Beneficial Owner
Dalam model P3B terdapat ketentuan mengenai beneficial owner. Ketentuan beneficial
owner umumnya dimuat terkait dengan pemajakan atas penghasilan dividen, bunga, dan royalti.
Maksud dari adanya ketentuan beneficial owner adalah untuk menangkal prkatik treaty shopping
dengan cara mencegah penduduk yang tidak mempunyai treaty menikmati manfaat suatu treaty.
Dalam OECD Model, UN Model, maupun Model P3B Indonesia, pada pasal yang mengatur
pengurangan tarif pajak oleh negara sumber atas dividen, bunga, dan royalti disebutkan bahwa
pengurangan tarif pajak akan diberikan apabila beneficial owner dari dividen, bunga, atau royalti
adalah penduduk dari negara mitra P3B. Seandainya dividen, bunga, atau royalti tersebut
diterima oleh penduduk negara treaty partner, tetapi beneficial owner dari penghasilan bukan
penduduk negara mitra P3B, penerima penghasilan tersebut tidak berhak mendapatkan
pengurnagan tarif pajak.
Menurut Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 jo. PER-25/PJ/2010 ketentuan
perpajakan di Indonesia yang memuat aturan tentang pencegahan penyalahgunaan P3B oleh
orang/badan yang tidak berhak adalah sebagai berikut.
1. Orang ppribadi atau badan yang dicakup dalam P3B adalah orang pribadi atau badan yang
merupakan SPDN dan/atau subjek pajak dalam negeri dari negara mitra P3B. P3B tidak
diterapkan dalam hal terjadi penyalahgunaan P3B, meskipun penerima penghasilan telah
sesuai dengan ketentuan.
2. Penyalahgunaan P3B dapat terjadi dalam hal:

BANI BINEKAS & RIZKI INDRAWAN – PAJAK INTERNASIONAL 2


a. Transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan menggunakan
struktur/skema sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh
manfaat P3B.
b. Transaksi dengan struktur/skema yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan
substansi ekonomisnya (economic substance) sedemikian rupa dengan maksud
semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B; atau
c. Penerima penghasilan bukan merupakan pemilik yang sebenarnya atas manfaat
ekonomis dari penghasilan (beneficial owner).
3. Kriteria beneficial owner hanya diterapkan untuk penghasilan yang di dalam pasal P3B terkait
memuat persyaratan beneficial owner.
4. Yang dimaksud dengan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan
adalah penerima penghasilan yang:
a. Bertindak tidak sebagai agen. Agen adalah orang atau badan yang bertindak sebagai
perantara dan melakukan tindakan untuk dan/atau atas nama pihak lain;
b. Bertindak tidak sebagai nominee. Nominee adalah orang atau badan yang secara
hukum memiliki (legal owner) suatu harta dan/atau penghasilan untuk kepentingan atau
berdasarkan amanat pihak yang sebenarnya menjadi pemilik harta dan/atau pihak yang
sebenarnya menikmati manfaat atas penghasilan;
c. Bukan perusahaan conduit. Perusahaan conduit adalah suatu perusahaan yang
memperoleh manfaat dari suatu P3B sehubungan dengan penghasilan yang timbul dari
negara lain, sementara manfaat ekonomis dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang-
orang di negara lain yang tidak akan dapat memperoleh hak pemanfaatan P3B apabila
penghasilan tersebut diterima langsung.
5. Orang pribadi atau badan yang tercakup dalam P3B yang dianggap tidak melakukan
penyalahgunaan P3B.
a. Individu yang bertindak tidak sebagai agen atau nominee.
b. Lembaga yang namanya disebutkan secara tegas dalam P3B atau yang telah disepakati
oleh pejabat yang berwenang di Indonesia dan di negara mitra P3B.
c. WPLN yang menerima atau memperoleh penghasilan melalui kustodian sehubungan
dengan penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang
diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia, selain bunga dan dividen,
dalam hal WPLN bertindak tidak sebagai agen atau nominee.
d. Perusahaan yang sahamnya terdaftar di pasar modal dan diperdagangkan secara
teratur.

BANI BINEKAS & RIZKI INDRAWAN – PAJAK INTERNASIONAL 3


e. Dana pensiun yang pendiriannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di
negara mitra P3B dan merupakan subjek pajak di negara mitra P3B.
f. Bank.
g. Perusahaan yang memenuhi persyaratan sebagai berikut.
1) Bagi perusahaan yang menerima atau memperoleh penghasilan yang di dalam
pasal P3B terkait tidak mengatur persyaratan beneficial owner, yaitu pendirian
perusahaan atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak semata-mata
ditunjukan untuk pemanfaatan P3B;
2) Bagi perusahaan yang menerima atau memperoleh penghasilan yang di dalam
pasal P3B terkait dengan mengatur persyaratan beneficial owner, yaitu:
a) Pendirian perusahaan atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak semata-
mata ditujukan untuk pemanfaatan P3B;
b) Kegiatan usaha dikelola oleh manajemen sendiri yang mempunyai kewenangan
yang cukup untuk menjalankan transaksi;
c) Perusahaan mempunyai pegawai;
d) Mempunyai kegiatan atau usaha aktif. Pengertian “kegiatan atau usaha aktif”
diartikan sesuai dengan keadaan WPLN dan dapat mempunyai makna kegiatan
atau usaha yang dilakukan secara aktif olrh WPLN yang ditunjukkan dengan
adanya biaya yang dikeluarkan, upaya yang dilakukan, atau pengorbanan yang
terjadi, yang berkaitan secara langsung dengan usaha atau kegiatan dalam
rangka mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk dalam
hal WPLN melakukan kegiatan yang signifikan yang dilakukan untuk
mempertahankan kelangsungan entitas. Pengertian “penghasilan yang
bersumber dari Indonesia terutang pajak di negara penerimanya” adalah
kondisi WPLN berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan di
negaranya, dimana WPLN merupakan subjek yang terutang pajak di negaranya
dan penghasilan yang bersumber dari luar negeri merupakan objek pajak,
meskipun pada kahirnya subjek pajak tersebut tidak terutang pajak secara
legal, antara lain karena penghasilan tersebut terkena tarif pajak 0%,
dibebaskan dari pengenaan pajak oleh ketentuan yang spesifik dengan
memenuhi persyaratan tertentu, atau secara ekonomis tidak menanggung
beban pajak, antara lain karena pajak yang terutang ditanggung oleh
pemerintah di luar negeri, ditangguhkan, atau tidak dipungut;

BANI BINEKAS & RIZKI INDRAWAN – PAJAK INTERNASIONAL 4


e) Penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di negara
penerimanya;
f) Tidak menggunakan lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total
penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain dalam bentuk,
seperti: bunga, royalti, atau imbalan lainnya. Pengertian “tidak menggunakan
lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total penghasilannya untuk memenuhi
kewajiban kepada pihak lain” adalah tidak lebih 50% dari seluruh penghasilan
WPLN, dalam jenis apapun atau sumber manapun, sebagaimana diungkapkan
dalam laporan keuangan entitas WPLN sendiri (nonkonsolidasi) yang
digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain, tidak termasuk
pemberian imbalan kepada karyawan yang diberikan secara wajar dalam
hubungan pekerjaan dan biaya-biaya lain yang lazim dikeluarkan oleh WPLN
dalam menjalankan usahanya dan pembagian keuntungan dalam bentuk
dividen kepada pemegang saham.
6. Dalam hal terjadi penyalahgunaan P3B, maka
a. Pemotong/pemungut pajak tidak diperkenankan untuk menerapka ketentuan yang diatur
dalam P3B dan wajib memotong atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008; dan
b. WPLN yang melakukan penyalahgunaan P3B tidak dapat mengajukan permohonan
pengembalian kelebihan pajak yang tidak seharusnya terutang.
7. Dalam hal terdapat perbedaan antara format hukum (legal form) suatu struktur/skema
dengan substansi ekonomisnya (economic substance), maka perlakuan perpajakan
diterapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku berdasarkan substansi ekonomisnya
(economic substance).
8. Dalam hal WPLN tidak melakukan penyalahgunaan P3B, WPLN berhak memperoleh
manfaat P3B. Dalam hal WPLN dikenakan pajak tidak berdasarkan ketentuan yang diatur
dalam P3B, WPLN dapat meminta pejabat yang berwenang di negaranya untuk melakukan
penyelesaian melalui prosedur persetujuan bersama (mutual agreement procedure) sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam P3B.
Pada intinya beneficial owner sesuai Per 10/PJ/2017 adalah pemilik yang sebenarnya dari
penghasilan berupa deviden, bunga dan royalty baik wajib pajak perorangan maupun wajib pajak

BANI BINEKAS & RIZKI INDRAWAN – PAJAK INTERNASIONAL 5


badan, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat penghasilan-
penghasilan tersebut (Irwan, 2019:214).
Contoh ilustrasi beneficial owner:
Perusahaan DanBam membagikan deviden kepada pemegang sahamnya, yaitu perusahaan
Jangga. Perusahaan Jangga kemudian membayarkan seluruh deviden yang diterimanya kepada
perusahaan IC yang merupakan induk perusahaan. Untuk memutuskan apakah perusahaan
Jangga adalah beneficial owner atas deviden yang diterimanya dari perusahaan DanBam. Maka
terlebih dahulu ditentukan apakah perusahaan Jangga ini bertindak sebagai agen,nominee
ataukah sebagai perusahaan conduit yang semata-mata bertindak sebagai fidusiari atau
administrator bagi perusahaan IC.
Jika ternyata perusahaan tidak terikat kewajiban secara kontraktual atau legal untuk
meneruskan pembayaran deviden yang diterimanya kepada perusahaan IC, maka perusahaan
Jangga dapat dianggap sebagai beneficial owner atas deviden yang diterima dari perusahaan
DanBam. Dalam hal ini perusahaan Jangga dianggap memiliki hak untuk menggunakan atau
menikmati deviden yang diterimanya, terlepas dari fakta bahwa penghasilan deviden yang
diterimanya secara efektif diteruskan kepada perusahaan IC.
Sebaliknya, perusahaan Jangga menjadi bukan beneficial owner jika terikat secara legal atau
kontraktual (maupun berdasarkan fakta dan keadaan sebenarnya) untuk meneruskan
pembayaran deviden yang diterimanya ke pihak lain.
Jadi, yang menjadi poin penentu untuk menentukan apakah penerima penghasilan merupakan
beneficial owner adalah ada atau tidaknya kewajiban untuk meneruskan penghasilan yang
diterimanya kepada pihak lain.

BANI BINEKAS & RIZKI INDRAWAN – PAJAK INTERNASIONAL 6


LATIHAN SOAL
A. Tentukan Pernyataan dibawah ini dengan menuliskan B (Benar) atau S (Salah)
1. Treaty shopping biasanya tidak melibatkan para pihak yang memiliki hubungan istimewa atau
bahkan dengan sengaja mendirikan perusahaan yang semata-mata untuk tujuan
penghindaran pajak (special purpose company) …
2. Keuntungan berupa pengurangan tarif pajak dimanfaatkan oleh pihak yang berhak dapat
didapatkan melalui treaty shopping. …
3. Untuk menangkal praktik treaty shopping dengan cara mencegah penduduk yang tidak
mempunyai treaty untuk menikmati manfaat suatu treaty disebut sebagai beneficial owner …
4. Beneficial owner dari penghasilan bukan penduduk negara mitra P3B, penerima penghasilan
tersebut berhak mendapatkan pengurangan tarif pajak …
5. Kriteria beneficial owner hanya diterapkan untuk penghasilan yang di dalam pasal P3B terkait
memuat persyaratan beneficial owner …
6. Pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan adalah penerima
penghasilan yang bertindak tidak sebagai agen, bertindak tidak sebagai nominee, dan
termasuk perusahaan conduit …
7. Orang pribadi atau badan yang dicakup dalam P3B yang dianggap tidak melakukan
penyalahgunaan P3B salah satunya perusahaan yang transaksinya tidak semata-mata
ditujukan untuk pemanfaatan P3B …
8. Penyalahgunaan P3B dapat terjadi dalam hal transaksi yang tidak mempunyai substansi
ekonomi dilakukan dengan menggunakan struktur/skema sedemikian rupa dengan maksud
semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B …
9. Dalam hal terjadi penyalahgunaan P3B, maka WPLN yang melakukan penyalahgunaan
tersebut dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pajak yang seharusnya
terutang …
10. Dalam hal WPLN tidak melakukan penyalahgunaan P3B, WPLN berhak memperoleh
manfaat P3B dengan syarat mengikuti prosedur persetujuan bersama …

BANI BINEKAS & RIZKI INDRAWAN – PAJAK INTERNASIONAL 7


B. Jawablah pertanyaan dibawah ini secara jelas dan lengkap!
1. Apa fungsi dari adanya tax treaty yang disepakati oleh dua negara?
2. Apabila tax treaty menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak yang lain apakah
tax treaty tersebut harus tetap dijalankan? Jelaskan!
3. Apa alasan adanya wajib pajak yang melakukan treaty shopping?
4. Mungkinkah treaty shopping terjadi apabila hanya memiliki anak perusahaan disatu negara
saja? Jelaskan!
5. Bagaimana cara agar treaty shopping tidak termasuk kedalam tax evasion?
6. Apa yang dimaksud dengan benefial owner? Berikan contohnya!
7. Berikan contoh yang termasuk kedalam penyalahgunaan tax treaty?
8. Apa kaitan antara beneficial owner dengan treaty shopping?
9. Tuan X merupakan wajib pajak negara A memiliki transaksi dengan Tuan Y yang
merupakan wajib pajak negara B. Atas transaksi antara Tuan X dan Y menggunakan P3B
antara negara X dan negara Z. Apakah hal ini diperbolehkan? Mengapa?
10. Bagaimana cara memanfaatkan P3B padahal bukan termasuk kedalam beneficial owner?

BANI BINEKAS & RIZKI INDRAWAN – PAJAK INTERNASIONAL 8


BAB 14 THIN CAPITALIZATION

A. Pengertian Thin Capitalization


Salah satu bentuk transfer pricing dalam skema penghindaran pajak yang aman yang
dilakukan oleh perusahaan multinasional yang memayungi perusahaan-perusahaan afiliasinya
yang tersebar diberbagai negada adalah thin capitalization melalui instrument debt to equity ratio
yang ditetapkan oleh suatu negara. Bagi perusahaan multinasional, adanya ketentuan bahwa
pembayaran bunga dapat menjadi pengurang pajak telah mendorong perilaku untuk mendanai
afiliasinya lebih baik menggunkan utang daripada penyertaan modal (thin capitalization). Diisisi
lain, pembaran dividen tidak menjadi pengurang pajak. Oleh karena itu, akan sangat
menguntungkan jika komposisi utang semakin besar, terutama jika utang tersebut ditempatkan
dinegara lokasi afiliasi yang memiliki tarif pajak tinggi (debt shifting).
Thin Capitalization adalah suatu skema penghindaran pajak dengan cara membuat struktur
utang jauh lebih besar dari modal saham. Skema ini muncul akibat adanya aturan dalam
ketentuan perpajakan yang membedakan antara perlakuan bunga sebagai pengembalian
keuntungan (return) atas utang dengan dividen sebagai pengembalian keuntungan atas investasi
saham. Untuk kepentingan penghitungan pajak, pembayaran bunga merupakan biaya dapat
dikurangkan (deductible expense), sedangkan pembayaran dividen bukan merupakan biaya yang
dapat dikurangkan (non deductible expense). Dalam kaitan inilah biasanya perusahaan induk
memberi pinjaman kepada anak perusahaan yang berkedudukan di negara lain agar bunganya
dapat dibiayakan.
Contoh: thin capitalization yaitu berdasarkan Laporan Keuangan Tahun 2020, PT Bukit Raya
memiliki modal Rp. 800 juta dan utang sebesar Rp. 3 Milyar, dimana sejumlah Rp. 2,8 milyar
merupakan utang kepada salah satu pemegang saham (pribadi). Suku bunga pinjaman 12% per
tahun, sehingga bunga pinjaman yang dibayarkan kepada pemegang saham tersebut sebesar
12% x Rp. 2,8 milyar = Rp. 336 juta. Hitung berapa bunga pinjaman yang boleh dibebankan
sebagai biaya tahun 2020?
Jawab: Debt to equity ratio = 2.800.000.000 : 800.000.000 = 3,5 : 1 sedangkan berdasarkan
KMK Nomor 1002/KMK,.04/1984, DER yang wajar ditetapkan setinggi-tingginya 3 : 1.
Berdasarkan rasio tersebut maksimal utng adalah sebesar 3 x Rp. 800.000.000 = Rp.
2.400.000.000.
Dengan demikian, bunga yang wajar tidak boleh dibebankan sebagai biaya adalah sebesar
12% x Rp. 2.400.000.000 = Rp. 288.000.000, sehingga teradapat selisih pembebanan bunga
sebesar Rp. 336.000.000 – Rp. 288.000.000 = Rp. 48.000.000.
Berdasarkan pasal 18 ayat 3 UU PPh Nomor 36 tahun 2008, atas selisih sebesar Rp. 48 juta
tersebut dianggap sebagai dividen yang dikenai pajak, yakni PPh pasal 4 ayat 2 (final) sebesar
10% atau sebesar Rp. 4.800.000.

B. Penanganan Thin Capitalization


Untuk mencegah pratik thin capitalization pasal 18 ayat (1) Undang-Undang PPh memberi
kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk mengeluarkan keputusan mengenai besarnya
perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak.
Sebagai tindak lanjut, diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 169/PMK.010/2015
tentang penentuan besarnya perbandingan antara utang dan modal untuk keperluan perhitungan
pajak penghasilan.
1. Perbandingan utang dan modal disini adalah untuk WP Badan yang
didirikan/bertempat kedudukan di Indonesia yang modalnya terbagi atas saham
saham.
2. Utang adalah rata-rata saldo utang tiap akhir bulan pada tahun pajak atau bagian
tahun pajak yang bersangkutan.
3. Modal adalah rata-rata saldo modal tiap akhir bulan pada tahun pajak atau bagian
tahun pajak yang bersangkutan.
4. Besarnya perbandingan antara utang dan modal ditetapkan paling tinggi 4:1
5. Ketentuan ini tidak berlaku untuk wajib pajak sebagai berikut.
a. Wajib pajak bank.
b. Wajib pajak lembaga pembiayaan.
c. Wajib pajak asuransi dan reasuransi.
d. Wajib pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas
bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya yang terikat kontrak bagi
hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan, dan
dalam kontrak atau perjanjian dimaksud mengatur atau mencantumkan ketentuan
mengenai batasan perbandingan antara utang dan modal.
e. Wajib pajak yang atas seluruh penghasilannya dikenai pajak penghasilan yang
bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undnagan tersendiri.
f. Wajib pajak yang menjalankan usaha di bidang infrastruktur.
Saldo utang tersebut meliputi saldo utang jangka panjang maupun saldo utang jangka
pendek, termasuk saldo utang dagang yang dibebani bunga. Modal yang digunakan sebagai
dasar penghitungan perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio/DER) adalah
saldo rata-rata modal pada satu tahun pajak atau bagian tahun pajak, yang dihitung berdasarkan
rata-rata saldo modal tiap akhir bulan pada tahun pajak yang bersangkutan atau rata-rata saldo
modal tiap akhir bulan pada bagian tahun pajak yang bersangkutan. Saldo modal tersebut
meliputi ekuitas sebagaimana dimaksud dalam standar akuntansi keuangan yang berlaku dan
pinjaman tanpa bunga dari pihak yang memiliki hubungan istimewa.
Dalam hal besarnya perbandingan antara utang dan modal wajib pajak melebihi besarnya
perbandingan, biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena
pajak adalah sebesar biaya pinjaman sesuai dengan perbandingan utang dan modal. Biaya
pinjaman yang dimaksud dalam hal ini adalah biaya yang ditanggung wajib pajak sehubungan
dengan peminjaman dana yang meliputi berikut ini.
a. Bunga pinjaman.
b. Diskonto dan premium yang terkait dengan pinjaman.
c. Biaya tambahan yang terjadi yang terkait dengan perolehan pinjaman (arrangement of
borrowings).
d. Beban keuangan dalam sewa pembiayaan.
e. Biaya imbalan karena jaminan pengembalian utang.
f. Selisih kurs yang berasal dari pinjaman dalam mata uang asing sepanjang selisih kurs
tersebut sebagai penyesuaian terhadap biaya bunga dan biaya sebagaimana
dimaksud pada huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e.
Besarnya biaya pinjaman sesuai dengan perbandingan utang dan modal yang dapat
diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak juga wajib memperhatikan ketentuan
Pasal 6 Undang-Undang PPh (pengeluaran yang dapat dikurangkan) dan Pasal 9 Undang-
Undang PPh (pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan).
Dalam hal wajib pajak mempunyai utang kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa, di samping harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(3), biaya pinjaman atas utang kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut
harus pula memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang PPh. Dalam hal wajib pajak mempunyai saldo
ekuitas nol atau kurang dari nol, maka seluruh biaya pinjaman wajib pajak bersangkutan tidak
dapat diperhitungkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak.
LATIHAN SOAL
A. Tentukan Pernyataan dibawah ini dengan menuliskan B (Benar) atau S (Salah)
1. Thin capitalization muncul akibat adanya aturan dalam ketentuan perpajakan yang
membedakan antara perlakuan bunga sebagai pengembalian keuntungan atas investasi
saham.
2. Pencegahan praktik thin capitalization diatur dalam pasal 18 UU PPh dengan memberikan
kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk mengeluarkan keputusan mengenai
besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan
pajak.
3. Peraturan Menteri Keuangan No. 169/PMK.010/2015 menetapkan besarnya perbandingan
antara utang dan modal yaitu paling rendah sebesar empat dibanding satu (4:1).
4. Debt to Equity Ratio (DER) dihitung berdasarkan saldo rata-rata utang pada satu tahun pajak
atau bagian tahun pajak, yang dihitung berdasarkan rata-rata saldo utang tiap akhir tahun
pada tahun pajak yang bersangkutan atau rata-rata saldo utang tiap akhir tahun pada bagian
tahun pajak yang bersangkutan.
5. Dasar penghitungan perbandingan antara utang dan modal menggunakan saldo rata-rata
modal pada satu tahun pajak atau bagian tahun pajak, yang dihitung berdasarkan rata-rata
saldo modal tiap akhir bulan pada bagian tahun pajak yang bersangkutan.
6. Apabila besarnya perbandingan antara utang dan modal yang dimiliki wajib pajak melebihi
besarnya perbandingan, maka biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung
penghasilan kena pajak adalah sebesar biaya pinjaman dengan membuat perbandingan
utang dan modal yang baru.
7. Untuk mengidentifikasi apakah suatu perusahaan menggunakan thin capitalization biasanya
perusahaan tidak melibatkan para pihak yang memiliki hubungan istimewa.
8. Mengidentifikasi berapa besarnya DER lalu dibandingkan dengan rasio DER yang telah
ditetapkan merupakan cara menguji thin capitalization.
9. Biaya pinjaman yang digunakan dalam menghitung DER merupakan biaya yang ditanggung
wajib pajak sehubungan dengan pinjaman dana yang meliputi arrangement of borrowings.
10. Dalam menghitung jumlah penghasilan kena pajak dapat memperhitungkan besarnya biaya
pinjaman sesuai dengan perbandingan utang dan modal yang wajib memperhatikan
ketentuan Pasal 6 UU PPh (pengeluaran yang dapat dikurangkan) dan Pasal 9 UU PPh
(pengeluaran yang dapat ditambahkan).
B. Jawablah pertanyaan dibawah ini secara jelas dan lengkap!
1. Bagaimana cara menghitung thin capitalization?
2. Manakah yang lebih menguntungkan dalam hal pajak bagi perusahaan? Memperbesar
bunga atau memperbesar pembayaran dividen? Jelaskan!
3. Apakah thin capitalization termasuk kedalam tax evasion? Jelaskan!
4. Apa kondisi yang mengakibatkan perusahaan mendapatkan pendapatan lain-lain yang
berasal dari bunga?
5. Apa perbedaan antara deductible expense dengan non deductible expense? Berikan
masing-masing 3 contoh!
6. Apa tujuan dari penghitungan DER? Bagaimana cara menghitung DER Jelaskan!
7. Apabila suatu perusahaan memiliki modal sebesar 3 milyar rupiah, berapakah maksimal
pinjaman agar tidak dikategorikan sebagai thin capitalization?
8. Apabila suatu perusahaan memiliki utang sebesar 5 milyar rupiah, berapakah minimal
modal yang harus dimiliki agar tidak dikategorikan sebagai thin capitalization?
9. Bagaimana cara menangani thin capitalization yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia?
10. Apa tujuan dari menangani thin capitalization yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia?
Jelaskan!
Soal Latihan CFC

PT ARKA PT DELTA
Indonesia
60% 50%

XIN Ltd PARK Ltd


Negara A

70% MAXX Pte Ltd 20%


Negara B

Keterangan:
a. PT ARKA ditetapkan memiliki pengendalian langsung pada XIN Ltd karena kepemilikan
modal > 50% dari jumlah saham yang disetor, sehingga XIN Ltd merupakan BULN
Nonbursa terkendali langsung bagi PT ARKA.
b. PT DELTA ditetapkan memiliki pengendalian langsung pada PARK Ltd karena
kepemilikan modal paling rendah 50% dari jumlah saham yang di setor, sehingga PARK
Ltd merupakan BULN Nonbursa terkendali langsung bagi PT DELTA.
c. PT ARKA ditetapkan memiliki pengendalian tidak langsung pada MAXX Pte Ltd karena
terdapat penyertaan modal > 50% dari jumlah saham yang disetor pada setiap tingkat
penyertaan modal, sehingga MAXX Pte Ltd merupakan BULN Nonbursa terkendali
tidak langsung bagi PT ARKA.
d. PT DELTA ditetapkan memiliki pengendalian tidak langsung pada MAXX Pte Ltd karena
> 50% dari jumlah saham yang disetor pada MAXX Pte Ltd dimiliki secara Bersama
sama oleh WPDN (PT DELTA) dan WPDN Lainnya (PT ARKA) melalui BULN Nonbursa
terkendali langsung (XIN Ltd bagi PT ARKA dan PARK Ltd bagi PT DELTA), sehingga
MAXX Pte Ltd juga merupakan BULN Nonbursa terkendali tidak langsung bagi PT
DELTA.
1. Hitunglah besarnya Deemed Devidend jika:
a. XIN Ltd memiliki laba setelah pajak sebesar USD 1.500.000 (tidak termasuk bagian
laba atau deviden dari MAXX Pte Ltd) dan memiliki kewajiban SPT Tahunan PPh
tanggal 30 April 2017.
b. PARK Ltd memiliki laba setelah pajak sebesar USD 3.000.000 (tidak termasuk
bagian laba atau deviden dari MAXX Pte Ltd) dan memiliki kewajiban SPT Tahunan
PPh tanggal 30 April 2017.
c. MAXX Pte Ltd memiliki laba setelah pajak sebesar USD 1.000.000
d. Saat diperolehnya Deemed Devidend pada XIN Ltd dan PARK Ltd adalah 31 Agustus
2017. Nilai kurs USD yang berlaku pada tanggal tersebut adalah sebesar Rp
11.550/USD

Bentuk jawaban akhirnya, sertakan perhitungan atas perolehan angkanya!

No WPDN Deemed Devidend Deemed Devidend


dari XIN Ltd dari PARK Ltd

1 PT ARKA ? Tidak ada

2 PT DELTA Tidak ada ?


a. Deemed Devidend PT ARKA yang berasal dari XIN Ltd:
= presentase penyertaan modal PT ARKA pada XIN Ltd. x (Laba setelah pajak XIN Ltd + (presentase
penyertaan modal XIN Ltd + (% penyertaan modal XIN Ltd pada MAXX Pte Ltd x laba setelah pajak
MAXX Pte Ltd)).
= 60% x (USD 1.500.000 + (70% x USD 1.000.000))
= 60% x (USD 1.500.000 + USD 700.000)
= 60% x USD 2.200.000
= USD 1.320.000
Deemed Devidend yang dilaporkan PT ARKA dalam SPT Tahunan PPh Tahun 2017 sebesar:
= USD 1.320.000 x Rp 11.550
= Rp 15.246.000.000

b. Deemed Devidend PT DELTA yang berasal dari PARK Ltd:


= presentase penyertaan modal PT DELTA pada PARK Ltd. x (Laba setelah pajak PARK Ltd +
(presentase penyertaan modal PARK Ltd + (% penyertaan modal PARK Ltd pada MAXX Pte Ltd x laba
setelah pajak MAXX Pte Ltd)).
= 50% x (USD 3.000.000 + (20% x USD 1.000.000))
= 50% x (USD 3.000.000 + USD 200.000)
= 50% x USD 3.200.000
= USD 1.600.000
Deemed Devidend yang dilaporkan PT DELTA dalam SPT Tahunan PPh Tahun 2017 sebesar:
= USD 1.600.000 x Rp 11.550
= Rp 18.480.000.000
Scanned with CamScanner
Scanned with CamScanner

Anda mungkin juga menyukai