Anda di halaman 1dari 5

KONSTITUSIONALITAS SEX EDUCATION BAGI ANAK

Alif Utama Kadir1, Muti’a Khaerani2, Audhatul Faidz3, Tuhfah Fadhilah4, Arliansyah5,
Muhammad Hafiz R6
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Jl. Sultan Alauddin No.63, Romangpolong, Kec. Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 92113

ABSTRAK
Pendidikan sex adalah suatu pengetahuan yang kita ajarkan mengenai segala sesuatu yang
berhubungan dengan jenis kelamin. Ini mencakup mulai dari pertumbuhan jenis kelamin (laki-
laki atau wanita). Bagaimana fungsi kelamin sebagai alat reproduksi. Bagaimana perkembangan
alat kelamin itu pada wanita dan laki-laki. Tentang menstruasi, mimpi basah dan sebagainya,
sampai kepada timbulnya birahi karena adanya perubahan pada hormon-hormon. Termasuk
nantinya masalah perkawinan, kehamilan dan sebagainya. Sex education ini bertujuan agar anak
remaja mengetahui atau mempunyai pola pikir lebih lurus tentang sex sehingga dapat
memproteksi diri dari hal-hal negatif yang akan terjadi.
Kata Kunci: Pendidikan Sex, Remaja, Reproduksi.
Pendahuluan:
Pendidikan Sex adalah suatu pengetahuan yang kita ajarkan mengenai segala sesuatu yang
berhubungan dengan jenis kelamin. Ini mencakup mulai dari pertumbuhan jenis kelamin (Laki-
laki atau wanita). Bagaimana fungsi kelamin sebagai alat reproduksi. Bagaimana perkembangan
alat kelamin itu pada wanita dan pada laki-laki. Tentang menstruasi, mimpi basah dan
sebagainya, sampai kepada timbulnya birahi karena adanya perubahan pada hormon-hormon.
Termasuk nantinya masalah perkawinan, kehamilan dan sebagainya.
Pendidikan seks atau pendidikan mengenai kesehatan reproduksi atau yang lebih trend-nya “sex
education” sudah seharusnya diberikan kepada anak-anak yang sudah beranjak dewasa atau
remaja, baik melalui pendidikan formal maupun informal. Ini penting untuk mencegah biasnya
sex-education maupun pengetahuan tentang kesehatan reproduksi di kalangan remaja.
Seks adalah kebutuhan yang secara alami melekat pada setiap manusia, tidak terkecuali para
remaja. Sudah seharusnya sekolah memberikan jawaban bagi kebutuhan seksual remaja agar
tidak menyimpang. Akan tetapi, sekolah saat ini hanya sebatas memberikan pengetahuan tanpa
kesadaran akan nilai dan norma dalam seks. Sehingga yang terjadi adalah pelanggaran-
pelangaran seks dan penyalahgunaan alatalat keamanan seks sebagai cara aman melakukan seks.
Penelitian ini berusaha untuk menemukan titik permasalahan dalam pendidikan seks yang belum
mampu memberikan dampak yang signifikan pada peserta didik. Pendidikan seks yang diberikan
secara terpisah-pisah menyebabkan sekat dalam pemahaman peserta didik. Pendidikan seks
semestinya disampaikan secara terpadu antara agama dan sains sehingga tidak menimbulkan
dikotomi pemahaman. Diharapkan setiap peserta didik tidak hanya mampu mengetahui seks
(sains) namun juga menyadari nilai dan norma seks (agama). (J. Mark Halstread 2006). Dari
pendapat diatas bahwa tujuan utama dilakukannya pendidikan seks di sekolah itu adalah untuk
mengurangi terjadinya pergaulan bebas dan bentuk-bentuk seks lainnya yang bisa
menghancurkan akhlak anak bangsa.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh para tokoh yang memiliki wewenang tentang
hal tersebut, adapun tokoh yang melakukan penelitian tersebut adalah sebagai berikut: Sarwono
(1970) meneliti 117 remaja di Jakarta dan menemukan bahwa 4,1% pernah melakukan hubungan
seks. Beberapa tahun kemudian, Eko (1983) meneliti 461 remaja, dan dari penelitian ini
diperoleh data bahwa 8,2% di antaranya pernah melakukan hubungan seks dan 10% di antaranya
menganggap bahwa hubungan seks pra nikah adalah wajar. Di Semarang, Satoto (1992)
mengadakan penelitian terhadap 1086 responden pelajar SMP-SMU dan menemukan data bahwa
4,1% remaja putra dan 5,1% remaja putri pernah melakukan hubungan seks. Pada tahun yang
sama Tjitarra mensurvei 205 remaja yang hamil tanpa dikehendaki. Survei yang dilakukan
Tjitarra juga memaparkan bahwa mayoritas dari mereka berpendidikan SMA ke atas, 23% di
antaranya berusia 15 – 20 tahun, dan 77% berusia 20 – 25 tahun.
(dokterkecil.wordpress.com/2011) Dari data diatas begitu terpuruknya peradaban anak remaja
saat ini karena kalau kita lihat dari hasil penelitian ini begitu banyak anak-anak bangsa yang
tidak lagi perawan. Kalau kita perhatikan akhlak remaja saat sekarang membuktikan bahwa
pendidikan kita belum begitu berpengaruh terhadap pola fikir anak remaja kita dan diharapkan
dengan adanya pendidikan seks disekolah bisa mengurangi perbuatan seks diantara anak remaja
dan terhindar dari maksiat.
Ruang lingkup kurikulum pendidikan seks yang dapat diberikan kepada peserta didik antara lain
penciptaan manusia atau proses terjadinya pembuahan. Perkembangan pria dan wanita secara
fisik dan psikis, perilaku seksual, dan kesehatan seksual. Rancangan kurikulum juga dapat
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing sekolah. Sedangkan informasi yang
dapat disampaikan adalah masalah reproduksi, proses kelahiran, program keluarga berencana,
perilaku seksual menyimpang, kejahatan seks atau perlindungan hukum yang memang sebaiknya
diketahui para pelajar. Disamping juga kurikulum yang harus dipersiapkan adalah guru
pengajarnya. Jangan sampai pendidikan seks yang bertujuan sebagai tidakan preventif masalah
menjadi ajang pembahasan seks di luar konteks pendidikan. Untuk mendukung kurikulum
pendidikan seks disekolah maka perlu didukung oleh orang tua siswa. Hal ini karena tanggung
jawab keberhasilan pendidikan seks bukanlah semata- mata ditentukan kurikulum sekolah tetapi
juga peran keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Metode Penelitian :
Dalam penyusunan artikel ini yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research)
yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara turun langsung ke daerah objek penelitian guna
memperoleh data yang berhubungan dengan judul artikel, kemudian didukung dengan penelitian
kepustakaan (Library Research), yaitu metode penelitian yang digunakan untuk mencari data
dengan membaca dan menelaah sumber tertulis yang menjadi bahan dalam penyusunan dan
pembahasan permasalahan dengan penelitian pustaka.
Pembahasan :
Edukasi seks yang diberikan kepada anak harus dapat membantu mereka memahami sesuatu
yang baik dan buruk, serta yang dapat dan tidak dapat dilakukan berkenaan dengan seks. Selain
itu dengan pengenalan gender, anak menjadi sadar akan perilaku yang berhubungan dengan
kejahatan seks (Ratnasari & Alias, 2016). Sehingga pembekalan pendidikan seks ini bukan hanya
sekedar wacana, namun sudah menjadi praktik yang diterapkan agar anak dapat melindungi
dirinya dari berbagai penyimpangan serta paham betul dampak dari penyimpangan yang
dilakukan (Nawafilaty, 2019). Pentingnya pengetahuan tentang seks education ini sehingga
program prasekolah tersebut merupakan suatu langkah dalam memfasilitasi setiap perkembangan
anak yang bersifat unik dan luas yang dan berdampak penting terhadap optimalisasinya aspek
perkembangnnya (Hapsari et al., 2022). Perkembangan seksual anak berkembang sejak lahir,
oleh karena itu seharusnya pendidikan seks juga diberikan kepada anak sejak dini, bahkan dapat
dimulai sejak anak berusia 0-3 tahun (Tampubolon et al., 2019).
Hal tersebut dilakukan karena dalam memberikan pendidikan seks kepada anak tidak dapat
diberikan secara instan, namun harus diberikan secara bertahap sesuai dengan tahapan
perkembangan anak dan dapat diajarkan dimulai dengan hal-hal yang sederhana hingga menjadi
suatu kebiasaan sehari-hari bagi anak (Jatmikowati, T. E., Angin, R., & Ernawati, 2015).
Tentunya orang tua serta guru bertanggung jawab akan hal ini.
Implementasi Kebijakan Pendidikan Seksual Pada Remaja di Indonesia
Pendidikan seksualitas komprehensif/ Comprehensive Sexual Education (CSE) adalah proses
pengajaran dan pembelajaran berbasis kurikulum tentang aspek kognitif, emosional, fisik dan
sosial dari seksualitas. Ini bertujuan untuk memperlengkapi anak-anak dan remaja dengan
pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang akan memberdayakan mereka untuk
mewujudkan kesehatan, kesejahteraan, dan martabat mereka; mengembangkan hubungan sosial
dan seksual yang saling menghormati; mempertimbangkan bagaimana pilihan mereka
mempengaruhi kesejahteraan mereka sendiri dan orang lain; dan memahami dan memastikan
perlindungan hak-hak mereka sepanjang hidup mereka(19)(20).
Remaja membutuhkan CSE. Ketika mereka beralih dari masa kanak-kanak ke dewasa,
remaja menjalani sejumlah perubahan fisik, emosional dan sosial. Studi menunjukkan bahwa
mereka sering tidak siap untuk perubahan ini. Sebagai contoh, sejumlah besar gadis di banyak
negara memiliki kesenjangan pengetahuan dan kesalahpahaman tentang menstruasi yang
menyebabkan ketakutan dan cemas dan biarkan mereka tidak siap ketika mereka mulai
menstruasi. Demikian pula, kesenjangan kritis dalam pengetahuan ada di antara gadis remaja,
terutama di Afrika dan Asia, tentang dimana mendapatkan dan cara menggunakan berbagai
metode kontrasepsi modern(22). Selain itu, meski pengetahuan komprehensif tentang HIV telah
meningkat, masih hanya sekitar 1 dari 3 pria dan wanita muda berusia 15-24 tahun dari 37
negara yang disurvei antara 2011 dan 2016 memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang
cara mencegah penularan HIV(23). Remaja membutuhkan pengetahuan dan keterampilan untuk
membuat informasi yang baik pilihan tentang kehidupan mereka, belajar bagaimana menghindari
dan menangani masalah, dan tahu ke mana harus pergi mencari bantuan jika perlu. CSE dapat
membanturemaja untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahaman; nilai-nilai positif,
termasuk penghormatan terhadap kesetaraan jender, keragaman dan hak asasi manusia; dan sikap
dan keterampilan yang berkontribusi pada hubungan yang aman, sehat dan positif. CSE telah
terbukti efektif. Ada bukti kuat untuk efek positif CSE meningkatkan pengetahuan remaja dan
meningkatkan sikap mereka terkait dengan seksual dan reproduksi kesehatan .
Penelitian juga menunjukkan bahwa program CSE berbasis kurikulum dapat berkontribusi
keterlambatan inisiasi hubungan seksual, penurunan frekuensi hubungan seksual, menurun
jumlah pasangan seksual, pengurangan risiko, peningkatan penggunaan kondom, dan
peningkatan penggunaan kontrasepsi (20). Tidak ada bukti bahwa CSE meningkatkan aktivitas
seksual, pengambilan risiko seksual perilaku, atau tingkat HIV atau IMS lainnya CSE berbasis
sekolah juga telah terbukti intervensi yang hemat biaya untuk berkontribusi pada pencegahan
HIV.
Namun, akses dan penyediaan program CSE berkualitas baik perlu mendapat perhatian.
Kebanyakan negara memiliki kebijakan atau strategi yang mendukung CSE, tetapi sedikit yang
telah menerapkan dan mempertahankan skala besar Program CSE . Banyak negara yang telah
mengimplementasikan program CSE skala besar berjuang dengan memastikan kualitas dan
kesetiaan . Selain itu, kemampuan untuk mengakses CSE seringkali berdasarkan berada di
sekolah - tetapi remaja yang paling terpinggirkan, yang sering paling berisiko hasil kesehatan
seksual dan reproduksi yang buruk, seringkali paling tidak mungkin ada di sekolah . Program
kesehatan reproduksi remaja di Indonesia di atur dalam PP nomor 61 tahun 2014 yaitu pelayanan
kesehatan reproduksi remaja bertujuan untuk melindungi remaja dari perilaku seksual berisiko
yang berdampak terhadap kesehatan reproduksinya dan mempersiapkan remaja untuk
menjalankan kehidupan reproduksi yang sehat dan bertanggungjawab. Pelayanan yang diberikan
dengan menerapkan pelayanan yang peduli remaja dan disesuaikan dengan permasalahannya
dengan memperhatikan kesetaraan gender, moral, nilai agama dan perkembangan mentalnya.
Namun demikian implementasinya belum sesuai dengan arahan undang-undang tersebut.
Penelitian Rohmiyanti, dkk, 2015, Hildie Leung, 2019: menyatakan bahwa pendidikan
seksual remaja hendaknya dilakukan dengan bersahabat dan disesuaikan dengan karakteristik
remaja. Pendidikan seksual pada remaja hendaknya dilakukan secara komprehensif dengan
melibatkan orang tua, masyarakat, sekolah dan pemerintah, selain itu pendidikan seksual yang
diintegrasikan ke dalam kurikulum merupakan cara efektif untuk keberhasilan program (Das
Salirawati, 2014: Rohmayantim 2015: Nwokocha E:2015: Nicodemus R Toun, 2015: A. Sadiq
Sani, 2016: M. Fashihullisan , 2016: Kurniasih N , 2017: Singh, Rajnesh D, 2018: Rahmawati I,
2018: Joseph Mumba Zulu, 2019: Dohan M, 2020). Materi agama dan pendidikan moral
merupakan cara yang efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan mencegah perilaku seks
pranikah pada remaja (Peltzer K: 2016: Tirtawinata CM, 2016) Selain itu mempertimbangkan
aspek budaya dan tata nilai, norma yang berlaku di masyarakat juga sangat menentukan
keberhasilan program pendidikan seksual remaja (Lubombo M: 2018).
Kesimpulan :

Daftar Pustaka:
Awaludin, L. (2008). Cerdas Seksual ”Sex education for teenagers”. Bandung: Shofie Media.
Madani, Y. (2003). Pendidikan Seks Untuk Anak Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Zahra.
Rahman, A. F. S., Furqoni, A. L., Sitanggang, A. D. A. A., Yasmin, S. S. S., Istiqomah, S., &
Prayitno,
A. G. (2020). Sosialisasi Mengenai Narkoba Dan Sex Education SMA Negeri 6 Balikpapan.
JMM Jurnal Masyarakat Merdeka, 2(2).
Solihin, S. (2015). Pendidikan Seks Untuk Anak Usiadini. JPsd (Jurnal Pendidikan Sekolah
Dasar),1(2), 56-73.
WHO, Sexual health and its linkages to reproductive health: an operational approach.Geneva:
World Health Organization; 2017
UNESCO, Revised edition: international technical guidance on sexuality education –an
evidence-informed approach. Paris: United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization; 2018.
Chandra-Mouli V, Vipul Patel S. Mapping the knowledge and understanding of menarche,
menstrual hygiene and menstrual health among adolescent girls in lowand middle-income
countries. Reprod Health. 2017;1(14):14–30
Kivela-Kempers J, Ketting E, Baltussen R. Cost and cost-effectiveness analysis of school-based
sexuality education programmes in six countries. Paris: United Nations Educational,
Scientific and Cultural Organization; 2011.

Anda mungkin juga menyukai