Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS:

KORBAN PEMERKOSAAN

OLEH:
KELOMPOK 5
AULIA PUTRI ALVIRA
ELSI LESTARI
NOVIA PURWANTI
WINDY ANGGESTI

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKes PAYUNG NEGERI PEKANBARU
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karna berkat rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Asuhan Keperawatan Pada anak
dengan Kebutuhan Khusus: Korban Pemerkosaan. Ucapan terimakasih, penulis
sampaikan kepada Dosen Pembimbing Ns.Eka Malfasari, M.Kep, Sp.Kep.J teman-teman,
dan orang tua yang membantu dalam pembuatan proses pembuatan makalah ini. Karya
ini tujukan kepada Dosen Pembimbing Keperawatan Jiwa II sebagai kewajiban
memenuhi tugas.
Segala usaha telah penulis lakukan untuk mendapat hasil terbaik makalah ini.
Oleh karena itu, dengan tangan terbuka penulis menerima saran dan kritik dari pembaca
agar dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat terhadap pembaca.

Pekanbaru, 26 September 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................


DAFTAR ISI .......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................
A. Latar Belakang..........................................................................................
B. Rumusan Masalah ....................................................................................
C. Tujuan .......................................................................................................
BAB II TINJAUAN TEORI ..............................................................................
A. Pengertian Pemerkosaan ...........................................................................
B. Klasifikasi Pemerkosaan...........................................................................
C. Sebab Pemerkosaan ..................................................................................
D. Hukuman Pemerkosaan ............................................................................
E. Fase Reaksi Psikologi Terhadap Perkosaan .............................................
F. Efek Pemerkosaan ....................................................................................
G. Trauma Pemerkosaan ...............................................................................
H. Dampak Pemerkosaan (sosial, psikologi) .................................................
I. Penatalaksanaan Korban Pemeroksaan ....................................................
J. Pengkajian Keperawatan Korban Pemerkosaan ......................................
K. Diagnosa Keperawatan Korban Pemerkosaan ..........................................
L. Intervensi Keperawatan Korban Pemerkosaan .........................................
M. Implementasi Keperawatan Korban Pemerkosaan ...................................
N. Evaluasi Keperawatan Korban Pemerkosaan ...........................................
BAB III PENUTUP ............................................................................................
A. Kesimpulan ...............................................................................................
B. Saran ........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelecehan yang berulang sering ditemui pada lebih dari setengah kasuspelecehan
seksual di komunitas dan terdapat pada 75% kasus yang ditemukan diklinik.sexual
abuse (kekerasan seksual) dikenal pada tahun 70-an dan 80-an.Penelitian lain telah
mengarah pada perkiraan kekerasan pada anak yang lebihluas di Inggris, seperti dari
Childhood Matters (1996): Sekitar 100 000 anak mengalami pengalaman seksual
yang berpotensimengarah ke seksual abuse(FKUI, 2006).
Banyak anak yang mendapat perlakuan kurang manusiawi, bahkan tidak jarang
dijadikan objek kesewenangan.Berdasarkan catatan Komisi PerlindunganAnak
Indonesia, ada 481 kasus kekerasan anak (2003).Jumlah ini menjadi 547kasus pada
tahun 2004. Dari situ, ada 140 kasus kekerasan fisik, 80 kasuskekerasan psikis, 106
kasus kekerasan lainnya, dan 221 kasus kekerasan seksual.Gambaran paradoks
tersebut memancing pertanyaan.Mengapa kekerasan seksualsering menimpa diri
anakdan siapa yang paling berpotensi sebagai pelakunya?Di samping dapat
menimbulkan dampak yang luar biasa pada diri si korban, kasuskekerasan seksual
juga dapat menguji kebenaran dari pernyataan Singarimbun(2004),
.Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan kasus yang menonjol yangterjadi
pada anak-anak. Dalam catatan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia(YKAI) pada
tahun 1992-2002 terdapat 2.611 kasus (65,8 persen) dari 3.969kasus kekerasan
seksual dialami anak-anak di bawah usia 18 tahun. Dari jumlahitu, 75 persen
korbannya adalah anak perempuan. Kasus yang menonjol terutamapemerkosaan (42,9
persen) dengan kejadian terjadi di rumah tinggal (35,7 persen)(FKUI, 2006).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas mahasiswa mampu untuk merumuskan
bagaimana asuhan keperawatan pada anak dengan kebutuhan khusus: korban
pemerkosaan?

C. Tujuan
a. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu untuk menjelaskan tentang asuhan keperawatan pada
anak dengan kebutuhan khusus: korban pemerkosaan
b. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu untuk mengetahui tentang Pengertian Pemerkosaan
2. Mahasiswa mampu untuk mengetahui tentang Klasifikasi Pemerkosaan
3. Mahasiswa mampu untuk mengetahui tentang Sebab Pemerkosaan
4. Mahasiswa mampu untuk mengetahui tentang Hukuman Pemerkosaan
5. Mahasiswa mampu untuk mengetahui tentang Fase Reaksi Psikologi
Terhadap Perkosaan
6. Mahasiswa mampu untuk mengetahui tentang Efek Pemerkosaan
7. Mahasiswa mampu untuk mengetahui tentang Trauma Pemerkosaan

8. Mahasiswa mampu untuk mengetahui tentang Dampak Pemerkosaan


(sosial, psikologi)
9. Mahasiswa mampu untuk mengetahui tentang Penatalaksanaan Korban
Pemeroksaan
10. Mahasiswa mampu untuk mengetahui tentang Pengkajian Keperawatan
Korban Pemerkosaan
11. Mahasiswa mampu untuk mengetahui tentang Diagnosa Keperawatan
Korban Pemerkosaan
12. Mahasiswa mampu untuk mengetahui tentang Intervensi Keperawatan
Korban Pemerkosaan
13. Mahasiswa mampu untuk mengetahui tentang Implementasi Keperawatan
Korban Pemerkosaan
14. Mahasiswa mampu untuk mengetahui tentang Evaluasi Keperawatan
Korban Pemerkosaan
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Pemerkosaan
Penyiksaan seksual (sexual abuse) terhadap anak disebut Pedofilian atau penyuka
anak-anak secara seksual. Seorang Pedofilia adalah orang yang melakukan aktivitas
seksual dengan korban anak usia 13 tahun ke bawah.Penyakit ini ada dalam kategori
Sadomasokisme: adalah suatu kecenderungan terhadap aktivitas seksual yang
meliputi pengikatan atau menimbulkan rasa sakit atau penghinaan (Pramono, 2009).

Kemudian klasifikasi kekerasan/penganiayaan seksual pada anak menurut Resna


dan Darmawan (dalam Huraerah, 2006:60) diklasifikasi menjadi tiga kategori, antara
lain: perkosaan, incest, dan eksploitasi. Perkosaan biasanya terjadi pada saat pelaku
terlebih dahulu mengancam dengan memperlihatkan kekuatannya kepada anak.
Incest, diartikan sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual lainnya antar
individu yang mempunyai hubungan dekat, yang perkawinan di antara mereka
dilarang, baik oleh hukum, kultur, maupun agama.Eksploitasi seksual meliputi
prostitusi dan pornografi (Suda, 2006).

Kekerasan seksual (sexual abuse), dapat didefinisikan sebagai perilaku seksual


secara fisik maupun non fisik oleh orang yang lebih tua atau memiliki kekuasaan
terhadap korban, bertujuan untuk memuaskan hasrat seksualpelakunya. Korban
mungkin saja belum atau tidak memahami perlakuan yang dilakukan terhadap
dirinya, mereka hanya merasa tidak nyaman, sakit, takut,merasa bersalah, dan
perasaan lain yang tidak menyenangkan (FKUI, 2006). Kekerasan seksual (sexual
abuse) pada anak mencakup penganiayaan seksual secara fisik dan non fisik.
Kekerasan fisik antara lain menyentuh alat kelamin atau bagian tubuh lain yang
bersifat pribadi, seks oral, penetrasi vagina/anus menggunakan penis atau benda lain,
memaksa anak membuka pakaian, sampai tindak perkosaan. Sedangkan penganiyaan
non fisik diantaranya memperlihatkan benda-benda yang bermuatan pornografi atau
aktivitas seksual orang dewasa, eksploitasi anak dalam pornografi (gambar, foto, film,
slide, majalah, buku), exhibitionism, atau mengintip kamar tidur/kamar mandi
(voyeurism).(Suda,2006).

B. Klasifikasi Pemerkosaan
Berikut ini jenis-jenis kekerasan seksual berdasarkan pelakunya (Tower,2002
dalam Maria, 2008) :

1. Kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga.


Dilakukan oleh ayah, ibu atau saudara kandung. Selain itu, kekerasan seksual
mungkin pula dilakukan oleh orang tua angkat/tiri, atau orang lain yang
tinggal serumah dengan korban.
2. Kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar anggota keluarga
Kekerasan seksual dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak dibatasi perbedaan
jenis kelamin, suku, agama, tingkat sosial ekonomi, dansebagainya. Sebagian
besar pelaku adalah pria dan orang yang melakukan orang yang cukup dikenal
oleh korban, misalnya tetangga, guru, sopir, baby-sittter. Pelaku bisa saja
mengalami kelainan seperti paedophilia, pecandu seks, atau sangat mungkin
teman sebaya. Kemungkinan pelaku penah menjadi korban kekerasan seksual
sebelumnya, atau menirukan perilaku orang lain. salah satu penyebabnya
adalah untuk mengatasi trauma akibat kekesaran seksual yang dialaminya,
atau sekedar memenuhi rasa ingin tahu.

Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan pada genital dan anus,fisur pada
anus, pembesaran liang vagina dan anus, dan penipisan/kerusakan hymen pada
vagina. Efek psikologis pencabulan terhadap anak umumnya berjangka panjang,
antara lain: kemarahan, kecemasan, mimpi buruk, rasa tak Iman, kebingungan,
ketakutan, kesedihan, dan perubahan perilaku baik menjadi buruk

C. Sebab Pemerkosaan

D. Hukuman Pemerkosaan
Pasal 287 ayat (1) KUHP yang berbunyi: Barang siapa bersetubuh dengan
perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya,
bahwa umur perempuan itu belum cukup umur 15 tahun kalau tidak nyata berapa
umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara
selama-lamanya sembilan tahun. Dan pada Pasal 81 ayat (1) Undang- Undang No. 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan: Setiap orang yang dengan
sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

E. Fase Reaksi Psikologi Terhadap Perkosaan


F. Efek Pemerkosaan
G. Trauma Pemerkosaan
H. Dampak Pemerkosaan (sosial, psikologi)
Pemikiran dan mitos-mitos mengenai perkosaan menjadi stressor tersendiri bagi
korban. Ketakutan korban mengenai penerimaan dari masyarakat menjadi salah satu
beban bagi korban. Ketakutan ini meliputi penerimaan dari masyarakat sekitar,
penerimaan dari pihak sekolah, serta hubungan korban dengan laki-laki secara umum
maupun secara khusus.
Kasus 1:
Korban memiliki ketakutan jika peristiwa yang dialaminya diketahui oleh pihak
sekolah dan juga teman-temannya. Ketakutan ini didasari pada alasan bahwa jika
pihak sekolah mengetahui peristiwa tersebut maka korban akan dikeluarkan dari
sekolah dan ia tidak dapat meneruskan pendidikannya. Korban juga takut apabila ia
suatu saat dekat dengan laki-laki dan ternyata laki-laki tersebut tidak dapat menerima
keadaannya.
“Soalnya aku takut kalo nggak bisa sekolah lagi. Aku takut dikeluarin dari
sekolah. Nanti khan masa depanku semakin suram. Trus selain itu kalau suatu hari
nanti aku dekat sama lakilaki dan ternyata ia tahu kejadian ini aku takut kalau dia
nggak bisa menerima”.
Kasus 2:
Reaksi dari masyarakat dirasakan oleh korban pada saat ia sudah kembali ke
rumahnya. Korban merasa malu untuk bertemu dengan tetangganya. Bahkan korban
juga merasa malu untuk keluar rumah selama kurang lebih dua bulan.
“Apalagi waktu mucul di TV itu tetangga-tetangga tahu, saya malu itu, untuk
keluar rumah saya udah malu gitu…. mungkin mereka sudah tahu dari situ.” “Yah satu
dua bulan gitu…tapi memang jarang kok... di rumah itu memang nggak pernah
kemanamana… soalnya M itu kalau punya masalah nggak mau orang lain tahu, apalagi
M diperkosa sampai lima kali…. di majalah di koran khan ada… berdatangan tetangga,
guru saya ngaji waktu SD datang, pokoknya cerita gimana kok sampai terjadi, tapi M
khan minder ya.”
I. Penatalaksanaan Korban Pemeroksaan
Berdasarkan jurnal “play therapy dalam identifikasi kasus kekerasan
seksual terhadap anak”, terapi sexual abuse adalah :
Cholidah (2005) menyatakan bahwa diantara tujuan terapi bermain adalah
mengurangi atau menghilangkan gangguan-gangguan perilaku, fisik, psikis,
sosial, sensori dan komunikasi dan mengembangkan kemampuan yang masih
dimiliki secara optimal. Terkait dengan kasus kekerasan seksual pada anak,
Jongsma, Peterson dan Mclnnis (2000) menyatakan bahwa terapi bermain (play
therapy) merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi dan menggalikan
perasaan anak korban kekerasan seksual. Melalui terapi bermain selain kasus
dapat diidentifikasi apa yang terjadi pada diri anak, anak juga dapat
mengekpresikan perasaan atas kasus yang terjadi pada dirinya.
Menurut Suda (2006) ada beberapa model program counseling yang dapat
diberikan kepada anak yang mengalami sexual abuse, yaitu :a.
1. The dynamics of sexual abuse
Artinya, terapi difokuskan pada pengambangan konsepsi. Pada kasus tersebut
kdsalahan dan tanggung jawa berada pada pelaku bukan pada korban.Anak
dijamin tidak disalahkan meskipun telah terjadi kontak seksual.
2. Protective behaviors counseling
Artinya, anak-anak dilatih menguasai keterampilan mengurangi kerentannya
sesuai dengan usia. Pelatihan anak prasekolah dapat dibatasi; berkata tidak
terhadap sentuhan-sentuhan yang tidak diinginkan; menjauh secepatnya dari
orang yang kelihatan sebagai abusive person; melaporkan pada orangtua atau
orang dewasa yang dipercaya dapat membantu menghentikan perlakuan salah
3. Self-esteem counseling
Artinya, menyadarkan anak-anak yang menjadi korban bahwa mereka
sebenarnya bukanlah korban, melainkan orang yang mampu bertahan
(survivor) dalam menghadapi masalah sexual abuse. Keempat, feeling
counseling. Artinya, terlebih dahulu harus diidentifikasi kemampuan anak
yang mengalami sexual abuse untuk mengenali berbagai perasaan. Kemudian
mereka didorong untuk mengekspresikan perasaan-perasaannya yang tidak
menyenangkan, baik pada saat mengalami sexual abuse maupun sesudahnya.
Selanjutnya mereka diberi kesempatan untuk secara tepat memfokuskan
perasaan marahnya terhadap pelaku yang telah menyakitinya, atau kepada
orang tua, polisi, pekerja sosial, atau lembaga peradilan yang tidak dapat
melindungi mereka.
4. Cognitif terapy
Artinya, konsep dasar dalam teknik ini adalah perasaan-perasaan seseorang
mengenai beragam jenis dalam kehidupannya dipengaruhi oleh pikiran-
pikiran mengenai kejadian tersebut secara berulang-lingkar.

J. Pengkajian Keperawatan Korban Pemerkosaan


Menurut Doenges et.al (2007) pengkajian anak yang mengalami penganiayaan
seksual (sexual abus) antara lain:

1. Aktivitas atau istirahat : Masalah tidur (misalnya tidak padat tidur atau tidur
berlebihan, mimpi buruk, berjalan saat tidur, tidur di tempat yang
asing,keletihan.
2. Integritas ego
a. Pencapaian diri negatif, menyalahkan diri sendiri/meminta ampun karena
tindakannya terhadap orang tua.
b. Harga diri rendah (pelaku/korban penganiayaan seksual yang selamat.)
c. Perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan atau tidak berdaya
d. Minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku (mekanisme
pertahanan yang paling dominan/menonjol)
e. Penghindaran atau takut pada orang, tempat, objek tertentu, sikap
menunduk, takut (terutama jika ada pelaku)
f. Melaporkan faktor stres (misalnya keluarga tidak bekerja, perubahan
finansial, pola hidup, perselisihan dalam pernikahan)
g. Permusuhan terhadap/objek/tidak percaya pada orang lain
3. Eliminasi
a. Enuresisi,enkopresis.
b. Infeksi saluran kemih yang berulang
c. Perubahan tonus sfingter
4. Makan dan minum: Muntah sering, perubahan selera makan (anoreksia),
makan berlebihan, perubahan berat badan, kegagalan memperoleh berat badan
yang sesuai lima Hygiene
a. Mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan kondisi cuaca
(penganiayaan seksual) atau tidak adekuat memberi perlindungan.
b. Mandi berlebihan/ansietas (penganiayaan seksual), penampilan
kotor/tidak terpelihara.
5. Neurosensori
a. Perilaku ekstrem (tingkah laku sangat agresif/menuntut), sangat amuk atau
pasivitas dan menarik diri, perilaku tidak sesuai dengan usia
b. Status mental : memori tidak sadar, periode amnesia, laporan adanya
pengingatan kembali. Pikiran tidak terorganisasi, kesulitan
konsentrasi/membuat keputusan. Afek tidak sesuai, mungkin sangat
waspada, cemas dan depresi.
c. Perubahan alam perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan
penyesalan yang dalam setelah penganiayaan seksual terjadi.
d. Kecemburuan patologis, pengendalian impuls yang buruk, keterampilan
koping terbatas, kurang empati terhadap orang lain.
e. Membantung. Menghisap jempol atau perilaku kebiasaan lain: gelisah
(korban selamat).
f. Manifestasi psikiatrik (misal: fenomena disosiatif meliputi kepribadian
ganda (penganiayaan seksual), gangguan kepribadian ambang
(koebaninses dewasa)
g. Adanya defisit neurologis/kerusakaan SSP tanpa tanda-tanda cedera
eksternal
6. Nyeri atau ketidaknyamanan
a. Bergantung pada cedera/bentuk penganiayaan seksual
b. Berbagai keluhan somatik (misalnya nyeri perut, nyeri panggul
kronis,spastik kolon, sakit kepala)
7. Keamanan
a. Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar (tersiran air panas,
rokok) ada bagian botak di kepala, laserasi, perdarahan yang tidak wajar,
ruam/gatal di area genital, fisura anal, goresan kulit, hemoroid, jaringan
parut, perubahan tonus sfingter.
b. Cedera berulang, riwayat bermacam kecelakaan, fraktur/ cedera internal.
c. Perilaku mencederai diri sendiri (bunuh diri), keterlibatan dalam aktivitas
dengan risiko tinggi
d. Kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak ada perhatian yang dapat
menghindari bahaya di dalam rumah
8. Seksualitas
a. Perubahan kewaspadaan/aktivitas seksual, meliputi masturbasi kompulsif,
permainan seks dewasa sebelum waktunya, kecenderungan mengulang
atau melakukan kembali pengalaman inses. Kecurigaan yang berlebihan
tentang seks, secara seksual menganiaya anak lain.
b. Perdarahan vagina , laserasi himen linier, bagian mukosa berlendir.
c. Adanya PMS, vaginitis, kutil genital atau kehamilan (terutama pada anak).
9. Interaksi social
Merikan diri dari rumah, polainteraksi dalam keluarga secara
verbalkurang responsif, peningkatan penggunaan perintah langsung dan
pernyataankritik, penurunan penghargaan atau pengakuan verbal, merasa
rendah diri.Pencapaian restasi dis ekolah rendah atau prestasi di sekolah
menurun.
K. Diagnosa Keperawatan Korban Pemerkosaan
Menurut Townsend (1998), dan Doenges et.al (2007) diagnosa keperawatan yang
dapat dirumuskan pada anak yang mengalami sexual abuse antara lain :

1. Sindrom trauma perkosaan berhubungan dengan menjadi korban perkosaan


seksual yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan
dengan keinginan dan persetujuan pribadi seseorang
2. Ketidakberdayaan berhubungan dengan harga diri rendah
3. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan pengasuhan
yang tidak adekuat dan penderitaan oleh pengasuh dari nyeri fisik atau cidera
dengan tujuan untuk menyebabkan bahaya, biasanya terjadi dalam waktulama.
4. Ansietas (sedang sampai berat) berhubungan dengan ancaman konsep diri,
rasa takut terhadap kegagalan, disfungsi system keluarga dan hubungan antara
orang tua dan anak yang tidak memuaskan
5. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tidak
efektif
6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan a nsietas dan hiperaktif
7. Koping defensif berhubungan dengan harga diri rendah, kurang umpan balik
atau umpan balik negatif yang berulang yang mengakibatkan penurunan
makna diri
8. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan perasaan bersalah yang
berlebihan, marah atau saling menyalahkan diantara anggota keluarga
mengenai perilaku anak,kepenatan orang tua karena menghadapi anak dengan
gangguan dalam jengka waktu lama
9. Defisit pengetahuan tentang kondisi, prognosis, perawatan diri dan kebutuhan
terapi berhubungan dengan kurang sumber informasi, interpretasi yang salah
tentang informasi

L. Intervensi Keperawatan Korban Pemerkosaan


Menurut Videbeck (2008), Townsend (1998), dan Doenges et.al (2007),
intervensi keperawatan yang dapat dirumuskan untuk mengatasi diagnosa
keperawatan diatas antara lain :
1. Sindrom trauma perkosaan berhubungan dengan menjadi korban perkosaan
seksual yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan dengan
keinginan dan persetujuan pribadi seseorang
Tujuan :
a. Tujuan jangka pendek : Luka fisik anak akan sembuh tanpa komplikasi
b. Tujuan jangka panjang : anak akan mengalami resolusi berduka yang sehat,
memulai proses penyembuhan psikologis.
Intervensi:
a. Smith (1987) menghubungkan pentingnya mengkomunikasikan empat ucapan
berikut ini pada korban perkosaan : saya prihatin hal ini terjadi padamu, anda
aman disini, saya senang anda hidup, anda tidak bersalah. Anda adalah
korban. Ini bukan kesalahan anda. Apapun keputusan yang Anda buat pada
saat pengorbanan adalah hak seseorang karena anda hidup.
Rasional : Wanita tau anak yang telah diperkosa secara seksual takut terhadap
kehidupannya dan harus diyakinkan kembali keamanannya. Ia mungkin juga
sangat ragu-ragu dengan dirinya dan menyalahkan diri sendiri dan pernyataan-
pernyataan ini membangkitkan rasa percaya secara bertahap dan
menumbuhkan kembali harga diri anak
b. Jelaskan setiap prosedur pengkajian yang akan dilakukan dan mengapa
dilakukan. Pastikan bahwa pengumpulan data dilakukan dalam perawatan,
cara tidak menghakimi
Rasional : Untuk menurunkan ketakutan atau ansietas dan untuk
meningkatkan rasa percaya
c. Pastikan bahwa anak memiliki privasi yang adekuat untuk semua intervensi-
intervensi segera pasca krisis. Cobaan sedikit mungkin orang yang
memberikan perawatan segera atau mengumpulkan bukti segera.
Rasional : Anak pasca trauma sangat rentan. Penambahan orang dalam
lingkungannya meningkatkan perasaan rentan ini dan bertindak meningkatkan
ansietas
d. Dorong anak untuk menghitung jumlahs erangan kekerasan seksual.
Dengarkan, tetapi tidak menyelidiki
Rasional : Mendengarkan dengan tidak menghakimi memberikan kesempatan
untuk katarsis bahwa anak perlu memulai pemulihan. Jumlah yang rinci
mungkin dibutuhkan untuk tindak lanjut secara legal, dan seorang perawat
sebagai pembela anak dapat menolong untuk mengurangi trauma dari
pengumpulan bukti
e. Diskusikan dengan anak siapa yang dapat dihubung untuk memberikan
dukungan atau bantuan. Berikan informasi tentang rujukan setelah perawatan
Rasional : Karena ansietas berat dan rasa takut, anak mungkin membutuhkan
bantuan dari orang lain selama periode segera pasca-krisis. Berikan informasi
rujukan tertulis untuk referensi selanjutnya (misalnya psikoterapi, klinik
kesehatan jiwa, kelompok pembela masyarakat)
2. Ketidakberdayaan berhubungan dengan harga diri rendah Tujuan :
a. Tujuan jangka pendek : Anak mengenali dan menyatakan secara verbal pilihan-
pilihan yang tersedia dengan demikian merasakan beberapa kontrol terhadap
situasi kehidupan (dimensi waktu ditentukan secara individu)
b. Tujuan jangka panjang : Anak memperlihatkan kontrol situasi kehidupan
dengan membuat keputusan tentang apa yang harus dilakukan berkenaan
dengan hidup bersama siklus penganiyaan seksual (dimensi waktu ditentukan
secara individual)
Intervensi :
a. Dalam berkolaburasi dengan tim medis, pastikan bahwa semua cedera fisik,
fraktur, luka bakar mendapatkan perhatian segera, mengambiul foto jika anak
mengijinkan merupakan ide yang baik
Rasional : Keamanan anak merupakan prioritas keperawatan. Foto dapat
digunakan sebagai bukti jika tuntutan dilakukan
b. Bawa anak wanita tersebut ke dalam area yang pribadi untuk melakukan
wawancara
Rasional : Jika anak disertai dengan pria yang melakukan pelecehan seksual
pada anak, kemungkinan besar ia tidak jujur sepenuhnya tentang cederanya
atau pengalaman seksualnya
c. Jika seorang anak wantia datang sendiri atau berserta dengan orang tuanya,
pastikan tentang keselamatannya. Dorong untuk mendiskusikan peristiwa
pemerkosaan yang telah dilakukan. Tanyakan pertanyaan tentang apakah hal
ini telah terjadi sebelumnya. Jika pelaku kekerasan seksual minum obat bius,
jika anak tersebut memiliki tempat yang aman untuk pergi dan apakah ia
berminat dalam tuntutan yang mendesak
Rasional : Beberapa anak wanita berusaha untuk menyimpan rahasia tentang
bagimana cedera seksual yang dideritanya terjadi dalam usaha untuk
melindungi orang tuanya atau saudaranya atau karena mereka takut bahwa
orang tuanya atau saudaranya akan membunuh mereka jika menceritakan hal
tersebut
d. Pastikan bahwa usaha-usaha menyelamatkan tidak diusahakan oleh perawat.
Berikan dukungan, tetapi ingat bahwa keputusan akhir harus dibuat oleh anak
Rasional : Membuat keputusan untuk dirinya sendiri memberikan rasa kontrol
situasi kehidupannya sendiri. Memberikan penilaian dan nasehat adalah tidak
terapeutik
e. Tekankan pentingnya keamanan, smith (1987) menyarankan suatu pernyataan
seperti, ya itu telah terjadi. Burgess (1990) menyatakan "Korban perlu dibuat
sadar tentang berbagai sumber yang tersedia untuk dirinya. Hal ini dapat
mencakup hotline krisis, kelompok-kelompok masyarakat untuk wanita dan
anak yang pernah dianiaya secara seksual, tempat perlindungan, berbagai
tempat konseling.
Rasional : Pengetahuan tentang pilihan-pilihan yang tersedia dapat membantu
menurunkan rasa tidak berdaya dari korban, tetapi kewenangan yang
sesungguhnya datang hanya saat ia memilih untuk menggunakan pengetahuan
itu bagi keuntungannya sendiri.
3. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan pengasuhan
yang tidak adekuat dan penderitaan oleh pengasuh dari nyeri fisik atau cidera
dengan tujuan untuk menyebabkan bahaya, biasanya terjadi dalam waktu lama.
Tujuan :
a. Tujuan jangka pendek : Anak akan mengembangkan hubungan saling percaya
dengan perawat dan melaporkan bagaimana tanda cedera terjadi (dimensi
waktu ditentukan secara individu)
b. Tujuan jangka panjang : Anak akan mendemonstrasikan perilaku yang
konsisten dengan usia tumbuh dan kembangnya.
Intervensi :
a. Lakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh pada anak. Buat catatan yang
teliti dari luka memarnya (dalam berbagai tahap penyembuhan), laserasi, dan
keluhan anak tentang area nyeri pada derah yang spesifik, misalnya kemaluan.
Jangan mengabaikan atau melalaikan kemungkinan penganiayaan seksual.
Kaji tanda nonverbal penganiayaan, perilaku agresif, rasa takut yang
berlebihan, hiperaktivitas hebat, apatis, menarik diri, perilaku yang tidaks
esuai dengan usianya
Rasional : Suatu pemeriksaan fisik yang akurat dan seksama dibutuhkan agar
perawatan yang tepat dapat diberikan untuk pasien
b. Adakan wawancara yang dalam dengan orang tua atau orang dekat yang
menyertai anak.
Rasional : Ketakutan terhadap hukuman penjara atau kehilangan kesempatan
memelihara anak mungkin menempatkan orang tua penyiksa pada sikap
membela diri. Ketidaksesuaian dapat ditandai dalam deskripsi kejadian, dan
adanya usaha untuk menutupu keterlibatan merupakan suatu pertahanan diri
yang umum yang dapat dilepaskan dalam suatu wawancara yang dalam.
c. Gunakan pertandingan atau terapi bermain untuk memperoleh rasa percaya
anak. Gunakan teknik-teknik ini untuk membantu dalam menjelaskan sisi lain
dari cerita anak tersebut
Rasional : Menetapkan hubungan saling percaya dengans eorang anak yang
teraniaya sangatlah sukar. Mereka mungkin tidak ingin untuk disentuh. Jenis-
jenis aktivitas bermain ini dapat memberikan suatu lingkungan yang tidak
mengancam yang dapat meningkatkan usaha anak untuk mendiskusikan
masalah-masalah yang menyakitkan ini
d. Tentukan apakah cedera yang dialami dibenarkan untuk dilaporkan kepada
yang berwenang. Undang-Undang negara yang spesifik harus masuk ke dalam
keputusan apakah ya atau tidak untuk melaporkan dugaan penganiayaan
seksual anak.
Rasional : Suatu laporan (umumhya dibuat) jika ada alasan untuk mencurigai
bahwa seseorang anak telah dicederai sebagai suatu akibat penganiayaan
seksual. Alasan untuk mencirugai ditetapkan saat ada tanda-tanda
ketidaksesuaian atau ketidakkonsistenan dalam menjelaskan cedera pada
anak. Kebanayakan negara membutuhkan individu- individu berikut
melaporkan kasus dari anak yang dicurigai dianiaya seksual : semua pekerja
kesehatan, semau terapis kesehatan jiwa, guru-guru, pengasuh-pengasuh anak,
pemadam kebakaran, anggota medis gawat darurat dan anggota
penyelenggara hukum. Laporan dibuat oleh Departemen Pelayanan Sosial dan
rehabiulitasi atau Badan penyelenggara Hukum.

M. Implementasi Keperawatan Korban Pemerkosaan


N. Evaluasi Keperawatan Korban Pemerkosaan
Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan
penganiayaan seksual (sexual abuse) antara lain:
1. Anak tidak mengalami ansietas panik lagi.
2. Anak mendemonstrasikan derajat percaya kepada perawat primer.
3. Anak menerima perhatian dengan segera terhadap cedera fisiknya.
4. Anak memulai perilaku yang konsisten terhadap respons berduka.
5. Anak mendapatkan perhatian segera untuk cedera fisiknya jika ada.
6. Anak menyatakan secara verbal jaminan keamanannya dengan segera.
7. Anak mendiskusikan situasi kehidupannya dengan perawat primer.
8. Anak mampu menyatakan secara verbal pilihan –pilihan yang tersedia untuk
dirinya
yang dari hal ini ia menerima bantuan.
9. Anak mendemosntrasikan rasa percaya kepada perawat utama melalui
mendiskusikan perlakuan penganiayaan melalui penggunaan terapi bermain.
10. Anak mendemonstrasikan suatu penurunan dalam perilaku agresif.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak dibawah umur belakanganini
semakin banyak muncul dipermukaan.Halini belum tentu merupakan
indikatormeningkatnya jumlah kasus, karena fenomena yang terjadi adalah
fenomenagunung es, jumlah yang terlihat belum tentu menunjukkan fakta
yangsesungguhnya.Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap penegakan
hukummerupakansalah satu faktor meningkatnya pelaporan kasus kekerasan
seksual.Penganiayaan seksual pada anak didefinisikan sebagai adanya tindakan
seksualyang mencakup tetapi tidak dibatas pada insiden membuka pakaian,
menyentuhdengan cara yang tidak pantas dan penetrasi (koitus seksual), yang
dilakukandengan seorang anak untuk kesenangan seksual orang dewasa. Insest
telahdidefinisikan sebagai eksploitasi seksual pada seorang anak di bawah usia
18tahun oleh kerabat atau buka kerabat yang merupakan orang
dipercayadalamkeluarga (Townsend, 1998).

Anak sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat mungkin sebelumnya


adalahkorban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku lain.
Kemungkinanmotif kekerasan yang dilakukannya adalah untuk eksploitasi-
memuaskan rasaingin tahu, atau menirukan kejadian yang dialami sebelumnya, baik
dari perlakuanlangsung maupun dari media yang dilihatnya.Dengan adanya azas
praduga tak bersalah, hendaknya ditelusuri dengan mendalam faktor yang mendorong
anak menjadi pelakukekerasan seksual, agar anak tidak dua kali menjadi
korban(Maria, 2008)

Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan pada genital dan anus, fisurpada
anus, pembesaran liang vagina dan anus, dan penipisan/kerusakan hymenpada vagina.
Efek psikologis pencabulan terhadap anak umumnya berjangkapanjang, antara lain:
kemarahan, kecemasan, mimpi buruk, rasa tak Iman,kebingungan, ketakutan,
kesedihan, dan perubahan perilaku baik menjadi buruk.
B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan kita sebagai seorang perawat mampu
memahami tentang asuhan keperawatan pada anak dengan kebutuhan khusus: korban
pemerkosaan sehingga kita mampu memberikan asuhan keperawatan yang maksimal
pasien yang mengalami gagguan jiwa. Tentunya dalam pembuatan makalah ini masih
banyak terdapat kesalahan sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran dari
semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA

Stuart, W. Gail. (2013). Principles of Psychiatric Nursing, 10 Edition. ELSEVIER

Varcarolis, M. Elizabeth. (2013). Essentials of Psychiatric Mental Health Nursing; A


Communication Approach to Evidence-Based Care Second Edition. ELSEVIER

WHO. (2001). The World Health Report: 2001 mental health : new undestanding, new
hope

Anda mungkin juga menyukai