Anda di halaman 1dari 17

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA ANAK KORBAN

PEMERKOSAAN

D
I
S
U
S
U
N
OLEH KELOMPOK 9 :

1. ADE PUJI ANTI


2. AZZAHRA
3. NAZIFAH FIJRIAH
4. SASGIAH ALAWIYAH
5. SAKINAH HASIBUAN
6. SAHLAN HAMONGAN GINTING
7. MUHAMMAD RIZKY SIREGAR

DOSEN PEMBIMBING : Ns.NATAR FITRI NAPITUPULU M.kep

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN UNIVERSITAS AUFA ROYHAN


KOTA PADANGSIDIMPUAN
TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah penyusun hanturkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya kepada
kami karena dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Askep pada anak dengan kebutuhan
khusus dengan korban perkosaan, korban KDRT” guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa
II.

Kami mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing (Ns.Natar Fitri Napitupulu M.kep)
serta rekan rekan yang telah banyak membantu dalam membuat makalh ini.

Makalah ini diharapkan dapat brmanfaat bagi pembaca,kami menyadari bahwa dalam
menyusun makalah ini masih banyak kekurangan,oleh sebab itu dengan lapang dada serta tangan
terbuka kami mengharapkan saran dan kritiknya yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.

Padangsidimpuan,18 Oktober 2022


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB l PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan

BAB ll TINJAUAN TEORI


2.1. Pengertian Pemerkosaan
2.2. Klasifikasi Pemerkosaan
2.3. Sebab sebab terjadinya pemerkosaan
2.4. Efek Pemerkosaan
2.5. Dampak Pemerkosaan (sosial,psikologi)
2.6. Penatalaksaan Korban Pemerkosaan
2.7. Pengkajian Keperawatan Korban Pemerkosaan
2.8. Diagnosa Keperawatan Korban Pemerkosaan
2.9. Intervensi Keperawatan Korban Pemerkosaan
2.10. Implementasi Keperawatan Korban Pemerkosaan
2.11. Evaluasi Keperawatan Korban Pemerkosaan

BAB lll PENUTUP


A. KESIMPULAN
B. SARAN

DAFTAR PUSTAKA
BAB l
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemerkosaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan seorang laki laki untuk memaksa seorang
wanita untuk bersetubuh diluar perkawinan. Kasus pemerkosaan banyak terjadi di
masyarakat,khususnya pemerkosaan yang terjadi terhadap anak.kasus pemerkosaan terhadap anak
sering terabaikan oleh lembaga lembaga yang seharusnya memperjuangkan hak hak anak sebagai
korban untuk pidana pemerkosaan.

Dimana seharusnya lembaga lembaga tersebut seharusnya memberikan perhatian dan


perlindungan.tidak jarang pula pelaku dari tindak pidana pemerkosaan itu adalah orang terdekat atau
orang yang berda disekeliling anak itu berada.Pemerkosaan merupakan satu hal yang paling
menimbulkan traumatik bagi perempuan terlebih seorang anak yang menjadi korban pemerkosaan.

Anak adalah generasi penerus bangsa yang seharusnya mereka harus dibina dan dibentuk
potensi diri yang dimiliki oleh seorang anak dan kepribadian anak.Kejahatan seksual ini merebak
dengan segala bentuk.Khususnya pada kasus Pemerkosaan,pelakunya tidak lagi mengenal
status,pangkat,pendidikan,jabatan dan usia koraban.Selama individu masih mempumyai daya
seksual,dari anak anak sampai kakek kakek masih sangat mungkin untuk dapat melakukan tindak
kejahatan. Pemerkosaan.

Dalam UU No.23 Tahun 2002,yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun,termasuk anak yang masih dalam kandungan.sedangkan yang dimaksud dengan perlindungan
anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak haknya agar dapat
hidup,tumbuh,berkembang dan berpartisipasi,secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan,serta mendapat perlindungan dari diskriminasi.

Kekerasan seksual merupakan kasus yang menonjol yang terjadi pada anak anak. dalam catatan
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia(YKAI) PADA TAHUN 1992-2002 terdapat 2.611 kasus
(65,8%) dari kasus 3.969 kasus kekerasan sesual dialami anak anak anak dibawah usia 18 tahun.Dari
jumlah itu 75% korbannya adalah anak perempuan.Kasus yang menonjol terutama pemerkosaan
(42,9%) dengan kejadian terjadi dirumah (FKUI 2006).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas mahasiswa mampu untuk merumuskan bagaimana asuhan
keperawatan pada anak dengan kebutuhan khusus : korban pemerkosaan
1.3. Tujuan

a.Tujuan Umum

Mahasiswa mampu untuk menjelaskan tentang asuhan keperawatan pada anak dengan
kebutuhan khusus: korban pemerkosaan

b.Tujuan Khusus

1.Mahasiswa mampu untuk mengetahui tentang pengertian pemerkosaan


2.Mahasiswa mampu untuk mengetahui tentang Klasifikasi pemerkosaan
3.Mahasiswa mampu untuk mengetahui tentang sebab pemerkosaan
4.Mahasiswa mampu untuk mengetahui efek pemerkosaan
5.Mahasiswa mampu untuk mengetahui tentang dampak (sosial, psikologis) pemerkosaan
BAB ll
TINJAUAN TEORI

2.1. Pengertian Pemerkosaan

Pemerkosaan adalah kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia diluar perkawaninan (pasal 285 KUHP) , penyiksaan seksual (sexual abuse)
terhadap anak disebut pedofilian atau penyuka anak anak secara seksual. Seorang pedofilian adalah
orang yang melakukan aktivitas seksual dengan korban anak usia 13 tahun ke bawah.Penyakit ini ada
dalam kategori sadomasokisme : adalah suatu kecenderungan terhadap aktivitas seksual yang meliputi
pengikatan atau menimbulkan rasa sakit atau penghinaan (Promono, 2009).

Kemudian klasifikasi kekerasan/penganiayaan seksual pada anak menurut Resna dan


Darmawan (dalam Huraerah, 2006) diklasifikasikan menjadi tiga kategori, antara lain : Pemerkosaan,
incest, dan eksploitasi. Pemerkosaan biasanya terjadi pada saat pelaku terlebih dahulu mengancam
dengan memperlihatkan kekuatannya pada anak. Incest, diartikan sebagai hubungan seksual atau
aktivitas seksual lainnya antar indivudu yang mempunyai hubungan dekat, yang perkawinan diantara
mereka dilarang, baik oleh hukum, kultur, maupun agama. Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan
pornografi (Suda, 2006).

Kekerasan seksual (sexual abuse), dapat didefenisikan sebagai perilaku seksual secara fisik
maupun non fisik oleh orang yang lebih tua atau memiliki kekuasaan terhadap korban, bertjuan untuk
memuaskan hasrat seksual pelakunya. Korban mungkin saja belum atau tidak memahami perlakuan
yang dilakukan terhadap dirinya, merasa hanya merasa tidak nyaman, sakit, takut, merasa bersalah, dan
perasaan lain yang tidak menyenangkan (FKUI, 2006). Kekerasaan seksual (sexual abuse) pada anak
mencakup penganiayaan seksual secara fisik dan non fisik. Kekerasan fisik antara lain menyentuh alat
kelamin atau bagian tubuh lain yang bersifat pribadi, seks oral, penetrasi vagina/anus menggunakan
penis atau benda lain, memaksa anak membuka pakaian, samapai tindak pemerkosaan. Sedangkan
penganiayaan non fisik diantaranya memperlihatkan benda benda yang bermuatan pornografi atau
aktifitas seksual orang dewasa, ekploitasi anak dalam pornigrafi (gambar, ataupun film).

2.2. Klasifikasi Pemerkosaan

Klasifikasi pemerkosaan dari anak menurut (Suda, 2006) adalah :

1. Pemerkosaan
Pemerkosaan adalah : jenis kekerasan yang paling mendapat sorotan diperkirakan 97%
perempuan dan 3% laki laki menjadi korban pemerkosaan.

2. Kekerasaan seksual pada anak


Suatu tinjauan dari seluruh dunia menunjukkan bahwa dimanapun,sekitar 11% sampai dengan
32% perempuan dilaporkan mendapat perlakuan atau mengalami kekerasan seksual pada masa
kanak kanaknya.
3. Kekerasan seksual terhadap pasangan
Kekerasan ini mencakup sagala kekerasan seksual yang dilakukan terhadap pasangan
seksualnya,sebesar 95% korban kekerasannya adalah perempuan.

4. Kekerasan fisik
Menampar, memukul, menendang, mendorong dan lain-lain.

5.Kekerasan emosional/verbal
Mengkritik, membuat pasangan merasa bersalah, membuat permainan pikiran, memaki dan
menghina.

6. Kekerasan seksual
Memaksa sek, berselingkuh, sadomasdokisme.

2.3. Sebeb sebab terjadinya pemerkosaan

1) Pernah menjadi korban kekerasan sebelumnya


2) Dipengaruhi oleh lingkungan
3) Perilaku impulsif dan kontrol diri rendah
4) Kurangnya penanaman moral dan nilai nilai keluarga
5) Rendahnya Pendidikan

2.4. Efek Pemerkosaan

Selain dampak fisik, anak juga bisa mengalami dampak psikis, anak bisa terkena depresi,
kecemasan, gangguan stres pasca trauma, gangguan makan dan masalah seksual. Disini masalah
seksual bisa jadi serius seperti fobia terhadap hubungan seks,atau bisa juga terbiasa melakukan
kekerasan pada saat berhubungan seksual.

2.5. Dampak pemerkosaan (sosial, psikologis)

Korban pemerkosaan pasti memliki dampak yang buruk,diantara adalah :

1) Dampak Sosial
Korban pemerkosaan dapat mengalami akibat yang sangat serius,diantaranya dampak sosial
yang dialami korban kekerasan seksual seperti : terisolasi, dikucilkan di ranah sosial (sekolah, tempat
kerja, lingkungan tempat tinggal dan lain lain).

2) Dampak psikologis
Akibat dari kekeresan seksual pada anak,dengan sendirinya anak bisa mengalami gangguan
gangguan diantaranya yaitu gangguan psikologis seperti : gangguan emosional, gangguan kognisi,
gangguan perilaku, depresi, ketakutan dengan lawan jenis,dan kecemasan.
2.6. Penatalaksanaan Korban Pemerkosaan

Berdasarkan jurnal “play therapy dalam identifikasi kasus kekersan seksual pada anak”.
Terapai sexual abuse adalah :
Cholidah (2005) menyatakan bahwa diantara tujuan terapi bermain adalah mengurangi atau
menghilangkan gangguan-gangguan perilaku, fisik, psikis, sosial, sensori dan komunikasi dan juga
mengembangkan kemampuan yang masih dimiliki secara optimal. Terkasit dengan kasus kekerasan
seksual pada anak, Jongsma, Peterson dan Mclnnis (2000) menyatakan bahwa terapi bermain (play
therapy) merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi dan menggalikan perasaan anak korban
kekerasan seksual. Melalui terapi bermain selain kasus dapat di identifikasi apa yang terjadi pada diri
anak, anak juga dapat mengekspresikan perasaan atas kasus yang terjadi pada dirinya

Menurut Suda (2006) ada beberapa model program counseling yang dapat diberikan epada anak
yang mengalami sexual abuse, yaitu :

1.The dynamics of sexual abuse


Artinya, terapi difokuskan pada pengembangan konsepsi. Pada kasus tersebut kesalahan dan
tanggung jawab berada pada pelaku bukan pada korban.Anak dijamin tidak disalahkan meskipun telah
terjadi kontak seksual.

2. Protective behaviors counseling


Artinya, Anak anak dilatih menguasai keterampilan, Pelatihan anak prasekolah dapat dibatasi ;
berkata tidak terhadap sentuhan sentuhan yang tidak diinginkan, menjauh secepatnya dari orang yang
kelihatan sebagai abuse person, melaporkan kepada orangtua atau orang dewasa yang dipercaya dapat
membantu menghentikan perlakuan yang salah.

3. Self-esteem counseling
Artinya,meyadarkan anak anak yang menjadi korban bahwa mereka sebenarnya bukanlah
korban, melainkan orang yang mampu bertahan (survivor) dan menghadapi masalah sexual abuse.

4. Feeling counseling
Artinya, terlebih dahulu harus di identifikasi kemampuan anak yang mengalami sexual abuse
untuk mengenali berbagai persaan. Kemudian mereka didorong untuk mengekspresikan perasaan -
perasaan yang tidak menyenangkan, baik pada saat mengalami sexual abuse maupun sesudahnya.

5. Cognitif therapy
Artinya, konsep dasar dalam teknik ini adalah perasaan perasaan seseorang mengenai beragam
jenis dalam kehidupannya dipengaruhi oleh pikiran – pikiran mengenai kejadian tersebut secara
berulang – ulang.
2.7. Pengkajian keperawatan korban pemerkosaan
1.Beban Psikologis
Tindak pemerkosaan pasti mendatangkan trauma bagi yang mengalaminya. Respons tiap orang
terhadap pemerkosaan yang menimpanya pasti berbeda dengan munculnya berbagai perasaan yang
menjadi satu dan bahkan dapat baru terlihat lama setelah peristiwa tersebut terjadi. Berikut ini adalah
beberapa perubahan psikologis yang umumnya dialami korban.

a. Menyalahkan diri sendiri


Sikap menyalahkan diri sendiri adalah kondisi yang paling umum dialami korban pemerkosaan. Sikap
inilah yang paling menghambat proses penyembuhan. Korban pemerkosaan dapat berisiko
menyalahkan diri sendiri karena dua hal:
*Menyalahkan diri karena perilaku. Mereka menganggap ada yang salah dalam tindakan mereka
sehingga akhirnya mengalami tindakan pemerkosaan. Mereka akan terus merasa untuk seharusnya
berperilaku berbeda sehingga tidak diperkosa.
* Menyalahkan diri karena merasa ada sesuatu yang salah di dalam diri mereka sendiri sehingga
mereka pantas mendapatkan perlakuan kasar. Sayangnya orang-orang terdekat, seperti pasangan, belum
tentu dapat mendukung pulihnya kondisi pasien. Sebagian kerabat korban mungkin merasa tidak dapat
menerima kenyataan atau justru menyalahkan sehingga korban makin berada dalam posisi yang sulit.
Kebanyakan korban pemerkosaan juga tidak dapat dengan mudah diyakinkan bahwa ini bukanlah salah
mereka. Rasa malu ini kemudian berhubungan erat dengan gangguan lain, seperti pola makan,
kecemasan, depresi, mengonsumsi minuman keras dan obat-obatan terlarang, serta gangguan mental
lain. Kondisi ini dapat diatasi dengan terapi perilaku kognitif dalam melakukan reka ulang proses
penyusunan fakta dan logika dalam pikiran.

b.Bunuh dirik kondisi stres pasca trauma membuat korban pemerkosaan lebih berisiko untuk
mmemutuskan bunuh diri. Tindakan ini terutama dipicu oleh rasa malu dan merasa tidak berharga

c. Kriminalisasi korban pemerkosaan


Pada budaya dan kelompok masyarakat tertentu, korban pemerkosaan dapat menjadi korban untuk
kedua kalinya karena dianggap telah berdosa dan tidak layak hidup. Mereka diasingkan dari
masyarakat, tidak diperbolehkan menikah, atau diceraikan (jika telah menikah). Dalam kelompok
masyarakat lain, kriminalisasi pun dapat terjadi ketika korban disalahkan karena dianggap perilaku atau
cara berpakaiannya yang menjadi penyebab diperkosa. Selain itu, korban berisiko mengalami hal-hal
lain seperti depresi, merasa seakan-akan peristiwa tersebut terulang terus-menerus, sering merasa
cemas dan panik, mengalami gangguan tidur dan sering bermimpi buruk, sering menangis, menyendiri,
menghindari pertemuan dengan orang lain, atau sebaliknya tidak mau ditinggal sendiri. Ada kalanya
mereka menarik diri dan menjadi pendiam, atau justru menjadi pemarah.

2. Efek terhadap Fisik


Korban Selain luka psikologis, korban pemerkosaan membawa luka pada tubuhnya. Sebagian
mungkin terlihat, namun sebagian lagi barangkali baru dapat dideteksi beberapa waktu kemudian.
Sementara secara fisik mereka dapat terlihat mengalami perubahan pola makan atau gangguan pola
makan. Tubuh mereka bisa terlihat tidak terawat, berat badan turun, dan luka pada tubuh seperti memar
atau cedera pada vagina. Berikut beberapa kondisi yang umum terjadi pada korban pemerkosaan:

a. Penyakit menular seksual (PMS)


Penetrasi vagina yang dipaksakan membuat terjadinya luka yang membuat virus dapat masuk melalui
mukosa vagina. Kondisi ini lebih rawan terjadi pada anak atau remaja yang lapisan mukosa vaginanya
belum terbentuk dengan kuat. Meski belum ada tanda-tanda yang terasa, namun korban pemerkosaan
sebaiknya memeriksakan diri untuk mendeteksi kemungkinan terkena penyakit menular seksual.
Infeksi seperti HIV (virus yang menyebabkan AIDS) dapat ditangani dengan postexposure prophylaxis
(PEP), yaitu perawatan profilaksis setelah tubuh terpapar penyakit.
Namun perawatan ini harus dilakukan sesegera mungkin.

b. Penyakit lain Selain penyakit menular seksual, korban perkosaan umumnya menderita konsekuensi
yang berpengaruh pada kesehatan mereka:
*Peradangan pada vagina atau vaginitis.
* Infeksi atau pendarahan pada vagina atau anus.
* Gangguan hasrat seksual hipoaktif (hypoactive sexual desire disorder/HSDD): keengganan esktrem
untuk berhubungan seksual atau justru menghindari semua atau hampir semua kontak seksual.
* Nyeri saat berhubungan seksual, disebut juga dyspareunia.
* Vaginismus : Kondisi yang mempengaruhi kemampuan wanita untuk merespons penitrasi ke vagina
akibat otot vagina yang berkontraksi diluar kontrol : * Infeksi kantong kemih. * Nyeri panggul kronis
.
c. Kehamilan yang tidak diinginkan Kehamilan adalah salah satu kondisi dan konsekuensi terberat
yang mungkin terjadi pada korban pemerkosaan. Belum berhasil menyembuhkan diri sendiri, mereka
harus dihadapkan pada kenyataan adanya kehidupan lain di dalam tubuhnya yang sebenarnya tidak
mereka harapkan. Kondisi psikologis wanita yang buruk dapat membuat bayi berisiko tinggi
mengalami kondisi kelainan atau lahir prematur. Dampak fisik mungkin dapat sembuh dalam waktu
lebih singkat. Namun dampak psikologis dapat membekas lebih lama. Peran keluarga, kerabat, dokter,
dan terapis akan menjadi kunci dari kesembuhan dan ketenangan bagi mereka yang menjadi korban
pemerkosaan.

2.8. Diagnosa Keperawatan Korban Pemerkosaan

1. Sindrom trauma perkosaan berhubungan dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan


dengan keinginan dan persetujuan pribadi seseorang.
2. Ketidak berdayaan berhubungan dengan harga diri rendah
3. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan pengasuhan yang tidak
adekuat dan penderitaan oleh pengasuh diri dari nyeri fisik atau cedera.
4. Ansietas ( sedang sampai berat ) berhubungan dengan ancaman konsep diri, rasa takut terhadap
kegagalan.
5. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tidak efektif (maladaptip).
6. Koping keluarga tidak efektif berhungan dengan perasaan bersalah yang berlebihan, marah atau
saling menyalahkan diantara anggota keluarga mengenai perilaku anak,kepenatan orang tua karena
menghadapi anak dengan gangguan dalam jangka waktu lama.

2.9. Intervensi Keperawatan Korban Pemerkosaan

Menurut Videbeck (2008), Twondsend (1998) dan Doenges (2007), intervensi keperawatan
yang dapat dirumuskan untuk mengatasi diagnosa keperawatan diatas antara lain :

1. Sindrom trauma perkosaan berhubungan dengan menjadi korban perkosaan seksual yang dilakukan
dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan dengan keinginan dan persetujuan pribadi
seseorang:

Tujuan :
a. Tujuan jangka pendek : luka fisik anak akan sembuh tanpa komplikasi
b. Tujuan jangka panjang : anak akan mengalami resolusi berduka yang sehat,memulai proses
penyembuhan psikologis.

Intervensi :
a) Smith (1987) Menghubugkan pentingnya mengkomunikasikan empat ucapan berikut ini pada
korban perkosaan : saya prihatin hal ini terjadi padamu,anda aman disini,saya senang anda
hidup anda tidak salah.

Rasional : Wanita tau anak yang telah diperkosa secara seksual takut terhadap kehidupannya
dan harus diyakinkan kembali keamanannya.Ia mungkin juga sangat sangat ragu – ragu dengan
dirinya dan menyalahkan dirinya sendiri dan pernyataan – pernyataan ini membangkitkan rasa
percaya secara berhatap dan menumbuhkan kembali harga diri anak.

b) Jelaskan setiap prosedur pengkajian yang akan dilakukan dan mengapa dilakukan.Pastikan
bahwa pengumpulan data dilakukan dalam perawatan,cara tidak menghakimi
Rasional : Untuk menurunkan ketakutan atau ansietas dan untuk meningkatkan rasa percaya.

2. Ketidak berdayaan berhubungan dengan harga diri rendah

Tujuan :
Tujuan jangka pendek : Anak mengenali dan menyatakan secara verbal pilihan – pilihan yang
tersedia dengan demikian mersakan beberapa kontrol terhadap situasi kehidupan ( dimensi
waktu ditentukan secara individu).

Tujuan jangka panjang : Anak memperlihatkan kontrol situasi kehidupan dengan membuat
keputusan tentang apa yang harus dilakukan berkenaan dengan hidup bersama siklus
penganiayaan seksual ( dimensi waktu ditentukan secara individu).

Intervensi :
a) Bawa anak wanita tersebut kedalam area yang pribadi untuk melakukan wawancara
Rasional : Jika anak disertai dengan pria yang melakukan pelecehan seksual pada
anak,kemungkinan besar anak tersebut tidak jujur sepenuhnya tentangg cederanya atau
pengalaman seksualnya.

3. Perubahan prtumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan pengasuhan yang tidak adekuat dan
penderitaan oleh pengasuh dari nyeri fisik atau cedera dengan tujuan untuk menyebabkan
bahaya, biasanya terjadi dalam waktu lama.

Tujuan:
Tujuan jangka pendek : Anak akan mengembangkan hubungan saling percaya dengan perawat
dan melaporkan bagaimana tanda cedera yang terjadi( dimensi waktu ditentukan secara
individu).

Tujuan jangka panjang : Anak akan mendemontrasikan perilaku yang konsisten dengan usia
tumbuh kembangnya.

Intervensi :
a) Lakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh pada anak.buat catatan yang teliti dari luka
memarnya,keluhan anak tentang nyeri pada daerah yang spesifik,misalnya kemaluan.
Rasional : Suatu pemeriksaan fisik yang akurat dan seksama dibutuhkan perawat agar
perawatan yang tepat diberikan untuk pasien.

b) Adakan wawancara yang dalam dengan orang tua atau orang terdekat yang menyertai anak
Rasional : Ketakutan terhadap hukuman penjara atau kehilangan kesempatan memelihari anak
mungkin menempatkan orang tua penyiksa pada sikap membela diri.

4. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kelainan fungsi dari system keluarga dan
perkembangan ego yang terlambat,serta penganiayaan dan pengabaian anak.

Tujuan :
1. Anak mengembangkan dan menggunakan keterampilan koping yang sesuai dengan umur dan
dapat diterima sosal dengan kriteria hasil.
2. Anak mampu menundakan pemuasan terhadap keinginannya,tanpa terpaksa untuk menipulasi
orang lain.
3. Anak mampu mengekpresikan kemarahan dengan cara yang dapat diterima secara sosial.

Intervensi :
a) Pastikan bahwa sasaran – sasarannya adalah realitas
Rasional : Penting bagi anak untuk mencapai sesuatu,maka rencana untuk aktivitas aktivitas
dimana kemungkinan untuk sukses adalah mungkin.sukses meningkatkan harga diri.

b) Sampaikan perhatian tanpa syarat pada anak


Rasional : Komunikasi dari pada penerimaan anda terhadap mahkluk hidup yang berguna dapat
meningktkan harga diri.

5. Ansietas ( sedang sampai berat ) berhubungan dengan ancaman konsep diri,rasa takut terhadap
kegagalan,disfungsi system keluarga dan berhubungan antara orang tua dan anak yang tidak
memuaskan.

Tujuan : Anak mampu mempertahankan ansietas dibawah tingkat sedang, sebagaimana yang
ditandai oleh tidak adanya perilaku – perilaku yang tidak yang tidak mampu memberikan
renpons terhadap stres.

Intervensi :
a) Bentuk hubungan kepercayaan dengan anak.Bersikap jujur,konsisten di delam berespons dan
bersedia.Tunjukkan rasa hormat yang positif dan tulus.
Rasional : Kejujuran,ketersediaan dan penerimaan meningkatkan kepercayaan pada hubungan
anak dengan staf atau perawat.

b) Sediakan aktivitas – aktivitas yang diarahkan pada penurunan tegangan dan pengurangan
ansietas ( misalnya berjalan atau joging,bola voli)
Rasional : Tegangan ansietas dilepaskan dengan aman dan dengan manfaat bagi anak melalui
aktivitas – aktivitas fisik.

Pohon Masalah
Efek Bunuh Diri

Care Problem Resiko


Bunuh Diri

Isolasi Social

2.10. Implementasi

Substansi Hukum Pasal 5 Ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban terhadap hak korban perkosaan No. Hak Korban Dalam Pasal 5 Ayat (1) UU No. 13 Tahun
2006 Keterangan :
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas
dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya
Terlaksana.
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan
keamanan Terlaksana
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan Terlaksana
d. Mendapat penerjemah Terlaksana
e. Bebas dari pernyataan yang menjerat Terlaksana
f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus Terlaksana
g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan Terlaksana
h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan Tidak Terlaksana
i. Mendapatkan identitas baru Tidak Terlaksana
j. Mendapatkan tempat kediaman baru Tidak Terlaksana
k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan Tidak Terlaksana
l. Mendapatkan nasihat hukum Tidak Terlaksana
m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir
Tidak Terlaksana

STRATEGI PELAKSANAAN (SP)

SP 1
- Identifikasi penyebab, tandadan gejala serta akibat dari perilaku kekerasan
- Latih cara fisik 1 : tarik nafas dalam
- Masukkan dalam jadwal harian pasien

Setelah 2 x pertemuan, pasien mampu:


- Menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan
- Memperagakan cara fisik untuk mengontrol perilaku kekerasan
SP 2
- Evaluasi kegiatan yang lalu (sp 1)
- Latih cara fisik 2: pukul kasur atau bantal
- Masukkan dalam jadwal harian pasien
Setelah 3 x pertemuan, pasien mampu :
- Menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan
- Memperagakan cara social/ verbal untuk mengontrol perilaku kekerasan
SP 3
- Evaluasi kegitan yang lalu (sp 1 dan 2)
- Latih secara social/verbal
- Menolak dengan baik
- Masukkan dalam jadwal pasien
Setelah 4 x pertemuan, pasien mampu :
- Menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan
- Memperagakan cara spiritual
SP 4
- Eveluasi kegiatan yang lalu (sp 1,2 dan 3)
- Latih secara spiritual (bedoa dan sholat)
- Masukkan dalam jadwal harian pasien

Setelah 5 x pertemuan, pasien mampu:


- Menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan
- Memperagakan cara patuh obat. SP 5 latihan dengan musik

Contoh Kasus :
Seorang Mrs.S berusia 11 tahun datang ke RSJ di antar oleh keluarga dengan keluhan bahwa si
anak melakukan percobaan bunuh diri. Ibu pasien mengatakan bahwa anaknya menjadi korban
pemerkosaan. ibu mengatakan beberapa hari sebelumnya pasien mengungkapkan bahwa dia telah
membuat aib keluarga dan mengatakan dirinya tidak berguna lagi. Ibu mengatakan saat ini anaknya
mengalami trauma berat dan ketika ibu pasien masuk ke kamarnya ibu pasien melihat si anak
mengkonsumsi narkotika. Ibu juga mengatakan bahwa si anak tidak mau beraktivitas seperti biasa,
mudah curiga dan emosi kepada orang lain sehingga tidak mau berinteraksi dengan orang sekitar dan
mengurung diri dikamar. Saat dilakukan pengkajian pasien tidak mau di ajak berkomunikasi, tidak
menatap lawan bicara, lebih banyak menunduk dan pasien tampak ketakutan.

1. Pengkajian
Anamnesa

Nama : Mrs.S
Umur : 11 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Faktor presipitasi : Ibu mengatakan bahwa anaknya menjadi korban pemerkosaan
Factor fisiologis : Pasien tampak lemas
Factor psikologis : Pasien tampak ketakutanPasien tampak panicPasien mudah curiga kepada
orang lain Pasien mengatakan membaut aib keluarga Pasien mengatakan bahwa
dirinya tidak berguna lagi
Perilaku : Pasien tidak mau beriteraksi kepada orang lain
Respon emosional : Pasien mudah emosi.

2. Analisa Data
No Data Pasien Masalah Keperawatan
1 DS :
- Keluarga mengatakan bahwa pasien melakukan pencobaan bunuh diri
- Ibu mengatakan bahwa pasien menjadi korban pemerkosaan
- Ibu mengatakan bahwa melihat anaknya mengkonsumsi narkotika pasca kejadian pemerkosaan

DO :
- Resiko bunuh diri
2 DS :
- Ibu mengatakan bahwa pasien mudah curiga kepada orang lain
- Ibu mengataan pasien tdak mau beriteraksi kepada orang lain
- Ibu mengatakan pasien mengurung diri di kamar

DO :
- Pasien tidak mau berkomunikasi
- Pasien tampak ketakutan Isolasi sosial
3 DS :
- Pasien mengatakan bahwa dia telah membuat aib keluarga
- Pasien mengatakan bahwa dirinya sudah tidak berguna lagi
- Keluarga mengatakan pasien tidak mau beraktivitas seperti biasanya

DO :
- Pasien tidak mau menatap lawan bicara
- Pasien tampak menunduk

2.11. Evaluasi

Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan penganiayaan
seksual ( sexual abuse ) antara lain :
1. Anak tidak mengalami panik lagi
2. Anak memulai perilaku yang konsisten terhadap respons duka.
3. Anak menerima perhatian segara terhadap cedera fisiknya
4. Anak menyatakan secara verbal jaminan keamanannya dengan segara
5. Anak medemonstrasikan rasa percaya kepada perawat utama melalui mendiskusikan perlakuan
penganiayaan melalui penggunaan terapi bermain

BAB lll
PENUTUP
A. Kesimpulan

Kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak dibawah umur belakangan ini semakin banyak
muncul dipermukaan. Hal ini belum tentu merupakan indikator meningkatnya jumlah kasus, karena
fenomena yang terjadi adalah fenomena gunung es, jumlah yang terlihat belum tentu menunjukkan
fakta yang sesungguhnya. Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap penegakan hukum merupakan
salah satu faktor meningkatnya pelaporan kasus kekerasan seksual Penganiayaan seksual pada anak
didefinisikan sebagai adanya tindakan seksual yang mencakup tetapi tidak dibatas pada insiden
membuka pakaian, menyentuh dengan cara yang tidak pantas dan penetrasi (koitus seksual), yang
dilakukan dengan seorang anak untuk kesenangan seksual orang dewasa. Insest telah didefinisikan
sebagai eksploitasi seksual pada seorang anak di bawah usia 18 tahun oleh kerabat atau buka kerabat
yang merupakan orang dipercaya dalam keluarga.

Anak sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat mungkin sebelumnya adalah korban dari
kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku lain. Kemungkinan motif kekerasan yang dilakukannya
adalah untuk eksploitasi-memuaskan rasa ingin tahu, atau menirukan kejadian yang dialami
sebelumnya, baik dari perlakuan langsung maupun dari media yang dilihatnya. Dengan adanya azas
praduga tak bersalah, hendaknya ditelusuri dengan mendalam faktor yang mendorong anak menjadi
pelakukekerasan seksual, agar anak tidak dua kali menjadi korban (Maria, 2008).

Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan pada genital dan anus, fisur pada anus.
pembesaran liang vagina dan anus, dan penipisan kerusakan hymen pada vagina. Efek psikologis
pencabulan terhadap anak umumnya berjangka panjang. antara lain: kemarahan, kecemasan, mimpi
buruk, rasa tak Iman, kebingungan, ketakutan, kesedihan, dan perubahan perilaku baik menjadi buruk .

B.Saran

Dengan adanya makalah ini diharapkan kita sebagai seorang perawat mampu memahami
tentang asuhan keperawatan pada anak dengan kebutuhan khusus : korban pemerkosaan sehingga kita
mampu memberikan asuhan keperawatan yang maksimal ke pasien yang mengalami gangguan
jiwa.Tentunya dalam pembuatan makalh ini masih banyak terdapat kesalahan sehingga penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat yang membangun dari semua pihak.

DAFTAR PUSTAKA
Kusumaningtyas,U.,Rokhmah,D., & Nafikadini, l . (2003) .Dampak Kesehatan Mental Pada Anak
Korban Kekerasan Seksual. Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2013. Retrieved from
http://respository.unej.ac.id

Made,N., Saniti,A.,Umum,S.,& Sanglah,P. (2011). Diagnosis dan Manajemen Stress Paska Trauma
Pada Diagnosis and Management Post Traumatic.

Fuadi, Anwar M.2011. Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual : Sebuah Studi Fenomenologi.Malang.

Anda mungkin juga menyukai