Anda di halaman 1dari 52

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KORBAN PEMERKOSAAN


DAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(KDRT)

Dosen Pembimbing: Ns. Nur Uyun Biahimo, M.Kep

Disusun Oleh Kelompok II:


Asri Caesariyani Kamali
Ayu Ashari
Adeliayawati Manopo
Desriayani Saleh
Dewi Mustapa
Dini Aminarti Abdullah
Resky Naway

PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO
GORONTALO 2021
KATA PENGATAR

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan

hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Keperawatan

Jiwa yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Korban Pemerkosaan Dan

Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)”.

Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak

kekurangan karena keterbatasan waktu dan latar belakang keilmuan yang kami

miliki, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun

dalam penyempurnaan makalah ini kedepannya . semoga kita semua dapat

menambah wawasan dan keilmuan atas makalah ini.

Gorontalo, Desember 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGATAR.................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan.......................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................4
2.1 Sexual Abuse.............................................................................................4
2.2 Kekerasan Dalam Rumah Tangga...........................................................21
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN.................................................................28
3.1 Asuhan Keperawatan Korban Pemerkosaan...........................................28
3.2 Asuhan Keperawatan KDRT...................................................................37
BAB IV PENUTUP...............................................................................................45
4.1 Kesimpulan..............................................................................................45
4.2 Saran........................................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................49

ii
BAB I

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pelecehan yang berulang sering ditemui pada lebih dari setengah kasus

pelecehan seksual di kommunitas dan terdapat pada 75% kaum yang ditemukan

diklinik. Sexual abuse (kekerasan seksual) dikenal pada tahun 70 an dan 80-an.

Penelitian lain telah mengarah pada perkiraan kekerasan pada anak yang lebih

luas di Inggris, seperti dari Childhood Matters(1996), Sekitar 100.000 anak

mengalami pengalaman seksual yang berpotensimengarah ke seksual abuse

[CITATION Pen15 \l 1033 ].

Banyak anak yang mendapat perlakuan kurang manusiawi, bahkan tidak

jarang dijadikan objek kesewenangan. Berdasarkan catatan Komisi perlindungan

anak, ada 481 kasus kekerasan anak (2003). Jumlah ini menjadi 547 kasus pada

tahun 2004. Dari situ, ada 140 kasus kekerasan fisik, 80 kasus kekerasan psikis,

106 kusus kekerasan lainnya, dan 221 kasus kekerasan seksual. Kekerasan seksual

(sexual abuse) merupakan kasus yang menonjol yang terjadi pada anak-anak.

Dalam catatan Yayasan Kesejahteran Anak Indonesia (YKAI) pada tahun 1992-

2002 terdapat 2.611 kasus (65,8 persen) dari 3.969 kasus kekerasan seksual

dialami anak-anak di bawah usia 18 tahun. Dari jumlahtu, 75 persen korbannya

adalah anak perempuan. Kasus yang menonjol terutama pemerkosaan (42,9

pensen) dengan kejadian terjadi di rumah tinggal (35,7 persen).

Tidak hanya kekerasan seksual atau pemerkosaan yang terjadi pada

perempuan. Ada juga kekerasan dalam rumah tangga yang disingkat menjadi

1
KDRT. Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri maupun orang tua

dengan anak merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah

tangga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam

rumah tangga bukanlah sesuatu yang menakutkan. Hampir semua keluarga pernah

mengalaminya. Yang mejadi berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan

menyelesaikan hal tersebut.

Penyelesaian masalah dilakukan dengan marah yang berlebih-lebihan,

hentakanhentakan fisik sebagai pelampiasan kemarahan, teriakan dan makian

maupun ekspresi wajah menyeramkan. Terkadang muncul perilaku seperti

menyerang, memaksa, mengancam atau melakukan kekerasan fisik. Perilaku

seperti ini dapat dikatakan pada tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

yang diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang

berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,

psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk

melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan

hukum dalam lingkup rumah tangga.

1.2 Tujuan Penulisan

1) Untuk mengetahui tentang definisi dari seksual abuse

2) Untuk mengetahui tentang klasifikasi dari seksual abuse

3) Untuk mengetahui tentang etiologi dari seksual abuse

4) Untuk mengetahui tentang patofisiologi dari seksual abuse

5) Untuk mengetahui tentang manifestasi klinis dari seksual abuse

6) Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan dari seksual abuse

2
7) Untuk mengetahui tentang pemeriksaan penunjang dari seksual abuse

8) Untukmengetahui tentang pengkajian dari seksual abuse

9) Untuk mengetahui tentang pohon masalah dari seksual abuse

10) Untuk mengetahui tentang diagnosa keperawatan dari seksual abuse

11) Untuk mengetahui tentang intervensi dan rasional dari seksual abuse

12) Menjelaskan apa saja pengertian dari kekerasan dalam rumah tangga

13) Menjelaskan factor penyebab kekerasan dalam rumah tangga

14) Menjelaskan tanda-tanda adanya kekerasan dalam rumah tangga

15) Menjelaskan proses terjadinya kekerasan dalam rumah tangga

16) Menjelaskan asuhan keperawatan pada kekerasan dalam rumah tangga

3
BAB II

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sexual Abuse

A. Definisi

Penyiksaan seksual (sexual abuse) terhadap anak disebut Pedofilian

ataupenyuka anak-anak secara seksual. Seorang Pedofilia adalah orang

yangmelakukan aktivitas seksual dengan korban anak usia 13 tahun ke bawah

Penyakit ini ada dalam kategori Sadomasokisme: adalah suatu

kecenderunganterhadap aktivitas seksual yang meliputi pengikatan atau

menimbulkan rasa sakitatau penghinaan [ CITATION Pra15 \l 1033 ].

Kemudian klasifikasi kekerasan/penganiayaan seksual pada anak, menurut

Resna dan Darmawan (dalam Huraerah, 2006:60) diklasifikasi menjadi tiga

kategori, antara lain: perkosaan, incest, dan eksploitasi. Pemerkosaan biasanya

terjadipada saat pelaku terlebih dahulu mengancam dengan memperlihatkan

kekuatannya kepada anak. Incest diartikan sebagai hubungan seksual atau

aktivitas seksual lainnya antar individu yang mempunyai hubungan dekat, yang

perkawinan di antara mereka dilarang, baik oleh hukum, kultur, maupun agama

Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi [ CITATION Sud15 \l 1033 ].

Kekerasan seksual (sexual abuse), dapat didefinisikan sebagai perilaku

seksual secara fisik maupun non fisik oleh orang yang lebih tua atau memiliki

kekuasaan terhadap korban, bertujuan untuk memuaskan Hasrat. Seksual

pelakunya. Korban mungkin saja belum atau tidak memahami perlakuan yang

dilakukan terhadap dirinya, mereka hanya merasa tidak nyaman, sakit, takut

4
merasa bersalah, dan perasaan lain yang tidak menyenangkan [ CITATION Pen15 \l

1033 ].

Kekerasan seksual (sexual abuse) pada anak mencakup penganiayaan

seksualsecara fisik dan non fisik. Kekerasan fisik antara lain menyentuh alat

kelamin ataubagian tubuh lain yang bersifat pribadi, seks oral, penetrasi

vagina/anus menggunakan penis atau benda lain, memaksa anak membuka

pakaian, sampaitindak pemerkosaan. Sedangkan penganiyaan non fisik

diantaranya memperlihatkan benda-benda yang bermuatan pornografi atau

aktivitas seksual orang dewasa, eksploitasi anak dalam pornografi (gambar, foto,

film, slide, majalah, buku), exhibitionism, atau mengintip kamar tidur/kamar

mandi (voyeurism) [ CITATION Sud15 \l 1033 ].

B. Klasifikasi

Klasifikasi dari sexual abuse pada anak menurut [ CITATION Sud15 \l 1033 ]

adalah :

1) Perkosaan

Perkosaan adalah jenis kekerasan yang paling mendapat sorotan.

Diperkirakan 22% perempuan dan 2% laki-laki pernah menjadi korban perkosaan.

Untuk di Amerika saja, setiap 2 menit terjadi satu orang diperkosa Hanya 1 dari 6

perkosaan yang dilaporkan ke polisi. Sebagian besar perkosaan dilakukan oleh

orang yang mengenal korban alias orang dekat korban.

2) Kekerasan Seksual Terhadap Anak

Suatu tinjauan baru-baru ini terhadap 17 studi dari seluruh dunia

menunjukkan bahwa di manapun, sekitar 11% sampai dengan 32% perempuan

5
dilaporkan mendapat perlakuan atau mengalami kekerasan seksual pada masa

kanak-kanaknya. Umumnya pelaku kekerasan adalah anggota keluarga, orang-

orang yang memiliki hubungan dekat, atau teman Mereka yang menjadi pelaku

kekerasan seksual terhadap anak biasanya adalah korban kekerasan seksual pada

masa kanak-kanak.

3) Kekerasan Seksual Terhadap Pasangan

Kekerasan ini mencakup segala jenis kekerasan seksual yung dilakukan

seseorang terhadap pasangan seksualnya. Sebesar 95% korban kekerasan adalah

perempuan. Temuan penelitian yang dilakukan Rifku Annisa bersama UGM.

UMEA University, dan Women's Health Exchange USA di Purworejo, Jawa

Tengah, Indonesia, pada tahun 2000 menunjukkan bahwa 22% perempuan

mengalami kekerasan seksual. Sejumlah 1 dari 5 perempuan (19 %) melaporkan

bahwa biasanya mereka dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan

pasangan mereka selama dipukuli. Termasuk kekerasan seksual adalah kekerasan

yang dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, semata-mata

karena sang korban adalah perempuan. Istilah untuk ini adalah kekerasan berbasis

gender. Berikut adalah kekerasan berbasis gender.

4) Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik yaitu Menampar, memukul, menendang, mendorong,

mencambuk dan lain-lain.

5) Kekerasan Emosional / Verbal

Mengkritik, membuat pasangan merasa bersalah, membuat permainan

pikiran, memaki, menghina, dan lain-lain.

6
6) Ketergantungan Finansial

Ketergantungan finansial: Mencegah pasangan untuk mendapat pekerjaan,

membuat pasangan dipecat, membuat pasangan meminta uang dan lain-lain.

7) Isolasi Sosial

Mengontrol pasangan dengan siapa bolch bertemu dan di mana bisa

bertemu, membatasi gerak pasangan dalam pergaulan, dan lain-lain.

8) Kekerasan Seksual

Memaksa seks, berselingkuh, sadomasokisme, dan lain-lain.

9) Pengabaian / Penolakan

Mengatakan kekerasan tidak pernah terjadi, menyalahkan pasangan bila

kekerasan terjadi, dan lain-lain

10) Koersi, Ancaman, Intimidasi

Membuat pasangan khawatir, memecahkan benda-benda, mengancam akan

meninggalkan, dan lain-lain.

C. Etiologi

Berdasarkan jumal "Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi

Fenomenologi", Faktor penyebab sexual abuse adalah: Faktor-fakor yang

menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan seksual yang dialami oleh subyek

adalah sebagai berikut:

a) Faktor Kelalaian Orang Tua. Kelalaian orang tua yang tidak memperhatikan

tumbuh kembang dan pergaulan anak yang membuat subyek menjadi korban

kekerasan seksual.

7
b) Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku Moralitas dan mentalitas

yang tidak dapat bertumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak dapat

mengontrol nafsu atau perilakunya.

c) Faktor ekomoni. Faktor ekonom membuat pelaku dengan mudah

memuluskan rencananya dengan memberikan imingiming kepada korban

yang menjadi target dari pelaku.

Berdasarkan jurnal "play therapy dalam identifikasi kasus kekerasan seksual

terhadap anak", dampak sexual abuse adalah :

Dampak kekerasan seksual terhadap anak diantaranya adanya perasaan

bersalah dan menyalahkan diri sendiri, bayangan kejadian dimana anak menerima

kekerasan seksual, mimpi buruk, insomnia, takut hal yang berhubungan dengan

penyalahgunaan (termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, dan lain-lain),

masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis, kecanduan, keinginan bunuh

diri ceders, bunuh diri, keluhan somatik, depresi (Roosa, Reinholtz., Angelini,

1999). Selain 7 itu muncul gangguan-gangguan psikologis seperti pasca-trauma

stress disorder, kecemasan, jiwa penyakit lain (termasuk gangguan kepribadian

dan gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk reviktimisasi di masa

dewasa, bulimia nervosa, cedera fisik kepada anak.

Menurut Townsend (1998) factor yang predisposisi (yang berperan dalam

pola penganiayaan anak (seksuak abuse) antara lain:

1) Teori Biologis

a. Pengaruh neurofisiologis. Perubahan dalam system limbik otak dapat

mempengaruhi perilaku agresif pada beberapa individu

8
b. Pengaruh biokimia, bermacam-macam neurotransmitter (misalnya

epinefrin, norepinefrin, dopamine, asetilkolin dan serotonin) dapat

memainkan peranan dalam memudahkan dan menghambat

impulsimpuls agresif.

c. Pengaruh genetika. Beberapa penyelidikan telah melibatkan herediter

sebagai komponen pada predisposisi untuk perilaku agresif seksual,

baik ikatan genetik langsung maupun karyotip genetik XYY telah

diteliti sebagai kemungkinan.

d. Kelainan otak. Berbagai kelainan otak mencakup tumor, trauma dan

penyakit-penyakit tertentu (misalnya ensefalitis dan epilepsy), telah

dilibatkan pada predisposisi pada perilaku agresif.

2) Teori Psikologis

a. Teori psikoanalitik. Berbagai teori psikoanalitik telah membuat hipotesa

bahwa agresif dan kekerasan adalah ekspresi terbuka dari

ketidakberdayaan dan harga diri rendah, yang timbul bila kebutuhan

kebutuhan masa anak terhadap kepuasan dan keamanan tidak terpenuhi.

b. Teori pembelajaran. Teori ini mengendalikan bahwa perilaku agresif

dan kekerasan dipelajari dari model yang membawa dan berpengaruh.

Individu-individu yang dianiaya seperti anak-anak atau yang orang

tuanya mendisiplinkan dengan hukuman fisik lebih mungkin untuk

berperilaku kejam sebagai orang dewasa.

3) Teori Sosiokultural (Pengaruh Sosial)

9
Pengaruh sosial. Ilmuwan social yakin bahwa perilaku agresif terutama

merupakan hasil dari struktur budaya dan social seseorang. Pengaruh- pengaruh

social dapat berperan pada kekerasan saat individu menyadari bahwa kebutuhan

dan hasrat mereka tidak dapat dipenuhi melalui cara-cara yang lazim dan mereka

mengusahakan perilaku-perilaku kejahatan dalam suatu usaha untuk memperoleh

akhir yang diharapkan.

Menurut Freewebs (2006) Kekerasan seksual (sexual abuse) pada anak

sering muncul dalam berbagai kondisi dan lingkup sosial.

1. Kekerasan seksual dalam keluarga (Intrafamilial abuse) Mencakup

kekerasan seksual yang dilakukan dalam keluarga inti atau majemuk, dan

dapat melibatkan teman dari anggota keluarga, atau orang yang tinggal

bersama dengan keluarga tersebut, atau kenalan dekat dengan

sepengetahuan keluarga. Kekerasan pada anak adopsi ataupun anak tiri juga

termasuk dalam lingukup ini.

2. Kekerasan seksual di luar keluarga (Extrafamilial abuse) Mencakup

kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa yang kenal dengan anak

tersebut dari berbagai sumber, seperti tetangga, teman, orangtua dari teman

sekolah.

3. Ritualistic abuse mencakup kekerasan yang di lakukan oleh orang dewasa

untuk mendapatkan ilmu gaib atau ilmu hitam demi keperluan pribadinya.

4. Institutional abuse mencakup kekerasan seksual dalam lingkup institusi

tertentu seperti sekolah, tempat penitipan anak, kamp berlibur, seperti

kegiatan pramuka, dan organisasi lainnya.

10
5. Kekerasan seksual oleh orang yang tidak dikenal (Street or stranger abuse)

Penyerangan pada anak-anak di tempat-tempat umum. Ada beberapa

pandangan berbeda penyebab kekerasan seksual yang menimpa anak.

Orang yang mencabuli anak-anak dianggap orang yang mengalami

disfungsi karena kecanduan alkohol, tidak memiliki pekerjaan tetap dan

penghasilan yang mapan, serta tingkat pendidikan yang rendah. Menurut

Cok Gede Atmadja, pencabulan terhadap anak terjadi karena himpitan

ekonomi. Sementara Magdalena Manik, aktivis Forum Sayang Anak,

menyatakan pencabulan terhadap anak disebabkan meluasnya budaya

permisif, dan ketidakkonsistenan pihak kepolisian dalam mengambil

tindakan hukum terhadap pelaku incest [ CITATION Sud15 \l 1033 ].

Koran Tokoh (Edisi 337/TahunVII, 5-11 Juni 2005:14) menulis beberapa

pemicu terjadinya pencabulan terhadap anak, khususnya oleh orangtua. 1.

Pertama, pelaku tidak bisa lagi melakukan hubungan dengan istri karena alasan

kesehatan atau telah lama menduda. 2. Kedua, pelaku ingin menyempumakan

ilmu kebatinan yang sedang ditekuninya. 3. Ketiga, pelaku tidak tahan melihat

kemontokan tubuh anak perempuannya, atau melihat anak perempuannya ke luar

kamar mandi menggunakan handuk. Bahkan, bisa pula pelaku melakukan

pelecehan seksual terhadap anak perempuan, karena terpengaruh film pomo

(Atmadja, 2005:139 dalam Suda, 2006).

D. Patofisiologis

Menurut Tower (2002) dalam Maria (2008) kekerasan seksual pada anak

dapat terjadi satu kali, beberapa kali dalam periode berdekatan, bahkan menahun.

11
Walaupun berbeda-beda pada setiap kasus, kekerasan seksual tidak terjadi begitu

saja, melainkan melalui beberapa tahapan antara lain :

1. Tahap awal, pelaku membuat korban merasa nyaman. Ia menyakinkan

bahwa apa yang dilakukannya "tidak salah" secara moral. Pelaku mencoba

menyentuh sisi kebutuhan anak akan kasih saying dan perhatian, penerimaan

dari orang lain, atau mencoba menyamakannya dengan permainan dan

menjanjikan imbalan material yang menyenangkan. Pelaku dapat

mengintimidasi secara halus ataupun bersikap memaksa secara kasar.

2. Tahap kedua, adalah interaksi seksual. Perilaku yang terjadi bisa saja hanya

berupa mengintip sampai perilaku yang intensitasnya berat, yaitu memakasa

anak untuk melakukan hubungan seksual. Setelah kejadian tersebut, pelaku

mengancam korban agar merahasiakan apa yang terjadi kepada orang lain.

3. Tahap berikutnya, adalah tahapan dimana korban mau menceritakan

pengalamannya kepada orang lain. Kemungkinan korban merahasiakan

pengalamannya sampai berusia dewasa, atau menceritakannya kepada orang

yang mempunyai kedekatan emosional dengannya, sehingga ia merasa

aman. Pelaku "mencobai" korban sedikit demi sedikit, mulai dari :

a. Pelaku membuka pakaiannya sendiri

b. Pelaku meraba-raba bagian tubuhnya sendiri

c. Pelaku memperlihatkan alat kelaminnya

d. Pelaku mencium korban dengan pakaian lengkap

e. Pelaku meraba bagian-bagian tubuh korban payudara, alat kelamin, dan

bagian lainnya

12
f. Masturbasi, dilakukan oleh pelaku sendiri atau pelaku dan korban saling

menstimulasi

g. Oral sex, dengan menstimulasi alat kelamin korban

h. Sodomi

i. Petting

j. Penetrasi alat kelamin pelaku

Anak yang memiliki resiko mengalami kekerasan seksual biasanya adalah

anak-anak yang biasa ditinggalkan sendiri dan tidak mendapat pengawasan dari

orang yanglebih dewasa, terutama ibu. Tidak hanya kehadiran secara fisik,

kedekatan emosional antara ibu dan anak pun merupakan faktor yang penting

[ CITATION Mar08 \l 1033 ] . Menurut Maria (2008) dampak kekerasan seksual pada

anak adalah sebagai berikut :

1. Stress: akut, traumatic - PTSD (post traumatik stress disorder)

2. Agresif, menjadi pelaku kekerasan, tidak percaya diri

3. Rasa takut, cemas

4. Perilaku seksual yang tidak wajar untuk anak seusianya

Tidak diragukan lagi bahwa kekerasan seksual dapat memberikan dampak

jangka pendek maupun jangka panjang bagi korbannya. Pada anak lainnya, ada

kemungkinan gangguan tersebut di 'tekan' sehingga tidak teramati dari luar sampai

ada pemicu yang menampilkan gejolak emosi mereka, misalnya saat anak

memasuki usia remaja dan mulai dekat dengan lawan jenis, atau pada saat mereka

akan menikah. selain itu, sangat mungkin anak yang menjadi korban kekerasan

seksual kemudian justru malah menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak

13
lain (Maria, 2008). Menghadapi anak yang mengalami kekerasan seksual, kata

Maria, hendaknya tetap mempertimbangkan faktor psikologis.Tidak hanya pada

posisi anak sebagai korban, yang tentunya berisiko mengalami stres bahkan

trauma, tapi juga perlu penanganan yang baik pada anak sebagai pelaku

kekerasan. Anak sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat mungkin sebelumnya

adalah korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku lain.

Kemungkinan motif kekerasan yang dilakukannya adalah untuk eksploitasi-

memuaskan rasa ingin tahu, atau menirukan kejadian yang dialami sebelumnya,

baik dari perlakuan langsung maupun dari media yang dilihatnya. Dengan adanya

azas praduga tak bersalah, hendaknya ditelusuri dengan mendalam faktor yang

mendorong anak menjadi pelakukekerasan seksual, agar anak tidak dua kali

menjadi korban [ CITATION Mar08 \l 1033 ].

Berbagai bentuk kekerasan seksual terhadap anak, khususnya anak

perempuan di masyarakat, selalu diwarnai kekerasan fisik atau psikologis.Jika

meminjam gagasan Giddens (2004) tentang kekerasan laki laki dalam

menyalurkan libidonya, tindakan tersebut berkaitan dengan label yang diberikan

masyarakat kepada laki-laki. Laki-laki harus jantan menangani sektor publik dan

urusan seksual. Di sisi lain, meluasnya sistem ekonomi kapitalisme global

mengakibatkan banyak orang termarjinal, bahkan terhimpit, baik secara ekonomi

maupun psikologis. Akibatnya, harga diri mereka dalam keluarga dan masyarakat

mengalami goncangan. Begitu pula hubungan seksual mereka dengan istrinya bisa

terganggu. Kondisi ini bisa diperparah lagi karena usia tua, impotensi, ejakulasi

14
dini, kekhawatiran ukuran dan fungsi penis, dan lainnya. Ini menimbulkan rasa

tidak aman dan kekawatiran yang mendalam [ CITATION Sud15 \l 1033 ].

Berikut ini jenis-jenis kekerasan seksual berdasarkan pelakunya (Tower,

2002 dalam Maria, 2008) :

1. Kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga. Dilakukan oleh ayah, ibu

atau saudara kandung. Selain itu, kekerasan seksual mungkin pula dilakukan

oleh orang tua angkat/tiri, atau orang lain yang tinggal serumah dengan

korban.

2. Kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar anggota keluarga

Kekerasan seksual dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak dibatasi perbedaan

jenis kelamin, suku, agama, tingkat sosial ekonomi, dan

sebagainya.Sebagian besar pelaku adalah pria dan orang yang melakukan

orang yang cukup dikenal oleh korban, misalnya tetangga, guru, sopir, baby-

sittter.Pelaku bisa saja mengalami kelainan seperti paedophilia, pecandu

seks, atau sangat mungkin teman sebaya. Kemungkinan pelaku penah

menjadi korban kekerasan seksual sebelumnya, atau menirukan perilaku

orang lain. salah satu penyebabnya adalah untuk mengatasi trauma akibat

kekesaran seksual yang dialaminya, atau sekedar memenuhi rasa ingin tahu.

Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan pada genital dan anus, fisur

pada anus, pembesaran liang vagina dan anus, dan penipisan/kerusakan

hymen pada vagina. Efek psikologis pencabulan terhadap anak umumnya

berjangka panjang, antara lain: kemarahan, kecemasan, mimpi buruk, rasa

15
tak Iman, kebingungan, ketakutan, kesedihan, dan perubahan perilaku baik

menjadi buruk.

E. Manifest

Berdasarkan jurnal "Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi

Fenomenologi", Dampak psikologis sexual abuse adalah : Dampak psikologis

yang dialami oleh subyek dapat digolongkan. menjadi tiga bagian, yaitu gangguan

perilaku, gangguan kognisi, gangguan emosional

a. Gangguan Perilaku, ditandai dengan malas untuk melakukan aktifitas sehari-

hari.

b. Gangguan Kognisi, ditandai dengan sulit untuk berkonsentrasi, tidak fokus

ketika sedang belajar, sering melamun dan termenung sendiri.

c. Gangguan Emosional, ditandai dengan adanya gangguan mood dan suasana

hati serta menyalahkan diri sendiri.

Patricia A Moran dalam buku Slayer of the Soul, 1991 dalam Minangsari

(2007), mengatakan, menurut riset, korban pelecehan seksual adalah anak laki-

laki dan perempuan berusia bayi sampai usia 18 tahun. Kebanyakan pelakunya

adalah orang yang mereka kenal dan percaya. Gejala seorang anak yang

mengalami pelecehan seksual tidak selalu jelas. Ada anak-anak yang menyimpan

rahasia pelecehan seksual yang dialaminya dengan bersikap "manis" dan patuh,

berusaha agar tidak menjadi pusat perhatian. Meskipun pelecehan seksual

terhadap anak tidak memperlihatkan bukti mutlak, tetapi jika tanda-tanda di

bawah ini tampak pada anak dan terlihat terus menerus dalam jangka waktu

16
panjang, kiranya perlu segera mempertimbang.kan kemungkinan anak telah

mengalami pelecehan seksual [ CITATION Min07 \l 1033 ].

Tanda dan indikasi ini diambil Jeanne Wess dari buku yang sama:

1. Balita

a. Tanda-tanda fisik, antara lain memar pada alat kelamin atau mulut, iritasi

kencing, penyakit kelamin, dan sakit kerongkongan tanpa penyebab jelas

bisa merupakan indikasi seks oral.

b. Tanda perilaku emosional dan sosial, antara lain sangat takut kepada

siapa saja atau pada tempat tertentu atau orang tertentu, perubahan

kelakuan yang tiba-tiba, gangguan tidur (susah tidur, mimpi buruk, dan

ngompol), menarik diri atau depresi, serta perkembangan terhambat.

2. Anak Usia Prasekolah

Gejalanya sama ditambah tanda-tanda berikut :

a. Tanda fisik antara lain perilaku regresif, seperti mengisap jempol,

hiperaktif, keluhan somatik seperti sakit kepala yang terus-menerus,

sakit perut, sembelit.

b. Tanda pada perilaku emosional dan sosial: kelakuan yang tiba-tiba

berubah, anak mengeluh sakit karena perlakuan seksual.

c. Tanda pada perilaku seksual: masturbasi berlebihan, mencium secara

seksual, mendesakkan tubuh, melakukan aktivitas seksual terang

terangan pada saudara atau teman sebaya, tahu banyak tentang aktivitas

seksual, dan rasa ingin tahu berlebihan tentang masalah seksual.

3. Anak Usia Sekolah

17
Memperlihatkan tanda-tanda di atas serta perubahan kemampuan belajar,

seperti susah konsentrasi, nilai turun, telat atau bolos, hubungan dengan

teman terganggu, tidak percaya kepada orang dewasa, depresi, menarik diri,

sedih, lesu, gangguan tidur, mimpi buruk, tak suka disentuh, serta

menghindari hal-hal sekitar buka pakaian.

4. Remaja

Tandanya sama dengan di atas dan kelakuan yang merusak diri sendiri,

pikiran bunuh diri, gangguan makan, melarikan din, berbagai kenakalan

remaja, penggunaan obat terlarang atau alkohol, kehamilan dini, melacur,

seks di luar nikah, atau kelakuan seksual lain yang tak biasa. Sedangkan

menurut Townsend (1998) simtomatologi dari penganiayaan / kekerasan

seksual pada anak (sexual abuse) antara lain :

1. Infeksi saluran kemih yang sering

2. Kesulitan atau nyeri saat berjalan atau duduk

3. Kemerahan atau gatal pada daerah genital, menggaruk daerah tersebut

4. Sering muntah

5. Perilaku menggairahkan, dorongan masturbasi, bermain seks dewasa

sebelum waktunya

6. Ansietas berlebihan dan tidak percaya kepada orang lain

7. Penganiyaan seksual pada anak yang lain

F. Penatalaksanaan

Berdasarkan jurnal "play therapy dalam identifikasi kasus kekerasan seksual

terhadap anak", terapi sexual abuse adalah :

18
Cholidah (2005) menyatakan bahwa diantara tujuan terapi bermain adalah

mengurangi atau menghilangkan gangguan-gangguan perilaku, fisik, psikis,

social, sensori dan komunikasi dan mengembangkan kemampuan yang masih

dimiliki secara optimal. Terkait dengan kasus kekerasan seksual pada anak,

Jongsma, Peterson dan Mclnnis (2000) menyatakan bahwa terapi bermain (play

therapy) merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi dan menggalikan

perasaan anak korban kekerasan seksual. Melalui terapi bermain selain kasus

dapat diidentifikasi apa yang terjadi pada diri anak, anak juga dapat

mengekpresikan perasaan atas kasus yang terjadi pada dirinya. Menurut Suda

(2006) ada beberapa model program counseling yang dapat diberikan kepada anak

yang mengalami sexual abuse, yaitu :

a. The dynamics of sexual abuse

Artinya, terapi difokuskan pada pengambangan konsepsi.Pada kasus tersebut

kesalahan dan tanggung jawab berada pada pelaku bukan pada korban. Anak

dijamin tidak disalahkan meskipun telah terjadi kontak seksual.

b. Protective behaviors counseling

Artinya, anak-anak dilatih menguasai keterampilan mengurangi kerentannya

sesuai dengan usia. Pelatihan anak prasekolah dapat dibatasi; berkata tidak

terhadap sentuhan-sentuhan yang tidak i diinginkan; menjauh secepatnya dari

orang yang kelihatan sebagai abusive person; melaporkan pada orangtua atau

orang dewasa yang dipercaya dapat membantu menghentikan perlakuan salah.

c. Survivor/self-esteem counseling

19
Artinya, menyadarkan anak-anak yang menjadi korban bahwa mereka

sebenarnya bukanlah korban, melainkan orang yang mampu bertahan (survivor)

dalam menghadapi masalah sexual abuse.Keempat, feeling counseling Artinya,

terlebih dahulu harus diidentifikasi kemampuan anak yang mengalami sexual

abuse untuk mengenali berbagai perasaan.Kemudian mereka didorong untuk

mengekspresikan perasaan-perasaannya yang tidak menyenangkan, baik pada saat

mengalami sexual abuse maupun sesudahnya. Selanjutnya mereka diberi

kesempatan untuk secara tepat memfokuskan perasaan marahnya terhadap pelaku

yang telah menyakitinya, atau kepada orang tua, polisi, pekerja sosial, atau

lembaga peradilan yang tidak dapat melindungi mereka.

d. Cognitif terapy

Artinya, konsep dasar dalam teknik ini adalah perasaan-perasaan seseorang

mengenai beragam jenis dalam kehidupannya dipengaruhi oleh pikiran-pikiran

mengenai kejadian tersebut secara berulang lingkar.

G. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Doenges et. al (2007) pemeriksaan diagnostic yang dilakukan pada

anak dengan sexual abuse bergantung pada situasi dan kebutuhan individu. Uji

skrining (misalnya Daftar Periksa Perilaku Anak), peningkatan nilai pada skala

internalisasi yang menggambarkan perilaku antara lain ketakutan, segan, depresi,

pengendalian berlebihan atau di bawah pengendalian, agresif dan antisosial.

20
2.2 Kekerasan Dalam Rumah Tangga

A. Definisi

Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-

undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah

Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,

yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,

psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk

melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan

hukum dalam lingkup rumah tangga. Masalah kekerasan dalam rumah tangga

telah mendapatkan perlindungan hukum dalam Undang-undang Nomor 23 tahun

2004 yang antara lain menegaskan bahwa:

1. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebes dari

segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-

undang Republik Indonesia tahun 1945.

2. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga

merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat

kemanusiaan serta bentuk deskriminasi yang harus dihapus.

3. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah

perempuan, hal itu harus mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau

masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman

kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan

martabat kemanusiaan.

21
4. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b,

huruf c, dan huruf d perlu dibentuk Undang-undang tentang penghapusan

kekerasan dalam rumah tangga.

Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri sebenarnya

merupakan unsur yang berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP

(kitab undang-undang hukum pidana) pasal 356 yang secara garis besar isi pasal

yang berbunyi:

“Barang siapa yang melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, isteri atau

anak diancam hukuman pidana”

B. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap

istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 3 (tiga) macam :

1. Kekerasan Fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit

atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara

lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak),

menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan

sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka

lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.

2. Kekerasan Psikologis atau emosional, yaitu perbuatan yang mengakibatkan

ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk

bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada

seseorang. Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara

emosional adalah penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau

22
merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau

,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.

3. Kekerasan seksual, kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan)

istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual,

memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.

Kekerasan seksual berat, berupa :

a. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ

seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang

menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.

b. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat

korban tidak menghendaki.

c. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan

dan atau menyakitkan.

d. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran

dan atau tujuan tertentu.

e. Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi

ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.

f. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat

yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.

g. Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal

seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan

atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun

perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak

23
dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban.

Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam

jenis kekerasan seksual berat.

h. Kekerasan ekonomi, Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam

lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya

atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,

perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari

kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan

menghabiskan uang istri. Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan

eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa :

1) Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk

pelacuran

2) Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya

3) Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban,

merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.

Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja

yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi

atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.

C. Faktor Penyebab KDRT

Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks

struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan

dalam rumah tangga (marital violence) sebagai berikut :

1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki

24
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan

wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.

2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi

Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja

mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika

suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.

3. Beban pengasuhan anak

Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai

pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak,

maka suami akan menyalahkan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah

tangga.

4. Wanita sebagai anak-anak

Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum,

mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan

segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk

melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap

anaknya agar menjadi tertib.

5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki

Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami

kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga

penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim

dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi

25
suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni

keluarga.

D. Tanda Dan Gejala Adanya KDRT

Gejala-gejala istri yang mengalami kekerasan adalah merasa rendah diri,

cemas, penuh rasa takut, sedih, putus asa, terlihat lebih tua dari usianya, sering

merasa sakit kepala, mengalami kesulitan tidur, mengeluh nyeri yang tidak jelas

penyebabnya, kesemutan, nyeri perut, dan bersikap agresif tanpa penyebab yang

jelas. Jika anda membaca gejalagejaladi atas, tentu anda akan menyadari bahwa

akibat kekerasan yang paling fatal adalah merusak kondisi psikologis yang waktu

penyembuhannya tidak pernah dapat dipastikan.

E. Siklus Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Secara umum kekerasan dalam rumah tangga mengikuti suatu siklus, yang

terjadi selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Ketegangan muncul dari

konflik atau ketidaksepakatan kecil, yang menjadikan wanita mengeluh, pasif,

atau menarik diri.

F. Penatalaksanaan

Pencegahan :

Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga, diperlukan

cara-cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain:

1. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh

pada agamanya sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan

dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.

26
2. Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena

didalam agama itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak,

saudara, dan orang lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling

mengahargai setiap pendapat yang ada .

3. Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta

sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah

tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak,

itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.

4. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya

antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling

percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk

melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul

adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga

berlebih-lebihan.

5. Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada

dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi

pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam keluarga

dapat diatasi dengan baik.

27
BAB III

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Asuhan Keperawatan Korban Pemerkosaan

A. Pengkajian

Menurut Doenges et.al (2007) pengkajian anak yang mengalami

penganiayaan seksual (sexual abus) antara lain :

1. Aktivitas atau istirahat: Masalah tidur (misalnya tidak padat tidur atau tidur

berlebihan, mimpi burukm, berjalan saat tidur, tidur di tempat yang asing,

keletihan.

2. Integritas ego

a. Pencapaian diri negatif, menyalahkan diri sendiri/meminta ampun

karena tindakannya terhadap orang tua.

b. Harga diri rendah (pelaku/korban penganiayaan seksual yang selamat).

c. Perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan atau tidak

berdaya.

d. Minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku (mekanisme

pertahanan yang paling dominan/menonjol).

e. Penghindaran atau takut pada orang, tempat, objek tertentu, sikap

menunduk, takut (terutama jika ada pelaku).

f. Melaporkan faktor stres (misalnya keluarga tidak bekerja, perubahan

finansial, pola hidup, perselisihan dalam pernikahan).

g. Permusuhan terhadap/objek/tidak percaya pada orang lain.

3. Eliminasi

28
a. Enuresisi, enkopresis.

b. Infeksi saluran kemih yang berulang

c. Perubahan tonus sfingter

4. Makan dan minum : Muntah sering perubahan selera makan (anoreksia),

makan berlebihan, perubahan berat badan, kegagalan memperoleh berat

badan yang sesuai.

5. Higiene

a. Mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan kondisi cuaca

(penganiayaan seksual) atau tidak adekuat memberi perlindungan.

b. Mandi berlebihan/ansietas (penganiayaan seksual), penampilan

kotor/tidak terpelihara

6. Neurosensori

a. Perilaku ekstrem (tingkah laku sangat agresif/menuntut), sangat amuk

atau pasivitas dan menarik diri, perilaku tidak sesuai dengan usia.

b. Status mental: memori tidak sadar, periode amnesia, laporan adanya

pengingatan kembali. Pikiran tidak terorganisasi, kesulitan

konsentrasi/membuat keputusan. Afek tidak sesuai, mungkin sangat

waspada, cemas dan depresi.

c. Perubahan alam perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan

penyesalan yang dalam setelah penganiayaan seksual terjadi.

d. Kecemburuan patologis, pengendalian impuls yang buruk, keterampilan

koping terbatas, kurang empati terhadap orang lain.

29
e. Membantung. Menghisap jempol atau perilaku kebiasaan lain : gelisah

(korban selamat).

f. Manifestasi psikiatrik (misal: fenomena disosiatif meliputi kepribadian

ganda (penganiayaan seksual), gangguan kepribadian ambang (koeban

inses dewasa).

g. Adanya defisit neurologis/kerusakaan SSP tanpa tanda-tanda cedera

eksternal.

7. Nyeri atau ketidaknyamanan

a. Bergantung pada cedera/bentuk penganiayaan seksual.

b. Berbagai keluhan somatik (misalnya nyeri perut, nyeri panggul kronis,

spastik kolon, sakit kepala).

8. Keamanan

a. Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar (tersiran air panas,

rokok) ada bagian botak di kepala, laserasi, perdarahan yang tidak wajar,

ruam/gatal di area genital, fisura anal, goresan kulit, hemoroid, jaringan

parut, perubahan tonus sfingter.

b. Cedera berulang, riwayat bermacam kecelakaan, fraktur/ cedera internal.

c. Perilaku mencederai diri sendiri (bunuh diri), keterlibatan dalam

aktivitas dengan risiko tinggi.

d. Kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak ada perhatian yang dapat

menghindari bahaya di dalam rumah.

9. Seksualitas

30
a. Perubahan kewaspadaan/aktivitas seksual, meliputi masturbasi

kompulsif, permainan seks dewasa sebelum waktunya, kecenderungan

mengulang atau melakukan kembali pengalaman inses. Kecurigaan yang

berlebihan tentang seks, secara seksual menganiaya anak lain.

b. Perdarahan vagina, laserasi himen linier, bagian mukosa berlendir.

c. Adanya PMS, vaginitis, kutil genital atau kehamilan (terutama pada

anak).

10. Interaksi Sosial

Melarikan diri dari rumah, pola interaksi dalam keluarga secara verbal

kurang responsif, peningkatan penggunaan perintah langsung dan pernyataan

kritik, Penurunan penghargaan atau pengakuan verbal, merasa rendah

diri.Pencapaian restasi disekolah rendah atau prestasi di sekolah menurun.

B. Pohon Masalah

EFFECT ISOLASI SOSIAL

CARE PROBLEM HARGA DIRI RENDAH

CAUSE KORBAN PELECEHAN

C. Diagnosa Keperawatan

1. Harga diri rendah

2. Isolasi Sosial

D. Intervensi Keperawatan

1. Harga diri rendah

31
Pasien Keluarga
No SPIP SPIK
1. Identifikasi kemampuan melakukan Diskusikan masalah yang
kegiatan dan aspek positif pasien dirasakan keluarga dalam merawat
(buat dafatar kegiatan) pasien
2. Bantu pasien menialani kegiatan Jelaskan pengertian, tanda dan
yang dapat dilakukan saat ini (pilih gejala, proses terjadinya harga diri
dari daftar kegiatan): buat daftar rendah (gunakan booklet).
kegiatan yang dapat dilakukan saat
ini
3 Bantu pasien memilih salah satu Diskusikan kemampuan atau aspek
kegiatan yang dapat dilakukan saat positif pasien yang pernah dimiliki
ini untuk dilatih sebelum dan setelah sakit.
4 Latih kegaitan yang dipilih (alat Jelaskan cara merawat harga diri
dan cara melakukannya) rendah terutama berikan pujian
semua hal yang positif pasien
5 Masukkan pada jadwal kegiatan Latih keluarga memberi tanggung
untuk latihan du kali per hari jawab kegiatan pertama yang
dipilih pasien : bombing dan beri
pujian
6 Anjurkan membantu pasien sesuai
jadwal dan memberikan pujian
SPIIP SPIIk
1. Evaluasi kegiatan pertama yang Evaluasi kegiatan keluarga dalam
telah dilatih dan berikan pujian membimbing pasien melaksanakan
kegiatan pertama yang dipilih dan
dilatih pasien. Beri pujian
2 Bantu pasien memilih kegiatan Bersama keluarga melatih pasien
kedua yang akan dilatih dalam melakukan kegiatan kedua
yang dipilih pasien
3. Latih kegiatan kedua(alat dan cara) Anjurkan membantu pasien sesuai
jadwal dan beri pujian
4. Masukkan pada jadwal kegiatan
untuk. latihan tiga kegiatan masing-

32
masing dua kali perhari.
SPIIIP SPIIIk
1. Evaluasi kegiatan pertama dan Evaluasi kegiatan keluarga dalam
kedua yang telah dilatih dan membimbing pasien melaksanakan
berikan pujian. kegiatan pertama dan kedua yang
telah dilatih. Beri pujian.
2. Bantu pasien memilih kegiatan Bersama keluarga melatih pasien
ketiga yang akan dilatih. melakukan kegiatan ketiga yang
dipilih
3. Latih kegiatan ketiga (alat dan cara) Anjurkan membantu pasien sesuai
jadwal dan berikan pujian
4. Masukkan pada jadwal kegiatan
untuk latihan tiga kegiatan, masing-
masing dua kali perhari
SPIVP SPIVk
1. Evaluasi kegiatan pertama, kedua Evaluasi kegiatan keluarga dalam
dan ketiga yang telah dilatih dan mebimbing pasien melaksanakan
berikan pujian. kegiatan pertama, kedua dan
ketiga. Beri pujian.
2. Bantu pasien memilih kegiatan Bersama keluarga melatih pasien
keempat yang akan dilatih melakukan kegiatan keempat yang
dipilih rujukan
3. Latih kegiatan keempat (alat dan Jelaskan follow up ke RSJ/PKM,
cara) tanda kambuh
4. Masukkan pada jadwal kegiatan Anjurkan membantu pasien sesuai
untuk latihan empat kegiatan jadwal dan memberikan pujian.
masing-masing dua kali perhari.
SPVP SPVk
1. Evaluasi kegiatan pujian latihan Evaluasi kegiatan keluarga dalam
dan berikan pujian membimbing pasien melakukan
kegiatan yang dipilih oleh pasien.
Beri pujian
2. Latih kegiatan dilanjutkan sampai Nilai kemampuan keluarga
tak terhingga
3. Nilai kemampuan yang telah Nilai kemampuan keluarga me-

33
mandiri. lakukan membimbing pasien
kontrol ke RSJ/PKM
4. Nilai apakah harga diri pasien
meningkat

2. Isolasi Sosial

Pasien Keluarga
No SPIP SPIK
1. Identifikasi penyebab isolasi sosial Diskusikan masalah yang
siapa yang serumah, siapa yang dirasakan dalam merawat pasien
dekat, dan apa sebabnya
2. Keuntungan Punya teman dan Jelaskan pengertian, tanda &
bercakap-cakap gejala dan proses terjadinya isolasi
sosial (gunakan) booklet)
3 Kerugian tidak punya teman dan Jelaskan cara merawat isolasi
tidak bercakap-cakap. sosial
4 Latihan cara berkenalan dengan Latih dua cara merawat
pasien dan perawat atau tamu berkenalan, berbicara saat
melakukan kegiatan harian
5 Masukkan pada jadwal kegiatan Anjurkan membantu pasien sesuai
untuk latihan berkenalan jadwal dan memberikan pujian
besuk
SPIIP SPIIk
1. Evaluasi kegiatan berkenalan yang Evaluasi kegiatan keluarga dalam
telah dilatih dan berikan pujian merawat / melatih pasien
berkenalan dan berbicara saat
kegiatan harian. Beri pujian
2 Latih cara berbicara saat melakukan Jelaskan kegiatan rumah tangga
kegiatan harian (latih 2 kegiatan) yang dapat melibatkan pasien
berbicara (makan, sholat,bersama)
di rumah
3. Masukan pada jadwal kegiatan Latih cara membimbing pasien
untuk latihan berkenalan 2-3 orang, berbicara dan beri pujian
pasien, perawat dan tamu, berbicara

34
saat melakukan kegiatan harian
SPIIIP SPIIIk
1. Evaluasi kegiatan Latihan Evaluasi kegiatan keluarga dalam
berkenalan (berapa orang) & merawat / melatih pasien ber-
berbicara saat melakukan dua kenalan berbicara saat melakukan
kegiatan harian. Berikan pujian. kegiatan harian. Beri pujian.
2. Latih cara berbicara saat melakukan Jelaskan cara melatih pasien
kegiatan harian (2 kegiatan baru) melakukan kegiatan sosial seperti
berbelanja, meminta sesuatu dll
3. Masukan pada jadwal kegiatan Latih keluarga mengajak pasien
untuk latihan berkenalan 4-5 orang, berbelanja saat besuk.
berbicara saat melakukan 4
kegiatan harian
4. Anjurkan membantu pasien sesuai
jadwal kegiatan dan berikan pujian
SPIVP SPIVk
1. Evaluasi kegiatan Latihan Evaluasi kegiatan keluarga dalam
berkenalan berbicara saat merawat / melatih pasien ber-
melakukan 4 kegiatan harian. kenalan berbicara saat melakukan
Berikan pujian. kegiatan harian / RT, berbelanja.
Beri pujian.
2. Latih cara bicara sosial : meminta Jelaskan follow up ke RSJ / PKM,
sesuatu, menjawab pertanyaan tanda kambuh, rujukan
3. Masukkan pada jadwal kegiatan Anjurkan membantu pasien sesuai
untuk Latihan berkenalan > 5 jadwal kegiatan dan berikan pujian
orang, orang baru, berbicara saat
melakukan kegiatan harian dan
sosialisi
SPVP SPVk
1. Evaluasi kegiatan Latihan Evaluasi kegiatan keluarga dalam
berkenalan berbicara saat merawat / melatih pasien ber-
melakukan kegiatan harian. Berikan kenalan berbicara saat melakukan
pujian kegiatan harian / RT, berbelanja
dan kegiatan lain dan follow up.

35
Beri pujian
2. Latih kegiatan harian Nilai kemampuan keluarga
merawat pasien
3. Nilai kemampuan yang telah Nilai kemampuan keluarga me-
mandiri. lakukan kontrol ke RSJ/PKM
4. Nilai apakah isolasi sosial teratasi

3.2 Asuhan Keperawatan KDRT

Kasus:

Ny. C 36 tahun datang ke poli kebidanan dengan kakak kandungnya untuk

memeriksakan kehamilannya. Ny. C tampak memar pada pipi kiri, Ny C sering

tampak melamun, pandangan kosong, lebih sering dan hanya menjawab

pertanyaan dengan singkat. Saat ditanya tentang suaminya dia hanya diam dan

meneteskan air mata. Menurut kakak Ny. C, Ny. C sedang hamil 4 minggu, suami

Ny.C tidak bekerja, Ny.C bekerja sebagai karyawan di bank swasta. Tadi malam

Ny.C dan suaminya bertengkar karena Ny. C terlambat pulang karena rapat. Ny.C

sudah menjelaskan tentang alasan keterlambatan pulangnya, tetapi suaminya tidak

percaya, karena marah Ny.C didorong hingga jatuh dan pipinya terbentur kujung

meja. Karena khawatir dengan kondisi kandungannya kakak Ny.C membawa

Ny.C ke poli kebidanan.

A. Pengkajian

Data Demografi :

Biodata klien :

Nama : Ny. C

Umur : 36 tahun

36
Agama : islam

Alamat : jl. Jati

Status perkawinan : kawin

Pengumpulan Data :

1. Ny. C nampak memar pada pipi kiri

2. Ny, C nampak sering melamun

3. Pandangan kosong

4. Hanya menjawab pertanyaan dengan singkat

5. Saat ditanyai tentang suaminya klien hanya diam dan meneteskan air

mata

6. Kakak Ny, C mengatakan klien sedang hamil 4 bulan

7. Kakak klien mengatakan suami klien tidak bekerja

8. Kakak klien mengatakan semalam klien bertengkar dengan suaminya

karena klien terlambat pulang

9. Kakak klien mengatakan klien didorong suaminya sampai pipin klien

terbentur ujung

meja

10. Kakak klien mengatakan karena merasa khawatir dengan

kandungannya sehingga klien memeriksakan kandungannya ke poli

kebidanan

11. Kakak klien mengatakan klien bekerja sebagai karyawan di Bank

Data Fokus :

DS :

37
1. Kakak Ny, C mengatakan klien sedang hamil 4 bulan

2. Kakak klien mengatakan suami klien tidak bekerja

3. Kakak klien mengatakan semalam klien bertengkar dengan suaminya

karena klien terlambat pulang

4. Kakak klien mengatakan klien didorong suaminya sampai pipi klien

terbentur ujung meja

5. Kakak klien mengatakan karena merasa khawatir dengan

kandungannya sehingga klien memeriksakan kandungannya ke poli

kebidanan

6. Kakak klien mengatakan klien bekerja sebagai karyawan di Bank

DO :

1. Ny. C nampak memar pada pipi kiri

2. Ny, C nampak sering melamun

3. Pandangan kosong

4. Hanya menjawab pertanyaan dengan singkat

5. Saat ditanyai tentang suaminya klien hanya diam dan meneteskan air

mata

38
B. Analisis Data

N
DATA ETIOLOGI MASALAH
O
1 DS : Isolasi sosial yang
1. Kakak klien mengatakan
berhubungan
karena merasa khawatir de-
ngan kandungannya se- dengan kecemasan
hingga klien memeriksakan yang ekstrem,
kandungannya ke poli depresi
kebidanan
DO :
1. Ny, C nampak sering
melamun
2. Pandangan kosong
3. Hanya menjawab
pertanyaan dengan singkat
4. Saat ditanyai tentang
suaminya klien hanya
diam dan meneteskan air
mata

2 DS : Risiko cedera yang


1. Kakak klien mengatakan
berhuubungan
semalam klien bertengkar
dengan suaminya karena dengan trauma fisik
klien terlambat pulang
2. Kakak klien mengatakan
klien didorong suaminya
sampai pipi klien
terbentur ujung meja
3. Kakak klien mengatakan
karena merasa khawatir
dengan kandungannya
sehingga klien
memeriksakan
kandungannya ke poli
kebidanan
DO :
1. Ny.C nampakmemar
pada pipi kiri

39
3 DS : Ketidakefektifan
1. Kakak Ny, C mengatakan
koping keluarga
klien sedang hamil 4
bulan (dengan perilaku
2. Kakak klien mengatakan merusak)
suami klien tidak bekerja
3. Kakak klien mengatakan
klien bekerja sebagai
karyawan di Bank
DO :
1. Ny. C nampak memar pada
pipi kiri

C. Diagnosa Keperawatan

1. Isolasi sosial yang berhubungan dengan kecemasan yang ekstrem, depresi

2. Risiko cedera yang berhuubungan dengan trauma fisik

3. Ketidakefektifan koping keluarga (dengan prilaku merusak)

D. Intervensi

Tujuan &
No Diagnosa Kriteria Intervensi Rasional
Hasil
1 Isolasi sosial 1. Bina rasa 1. Membangun
yang percaya, hubungan saling
berhubungan tunjukkan percaya
dengan penerimaan dan
kecemasan penghargaan yang
yang ekstrem, positif
depresi
2. Bantu memahami 2. Memberdayakan
keputusan/pilihan klien
3. Melakukan 3. membantu
konseling suportif korban
seperti penganiayaan

40
memberikan dalam
penenangan dan membangun
penyuluhan kembali rasa
dalam perawatan pengendalian
terhadap
kehidupannya
dan merasa
cukup aman
untuk hidup
normal kembali
4. Mendengarkan 4. Membantu klien
dengan empati dalam
dan memperlihat- mengungkapkan
kan sikap perasaanya dan
menciptakan
situasi/ kondisi
konseling yang
efektif
2 Risiko cedera 1. Atasi cedera 1. Mencegah
yang berhubu- komplikasi dan
ngan dengan membantu
trauma fisik pemulihan
2. Berikan tindakan 2. Mengurangi
kenyamanan nyeri
3. Bantu klien untuk 3. Mencegah cedera
menentukan lebih lanjut
seberapa besar
risiko mengalami
kekerasan yang
lebih hebat diri
sendiri
4. Motivasi klien 4. Mencegah
untuk mencari terjadinya risiko
layanan tempat sangat besar
perlindungan untu
diri jika risikonya
sangat besar
3 Ketidakefektif 1. Menyediakan 1. Membantu
-an koping lingkungan yang menciptakan
keluarga tenang dimana situasi/ kondisi
(dengan korban dapat konseling yang

41
prilaku mengungkapkan efektif
merusak) perasaannya
2. Mengkaji dan 2. perawat harus
membantu klien megerti kondisi
dalam melewati ambivalensi
situasi yang terutama wanita
dihadapinya terhadap pelaku
penganiayaan,
seorang wanita
tidak akan
bertahan dalam
situasi siklus
kekerasan
kecuali telah
mendapatkan
ikatan yang kuat
terhadap suami
atau
pasangannnya
3. Perawat mampu 3. mampu
mengklarisifikasi meningkatkan
kan kesalah- harga diri dan
pahaman dan mengeksplorasi
mendukung keyakinan diri
kemampuan yang dapat
korban untuk membuat korban
berubah, terlepas dari
membantu siklus kekerasan
mengambil serta seperti perasaan
menjalani bersalah, putus
keptutusan asa dan
mengklarifikasi menyalahkan diri
nilai-nilai dan sendiri
kepercayaannya
4. Libatkan pelaku 4. strategi terapi
dan korban untuk difokuskan pada
menciptakan dan pengendalian
mempertahankan rasa marah,
hubungan, dengan pelaku
memberikan penganiayaan,

42
terapi pasangan penghentian
kekerasan dan
belajar teknik
tanpa bertengkar
saat mengatasi
konflik dan
membantu
memberikan
kesempatan
penggalian
dinamika
hubungan dan
peran

43
BAB IV

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak dibawah umur

belakangan ini semakin banyak muncul dipermukaan. Hal ini belum tentu

merupakan indikator meningkatnya jumlah kasus, karena fenomena yang terjadi

adalah fenomena gunung es, jumlah yang terlihat belum tentu menunjukkan fakta

yang sesungguhnya Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap penegakan

hukum merupakan salah satu faktor meningkatnya pelaporan kasus kekerasan

seksual. Penganiayaan seksual pada anak didefinisikan sebagai adanya tindakan

seksual yang mencakup tetapi tidak dibatas pada insiden membuka pakaian,

menyentuh dengan cara yang tidak pantas dan penetrasi (koitus seksual), yang

dilakukan dengan seorang anak untuk kesenangan seksual orang dewasa. Insest

telah didefinisikan sebagai eksploitasi seksual pada seorang anak di bawah usia 18

tahun oleh kerabat atau buka kerabat yang merupakan orang dipercaya dalam

keluarga [ CITATION Tow98 \l 1033 ].

Anak sebagai pelaku kekerasun seksual, sangat mungkin sebelumnya

adalah korban dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku lain.

Kemungkinan motif kekerasan yang dilakukannya adalah untuk eksploitasi

memuaskan rasa ingin tahu, atau menirukan kejadian yang dialami sebelumnya,

baik dari perlakuan langsung maupun dari media yang dilihatnya. Dengan adanya

aras praduga bersalah, hendaknya ditelusuri dengan mendalam faktor yang

44
mendorong anak menjadi pelakukekerasan seksual, agar anak tidak dua kali

menjadi korban [ CITATION Mar08 \l 1033 ].

Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan pada genital dan anus,

fisur pada anus, pembesaran liang vagina dan anus, dan penipisan/kerusakan

hymen pada vagina. Efek psikologis pencabulan terhadap anak umumnya

berjangka panjang, antara lain kemarahan, kecemasan, mimpi buruk, rasa tak

Iman, kebingungan, ketakutan, kesedihan, dan perubahan perilaku bask menjadi

buruk.

Adapun untuk kasus KDRT, seharusnya seorang suami dan istri harus

banyak bertanya dan belajar, seperti membaca buku yang memang isi bukunya itu

bercerita tentang bagaimana cara menerapkan sebuah keluarga yang sakinah,

mawaddah dan warahmah. Di dalam sebuah rumah tangga butuh komunikasi yang

baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan

harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan

kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya

kekerasan dalam rumah tangga. Seharusnya seorang suami dan istri bisa

mengimbangi kebutuhan psikis, di mana kebutuhan itu sangat mempengaruhi

keinginan kedua belah pihak yang bertentangan. Seorang suami atau istri harus

bisa saling menghargai pendapat pasangannya masing-masing.

Untuk mempertahankan sebuah hubungan, butuh rasa saling percaya,

pengertian, saling menghargai dan sebagainya. Begitu juga halnya dalam rumah

tangga harus dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling

percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa

45
kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan

rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan. Tidak sedikit seorang suami yang

sifat seperti itu, terkadang suami juga melarang istrinya untuk beraktivitas di luar

rumah. Karena mungkin takut istrinya diambil orang atau yang lainnya. jika sudah

begitu kegiatan seorang istri jadi terbatas. Kurang bergaul dan berbaur dengan

orang lain. Ini adalah dampak dari sikap seorang suami yang memiliki sifat

cemburu yang terlalu tinggi. Banyak contoh yang kita lihat dilingkungan kita,

kajadian seperti itu. Sifat rasa cemburu bisa menimbukan kekerasan dalam rumah

tangga.

4.2 Saran

1. Perawat Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak

dengan seksual abuse dapat melibatkan anak dalam brain Gym untuk

memfokuskan perhatian anak dan melupakan peristiwa trauma akibat

penganiayaan seksual.

2. Sekolah Sekolah dapat bekerja sama dengan keluarga dan para dokter

untuk membantu anak korban aniaya seksual di sekolah. Komunikasi

terbuka antara orangtua dan staf sekolah dapat merupakan kunci

keberhasilan anak dalam menyesuaikan diri di sekolah.

3. Keluarga/Orang tua Keluarga atau orang tua dalam membantu anak yang

mengalami seksual abuse harus memberikan perawatan anak dengan

metode yang berbeda dengan anak yang normal.

Oleh karena itu hendaknya orang tua atau keluarga menyusun kegiatan

sehingga anak mempunyai rutinitas yang sama tiap hari, mengatur kegiatan

46
harian, menggunakan jadwal untuk pekerjaan rumah, dan memperpertahankan

aturan secara konsisten dan berimbang.

Adapun untuk KDRT, Dalam sebuah rumah tangga kedua belah pihak

harus sama-sama menjaga agar tidak terjadi konflik yang bisa menimbulkan

kekerasan. Tidak hanya satu pihak yang bisa memicu konflik di dalam rumah

tangga, bisa suami maupun istri. Sebelum kita melihat kesalahan orang lain,

marilah kita berkaca pada diri kita sendiri. Sebenarnya apa yang terjadi pada diri

kita, sehingga menimbulkan perubahan sifat yang terjadi pada pasangan kita

masing-masing.

47
DAFTAR PUSTAKA

FKUI. (2015, Februari 28). Pendahuluan Sebuah TInjauan. Diambil kembali dari
Freewebs: http://www.freewebs.com/childabusea1/.htm

Maria. (2008, 28 Februari). Hadapi Kekerasan Seksual Pada Anak Hendaknya


Tetap Mempertimbangkan Faktor Psikologis. Diambil kembali dari
Indonesia New: http://apindonesia.com/new/index.php?
option=com_content&task=view&id=1656&itemid=62

Minangsari. (2007, Februari 28). Merespon Anak Yang Mengalami Pelecehan


Seksual! Diambil kembali dari Kesrepro: http://kesrepro.info/?q=node/i94

Pramono, B. (2015, Febrauri 2015). Penyiksaan Anak. Diambil kembali dari


Sexual Harassment in The Workplace:
http://groups.yahoo.com/group/urantiaindonesia/message/1516

Suda, I. (2015, 28 Februari). Topik Interaktif: "Membedah Penyebab Kekerasan


Seksual terhadap Anak. Diambil kembali dari Radio 1034 FM:
http://www/dradio1034fm.or.id/detail.php?id=4269

Towsend, M. (1998). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Psikiatri Pedoman


Untuk Pembuatan Rencana Perawatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

48

Anda mungkin juga menyukai