Anda di halaman 1dari 11

Pro dan Kontra Pendidikan Seks Remaja Di sekolah

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Perdebatan seputar pendidikan


kesehatan reproduksi disekolah seakan tak habisnya dibicarakan. semua
kalangan pada dasarnya setuju untuk memberikan pendidikan seks bagi
generasi muda demi mecegah kehamilan yang tidak diinginkan atau prilaku
seks menyimpang. Dengan perkembangan dunia informasi yang semakin
pesat semua sepakat bahwa pendidikan seks memang diperlukan di sekolah.
(Koes Irianto : Seksiologi Kesehatan). Salah satu faktor yang dapat
menghambat upaya peningkatan kualitas remaja adalah masalah yang
berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja. Dari berbagai laporan
dinyatakan banyak remaja sudah terjebak dalam perilaku reproduksi tidak
sehat, diantaranya perilaku seksual pranikah. Bahkan penelitian-penelitian
sebelumnya menyebutkan mayoritas remaja melakukan hubungan seksual
pertama kali saat di bangku SMA, yaitu pada usia antara 15-18 tahun.
Perilaku seksual pranikah remaja adalah segala tingkah laku seksual yang
didorong oleh hasrat seksual lawan jenisnya, yang dilakukan oleh remaja
sebelum
mereka
menikah.
(http://ugm.ac.id/id/berita/551dr.soetjiningsih:.remaja.usia.15.-.18.tahun.banyak.lakukan.perilaku.seksual.pr
anikah kamis 7 agustus 2014) Kasus kehamilan tak diinginkan yang angkanya
semakin tinggi membuat masalah tersebut perlu diantisipasi dunia pendidikan.
Pendidikan seks seharusnya merupakan perlakuan proses sadar dan
sistematis di sekolah, keluarga dan masyarakat untuk menyampaikan proses
hubungan intim menurut agama dan nilai nilai yang dianut oleh masyarakat.
Dengan demikian pendidikan ini bukanlah pendidikan tentang bagaimana
melakukan hubungan seks atau tentang hubungan seks aman, tapi intinya
merupakan upaya preventif dalam rangka moraliatas agama. Terjadinya pro
kontra tentang pendidikan seks itu, karena belum ada keseragaman
pandangan mengenai pendidikan seks itu sendiri. Bahkan jika pendidikan
seks itu ingin diaplikasikan sebaiknya kata seks dihilangkan dengan
mengganti kata-kata dan bahasa yang lain, namun mengandung makna yang
sama, sebab jika orang mendengar penyebutan kata seks asosiasinya selalu
mengarah kepada kata kerjanya, sehingga diperlukan sosialisasi mengenai
batasan atau defenisi tentang pendidikan seks.Menyebut kata seks,
kesannya sesuatu yang sifatnya vulgar, porno dan seronok, sehingga
kedengarannya sangat menjurus kepada hubungan intim antar dua lawan
jenis yang berbeda, persepsi seperti inilah yang menyebabkan kata seks
menjadi tabu untuk dibicarakan di depan umum, apalagi didepan siswa

(remaja). Padahal sesungguhnya pendidikan seks adalah salah-satu cara


untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk
mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan. Kalau kita melihat
fenomena remaja sekarang, sudah sangat perlu pendidikan seks diajarkan
sebagai salah satu muatan kurikulum di sekolah, mengingat pendidikan seks
ini banyak hal-hal yang perlu diketahui oleh para remaja, bukan hanya
kebutuhan biologis itu saja. Karena bilamana para remaja memandang seks
hanya kebutuhan biologis saja yang penuh dengan cerita seribu macam
kesenangan yang dapat membuat orang mabuk kepayang, tanpa mereka tahu
bagaimana resiko hamil diluar nikah dan permasalahan lainnya, maka
akibatnya pergaulan remaja semakin memprihatinkan dan pembuktian seperti
ini sudah tidak terlalu sulit di era informasi dewasa ini.
( http://datastudi.wordpress.com/2008/11/21/pendidikan-seks-pada-remaja/)
Ruang lingkup kurikulum pendidikan seks yang dapat diberikan kepada
peserta didik antara lain penciptaan manusia atau proses terjadinya
pembuahan. Perkembangan pria dan wanita secara fisik dan psikis, perilaku
seksual, da kesehatan seksual. Rancangan kurikulum juga dapat
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masing masing sekolah.
Sedangkan informasi yang dapat disampaikan adalah masalah reproduksi,
proses kelahiran, program keluarga berencana, perilaku seksual menyimpang,
kejahatan seks atau perlindungan hukum yang memang sebaiknya diketahui
para pelajar. Disamping juga kurikulum yang harus dipersiapkan adalah guru
pengajarnya. Jangan sampai pendidikan seks yang bertujuan sebagai tidakan
preventif masalah menjadi ajang pembahasan seks di luar konteks
pendidikan. Untuk mendukung kurikulum pendidikan seks disekolah maka
perlu didukung oleh orang tua siswa. Hal ini karena tanggung jawab
keberhasilan pendidikan seks bukanlah semata- mata ditentukan kurikulum
sekolah tetapi juga peran keluarga, masyarakat dan pemerintah. (Koes
Irianto : Seksiologi Kesehatan). B. Rumusan Masalah Berdasarkan
Permasalahan diatas maka dalam makalah ini akan membahas 1. Konsep
Kesehatan Reproduksi Remaja 2. Pentingnya pendidikan seks remaja
disekolah 3. Pro dan Kontra tentang penerapan Pendidikan Remaja di sekolah
4. Bagaimana solusi yang tepat mengatasi masalah tentang penerapan
pendidikan seks remaja di sekolah. C. Tujuan 1. Sebagai Persyaratan
Pemenuhan Tugas Mata Ajar : Kesehatan Reproduksi Remaja. 2. Mampu
mengidentifikasi masalah penerapan pendidikan seks disekolah BAB II
PEMBAHASAN A. Konsep Kesehatan Reproduksi Remaja 1. Pengertian a.

Kesehatan Reproduksi Kesehatan reproduksi adalah ilmu yang mempelajari


alat dan fungsi reproduksi, baik pada laki-laki maupun perempuan, yang
merupakan bagian integral dari sistem tubuh manusia lainnya serta
hubungannya secara timbal balik dengan lingkungannya (Pangkahila, 2005) b.
Kesehatan Reproduksi Remaja Kesehatan reproduksi remaja secara umum
didefinisikan sebagai kondisi sehat dan sistem, fungsi, dan proses alat
reproduksi yang dimiliki oleh remaja. Remaja perlu memahami tentang
kesehatan reproduksi, khususnya kesehatan reproduksi remaja, karena
keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi
mempunyai konsekuensi atau akibat jangka panjang dalam perkembangan
dan kehidupan sosial remaja (BKKBN, 2008). Menurut Hasmi (2001) dalam
Wiknjosastro (2006), kesehatan reproduksi remaja didefinisikan sebagai suatu
keadaan sehat jasmani, psikologis, dan sosial yang berhubungan dengan
fungsi dan proses sistem reproduksi pada remaja. Pengertian sehat tersebut
tidak semata-mata berarti bebas dari penyakit atau kecacatan namun juga
sehat secara mental serta sosial-kultural. Pada masa ini seorang anak
mengalami kematangan biologis. Kondisi ini dapat menempatkan remaja pada
kondisi yang rawan bila mereka tidak dibekali dengan informasi yang benar
mengenai proses reproduksi serta berbagai faktor yang ada di sekitarnya. c.
Remaja Remaja adalah individu baik perempuan, maupun laki-laki yang
berada pada masa/usia antara anak-anak dan dewasa. United Nations
menyebut remaja bagi mereka yang berusia 15-24 tahun (BKKBN, 2001). Di
Indonesia, batasan remaja mendekati batasan PBB tentang pemuda kurun
usia 14-24 tahun yang dikemukakan dalam Sensus Penduduk (Arma,
2007)Masa remaja adalah merupakan masa peralihan baik secara fisik, psikis
maupun sosial dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Remaja adalah asset
sumber daya manusia yang merupakan tulang punggung penerus generasi di
masa mendatang. Bila dilihat dari komposisi penduduk menurut kelompok
umur dan jenis kelamin, jumlah remaja menempati posisi yang lebih besar
dibanding dengan komposisi umur lainnya. Besarnya jumlah penduduk usia
remaja ini adalah merupakan peluang dan bukan menjadi masalah bagi
pemerintah. J.J. Rosseau membagi perkembangan jiwa manusia menurut
perkembangan perasaannya, yang membaginya dalam 4 tahap yaitu : a. Umur
0-4 atau 5 tahun : masa kanak-kanak (infancy). b. Umur 5-12 tahun : masa
bandel (savage stage). c. Umur 12-15 tahun : bangkitnya akal (rasio), nalar
(reason) dan kesadaran(selfconsciousness). d. Umur 15-20 tahun : masa
kesempurnaan remaja (adolescence proper) dan merupakan puncak

perkembangan emosi. (Arma, 2007) d. Tumbuh Kembang Remaja Individu


pada masa remaja akan mengalami situasi pubertas, dimana ia akan
mengalami perubahan yang mencolok secara fisik maupun secara
emosional/psikologis dibandingkan dengan masa sebelumnya, yaitu masa
kanak-kanak. 1) Perkembangan Fisik (Biologik) pada Masa Remaja Pada
masa remaja, seseorang mengalami pertumbuhan fisik yang lebih cepat
dibandingkan dengan masa sebelumnya. Hal ini terlihat pada organ
seksualnya, dimana biologik sampai pada kesiapan untuk melanjutkan
keturunan. Pada wanita, ciri sekunder individu dewasa terjadi karena
beberapa jenis hormon/zat dalam tubuh, terutama estrogen dan progesterone,
mulai berperan aktif sehingga mulai tumbuh payudara, pinggul mulai melebar
dan membesar. Disamping itu, akan mulai tumbuh rambut halus di sekitar
ketiak dan vagina/kemaluan, dan perubahan lainnya seperti, kulit dan rambut
mulai berminyak, keringat bertambah banyak, lengan dan tungkai kaki
bertambah panjang, tulang-tulang wajah mulai memanjang dan membesar,
dan lainnya (BKKBN, 2001). Pada wanita, kedua indung telur (ovarium) akan
menghasilkan sel telur (ovum). Hormon kelamin wanita mempersiapkan rahim
(uterus) untuk menerima hasil konsepsi bila sel telur dibuahi oleh sperma,
juga mempersiapkan vagina sebagai penerima penis saat bersenggama.
Sejak saat ini wanita akan mengalami ovulasi dan menstruasi. Ovulasi adalah
proses keluarnya ovum dari ovarium, dan jika tidak dibuahi, maka ovum akan
mati dan terjadilah menstruasi. Menstruasi adalah peristiwa alamiah keluarnya
darah dari vagina yang berasal dari uterus akibat lepasnya endometrium
sebagai akibat dari ovum yang tidak dibuahi (Arma, 2007). Sama halnya
dengan perempuan, ciri seks sekunder pada laki-laki terutama akan
disebabkan oleh hormon testosterone yang menyebabkan tumbuhnya rambut
di sekitar ketiak dan kemaluan, tumbuh jenggot dan kumis, terjadi perubahan
suara menjadi berat, tubuh bertambah berat dan tinggi, keringat bertambah
banyak, kulit dan rambut mulai berminyak, lengan dan tungkai kaki bertambah
panjang, pundak dan dada bertambah besar dan bidang, tumbuh jakun, penis
dan buah zakar membesar, dan lainnya (BKKBN, 2001). Pada pria, sejak usia
ini testis akan menghasilkan sperma yang tersimpan dalam skrotum. Kelenjar
prostat akan menghasilkan sperma, dan penis dapat digunakan untuk
bersenggama dalam perkawinan. Seorang pria dapat menghasilkan puluhan
sampai jutaan sperma sekali ejakulasi dan mengalami mimpi basah, dimana
sperma keluar dengan sendirinya secara alamiah (Arma, 2007). Perubahan
fisik baik pada remaja perempuan maupun pada remaja laki-laki akan berhenti

pada usia sekitar 20 tahun, yang berakibat tubuh tidak akan bertambah tinggi
lagi, payudara tidak akan membesar lagi, dan pinggul tidak akan bertambah
lebar (BKKBN, 2001). 2) Perkembangan Psikososial pada Masa Remaja
Kesadaran akan bentuk fisik yang bukan lagi anak-anak akan menjadikan
remaja sadar meninggalkan tingkah laku anak-anaknya dan mengikuti norma,
serta aturan yang berlaku (Arma, 2007). Perubahan psikologis terjadi
disebabkan oleh adanya perubahan-perubahan kebutuhan, konflik nilai antara
keluarga dan dunia luar, serta terjadinya perubahan fisik. Perubahan
psikologis yang dimaksud seperti remaja menjadi sangat sensitive, sering
bersikap irasional, mudah tersinggung, bahkan stress (BKKBN, 2008).
Menurut Havigrust aspek psikologis yang menyertai masa remaja adalah : (a)
Menerima kenyataan (realitas) jasmani. (b) Mencapai hubungan sosial yang
lebih matang dengan teman-teman sebaya. (c) Menjalankan peran-peran
social menurut jenis kelamin sesuaikan dengan norma. (d) Mencapai
kebebasan emosional (tidak tergantung) pada orang tua atau orang dewasa
lain. (e) Mengembangkan kecakapan intelektual serta konsep untuk
bermasyarakat. (f) Memilih dan mempersiapkan diri untuk suatu pekerjaan
atau jabatan. Mencapai kebebasan ekonomi, merasa mampu hidup dengan
nafkah sendiri. Mempersiapkan diri untuk melakukan perkawinan (Arma,
2007). 2. Kebijakan Teknis Operasional Kebijakan teknis operasional
kesehatan reproduksi remaja (Widyastuti, dkk, 2009) adalah a. Meningkatkan
promosi kesehatan reproduksi remaja b. Meningkatkan sokongan (advokasi)
kesehatan reproduksi remaja c. KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi)
kesehatan reproduksi remaja d. Meningkatkan aktivitas konseling remaja
melalui KIE e. Meningkatkan dukungan pelayanan remaja yang memiliki
masalah khusus f. Meningkatkan dukungan bagi kegiatan remaja yang positif
3. Masalah Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) a. Pengetahuan yang tidak
lengkap dan tidak tepat tentang maslah seksualitas, misalnya mitos yang tidak
benar. b. Kurangnya bimbingan untuk bersikap positif dalam hal yang
berkaitan dengan seksulitas. c. Penyalahgunaan dan ketergantungan napza,
yang mengarah kepada penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik dan melalui
hubungan seks bebas. Masalah ini semakin mengkhawatirkan dewasa ini. d.
Penyalahgunaan seksual. e. Kehamilan remaja. f. Kehamilan pra nikah/di luar
ikatan pernikahan. B. Pentingnya Pendidikan Seks Remaja Disekolah 1.
Pengertian a. Pendidikan kesehatan adalah suatu proses perubahan pada diri
seseorang yang dihubungkan dengan pencapaian tujuan kesehatan individu,
dan masyarakat. Pendidikan kesehatan tidak dapat diberikan kepada

seseorang oleh orang lain, bukan seperangkat prosedur yang harus


dilaksanakan atau suatu produk yang harus dicapai, tetapi sesungguhnya
merupakan suatu proses perkembangan yang berubah secara dinamis, yang
didalamnya seseorang menerima atau menolak informasi, sikap, maupun
praktek baru, yang berhubungan dengan tujuan hidup sehat (Suliha, 2002). b.
Pendidikan Seks Menurut Dr.Abdullah Nashih Ulwan, pendidikan seks adalah
upaya pengajaran, penyadaran, dan penerangan tentang masalah-masalah
seksual yang diberikan kepada anak sejak ia mengerti masalah-masalah yang
berkenaan dengan seks, naluri,dan perkawinan. Menurut Sarlito dalam
bukunya Psikologi Remaja (1994), secara umum pendidikan seksual adalah
suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan
benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai
kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek
kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual yang
diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di
masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana
melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat.
Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan yang dapat
menolong muda-mudi untuk menghadapi masalah hidup yang bersumber
pada dorongan seksual. Dengan demikian pendidikan seksual ini bermaksud
untuk menerangkan segala hal yang berhubungan dengan seks dan
seksualitas dalam bentuk yang wajar. Menurut Singgih, D. Gunarsa,
penyampaian materi pendidikan seksual ini seharusnya diberikan sejak dini
ketika anak sudah mulai bertanya tentang perbedaan kelamin antara dirinya
dan orang lain, berkesinambungan dan bertahap, disesuaikan dengan
kebutuhan dan umur anak serta daya tangkap anak ( dalam Psikologi praktis,
anak, remaja dan keluarga, 1991). 2. Pentingnya pendidikan seks Remaja di
Sekolah a. Pentingnya Pendidikan Seks Remaja di Sekolah Pengetahuan
remaja tentang kesehatan reproduksi remaja relatif masih rendah
sebagaimana ditunjukkan oleh hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja
Indonesia tahun 2007. Sebanyak 13% remaja perempuan tidak tahu tentang
perubahan fisiknya dan hampir separuhnya (47,9%) tidak mengetahui kapan
masa subur seorang perempuan. Yang memprihatinkan, pengetahuan remaja
tentang cara paling penting untuk menghindari infeksi HIV masih terbatas.
Hanya 14% remaja perempuan dan 95% remaja laki-laki menyebutkan
pantang berhubungan seks, 18% remaja perempuan dan 25% remaja laki-laki
menyebutkan menggunakan kondom serta 11% remaja perempuan dan 8%

remaja laki-laki menyebutkan membatasi jumlah pasangan (jangan bergantiganti pasangan seksual) sebagai cara menghindari HIV/ AIDS. Sementara,
data dari Kemenkes tahun 2010 menunjukkan bahwa hampir separuh
(47,8%), kasus AIDS berdasarkan usia juga diduduki oleh kelompok usia
muda (20-29 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa perilaku seks beresiko terjadi
pada usia remaja. Oleh karena itu, rendahnya pengetahuan tersebut
menjadikan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual penting untuk
diberikan. Menurut Donovan (1998), pendidikan seksualitas memiliki tujuan
utama untuk memberikan informasi kepada remaja untuk memberdayakan
mereka dalam membangun nilai dan keterampilan berelasi yang
memampukan mereka membuat keputusan yang bertanggung jawab untuk
menjadi orang dewasa yang sehat secara seksual. Fine dan McClelland
(2006), menyatakan bahwa dalam pendidikan seksualitas perlu
mendiskusikan hasrat seksual agar siswa dapat membangun subyetivitasnya
dan tanggung jawabnya sebagai makhluk seksual. Hal ini berarti perlunya
melihat remaja sebagai makhluk seksual daripada menegasikan seksualitas
mereka dalam memberikan pendidikan seksualitas. IPPF (2010) menawarkan
konsep pendidikan seksualitas yang komprehensif berbasiskan hak yang
ditujukan agar remaja memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilainilai yang mereka butuhkan untuk menentukan dan menikmati seksualitas
mereka baik secara fisik maupun psikis,secara individual maupun dalam
berelasi. Dalam kerangka pendidikan IPPF tersebut, pemberian informasi saja
tidaklah cukup, remaja perlu diberikan kesempatan agar dapat
mengembangkan keterampilan untuk membangun sikap dan nilai yang positif
terhadap seksualitas mereka. (Makara Seri Kesehatan, 2013, 17(2): 79-87
DOI: 10.7454/msk.v17i2.xxxx) Menurut M. Sofyan Sauri, S.Sos selaku senior
koordinator Centra Mitra Remaja (CMR) yang merupakan salah satu unit
kegiatan dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) , ada dua
faktor mengapa sex education sangat penting bagi remaja. Faktor pertama
adalah di mana anak-anak tumbuh menjadi remaja, mereka belum paham
dengan sex education, sebab orang tua masih menganggap bahwa
membicarakan mengenai seks adahal hal yang tabu. Sehingga dari ketidak
fahaman tersebut para remaja merasa tidak bertanggung jawab dengan seks
atau kesehatan anatomi reproduksinya. Faktor kedua, dari ketidakfahaman
remaja tentang seks dan kesehatan anatomi reproduksi mereka, di lingkungan
sosial masyarakat, hal lain ditawarkan hanya sebatas komoditi, seperti mediamedia yang menyajikan hal-hal yang bersifat pornografi, antara lain, VCD,

majalah, internet, bahkan tayangan televisi pun saat ini sudah mengarah
kepada hal yang seperti itu. Dampak dari ketidakfahaman remaja tentang sex
education ini, lanjut Sofyan, banyak hal-hal negatif terjadi, seperti tingginya
hubungan seks di luar nikah, kehamilan yang tidak diinginkan, penularan virus
HIV dan sebagainya. (http://dunia-sd.blogspot.com/2011/04/pentingnya-sexeducation.html) Menurut The Sex Information and Education Council The
United States (SIECUS) (dalam Subiyanto, 1996:79) sebagai berikut : (1)
Memberi pengetahuan yang memadai kepada siswa mengenai diri siswa
sehubungan dengan kematangan fisik, mental dan emosional sehubungan
dengan seks (2) Mengurangi ketakutan dan kegelisahan sehubungan dengan
terjadinya perkembangan serta penyesuaian seksual pada anak (3)
Mengembangkan sikap objektif dan penuh pengertian tentang seks (4)
Menanamkan pengertian tentang pentingnya nilai moral sebagai dasar
mengambil keputusan (5) Memberikan cukup pengetahuan tentang
penyimpangan dan penyalahgunaan seks agar terhindar dari hal-hal yang
membahayakan fisik dan mental (6) Mendorong anak untuk bersama-sama
membina masyarakat bebas dari kebodohan Kirby, Alter dan Scales (dalam
Bruess, 1981:207), tujuan pendidikan seks antara lain : (1) Memberikan
informasi yang akurat tentang seksualitas (2) Mengurangi rasa takut dan
kecemasan mengenai perkembangan seksual (3) Mendorong lebih
bertanggung jawab dan berhasil dalam membuat keputusan (4)
Mengembangkan ketrampilan untuk mengelola masalah-masalah seksual (5)
Menciptakan hubungan interpersonal yang memuaskan (6) Mengurangi
problem-problem seksual seperti penyakit menular seksual dan kehamilan
yang tidak dikehendaki. C. Pro Dan Kontra Tentang Penerapan Pendidikan
Seks Remaja Disekolah Pendidikan seks di sekolah-sekolah sedang diberikan
untuk memberi informasi siswa tentang masalah yang berkaitan dengan seks.
Hal ini dianggap penting bagi masyarakat bahwa siswa memahami informasi
yang tepat tentang seks, praktek seksual, pelecehan seksual anak dan
penyakit menular seksual. Namun, seperti semua ideologi, pendidikan seks di
sekolah juga memiliki pro dan kontra. Indonesia memang tidak mungkin
dibandingkan dengan negara-negara Eropa dan negara-negara Amerika
Serikat dalam hal perkembangan teknologi dan informasi kesehatan, termasuk
kesehatan seksual dan reproduksi. Tetapi, jika yang menjadi kompetitornya
adalah Malaysia yang sejak 1979 telah mendirikan Youth Advisory Center dan
Filipina dengan Developing Programme and Life Education, Indonesia masih
amat tertinggal. Bahkan di Malaysia, mulai tahun 2011 pendidikan seks akan

diberikan sejak anak-anak masuk SD. Di Indonesia, program Kesehatan


Reproduksi Remaja relatif baru dilaksanakan secara nasional sejak tahun
2000. Banyak kegiatan yang ditujukan untuk remaja atau keluarga remaja
telah dilakukan oleh PKBI melalui pelaksanaannya langsung maupun melalui
Youth Center atau Pusat Informasi dan Pelayanan Remaja. Sejak akhir tahun
2002, PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia), UNFPA (United
Nations Population Fund), dan BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional) telah mulai mengembangkan modul penyampaian
informasi tentang kesehatan reproduksi yang sesuai untuk masa pra remaja
usia 10-14 tahun. (Laurike Moeliono, 2003) Dalam Simposium Nasional
Pentingnya Pendidikan Seks untuk Remaja, tahun 2002 yang lalu disebutkan
juga bahwa tantangan dalam pelaksanaan program-program KRR di
Indonesia, antara lain tidak adanya aturan hukum yang mendukung. UndangUndang Kependudukan No.10 tahun 1992 masih menyebutkan melarang
pemberian informasi seksual dan pelayanan bagi orang yang belum menikah.
Pemberian pendidikan atau informasi mengenai masalah seksualitas masih
menjadi pro dan kontra di masyarakat Indonesia Pandangan yang kurang
setuju dengan pendidikan seks mengkhawatirkan bahwa pendidikan seks
yang diberikan pada anak akan mendorong mereka melakukan hubungan
seks lebih dini dan melakukan promiskuitas (serba boleh). Sementara
pandangan yang setuju pada pendidikan seks beranggapan dengan semakin
dini mereka mendapatkan informasi mereka akan lebih siap menghadapi
perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya dan mampu
menghindarkan diri dari kemungkinan yang bisa terjadi, misalnya tertular PMS
(Penyakit Menular Seksual). (Safrina Yenni, 2000) Menteri Pendidikan
Nasional Mohammad Nuh menyatakan tidak setuju dengan keinginan
sejumlah pihak agar diberikan pendidikan seks di sekolah kepada murid,
terkait dengan maraknya peredaran film porno yang diduga dilakukan oleh
sejumlah artis. (republika.co.id, 9 Juni 2010) Menurut Ketua Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Hadi Supeno, butuh pendidikan seks
yang tepat untuk menekan perilaku seks bebas di kalangan remaja. Menurut
Ahmad Putra Batubara, salah satu kandidat ketua umum PP IPM (Ikatan
Remaja Muhammadiyah) 2010-2012, pendidikan seks perlu diberikan sejak
dini, kalau perlu sejak sekolah dasar. Tentunya tidak diberikan secara vulgar,
tetapi lebih berkaitan dengan materi kesehatan reproduksi. Sehingga bila nanti
sudah memasuki masa remaja, keingintahuan anak-anak akan seks bisa lebih
terarah dan tidak mengarah kepada tindakan negatif. (republika.co.id, 5 Juli

2010) Di Indonesia sendiri, orang tua merasa tabu untuk memberikan


pendidikan seks atau sekedar membicarakan masalah seksual kepada anakanaknya. Orang tua cenderung menganggap bahwa pada saatnya anak akan
mengerti sendiri tentang seksualitas, yang diperoleh di bangku sekolah. Orang
tua yang tidak mengerti tentang pendidikan seksualitas karena tingkat sosialekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah tentunya butuh bantuan dari
sekolah (dalam hal ini guru) untuk menyampaikan pengetahuan seksual
kepada anak-anaknya. Sayangnya, di sekolah tidak ada kurikulum yang
membidangi masalah pendidikan seksualitas ini. Pro Pendidikan Seks di
Sekolah mempunyai pandangan : (a) Pendidikan seks di sekolah-sekolah
dapat membantu anak memahami dampak dari seks dalam kehidupan
mereka. Hubungan seks bebas dapat diatasi dengan memberi dan
memperluas cakrawala mereka tentang bahayanya. (b) Hal ini juga dapat
menjawab semua pertanyaan yang ada dibenak mereka tentang tubuh
mereka yang berubah dan lonjakan hormonal. Anak-anak sering ingin tahu
tentang jenis kelamin lawan jenis. Pendidikan seks di sekolah dapat
membantu memberi pemahaman perbedaan dan menjaga keinginan untuk
mengeksplorasi hal-hal untuk diri mereka sendiri. (c) Pelecehan seksual
terhadap anak adalah kejahatan sosial yang melanda ribuan anak di seluruh
dunia. (d) Pendidikan seks di sekolah dapat berperan aktif dalam
mengendalikan peristiwa penganiayaan ini. (e) Adalah jauh lebih baik untuk
mengajarkan anak tentang seks di sekolah, bukan membiarkan mereka
menggunakan sumber lain seperti materi pornografi dari internet. Hal ini
penting karena sumber seperti internet memiliki sejumlah informasi yang
mungkin menyesatkan dan menyebabkan informasi yang salah. (f) Dengan
masalah seperti kehamilan remaja dan penularan penyakit yang meningkat,
dapat menyadarkan anak dari bahaya ini. (g) Pendidikan seks di sekolah
adalah wadah mengubah anak menjadi orang dewasa yang bertanggung
jawab. Oleh karena itu, pendidikan seks bisa membantu mereka memahami
manfaat pantang seks bebas setidaknya menjadi anak yang lebih
bertanggung jawab. 1. Kontra Pendidikan Seks di Sekolah (a) Besar
kemungkinan informasi yang diterima siswa pada usia dini tidak seperti yang
diharapkan, artinya pemahaman mereka justru ke arah yang salah. (b) Jika
tidak diajarkan dengan benar, pendidikan seks di sekolah dapat menjadi
masalah ejekan dan menjadi sesuatu yang selalu mengalihkan perhatian
seluruh kelas ketika diajarkan. (c) Fakta bahwa sebagian besar sekolah dalam
pendidikan seks memperlakukan hal ini seperti kursus ekstrakurikuler dan

bukan yang utama juga merupakan kontra utama. (d) Sebagian besar guru
yang diberi tugas untuk mengajar pendidikan seks untuk siswa tidak ahli dan
tidak memiliki ide jelas tentang pendidikan seks itu sendiri. Hal ini bahkan
lebih berbahaya karena informasi yang salah ini sangat mematikan. (e)
Pendidikan seks di sekolah mungkin bertentangan dengan ideologi
keagamaan yang juga dianut di rumah anak. Ini menyebabkan perbedaan
masalah mendasar ketika anak di rumah dan di sekolah, sementara
seharusnya sekolah adalah rumah kedua mereka.

Anda mungkin juga menyukai