Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KEPERAWATAN JIWA

“Asuhan keperawatan jiwa pemerkosan)”

DOSEN PENGAMPU :
Ns. Aty Nurillawaty Rahayu M.Kep. Sp.Kep J

KELOMPOK 8

Nama Kelompok :

1. Ananda April Rianti (0432950318004)


2. Dewi Lestari (0432950318008)
3. Dwinita Alaitussyam (0432950318014)
4. Ella Lailatus Syarifah (0432950318018)
5. Erika Suryani (0432950318019)

Jurusan Keperawatan Program Studi Keperawatan S1

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANI SALEH


Jl. RA Kartini NO.66, Margahayu, Bekasi Timur, Kota Bekasi, Jawa Barat 17113

2020/2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayahNya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PEMERKOSAAN”.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah
ini.

Namun, dalam hal penulisan makalah ini penulis juga belum sempurna. Maka dari itu, kami
juga mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun isi dari makalah kami. Saran dan
kritik dari pembaca sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan isi dari makalah ini.

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Pelecehan yang berulang sering ditemui pada lebih dari setengah kasuspelecehan seksual
di komunitas dan terdapat pada 75% kasus yang ditemukan diklinik.sexual abuse (kekerasan
seksual) dikenal pada tahun 70-an dan 80-an.Penelitian lain telah mengarah pada
perkiraan kekerasan pada anak yang lebihluas di Inggris, seperti dari Childhood
Matters (1996): Sekitar 100 000 anak mengalami pengalaman seksual yang
berpotensimengarah ke seksual abuse(FKUI, 2006).

Banyak anak yang mendapat perlakuan kurang manusiawi, bahkan tidak  jarang dijadikan objek
kesewenangan.Berdasarkan catatan Komisi PerlindunganAnak Indonesia, ada 481
kasus kekerasan anak (2003).Jumlah ini menjadi 547kasus pada tahun 2004. Dari situ, ada
140 kasus kekerasan fisik, 80 kasuskekerasan psikis, 106 kasus kekerasan lainnya, dan 221 kasus
kekerasan seksual. Gambaran paradoks tersebut memancing pertanyaan. Mengapa
kekerasan seksualsering menimpa diri anakdan siapa yang paling berpotensi sebagai
pelakunya? Di samping dapat menimbulkan dampak yang luar biasa pada diri si
korban, kasuskekerasan seksual juga dapat menguji kebenaran dari pernyataan
Singarimbun(2004), bahwa modernisasi sering diasosiasikan sebagai ke serba bolehan
melakukan hubungan seksual (Suda. 2006).

Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan kasus yang menonjol yangterjadi pada anak-anak.
Dalam catatan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia(YKAI) pada tahun 1992-2002
terdapat 2.611 kasus (65,8 persen) dari 3.969kasus kekerasan seksual dialami anak-
anak di bawah usia 18 tahun. Dari jumlahitu, 75 persen korbannya adalah anak
perempuan. Kasus yang menonjol terutamapemerkosaan (42,9 persen) dengan
kejadian terjadi di rumah tinggal (35,7 persen)(FKUI, 2006).

2. Rumusan Masalah
- Apa itu pengertian pemerkosaan/kekerasan ?
- Bagaimana Asuhan keperawatan pada kasus pemerkosaan ?

3. Tujuan
- Untuk mengetahui pengertian dari kasus pemerkosaan/kekerasan
- Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada kasus pemerkosaan/kekerasan
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN

Pemerkosaan (rape) berasal dari bahasa latin repare yang berarti mencari, memaksa, merampas, atau
membawa pergi (Haryanto, 1997)

Pemerkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki
terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum. (Wigjosubroto dalam
Prasetyo, 1997)

Kekerasan seksual (sexual abuse) pada anak mencakup penganiayaan seksual secara fisik dan non
fisik. Kekerasan fisik antara lain menyentuh alat kelamin atau bagian tubuh lain yang
bersifat pribadi, seks oral, penetrasi vagina/anusmenggunakan penis atau benda lain, memaksa anak
membuka pakaian, sampai tindak perkosaan. Sedangkan penganiyaan non fisik diantaranya,
memperlihatkan benda-benda yang bermuatan pornografi atau aktivitas seksual orang
dewasa, eksploitasi anak dalam pornografi (gambar, foto, film, slide, majalah, buku),
exhibitionism, atau mengintip kamar tidur/kamar mandi (voyeurism).(Suda, 2006).

B. ETIOLOOGI/PREDISPOSISI

Faktor penyebab sexual abuse adalah :

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya Tindakan kekerasan seksual yang dialami oleh
subyek adalah sebagai berikut:

a. Faktor kelalaian orang tua. Kelalaian orang tua yang tidak memperhatikan tumbuh
kembang dan pergaulan anak yang membuat subyek menjadi korban kekerasan
seksual.
b. Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku. Moralitas dan mentalitas yang
tidak dapat bertumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak dapat mengontrol nafsu
atau perilakunya.
c. Faktor ekonomi. Faktor ekonomi membuat pelaku dengan mudah memuluskan
rencananya dengan memberikan imingiming kepada korban yang menjadi target dari
pelaku.

Menurut Townsend (1998) factor yang predisposisi (yang berperan dalam pola
penganiayaan anak (seksual abuse) antara lain:

1. Teori biologis
a. Pengaruh neurofisiologis. Perubahan dalam system limbik otak dapat
mempengaruhi perilaku agresif pada beberapa individu
b. Pengaruh biokimia, bermacam-macam neurotransmitter (misalnya epinefrin,
norepinefrin, dopamine, asetilkolin dan serotonin) dapat memainkan peranan
dalam memudahkan dan menghambat impuls-impuls agresif
c. Pengaruh genetika. Beberapa penyedilidikan telah melibatkan herediter sebagai
komponen pada predisposisi untuk perilaku agresif seksual, baik ikatan genetic
langsung maupun karyotip genetik XYY telah diteliti sebagai kemungkinan
d. Kelainan otak. Berbagai kelainan otak mencakup tumor, trauma dan penyakit-
penyakit tertentu (misalnya ensefalitis dan epilepsy), telah dilibatkan pada
predisposisi pada perilaku agresif.
2. Teori psikologis
a. Teori psikoanalitk. Berbagai teori psikonalitik telah membuat hipotesa
bahwa agresi dan kekerasan adalah ekspresi terbuka dari ketidakberdayaan
dan harga diri rendah, yang timbul bila kebutuhan-kebutuhan masa anak
terhadap kepuasan dan keamanan tidak terpenuhi.
b. Teori pembelajaran. Teori ini mendalilkan bahwa perilaku agresif dan
kekerasan dipelajari dari model yang membawa dan berpengaruh.
Individu-individu yang dianiaya seperti anak-anak atau yang orang tuanya
mendisiplinkan dengan hukuman fisik lebih mungkin untuk berperilaku
kejam sebagai orang dewasa.
3. Teori sosiokultural (pengaruh social)
Pengaruh social. Ilmuwan social yakin bahwa perilaku agresif terutama
merupakan hasil dari struktur budaya dan social seseorang. Pengaruh-pengaruh
social dapat berperan pada kekerasan saat individu menyadari bahwa kebutuhan
dan Hasrat mereka tidak dapat dipenuhi melalui cara-cara yang lazim dan mereka
tidak dapat dipenuhi melalui cara-cara yang lazim mereka mengusahakan
perilaku-perilaku kejahatan dalam suatu usaha untuk memperoleh akhir yang
diharapkan.

Menurut Freewebs (2006) kekerasan seksual (sexsual abuse) sering muncul dalam
berbagai kondisi dan lingkup social.
1. Kekerasan seksual dalam keluarga (Intrafamilial abuse)
Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam keluarga inti atau
majemuk, dan dapat melibatkan teman dari anggota keluarga, atau orang yang
tinggal Bersama dengan keluarga tersebut, atau kenalan dekat dengan
sepengetahuan keluarga kekerasan pada anak adopsi ataupun anak tiri juga
termasuk dalam lingkup ini.
2. Kekerasan seksual diluar keluarga (Extrafamilial abuse)
Mencakup kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa yang kenal dengan
anak tersebut dari berbagai sumber, seperti tetangga, teman, orang tua dari
teman sekolah.
3. Ritualistic abuse
Mencakup kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa untuk mendapatkan
ilmu gaib atau ilmu hitam demi keperluan pribadinya.
4. Institutional abuse
Mencakup kekerasan seksual dalam lingkup institusi tertentu seperti sekolah,
tempat penitipan anak, kamp berlibur, seperti kegiatan pramuka dan organisasi
lainnya.
5. Kekerasan seksual oleh orang yang tidak dikenal (Street or stranger abuse)
Penyerangan pada anak-anak di tempat-tempat umum.
Ada beberapa pandangan berbeda penyebab kekerasan seksual yang menimpa
anak. Orang yang mencabuli anak-anak dianggap orang yang mengalami
disfungsi karena kecanduan alcohol, tidak mamiliki pekerjaan tetap dan
penghasilan yang mapan, serta tingkat tPendidikan yang rendah. Menurut Cok
Gede Atmadja, pencabulan terhadap anak terjadi karena himpitan ekonomi.
Sementara Magdalena Manik, aktivis Forum Sayang Anak, manyatakan
pencabulan terhadap anak disebabkan meluasnya budaya permisif, dan ketidak
konsistenan pihak kepolisian dalam mengambil Tindakan hukum terhadap
pelaku incest (Suda, 2006)

C. KLASIFIKASI

Klasifikasi dari sexual abuse menurut (Suda, 2006) adalah :

1. Pemerkosaan
Pemerkosaan adalah jenis kekerasan yang paling mendapat sorotan.
Diperkirakan 22% perempuan dan 2% laki-laki pernah menjadi korban
pemerkosaan. Untuk di Amerika saja, setiap 2 menit terjadi satu orang
diperkosa.
2. Kekerasan seksual terhadap anak-anak
Suatu tinjauan baru-baru ini terhadap 17 studi dari seluruh dunia menunjukkan
bahwa di manapun, sekitar 11% samapi dengan 32% perempuan dilaporkan
mendapat perlakuan atau mengalami kekerasan seksual pada masa kanak-
kanaknya.
3. Kekerasan seksual terhadap pasangan
Kekerasan ini mencakup segala jenis kekerasan seksual yang dilakukan
seseorang terhadap pasangan seksualnya. Sebesar 95% korban kekerasan
adalah perempuan. Temuan penelitian yang dilakukan Rifka Annisa Bersama
UGM, UMEA, University, dan Women’s Health Exchange USA di
Purworejo, Jawa Tengah, Indonesia, pada tahun 2000 menunjukkan bahwa
22% perempuan mengalami kekerasan seksual. Sejumlah 1 dari 5 perempuan
(19%) melaporkan bahwa biasanya mereka dipaksa untuk melakukan
hubungan seksual dengan pasangan mereka selama dipukuli. Termasuk
kekerasan seksual adalah kekerasan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap
seorang perempuan, semata-mata karena sang korban adalah perempuan.
Istilah untuk ini adalah kekerasan berbasis gender.
4. Kekerasan fisik : menampar, memukul, menendang, mendorong, mencambuk,
dll.
5. Kekerasan emosional/verbal : mengkritik, membuat pasangan merasa
bersalah, membuat permainan pikiran, memaki, menghina,dll.
6. Ketergantungan finansial: mencegah pasangan untuk mendapat pekerjaan,
membuat pasangan dipecat, membuat pasangan meminta uang, dll.
7. Isolasi social: mengontrol pasangan dengan siapa boleh bertemu dan dimana
bisa bertemu, membatasi gerak pasangan dalam pergaulan, dll.
8. Kekerasan seksual: memaksa seks, berselingkuh, sadomasokisme, dll.
9. Pengabaian/penolakan: mengatakan kekerasan tidak pernah terjadi,
menyalahkan pasangan bila kekerasan terjadi, dll.
10. Koersi, ancaman, intimidasi: membuat pasangan khawatir, memecahkan
benda-benda, mengancam akan meninggalkan, dll.

D. PATOFISIOLOGI

Menurut tower (2002) dalam maria (2008) kekerasan seksual pada anak dapat terjadi satu
kali, beberapa kali dalam periode berdekatan, bahkan menahun. Walaupun berdeda-beda
pada setiap kasus, kekerasan sksual tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui beberapa
tahapan antara lain :

1. Tahap awal, pelaku membuat korban merasa nyaman, ia meyakinkan bahwa apa yang
dilakukannya “tidak salah” secara moral. Pelaku mencoba menyentuh sisi kebutuhan
anak akan kasih sayang dan perhatian, penerimaan dari orang lain, atau mencoba
menyamakannya dengan permainan dan menjanjikan imbalan material yang
menyenangkan. Pelaku dapat menintimidasi imbalan material yang menyenangkan.
pelaku dapat mengintimdasi secara halus ataupun bersikap memaksa secara kasar.
2. Tahap kedua, adalah interaksi seksual. Perilaku yang terjadi bias saja hanya berupa
menintip sampai perilaku yang intensitasnya berat, yaitu memaksa anak untuk
melakukan hubungan seksual. Setelah kejadian tersebut, pelaku mengancam korban
agar merahasiakan apa yang terjadi kepasa orang lain.
3. Tahap berikutnya, adalah tahapan dimana korban mau menceritakan pengalamannya
kepada orang lain. Kemungkinan korban merahasiakan pengalamannya ampai berusia
dewasa, atau menceritakannya kepada orang yang mempunyai kedekatan emosional
dengannya, sehingga ia merasa aman. Pelaku “mencobai” korban sedikit demi sedikit,
mulai dari :
a. Pelaku membuka pakaiannya sendiri
b. Pelaku meraba-raba bagian tubuhnya sendiri
c. Pelaku memperlihatkan alat kelaminnya
d. Pelaku mencium korban dengan pakaian lengkapnya
e. Pelaku meraba bagian-bagian tubuh korban : payudara, alat kelamin, dan
bagian lainnya.
f. Mastrubasi, dilakukan oleh pelaku sendiri atau pelaku dan korban saling
menstimulus
g. Oral sex, dengan menstimulus alat kelamin korban
h. Sodomi
i. Petting
j. Penestrasi alat kelamin pelaku

Anak yang memiliki resiko mengalami kekerasan seksual biasanya adalah anak-anak yang
biasa ditinggalkan sendiri dan tidak mendapat pengawasan dari orang yang lebih dewasa,
terutama ibu. Tidak hanya kehadiran secara fisik kedekatan emosional antara ibu dan anak
pun merupakan factor yang penting (Maria, 2008).

Menurut maria (2008) dampak kekerasan seksual pada anak adalah sebagai berikut :

1. Stress : akut, traumatic – PTSD (post traumatic stress disorder)


2. Agresif, menjadi pelaku kekerasan, tidak percaya diri
3. Rasa takut, cemas
4. Perilaku seksual yang tidak wajar untuk anak seusianya
Tidak diragukan lagi bahwa kekerasan seksual dapat memberikan dampak jangka
pendek maupun jangka panjang bagi korbannya, pada anak lainnya, ada kemungkinan
gangguan tersebut di ‘tekan’ sehingga tidak teramati dari luar sampai ada pemicu yang
menampilkan gejolak emosi mereka, misalnya saat anak memasuki usia remaja dan mulai
dekat dengan lawan jenis, atau pada saat mereka akan menikah, selain itu, saat mungkin anak
yang menjadi korban kekerasan sesual kemudian justru malah menjadi pelaku kekerasan
seksual terhadap anak lain (maria, 2008).

E. MANIFESTASI KLINIK

Dampak psikologi yang dialami oleh subyek dapat di golongkan menjadi tiga bagian, yaitu
gangguan perilaku, gangguan kognisi, gangguan emosional.

a. Gangguan perilaku, ditandai dengan malas untuk melakukan aktifitas sehari hari.
b. Gangguan kognisi, ditandai dengan sulit berkonsentrasi, tidk fokus ketika sedang
belajar, sering melamun termenung sendiri.
c. Gangguan emosional, ditandai dengan adanya gangguan mood dan suasana hati serta
menyalahkan diri sendiri.
Tanda dan gejala kekerasan seksual pada anak :
1. Balita
a. Balitaa.Tanda-tanda fisik, antara lain memar pada alat kelamin atau mulut,
iritasikencing, penyakit kelamin, dan sakit kerongkongan tanpa penyebab jelasbisa
merupakan indikasi seks oral.
b. Tanda perilaku emosional dan sosial, antara lain sangat takut kepada siapasaja atau
pada tempat tertentu atau orang tertentu, perubahan kelakuanyang tiba-tiba, gangguan
tidur (susah tidur, mimpi buruk, dan ngompol),menarik diri atau depresi, serta
perkembangan terhambat.

2. Anak usia prasekolah.


Gejalanya sama ditambah tanda-tanda berikut:
a. Tanda fisik: antara lain perilakuregresif, seperti mengisap jempol,hiperaktif,
keluhan somatik seperti sakit kepala yang terus-menerus, sakitperut, sembelit.
b. Tanda pada perilaku emosional dan sosial: kelakuan yang tiba-tibaberubah, anak
mengeluh sakit karena perlakuan seksual.
c. Tandapada perilaku seksual: masturbasi berlebihan, mencium secaraseksual,
mendesakkan tubuh, melakukan aktivitas seksual terang-teranganpada saudara atau
teman sebaya, tahu banyak tentang aktivitas seksual, danrasa ingin tahu berlebihan
tentang masalah seksual.

3. Anak usia sekolah.


Memperlihatkan tanda-tanda di atas serta perubahan kemampuan belajar,seperti susah
konsentrasi, nilai turun, telat atau bolos, hubungan denganteman terganggu, tidak
percaya kepada orang dewasa, depresi, menarik diri,sedih, lesu, gangguan tidur,
mimpi buruk, tak suka disentuh, sertamenghindari hal-hal sekitar buka pakaian.

4. Remaja.
Tandanya sama dengan di atas dan kelakuan yang merusak diri sendiri,pikiran bunuh
diri, gangguan makan, melarikan din, berbagai kenakalanremaja, penggunaan obat
terlarang atau alkohol, kehamilan dini, melacur,seks di luar nikah, atau kelakuan
seksual lain yang tak biasa.

Sedangkan menurut Townsend (1998) simtomatologi daripenganiayaan/kekerasan seksual


pada anak (sexual abuse) antara lain:

1. Infeksi saluran kemih yang sering

2. Kesulitan atau nyeri saat berjalan atau duduk

3. Kemerahan atau gatal pada daerah genital, menggaruk daerah tersebut secarasering atau
gelisah saat duduk

4. Sering muntah

5. Perilaku menggairahkan, dorongan masturbasi, bermain seks dewasa sebelum waktunya


6. Ansietas berlebihan dan tidak percaya kepada orang lain

7. Penganiyaan seksual pada anak yang lain

F. PENATALAKSANAAN

Cholidah (2005) menyatakan bahwa diantara tujuan terapi bermain adalah mengurangi atau
menghilangkan gangguan-gangguan perilaku, fisik, psikis,social, sensori dan komunikasi dan
mengembangkan kemampuan yang masihdimiliki secara optimal. Terkait dengan kasus
kekerasan seksual pada anak,Jongsma, Peterson dan Mclnnis (2000) menyatakan bahwa
terapi bermain(playtherapy)merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi dan
menggalikanperasaan anak korban kekerasan seksual. Melalui terapi bermain selain
kasusdapat diidentifikasi apa yang terjadi pada diri anak, anak juga dapat mengekpresikan
perasaan atas kasus yang terjadi pada dirinya.

Menurut Suda (2006) ada beberapa model program counseling yang dapatdiberikan kepada
anak yang mengalami sexual abuse, yaitu :

a. The dynamics of sexual abuse.


Artinya, terapi difokuskan pada pengambangan konsepsi.Pada kasustersebut
kdsalahan dan tanggung jawa berada pada pelaku bukan pada korban.Anak dijamin
tidak disalahkan meskipun telah terjadi kontak seksual.
b. Protective behaviors counseling.
Artinya, anak-anak dilatih menguasai keterampilan mengurangikerentannya sesuai
dengan usia. Pelatihan anak prasekolah dapat dibatasi;berkata tidak terhadap
sentuhan-sentuhan yang tidak diinginkan; menjauhsecepatnya dari orang yang
kelihatan sebagai abusive person; melaporkanpada orangtua atau orang dewasa yang
dipercaya dapat membantumenghentikan perlakuan salah.
c. Survivor/self-esteem counseling.
Artinya, menyadarkan anak-anak yang menjadi korban bahwa merekasebenarnya
bukanlah korban, melainkan orang yang mampu bertahan(survivor) dalam
menghadapi masalah sexual abuse. Keempat, feelingcounseling. Artinya, terlebih
dahulu harus diidentifikasi kemampuan anakyang mengalami sexual abuse untuk
mengenali berbagai perasaan. Kemudianmereka didorong untuk mengekspresikan
perasaan-perasaannya yang tidakmenyenangkan, baik pada saat mengalami sexual
abuse maupun sesudahnya.Selanjutnya mereka diberi kesempatan untuk secara tepat
memfokuskanperasaan marahnya terhadap pelaku yang telah menyakitinya, atau
kepadaorang tua, polisi, pekerja sosial, atau lembaga peradilan yang tidak
dapatmelindungi mereka.
d. Cognitif terapy.
Artinya, konsep dasar dalam teknikini adalah perasaan-perasaanseseorang mengenai
beragam jenis dalam kehidupannya dipengaruhi olehpikiran-pikiran mengenai
kejadian tersebut secara berulang-lingkar.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Menurut Doenges et. al (2007) pemeriksaan diagnostic yang dilakukanpadaanak


dengansexual abusebergantung pada situasi dan kebutuhan individu. Ujiskrining (misalnya
Daftar Periksa Perilaku Anak), peningkatan nilai pada skalainternalisasi yang
menggambarkan perilaku antara lain ketakutan, segan, depresi,pengendalianberlebihan atau
di bawah pengendalian, agresif dan antisosial.

H. PENGKAJIAN

Menurut Doenges et.al (2007) pengkajian anak yang mengalami penganiayaan


seksual (sexual abuse) antara lain :

1. Aktivitas atau istirahat : masalah tidur (misalnya tidak padat tidur atau tidur
berlebihan, mimpi buruk, berjalan saat tidur, tidur di tempat yang asing, keletihan.
2. Integritas ego
a. Pencapaian diri negative, menyalahkan diri sendiri/meminta ampun karena
tindakannya terhadap orang tua.
b. Harga diri rendah (pelaku/korban penganiayaan seksual yang selamat)
c. Perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan atau tidak berdaya
d. Minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku (mekanisme pertahanan
yang paling dominan/menonjol)
e. Penghindaran atau takut pada orang, tempat, objek tertentu, sikap
menunduk, takut (terutama jika ada pelaku)
f. Melaporkan faktor stress (misalnya keluarga tidak bekerja, perubahan
finansial, pola hidup, perselisihan dalam pernikahan)
g. Permusuhan terhadap/objek/tidak percaya pada orang lain
3. Eliminasi
a. Enuresisi, enkopresis
b. Infeksi saluran kemih yang berulang
c. Perubahan tonus sfingter
4. Makan dan minum : muntah sering, perubahan selera makan (anoreksia), makan
berlebihan, perubahan berat badan, kegagalan memperoleh berat badan yang
sesuai.
5. Hygiene
a. Mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan kondisi cuaca
(penganiayaan seksual) atau tidak adekuat memberi perlindungan.
b. Mandi berlebihan/ansietas (penganiayaan seksual), penampilan kotor/tidak
terpelihara
6. Neurosensori
a. Perilaku ekstrem (tingkah laku sangat agresif/menuntut), sangat amuk atau
pasivitas dan menarik diri, perilaku tidak sesuai dengan usia
b. Status mental : memori tidak sadar periode amnesia, laporan adanya
pengingat Kembali. Pikiran tidak terorganisasi, kesulitan
kosentrasi/membuat keputusan. Afek tidak sesuai, mungkin sangat
waspada, cemas dan depresi.
c. Perubahan alam perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan
penyesalan yang dalam setelah penganiayaan seksual terjadi
d. Kecemburuan patologis, pengendalian impuls yang buruk, keterampilan
koping terbatas, kurang empati terhadap orang lain.
e. Membantung. Menghisap jempol atau perilaku kebiasaan lain : gelisah
(korban selamat).
f. Manifestasi psikiatrik (missal : fenomena disosiatif meliputi kepribadian
ganda (penganiayaan seksual), gangguan kepribadian ambang (korban
inses dewasa)
g. Adanya deficit neurologis/kerusakan SSP tanpa tanda-tanda cedera
eksternal
7. Nyeri atau ketidaknyamanan
a. Bergantung pada cedera/bentuk penganiayaan seksual
b. Berbagai keluhan sosmatik (misalnya nyeri perut, nyeri panggul kronis,
spastik kolon, sakit kepala)
8. Keamanan
a. Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar (tersiram air panas,
rokok) ada bagian botak dikepala, laserasi, perdarahan yang tidak wajar,
ruam/gatal di area genital, fisura anal, goresan kulit, hemoroid, jaringan
perut, perubahan tonus sfingter.
b. Cedera berulang, Riwayat bermacam kecelakaan, fraktur/cedera internal
c. Perilaku mencederai diri sendiri (bunuh diri), keterlibatan dalam aktivitas
dengan resiko tinggi
d. Kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak ada perhatian yang dapat
menghindari bahaya di dalam rumah
9. Seksualitas
a. Perubahan kewaspadaan/aktivitas seksual, meliputi masturbasi kompulsif
permainan seks dewasa sebelum waktunya, kecenderungan mengulang
atau melakukan Kembali pengalaman inses. Kecurangan yang berlebihan
tentang seks, secara seksual menganiaya anak lain.
b. Perdarahan vagina, laserasi himen linier, bagian mukosa berlendir.
c. Adanya PMS, vaginitis, kulit genital atau kehamilan (terutama pada anak).
10. Interaksi social
Merikan diri dari rumah, pola interaksi dalam keluarga secara verbal kurang
responsif, peningkatan penggunaan perintah langsung dan pernyataan kritik,
penurunan penghargaan atau pengakuan verbal, merasa rendah diri.
Pencapaian restasi disekolah rendah atau prestasi di sekolah menurun.

Anda mungkin juga menyukai