Anda di halaman 1dari 30

KEPERAWATAN PSIKIATRI

“ASUHAN KEPERAWATAN PADA KORBAN PEMERKOSAAN”

DOSEN PEMBIMBING :

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 2

PROGRAM STUDI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN MUHAMMADIYAH (STIK) PONTIANAK

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
pikiran maupun materinya.

Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


pengalaman untuk para pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar
makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

Pontianak, April 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1


B. Rumusan Masalah............................................................................ 3
C. Tujuan ............................................................................................ 3
BAB II TINJAUAN TEORI ...........................................................................

A. Definisi Perkosaan ..................................................................... 4


B. Gangguan Stress Pasca Trauma .................................................. 5
C. Tanda dan Gejala ........................................................................ 5
D. Batasan Karakteristik .................................................................. 6
E. Permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan korban
pemerkosaan ............................................................................... 7
F. Pengobatan .................................................................................. 9
G. Beban Psikologis dan Kesehatan Korban Pemerkosaan ............. 12
BAB III PEMBAHASAN ……………………………………………………
A. Kasus .......................................................................................... 17
B. Asuhan Keperawatan .................................................................. 17
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 25
B. Saran .............................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kasus pemerkosaan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk


kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia (Komnas Perempuan, 2017).
Perkosaan diketahui sebagai serangan yang diarahkan pada bagian seksualitas
seseorang dengan menggunakan organ seksual (penis) ke organ seksual
(vagina), anus, mulut, atau dengan menggunakan bagian tubuh lainnya yang
non organ seksual atau benda-benda lainnya. Serangan itu dapat dilakukan
dengan kekerasan, ancaman kekerasan, ataupun dengan pemaksaan sehingga
mengakibatkan rasa takut akan kekerasan, dibawah paksaan, penahanan,
tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan atau serangan atas
seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya
(Komnas Perempuan, 2017). Pemerkosaan masuk dalam kerangkan perilaku
abnormal karena ada sikap kasar dan dampak negatif atau merusak yang
diberikan kepada korban hingga mengalami berbagai masalah baik fisik
maupun psikologis (Nevid, J. S., dkk., 2005).
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Sistem Informasi Online
Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) terdapat 13.854 kasus
kekerasan terhadap perempuan dan anak tahun 2019 di Indonesia terdiri dari
3.431 korban laki-laki dan 11.451 korban perempuan. Berdasarkan tempat
kejadian sebanyak 7.728 kasus terjadi di rumah tangga, 198 kasus di tempat
kerja, 705 kasus di sekolah, 1.817 kasus di fasilitas umum, dan 3.391 kasus di
tempat lainnya. Jumlah korban berdasarkan tempat kejadian yaitu 8.268 kasus
di rumah tangga, 223 kasus di tempat kerja, 846 di sekolah, 1.944 kasus di
fasilitas umum, dan 3.602 kasus lainnya. Jenis kekerasan yang dialami korban
sebanyak 6.305 kasus secara fisik, 3.913 kasus secara psikis, 5.023 kasus
secara seksual dan kasus lainnya dari traffiking hingga eksploitasi.
Berdasarkan usia menjadi korban yang dilaporkan sebanyak 1.086 kasus terjadi

1
2

pada rentang umur 0-5 tahun, 2.745 kasus di umur 6-12 tahun, 4.516 kasus di
umur 13-17 tahun, 1.727 kasus di umur 18-24 tahun, 3.975 kasus di umur 25-
44 tahun, 746 kasus di umur 45-59 tahun, dan 105 kasus diatas umur 60 tahun.
Berdasarkan data pendidikan, sebanyak 108 korban di tingkat PAUD, 256
korban di TK, 3.036 korban di SD, 3.195 korban di SLTP atau SMP, 4.237
korban di SLTA atau SMA, 1.109 korban di perguruan tinggi, 875 korban tidak
bersekolah dan 2.084 korban lainnya (Simfoni PPA, 2019).
Kasus pemerkosaan memiliki dampak negatif bagi korban pada aspek
fisik, aspek psikologis, dan aspek sosial dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Hal tersebut merupakan suatu proses adaptasi setelah individu
mengalami peristiwa yang traumatis. Kedua dampak tersebut tidak selalu
muncul dalam bentuk yang sama pada masing-masing korban. Selain itu,
waktu munculnya dampak tersebut akan berbeda satu sama lain (Ekandari dkk.,
2001).
Secara umum, pada aspek fisik, korban berisiko mengalami dua bentuk
luka yakni luka genital atau luka yang diakibatkan saat penetrasi seksual terjadi
dan luka nongenital atau luka seperti bekas cakaran, bekas ikatan dan memar.
Pada aspek psikologis, korban mengalami penurunan sehat mental seperti
gangguan stres pascatrauma, penyalahgunaan obat, depresi dan adanya
kemungkinan melakukan bunuh diri (Hapsari & Ginanjar, 2014). Pada aspek
sosial, korban mengalami ketakutan mengenai penerimaan dari masyarakat
serta pemikiran dan mitos-mitos perkosaan menjadi sebuah stressor bagi
korban. Ketakutan ini meliputi penerimaan dari masyarakat, penerimaan dari
pihak sekolah serta hubungan korban dengan laki-laki (Ekandari dkk., 2001).
Pelecehan seksual dan perkosaan dapat menimbulkan efek trauma yang
mendalam pada para korbannya. Korban pelecehan seksual dan perkosaan juga
dapat mengalami gangguan stres akibat pengalaman traumatis yang telah
dialaminya. Gangguan stres yang dialami korban pelecehan seksual dan
perkosaan seringkali disebut Gangguan Stres Pasca Trauma (Post Traumatic
Stress Disorder (PTSD).

2
3

B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan korban perkosaan?


2. Apa saja gangguan stress pasca trauma korban perkosaan?
3. Apa saja tanda dan gejala korban perkosaan?
4. Apa saja batasan karakteristik
5. Apa saja permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan korban
pemerkosaan?
6. Bagaimana pengobatan pada korban pemerkosaan?
7. Apa saja beban psikologis dan kesehatan korban pemerkosaan?

C. Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada pasien korban


pemerkosaan

3
4

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi Perkosaan

Perkosaan (rape) merupakan bagian dari tindakan kekerasan (violence),


sedangkan kekerasan dapat berupa kekerasan secara fisik, mental, emosional
dan hal-hal yang sangat menakutkan pada korban. Perkosaan adalah suatu
penetrasi penembusan penis ke vagina perempuan yang tidak dikehendaki,
tanpa persetujuan dan tindakan itu diikuti dengan pemaksaan baik fisik maupun
mental. Pengertian pemerkosaan berdasarkan Pasal 381 RUU KUHP :
1. Seorang laki-laki dengan perempuan bersetubuh, bertentangan dengan
kehendaknya, tanpa persetubuhan atau dengan persetubuhan yang dicapai
melalui ancaman atau percaya Ia suaminya atau wanita dibawah 14 tahun
dianggap perkosaan.
2. Dalam keadaan ayat (1), memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau
mulut perempuan, benda bukan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau
anus perempuan.
Perkosaan adalah tindakan kekerasaan atau kejahatan seksual berupa
hubungan seksual yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dengan
kondisi atas kehendak dan persetujuaan perempuan, dengan persetujuan
perempuan namun dibawah ancaman, dengan persetujuan perempuan namun
melalui penipuan. Dalam KUHP pasal 285 disebutkan perkosaan adalah
kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa seseorang perempuan
bersetubuh dengan dia (laki-laki) diluar pernikahan.
Kalimat korban perkosaan menurut arti leksikal dan gramatikal adalah
suatu kejadian, perbuatan jahat, atau akibat suatu kejadian, atau perbuatan
jahat. Perkosaan adalah Menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan
kekerasan, menggagahi, merogol. (Mendikbud,2010: 525, 757).
5

B. Gangguan Stress Pasca Trauma

Korban perkosaan memiliki kemungkinan mengalami stres paska


perkosaan yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres yang langsung terjadi
dan stres jangka panjang. Stres yang langsung terjadi merupakan reaksi paska
perkosaan seperti kesakitan secara fisik, rasa bersalah, takut, cemas, malu,
marah, dan tidak berdaya. Stres jangka panjang merupakan gejala psikologis
tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan
korban memiliki rasa kurang percaya diri, konsep diri yang negatif, menutup
diri dari pergaulan, dan juga reaksi somatik seperti jantung berdebar dan
keringat berlebihan. Apabila setelah terjadinya peristiwa perkosaan tersebut
tidak ada dukungan yang diberikan kepada korban, maka korban dapat
mengalami post traumatic stress disorder (PTSD).
Gangguan stress pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder (PTSD))
merupakan suatu sindrom kecemasan, labilitas autonomic, ketidakrentanan
emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress
fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa. Menurut
National Institute of Mental Health (NIMH), definisi PTSD adalah gangguan
berupa kecemasan yang bisa timbul setelah seseorang mengalami suatu
peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa yang
menimbulkan trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang
menimpa manusia, kecelakaan atau perang (Anonim, 2005)
Sedangkan Hikmat mengatakan bahwa PTSD adalah sebuah kondisi yang
muncul setelah pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan, dan
mengancam jiwa seseorang seperti bencana alam, kecelakaan hebat, sexual
abuse (kekerasan seksual), atau perang (Hikmat, 2005).

C. Tanda dan Gejala

1. Terdapat stressor yang berat dan jelas (kekerasan, perkosaan), yang akan
menimbulkan gejala penderitaan yang berarti bagi hampir setiap orang.
2. Penghayatan yang berulang-ulang dari trauma itu yang dibuktikan oleh
terdapatnya paling sedikit satu dari hal berikut :
6

a. ingatan berulang dan menonjol tentang peristiwa itu;


b. mimpi-mimpi berulang dari peristiwa itu;
c. timbulnya secara tiba-tiba perilaku atau perasaan seolah-olah
peristiwa traumatik itu sedang timbul kembali, karena berkaitan
dengan suatu gagasan atau stimulus/rangsangan lingkungan.
3. Penumpulan respons terhadap atau berkurangnya hubungan dengan dunia
luar (“psychic numbing” atau “anesthesia emotional”) yang dimulai
beberapa waktu sesudah trauma, dan dinyatakan paling sedikit satu dari
hal berikut :
a. berkurangnya secara jelas minat terhadap satu atau lebih aktivitas
yang cukup berarti;
b. perasaan terlepas atau terasing dari orang lain;
c. afek (alam perasaan) yang menyempit (constricted affect) atau afek
depresif (murung, sedih, putus asa).
4. Paling sedikit ada dua dari gejala-gejala berikut ini yang tidak ada sebelum
trauma terjadi, yaitu :
a. kewaspadaan atau reaksi terkejut yang berlebihan;
b. gangguan tidur (disertai mimpi-mimpi yang menggelisahkan);
c. perasaan bersalah karena lolos dari bahaya maut, sedangkan orang
lain tidak, atau merasa bersalah tentang perbuatan yang dilakukannya
agar tetap hidup;
d. hendaya (impairment) daya ingat atau kesukaran konsentrasi
e. penghindaran diri dari aktivitas yang membangkitkan ingatan tentang
peristiwa traumatik itu;
f. peningkatan gejala-gejala apabila dihadapkan pada peristiwa yang
menyimbolkan atau menyerupai peristiwa traumatik itu

D. Batasan Karakteristik

1. Fase akut
a. Respons somatic
✓ Peka rangsang gastrointerstinal (mual, muntah, anoreksia)
7

✓ Ketidaknyamanan genitourinarius (nyeri, pruritus)


✓ Ketegangan otot-otot rangka (spasme, nyeri).
b. Respons psikologis
✓ Menyangkal
✓ Syok emosional
✓ Marah
✓ Takut – akan mengalami kesepian, atau pemerkosa akan kembali
✓ Rasa bersalah
✓ Panik melihat pemerkosa atau adegan penyerangan
c. Respons seksual
✓ Tidak percaya pada laki-laki
✓ Perubahan dalam perilaku seksual
2. Fase jangka panjang
Setiap respons pada fase akut dapat berlanjut jika tidak pernah terjadi
resolusi
a. Respons psikologis
✓ Fobia
✓ Mimpi buruk atau gangguan tidur
✓ Ansietas
✓ Depresi

E. Permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan korban


pemerkosaan
1. Panic attack (serangan panik)
Anak / remaja yang mempunyai pengalaman trauma dapat mengalami
serangan panik ketika dihadapkan / menghadapi sesuatu yang
mengingatkan mereka pada trauma. Serangan panik meliputi perasaan
yang kuat atas ketakutan atau perasaan tidak nyaman yang menyertai
gejala fisik maupun psikologis. Gejala fisik meliputi jantung berdebar-
debar, berkeringat, gemetar, sesak nafas, sakit dada, sakit perut, pusing,
merasa kedinginan, badan panas, mati rasa.
8

2. Perilaku menghindar
Menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan penderita pada kejadian
traumatis. Kadang-kadang penderita mengaitkan semua kejadian dalam
seluruh kehidupannya setiap hari dengan kejadian trauma, padahal kondisi
kehidupan sekarang jauh dari kondisi trauma yang pernah dialaminya. Hal
ini seringkali menjadi lebih parah sehingga penderita menjadi takut untuk
keluar rumah dan harus ditemani oleh orang lain jika harus keluar rumah.
3. Depresi
Banyak orang menjadi depresi setelah mengalami pengalaman trauma dan
menjadi tidak tertarik dengan hal-hal yang disenanginya sebelum peristiwa
trauma. Mereka mengembangkan perasaan-perasaan yang tidak benar,
perasaan bersalah, menyalahkan diri sendiri, dan merasa bahwa peristiwa
yang dialaminya adalah merupakan kesalahannya, walaupun semua itu
tidak benar.
4. Membunuh pikiran dan perasaan
Kadang-kadang orang yang depresi berat merasa bahwa kehidupannya
sudah tidak berharga. Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50 % korban
kejahatan mempunyai pikiran untuk bunuh diri. Jika anda dan orang yang
terdekat dengan anda mempunyai pemikiran untuk bunuh diri setelah
mengalami peristiwa traumatik, segeralah mencari pertolongan dan
berkonsultasi dengan para profesional.
5. Merasa disisihkan dan sendiri
Perlunya dukungan dari lingkungan sosialnya tetapi mereka seringkali
merasa sendiri dan terpisah. Karena perasaan mereka tersebut, penderita
kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain dan mendapatkan
pertolongan. Penderita susah untuk percaya bahwa orang lain dapat
memahami apa yang telah dia alami.
6. Merasa tidak percaya dan dikhianati
Setelah mengalami pengalaman yang menyedihkan, penderita mungkin
kehilangan kepercayaan dengan orang lain dan merasa dikhianati atau
ditipu oleh dunia, nasib atau oleh Tuhan.
9

7. Mudah marah
Marah dan mudah tersinggung adalah reaksi yang umum diantara
penderita trauma. Tentu saja kita dapat salah kapan saja, khususnya ketika
penderita merasa tersakiti, marah adalah suatu reaksi yang wajar dan dapat
dibenarkan. Bagaimanapun, kemarahan yang berlebihan dapat
mempengaruhi proses penyembuhan dan menghambat penderita untuk
berinteraksi dengan orang lain di rumah dan di tempat terapi.
8. Gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari
Beberapa gangguan yang terkait dengan fungsi sosial dan gangguan di
sekolah dalam jangka waktu yang lama setelah trauma. Seorang korban
kejahatan mungkin menjadi sangat takut untuk tinggal sendirian. Penderita
mungkin kehilangan kemampuannya dalam berkonsentrasi dan melakukan
tugasnya di sekolah. Bantuan perawatan pada penderita sangat penting
agar permasalahan tidak berkembang lebih lanjut.
9. Persepsi dan kepercayaan yang aneh
Adakalanya seseorang yang telah mengalami trauma yang menjengkelkan,
seringkali untuk sementara dapat mengembangkan ide atau persepsi yang
aneh (misalnya : percaya bahwa dia bisa berkomunikasi atau melihat
orang-orang yang sudah meninggal). Walaupun gejala ini menakutkan dan
menyerupai halusinasi dan khayalan, gejala tersebut seringkali bersifat
sementara dan hilang dengan sendirinya.
F. Pengobatan
Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan korban pemerkosaan,
yaitu dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi.
1. Farmakoterapi
Mulai terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang
sudah dikenal. Terapi dengan anti depresiva pada gangguan stress pasca
traumatik ini masih kontroversial. Obat yang biasa digunakan adalah
benzodiazepin, litium, camcolit dan zat pemblok beta – seperti
propranolol, klonidin, dan karbamazepin. Obat tersebut biasanya
10

diresepkan sebagai obat yang sudah diberikan sejak lama dan kini
dilanjutkan sesuai yang diprogramkan, dengan kekecualian, yaitu
benzodiazepin – contoh, estazolam 0,5 – 1 mg per os, Oksanazepam10-30
mg per os, Diazepam (valium) 5 – 10 mg per os, Klonazepam 0,25 – 0,5
mg per os, atau Lorazepam 1- 2 mg per os atau IM – juga dapat digunakan
dalam UGD atau kamar praktek terhadap ansietas yang gawat dan agitasi
yang timbul bersama gangguan stres pasca traumatik tersebut
2. Psikoterapi
a. Anxiety Management
Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa
ketrampilan untuk membantu mengatasi gejala korban pemerkosaan
dengan lebih baik melalui :
1) Relaxation Training
Yaitu belajar untuk mengontrol ketakutan dan kecemasan secara
sistematis dan merelaksasikan kelompok otot-otot utama.
2) Breathing retraining
Yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai
dan menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang
menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang
tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala.
3) Positive thinking dan self-talk
Yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti
dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat
stress (stresor).
4) Assertiveness Training
Yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan
emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain.
5) Thought Stopping
Yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang
memikirkan hal-hal yang membuat kita stress (Anonim, 2005).
11

b. Cognitive therapy
Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional
yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan-kegiatan kita.
Misalnya seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri
karena tidak hati-hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi
pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa
pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang
kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu
mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 2005).
c. Exposure therapy
Pada exposure terapi, terapis membantu menghadapi situasi yang
khusus, orang lain, obyek, memori atau emosi yang mengingatkan
pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam
kehidupan sehari-hari. Terapi ini dapat berjalan dengan dua cara :
1) Exposure in the imagination
Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang cerita
secara detail kenangan-kenangan traumatis sampai mereka tidak
mengalami hambatan untuk menceritakannya.
2) Exposure in reality
Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman
tetapi ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat
kuat (misalnya : kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di
rumah). Ketakutan itu akan bertambah kuat jika kita berusaha
untuk mengingat situasi tersebut dibanding berusaha untuk
melupakannya. Pengulangan situasi yang disertai penyadaran
yang berulang-ulang akan membantu kita menyadari bahwa
situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita
dapat mengatasinya (Anonim, 2005).
d. Play therapy
Terapi bermain digunakan untuk menerapi anak-anak dengan trauma.
Terapis menggunakan permainan untuk memulai topik yang tidak
12

dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak-anak


untuk lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman
traumatiknya (Anonim, 2005).
e. Support Group Therapy
Seluruh peserta dalam Support Group Therapy merupakan korban
perkosaan, yang mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban
bencana tsunami, korban gempa bumi) dimana dalam proses terapi
mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka,
kemdian mereka saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm,
2005).
f. Terapi Bicara
Sejumlah studi penelitian membuktikan bahwa terapi berupa saling
berbagi cerita mengenai trauma mampu memperbaiki kondisi
kejiwaan penderita. Dengan berbagi pengalaman, korban bisa
memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendamnya selama
ini. Bertukar cerita dengan sesama penderita membuat mereka merasa
senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini
memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang dideritanya dan
melawan kecemasan (Anonim, 2005).

G. Beban Psikologis dan Kesehatan Korban Pemerkosaan


Kondisi, dampak, dan tantangan yang dihadapi tiap korban pemerkosaan
berbeda satu sama lain. Merasa takut, cemas, panik, shock, atau bersalah adalah
hal yang wajar. Luka yang mereka rasakan dapat menetap dan berdampak
hingga seumur hidup. Banyak korban yang merasa kehilangan kepercayaan diri
dan kendali atas hidup mereka sendiri. Hal ini juga dapat membuat mereka
kesulitan mengungkapkan yang terjadi pada diri mereka, meski cerita mereka
sangat dibutuhkan untuk menindak pelaku. Berbagai perasaan yang campur
aduk dan situasi rumit tersebut akan membawa dampak bagi kesehatan dan
psikologis mereka.
13

1. Beban Psikologis
Tindak pemerkosaan pasti mendatangkan trauma bagi yang
mengalaminya. Respons tiap orang terhadap pemerkosaan yang
menimpanya pasti berbeda dengan munculnya berbagai perasaan yang
menjadi satu dan bahkan dapat baru terlihat lama setelah peristiwa tersebut
terjadi. Berikut ini adalah beberapa perubahan psikologis yang umumnya
dialami korban.
a. Menyalahkan diri sendiri
Sikap menyalahkan diri sendiri adalah kondisi yang paling umum
dialami korban pemerkosaan. Sikap inilah yang paling menghambat
proses penyembuhan. Korban pemerkosaan dapat berisiko
menyalahkan diri sendiri karena dua hal:
- Menyalahkan diri karena perilaku. Mereka menganggap ada yang
salah dalam tindakan mereka sehingga akhirnya mengalami
tindakan pemerkosaan. Mereka akan terus merasa untuk
seharusnya berperilaku berbeda sehingga tidak diperkosa.
- Menyalahkan diri karena merasa ada sesuatu yang salah di dalam
diri mereka sendiri sehingga mereka pantas mendapatkan
perlakuan kasar.
Sayangnya orang-orang terdekat, seperti pasangan, belum tentu dapat
mendukung pulihnya kondisi pasien. Sebagian kerabat korban
mungkin merasa tidak dapat menerima kenyataan atau justru
menyalahkan sehingga korban makin berada dalam posisi yang sulit.
Kebanyakan korban pemerkosaan juga tidak dapat dengan mudah
diyakinkan bahwa ini bukanlah salah mereka. Rasa malu ini kemudian
berhubungan erat dengan gangguan lain, seperti pola makan,
kecemasan, depresi, mengonsumsi minuman keras dan obat-obatan
terlarang, serta gangguan mental lain. Kondisi ini dapat diatasi dengan
terapi perilaku kognitif dalam melakukan reka ulang proses
penyusunan fakta dan logika dalam pikiran.
14

b. Bunuh diri
Kondisi stres pascatrauma membuat korban pemerkosaan lebih
berisiko untuk memutuskan bunuh diri. Tindakan ini terutama dipicu
oleh rasa malu dan merasa tidak berharga.
c. Kriminalisasi korban pemerkosaan
Pada budaya dan kelompok masyarakat tertentu, korban pemerkosaan
dapat menjadi korban untuk kedua kalinya karena dianggap telah
berdosa dan tidak layak hidup. Mereka diasingkan dari masyarakat,
tidak diperbolehkan menikah, atau diceraikan (jika telah menikah).
Dalam kelompok masyarakat lain, kriminalisasi pun dapat terjadi
ketika korban disalahkan karena dianggap perilaku atau cara
berpakaiannya yang menjadi penyebab diperkosa.
Selain itu, korban berisiko mengalami hal-hal lain seperti depresi,
merasa seakan-akan peristiwa tersebut terulang terus-menerus, sering
merasa cemas dan panik, mengalami gangguan tidur dan sering
bermimpi buruk, sering menangis, menyendiri, menghindari
pertemuan dengan orang lain, atau sebaliknya tidak mau ditinggal
sendiri. Ada kalanya mereka menarik diri dan menjadi pendiam, atau
justru menjadi pemarah.
2. Efek terhadap Fisik Korban
Selain luka psikologis, korban pemerkosaan membawa luka pada
tubuhnya. Sebagian mungkin terlihat, namun sebagian lagi barangkali baru
dapat dideteksi beberapa waktu kemudian. Sementara secara fisik mereka
dapat terlihat mengalami perubahan pola makan atau gangguan pola
makan. Tubuh mereka bisa terlihat tidak terawat, berat badan turun, dan
luka pada tubuh seperti memar atau cedera pada vagina. Berikut beberapa
kondisi yang umum terjadi pada korban pemerkosaan:
a. Penyakit menular seksual (PMS)
Penetrasi vagina yang dipaksakan membuat terjadinya luka yang
membuat virus dapat masuk melalui mukosa vagina. Kondisi ini lebih
rawan terjadi pada anak atau remaja yang lapisan mukosa vaginanya
15

belum terbentuk dengan kuat. Meski belum ada tanda-tanda yang


terasa, namun korban pemerkosaan sebaiknya memeriksakan diri
untuk mendeteksi kemungkinan terkena penyakit menular seksual.
Infeksi seperti HIV (virus yang menyebabkan AIDS) dapat ditangani
dengan post-exposure prophylaxis (PEP), yaitu perawatan profilaksis
setelah tubuh terpapar penyakit. Namun perawatan ini harus dilakukan
sesegera mungkin.
b. Penyakit lain
Selain penyakit menular seksual, korban perkosaan umumnya
menderita konsekuensi yang berpengaruh pada kesehatan mereka:
- Peradangan pada vagina atau vaginitis.
- Infeksi atau pendarahan pada vagina atau anus.
- Gangguan hasrat seksual hipoaktif (hypoactive sexual desire
disorder/HSDD): keengganan esktrem untuk berhubungan
seksual atau justru menghindari semua atau hampir semua kontak
seksual.
- Nyeri saat berhubungan seksual, disebut juga dyspareunia.
- Vaginismus: kondisi yang memengaruhi kemampuan wanita
untuk merespons penetrasi ke vagina akibat otot vagina yang
berkontraksi di luar kontrol.
- Infeksi kantong kemih.
- Nyeri panggul kronis.
c. Kehamilan yang tidak diinginkan
Kehamilan adalah salah satu kondisi dan konsekuensi terberat yang
mungkin terjadi pada korban pemerkosaan. Belum berhasil
menyembuhkan diri sendiri, mereka harus dihadapkan pada kenyataan
adanya kehidupan lain di dalam tubuhnya yang sebenarnya tidak
mereka harapkan. Kondisi psikologis wanita yang buruk dapat
membuat bayi berisiko tinggi mengalami kondisi kelainan atau lahir
prematur.
16

Dampak fisik mungkin dapat sembuh dalam waktu lebih singkat.


Namun dampak psikologis dapat membekas lebih lama. Peran
keluarga, kerabat, dokter, dan terapis akan menjadi kunci dari
kesembuhan dan ketenangan bagi mereka yang menjadi korban
pemerkosaan
17

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Kasus

Seorang Mrs.S berusia 11 tahun datang ke RSJ di antar oleh keluarga dengan
keluhan bahwa si anak melakukan percobaan bunuh diri. Ibu pasien
mengatakan bahwa anaknya menjadi korban pemerkosaan. ibu mengatakan
beberapa hari sebelumnya pasien mengungkapkan bahwa dia telah membuat
aib keluarga dan mengatakan dirinya tidak berguna lagi. Ibu mengatakan saat
ini anaknya mengalami trauma berat dan ketika ibu pasien masuk ke kamarnya
ibu pasien melihat si anak sedang merokok. Ibu juga mengatakan bahwa si
anak tidak mau beraktivitas seperti biasa, mudah curiga dan emosi kepada
orang lain sehingga tidak mau berinteraksi dengan orang sekitar dan
mengurung diri dikamar. Saat dilakukan pengkajian pasien tidak mau di ajak
berkomunikasi, tidak menatap lawan bicara, lebih banyak menunduk dan
pasien tampak ketakutan
B. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
Anamnesa
Nama : Mrs.S
Umur : 11 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Faktor presipitasi : Ibu mengatakan bahwa anaknya menjadi
korban pemerkosaan
Factor fisiologis : Pasien tampak lemas
Factor psikologis :
- Pasien tampak ketakutan
- Pasien tampak panic
- Pasien mudah curiga kepada orang lain
- Pasien mengatakan membaut aib
keluarga
18

- Pasien mengatakan bahwa dinya tidak


berguna lagi
Perilaku : Pasien tidak mau beriteraksi kepada orang
lain
Respon emosional : Pasien mudah emosi
2. Analisa Data
No Data Pasien Masalah Keperawatan
1 DS : Resiko bunuh diri
- Keluarga mengatakan bahwa
pasien melakukan pencobaan
bunuh diri
- Ibu mengatakan bahwa pasien
menjadi korban pemerkosaan
- Ibu mengatakan bahwa melihat
anaknya merokok pasca kejadian
pemerkosaan
DO :
-
2 DS : Isolasi sosial
- Ibu mengatakan bahwa pasien
mudah curiga kepada orang lain
- Ibu mengataan pasien tdak mau
beriteraksi kepada orang lain
- Ibu mengatakan pasien
mengurung diri di kamar
DO :
- Pasien tidak mau berkomunikasi
- Pasien tampak ketakutan
19

3 DS : Harga diri rendah


- Pasien mengatakan bahwa dia
telah membuat aib keluarga
- Pasien mengatakan bahwa
dirinya sudah tidak berguna lagi
- Keluarga mengatakan pasien
tidak mau beraktivitas seperti
biasanya

DO :
- Pasien tidak mau menatap lawan
bicara
- Pasien tampak menunduk

3. Pohon Masalah

Effect Bunuh Diri

Care Problem Resiko Bunuh Diri

Isolasi social

Causa Harga Diri Rendah


4. Diagnosa Keperawatan

a. Resiko bunuh diri


b. Isolasi sosial
20

c. Harga diri rendah

5. Intervensi Keperawatan

Diagnose
No Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Keperawatan
1 Resiko bunuh Pasien mampu : Setelah 1 x SP 1
diri - Mengidentifikasi pertemuan, pasien - Identifikasi
penyebab dan mampu : penyebab, tandadan
tanda perilaku - Menyebutkan gejala serta akibat
kekerasan penyebab, dari perilaku
- menyebutkan jenis tanda, gejala, kekerasan
perilaku dan akibat - Latih cara fisik 1 :
kekerasan yang perilaku tarik nafas dalam
pernah dilakukan kekerasan - Masukkan dalam
- menyebutkan - Memperagakan jadwal harian
akibat dari cara fisik 1 pasien
perilaku kekerasan untuk
yang dilakukan mengontrol
- menyebutkan cara perilaku
mengontrol kekerasan
perilaku kekerasan
Setelah 2 x
pertemuan, pasien
mampu: SP 2
- Menyebutkan - Evaluasi kegiatan
kegiatan yang yang lalu (sp 1)
sudah - Latih cara fisik 2:
dilakukan pukul kasur atau
- Memperagaka bantal
n cara fisik - Masukkan dalam
untuk jadwal harian
mengontrol pasien
perilaku
kekerasan
Setelah 3 x
pertemuan, pasien SP 3
mampu : - Evaluasi kegitan
- Menyebutkan yang lalu (sp 1 dan
kegiatan yang 2)
sudah - Latih secara
dilakukan social/verbal
- Memperagaka - Menolak dengan
n cara social/ baik
verbal untuk - Masukkan dalam
mengontrol jadwal pasien
perilaku
kekerasan
21

Setelah 4 x SP 4
pertemuan, pasien - Eveluasi kegiatan
mampu : yang lalu (sp 1,2
- Menyebutkan dan 3)
kegiatan yang - Latih secara
sudah spiritual (bedoa dan
dilakukan sholat)
- Memperagaka - Masukkan dalam
n cara spiritual jadwal harian
pasien
Setelah 5 x SP 5
pertemuan, pasien - Evaluasi kegiatan
mampu: yang lalu (sp 1,2,3
- Menyebutkan dan 4)
kegiatan yang - Latih patuh obat:
sudah (Minum obat secara
dilakukan teratur dengan 5B
- Memperagaka dan susun jadwal
n cara patuh minum obat secara
obat. teratur)
- Masukkan dalam
jadwal harian
pasien

2 Isolasi social Pasien mampu : Setelah melakukan SP 1


- Menyadari 3 kali pertemuan Identifikasi penyebab
penyebab pasien mampu : - Siapa yang satu
iolasi social - membina rumah dengan
- Berinteraksi hubungan pasien
dengan orang saling percaya - Siapa yang dekat
lain - menyadari dengan pasien
penyebab - Siapa yang tidak
isolasi social, dekat dengan
keuntungan pasien
dan kerugian Tanyakan keuntungan
berinteraksi dan kerugian
dengan orang berinteraksi dengan
lain. orang lain
- Melakukan - Tanyakan pendapat
interaksi pasien tentang
dengan orang kebiasaan
lain secara berinteraksi dengan
bertahap. orang lain
- Tanyakan apa yang
menyebabkan
pasien tidak ingin
berinteraksi dengan
orang lain
- Diskusikan
keuntungan bila
22

pasien memiliki
banyak teman dan
bergaul akrab
dengan mereka
- Diskusikan
kerugian bila
pasien hanya
mengurung diri dan
tidak bergaul
dengan orang lain
- Jelaskan pengaruh
isolasi social
terhadap kesehatan
fisik pasien.
Latih berkenalan
- Jelaskan kepada
klien cara
berinteraksi
dengan orang
lain
- berikan contoh
berinteraksi
dengan orang
lain
- beri kesampatan
pasien untuk
mempratekkan
interaksi
didepan perawat
masukkan jadwal
kegiatan pasien.
SP 2
- evaluasi kegiatan
yang lalu (SP 1)
- latih berhubungan
social secara
bertahap
- masukkan dalam
jadwal kegiatan
pasien
SP 3
- evaluasi kegiatan
yang lalu (SP 1 dan
2)
- latih cara
berkenalan denga 2
atau lebih
- masukkan dalam
jadwal kegiatan
pasien
23

3 Harga diri Pasien mampu : Setelah 3 x SP 1


rendah - Mengidentifikas pertemuan, pasien Identifikasi kemampuan
i kemampuan mampu : positif yang dimiliki
dan asfek positif - Mengidentifik - Diskusikan bahwa
yang dimiliki asi pasien masih
- Menilai kemampuan memiliki sejumlah
kemampuan aspek positif kemampuan dan
yang dapat yang dimiliki asfek positif
digunakan - Memiliki - Beri pujian yang
- Menetapkan/me kemampuan realistis dan hindari
milih kegiatan yang dapat bertemu dengan
yang sesuai digunakan penilaian negative
dengan - Memilih Nilai kemampuan
kemampuan kegiatan yang yang dilakukan saat
- Melatih sesuai ini
kegiatan yang kemampuan - Diskusikan dengan
sudah dipilih, - Melakukan pasien kemampuan
sesuai kegiatan yang yang masih
kemampuan sudah dipilih digunakan saat ini
- Merencanakan - Merencanakan - Bantu pasien
kegiatan yang kegiatan yang menyebutkannydan
sudah dilatihnya sudah dipilih memberikan
penguatan terhadap
kemampuan yang
masih digunakan
pada saat ini
- Perlihatkan respon
yang kondusif dan
menjadi pendengar
yang aktif
Pilih kemampuan yang
akan dilatih
SP 2
- Evaluasi kegiatan
yang lalu (sp 1)
- Pilih kemampuan
kedua yang dapat
dilakukan
- Latih kemampuan
yang dipilih
- Masukkan dalam
jadwal kegiatan
pasien
SP 3
- Evaluasi kegiatan
yang lalu (sp 1 dan
2)
- Memilih
kemampuan ketiga
24

yang dapat
dilakukan
- Masukkan dalam
jadwal kegiatan
pasien
25

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Korban perkosaan memiliki kemungkinan mengalami stres paska


perkosaan yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres yang langsung terjadi
dan stres jangka panjang. Stres yang langsung terjadi merupakan reaksi paska
perkosaan seperti kesakitan secara fisik, rasa bersalah, takut, cemas, malu,
marah, dan tidak berdaya. Stres jangka panjang merupakan gejala psikologis
tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan
korban memiliki rasa kurang percaya diri, konsep diri yang negatif, menutup
diri dari pergaulan, dan juga reaksi somatik seperti jantung berdebar dan
keringat berlebihan. Apabila setelah terjadinya peristiwa perkosaan tersebut
tidak ada dukungan yang diberikan kepada korban, maka korban dapat
mengalami post traumatic stress disorder (PTSD), yaitu gangguan secara emosi
yang berupa mimpi buruk, sulit tidur, kehilangan nafsu makan, depresi,
ketakutan dan stress akibat peristiwa yang dialami korban dan telah terjadi
selama lebih dari 30 hari. Dukungan dari semua pihak sangat diperlukan untuk
mencegah terjadinya PTSD. Tingkatan gangguan stress pasca trauma berbeda-
beda bergantung pada seberapa parah kejadian tersebut mempengaruhi kondisi
psikologis dari korban.
Untuk menyembuhkan gangguan stress pasca trauma pada korban
kekerasan atau pelecehan seksual diperlukan bantuan baik secara medis
maupun psikologis, agar korban tidak merasa tertekan lagi dan bisa hidup
secara normal kembali seperti sebelum kejadian trauma. Dan pendampingan
itu sendiri juga harus dengan metode-metode yang benar sehingga dalam
menjalani penyembuhan atau terapi korban tidak mengalami tekanan-tekanan
baru yang diakibatkan dari proses pendampingan itu sendiri.
.
26

B. Saran
1. Bagi Mahasiswa
Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan khususnya mahasiswa
dalam merawat pasien dengan korban pemerkosaan.
2. Bagi pelayanan keperawatan
Peningkatan pelayanan kesehatan khususnya oleh perawat dalam
memberikan perawatan seperti memberikan motivasi, bersyukur kepada
kehidupan, berkomunikasi yang baik. Selain itu juga perawat hendaknya
berkolaborasi dengan multidisiplin ilmu untuk memberikan pelayanan
yang baik.
27

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Halusinasi. Dimuat dalam. http://harnawatiaj.wordpress.com/ [


Diakses : 08 April 2022]

Ekandari, Mustaqfirin, & Faturochman. (2001). Perkosaan, Dampak, dan Alternatif


Penyembuhannya. JURNAL PSIKOLOGI, No. 1, 1 - 18.

Hapsari, A. M. I., & Ginanjar, A. S. (2014). Hubungan Antara Penerimaan Mitos


Pemerkosaan dan Religiusitas pada Mahasiswa Pria di Jakarta dan Sekitarnya.
Universitas Indonesia, 1–19.

Komnas Perempuan. (2017, Maret 7). Labirin Kekerasan terhadap Perempuan: Dari
Gang Rape hingga Femicide, Alarm bagi Negara untuk Bertindak Tepat.
Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2017.

Nevid, Jeffrey S, dkk. 2005. Psikologi Abnormal edisi kelimaJilid 1. Jakarta:


Erlangga

SIMFONI PPA. (2019). Rasio Anak Korban Kekerasan. Retrieved from


https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan (diakses tanggal 08 April 2022)

Yosep , iyus. 2011. Kepera/watan Jiwa. Bandung : PT. Refika Aditama

Anda mungkin juga menyukai