BAB I
PENDAHULUAN
Perilaku seks yang bebas ini dapat membawa dampak negatif. Salah satu
dampak negatif yang tampak jelas adalah terjadinya penularan penyakit-penyakit
menular seksual. Perilaku seks bebas ini merupakan faktor resiko dari penularan
berbagai penyakit menular seksual seperti sifilis, gonore, dan HIV. (Notoatmodjo,
2007). Selain terjadinya penularan penyakit seksual, perilaku seks bebas akan
mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan atau KTD dan tindakan aborsi.
Para ahli menyatakan bahwa aktifitas seksual pada anak yang belum
dewasa selalu memunculkan dua kemungkinan pemicu; pengalaman dan melihat.
Hal ini berarti anak-anak yang menyimpang secara seksual sering melihat adegan
seks tanpa penjelasan ilmiah yang selalu membangkitkan birahi dan
mengakibatkan kecanduan. Orang tua harus tetap mendampingi anaknya ketika
mereka bereksplorasi dengan internet. Internet menawarkan segala macam
informasi, mulai dari yang baik hingga yang buruk. Anak bisa saja mendapat
informasi yang tidak benar tentang seks dari internet. Lebih berbahaya lagi jika
anak memendam informasi tersebut dan tidak mendiskusikannya dengan orang
tuanya (Irianto, 2014) Selain itu, maraknya warung-warung internet semakin
memudahkan untuk mengakses gambar-gambar porno. Hal inilah yang semakin
memicu timbulnya berbagai aktifitas seksual yang pada akhirnya berlanjut ke
dalam hubungan seksual (Dianawati, 2011)
berdiskusi mengenai masalah seks. Secara ekstrim ada remaja yang beranggapan
bahwa lebih baik mencari pengalaman langsung dalam soal seks dari pada
mendiskusikannya dengan orang tua. (Irianto, 2014).
Hasil survei menunjukkan, sekitar dua pertiga remaja putri dan 55%
remaja pria pernah mendapatkan informasi mengenai pentingnya kontrasepsi dan
mengatakan tidak pada hubungan seks. Sekitar 20% menjawab mereka hanya
belajar bagaimana menunda seks dan 16% perempuan dan 24% anak laki-laki
mengatakan mereka tidak mendapatkan pendidikan seks. Kelompok terakhir yakni
yang tidak mendapat pendidikan seks ternyata memiliki perilaku seksual yang
paling buruk. Dari kelompok ini, lebih dari 80% mengaku mereka berhubungan
seks sebelum berusia 20 tahun. Selain itu, remaja yang mendapatkan pendidikan
seks mengaku mereka menggunakan kontrasepsi saat berhubungan seks pertama
kali. Mereka juga cenderung memiliki pasangan yang "lebih sehat", yakni
kekasih yang usianya sepantar atau tidak lebih dari tiga tahun (Anna, 2012).
Pendidikan seks selama ini hanya diberikan oleh institusi pendidikan dan
hanya sebatas pendidikan tentang anatomi dan fisiologi yaitu organ-organ
reproduksi beserta fungsinya dan proses perkembangan janin dalam rahim.
Padahal pendidikan seks mencakup pemahaman dan informasi yang lebih luas
dari pada informasi tersebut. Dalam pendidikan seks juga mencakup nilai-nilai
social-kultural dan moral serta orientasi seks. Pendidikan seks disekolah juga
dinilai kurang efektif karena terdapat laki-laki dan perempuan dalam satu kelas.
(Esti, 2008).
Pendidikan seks juga seharusnya diberikan oleh keluarga. Hal ini selaras
dengan penelitian yang dilakukan Diah, dkk (2015), terdapat hubungan signifikan
antara peran orang tua dengan perilaku seksual pra nikah di SMKN 1 Sedayu, dan
penelitian yang dilakukan rasmiani, terdapat hubungan yang signifikan antara
peran orang tua dengan perilaku seksual remaja, komunikasi antara orang tua
dengan remaja diakatakan berkualitas apabila kedua belah pihak memiliki
hubungan yang baik dalam arti bisa saling mempercayai dan menyayangi satu
sama lain, sedangkan komunikasi yang kurang berkualitas mengindikasikan
kurangnya perhatian, pengetian, kepercayaan dan kasih saying antara keduanya.
Namun kenyataannya banyak orang tua yang enggan memberikan pendidikan seks
kepada anaknya. Hal ini dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap orang tua
tentang pendidikan seks itu sendiri. Sebagian besar masyarakat menganggap
informasi.
2. Sebagai bahan masukan atau sumber pustaka bagi penelitian yang terkait
lainnya.