Anda di halaman 1dari 6

ESAI INDOENSIA YOUNG LEADER SUMMIT

KONGRES PIK MAHASISWA NASIONAL 2019

“Peran Orang Tua (Lini Pertama) terhadap Pendidikan Seksual


pada Anak Usia Dini

sebagai Tombak Utama Masa Depan Bangsa”

Oleh :

AULIA GAWARA

Program Studi Ilmu Keperawatan

Fakultas Keperawatan

Universitas Riau
Pendidikan Seksual (sex education) adalah suatu pengetahuan tentang
kesehatan reproduksi secara keseluruhan, mencakup pertumbuhan dan
perkembangan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan hingga bagaimana
fungsi kelamin sebagai alat reproduksi pada manusia. Pendidikan seksual
merupakan pelajaran penting yang harus diberikan sejak dini pada anak. Hal ini
bertujuan agar anak memiliki pegangan dan bekal ilmu sebelum akhirnya mereka
mencari tahu sendiri serta mengarahkan kepada anak agar memiliki perilaku
seksual yang sehat di kemudian hari.

Perkembangan dunia teknologi dan komunikasi yang semakin pesat


tampaknya mempengaruhi pola perilaku remaja, khususnya perilaku seksual
remaja. Kenyataan sehari-hari bahwa tayangan film yang masih terkesan vulgar,
maraknya video porno, maupun adegan-adegan “syur” yang begitu mudahnya
diakses melalui internet menimbulkan suatu kekhawatiran tersendiri bagi masa
depan anak bangsa. Begitu juga selaras dengan meningkatnya kasus kekerasan
maupun pelecehan seksual oleh remaja yang rentan terhadap informasi terkait
seksualitas. Dalam sebuah penelitian yang dikutip dari buku Bicara Seks Bersama
Anak oleh Alya Andika (2010) menyatakan bahwa dari 600 lelaki dan perempuan
usia SMP ke bawah di AS, peneliti Dr. Jennings Bryant menemukan bahwa 91%
lelaki dan 82% wanita mengaku telah menonton film porno atau yang berisi
kekerasan seksual. Lebih dari 66% lelaki dan 40% wanita dilaporkan ingin
mencoba beberapa adegan seks yang telah ditontonnya. Di antara siswa Sekolah
Menengah Pertama (SMP) tersebut, 31% lelaki dan 18% wanita mengaku benar-
benar melakukan beberapa adegan dalam film porno itu beberapa hari setelah
menontonnya. Hal tersebut didukung oleh penelitian Laura dan Issac (2012) yang
menjelaskan bahwa pendidikan seks berhubungan dengan perilaku kesehatan
seksual. Suatu penelitian retrospektif menjelaskan bahwa dari resipien yang telah
menerima pendidikan seks memiliki tingkat penundaan berhubungan seksual
pertama kali lebih tinggi dari pada resipien yang tidak menerima pendidikan seks
sama sekali.

Hasil penelitian yang dikutip dari sebuah Jurnal Pemikiran Alternatif


Pendidikan mengenai Pendidikan Seks pada Usia Dini oleh Moh. Roqib (2013)
menunjukkan bahwa 97,05% mahasiswa di Yogyakarta telah kehilangan
keperawanannya. Fakta yang sangat memprihatinkan melihat kondisi remaja saat
ini yang tengah terancam dalam mempertahankan kesucian dirinya baik karena
paksaan atau karena sama-sama suka saat melakukannya (free sex). Meningkatnya
kasus kekerasan dan pelecehan seksual pada remaja merupakan bukti nyata
implikasi karena kurangnya pengetahuan anak mengenai pendidikan seks yang
seharusnya mereka peroleh pertama kali dari orang tua. Akan tetapi persepsi
masyarakat Indonesia mengenai pendidikan seksual masih dianggap tabu untuk
dibicarakan bersama anak. Sehingga orang tua lebih memilih untuk menyerahkan
pendidikan seksual kepada pihak sekolah sebagai sumber ilmu bagi anaknya.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Bennet dan Dickinson (2012) menyebutkan
bahwa sebagian besar remaja memilih untuk mendapatkan pendidikan seksual
dini dari orang tua, namun karena orang tua kurang tahu dan bahkan tidak
menjelaskan secara detail, maka mereka mencari informasi seks melalui teman
maupun kelompok tertentu yang tidak bertanggung jawab sehingga mereka dapat
memperoleh informasi tersebut.

Masa emas (golden age) perkembangan anak terjadi pada usia prasekolah
di mana 80% perkembangan kognitif telah dicapai pada masa ini. Agar
kemampuan kognitif anak dapat berkembang optimal maka harus diberikan
stimulasi (Martini, 2006). Menurut Sigmund Freud (Syamsu, 2014), terdapat lima
tahapan dari perkembangan seks manusia yang secara signifikan telah memiliki
ciri dan karakteristik khusus selama awal kehidupan. Tahap pertama yaitu oral
stage (0-2 tahun), anak memperoleh informasi seksual melalui aktivitas mulutnya,
hal ini ditandai dengan kepuasan yang diperoleh anak melalui oral atau mulut.
Pada usia 0-1 tahun bayi mendapat perasaan nikmat ketika menyusu melalui
puting susu ibunya. Sedangkan pada usia 1-2 tahun anak terlihat cenderung
antusias memasukkan apa saja yang dilihat ke dalam mulutnya. Tahap kedua yaitu
anal stage (2-4 tahun), kepuasan anak didapat melalui daerah anusnya. Rasa
nikmat dirasakan melalui aktivitas yang menyangkut proses pembuangan. Tahap
ke tiga yaitu phallic stage, yaitu saat anak sudah mulai menyadari perbedaan seks
antara dirinya dengan temannya yang berbeda jenis kelamin. Ketika memasuki
umur 4 tahun, anak akan merasakan nikmat ketika alat kelaminnya disentuh atau
diraba. Anak pun mulai suka membandingkan alat kelamin miliknya dengan
temannya yang lain. Tahap ke empat yaitu talency stage, fase laten yang
umumnya berlangsung pada usia 6-10 tahun. Anak cenderung menekan seluruh
keinginan erotisnya hingga nanti mencapai usia pubertas. Pada tahap ini
ketertarikan anak pada seksualitas biasanya akan dikalahkan dengan
keingintahuannya yang lebih tinggi tentang hal-hal lain yang bersifat ilmiah dan
sains. Tahap ke lima yaitu genital stage, merupakan tahap akhir dari keseluruhan
proses perkembangan seksual seorang anak. Masa ini menandai puncak
perkembangan dan kematangan seksual akan terpusat pada daerah genital. Masa
ini dikenal dengan istilah pubertas yang ditandai dengan terjadinya perubahan
fisiologi dan hormonal secara revolusioner. Dalam memberikan pendidikan seks
peran orang tua memegang peran utama dan harus dilakukan secara bertahap
sesuai dengan fase perkembangannya, sebagaimana teori Sigmeund Freud.
Apabila hal tersebut dilakukan, maka saat anak beranjak dewasa mereka tidak
akan mencari penjelasan dari lingkungan sekitar yang terkadang menyesatkan
(Andika, 2010).

Urgensi dari pendidikan seksual kepada anak adalah dengan


menanamkan nilai-nilai agama yang kuat demi membentuk karakter anak agar
ketika dewasa nanti anak memiliki bekal yang kuat dalam dirinya sehingga tidak
terjerumus dalam pergaulan seks bebas. Nilai agama sangat berperan penting
sebagai dasar pemahaman anak untuk dapat menjaga dirinya dengan baik
(Andika, 2010). Selain menanamkan nilai-nilai agama pemahaman terkait
pendidikan seksual harus ditekankan kepada anak. Bukan hanya pembelajaran
mengenai jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, seksualitas berkaitan
dengan segala sesuatu mengenai organ reproduksi. Termasuk pula cara merawat
kebersihan dan menjaga kesehatan organ vital. Namun perlu dipahami,
pendidikan seks berbeda dengan pengetahuan reproduksi. Pendididkan seksual
bertujuan untuk mengenalkan anak tentang jenis kelamin dan cara menjaganya
baik dari sisi kesehatan dan kebersihan, keamanan, serta keselamatan. Sementara
pengetahuan reproduksi berkaitan dengan proses perkembangbiakan makhluk
hidup. Reproduksi memungkinkan kelangsungan hidup suatu spesies. Manusia,
hewan, dan tumbuhan dapat berkembang biak karena peran reproduksi.
Pendidikan seks dan pendidikan kesehatan reproduksi penting diberikan melalui
keluarga maupun kurikulum sekolah.

Tidak dapat dipungkiri bahwa seks merupakan bagian integral dalam


kehidupan untuk mencapai kebahagiaan duniawi, akan tetapi ketika keberadaanya
justru menjadi candu yang merusak moral anak bangsa, perlu adanya pembenahan
bersama demi terselamatkannya masa depan mereka dari semakin terbukanya arus
globalisasi termasuk dengan dampak negatif yang diterima anak akibat tidak
adanya filtrasi dari orang tua dan pendidik di usia prasekolah. Tulisan ini
dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada orang tua, tenaga kesehatan,
dan pendidik usia prasekolah tentang pentingnya mengenalkan pendidikan seks
serta membekali anak dalam memperoleh informasi dan melawan arus globalisasi
yang semakin transparan termasuk salah satunya yaitu masalah seksualitas.
DAFTAR PUSTAKA

Andika, Alya. 2010. Bicara Seks Bersama Anak. Yogyakarta : Pustaka Anggrek.

Benneth, S.M and Dickinson, W.B. 2012. Student Parent Rapport and Parent
Involvement In Sex, Birth Control, and Veneral Disease Education. The
Journal of Sex Research. 16. 114-130.

Laura, Lindberg Duberstein, Issac Maddow Zimet. 2012. Consequences of Sex


Education on Teen and Young Adult Sexual Behaviors and Outcomes.
Journal of adolecsent Health Website.

Martini, J. Perkembangan Pengembangan Anak Usia Taman Kanak-kanak:


pedoman bagi orang tua dan guru. 2006. Jakarta: PT Grasindo.

Moh. Roqib. 2013. Pendidikan Seks pada Anak Usia Dini. Jurnal Pemikiran
Alternatif Pendidikan. Vol. 13 No. 2. P3M STAIN Purwokerto.

Syamsu, Yusuf. 2014. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja hlm. 67.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai