1. Pendahuluan
Seksualitas adalah salah satu aspek yang perlu dimiliki oleh seorang
individu dan dirasakan oleh diri mengarah kepada keintiman termasuk perasaan
nyaman, aman, dukungan, cinta dan kasih sayang (Howard, Rienzo, Pigg &
James, 2005 : 99). Pada dasarnya hasrat seksualitas dimiliki oleh setiap manusia
termasuk individu tunagrahita. Bagi individu tunagrahita, perkembangan seksual
muncul sejak masa bayi sama seperti anak normal, karena secara fisik mempunyai
perkembangan yang hampir sama dengan anak normal. Di mana yang
membedakan ialah perkembangan mentalnya yang membuat tingkah lakunya
masih seperti anak-anak.
1
Anak dengan hambatan intelektual mulai menunjukkan ketertarikan
terhadap seks dan penolakan terhadap seks sejak anak berkembang menjadi
dewasa (Hayashi, Arakida, & Ohashi, 2011 : 11). Berdasarkan pernyataan tersebut
diketahui bahwa individu tunagrahita memiliki perkembangan seksual yang
hampir sama dengan individu normal lainnya, yakni ketertarikan seksual mulai
muncul pada masa pubertas atau masa transisi menuju kedewasaan. Akan tetapi
beberapa anak dengan hambatan intelektual tidak dapat menerima perubahan fisik
dan mental yang terjadi pada masa pubertas dan penyimpangan emosi dapat
terjadi ketika anak tidak mampu mengahadapi hasrat seksualnya (Hayashi,
Arakida, & Ohashi, 2011 : 11).
Menurut Kartini Kartono dalam Praptiningrum (2006: 308), bahwa anak
tunagrahita sering melakukan relasi seks yang terlarang atau melakukan
perbuatan-perbuatan yang melanggar norma seksual. Mereka lebih terbuka dalam
hal seksualitas, bermasturbasi di muka umum dan atau memperlihatkan
kelaminnya di depan publik. Berdasarkan penelitian Praptiningrum (2006: 310),
perilaku seksual yang muncul pada anak tunagrahita disebabkan oleh dua faktor,
yaitu faktor dari dalam diri anak dan faktor dari luar diri anak. Faktor dari dalam
diri anak berupa terjadinya perkembangan kemasakan seksual yang meningkatkan
hasrat seksual dan perlu penyaluran. Faktor dari luar diri anak berupa kurang
jelasnya anak menerima informasi pendidikan seksual, meniru perbuatan orang
lain secara langsung maupun melalui televisi, dan mudah dipengaruhi oleh orang
lain. Bagi anak tunagrahita yang memiliki kemampuan mental yang kurang
dibanding anak normal lainnya, membuat anak tunagrahita mudah dipengaruhi
dan atau mudah meniru.
Berdasarkan kedua faktor tersebutlah yang memicu munculnya perilaku
penyimpangan seksual pada anak tunagrahita. Melihat tingginya perilaku
penyimpangan seksual yang menandakan rendahnya pengetahuan seksual anak
tunagrahita menunjukkan bahwa pendidikan seksual sangatlah perlu untuk
diberikan. Akan tetapi pemberian materi pendidikan seksual yang tidak sesuai
dengan kebutuhan atau tingkat pengetahuan anak hanya akan menimbulkan
permasalahan baru. Permasalahan lain yang terjadi selama ini adalah pendidikan
2
seks yang diberikan hanya sebatas pengetahuan yang belum tentu dapat anak
terapkan atau maknai dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan
penelitian Anne Kramers Ollen (2017: 376) yang menyatakan, “There is no
consensus as to whether individuals receiving sexual education are able to
translate this knowledge into real-life situations”. Selain itu, dengan adanya
pendidikan seksual justru memunculkan permasalahan baru di mana anak
tunagrahita menjadi penasaran dengan materi aktivitas seks yang guru berikan.
Sehingga anak berusaha mencari tahu dan melakukan aktivitas seksual tersebut
yang dapat dikatakan sebagai perilaku penyimpangan seksual. Penyebab
munculnya penyimpangan perilaku seks setelah diberikannya materi pendidikan
seksual adalah karena materi yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan seksual anak tunagrahita serta kurangnya keterampilan determinasi
diri anak untuk menentukan apa yang boleh dan tidak dilakukan.
Determinasi diri memiliki keterkaitan kuat dengan pendidikan seksual.
Comprehensive sexuality education is a right of people with disabilities because it
leads to enhanced self-determinations. Because positive self-perception about
one's own sexuality is critical to healthy sexual development (NCASH dalam
Travers et all., 2014: 232). Wehmeyer (1996: 18), self-determination is "acting as
the primary causal agent in one's life and making choices and decisions regarding
one's quality of life free from undue external influence or interference."
Kurangnya keterampilan determinasi diri pada anak tunagrahita membuat anak
tunagrahita mudah terpengaruh oleh faktor dari luar diri anak seperti misalnya
lingkungan. Sehingga tanpa adanya keterampilan determinasi diri yang baik, maka
perilaku dan pengetahuan positif yang sudah dibangun oleh pendidik dapat
dengan mudah tergeser oleh pengaruh negatif dari faktor luar diri anak yang
mengakibatkan kembalinya muncul perilaku penyimpangan seksual.
Tulisan ini bertujuan membahas model pembelajaran determinasi diri
untuk dirumuskan model pengaplikasiannya dalam layanan pendidikan seksual
anak tunagrahita ringan guna menangani perilaku penyimpangan seksual yang
banyak dilakukan oleh anak tunagrahita ringan. Model pembelajaran determinasi
diri dipilih karena keterampilan determinasi diri sangat diperlukan untuk
3
melindungi pengetahuan positif mengenai seksual yang akan diajarkan dari faktor-
faktor negative di lingkungan sekitar anak. Sehingga pengetahuan positif yang
anak miliki tidak mudah tergeser dan dapat anak terapkan dalam kehidupan
sehari-harinya.
Beberapa pertanyaan pokok yang ingin dijawab melalui tulisan ini adalah:
(1) Bagaimana norma sosial perilaku seksual di masyarakat? (2) Bagaimana
materi pendidikan seksual bagi anak tunagrahita ringan? (3) Bagaimana
keterkaitan determinasi diri dengan pendidikan seksual penanganan perilaku
penyimpangan seksual pada anak tunagrahita ringan? (4) model pembelajaran
determinasi diri seperti apa yang cocok diterapkan dalam pengajaran pendidikan
seksual bagi anak tunagrahita ringan? (5) Bagaimana prosedur pelaksanaan
pendidikan seksual berbasis determinasi diri? (6) Bagaimana model hipotetik
aplikasi determinasi diri dalam pendidikan seksual bagi anak tunagrahita ringan?.
2. Metodologi
Metode penelitian yang digunakan dalam menyusun model hipotetik ini
adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik Book survey, di mana data yang
digunakan adalah hasil kajian konseptual dan data hasil penelitian dari berbagai
pihak kemudian disusun jadi satu model.
4
Tabel 1. Standar Norma yang berlaku dalam masyarakat
Boleh dilakukan Tidak Boleh dilakukan
Saling memandang Mencium Pipi
Saling berpegangan tangan Mencium Bibir
(menuntun, menggandeng, Memegang Payudara
memegang bahu) Memegang Alat Kelamin
Saling berpelukan Berhubungan seks
5
3) Problematika Seksual
4) Pembiasaan Diri untuk Menutup Aurat
5) Pendidikan Keimanan
6) Menjaga Kebersihan Seks (alat kelamin)
Beberapa materi kebersihan seks yang harus diberikan kapada anak
berkebutuhan khusus antara lain: menjaga kebersihan organ vital setelah buang
hajat dan kondisi organ vital tersebut berkeringat. Sebab katika tidak dibersihkan,
maka selain organ vital kotor terkena najis lama kelaman akan tumbuh jamur yang
bersarang ditubuhnya. Jamur tersebut merupakan bibit-bibit penyakit yang harus
dibersihkan secara rutin. Selain itu anak juga dibiasakan untuk mandi sehari dua
kali lalu mengganti pakaian yang bersih.Anak berkebutuhan khusus ini juga harus
diperkenalkan tentang menstruasi pada anak perempuan, dan mimpi basah pada
anak laki-laki.
Berdasarkan pemaparan beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
materi pendidikan seks anak berkebutuhan lebih ditekakan pada aspek memahami
perbedaan cara hidup, dari perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan,
tanda- tanda mengalami masa pubertas seperti perempuan menstruasi dan laki-laki
mengalami mimpi basah, sikap terhadap lawan jenis, menjaga kebersihan diri,
menjaga bagian tubuh pribadi dari orang lain. Mengingat anak tunagrahita anak
yang memiliki intelektual yang rendah dan sulit dalam berpikir abstrak maka
materi disusun lebih sederhana yaitu agar anak paham dengan informasi yang
akan disampaikan dalam papan bmbingan.
Pendidikan seks untuk anak tunagrahita berbeda dengan pendidikan seks
untuk anak normal maupun anak berkebutuhan khusus lainnya, karena dilihat dari
karakteristik anak tunagrahita ringan adalah anak yang memiliki intelektual
dibawah rata-rata yang mengalami hambatan pada kognitif dan dalam berpikir
abstrak. Mengingat hal tersebut maka penelitian ini memfokuska materi
pendidikan seks yang diberikan pada anak tunagrahi mencakup hal yang
sederhana untuk membedakan laki-laki d perempuan melalui atribut berupa
permainan dan pakaian yan dikenakan, mengenal tanda-tanda perupahan fisik
masa pubertas, mengenal alat kelamin, menjaga kesehatan alat kelamin da
6
menjaga bagian tubuh pribadi. Materi tersebut disusun melalui gambar-gambar
dan cerpen yang diberi simbol dan kalimat sederhana hal ini dikarenakan anak
tunagrahita minim dalam bahasa.
Pendidikan seks untuk anak tunagrahita lebih memiliki materi yang
sederhana yaitu meliputi :
1) Perbedaan jenis kelamin menurut atribut pakaian
Perempuan : Rok panjang, rok pendek, daster
Laki-laki : Celana panjang, kemeja
2) Perbedaan jenis kelamin menrut atribut permainan
Perempuan : permainan masak-masakan, boneka
Laki-laki : sepak bola, robot-robotan, mobil-mobilan, kelereng
3) Tanda-tanda perubahan fisik pada saat memasuki masa pubertas
Perempuan : dada membesar, pinggul membesar, terjadi menstruasi
(menjelaskan seorang wanita akan tumbuh dewasa ketika anak mengeluarkan
darah pada alat kelaminnya).
Laki-laki : tumbuh kumis, dada membidang, suara membesar, terjadi mimpi
basah.
4) Mengenal alat kelamin dan fungsinya
Perempuan : Vagina , ovarium
Laki-laki : Penis
5) Menjaga kesehatan alat kelamin
Menanamkan sikap dalam menghadapi dan melindung diri dari kekerasan
seksual terhadap orang lain yang termuat dalam aspek menjaga bagian tubuh
yang bersifat pribadi.
Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut, dalam penelitian ini materi
pendidikan seksual akan difokuskan kepada anatomi tubuh, konsep privasi dan
publik, sikap yang pantas dan tidak pantas dilakukan sesuai dengan norma yang
berlaku pada masyarakat. Berikut adalah materi yang akan diajarkan untuk
mengatasi perilaku penyimpangan seksual yang biasa dilakukan anak tunagrahita
ringan.
7
Tabel 2. Materi dan Target Perilaku Penyimpangan Seksual
Materi Perilaku Penyimpangan Seksual
Perbedaan Jenis Kelamin
Pubertas Sexual Offending
Umum dan Privasi Sexual Abuse
Batasan Sikap Seksual (Appropriate Ekspresi Seksual
dan Inappropriate)
8
memiliki peran penting terhadap keberhasilan individu hambatan intelektual
dalam akademik maupun masa transisi setelah lulus sekolah.
9
Beyond High School (BHS), NEXT S.T.E.P, Self-Advocacy Strtaegy, dan
Multicomponent Model Self-Determination. Dari enam model pembelajaran, ada
tiga model pembelajaran yaitu WFA, Self-Advocacy, dan NEXT S.T.E.P yang
dalam aplikasinya hanya fokus pada transisi siswa dari sekolah ke dunia kerja atau
pendidikan tinggi. Padahal ketika melihat kebutuhan belajar keterampilan
determinasi diri dalam semua aspek. Ketiga model pembelajaran kurang mampu
memfasilitasi pendidik untuk memberikan keterampilan determinasi diri di semua
aspek kehidupan. Untuk model pembelajaran Beyond High School dan SDLMI
memiliki kelebihan dibandingkan dengan empat model pembelajaran lainnya.
Model pembelajaran SDLMI dapat digunakan di berbagai bidang belajar, mulai
dari akademik, kejuruan, karir, interaksi sosial, keterampilan manajemen diri, dan
hal-hal lain yang dapat dipikirkan oleh siswa (Shogren et al., 2017). Sejalan
dengan SDLMI, model pembelajaran BHS juga dapat diterapkan ke dalam bidang
belajar lain tidak hanya karir. Model pembelajaran BHS dapat diterapkan pada
masa perancangan IEP saat anak akan menerima pendidikan di sekolah. Jika
melihat kebutuhan pendidik dan siswa hambatan intelektual di lapangan untuk
memberikan keterampilan belajar keterampilan determinasi diri di semua aspek
kehidupan, maka model pembelajaran Beyond High School dan SDLMI menjadi
pilihan yang lebih tepat bagi para pendidik gunakan.
10
Berdasarkan Self-Determined Learning Model of Instruction (Shogren,
2017: 4-5), ada 3 kelompok karakteristik sikap yang tercakup dalam keterampilan
determinasi diri, sebagai berikut:
1) Volitional Action
Definisi Contoh
Autonomy Bersikap berdasarkan Anak memilih club
ketertarikan dan sebagai bagian dari
kemampuan tanpa sekolah sesuai dengan
terpengaruh faktor luar. apa yang paling
disukai.
Self-Initiation Identifikasi dan memulai Anak memilih club
bekerja sesuai tujuan dan mendaki karena
menggunakan pengalaman pernah ikut berkemah
untuk mengerti yang lebih dan anak
disuka dan ketertarikannya. menyukainya.
2) Agentic Action
Definisi Contoh
Self- Memanage tindakan Anak ingin pergi menonton film
Regulation sebagai usaha dalam dengan temannya dan perlu
mencapai tujuan- berkendara untuk sampai tujuan,
memiliki system untuk maka anak meminta temannya
menjaga jalur kemajuan untuk menjemput dan mereka
dan evaluasi luaran. melakukannya.
Self- Dengan bebas memilih Anak menyukai sepak bola dan
Direction tujuan dan mengakui ingin menjadi kapten tim, dan
dan merespon tantangan anak menerima posisi tersebut
dan kesempatan. ketika ditawarkan kepadanya.
Pathways Mampu Anak tidak memiliki buku yang
Thinking mengidentifikasi diperlukannya untuk
banyak cara untuk mengerjakan tugas, maka anak
menyelesaikan masalah berpikir untuk mengambilnya di
dan mencapai tujuan. loker datau meminjam buku dari
temannya.
11
3) Action-Control Beliefs
Definisi Contoh
Psychological Percaya bahwa kamu Anak menyimpan uang
Empowerment punya apa yang kamu saku sekolah dan
perlukan untuk mencapai menabungnya untuk
tujuan dan kamu bisa biaya sekolah
mencapainya jika kamu selanjutnya.
mencoba
Self- Menggunakan kekuatan Anak memutuskan ingin
Realization dan kelemahan yang menjadi ketua kelas
kamu tahu untuk karena ia tahu bahwa ia
mengambil tindakan sangat baik dalam
terbaik untukmu. bekerja dengan grup
besar.
Control Percaya bahwa kamu Anak tahu bahwa dia
Expectancy bisa menggunakan perlu bantuan dalam
keterampilanmu dan matematika dan giat
orang di sekitarmu untuk belajar selama les setelah
mempengaruhi sekolah untuk
lingkunganmu dan meyakinkan diri
mencapai tujuan mendapatkan nilai baik.
12
pertanyaan tersebut. Pada fase ini pertanyaan yang diberikan berupa: apa
yang ingin siswa pelajari, apa yang sudah siswa ketahui, apa yang harus
dirubah agar siswa dapat belajar apa yang siswa belum ketahui, dan tindakan
apa yang sebaiknya siswa ambil untuk mengetahui .
2) Taking Action (masalah untuk siswa pecahkan: apa rencana saya?)
Pada fase kedua, guru memberikan instuksi berupa pertanyaan yang
mengarahkan kepada rencana yang akan digunakan siswa untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan, serta untuk memonitori dirinya sendiri
mengenai progress dari rencana yang telah disusun untuk mencapai tujuan.
3) Adjust Goal or Plan (masalah untuk siswa pecahkan: Apa yang telah saya
pelajari?)
Setelah melakukan tindakan sesuai dengan rencana dalam mencapai tujuan,
siswa mengevaluasi dirinya sendiri sesuai dengan arahan guru. Untuk
mengetahui apakah tujuan yang diinginkan tercapai atau tidak, serta untuk
menentukan tindak lanjut dari rencana dan tujuan yang telah ditetapkan.
13
3. Komponen proses adalah pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan prosedur
model pembelajaran SDLMI. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi serta tindak lanjut dari pelaksanaan model.
4. Komponen produk berupa prestasi pencapaian siswa, yakni eliminasi atau
berkurangnya perilaku penyimpangan seksual.
4. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan:
1. Keterampilan determinasi diri berkaitan dengan pendidikan seksual, di mana
keterampilan determinasi diri penting untuk dimiliki anak tunagrahita guna
mengendalikan diri. Sehingga perilaku penyimpangan seksual anak
tunagrahita ringan dapat diminimalisir hingga dihilangkan.
2. Model pembelajaran determinasi diri dapat diterapkan dalam pendidikan
seksual, karena keterampilan determinasi diri dapat diterapkan dalam seluruh
aspek kehidupan manusia.
3. SDLMI menjadi model pembelajaran yang dipilih, karena ciri khas SDLMI
sesuai dengan kebutuhan pembelajaran yang ada di lapangan.
4. Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk menilai keefektifan model SDLMI
dalam pendidikan seksual anak tunagrahita ringan dalam menangani perilaku
penyimpangan seksual.
Referensi
Anne Kranners-Ollen. 2017. Quantitative Assessment of Sexual Knowledge and
Consent Capacity in People With Mild to Moderate Intellectual Disability.
South Africa Journal of Psychology Vol. 47 (3) 367-378.
Hayashi, M., Arakida, M., & Ohashi, K. (2011). The Effectiveness of a Sex
Education Program Facilitating Social Skills for People With Intellectual
Disability in Japan. Journal of Intellectual and Developmental Disabilities,
36, 11-19.
Hellemans, H.; Colson, K. (2007). Sexual Behavior in High-Functioning Male
Adolescent and Young Adults with Autism Spectrum Disorder. J Autism
Dev Disorder 37:260-269.
14
Howard, M., Rienzo, B., Pigg, M., & James, D. (2005). Teacher Beliefs,
Professional Preparation, and Practices Regarding Exceptional Students
and Sexuality Education. Journal of School Health, 75, 99-104.
Praptiningrum. (2006). Pendidikan Seksual Bagi Anak Tunagrahita. Jurnal
Pendidikan Khusus Vol. 2 No. 1 2006
Ronghua, J & Stanley, O.N. (2014). Theories and Research in Educational
Technology and Distance Learning Instruction Through Blackboard.
Jurnal. Universal Journal of Educational Research, Vol.2 (2): 161-172.
Safrudin Aziz. (2015). Pendidikan Seks Anak Berkebutuhan Khusus.Yogyakarta:
Gava Media
Shogren, K. A., Wehmeyer, M. L., Burke, K.M., & Palmer, S, B. (2017). The Self
Determination Learning Model of Instruction: Teacher’s Guide.
Lawrence, KS: Kansas University Center on Developmental Disabilities.
Stein, S., & Dillenburger, K. (2017). Ethics in Sexual Behavior Assessment and
Support for People With Intellectual Disability. International Journal of
Disability and Human Development, 16(1), 11-17.
Supriyadi. (2013). Developing Teaching Materials of Writing Scientific Paper
Using Constructvision Approach. Jurnal. Journal of Education and
Practice, Vol.4, No.24: 34-42.
Taylor, R, L., Richard, S, B., & Braddy, M. (2005). Mental Retardation:
Historical Perspectives, Current Practices, and Future Directions. Boston:
Allyn & Bacon.
Waltz, M. 2013. Pervasive Developmental Disorders: Diagnosis, Options and
Answers. Future Horizons, Texas.
Wehmeyer, M, L., Kelchner, K., & Richards, S. (1996). Essential Characteristics
of Self-Determined Behaviors of Adults With Mental Retadation and
Developmental Disabilities. American Journal on Mental Retardation, 100,
632-642.
Wehmeyer M., Bersani, H., & Cagne, R. (2000). Riding The Third Wave: Self
Determination and Self-Advocacy in The 21st Century. Focus on Autism
and Other Developmental Disabilities, 15, 106-115.
15