Anda di halaman 1dari 6

14

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2012 Komponen kesehatan


Reproduksi Remaja (SDKI 2012 KRR) menggambarkan peningkatan perilaku
seks pranikah pada remaja dibandingkan dengan hasil Survei Kesehatan
Reproduksi Remaja Indonesia yang dilakukan pada tahun 2007. Hasil SKKRI
tahun 2007 menyatakan sekitar 7% atau sekitar 3 juta remaja pernah melakukan
hubungan seksual pranikah dan hasil SKRRI pada tahun 2012 menunjukkan
peningkatan menjadi sekitar 9,3% atau sekita 3,7 juta remaja. Menurut Julianto,
Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN, pada
tahun 2010 ada sekitar 46 % remaja yang berumur 15-19 tahun belum menikah
sudah pernah melakukan hubungan seks.

Perilaku seks yang bebas ini dapat membawa dampak negatif. Salah satu
dampak negatif yang tampak jelas adalah terjadinya penularan penyakit-penyakit
menular seksual. Perilaku seks bebas ini merupakan faktor resiko dari penularan
berbagai penyakit menular seksual seperti sifilis, gonore, dan HIV. (Notoatmodjo,
2007). Selain terjadinya penularan penyakit seksual, perilaku seks bebas akan
mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan atau KTD dan tindakan aborsi.

Laju perkembangan media massa dan elektronika yang semakin pesat


tampaknya mempengaruhi pola perilaku remaja, khususnya perilaku seksual
remaja. Kenyataan sehari-hari yang dapat dilihat misalnya tayangan film-film
yang masih terkesan vulgar, maraknya VCD porno, maupun adegan-adegan „syur‟
yang begitu mudahnya diakses di internet. Kecendrungan pelanggaran semakin
meningkat oleh karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual
melalui media massa yang dengan adanya teknologi canggih menjadi tidak
terbendung lagi. Remaja wanita dan laki-laki yang sedang dalam periode ingin
tahu dan mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari media
massa (Sarwono, 2006).

Universitas Sumatera Utara


15

Para ahli menyatakan bahwa aktifitas seksual pada anak yang belum
dewasa selalu memunculkan dua kemungkinan pemicu; pengalaman dan melihat.
Hal ini berarti anak-anak yang menyimpang secara seksual sering melihat adegan
seks tanpa penjelasan ilmiah yang selalu membangkitkan birahi dan
mengakibatkan kecanduan. Orang tua harus tetap mendampingi anaknya ketika
mereka bereksplorasi dengan internet. Internet menawarkan segala macam
informasi, mulai dari yang baik hingga yang buruk. Anak bisa saja mendapat
informasi yang tidak benar tentang seks dari internet. Lebih berbahaya lagi jika
anak memendam informasi tersebut dan tidak mendiskusikannya dengan orang
tuanya (Irianto, 2014) Selain itu, maraknya warung-warung internet semakin
memudahkan untuk mengakses gambar-gambar porno. Hal inilah yang semakin
memicu timbulnya berbagai aktifitas seksual yang pada akhirnya berlanjut ke
dalam hubungan seksual (Dianawati, 2011)

Remaja yang memasuki masa peralihan, memiliki pengetahuan yang


kurang tentang hubungan seksual pranikah. Masih rendahnya pengetahuan remaja
tentang kesehatan reproduksi yaitu tentang masa subur. Remaja perempuan dan
laki-laki usia 15-24 tahun yang mengetahui tentang masa subur mencapai 65
persen. Pengetahuan remaja tentang Penyakit Menular Seksual (PMS) masih
sangat rendah kecuali mengenai HIV/AIDS yaitu sekitar 95%, raja singa sekitar
37%, penyakit kencing nanah 12%, herpes genetalis 3%, klamida/kandidialis 2%
serta jengger ayam 0,3%. Data diatas menunjukkan bahwa pengetahuan remaja
tentang kesehatan reproduksi remaja (KRR) masih sangat rendah karena
terbatasnya akses informasi kesehatan reproduksi remaja kepada remaja. Hal ini
disebabkan karena orang tua merasa tabu membicarakan masalah seksual dengan
anaknya dan hubungan orang tua anak menjadi jauh sehingga anak berpaling ke
sumber-sumber lain yang tidak akurat khususnya teman (Sarwono, 2006).

Remaja mencoba mencari informasi di luar rumah karena menganggap


seks merupakan sesuatu yang tidak diperoleh di dalam rumah. Remaja tidak dapat
terbuka dalam membicarakan masalah seks dengan orang tuanya karena orang tua
mereka sendiri tidak pernah terbuka dengan anak-anaknya. Di pihak lain banyak
remaja yang mengangap bahwa orang tua mereka terlalu tua untuk diajak

Universitas Sumatera Utara


16

berdiskusi mengenai masalah seks. Secara ekstrim ada remaja yang beranggapan
bahwa lebih baik mencari pengalaman langsung dalam soal seks dari pada
mendiskusikannya dengan orang tua. (Irianto, 2014).

Penelitian Lestari, Suparno, dan Restu (2011) dengan hasil penelitian


bahwa terdapat perbedaan antara remaja laki-laki dan perempuan dalam memilih
sumber informasi tentang seks. Remaja perempuan memilh teman 41,6%, sebagai
sumber pertama. Berikutya adalah orang tua 14,2%, buku 6,9%, internet 6,5 %,
guru dan media 3,4%, kakak 2,7%,dan ahli 2,3%. Sedangkan pada remaja laki-
laki, sumber informasi tentang seks tertinggi adalah teman sebesar 41,8%, namun
unsur berikutnya adalah internet sebesar 8,6% guru, media dan buku sebesar
2,3%, orang tua 1,9%, ahli 1,1% dan kakak sebesar 0,75%.

Pengetahuan yang benar tentang seks dapat mengurangi atau menjadi


faktor penghambat perilaku seks bebas pada remaja. Pengetahuan seksual
pranikah remaja terdiri dari pemahaman tentang seksualitas yang dilakukan
sebelum menikah yang terdiri dari pengetahuan tentang fungsi hubungan seksual
akibat seksual pranikah, dan faktor yang mendorong seksual pranikah (Sarwono,
2006). Survei oleh WHO tentang pendidikan seks membuktikan bahwa
pendidikan seks bisa mengurangi atau mencegah perilaku hubungan seks
sembarangan yang berarti pula mengurangi tertularnya penyakit akibat hubungan
seks bebas. Pendidikan seks yang benar harus memasukkan unsur-unsur hak azazi
manusia, juga nilai-nilai kultur dan agama diikutsertakan di dalamnya sehingga
akan merupakan pendidikan akhlak dan moral juga (Zuhra, 2011).

Studi yang digagas oleh organisasi kesehatan reproduksi The Guttmacher


Institute telah membuktikan pentingnya pendidikan seks pada kalangan remaja.
Para ahli menganalisa data sekitar 4.691 remaja Amerika Serikat berusia 15-24
tahun yang diperoleh dari National Survey of Family Growth antara tahun 2006
hingga 2008. Pertanyaan dalam survei tersebut antara lain berusaha menggali
apakah para remaja memiliki bekal formal mengenai bagaimana menolak seks
dan juga metode kontrasepsi. Para remaja itu juga menjawab pertanyaan tentang
pengalaman pertama mereka melakukan seks vaginal (Anna, 2012).

Universitas Sumatera Utara


17

Hasil survei menunjukkan, sekitar dua pertiga remaja putri dan 55%
remaja pria pernah mendapatkan informasi mengenai pentingnya kontrasepsi dan
mengatakan tidak pada hubungan seks. Sekitar 20% menjawab mereka hanya
belajar bagaimana menunda seks dan 16% perempuan dan 24% anak laki-laki
mengatakan mereka tidak mendapatkan pendidikan seks. Kelompok terakhir yakni
yang tidak mendapat pendidikan seks ternyata memiliki perilaku seksual yang
paling buruk. Dari kelompok ini, lebih dari 80% mengaku mereka berhubungan
seks sebelum berusia 20 tahun. Selain itu, remaja yang mendapatkan pendidikan
seks mengaku mereka menggunakan kontrasepsi saat berhubungan seks pertama
kali. Mereka juga cenderung memiliki pasangan yang "lebih sehat", yakni
kekasih yang usianya sepantar atau tidak lebih dari tiga tahun (Anna, 2012).

Pendidikan seks selama ini hanya diberikan oleh institusi pendidikan dan
hanya sebatas pendidikan tentang anatomi dan fisiologi yaitu organ-organ
reproduksi beserta fungsinya dan proses perkembangan janin dalam rahim.
Padahal pendidikan seks mencakup pemahaman dan informasi yang lebih luas
dari pada informasi tersebut. Dalam pendidikan seks juga mencakup nilai-nilai
social-kultural dan moral serta orientasi seks. Pendidikan seks disekolah juga
dinilai kurang efektif karena terdapat laki-laki dan perempuan dalam satu kelas.
(Esti, 2008).

Pendidikan seks juga seharusnya diberikan oleh keluarga. Hal ini selaras
dengan penelitian yang dilakukan Diah, dkk (2015), terdapat hubungan signifikan
antara peran orang tua dengan perilaku seksual pra nikah di SMKN 1 Sedayu, dan
penelitian yang dilakukan rasmiani, terdapat hubungan yang signifikan antara
peran orang tua dengan perilaku seksual remaja, komunikasi antara orang tua
dengan remaja diakatakan berkualitas apabila kedua belah pihak memiliki
hubungan yang baik dalam arti bisa saling mempercayai dan menyayangi satu
sama lain, sedangkan komunikasi yang kurang berkualitas mengindikasikan
kurangnya perhatian, pengetian, kepercayaan dan kasih saying antara keduanya.
Namun kenyataannya banyak orang tua yang enggan memberikan pendidikan seks
kepada anaknya. Hal ini dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap orang tua
tentang pendidikan seks itu sendiri. Sebagian besar masyarakat menganggap

Universitas Sumatera Utara


18

memberikan pendidikan seks berarti mengajarkan tentang bagaimana


berhubungan seksual sehingga dengan memberikan pendidikan seks pada remaja
remaja akan semakin mendekat dengan perilaku seks bebas. Hal ini yang
menyebabkan masih rendahnya pemberian pendidikan seks oleh orang tua kepada
anak remajanya. (Devi , 2010).

Berdasarkan penelitian Claretta dan Susanti (2004) orang tua hanya


memberikan kontribusi 3% bagi remaja laki-laki dan 8% bagi remaja perempuan
yang berani bertanya tentang seksualitas. Penelitian lain di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa 68 persen orangtua tak pernah berusaha menjelaskan
masalah seks pada anak-anaknya. Kebanyakan dari mereka merasa malu untuk
menjelaskannya. Bahkan sekitar 47% orangtua percaya bahwa sekolah memiliki
tanggung jawab penuh untuk mengajarkan anak tentang hubungan seksual. Hasil
ini diketahui berdasarkan survei yang dilakukan oleh CouponCodesu pada 2.305
orangtua yang memiliki setidaknya satu anak berusia di atas 12 tahun. Sekitar
44% orangtua beralasan bahwa mereka terlalu malu untuk mendiskusikan seks
dengan anak. Sekitar 27% mengatakan bahwa mereka menjauhi topik itu
karena alasan agama. Sementara 11 % orangtua tak mau menjelaskan hal itu
karena tak percaya bahwa anak membutuhkan pelajaran seksual. Uniknya, 15 %
orangtua percaya anggota keluarga lain seperti kakak bisa menjadi rujukan
bagi anak mereka untuk belajar tentang seks. Lebih dari seperlima percaya anak
mereka bisa belajar dari teman-temannya. Sementara lebih dari 11%
orangtua merasa televisi dan internet bisa memberikan pelajaran tentang seks pada
anak (Ananda, 2013).

Kelurahan Sudirejo I Kecamatan Medan Kota merupakan salah satu


Kelurahan yang ada di Kecamatan Medan Kota. Jumlah penduduk tahun 2015
kelompok umur 10-21 tahun yang ada di kelurahan ini yaitu sekitar 7.326 jiwa.
Berdasarkan hasil survey pendahuluan pada bulan Mei tahun 2016 diketahui
bahwa terdapat beberapa kasus kehamilan diluar nikah pada remaja, beberapa
kontrakan yang dihuni oleh pasangan sesama jenis, adanya kasus pelecehan
seksual dan terdapat 2 orang pekerja seks komersial yang tinggal tetap di
kelurahan Sudirejo 1.

Universitas Sumatera Utara


19

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan di Kelurahan Sudirejo 1


Kecamatan Medan Kota, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian untuk
menggambarkan Peran Pasangan Usia Subur terhadap Pendidikan Seks Remaja.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran peran Pasangan Usia subur terhadap Pendidikan


Seks Remaja di Kelurahan Sudirejo 1 Kecamatan Medan Kota.
1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Diketahuinya peran Pasangan Usia Subur terhadap Pendidikan Seks


Remaja di Kelurahan Sudirejo 1 Kecamatan Medan Kota tahun 2017.
1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui peran Pasangan Usia Subur dalam mengontrol

informasi yang diterima anak.

2. Untuk mengetahui peran Pasangan Usia Subur dalam memberikan

informasi.

3. Untuk mengetahui peran Pasangan Usia Subur dalam menjelaskan

bagaimana cara mengatasi perkembangan seksualitasnya.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Memberikan gambaran mengenai peran pasangan usia subur dalam

pemberian pendidikan seks kepada remaja.

2. Sebagai bahan masukan atau sumber pustaka bagi penelitian yang terkait

lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai