DOSEN PEMBIMBING :
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
pikiran maupun materinya.
Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
2
pada rentang umur 0-5 tahun, 2.745 kasus di umur 6-12 tahun, 4.516 kasus di
umur 13-17 tahun, 1.727 kasus di umur 18-24 tahun, 3.975 kasus di umur 25-
44 tahun, 746 kasus di umur 45-59 tahun, dan 105 kasus diatas umur 60 tahun.
Berdasarkan data pendidikan, sebanyak 108 korban di tingkat PAUD, 256
korban di TK, 3.036 korban di SD, 3.195 korban di SLTP atau SMP, 4.237
korban di SLTA atau SMA, 1.109 korban di perguruan tinggi, 875 korban tidak
bersekolah dan 2.084 korban lainnya (Simfoni PPA, 2019).
Kasus pemerkosaan memiliki dampak negatif bagi korban pada aspek
fisik, aspek psikologis, dan aspek sosial dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Hal tersebut merupakan suatu proses adaptasi setelah individu
mengalami peristiwa yang traumatis. Kedua dampak tersebut tidak selalu
muncul dalam bentuk yang sama pada masing-masing korban. Selain itu,
waktu munculnya dampak tersebut akan berbeda satu sama lain (Ekandari dkk.,
2001).
Secara umum, pada aspek fisik, korban berisiko mengalami dua bentuk
luka yakni luka genital atau luka yang diakibatkan saat penetrasi seksual terjadi
dan luka nongenital atau luka seperti bekas cakaran, bekas ikatan dan memar.
Pada aspek psikologis, korban mengalami penurunan sehat mental seperti
gangguan stres pascatrauma, penyalahgunaan obat, depresi dan adanya
kemungkinan melakukan bunuh diri (Hapsari & Ginanjar, 2014). Pada aspek
sosial, korban mengalami ketakutan mengenai penerimaan dari masyarakat
serta pemikiran dan mitos-mitos perkosaan menjadi sebuah stressor bagi
korban. Ketakutan ini meliputi penerimaan dari masyarakat, penerimaan dari
pihak sekolah serta hubungan korban dengan laki-laki (Ekandari dkk., 2001).
Pelecehan seksual dan perkosaan dapat menimbulkan efek trauma yang
mendalam pada para korbannya. Korban pelecehan seksual dan perkosaan juga
dapat mengalami gangguan stres akibat pengalaman traumatis yang telah
dialaminya. Gangguan stres yang dialami korban pelecehan seksual dan
perkosaan seringkali disebut Gangguan Stres Pasca Trauma (Post Traumatic
Stress Disorder (PTSD).
2
3
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
3
4
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi Perkosaan
1. Terdapat stressor yang berat dan jelas (kekerasan, perkosaan), yang akan
menimbulkan gejala penderitaan yang berarti bagi hampir setiap orang.
2. Penghayatan yang berulang-ulang dari trauma itu yang dibuktikan oleh
terdapatnya paling sedikit satu dari hal berikut :
6
D. Batasan Karakteristik
1. Fase akut
a. Respons somatic
✓ Peka rangsang gastrointerstinal (mual, muntah, anoreksia)
7
2. Perilaku menghindar
Menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan penderita pada kejadian
traumatis. Kadang-kadang penderita mengaitkan semua kejadian dalam
seluruh kehidupannya setiap hari dengan kejadian trauma, padahal kondisi
kehidupan sekarang jauh dari kondisi trauma yang pernah dialaminya. Hal
ini seringkali menjadi lebih parah sehingga penderita menjadi takut untuk
keluar rumah dan harus ditemani oleh orang lain jika harus keluar rumah.
3. Depresi
Banyak orang menjadi depresi setelah mengalami pengalaman trauma dan
menjadi tidak tertarik dengan hal-hal yang disenanginya sebelum peristiwa
trauma. Mereka mengembangkan perasaan-perasaan yang tidak benar,
perasaan bersalah, menyalahkan diri sendiri, dan merasa bahwa peristiwa
yang dialaminya adalah merupakan kesalahannya, walaupun semua itu
tidak benar.
4. Membunuh pikiran dan perasaan
Kadang-kadang orang yang depresi berat merasa bahwa kehidupannya
sudah tidak berharga. Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50 % korban
kejahatan mempunyai pikiran untuk bunuh diri. Jika anda dan orang yang
terdekat dengan anda mempunyai pemikiran untuk bunuh diri setelah
mengalami peristiwa traumatik, segeralah mencari pertolongan dan
berkonsultasi dengan para profesional.
5. Merasa disisihkan dan sendiri
Perlunya dukungan dari lingkungan sosialnya tetapi mereka seringkali
merasa sendiri dan terpisah. Karena perasaan mereka tersebut, penderita
kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain dan mendapatkan
pertolongan. Penderita susah untuk percaya bahwa orang lain dapat
memahami apa yang telah dia alami.
6. Merasa tidak percaya dan dikhianati
Setelah mengalami pengalaman yang menyedihkan, penderita mungkin
kehilangan kepercayaan dengan orang lain dan merasa dikhianati atau
ditipu oleh dunia, nasib atau oleh Tuhan.
9
7. Mudah marah
Marah dan mudah tersinggung adalah reaksi yang umum diantara
penderita trauma. Tentu saja kita dapat salah kapan saja, khususnya ketika
penderita merasa tersakiti, marah adalah suatu reaksi yang wajar dan dapat
dibenarkan. Bagaimanapun, kemarahan yang berlebihan dapat
mempengaruhi proses penyembuhan dan menghambat penderita untuk
berinteraksi dengan orang lain di rumah dan di tempat terapi.
8. Gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari
Beberapa gangguan yang terkait dengan fungsi sosial dan gangguan di
sekolah dalam jangka waktu yang lama setelah trauma. Seorang korban
kejahatan mungkin menjadi sangat takut untuk tinggal sendirian. Penderita
mungkin kehilangan kemampuannya dalam berkonsentrasi dan melakukan
tugasnya di sekolah. Bantuan perawatan pada penderita sangat penting
agar permasalahan tidak berkembang lebih lanjut.
9. Persepsi dan kepercayaan yang aneh
Adakalanya seseorang yang telah mengalami trauma yang menjengkelkan,
seringkali untuk sementara dapat mengembangkan ide atau persepsi yang
aneh (misalnya : percaya bahwa dia bisa berkomunikasi atau melihat
orang-orang yang sudah meninggal). Walaupun gejala ini menakutkan dan
menyerupai halusinasi dan khayalan, gejala tersebut seringkali bersifat
sementara dan hilang dengan sendirinya.
F. Pengobatan
Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan korban pemerkosaan,
yaitu dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi.
1. Farmakoterapi
Mulai terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang
sudah dikenal. Terapi dengan anti depresiva pada gangguan stress pasca
traumatik ini masih kontroversial. Obat yang biasa digunakan adalah
benzodiazepin, litium, camcolit dan zat pemblok beta – seperti
propranolol, klonidin, dan karbamazepin. Obat tersebut biasanya
10
diresepkan sebagai obat yang sudah diberikan sejak lama dan kini
dilanjutkan sesuai yang diprogramkan, dengan kekecualian, yaitu
benzodiazepin – contoh, estazolam 0,5 – 1 mg per os, Oksanazepam10-30
mg per os, Diazepam (valium) 5 – 10 mg per os, Klonazepam 0,25 – 0,5
mg per os, atau Lorazepam 1- 2 mg per os atau IM – juga dapat digunakan
dalam UGD atau kamar praktek terhadap ansietas yang gawat dan agitasi
yang timbul bersama gangguan stres pasca traumatik tersebut
2. Psikoterapi
a. Anxiety Management
Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa
ketrampilan untuk membantu mengatasi gejala korban pemerkosaan
dengan lebih baik melalui :
1) Relaxation Training
Yaitu belajar untuk mengontrol ketakutan dan kecemasan secara
sistematis dan merelaksasikan kelompok otot-otot utama.
2) Breathing retraining
Yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai
dan menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang
menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang
tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala.
3) Positive thinking dan self-talk
Yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti
dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat
stress (stresor).
4) Assertiveness Training
Yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan
emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain.
5) Thought Stopping
Yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang
memikirkan hal-hal yang membuat kita stress (Anonim, 2005).
11
b. Cognitive therapy
Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional
yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan-kegiatan kita.
Misalnya seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri
karena tidak hati-hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi
pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa
pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang
kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu
mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 2005).
c. Exposure therapy
Pada exposure terapi, terapis membantu menghadapi situasi yang
khusus, orang lain, obyek, memori atau emosi yang mengingatkan
pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam
kehidupan sehari-hari. Terapi ini dapat berjalan dengan dua cara :
1) Exposure in the imagination
Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang cerita
secara detail kenangan-kenangan traumatis sampai mereka tidak
mengalami hambatan untuk menceritakannya.
2) Exposure in reality
Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman
tetapi ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat
kuat (misalnya : kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di
rumah). Ketakutan itu akan bertambah kuat jika kita berusaha
untuk mengingat situasi tersebut dibanding berusaha untuk
melupakannya. Pengulangan situasi yang disertai penyadaran
yang berulang-ulang akan membantu kita menyadari bahwa
situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita
dapat mengatasinya (Anonim, 2005).
d. Play therapy
Terapi bermain digunakan untuk menerapi anak-anak dengan trauma.
Terapis menggunakan permainan untuk memulai topik yang tidak
12
1. Beban Psikologis
Tindak pemerkosaan pasti mendatangkan trauma bagi yang
mengalaminya. Respons tiap orang terhadap pemerkosaan yang
menimpanya pasti berbeda dengan munculnya berbagai perasaan yang
menjadi satu dan bahkan dapat baru terlihat lama setelah peristiwa tersebut
terjadi. Berikut ini adalah beberapa perubahan psikologis yang umumnya
dialami korban.
a. Menyalahkan diri sendiri
Sikap menyalahkan diri sendiri adalah kondisi yang paling umum
dialami korban pemerkosaan. Sikap inilah yang paling menghambat
proses penyembuhan. Korban pemerkosaan dapat berisiko
menyalahkan diri sendiri karena dua hal:
- Menyalahkan diri karena perilaku. Mereka menganggap ada yang
salah dalam tindakan mereka sehingga akhirnya mengalami
tindakan pemerkosaan. Mereka akan terus merasa untuk
seharusnya berperilaku berbeda sehingga tidak diperkosa.
- Menyalahkan diri karena merasa ada sesuatu yang salah di dalam
diri mereka sendiri sehingga mereka pantas mendapatkan
perlakuan kasar.
Sayangnya orang-orang terdekat, seperti pasangan, belum tentu dapat
mendukung pulihnya kondisi pasien. Sebagian kerabat korban
mungkin merasa tidak dapat menerima kenyataan atau justru
menyalahkan sehingga korban makin berada dalam posisi yang sulit.
Kebanyakan korban pemerkosaan juga tidak dapat dengan mudah
diyakinkan bahwa ini bukanlah salah mereka. Rasa malu ini kemudian
berhubungan erat dengan gangguan lain, seperti pola makan,
kecemasan, depresi, mengonsumsi minuman keras dan obat-obatan
terlarang, serta gangguan mental lain. Kondisi ini dapat diatasi dengan
terapi perilaku kognitif dalam melakukan reka ulang proses
penyusunan fakta dan logika dalam pikiran.
14
b. Bunuh diri
Kondisi stres pascatrauma membuat korban pemerkosaan lebih
berisiko untuk memutuskan bunuh diri. Tindakan ini terutama dipicu
oleh rasa malu dan merasa tidak berharga.
c. Kriminalisasi korban pemerkosaan
Pada budaya dan kelompok masyarakat tertentu, korban pemerkosaan
dapat menjadi korban untuk kedua kalinya karena dianggap telah
berdosa dan tidak layak hidup. Mereka diasingkan dari masyarakat,
tidak diperbolehkan menikah, atau diceraikan (jika telah menikah).
Dalam kelompok masyarakat lain, kriminalisasi pun dapat terjadi
ketika korban disalahkan karena dianggap perilaku atau cara
berpakaiannya yang menjadi penyebab diperkosa.
Selain itu, korban berisiko mengalami hal-hal lain seperti depresi,
merasa seakan-akan peristiwa tersebut terulang terus-menerus, sering
merasa cemas dan panik, mengalami gangguan tidur dan sering
bermimpi buruk, sering menangis, menyendiri, menghindari
pertemuan dengan orang lain, atau sebaliknya tidak mau ditinggal
sendiri. Ada kalanya mereka menarik diri dan menjadi pendiam, atau
justru menjadi pemarah.
2. Efek terhadap Fisik Korban
Selain luka psikologis, korban pemerkosaan membawa luka pada
tubuhnya. Sebagian mungkin terlihat, namun sebagian lagi barangkali baru
dapat dideteksi beberapa waktu kemudian. Sementara secara fisik mereka
dapat terlihat mengalami perubahan pola makan atau gangguan pola
makan. Tubuh mereka bisa terlihat tidak terawat, berat badan turun, dan
luka pada tubuh seperti memar atau cedera pada vagina. Berikut beberapa
kondisi yang umum terjadi pada korban pemerkosaan:
a. Penyakit menular seksual (PMS)
Penetrasi vagina yang dipaksakan membuat terjadinya luka yang
membuat virus dapat masuk melalui mukosa vagina. Kondisi ini lebih
rawan terjadi pada anak atau remaja yang lapisan mukosa vaginanya
15
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Kasus
Seorang Mrs.S berusia 11 tahun datang ke RSJ di antar oleh keluarga dengan
keluhan bahwa si anak melakukan percobaan bunuh diri. Ibu pasien
mengatakan bahwa anaknya menjadi korban pemerkosaan. ibu mengatakan
beberapa hari sebelumnya pasien mengungkapkan bahwa dia telah membuat
aib keluarga dan mengatakan dirinya tidak berguna lagi. Ibu mengatakan saat
ini anaknya mengalami trauma berat dan ketika ibu pasien masuk ke kamarnya
ibu pasien melihat si anak sedang merokok. Ibu juga mengatakan bahwa si
anak tidak mau beraktivitas seperti biasa, mudah curiga dan emosi kepada
orang lain sehingga tidak mau berinteraksi dengan orang sekitar dan
mengurung diri dikamar. Saat dilakukan pengkajian pasien tidak mau di ajak
berkomunikasi, tidak menatap lawan bicara, lebih banyak menunduk dan
pasien tampak ketakutan
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Anamnesa
Nama : Mrs.S
Umur : 11 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Faktor presipitasi : Ibu mengatakan bahwa anaknya menjadi
korban pemerkosaan
Factor fisiologis : Pasien tampak lemas
Factor psikologis :
- Pasien tampak ketakutan
- Pasien tampak panic
- Pasien mudah curiga kepada orang lain
- Pasien mengatakan membaut aib
keluarga
18
DO :
- Pasien tidak mau menatap lawan
bicara
- Pasien tampak menunduk
3. Pohon Masalah
Isolasi social
5. Intervensi Keperawatan
Diagnose
No Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Keperawatan
1 Resiko bunuh Pasien mampu : Setelah 1 x SP 1
diri - Mengidentifikasi pertemuan, pasien - Identifikasi
penyebab dan mampu : penyebab, tandadan
tanda perilaku - Menyebutkan gejala serta akibat
kekerasan penyebab, dari perilaku
- menyebutkan jenis tanda, gejala, kekerasan
perilaku dan akibat - Latih cara fisik 1 :
kekerasan yang perilaku tarik nafas dalam
pernah dilakukan kekerasan - Masukkan dalam
- menyebutkan - Memperagakan jadwal harian
akibat dari cara fisik 1 pasien
perilaku kekerasan untuk
yang dilakukan mengontrol
- menyebutkan cara perilaku
mengontrol kekerasan
perilaku kekerasan
Setelah 2 x
pertemuan, pasien
mampu: SP 2
- Menyebutkan - Evaluasi kegiatan
kegiatan yang yang lalu (sp 1)
sudah - Latih cara fisik 2:
dilakukan pukul kasur atau
- Memperagaka bantal
n cara fisik - Masukkan dalam
untuk jadwal harian
mengontrol pasien
perilaku
kekerasan
Setelah 3 x
pertemuan, pasien SP 3
mampu : - Evaluasi kegitan
- Menyebutkan yang lalu (sp 1 dan
kegiatan yang 2)
sudah - Latih secara
dilakukan social/verbal
- Memperagaka - Menolak dengan
n cara social/ baik
verbal untuk - Masukkan dalam
mengontrol jadwal pasien
perilaku
kekerasan
21
Setelah 4 x SP 4
pertemuan, pasien - Eveluasi kegiatan
mampu : yang lalu (sp 1,2
- Menyebutkan dan 3)
kegiatan yang - Latih secara
sudah spiritual (bedoa dan
dilakukan sholat)
- Memperagaka - Masukkan dalam
n cara spiritual jadwal harian
pasien
Setelah 5 x SP 5
pertemuan, pasien - Evaluasi kegiatan
mampu: yang lalu (sp 1,2,3
- Menyebutkan dan 4)
kegiatan yang - Latih patuh obat:
sudah (Minum obat secara
dilakukan teratur dengan 5B
- Memperagaka dan susun jadwal
n cara patuh minum obat secara
obat. teratur)
- Masukkan dalam
jadwal harian
pasien
pasien memiliki
banyak teman dan
bergaul akrab
dengan mereka
- Diskusikan
kerugian bila
pasien hanya
mengurung diri dan
tidak bergaul
dengan orang lain
- Jelaskan pengaruh
isolasi social
terhadap kesehatan
fisik pasien.
Latih berkenalan
- Jelaskan kepada
klien cara
berinteraksi
dengan orang
lain
- berikan contoh
berinteraksi
dengan orang
lain
- beri kesampatan
pasien untuk
mempratekkan
interaksi
didepan perawat
masukkan jadwal
kegiatan pasien.
SP 2
- evaluasi kegiatan
yang lalu (SP 1)
- latih berhubungan
social secara
bertahap
- masukkan dalam
jadwal kegiatan
pasien
SP 3
- evaluasi kegiatan
yang lalu (SP 1 dan
2)
- latih cara
berkenalan denga 2
atau lebih
- masukkan dalam
jadwal kegiatan
pasien
23
yang dapat
dilakukan
- Masukkan dalam
jadwal kegiatan
pasien
25
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
1. Bagi Mahasiswa
Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan khususnya mahasiswa
dalam merawat pasien dengan korban pemerkosaan.
2. Bagi pelayanan keperawatan
Peningkatan pelayanan kesehatan khususnya oleh perawat dalam
memberikan perawatan seperti memberikan motivasi, bersyukur kepada
kehidupan, berkomunikasi yang baik. Selain itu juga perawat hendaknya
berkolaborasi dengan multidisiplin ilmu untuk memberikan pelayanan
yang baik.
27
DAFTAR PUSTAKA
Komnas Perempuan. (2017, Maret 7). Labirin Kekerasan terhadap Perempuan: Dari
Gang Rape hingga Femicide, Alarm bagi Negara untuk Bertindak Tepat.
Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2017.