pada usia sekitar 20 tahun, yang berakibat tubuh tidak akan bertambah tinggi
lagi, payudara tidak akan membesar lagi, dan pinggul tidak akan bertambah
lebar (BKKBN, 2001). 2) Perkembangan Psikososial pada Masa Remaja
Kesadaran akan bentuk fisik yang bukan lagi anak-anak akan menjadikan
remaja sadar meninggalkan tingkah laku anak-anaknya dan mengikuti norma,
serta aturan yang berlaku (Arma, 2007). Perubahan psikologis terjadi
disebabkan oleh adanya perubahan-perubahan kebutuhan, konflik nilai antara
keluarga dan dunia luar, serta terjadinya perubahan fisik. Perubahan
psikologis yang dimaksud seperti remaja menjadi sangat sensitive, sering
bersikap irasional, mudah tersinggung, bahkan stress (BKKBN, 2008).
Menurut Havigrust aspek psikologis yang menyertai masa remaja adalah : (a)
Menerima kenyataan (realitas) jasmani. (b) Mencapai hubungan sosial yang
lebih matang dengan teman-teman sebaya. (c) Menjalankan peran-peran
social menurut jenis kelamin sesuaikan dengan norma. (d) Mencapai
kebebasan emosional (tidak tergantung) pada orang tua atau orang dewasa
lain. (e) Mengembangkan kecakapan intelektual serta konsep untuk
bermasyarakat. (f) Memilih dan mempersiapkan diri untuk suatu pekerjaan
atau jabatan. Mencapai kebebasan ekonomi, merasa mampu hidup dengan
nafkah sendiri. Mempersiapkan diri untuk melakukan perkawinan (Arma,
2007). 2. Kebijakan Teknis Operasional Kebijakan teknis operasional
kesehatan reproduksi remaja (Widyastuti, dkk, 2009) adalah a. Meningkatkan
promosi kesehatan reproduksi remaja b. Meningkatkan sokongan (advokasi)
kesehatan reproduksi remaja c. KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi)
kesehatan reproduksi remaja d. Meningkatkan aktivitas konseling remaja
melalui KIE e. Meningkatkan dukungan pelayanan remaja yang memiliki
masalah khusus f. Meningkatkan dukungan bagi kegiatan remaja yang positif
3. Masalah Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) a. Pengetahuan yang tidak
lengkap dan tidak tepat tentang maslah seksualitas, misalnya mitos yang tidak
benar. b. Kurangnya bimbingan untuk bersikap positif dalam hal yang
berkaitan dengan seksulitas. c. Penyalahgunaan dan ketergantungan napza,
yang mengarah kepada penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik dan melalui
hubungan seks bebas. Masalah ini semakin mengkhawatirkan dewasa ini. d.
Penyalahgunaan seksual. e. Kehamilan remaja. f. Kehamilan pra nikah/di luar
ikatan pernikahan. B. Pentingnya Pendidikan Seks Remaja Disekolah 1.
Pengertian a. Pendidikan kesehatan adalah suatu proses perubahan pada diri
seseorang yang dihubungkan dengan pencapaian tujuan kesehatan individu,
dan masyarakat. Pendidikan kesehatan tidak dapat diberikan kepada
remaja laki-laki menyebutkan membatasi jumlah pasangan (jangan bergantiganti pasangan seksual) sebagai cara menghindari HIV/ AIDS. Sementara,
data dari Kemenkes tahun 2010 menunjukkan bahwa hampir separuh
(47,8%), kasus AIDS berdasarkan usia juga diduduki oleh kelompok usia
muda (20-29 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa perilaku seks beresiko terjadi
pada usia remaja. Oleh karena itu, rendahnya pengetahuan tersebut
menjadikan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual penting untuk
diberikan. Menurut Donovan (1998), pendidikan seksualitas memiliki tujuan
utama untuk memberikan informasi kepada remaja untuk memberdayakan
mereka dalam membangun nilai dan keterampilan berelasi yang
memampukan mereka membuat keputusan yang bertanggung jawab untuk
menjadi orang dewasa yang sehat secara seksual. Fine dan McClelland
(2006), menyatakan bahwa dalam pendidikan seksualitas perlu
mendiskusikan hasrat seksual agar siswa dapat membangun subyetivitasnya
dan tanggung jawabnya sebagai makhluk seksual. Hal ini berarti perlunya
melihat remaja sebagai makhluk seksual daripada menegasikan seksualitas
mereka dalam memberikan pendidikan seksualitas. IPPF (2010) menawarkan
konsep pendidikan seksualitas yang komprehensif berbasiskan hak yang
ditujukan agar remaja memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilainilai yang mereka butuhkan untuk menentukan dan menikmati seksualitas
mereka baik secara fisik maupun psikis,secara individual maupun dalam
berelasi. Dalam kerangka pendidikan IPPF tersebut, pemberian informasi saja
tidaklah cukup, remaja perlu diberikan kesempatan agar dapat
mengembangkan keterampilan untuk membangun sikap dan nilai yang positif
terhadap seksualitas mereka. (Makara Seri Kesehatan, 2013, 17(2): 79-87
DOI: 10.7454/msk.v17i2.xxxx) Menurut M. Sofyan Sauri, S.Sos selaku senior
koordinator Centra Mitra Remaja (CMR) yang merupakan salah satu unit
kegiatan dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) , ada dua
faktor mengapa sex education sangat penting bagi remaja. Faktor pertama
adalah di mana anak-anak tumbuh menjadi remaja, mereka belum paham
dengan sex education, sebab orang tua masih menganggap bahwa
membicarakan mengenai seks adahal hal yang tabu. Sehingga dari ketidak
fahaman tersebut para remaja merasa tidak bertanggung jawab dengan seks
atau kesehatan anatomi reproduksinya. Faktor kedua, dari ketidakfahaman
remaja tentang seks dan kesehatan anatomi reproduksi mereka, di lingkungan
sosial masyarakat, hal lain ditawarkan hanya sebatas komoditi, seperti mediamedia yang menyajikan hal-hal yang bersifat pornografi, antara lain, VCD,
majalah, internet, bahkan tayangan televisi pun saat ini sudah mengarah
kepada hal yang seperti itu. Dampak dari ketidakfahaman remaja tentang sex
education ini, lanjut Sofyan, banyak hal-hal negatif terjadi, seperti tingginya
hubungan seks di luar nikah, kehamilan yang tidak diinginkan, penularan virus
HIV dan sebagainya. (http://dunia-sd.blogspot.com/2011/04/pentingnya-sexeducation.html) Menurut The Sex Information and Education Council The
United States (SIECUS) (dalam Subiyanto, 1996:79) sebagai berikut : (1)
Memberi pengetahuan yang memadai kepada siswa mengenai diri siswa
sehubungan dengan kematangan fisik, mental dan emosional sehubungan
dengan seks (2) Mengurangi ketakutan dan kegelisahan sehubungan dengan
terjadinya perkembangan serta penyesuaian seksual pada anak (3)
Mengembangkan sikap objektif dan penuh pengertian tentang seks (4)
Menanamkan pengertian tentang pentingnya nilai moral sebagai dasar
mengambil keputusan (5) Memberikan cukup pengetahuan tentang
penyimpangan dan penyalahgunaan seks agar terhindar dari hal-hal yang
membahayakan fisik dan mental (6) Mendorong anak untuk bersama-sama
membina masyarakat bebas dari kebodohan Kirby, Alter dan Scales (dalam
Bruess, 1981:207), tujuan pendidikan seks antara lain : (1) Memberikan
informasi yang akurat tentang seksualitas (2) Mengurangi rasa takut dan
kecemasan mengenai perkembangan seksual (3) Mendorong lebih
bertanggung jawab dan berhasil dalam membuat keputusan (4)
Mengembangkan ketrampilan untuk mengelola masalah-masalah seksual (5)
Menciptakan hubungan interpersonal yang memuaskan (6) Mengurangi
problem-problem seksual seperti penyakit menular seksual dan kehamilan
yang tidak dikehendaki. C. Pro Dan Kontra Tentang Penerapan Pendidikan
Seks Remaja Disekolah Pendidikan seks di sekolah-sekolah sedang diberikan
untuk memberi informasi siswa tentang masalah yang berkaitan dengan seks.
Hal ini dianggap penting bagi masyarakat bahwa siswa memahami informasi
yang tepat tentang seks, praktek seksual, pelecehan seksual anak dan
penyakit menular seksual. Namun, seperti semua ideologi, pendidikan seks di
sekolah juga memiliki pro dan kontra. Indonesia memang tidak mungkin
dibandingkan dengan negara-negara Eropa dan negara-negara Amerika
Serikat dalam hal perkembangan teknologi dan informasi kesehatan, termasuk
kesehatan seksual dan reproduksi. Tetapi, jika yang menjadi kompetitornya
adalah Malaysia yang sejak 1979 telah mendirikan Youth Advisory Center dan
Filipina dengan Developing Programme and Life Education, Indonesia masih
amat tertinggal. Bahkan di Malaysia, mulai tahun 2011 pendidikan seks akan
bukan yang utama juga merupakan kontra utama. (d) Sebagian besar guru
yang diberi tugas untuk mengajar pendidikan seks untuk siswa tidak ahli dan
tidak memiliki ide jelas tentang pendidikan seks itu sendiri. Hal ini bahkan
lebih berbahaya karena informasi yang salah ini sangat mematikan. (e)
Pendidikan seks di sekolah mungkin bertentangan dengan ideologi
keagamaan yang juga dianut di rumah anak. Ini menyebabkan perbedaan
masalah mendasar ketika anak di rumah dan di sekolah, sementara
seharusnya sekolah adalah rumah kedua mereka.