Anda di halaman 1dari 14

MATERI PEMBELAJARAN

KESEHATAN REPRODUKSI

A. KESEHATAN REPRODUKSI
1. PENGERTIAN KESEHATAN REPRODUKSI
Undang-undang Kesehatan No. 23 tahun 1992 memberikan batasan: kesehatan adalah
keadaan sejahtera badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup
produktif secara sosial dan ekonomi.
Kesehatan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memang lebih luas dan
dinamis dibandingkan dengan batasan sebelumnya yang mengatakan, bahwa kesehatan
adalah keadaan sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial, dan tidak hanya bebas dari
penyakit dan cacat. Pada batasan yang terdahulu, kesehatan itu hanya mencakup tiga
aspek, yakni: fisik, mental, dan sosial, tetapi menurut Undang-undang No. 23/1992,
kesehatan itu mencakup 4 aspek, yakni fisik (badan), mental (jiwa), sosial, dan ekonomi.
Hal ini berarti kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental, dan sosial
saja, tetapi juga diukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau
menghasilkan secara ekonomi (Notoatmodjo, 2007:3).
Kesehatan reproduksi menurut WHO adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan
sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal
yang berkaitan dengan system reproduksi serta fungsi dan prosesnya.
a. Reproduksi
Secara sederhana reproduksi berasal dari kata “re” (kembali) dan “produksi”
(membuat atau menghasilkan), jadi reproduksi mempunyai arti suatu proses kehidupan
manusia dalam menghasilkan keturunan demi kelestarian hidup.
b. Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh
dalam segala hal yang berkaitan dengan fungsi, peran system reproduksi dan prosesnya
(Depkes 2001).
2. Ruang Lingkup
Kesehatan reproduksi berkaitan dengan fertilitas, karena kemampuan wanita
melahirkan anak hidup dan sehat sangat dipengaruhi oleh kesehatan reproduksi wanita.
Secara tradisional kesehatan reproduksi hanya dipelajari sebatas masalah kesehatan ibu
dan anak. (Maternal and Child Health (MCH)).
Pada kurun waktu 20 tahun terakhir, ruang lingkup studi kesehatan reproduksi tidak
sekedar MCH, tetapi juga keterkaitan proses reproduksi dengan masalah-masalah sosial
lain yang lebih luas, seperti kependudukan,keluarga berencana, status wanita dan
penularan penyakit.
3. Tujuan Kesehatan Reproduksi
Tujuan dari kesehatan reproduksi adalah:
a. Meningkatkan kemandirian wanita dalam memutuskan peran dan fungsi reproduksi.
b. Meningkatkan hak dan tanggung jawab sosial wanita dalam menentukan kapan hamil,
jumlah dan jarak kehamilan.
c. Meningkatkan peran dan tanggung jawab sosial pria.
d. Dukungan yang menunjang wanita untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan
proses reproduksi.
Ruang lingkup kesehatan reproduksi yang terutama dalam kebijakan dan strategi
nasional kesehatan Republik Indonesia meliputi:
a. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir.
b. Pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran reproduksi termasuk PMS – KESPRO
XI 2016-1_R1 HIV/AIDS.
c. Pencegahan dan penanggulangan komplikasi aborsi.
d. Kesehatan reproduksi remaja.
e. Pencegahan dan penanggulangan infertile.
f. Kanker pada usia lanjut.
g. Berbagai aspek kesehatan reproduksi lain, misalnya kanker serviks, mutilasi genital,
fistula, dan lain-lain.
4. Hak dan Kewajiban
Kesehatan reproduksi dalam arti luas meliputi seluruh proses, fungsi, dan system
reproduksi pada seluruh tahapan kehidupan yang menjadi hak manusia. Secara lebih
khusus studi kesehatan reproduksi mempelajari bagaimana individu dapat terbebas dari
berbagai gangguan kesehatan yang disebabkan oleh proses atau bekerjanya fungsi dan
system reproduksi. Manusia (terutama pada kurun usia reproduksi) secara naluriah
mempunyai dorongan seksual (sexual drives), lalu muncul hasrat mencari pasangan
(sexual partnership). Akhirnya muncul aktivitas seksual (sexual acts) sehingga mengalami
kehamilan dan melahirkan.
Proses yang dilalui oleh individu tersebut dapat menyebabkan gangguan kesehatan
reproduksi berupa kehamilan dan kelahiran yang tidak dikehendaki, atau bayi lahir mati.
Perilaku seksual tidak seluruhnya didasari niat untuk mendapatkan keturunan. Beberapa
kasus, wanita dan pasangan berusaha menghindari risiko tersebut, antara lain dengan
menggunakan kontrasepsi.
Kegagalan dalam pemakaian kontrasepsi dapat menimbulkan masalah kesehatan
reproduksi, yaitu kehamilan yang tidak dikehendaki. Menghadapi masalah ini, alternative
pemecahan masalah yang dapat diambil oleh wanita dan pasangannya adalah diteruskan
sampai melahirkan atau diakhiri (aborsi disengaja).
Pemakaian kontrasepsi dapat pula menimbulkan masalah lain, misalnya efek samping
kesehatan (seperti pusing-pusing, tekanan darah tinggi, pendarahan, infeksi dan
sebagainya) dan terampasnya hak reproduksi wanita (jika pemakaian kontrasepsi
dilakukan tanpa mengindahkan efek samping kontrasepsi atau preferensi wanita pemakai
kontrasepsi).
Kehamilan adalah peristiwa reproduksi penting yang dialami oleh setiap wanita.
Wanita hamil harus melakukan pemeriksaan kehamilan secara teratur, menjaga kesehatan
dan makan makanan bergizi, agar janin yang dikandungnya berkembang sehat sampai saat
persalinan. Kegagalan dalam merawat kehamilan, tidak amannya pertolongan persalinan
yang diterima, dapat berakibat buruk atau bahkan fatal pada bayi dan ibunya (kematian
bayi dan kematian ibu).
Hak-hak reproduksi seperti yang tercantum dalam konferensi internasional
kependudukan dan pembangunan, disepakati hak-hak reproduksi yang bertujuan untuk

2|Page
mewujudkan kesehatan bagi individu secara utuh, baik kesehatan rohani dan jasmani,
yaitu meliputi:
a. Hak mendapat informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi.
b. Hak mendapat pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi.
c. Hak kebebasan berfikir tentang pelayanan kesehatan reproduksi.
d. Hak dilindungi dan kematian karena kehamilan.
e. Hak untuk menentukan jumlah dan jarak kehamilan.
f. Hak atas kebebasan dan keamanan yang berkaitan dengan kehidupan reproduksinya.
g. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari
pelecehan, perkosaan, kekerasan, penyiksaan seksual.
h. Hak mendapatkan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan
kesehatan reproduksi.
i. Hak atas pelayanan dan kehidupan reproduksinya.
j. Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga.
k. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam berkeluarga dan kehidupan
kesehatan reproduksi.
l. Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan
kesehatan reproduksi.
Menurut BKKBN (2000), kebijakan teknis operasional di Indonesia untuk mewujudkan
pemenuhan hak-hak reproduksi, yaitu:
a. Promosi hak-hak kesehatan reproduksi
b. Advokasi hak-hak kesehatan reproduksi
c. KIE hak-hak kesehatan reproduksi
d. Sistem pelayanan hak-hak reproduksi.

B. PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI


1. Pendahuluan
Penting bagi orang tua untuk memberikan pendidikan seks kepada anak mereka yang
baru memasuki masa pubertas. Pendidikan seks ini tidak hanya berlaku bagi remaja dalam
masa pubertas tapi juga diberikan pada anak dalam masa prasekolah dan sekolah.
Anak-anak dan remaja rentan terhadap informasi yang salah mengenai seks. Jika
mendapatkan pendidikan seks yang tidak sepatutnya, mereka akan termakan mitos-mitos
tentang seks yang tidak benar. Informasi tentang seks sebaiknya didapatkan langsung dari
orang tua yang memiliki perhatian khusus terhadap anak-anak mereka.
Hasil survey Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan
bahwa lebih dari 60 persen remaja di Indonesia telah melakukan hubungan seks pranikah.
Angka yang memprihatinkan di negeri yang cukup menjunjung tinggi nilai moral
sehubungan seks.
Penyebab mereka melakukan hubungan seks pranikah adalah karena kurangnya
pendidikan seks kepada anak dan remaja sebelumnya.
2. Pendidikan Seks
Pendidikan seks mulai diberikan sejak anak masih balita. Jika menunda memberikan
pendidikan seks pada saat anak mulai memasuki usia remaja, maka itu sudah terlambat.
Karena di mana informasi mudah didapat dari internet dan teman sebaya, maka saat anak

3|Page
usia remaja mereka telah mengetahui lebih banyak tentang seks dan kemungkinan besar
dari sudut pandang yang salah.
Cara terbaik memberikan pendidikan seks kepada anak-anak adalah sesuai dengan
tingkat usianya. Beberapa tahapan umur dan cara memberikan pendidikan seks sesuai
dengan tingkat usia anak adalah sebagai berikut:
a. Balita (1 – 5 tahun)
Menanamkan pendidikan seks di usia ini dapat dimulai dengan cara yang cukup
mudah, yaitu dengan mulai memperkenalkan kepada anak organ-organ seks miliknya
secara singkat. Tidak perlu memberi penjelasan detail karena daya tangkap yang belum
matang.
Misalnya saat memandikan anak, bisa memberitahu berbagai organ tubuh anak,
seperti rambut, kepala, tangan, kaki, perut, dan jangan lupa penis dan vagina atau vulva.
Lalu terangkan perbedaan alat kelamin dari lawan jenisnya, misalnya bila anak
memiliki adik yang berlawanan jenis.
Jelaskan juga bahwa alat kelamin tersebut tidak boleh dipertontonkan dengan
sembarang orang, dan jelaskan tidak boleh ada yang menyentuhnya tanpa diketahui
orang tua, dan anak harus berteriak keras-keras dan melapor kepada orang tuanya.
Sehingga anak-anak bisa dilindungi terhadap banyaknya kasus kekerasan dan
pelecehan seksual terhadap anak.
b. Usia 3 – 10 tahun
Anak biasanya mulai aktif bertanya tentang seks pada usia ini. Misalnya anak akan
bertanya dari mana ia berasal, atau pertanyaan yang umum seperti bagaimana asal –
usul bayi.
Jawaban – jawaban yang sederhana dan terus terang biasanya efektif, seperti contoh
– contoh berikut:
Contoh 1:
Untuk anak dengan usia 3 tahun sampai dengan 5 tahun.
“bayi berasal dari mana?” Orang tua bisa menjawab dari perut ibu. Atau bisa tunjukkan
seorang ibu yang sedang hamil dan menunjukkan lokasi bayi di perut ibu tersebut.
Contoh 2:
Untuk anak usia 6 tahun sampai dengan 8 tahun.
“bagaimana bayi keluar dari perut Ibu?” Orang tua bisa menjawab bayi keluar dari
lubang vagina atau vulva supaya bisa keluar dari perut ibu.
Contoh 3:
Untuk anak usia 9 tahun sampai dengan 10 tahun.
“Mengapa bayi bisa ada di perut?” Orang tua bisa menjawab bahwa bayi di perut Ibu
karena ada benih yang diberikan oleh ayah kepada ibu. Caranya adalah ayah
memasukkan benih tersebut menggunakan penis dan melalui vagina dari ibu. Itu yang
dinamakan hubungan seks, dan itu hanya boleh dilakukan oleh pria dan wanita yang
telah menikah.
c. Usia Menjelang Remaja
Saat anak semakin berkembang, mulai saatnya orang tua menerangkan mengenai
haid, mimpi basah, dan juga perubahan – perubahan fisik yang terjadi pada seorang
remaja. Orang tua dapat menerangkan bahwa anak gadis kecilnya akan mengalami

4|Page
perubahan bentuk payudara, atau menerangkan akan adanya tumbuh bulu – bulu di
sekitar alat kelaminnya.
d. Usia Remaja
Seorang remaja akan mengalami banyak perubahan secara seksual. Orang tua perlu
lebih intensif menanamkan nilai moral yang baik kepadanya. Berikan penjelasan
mengenai kerugian seks bebas seperti penyakit yang ditularkan dan akibat – akibatnya.
Menurut penelitian, pendidikan seks sejak dini akan menghindari kehamilan di luar
pernikahan saat anak – anak bertumbuh menjadi remaja dan saat dewasa kelak. Tidak
perlu tabu membicarakan seks dalam keluarga. Karena anak perlu mendapatkan
informasi yang tepat dari orang tuanya, bukan dari orang lain tentang seks.
Anak mempunyai rasa ingin tahu yang besar, jika anak tidak dibekali pendidikan
seks, maka anak tersebut akan mencari jawaban dari orang lain, dan akan lebih
menakutkan bila informasi seks didapatkan dari teman sebaya atau internet yang
informasinya belum tentu benar. Sebaiknya lindungi anak – anak sejak dini dengan
membekali mereka pendidikan mengenai seks dengan cara yang tepat.
Usia produktif sehat untuk wanita adalah 20 – 30 tahun, selain itu secara mental
pada umur ini wanita cukup matang dan dewasa. Sedangkan Ibu muda biasanya
memiliki kemampuan perawatan prenatal kurang baik, karena rendahnya pengetahuan
dan rasa malu untuk datang memeriksakan diri ke Pusat Layanan Kesehatan.
3. Peraturan dan Undang – undang yang berlaku
Ruang lingkup studi kesehatan reproduksi, tidak sekedar “Mother and Child Health
(MCH)”, tetapi juga keterkaitan proses reproduksi dengan masalah – masalah sosial lain
yang lebih luas, seperti kependudukan, keluarga berencana, status wanita, keluarga dan
penularan penyakit.
Bersyukur bahwa bangsa Indonesia dalam kurun waktu sejak merdeka tahun 1945
sudah menjunjung tinggi derajat dan martabat warga negaranya seperti yang tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa”
oleh karena itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan “karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan keadilan”.
Untuk menjunjung tinggi perikemanusiaan dan keadilan sudah terdapat di dalam
Undang-undang khusus yang membahas berbagai permasalahan dan Peraturan Pemerintah
yang menjadi pelaksana Undang-undang khusus tersebut.
Undang-undang yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi dimaksud adalah:
a. Undang – undang Dasar Republik Indonesia – Tahun 1945
b. Undang – undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
c. Undang – undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
d. Undang – undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang tenaga kerja
(diperbaharui dengan Undang – undang tahun 2012).
e. Undang – undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan
KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
f. Undang – undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2008 tentang pornografi.
g. Undang – undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Undang – undang tersebut menjelaskan adanya kesetaraan gender antara pria dan
wanita dalam berkeluarga, bekerja, dan kewajibannya mendidik anak serta perilaku yang

5|Page
harus dilaksanakan setiap warga negaranya dalam rangka menjunjung tinggi harkat
manusia dalam situasi apapun selama berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).

C. SUDUT PANDANG KESEHATAN REPRODUKSI


1. Seks Sehat
Dimensi kesehatan dari kesehatan reproduksi, secara lebih rinci terdiri dari dua
elemen kesehatan reproduksi, yaitu seks sehat dan reproduksi sehat.
Kondisi seksual dikatakan sehat apabila:
a. Individu terbebas atau terlindung dari kemungkinan tertular penyakit menular karena
hubungan seks (Sexual Transmitting Disease, disingkat STTD).
b. Individu terlindung dari praktik – praktik yang berbahaya dan kekerasan seksual.
c. Individu dapat mengontrol akses seksual orang lain terhadapnya.
d. Individu dapat memperoleh kenikmatan atau kepuasan seksual.
e. Individu dapat memperoleh informasi tentang seksualitas.
Gangguan kesehatan seksual terjadi apabila terdapat hambatan atau masalah pada
salah satu atau lebih dari faktor – faktor di atas. Individu dapat tertular penyakit, cacat,
atau bahkan mati karena menggunakan obat – obat perangsang, menjadi korban dari
kekerasan seksual, mempunyai kemampuan kontrol yang lemah terhadap akses seksual,
gagal memperolah kepuasan seksual dari pasangannya, atau mempunyai akses yang
rendah untuk memperoleh informasi tentang seksualitas.
a. Penularan Penyakit
Wanita dapat mengalami infeksi pada system saluran reproduksi mereka
(Reproductive Tract Infection, disingkat RTI). Penggunaan IUD, aborsi yang tidak
aman, masuknya benda – benda atau alat – alat yang tidak steril ke dalam alat
reproduksi wanita, dan lain – lain dapat menyebabkan timbulnya RTI. Salah satu
penyebab utama timbulnya RTI adalah terinfeksinya individu dari berbagai penyakit
karena hubungan seksual (PMS). PMS merupakan masalah kesehatan reproduksi yang
semakin memperoleh perhatian, karena sifatnya yang menular, sulit penanggulangan
(terutama AIDS), dan besarnya implikasi dari penyakit tersebut terhadap kualitas
sumber daya manusia.
PMS semakin menyebar seiring dengan bertambah longgarnya kecenderungan
seksualitas masyarakat. Praktek gonta – ganti pasangan, homoseksualitas, biseksual dan
merebaknya seks komersial dalam berbagai bentuk merupakan sumber penyebaran
penyakit PMS.
b. Praktek Seksual Berbahaya dan Kekerasan Seksual
Perilaku seksual yang membahayakan tubuh perilaku atau pasangannya karena
menggunakan obat – obat perangsang yang mudah didapat di pasaran untuk
meningkatkan gairah seksual, obat – obat atau jamu-jamu untuk memperpanjang masa
ereksi, memperbesar atau memperpanjang alat reproduksi, dan lain – lain, yang sering
kali mempunyai efek samping negative pada pemakaiannya.
Sejumlah alat bantu yang dipakai dalam hubungan seks dari bahan karet, kayu atau
botol yang juga dapat membahayakan kesehatan pelakunya. Hubungan seks sering

6|Page
berlangsung bukan karena kemauan kedua belah pihak, tetapi dapat terjadi di bawah
ancaman, sering pula disertai tindakan kekerasan (sexual violence).
Pelecehan dan kekerasan seksual dapat terjadi di dalam rumah tangga (suami
terhadap istri, orang tua terhadap anak, paman terhadap keponakannya, juragan
terhadap pembantunya, dan sebagainya) dan di luar rumah, baik di tempat-tempat
umum, di hotel atau juga di tempat kerja. Perlu juga dicatat bahwa pelecehan atau
kekerasan seksual dapat dilakukan wanita terhadap laki-laki. Misalnya pembantu
wanita yang memaksa anak laki-laki asuhannya untuk memuaskan hasrat seksualnya.
Kebanyakan perilaku demikian lebih banyak dilakukan laki-laki terhadap wanita
daripada sebaliknya.
c. Informasi tentang Seksualitas
Informasi tentang seksualitas akan berpengaruh terhadap pengetahuan individu
tentang seksualitas, membentuk makna subjektif tentang seksualitas, menuntun pola
berpasangan seksual dan mengontrol perilaku seksual seseorang.
Individu yang kurang memahami informasi tentang seksualitas dan cara penularannya
dan kurang mengontrol perilaku seksualnya akan mudah tertular penyakit.
Wanita yang menderita infeksi pada system saluran reproduksinya dan kurang
memahami gejala yang dialami mungkin akan membiarkan keluhan terjadi sampai
keluhan itu berkembang lebih akut dan membawa dampak lebih buruk pada kesehatannya.
Wanita yang tidak memiliki pengetahuan tentang kehamilan dan cara-cara
pencegahannya dapat mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki. Informasi tentang
seksualitas sangat penting untuk menjaga kesehatan seksual individu.
Informasi seksual dapat diberikan melalui pendidikan keluarga, pendidikan agama di
pesantren atau tempat-tempat ibadah, pergaulan dengan teman, guru di sekolah, bahan
bacaan, media elektronik dan lain-lain.
Jenis materi yang disampaikan melalui berbagai media tersebut dapat berbeda, baik
dalam substansi, intensitas, atau daya pengaruhnya pada individu. Sering dikatakan bahwa
penyimpangan seksual dikarenakan terlalu dominannya pengaruh media masa dan
elektronik dalam menyebarkan informasi seksual bebas, sementara keluarga, sekolah, atau
pesantren kurang memberikan bekal pengetahuan seksual yang sebanding.
Bagaimana memberikan informasi yang lengkap dan mendidik tentang seksualitas
dengan maksud agar penyimpangan seksual dapat ditekan, juga resiko penularan penyakit
dan kehamilan tidak dikehendaki dapat dicegah, merupakan tantangan besar dalam
pendidikan kesehatan reproduksi.
2. Reproduksi Sehat
Kesehatan dalam proses reproduksi (kehamilan dan persalinan) merupakan pusat
perhatian utama kesehatan reproduksi. Studi kesehatan reproduksi menaruh perhatian pada
upaya membebaskan individu dari segala kemungkinan gangguan kesehatan karena
menggunakan cara-cara pencegahan kehamilan (kontrasepsi), gangguan kesehatan karena
kehamilan, dan gangguan kesehatan karena aborsi yang tidak aman.
Secara garis besar individu dikatakan terbebas dari gangguan reproduksi, apabila:
a. Aman dari kemungkinan kehamilan tak dikehendaki.
b. Terlindung dari praktik reproduksi yang berbahaya.
c. Bebas memilih kontrasepsi yang cocok baginya.

7|Page
d. Punya akses terhadap informasi kontrasepsi dan reproduksi.
e. Punya akses terhadap perawatan kehamilan dan pelayanan persalinan yang aman.
f. Punya akses terhadap pengobatan (treatment) kemandulan (infertility): (Dixon Mueller,
1994).
Pentingnya perlindungan terhadap berbagai hal dibawah ini, yaitu:
a. Perlindungan Terhadap Kehamilan tidak Dikehendaki
Membebaskan individu dari kehamilan tak dikehendaki (melalui penundaan
perkawinan, penundaan atau pencegahan kehamilan melalui penggunaan kontrasepsi
dan sterilisasi, dan lain-lain), merupakan tema penting dari kesehatan reproduksi, dan
ini pula yang merupakan tema penting dari pendekatan keluarga berencana.
Bedanya adalah bila dalam keluarga berencana pencegahan dari kehamilan tak
dikehendaki diletakkan sebagai bagian dari upaya penurunan fertilitas, dalam kesehatan
reproduksi pencegahan kehamilan diletakkan sebagai bagian dari hak reproduksi wanita
yang harus dilindungi atau dihargai.
Artinya pendekatan kesehatan reproduksi berasumsi bahwa setiap wanita
mempunyai hak untuk menentukan kapan mengalami kehamilan dan kapan
menghindarinya. Gangguan kesehatan reproduksi terjadi, apabila wanita tidak
mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihan tentang pencegahan kehamilan dan
cara-cara yang diinginkan. Sejalan dengan asumsi ini, pendekatan kesehatan reproduksi
juga berasumsi bahwa wanita sebaiknya dilindungi haknya untuk mengakhiri
kehamilan yang tidak diinginkan melalui penyediaan pertolongan aborsi yang aman.
Kehamilan tak dikehendaki dapat terjadi pada wanita menikah atau tidak/belum
menikah, termasuk remaja belum menikah.
Ada dua masalah yang harus dipecahkan oleh remaja wanita yang mengalami
kehamilan tak dikehendaki.
1) Masalah pertama berkenan dengan status perkawinannya; apakah akan menikah
dengan pria yang menghamilinya atau tidak.
2) Masalah kedua berkenaan dengan keputusan apakah akan meneruskan kehamilannya
atau menggugurkannya.
Masing-masing pilihan mempunyai implikasi sosial, ekonomis, dan psikologis yang
berbeda. Pernikahan akan menyelamatkan kehormatan wanita di mata keluarga dan
masyarakat, tapi pada saat yang sama dapat menghancurkan masa depan pendidikan
dan pengembangan karir mereka di masa depan.
Sementara itu memilih tidak menikah akan menimbulkan konsekuensi sosial dan
psikologis yang tinggi (dikucilkan dari keluarga, dicemooh tetangga, stress, dan
sebagainya).
Pada wanita yang memilih nikah dengan pria yang menghamilinya atau pria lain
yang bersedia menikahinya akan lebih mudah membuat keputusan, misalnya
meneruskan kehamilan, terutama bila pria dan keluarganya setuju dengan pilihan
tersebut.
Tetapi tidak demikian halnya dengan wanita yang memilih tidak menikah atau
dihadapkan pada situasi yang tidak memungkinkan baginya untuk menikah (misalnya
ditinggal lari pria yang menghamilinya, pria tersebut mengelak dari tanggung jawab,

8|Page
orang tua tidak menyetujui pernikahan, tidak jelas siapa laki-laki yang menghamilinya
karena wanita tersebut berhubungan dengan lebih dari satu lelaki, dan sebagainya).
Meneruskan kehamilan artinya menjadi orang tua tunggal (single parent) dengan
seluruh implikasinya. Menggugurkan kandungan juga bukan pilihan yang mudah akses
melakukan pengguguran yang aman terbatas, dan besarnya risiko fisik dari
pengguguran (kemungkinan komplikasi pasca aborsi). Belum lagi ditambah dengan
rasa bersalah dan berdosa yang tidak berkesudahan yang sering menghinggapi perasaan
para pelaku aborsi.
Persoalan menjadi lebih rumit bagi remaja karena mereka mempunyai keterbatasan
dalam pengambilan keputusan. Keputusan menikah dan tidak menikah, juga keputusan
menggugurkan atau meneruskan, tidak sepenuhnya berada di tangan mereka.
b. Perlindungan Terhadap Praktek Reproduksi yang Berbahaya
Praktek reproduksi misalnya persalinan, dapat berlangsung tidak aman, yaitu bila
ditolong oleh penolong yang tidak berpengalaman dan menggunakan cara-cara yang
dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa bayi dan ibu.
Pertolongan oleh dukun bayi sering dilakukan secara kurang aman atau sehat,
sehingga banyak mengakibatkan terjadinya kematian bayi dan ibu. Tetapi tidak jarang
persalinan yang ditolong oleh bidan dan dokter mengalami kegagalan karena
terbatasnya peralatan pertolongan persalinan yang dipakai, atau kesalahan manusiawi
(human error) yang dilakukan penolong dalam proses persalinan.
Membebaskan ibu hamil dari persalinan yang tidak aman menjadi persoalan penting
pula dalam kesehatan reproduksi.
Beberapa isu penting dalam hal ini, seperti misalnya bagaimana meningkatkan
keterampilan dukun bayi dalam pertolongan persalinan, bagaimana meningkatkan daya
jangkau pertolongan persalinan oleh bidan dan dokter kandungan, bagaimana
meningkatkan mutu pertolongan persalinan oleh bidan dan dokter kandungan.
c. Kebebasan Memilih Kontrasepsi yang Sesuai
Hak reproduksi wanita juga tercermin dari kebebasan yang dimiliki wanita dalam
menentukan jenis kontrasepsi yang sesuai. Setiap wanita mempunyai pilihan yang
berbeda. Pilihan tersebut harus dihormati oleh pasangannya dan petugas keluarga
berencana.
Memaksa wanita menggunakan jenis kontrasepsi tertentu berarti tidak menghargai
hak reproduksi wanita. Inilah juga perbedaan penting antara kesehatan reproduksi dan
keluarga berencana.
Program keluarga berencana cenderung berorientasi pada penurunan fertilitas, dan
pilihan alat kontrasepsi lebih banyak dipertimbangkan dari sudut efektivitasnya dalam
menurunkan fertilitas.
Misalnya pasangan dengan 3 anak dianjurkan melakukan sterilisasi, untuk pasangan
dengan 2 anak dianjurkan memakai IUD, dan untuk yang masih beranak 1 dapat
menggunakan kondom atau pil KB.
Dalam pendekatan kesehatan reproduksi, pilihan kontrasepsi ditentukan oleh
referensi subjektif dari wanita, kontrasepsi menurutnya paling sesuai untuk
menjarangkan atau mencegah kehamilan.

9|Page
Pemaksaan atas wanita oleh pasangan atau petugas keluarga berencana untuk
menggunakan kontrasepsi tertentu dianggap sebagai melanggar hak reproduksi wanita.
Dalam keluarga berencana, kontrasepsi digunakan untuk tujuan pencegahan
kehamilan. Dalam kesehatan reproduksi, kontrasepsi juga digunakan untuk mencegah
penularan PMS. Inilah perbedaan lain antara kesehatan reproduksi dan keluarga
berencana.
Karena ada dua tujuan yang berbeda dalam kesehatan reproduksi, pemilihan
kontrasepsi yang sesuai menjadi lebih rumit. Sebab alat kontrasepsi yang efektif untuk
maksud pencegahan kehamilan (sterilisasi dan IUD) tidaklah efektif untuk mencegah
penularan PMS.
Sebaliknya alat kontrasepsi yang dianggap kurang efektif untuk pencegahan
kehamilan (kondom) justru lebih efektif untuk mencegah penularan PMS. Karena itu
penggunaan keduanya disarankan apabila pasangan (terutama yang mempunyai
perilaku berisiko tinggi) bermaksud menghindari diri dari dua gangguan kesehatan
reproduksi seperti tersebut di atas.
Saran yang tampaknya sederhana tersebut pelaksanaannya belum tentu mudah,
terutama apabila antar pasangan tidak terdapat kejujuran tentang perilaku seksual
masing-masing.
Misalnya seorang suami yang sering gonta ganti pasangan dan sadar pada bahaya
AIDS akan berada pada posisi yang sulit untuk menggunakan kondom dengan istrinya
yang telah menjalani tubektomi, karena akan menimbulkan tanda tanya pada istri
tentang perilaku suaminya di luar rumah.
Berterus terang pada istri tentang alasan menggunakan kondom akan merusak
kepercayaan istri dan mungkin menggoyahkan keharmonisan rumah tangga, tetapi tidak
memakai kondom berarti membiarkan istri berpeluang tertular PMS.
d. Akses Terhadap Informasi Kontrasepsi Dan Reproduksi
Agar wanita dapat memilih kontrasepsi yang sesuai, juga memilih dan mengatur
perawatan kehamilandan pertolongan persalinan, mereka harus mempunyai akses yang
tinggi untuk memperoleh akses informasi semacam itu.
Informasi tentang kontrasepsi haruslah diberikan secara lengkap, baik dari sisi
positif maupun negatifnya. Sisi negative (efek samping) dari kontrasepsi sering kurang
dijelaskan dalam program KB, karena orientasi yang terlalu tinggi pada pencapaian
akseptor KB (peserta KB).
Wanita hamil juga perlu memperoleh informasi yang lengkap tentang perawatan
kehamilan, gizi makanan, olahraga yang harus dilakukan dan sebagainya.
Banyaknya kepercayaan local atau adat tentang makanan dan perilaku wanita
hamil yang sering tidak sesuai dengan standar kesehatan. Wanita perlu memperoleh
standar informasi yang cukup sehingga lebih baik dalam merawat kehamilan.
e. Akses Terhadap Perawatan Kehamilan dan Pelayanan Persalinan yang Aman
Agar wanita terhindar dari resiko kematian atau kesakitan karena melahirkan, juga
agar bayi yang dilahirkan sehat, maka wanita hamil perlu mempunyai akses yang cukup
untuk perawatan kehamilan dan pelayanan persalinan.

10 | P a g e
Rendahnya akses wanita dalam hal tersebut, terutama wanita pedesaan, dan wanita
dengan pendapatan keluarga ekonomi lemah merupakan persoalan penting yang masih
kita hadapi di Indonesia.
Karena itu, bagaimana memperluas akses wanita dalam hal tersebut merupakan isu
kebijakan penting dalam program kesehatan reproduksi di Indonesia.
f. Akses terhadap Pengobatan (Treatment) Kemandulan (Infertility)
Banyak pasangan menginginkan keturunan, tetapi sebagian dari mereka gagal
memperolehnya karena masalah kemandulan baik yang dialami suami atau istri.
Kemandulan terjadi karena berbagai sebab, sebagian dapat diatasi secara medis, dan
sebagian lain tidak mungkin karena alasan medis.
Pasangan yang belum berhasil memperoleh keturunan dalam kurun waktu
perkawinan yang cukup lama biasanya mencari jalan atau pengobatan, baik dengan
meminta pertolongan dokter, dukun dan sebagainya.
Ketika usaha tersebut gagal, pasangan tersebut mungkin akan menempuh jalan
adopsi, atau membiarkan diri tidak mempunyai anak. Banyak pula diantara mereka
yang gagal memperoleh kesembuhan dari kemandulan, mengalami masalah
perkawinan, misalnya salah satu menyeleweng, suami kawin lagi, cerai dan sebagainya.
Pasangan yang gagal memperoleh keturunan juga sering mengalami akibat
psikologis yang berat, seperti perasaan dianggap tidak normal oleh orang lain,
dilecehkan keluarga, teman, tetangga dam sebagainya.
Bagaimana membebaskan pasangan dari masalah kemandulan dan bagaimana
membebaskan mereka dari konsekwensi negative karena kemandulan yang tak teratasi
merupakan persoalan penting dalam studi kesehatan reproduksi.
3. Kesehatan Reproduksi dalam Perkawinan
Masalah hak-hak perempuan dalam kesehatan reproduksi, tidak semata mata
menyangkut aspek kesehatan, tetapi juga aspek-aspek lain, seperti hukum, ekonomi, sosial
budaya. Upaya peningkatan kesehatan tidak bisa dilepaskan dari kegiatan-kegiatan dengan
meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan status sosial perempuan. Dalam kerangka inilah
kesadaran dan pengetahuan akan hak-hak yang diatur oleh hukum, menjadi sangat penting.
Segala usaha yang ditujukan untuk membantu perempuan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraannya akan terasa lebih bermanfaat kalau mereka itu juga
dibekali dengan pengetahuan mengenai hak-hak yang dimilikinya.
Identifikasi hak-hak hukum perempuan dalam hubungannya dengan kedudukan
perempuan dalam keluarga. Pemahaman tentang hak-hak hukum perempuan ini
diharapkan dapat menumbuhkan sikap yang baik di dalam memilih langkah kehidupannya,
baik mengenai kehidupan keluarga maupun dalam kaitannya dengan pekerjaannya.
Kesadaran terhadap hak-hak menurut hukum yang dimilikinya dapat membukakan
jalan bagi perempuan dalam mengatasi masalah-masalahnya, baik sebagai pribadi, istri,
ibu maupun sebagai anggota masyarakat.
4. Kesehatan Reproduksi dalam Kehidupan Keluarga
Pendidikan perempuan mempunyai kaitan erat dengan kesehatan dan kesejahteraan
ibu dan keluarga. Tingkat pendidikan yang berhasil dicapai oleh seorang perempuan
mempengaruhi penurunan angka kelahiran serta kesadaran untuk memilih bentuk keluarga
yang saat ini disepakati keluarga kecil bahagia sejahtera.

11 | P a g e
Perempuan yang sudah pernah mengecap pendidikan, ternyata juga mampu mengurus,
mengasuh serta merawat anak-anaknya sesuai anjuran dan persyaratan untuk bisa
mencapai kehidupan yang sehat.
Meskipun demikian dalam kenyataannya masih dijumpai kebiasaan-kebiasaan di
kalangan masyarakat yang berkaitan dengan adat istiadat budaya dan sistem sosial, yang
kurang memberi kesempatan kepada perempuan untuk memperoleh pendidikan yang
memadai.
Beberapa tata nilai dan adat budaya dalam masyarakat Indonesia yang berkaitan
dengan kesehatan reproduksi, juga kurang menunjang, bahkan kadang-kadang merugikan
perempuan. Adat budaya dan tata nilai yang telah berakar kuat dalam masyarakat akan
sangat sukar diubah dan di kikis, tetapi dengan pendekatan yang tepat dan bersifat
persuasive, diharapkan akan terjadi pergeseran nilai-nilai tersebut menuju ke arah yang
lebih menunjang kesempatan bagi perempuan untuk mengembangkan diri dan menyadari
hak-haknya, terutama yang berkaitan dengan masalah reproduksi.
a. Masalah dalam Pendidikan Anak
Di kalangan masyarakat sampai saat ini masih berlaku anggapan bahwa anak laki-
laki lebih berhak memperoleh pendidikan formal dari pada anak perempuan. Menurut
anggapan itu perempuan memiliki kodrat menjadi pengurus rumah tangga.
Anggapan ini jelas merugikan usaha-usaha peningkatan pengetahuan kaum ibu
untuk bisa mencapai keadaan reproduksi sehat, sebab ternyata pembatasan itu tidak
hanya mencakup pendidikan formal saja, melainkan juga kesempatan untuk
memperoleh informasi.
Padahal perempuan harus mendapat kesempatan yang luas untuk memperoleh
informasi mengenai hak-haknya, baik sebagai pribadi, sebagai istri, sebagai ibu dan
sebagai anggota masyarakat.
Berkaitan hal tersebut, untuk menanggulangi, perlu sekali dilakukan usaha-usaha
sebagai berikut:
1) Pemberantasan buta huruf dan buta angka serta mengupayakan pemupukan
kesadaran membaca yang akan memberi kesempatan kepada perempuan untuk
memperoleh informasi.
2) Bimbingan manajemen sederhana bagi ibu rumah tangga agar mereka lebih mampu
menyelenggarakan rumah tangga dan memupuk kemampuan mengambil keputusan
untuk mengatasi masalah yang memerlukan, tidak semata-mata tergantung, tanpa
meninggalkan asas musyawarah dalam keluarga.
3) Bimbingan dalam perawatan dan pendidikan anak yang mendasarkan pertimbangan
kepada hak-hak anak dan tidak secara kaku membatasi atau membedakan menurut
jenis kelaminnya.
4) Bimbingan dan tuntunan untuk menjalani reproduksi sehat.
5) Anak perempuan yang kawin/hamil di luar kemauan agar mendapat kesempatan
untuk meneruskan pendidikan (karena tetap drop out) dari bangku SMP/SMA
b. Masalah Perkawinan
Kebiasaan masyarakat yang perlu mendapat perhatian karena bisa menyebabkan
kematian adalah terjadinya pernikahan pada usia muda, bahkan kadang-kadang sangat

12 | P a g e
muda. Haid pertama yang dialami seorang gadis sering dianggap sebagai pertanda
bahwa si gadis sudah siap memasuki kehidupan berkeluarga.
Haid pertama yang menandai tibanya masa akil baliq bagi seorang anak
perempuan, mendorong orang tua untuk menikahkan anaknya tak lama sesudah si gadis
mengalaminya. Kekhawatiran bahwa si gadis akan menjadi perawan tua, kalau tak
cepat dinikahkan masih dijumpai di berbagai pelosok tanah air. Seorang gadis dianggap
sudah cukup umur, tetapi belum juga kawin akan dianggap sebagai aib keluarga.
Keadaan ini mempengaruhi usaha-usaha penyuluhan tentang perlunya menunda
usia perkawinan dan kehamilan anak pertama supaya bisa mencapai keadaan
reproduksi yang sehat, yaitu pada umur 20 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk
laki-laki. Batas usia yang dianjurkan ini merupakan pembahasan para ahli dalam rangka
mengatasi masalah kematian ibu dan bayi yang cukup tinggi.
Jadi meskipun undang-undang perkawinan menetapkan umur 19 tahun untuk laki-
laki dan 16 tahun untuk perempuan, pemerintah menganjurkan agar perkawinan itu
dapat ditunda. Tujuannya adalah untuk mencapai keadaan reproduksi sehat dan
mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera.
Pada kenyataannya perkawinan dibawah umur masih banyak terjadi. Penyuluhan
tentang bahaya yang dialami ibu maupun bayinya sebagai akibat perkawinan usia muda
perlu lebih ditingkatkan. Kaitannya bisa pada aspek hukum (UU Perkawinan),
kesehatan (adanya penyulit dalam kehamilan dan persalinan yang bisa membahayakan
jiwa ibu dan/atau bayi) dan sebagainya.
c. Masalah yang Berkaitan dengan Peran dan Kedudukan Perempuan dalam
Keluarga
Keluarga-keluarga Indonesia sebagian besar menempatkan suami pada kedudukan
sebagai yang berhak mengambil keputusan utama. Berkenaan dengan kesehatan
reproduksi, hak pengambil keputusan seperti yang diyakini masyarakat adalah tentang
jumlah anak yang dimiliki dan jarak kelahiran anak.
Pengambilan keputusan itu juga menyangkut masalah pemilihan alat kontrasepsi.
Pasangan suami istri sebagian besar tidak menempatkan masalah ini sebagai hal yang
perlu dibicarakan dan diputuskan bersama, meskipun kenyataannya hal yang
menyangkut kesehatan reproduksi itu lebih banyak berkaitan dengan perempuan.
Undang-undang perkawinan yang menyebutkan adanya kesamaan derajat suami
istri, seyogianya pengambilan keputusan yang berkaitan dengan masalah kesehatan
reproduksi dilakukan bersama oleh suami istri dengan mempertimbangkan kepentingan
masing-masing.
Adat kebiasaan yang berlaku di Indonesia, yang bisa menghambat upaya mencapai
kesehatan reproduksi yang baik adalah kebiasaan makan. Adanya pantangan bagi gadis-
gadis, ibu hamil, ibu melahirkan dan ibu menyusui untuk memakan makanan tertentu,
kadang merugikan karena gizi yang dibutuhkan tidak dapat dipenuhi. Selain pantangan
terhadap beberapa jenis makanan, juga kebiasaan yang mendahulukan suami dan anak-
anak untuk menyantap hidangan yang disajikan atau memberikan yang terbaik untuk
mereka. Dengan demikian ibu cenderung mendapatkan sisanya saja.
Kadang-kadang jumlahnya pun bahkan tidak mencukupi kebutuhan ibu, apalagi
dalam hal kualitas makanan yang menyangkut masalah gizi.

13 | P a g e
Hal lain yang menyangkut peran dan kedudukan perempuan dalam keluarga, yang
ada kaitannya juga dengan kesehatan reproduksi, ialah pembagian kerja antara suami
istri dalam rumah tangga. Umumnya istri memikul beban yang berat dalam
melaksanakan tugas-tugas rumah tangga. Tugas ini kadang-kadang menjadi bertambah
berat, karena istri ternyata harus bertugas sebagai pencari nafkah, selain yang bisa
diberikan oleh suaminya.
Keadaan ini memerlukan pengaturan yang lebih menguntungkan agar ibu dapat
menjalani reproduksinya secara sehat. Dengan adanya pembagian kerja dalam rumah
tangga yang dilandasi pengertian seluruh anggota keluarga terhadap tujuan pembagian
itu dan kepentingannya untuk masing-masing, beban ibu dalam masa kehamilan,
persalinan dan menyusui tidak akan merugikan kesehatan reproduksinya.

Sumber : Sulistiani,Wahyu S.Kep.,Ners dkk.2017.Buku Ilmu Kesehatan Masyarakat untuk


SMK/MAK –Kesehatan, Jurusan Keperawatan.Jakarta : Pilar Utama Mandiri

14 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai