Anda di halaman 1dari 47

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori Medis

1. Pengertian Reproduksi

Paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan

pembangunan telah mengalami perubahan. Semula menggunakan

pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fetilitas kemudian

berubah menjadi pendekatan kesehatan reproduksi dengan

memperhatikan hak-hak reproduksi dan kesetaraan gender.

perubahan ini telah disepakati dalam Konferensi Wanita Sedunia ke-4

di Bejing tahun 1995 serta Konferensi Internasional Kependudukan

dan Pembangunan (Internasional Conference on Population and

Development-ICPD) yang diselenggarakan di Kairo pada tahun 1994

(Kumalasari, 2012; h:1).

Kesehatan Reprduksi diidefinisikan sebagai keadaan sejahtera

fisik, mental, dan sosial secara utuh (tidak semata-mata bebas dari

penyakit atau kecacatan) dalam semua hal yang berkaitan dengan

sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya (Kumalasari, 2012;

h.1).

Kesehatan reproduksi adalah suatau keadaan sehat mental, fisik,

dan kesejahteraan sosial secara utuh pada semua hal yang

berhubungan dengan sistem dan fungsi serta proses dan bukan

hanya kondisi yang bebas dari penyakit dan perkawinan yang sah,

mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan material yang layak,

9
10

bertakwa pada Tuhan yang Maha Esa, spiritual memiliki hubungan

yang serasi, selaras, seimbang antara anggota keluarga dan antara

keluarga dan masyarakat dan lingkungan. Menurut BKKBN, definisi

kesehatan reproduksi adalah kesehatan secara fisik, mental, dan

kesejahteraan sosial secara utuh pada semua hal yang berhubungan

dengan sistem dan fungsi serta proses reproduksi dan bukan hanya

kondisi yang bebas dari penyakit dan kecacatan (Marmi, 2015; h:2).

Menurut WHO kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan

sejahtera fisik, mental, dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari

penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan

dengan sistem reproduksi, fungsi dan prosenya (Marmi, 2015; h:4).

Kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera fisik, mental,

dan sosial secara utuh, yang tidak semata-mata bebas dari penyakit

atau kecacatan, dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem

reproduksi serta fungsi dan prosesnya (Depkes, 2001).

2. Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi

Ruang lingkup kesehatan reproduksi mencakup keseluruhan

kehidupan manusia sejak lahir sampai mati. pelaksanaan kesehatan

reproduksi menggunakan pendekatan siklus hidup (life cyle

approach) agar diperoleh sasaran yang pasti dan komponen

pelayanan yang jelas serta dilaksanakan secara terpadu dan

berkualitas dengan memperhatikan hak reproduksi perorangan

dengan bertumpu pada program pelayanan yang tersedia

(Kumalasari, 2012; h:1).


11

Dalam pendekatan siklus hidup dikenal lima tahap, beberapa

pelayanan kesehatan reproduksi dapat diberikan pada tiap tahapan

berikut ini:

a. Konsepsi.

1) Perlakukan sama terhadap janin laki-laki/perempuan.

2) Pelayanan antenatal, persalinan, dan nifas yang aman, serta

pelayanan bayi baru lahir.

b. Bayi dan anak.

1) ASI ekslusif dan penyapihan yang layak.

2) Tumbuh kembang anak dan pemberian makanan dengan gizi

seimbang.

3) Imunisasi, Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), dan

Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM).

4) Pencegahan dan pananggulangan kekerasan.

5) Pendidikan dan kesempatan untuk memperoleh pendididkan

yang sama pada anak laki-laki dan perempuan.

c. Remaja.

1) Gizi seimbang.

2) Informasi tentang kesehatan reproduksi.

3) Pencegahan kekerasan seksual.

4) Pencegahan terhadap ketergantungan narkotik, psikotropika,

dan zat adiktif.

5) Perkawinan pada usia yang wajar.

6) Pendidikan dan peningkatan keterampilan.

7) Peningkatan penghargaan diri.


12

8) Peningkatan pertahanan terhadap godaan dan ancaman.

d. Usia subur.

1) Kehamilan dan persalinan yang aman.

2) Pencegahan kecacatan dan kematian akibat kehamilan pada

ibu dan bayi.

3) Menjaga jarak kelahiran dan jumlah kehamilan dengan

penggunaan alat kontrasepsi atau KB.

4) Pencegahan terhadap PMS/HIV/AIDS.

5) Pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas.

6) Pencegahan dan penanggulangan masalah aborsi secara

rasional.

7) Deteksi dini kanker payudara dan leher rahim.

8) Pencegahan dan manajemen infertlitas.

e. Usia lanjut.

1) Perhatian terhadap menopause/andropause.

2) Perhatian pada penyakit utama degenerative, termasuk rabun,

gangguan mobilisasi, dan osteoporosis.

3) Deteksi dini kanker rahim dan kanker prostat.

Secara luas ruang lingkup kesehatan reproduksi meliputi hal-hal

berikut :

a. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir.

b. Keluarga berecana (KB).

c. Pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran reproduksi (ISR)

termasuk PMS-HIV/AIDS.

d. Pencegahan dan penanggulangan komplikasi aborsi.


13

e. Kesehatan reproduksi remaja.

f. Pencegahan dan penanganan infertillitas.

g. Kanker pada usia dan osteoporosis.

h. Berbagai aspek kesehatan reproduksi lain, misalnya kanker

serviks, mutilasi genital, fistula, dan lain-lain.

(Kumalasari, 2012; h:1).

3. Hak – hak Reproduksi

Hak reproduksi adalah hak setiap individu dan pasangan untuk

menentukan kapan mempunyai anak, berapa jumlah anak, dan jarak

antara anak yang dikehendaki. Dalam hal ini hak reproduksi terkait

erat dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi.

Menurut dokumen Internasional Conference on Population and

Development (ICPD) Kairo 1994, hak reproduksi mencakup hal-hal

sebagai berikut.

a. Hak untuk mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan

reproduksi.

b. Hak mendapatkan pelaynaan dan perlindungan kesehatan

reproduksi.

c. Hak atas kebebasan berpikir dan membuat keputusan tentang

kesehatan reproduksi.

d. Hak untuk memutuskan jumlah dan jarak kelahiran anak.

e. Hak untuk hidup dan bebas dari resiko kematian karena kehamilan

atau masalah gender.

f. Hak mendapat kebebasan dan keamanan dalam pelayanan

kesehatan reproduksi.
14

g. Hak untuk bebas dari segala bentuk penganiayaan dan perlakuan

buruk yang menyangkut masalah reproduksi.

h. Hak atas kerahasiaan pribadi dalam menjalankan reproduksinya.

i. Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga.

j. Hak dalam kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik

yang bernuansa kesehatan reproduksi.

k. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dan kesehatan

reproduksi.

Untuk mewujudkan pemenuhan hak-hak reproduksi, maka

kebujakan teknis operasional yang dilakukan di Indonesia adalah

sebagai berikut.

a). Promosi hak-hak reproduksi

Dilaksanakan dengan menganalisis perundang-undangan

peraturan dan kebijakan yang saat ini berlaku apakah sudah

sering dan mendukung hak-hak reproduksi dengan tidak

melupakan kondisi lokal sosial budaya masyarakat. Pelaksnaan

upaya pemenuhan hak reproduksi memerlukan dungkungan

secara politik dan legislative sehingga bisa tercipta undang-

undang hak reproduksi yang mencakup aspek pelanggaran hak-

hak reproduksi.

b). Advokas hak-hak reproduksi

Advokasi dimaksudkan agar mendapat dukungan komitmen dari

para tokoh politik, tokoh agama, tokoh masyarakat, LSM/LSOM,

dan swasta. Dukungan sawasta dan LSM sangat dibutuhkan

karena ruang gerak pemerintah lebih terbatas. Dukungan para


15

tokoh sangat membantu memperlancar terciptanya pemenuhan

hak-hak reproduksi. LSM yang memperjuangkan hak-hak

reproduksi angat penting artinya untuk terwujudnya pemenuhan

hak-hak reproduksi.

c). KIE hak-hak reproduksi

Dengan KIE diharapkan masyrakat semakin mengerti hak-hak

reproduksi sehingga dapat bersama-sama mewujudkan

kesehatan keluarga.

d). Sistem pelayanan hak-hak reproduksi (BKKBN, 2000).

(Kumalasari, 2012; h:1).

4. Sistem hormonal

Alat reproduksi wanita merupakan alat akhir (end organ) yang

dipengaruhi oleh sistem hormonal yang kompleks. Untuk lebih

memahami hubungan pusat yang terletak di otak dengan sistem

hormonal, lihat gambar, pada masa kecil anak wanita dan anak pria

tidak memiliki perasaan apapun dan bermain bersam-sama.

Ransangan yang datang dari luar masuk dipusat pancaindra

diteruskan melalui striae terminalis menuju pusat yang disebut

“pubertas inhibitor”. Dengan hambatan tersebut tidak terjadi

ransangan terhadap hipotalamus, yang akan memberikan ransangan

pada hipofise pars anterior, sebagai “mother of gland” (pusat kelenjar-

kelenjar. Ransangan yang terus menerus datang dan ditangkap

pancaindra, dengan makin selekif dapat lolos menuju hipotalamus

dan selanjutnya terus menuju hipofise pars anterior (depan)

mengeluarkan hormon yang dapat meransang kelenjar untuk


16

mengeluarkan hormon yang dapat merangsang kelenjar untuk

mengerluarkan hormon spesifiknya yaitu kelenjar tiroid memproduksi

hormone tiroksin, kelenjar indung telur memproduksi hormon estrogen

dan progesteron, sedangkan kelenjar adrenal menghasilkan hormone

adrenalin. Pengeluaran hormone spesifik sangat penting untuk

tumbuh kembang rohani dan jasmani. Sistem hormonal pada tubuh

manusia merupakan sistem lingkaran yang tidak pernah putus selama

hidup sampai mencapai mati haid (menopause) (Manuaba, 2009;

h:53).

5. Siklus Menstruasi

Alat kandungan pada saat lahir belum berkembang. Setelah

pancaindra menerima ransang yang diteruskan ke pusat dan diolah

oleh hipotalamus, melalui “sistem portal” mengeluarkan hormon

gonadotropik perangsang folikel luteinizing hormone yang

merangsang indung telur. Hormon peransang folikel (FSH),

merangsang folikel primordial yang dalam perjalanan mengerluarkan

hormone estrogen untuk pertumbuhan tanda seks sekunder

(pertumbuhan rambut, pembesaran payudara, penimbunan jaringan

lemak, sesuai dengan pola wanita yaitu dibokong dan dipayudara).

Pertumbuhan rambut meliputi rambut kemaluan yang berbentuk

segitiga serta rambut pada ketiak (Manuaba, 2009; h:55).

Pada permulaan hanya hormon estrogen saja yang dominan dan

perdarahan (menstruasi) yang terjadi untuk pertama kali (menarke)

muncul pada umur 12-13 tahun. Dominannya estrogen pada

permulaan menstruasi sangat penting karena menyebabkan


17

terjadinya pertumbuhan dan perkembangan tanda seks sekunder. itu

sebabnya pada permulaan perdarahan sering tidak teratur karena

bentuk menstruasinya anovulatoir (tanpa pelepasan telur). Baru

setelah umur wanita mencapai remaja sekitar 17-18 tahun,

menstruasi teratur dengan interval 26-32 hari (Manuaba, 2009; h:53).

Siklus mentruasi terjadi dari tiga fase, yaitu :

a. Fase Folikuler

Fase ini dimulai dari hari ke-1 hingga sesaat sebelum kadar LH

(Luteinizing Hormone), hormon gondotropik yang disekresi oleh

kelenjar pituitari anterior serta berfungsi merangsang pelepasan

sel telur dan membantu pematangan serta perkembangan sel telur

meningkat dan terjadi pelepaasan sel telur atau ovulasi.

Dinamakan fase folikuler karena pada masa ini terjadi

pertumbuhan folikel didalam ovarium.

b. Fase Ovulatoir

Fase ini dimulai ketika kadar LH meningkat. Pada fase inilah sel

telur dilepaskan. Pada umumnya, sel telur dilepaskan setelah 16-

32jam terjadinya peningkatan kadar LH.

c. Fase Luteal

Fase ini terjadi setelah pelepasan sel telur dan berlangsung

selama 14 hari. Setelah melepaskan sel telur, folikel yang pecah

akan kembali menutup dan membentuk corpus luteum (disebut

juga yellow body, struktur anatomis yang kecil dan berwarna

kuning pada permukaan ovarium. Corpus luteum dibentuk setelah

setiap ovulasi atau pelepasan sel telur) yang menghasilkan


18

progesteron dalam jumlah yang cukup besar. Hormon progesteron

ini akan menyebabkan suhu tubuh meningkat. ini terjadi selama

fase luteal dan akan terus tinggi sampai siklus yang baru dimulai.

Peningkatan suhu badan ini dapat digunakan sebagai perkiraan

terjadiny ovulasi (Anurogo, 2011; h:21)

6. Gangguan Menstruasi

Gangguan haid atau disebut juga dengan perdarahan uterus

abnormal merupakan keluhan yang paling sering menyebabkan

seorang perempuan datang berobat ke dokter atau tempat

pertolongan pertama. Keluhan gangguan haid bervariasi dari ringan

sampai berat. Dan tidak jarang menyebabkan rasa frustasi baik bagi

penderita maupun dokter yang merawatnya. Data dibeberapa negara

industri menyebutkan bahwa seperempat penduduk perempuan

dilaporkan pernah mengalami menoragia, 21% mengeluh siklus haid

memendek, 17% mengalami perdarahan anatar haid dan 6%

mengeluh perdarahan pascasenggama. Selain menyebabkan

gangguan kesehatan, gangguan menstruasi ternyata berpengaruh

pada aktivitas sehari-hari yaitu 28% dilaporkan merasa terganggu

saat bekerja sehingga berdampak pada bidang ekonomi. Di RSUD

Dr.Soetomo Surabaya pada tahun 2007 dan 2008 didapatkan angka

kejadian perdarahan uterus abnormal sebanyak 12,48% dan 8,8%

dari seluruh kunjungan poli kandungan (Prawirohardjo, 2011; h:162).

Gangguan jumlah darah dan lama haid Hipermenorea

(menoragia) adalah bentuk gangguan siklus menstruasi tetap teratur,


19

jumlah darah yang dikeluarkan cukup banyak dan terlihat dari jumlah

pembalut yang dipakai dan gumpalan darahnya.

Kelainan siklus menstruasi mencakup sebagai berikut,

Polimenorea yaitu menstruasi yang sering terjadi dan abnormal.

Oligomenorea yaitu siklus menstruasi melebihi 35 hari, jumlah

perdarahan mungkin sama, penyebabnya adalah gangguan

hormonal. Amenorea yaitu keterlambatan menstruasi lebih dari 3

bulan berturut-turut.

Perdarahan diluar haid disebut juga metroragia. Bentuk ambaran

klinis gangguan hormonal dengan perdarahan yaitu perdarahan rahim

menyimpang menometroragia (perdarahan banyak yang

berkelanjutan dengan menstruasi), atau metroragia (perdarahan diluar

menstruasi).

(Manuaba, 2009; h:57).

Gangguan Menstruasi Pada Masa Reproduksi :

1) Gangguan Lama dan Jumlah Darah Haid

a. Hipermnorea

b. Hipomenore

2) Gangguan Siklus Haid

a. Polimenorea

b. Oligomenorea

c. Amenorea

3) Gangguan Perdarahan di Luar Siklus Haid

a. Menometroragia
20

4) Gangguan Lain yang Berhubungan dengan Haid

a. Dismenorea

b. Sindroma prahaid

(Prawirohardjo, 2011; h:162).

7. Masa Reproduksi Dan Klimakterium

a. Masa Reproduksi

Masa reproduksi adalah masa pada perempuan umur 15-46

tahun. Selama masa reproduksi akan terjadi maturasi folikel yang

khas, termasuk ovulasi dan pembentukan korpus luteum. Proses

ini akibat interaksi hipotalamus – hipofisis – gonad dimana

melibatkan folikel dan korpus luteum, Hormon steroid,

gonadotropin hipofisis dan faktor autokrin ataupun parakrin

bersatu untuk menimbulkan ovulasi. Proses fertilisasi dan

kesiapan ovarium untuk menyediakan hormon, memerlukan

pengaturan endokrin, autokrin, parakrin/intrakrin, neuron, dan

sistem immun.

Ovarium dengan panjang 2,5 – 5,0 cm, lebar 1,5 – 30 cm, dan

tebal 0,7 – 1,5 cm normalnya bisa asimetris. Dapat ditemukan

lebih dari 6 folikel tiap ovarium setelah umur 8,5 tahun dan pada

masa remaja bisa didapatkan folikel sebesar 1,3 cm. Uterus telah

siap memasuki masa haid, masa implantasi, masa kehamilan, dan

masa pascapersalinan. Pertumbuhan tulang remaja hanya ada

sedikit penambahan masa tulang total, yang berhenti sekitar usia

30 tahun. Setelah usia 30 tahun, pada sebagian besar orang


21

terjadi penurunan yang lambat dari densitas masa tulang sekitar

0,7% per tahun (Prawirohardjo, 2011; h.105-106).

b. Klimakterium

Klimakterium adalah suatu istilah yang lebih tua, lebih umum,

tetapi kurang akurat, yang menunjukan suatu masa dimana

seorang perempuan lewat dari masa reproduksi ke transisi

menopause hingga tahun-tahun pascamenopause, terjadi pada

umur rata-rata 45-65 tahun. Perimenopause adalah suatu masa

peralihan menopause yang terjadi beberapa tahun sebelum

menopause, yang meliputi perubahan dari siklus-siklus ovulatorik

menjadi anovultorik, dengan tanda keidakteratuan siklus haid.

Berlawanan dengan kepercayaan di masa lalu, ternyata kadar

estradiol tidak turun secara bertahap apada tahun-tahun sebelum

menopause, tetapi tetap berada pada kisaran normal, meskipun

sedikit meningkat hingga sekitar 1 tahun sebelum pertumbuhan

dan perkembangan folikel berhenti.

Penurunan sekresi inhibin oleh folikel-folikel ovarium dimulai

sekitar umur 35 tahun dan menjadi lebih cepat setelah umur 40

tahun. Penurunan inhibin mmungkinkan peningkatan FSH yang

mncerminkan berkurangnya reaktivitas dan kemampuan folikel

kerena ovarium menua. Tahun-tahun perimenopause adalah

suatu periode dimana kadar FSH pascamenopause lebih dari 20

IU/L, meskipun tetap terjadi perdarahan haid, sedangkan kadar LH

masih tetap berada dalam kisaran normal. Kadang-kadang masih

terjadi pembentukan folikel dan korpus leteum sehingga masih


22

mungkin terjadi kehamilan. Oleh karena itu, bijaksanalah kalau

tetap merekomendasikan penggunaan kontrasepsi hingga betul-

betul menopause.

Rata-rata percepatan penghabisan folikel dan penurunan

fertilitas dimulai pada umur rata-rata 50-51 tahun, jumlah folikel

yang tersisa turun dibawah ambang kritis, sekitar 1.000, tnpa

memandang umur perempuan yang bersangkutan.

Pramenopause adalah suatu masa menjelang menopause

yang terjadi pada umur rata-rata 40-50 tahun. Ketika perempuan

mencapai umur 40-an, anovulasi menjadi lebih menonjol, panjang

siklus haid meningkat. Durasi fase folikuler adalah penentu

panjang siklus. Perubahan siklus haid sebelum menopause

ditandai oleh peningkatan kadar hormon penstimulasi folikel (FSH)

dan penurunan kadar inhibin, tapi dengan kadar hormon

luteinisasi (LH) yang normal dan kadar estradiol yang sedikit

meninggi (Prawirohardjo. 2011; h.106).

8. Menometroragia

a. Pengertian Menometroragia

Menometroragia adalah pendarahan diluar mentruasi yang banyak

dan berkelanjutan dengan menstruasi (Manuaba, 2009; h:58).


23

b. Penyebab Menometroragia

Beberapa penyebab dari menometroragia yaitu :

1) Polip endometrium

a) Pengertian

Polip endometrium juga disebut polip rahim. Ia adalah

pertumbuhan kecil yang tumbuh sangat lambat dalam

dinding rahim. Mereka memiliki basis datar besar dan

mereka melekat pada rahim malalui gagang bunga

memanjang. Bentuknya dapat bulat atau oval dan biasanya

berwarna merah (Irinto, 2015; h.300).

Menurut Riyanti (2016; h.268-269) polip endometrium

merupakan salah satu penyebab gangguan kesuburan

karena dapat mengganggu penempelan embrio di dalam

rahim. Karena itu bila hasil 3 pemeriksaan dasar normal

(sperma, sel telur, dan saluran telur) maka perlu dilakukan

tindakan untuk mengambil polip didalam rahim.

Polip endometrium atau polip uterus adalah massa

atau jaringan lunak yang tumbuh pada lapisan dinding

bagian dalam endometrium dan menonjol kedalam rongga

endometrium. Pertumbuhan sel-sel yang berlebih pada

lapisan endometrium (rahim) mengarah pada pembentukan

polip. Besarnya polip endometrium mulai dari beberapa

millimeter hingga beberapa sentimeter yang seukuran bola

golf atau lebih besar. Polip endometrium melekat pada


24

dinding endometrium yang dihubungkan melalui sebuah

tangkai tipis.

Seorang wanita dapat memiliki polip endometrium satu

atau banyak, dan kadang-kadang menonjol melalui vagina

menyebabkan kram dan ketidaknyamanan. Polip

endometrium dapat menyebabkan kram karena mereka

melanggar pembukaan leher rahim. Polip ini dapat

terjangkit jika mereka bengkok dan kehilangan semua

pasokan darah mereka. Ada kejadian langka saaat ini polip

menjadi kanker. Wanita yang telah mengalaminya

terkadang sulit hamil.

b) Diagnosis banding

Mioma prolaps kecil, produk konsepsi yang tersisa,

sarkoid, kanker serviks, papiloma skuamosa, karsinoma sel

skuamosa, atau adenokarsinoma.

c) Penanganan

(1) Singkirkan infeksi penyerta dengan melakukan kultur,

preparat basah, hitung darah lengkap untuk

mengevaluasi perdarahan, dan apusan Pap (harus

normal pada polip).

(2) Bidan dapat membuang polip dengan biopsi pungsi

atau dengan mengeruk polip di bagian batang dengan

gerakan memutar, mengerut bagian dasarnya,

kemudian mengirim spesimen tersebut untuk


25

pemeriksaan histologi. Kendalikan perdarahan dengan

tekanan, larutan Monsel, atau kauter.

(3) Jika sumber perdarahan tdak pasti, misalnya polip

endometrium yang tidak dapat dilihat pada

pemeriksaan, jika polip tidak dapat dengan mudah

diangkat, jika prosedur menimbulkan nyeri yang luas,

atau jika perdarahan abnormal berlanjut setelah polip

diangkat, rujuk wanita tersebut ke ginekologi.

(4) Panduan antisipatif : Histeroskopi atau dilatasi dan

kuretase dapat digunakan untuk mendiagnosis polip

endometrium. Jaringan diserahkan ke bagian patologi

(Renata, 2010; h.555).

2) Kanker serviks

a) Pengertian

Ketika sel-sel kolumnar terpajan pada Ph dan hormon

dari vagina wanita pubertas, sel-sel tersebut digantikan

oleh sel-sel skuamosa pada epitel ektoservikalis. Area

yang mengalami metaplasia skuamosa ini disebut zona

transformasi, dan zona ini biasanya rentan terhadap zat

karsinogen. Eversi servikal meningkat ketika wanita

mengkonsumsi kontrasepsi oral, selama kehamilan zona

transformasi meningkat, dan pada saat menopause area

tersebut menyusut.

Apabila perubahan tingkat sel terjadi selama proses

ini, akibatnya terbentuk zona transformasi atipi yang


26

mendorong terbentuknya neoplasia intraepitel servikal

(CIN, cervical intraepithelial neoplasia). Displasia ringan,

yakni CIN I (mempengaruhi sepertiga bagian dalam epitel

servikalis) dapat mengalami kemunduran, tetap pada

stadium ini, atau memburuk menjadi displasia tingkat

sedang, yaitu CIN II. CIN II mempengaruhi setengah

hingga dua pertiga bagian dalam epitel servikalis. Sepuluh

persen hingga 15% pasien dengan CIN II memburuk ke

tingkat yang berat , dengan sel epitel menjadi tebal

sepenuhnya, dan terjadi karsinoma in situ (CIN III). Tiga

puluh lima persen pasien dengan karsinoma in situ

membeurk menjadi karsinoma invasive nyata. Namun,

proses ini memakan waktu 3-20 tahun (Renata, 2010;

h.548).

b) Faktor presdiposisi

(1) Senggama pertama pada usia <20 tahun

(2) Berusia muda pada saat kehamilan pertama

(3) Paritas tinggi

(4) Menikah di usia muda

(5) Wanita yang melakukan senggama dengan pria

nonmonogami

(6) Perceraian

(7) Infeksi HIV

(8) status sosioekonomi rendah

(9) Berganti-ganti pasangan seksual


27

c) Gejala

Perdarahan abnormal (pascakoitus, antarhaid,

pascamenopuse) dan adanya rabas (serosa, mukoid, atau

purulen), dapat disertai bau tidak sedap. Tidak ada gejala

lain yang muncul kecuali penyakit semakin memburuk.

Pada pemeriksaan spekulum, lesi kanker dapat tampak

sebagai area tonjolan-tonjolan kecil, keras, bergranula,

yang bersifat ulseratif, nekrotik dan mudah pecah. Jaringan

sekitarnya bisa normal atau mengalami peradangan serviks

yang kronis, dapat disertai rabas mengandung darah,

serosa, atau kurulen. Selain itu, lesi endoserviks bisa tidak

terlihat.

d) Diagnosis

Kanker serviks stadium awal bisa didiagnosa dengan

melakukan pemeriksaan sitologi melalui Pap Smear pada

cairan serviks. Tetapi negatif palsu pada 15-40% kasus

adalah tergantung pada kemampuan laboraturium dan

kelompok penduduk yang diperiksa. Hampir 50% penderita

kanker serviks ternyata tidak melakukan Pap Smear dalam

10 tahun belakang. Disinilah perlunya seorag perempuan

berisiko sebaiknya diperiksa Pap Smear secara teratur

(Faisal, 2008; h.47). Diagnosis kanker serviks dapat tidak

disadari selama kehamilan karena perdarahan per vaginam

disangka aborsi terancam atau kompilkasi kehamilan lain.

Kolposkopi mudah dilakukan karena zona transformasi


28

terpajan, yang disebabkan oleh everisi fisiologis.

Prognosisnya sama dengan wanita tidak hamil.

e) Penanganan

(1) Rujuk wanita dengan kanker serviks ke ginekolog.

(2) Panduan antisipatif : Stadium kanker serviks

ditentukan melalui biopsy, sistoskopi, sigmoidoskopi,

pemeriksaan sinar x dada dan rangka, pielogram IV,

dan uji fungsi hati. Histerektomi dapat dianjurkan

kemudian diikuti dengan terapi adjuvan (radiasi

dan/atau kemoterapi).

(3) Penanganan selama kehamilan : Biopsi tetap dapat

dilakukan. Kuretase endoserviks dan biopsy kerucut

tidak dipilih karena dapat terjadi perdarahan, pecah

ketuban, dn pelahiran kurang bulan. MRI dapat

digunakan sebagai alat penentu stadium kanker.

Karsinoma in situ dapat diatasi secara konservatif,

dengan terapi yang dimulai 6 minggu pascapartum.

Karsinoma mikroinvasif yang terdiagnosis selama

kehamilan juga dapat ditangani dengan cara ini,

dengan melakukan pemeriksaan kolposkopisetiap 8

minggu dan histerektomi yang dilakukan jika bayi

dilahirkan melalui pelahiran sesar. Karsinoma invatif

nyata lebih urgen, dan kehamilan <22-26 minggu

dapat diinterupsi untuk memungkinkan terapi (Renata,

2010; h.549).
29

3) Mioma uteri

a) Pengertian

Mioma ialah suatu pertumbuhan jinak dari sel-sel otot

polos, sedangkan untuk otot-otot rahim disebut mioma uteri.

Ada tiga kategori mioma pada rahim : 1) Mioma

submukosa, 2) Mioma intramular, 3) Mioma subserosa. Ada

pula mio ma, baik submukosa maupun subserosa, yang

bertangkai seringkali sampai keluar melewati ostium uteri

eksternum dan disebut sebagai mioma lahir (Chrisdion,

2004; h.94).

b) Diagnosis

(1) Pembesaran rahim (bisa simetris ataupun berbenjol-

benjol).

(2) Umumnya disertai dengan perdarahan

(menometroragia).

(3) sering kali membesar pada saat kehamilan.

c) Penanganan

(1) Observasi: bila ukuran uterus lebih kecil dari ukuran

uterus kehamilan 12 minggu, tanpa disertai penyulit lain.

(2) Ekstirpasi: biasanya untuk mioma submukosa

bertangkai atau mioma lahir/geburt, umunya dilanjutkan

dengan tindakan D/K (dilatasi dan kuretase).

(3) Laparatomi/Miomektomi: bila fungsi reproduksi masih

diperlukan dan secara teknis memungkinkan untuk

dilakukan tindakan tersebut. Biasanya untuk mioma


30

intramural, subserosa dan subserosa bertangkai,

tindakan ini telah cukup memadai.

(4) Laparatomi/Histerektomi: fungsi reproduksi tak

diperlukan lagi, pertumbuhan tumor sangat cepat,

sebagai tindakan hemostatis, yakni dimana terjadi

perdarahan yang terus-menerus dan banyak srta tidak

membaik dengan pengobatan (Chrisdiono, 2004; h.95).

4) Hiperplasia endometrium

a) Pengertian

Hiperplasia endometrium menggambarkan suatu

spektrum perubahan pada endometrium. Spektrum ini dapat

berkisar dari pola-pola gangguan ringan yang hanya

memperberat perubahan yang terlihat pada tahap

proliferative akhir siklus menstruasi hingga lesi ireguler dan

hiprekromatik yang sulit dibedakan dengan adenokarsinoma

endometrioid. Meskipun demikian, hiperplasia dan

hiperplasia atipikal. Atipikal ditendai dengan pembesaran

inti (Linda, 2010; h.93)

b) Diagnosis

Hiperplasia endometrium jarang ditemukan selama

periode melahirkan anak. Saat ini terjadi, biasanya

disebabkan oleh kelainan klinis yang menyebabkan adanya

pajanan estrogen kronis dan tidak dihambat, termasuk

sindrom ovarium polikistik dan anovulasi kronik. Tumor

ovarium yang memproduksi estrogen, seperti tumor sel


31

granulosa-teka juga berhubungan dengan perkembangan

hiperplasia endometrium dan adenokarsinoma pada wanita

pramenopause.

c) Penanganan

Terapi progesteron digunakan untuk menghentikan

proliferasi endometrium dan untuk mengubah endometrium

menjadi keadaan sektretorik pada pasien hiperplasia

endometrium dengan potensi keganasan yang rendah.

Terapi dapat diberikan secara siklis atau terus-menerus.

Hiperplasia endometrium atipikal diterapi dengan

pembedahan (histerektomi) kecuali terdapt kontraindikasi

terhadap pembedahan (Linda, 2010; h.93).

5) Infeksi pada serviks

a) Pengertian

Servisitis merupakan infeksi pada serviks uteri. Infeksi

serviks sering terjadi karena luka kecil bekas persalinan

yang tidak dirawat dan infeksi karena berhubungan seks.

Servisitis yang akut sering dijumpai pada infeksi hubungan

seks sedangkan yang bersifat menahun dijumpai pada

sebagian besar wanita yang pernah melahirkan.

b) Diagnosis

(1) Terdapat keputihan (leukorea).

(2) Mungkin terjadi kontak berdarah (saat berhubungan

seks terjadi perdarahan).


32

(3) Pada pemeriksaan terdapat perlukaan serviks yang

berwarna merah.

(4) Pada umur diatas 40 tahun perlu waspada terhadap

keganasan serviks.

c) Penanganan

Bidan yang menghadapi keadaan serviks sedemikian

sebaiknya melakukan konsultasi atau merujuk penderita

sehingga mendapatkan pengayoman medis yang

sempurna.

6) Infeksi pada endometrium

a) Pengertian

Endometritis adalah infeksi pada endometrium (lapisan

dalam dari rahim). Infeksi ini dapat terjadi sebagai

kelanjutan infeksi pada serviks atau infeksi tersendiri dan

terdapat benda asing dalam rahim.

b) Diagnosis

(1) Nyeri abdomen bagian bawah.

(2) Mengeluarkan keputihan (leukorea).

(3) Kadang-kadang terdapat perdarahan.

c) Penanganan

Bidan dapat mengambil tindakan agar infeksi

endometrium tidak makin menjadi sepsis atau

pelveoperitonitis dengan jalan melakukan konsultasi dan

merujuk penderita untuk mendapatkan pelayanan medis

yang lebih bermutu (Manuaba, 1998; h.407).


33

c. Patofisiologi Menometroragia

Pada siklus anovulasi terjadi stimulasi estrogen berlebihan

pada endometrium. Endometrium mengalami proliferasi berlebihan

tetapi tidak diikuti dengan pembentukan jaringan penyangga yang

baik karena kadar progesteron rendah. Endometrium menjadi

tebal rapuh, jaringan endometrium lepas tidak bersamaan dan

tidak ada kolaps jaringan sehingga terjadi perdarahan yang tidak

teratur (Prawirohardjo, 2011; h.172).

Gangguan fungsonal hipotalamus - hipofisis

Estrogen diproduksi terus-menerus

Peningkatan estrogen

Korpus luteum tidak terbentuk Progesteron rendah

Penurunan sekresi estrogen

Poliferasi endometrium

Endometrium tebal namun rapuh

Menometroragia

Gambar 2.1 Patofisiologi Menometroragia


34

d. Patologi Menometroragia

Menurut Schroder pada tahun 1915, setelah penelitian

histopatologikpada uterus dan ovarium pada waktu yang sama,

menarik kesimpulan bahwa gangguan perdarahan yang

dinamakan metropatia hemoragika terjadi karena persistensi folikel

yang tidak pecah sehingga tidak terjadi ovulasi dan pembentukan

korpus luteum. Akibatnya terjadilah hiperplasia endometrium

karena stimulasi estrogen yang berlebihan dan terus – menerus.

Penjelasan ini masih dapat diterima untuk sebagian besar kasus –

kasus perdarahan disfungsional (Wiknjosastro H,dkk 2009; h.225).

e. Gejala Menometroragia

Perdarahan rahim yang terjadi tiap saat dalam siklus menstruasi.

Perdarahan yang terjadi dalam periode waktu yang lebih lama dari

biasanya (Sallika, 2010; h.74).

f. Gambaran Klinik Menometroragia

Bentuk gambaran klinis gangguan hormonal dengan

perdarahan yaitu perdarahan rahim menyimpang, menometroragia

(perdarahan banyak dan berkelanjutan dengan menstruasi), atau

metroragia (perdarahan diluar menstruasi) (Ida Ayu, 2009; h.57).

1) Perdarahan ovulatori

Perdarahan ini merupakan kurang lebih 10% dari

perdarahan disfungsional dengan siklus pendek

(polimenorea). Untuk menegakkan diagnosis perdarahan

ovulatoar, perlu dilakukan kerokan pada masa mendekati

haid. Jika karena perdarahan yang lama dan tidak teratur


35

siklus haid tidak dikenali lagi, maka kadang – kadang bentuk

kurve suhu badan basal dapat menolong. Jika sudah

dipastikan bahwa perdarahan berasal dari endometrium tipe

sekresi tanpa adanya askeb organik, maka harus dipikirkan

sebagai etiologinya :

a) Korpus luteum persistensi

Dalam hal ini dijumpai perdarahan kadang – kadang

bersamaan dengan ovarium membesar. Sindrom ini

harus dibedakan dari kehamilan ektopik karena riwayat

dan hasil pemeriksaan panggul sering menunjukan

banyak persamaan antara keduanya. Korpus luteum

persistens dapat pula menyebabkan pelepasan

endometrium tidak teratur (irregular shedding). Diagnosis

irregular shedding dibuat dengan kerokan yang tepat

pada waktunya, yakni menurut Mc Lennon pada hari ke-4

mulainya perdarahan. Pada waktu ini dijumpai

endometrium dalam tipe sekresi disamping tipe

nonsekresi.

b) Insufisiensi korpus luteum

Hal ini dapat menyebabkan premenstrual spotting,

menoragia atau polimenorea. Dasarnya ialah kurangnya

produksi progesterone disebabkan oleh gangguan LH

releasing factor. Diagnosis dibuat, apabila hasil biopsi

endometrial dalam fase luteal tidak cocok dengan


36

gambaran endometrium yang seharusnya didapat pada

hari siklus yang bersangkutan.

c) Apopleksia uteri

Pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi

pecahnya pembuluh darah dalam uterus.

d) Kelainan darah

Seperti anemia, purpura trombositopenik, dan

gangguan dalam mekanisme pembekuan darah.

2) Perdarahan anovulatoar

Stimulasi dengan estrogen menyebabkan tumbuhnya

endometrium. Dengan menurunnya kadar estrogen dibawah

tingkat tertentu, timbul perdarahan yang kadang-kadang

bersifat siklis, kadang-kadang tidak teratur sama sekali.

Fluktuasi kadar estrogen ada sangkut-pautnya dengan

jumlah folikel yang pada suatu waktu fungsional aktif. Folikel-

folikel ini mengeluarkan estrogen sebelum mengalami atresia,

dan kemudian diganti oleh folikel-folikel baru. Endometrium

dibawah pengaruh estrogen tumbuh terus, dan dari

endometrium yang mula-mula proliferatif dapat tejadi

endometrium bersifat hyperplasia kistik. Jika gambaran itu

dijumpai pada sediaan yang diperoleh dengan kerokan, dapat

diambil kesimpulan bahwa perdarahan bersifat anovulatoar.

Perdarahan fungsional dapat terjadi pada setiap waktu

akan tetapi paling sering pada masa pemulaan yaitu pubertas

dan masa premenopause. Pada masa pubertas sesudah


37

menarche, perdarahan tidak normal disebabkan oleh

gangguan atau terlambatnya proses maturasi pada

hipotalamus, dengan akibat bahwa pembuatan Releasing

Factor dan hormon gonadotropin tidak sempurna. Pada

wanita dalam masa pramenopause proses terhentinya fungsi

ovarium tidak selalu berjalan lancar. Bila pada masa pubertas

kemungkinan keganasan kecil sekali dan ada harapan bahwa

lambat laun keadaan menjadi normal dan siklus haid menjadi

ovulatoar, pada seorang wanita dewasa dan terutama dalam

masa pramenopause dengan perdarahan tidak teratur mutlak

diperlukan kerokan untuk menentukan ada tidaknya tumor

ganas.

Perdarahan disfungsional dapat dijumpai pada penderita

–penderita dengan penyakit metabolic, penyakit endokrin,

penyakit darah, penyakit umum yang menahun, tumor-tumor

ovarium, dan sebagainya. Akan tetapi, di samping itu terdapat

banyak wanita dengan perdarahan disfungsional tanpa

adanya penyakit-penyakit tersebut di atas . Dalam hal ini

stress yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, baik

didalam maupun diluar pekerjaan, kejadian-kejadian yang

mengganggu keseimbangan emosional seperti kecelakaan,

kematian dalam keluarga, pemberian oba penenang terlalu

lama, dan lain-lain, dapat menyebabkan perdarahan

anovulator. Biasanya kelainan dalam perdarahan ini hanya


38

untuk sementara waktu saja (Wiknjosastro H, 2009; h.225-

227).

g. Diagnosis Menometroragia

1) Anamnesis

Perlu ditanyakan bagaimana mulainya perdarahan, apakah

didahului oleh siklus yang pendek atau oleh

oligomenorea/amenora, sifat perdarahan (banyak atau sedikit-

sedikit atau tidak), lama perdarahan dan sebagainya.

2) Pemeriksaan umum

Perlu diperhatikan tanda-tanda yang menunjuk ke arah

kemungkinan penyakit metabolic, penyakit endokrin, penyakit

menahun, dan lain-lain. Kecurigaan terhadap salah satu

penyakit tersebut hendaknya menjadi dorongan untuk

melakukan pemeriksaan dengan teliti ke arah penyakit yang

bersangkutan.

3) Pemeriksaan ginekologik

Perlu dilihat apakah tidak ada kelainan–kelainan organik, yang

menyebabkan perdarahan abnormal (polip, ulkus, tumor,

kehamilan terganggu). Pada wanita masa pubertas umumnya

tidak perlu dilakukan kerokan gunak pembuatan diagnosis.

Pada wanita berumur antara 20 dan 40 tahun kemungkinan

besar ialah kehamilan terganggu, polip, mioma submukosum,

dan sebagainya. Disini kerokan diadakan setelah dapat

diketahui benar bahwa tindakan tersebut tidak mengganggu

kehamilan yang masih memberi harapan untuk diselamatkan.


39

Pada wanita dalam pramenopause dorongan untuk

melakukan kerokan ialah untuk memastikan ada tidaknya

tumor ganas (Wiknjosastro H, 2009; h.227).

h. Pemeriksaan penunjang

1) Biopsi endometrium (dilatasi dan kuretase diagnostik) bila

tidak ada kontraindikasi.

2) Pemeriksaan ultrasonografi.

3) Pemeriksaan hematologik lengkap.

4) Pemeriksan hormon reproduksi (bila dimungkinkan dari segi

biaya oleh pasien): E2 dan Progesteron (prioritas), FSH dan

LH, Prolaktin, Prostaglandin F2 (Chrisdiono, 2004; h.87).

i. Diagnosis Menometroragia

1) Terjadinya perdarahan per vaginam tidak normal (lama,

frekuensi maupun jumlahnya), yang terjadi di dalam maupun

di luar siklus haid.

2) Umumnya terjadi pada usia perimenars (8-16 tahun), masa

reproduksi (16-35 tahun) dan perimenopause (45-65 tahun)

(Chrisdiono, 2004; h.86).

j. Penanganan Menometroragia

1) Istirahat baring. Bila keadaan hemodinamik tidak stabil segera

masuk rumah sakit untuk perawatan keadaan umum. Bila

keadaan hemodinamik stabil, segera lakukan penanganan

untuk menghentikan perdarahan.

2) Bila pemeriksaan ginekologi menunjukan perdarahan akut dan

banyak, hal ini sering terjadi pada 3 kondisi yaitu pada remaja
40

dengan gangguan koagulopati, dewasa dengan mioma uteri,

dan pada pemakaian obat antikoagulansia. Ditangani dengan

2 cara, yaitu :

a) Dilatasi dan kuretase : tidak mutlak dilakukan, hanya bila

ada kecurigaan keganasan dan kegagalan terapi

medikamentosa. Perdarahan uterus abnormal dengan

risiko keganasan yaitu bila usia > 35 tahun, obesitas, dan

siklus anovulasi kronis.

b) Penanganan medikamentosa : terdapat beberapa macam

obat hormon yang dapat dipakai untuk terapi perdarahan

uterus abnormal. Dapat diberikan :

(1) Kombinasi estrogen progestin

Perdarahan akut dan banyak biasanya akan

membaik bila diobati dengan kombinasi estrogen dan

progesteron dalam bentuk pil kontrasepsi. Dosis

dimulai dengan 2 x 1 tablet selama 5 – 7 hari dan

setelah terjadi perdarahan lucut dilanjutkan 1 x 1

tablet selama 3 – 6 siklus. Dapat pula diberikan

dengan dosis tapering 4 x 1 tablet selama 4 hari,

diturunkan dosis menjadi 3 x 1 tablet selama 3 hari, 2

x 1 tablet selama 2 hari, 1 x 1 tablet selama 3 minggu

kemudian berhenti tanpa obat selama 1 minggu,

dilanjutkan pil kombinasi 1 x 1 tablet selama 3 siklus.

Pemakaian pil kontrasepsi kombinasi akan

mengurangi jumlah darah haid sampai 60% dan


41

patofisiologi terjadinya kondisi anovulasi akan

terkoreksi sehingga perdarahan akut dan banyak

akan disembuhkan.

(2) Estrogen

Terapi estrogen dapat diberikan dalam 2 bentuk, intra

vena atau oral, tetapi sediaan intra vena sulit

didapatkan diindonesia. Pemberian estrogen oral

dosis tinggi cukup efektif untuk mengatasi

perdarahan uterus abnormal, yaitu estrogen

konjugasi dengan dosis 1,25 mg atau 17β estradiol 2

mg setiap 6 jam selama 24 jam. Setelah perdarahan

berhenti dilanjutkan dengan pemberian pil

kontrasepsi kombinasi. Rasa mual bisa terjadi pada

pemberian terapi estrogen.

(3) Progestin

Progestin diberikan selama 14 hari kemudian

berhenti tanpa obat selama 14 hari, diulang selama 3

bulan. Biasanya progestin diberikan bila ada

kontraindikasi terhadap estrogen. Saat ini tersedia

beberapa sediaan progestin oral yang bisa digunakan

yaitu Medroksi Progesteron asetat (MPA) dengan

dosis 2 x 10 mg, Noretisteron asetat dosis 2 x 5 mg,

Didrogesteron dosis 2 x 10 mg dan Normegestrol

asetat dosis 2 x 5 mg. Dalam pemilihan jenis

progestin harus diperhatikan dosis yang kuat untuk


42

menhentikan perdarahan uterus abnormal. Progestin

merupakan anti estrogen yang akan menstimulasi

aktivitas enzim 17β hidroksisteroid dehidrogenase

dan sulfotranferase sehingga mengonversi estradiol

menjadi estron. Progestin akan mencegah terjadinya

endometrium hyperplasia.

3) Perdarahan ireguler dapat dalam bentuk metroragia,

menometroragia, oligomenorea, perdarahan memanjang yang

sudah terjadi dalam hitungan minggu atau bulan dan berbagai

bentuk pola perdarahan lainnya. Sebelum memulai dengan

terapi hormon sebaiknya penyebab sistemik dievaluasi lebih

dulu, seperti: periksa TSH (evaluasi penyakit hipotiroid dan

hipertiroid sebaiknya dilakukan sejak awal), periksa prolaktin

(bila ada oligomenorea atau hipomenorea), lakukan Pap

Smear (bila didapatkan perdarahan pascasenggama). Bila

curiga atau terdapat risiko keganasan endometrium: lakukan

biopsi endometrium dan pertimbangkan untuk melakukan

pemeriksaan dengan USG transvagina. Bila terdapat

keterbatasan untuk melakukan evaluasi seperti tersebut di

atas dapat segera melakukan pengobatan hormon, yaitu:

a) Kombinasi estrogen progestin : berikan pil kontrasepsi

kombinasi dosis 1 x 1 tablet sehari, diberikan secara siklik

selama 3 bulan.

b) Progestin : bila terdapat kontraindikasi pemakaian pil

kontrasepsi kombinasi, dapat diberi progestin misalnya:


43

MPA 10 mg 1 x 1 tablet per hari. Pengobatan dilakukan

selama 14 hari. Pengobatan progestin diulang selama 3

bulan (Prawirohardjo, 2011; h.169).

k. Peran bidan dalam menghadapi Menometroragia

Peran bidan dalam menghadapi menometroragia bidan

sebaiknya berkonsultasi dengan puskesmas atau merujuk ke

dokter ahli atau rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan yang

sesuai dengan penyebabnya. Bidan sebaiknya memberikan KIEM

(Komunikasi, Edukasi, Informasi, dan Motivasi) kepada pasien

sehingga mereka bersedia memeriksakan diri (Manuaba, 2010;

h.545).

B. Tinjauan Teori Asuhan Kebidanan

1. Konsep 7 Langkah Varney

Langkah manajemen Kebidanan (Varney, 1997)

Terdapat tujuh langkah manajemen kebidanan menurut varney

yang meliputi langkah I pengumpulan data dasar, langkah II

interpretasi data dasar, langkah III mengidentifikasi diagnosa atau

masalah potensial, langkah IV identifikasi kebutuhan yang

memerlukan penanganan segera, langkah V merencanakan asuhan

yang menyeluruh, langkah VI melaksanakan perencanaan, dan

langkah VII evaluasi.

a. Langkah I : Pengumpulan data dasar

Dilakukan pengkajian dengan mengumpulkan semua data

yang diperlukan untuk mengevaluasi klien secara lengkap.


44

Mengumpulkan semua informasi yang akurat dari sumber yang

berkaitan dengan kondisi klien, keluhan klien, riwayat kesehatan

klien, pemeriksaan fisik secara lengkap sesuai dengan

kebutuhan, meninjau catatan terbaru atau catatan sebelumnya,

meninjau data laboraturium, pada langkah ini dikumpulkan

semua informasi yang akurat dari semua sumber yang berkaitan

dengan kondisi klien. Pada langkah ini, bidan mengumpulkan

data dasar awal secara lengkap.

b. Langkah II : Interpretasi data dasar

Dilakukan identifikasi yang benar terhadap diagnosa atau

masalah klien atau kebutuhan berdasarkan interpretasi yang

benar atau data-data yang telah dikumpilkan sehingga ditemukan

diagnosis atau masalah. Diagnosis yang dirumuskan adalah

diagnosis dalam lingkup praktik kebidanan yang tergolong pada

nomenklatur standar diagnosis, sedangkan perihal yang

berkaitan dengan pengalaman klien ditemukan dari hasil

pengkajian.

c. Langkah III : Identifikasi diagnosis / masalah potensial

Mengidentifikasi masalah atau diagnosis potensial lain

berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosa yang sudah

diidentifikasi. Berdasarkan temuan trsebut, bidan dapat

melakukan antisipasi agar diagnosis/masalah tersebut tidak

terjadi.

d. Langkah IV : Identifikasi kebutuhan yang memerlukan

penanganan segera
45

Mengidentifikasi perlunya tindakan segera oleh bidan atau

dokter untuk dikonsultasikan atau ditangani bersama dengan

anggota tim kesehatan yang lain sesuai dengan kondisi klien.

e. Langkah V : Perencanaan asuhan yang menyeluruh

Merencanakan asuhan yang menyeluruh yang ditentukan

berdasarkan langkah – langkah sebelumnya. Rencana asuhan

yang menyeluruh tidak hanya meliputi hal yang sudah

teridentifikasi dari kondisi klien atau dari setiap masalah yang

berkaitan, tetapi dilihat juga dari apa yang akan diperkirakan

terjadi selanjutnya, apakah dibutuhkan konseling dan apakah

perlu merujuk klien. Setiap asuhan yang direncanakan harus

disetujui oleh kedua belah pihak, yaitu bidan dan pasien.

f. Langkah VI : Pelaksanaan

Melaksanakan rencana asuhan yang sudah dibuat pada

langkah ke-5 secara aman dan efisien. Kegiatan ini bisa

dilakukan oleh bidan atau anggota tim kesehatan yang lain. Jika

bidan tidak melakukan sendiri, bidan tetap memikul tanggung

jawab untuk mengarahkan pelaksanaannya. Dalam situas ini,

bidan harus berkolaborasi dengan tim kesehatan lain atau

dokter. Dengan demikian, bidan harus bertanggung jawab atas

terlaksananya rencana asuhan yang menyeluruh yang telah

dibuat bersama tersebut.

g. Langkah VII : Evaluasi

Dilakukan evaluasi keefektifan asuhan yang sudah

diberikan, yang mencakup pemenuhan kebutuhan, untuk menilai


46

apakah sudah benar – benar terlaksana/terpenuhi sesuai dengan

kebutuhan yang telah teridentifikasi dalam masalah ddan

diagnosis (Varney, 2007; h.26-28).

2. Penerapan asuhan kebidanan pada Menometroragia

a. Subjektif

Keluhan pada kasus dimana pasien mengalami perdarahan

diluar haid yang di tandai dengan perdarahan yang terjadi

diantara mentruasi (Wiknjosastro, 2009; h.223).

b. Objektif

Dalam kasus ini kesadaran akan menurun karena terjadi

menstruasi yang tidak teratur sehingga tanda-tanda vital juga

menurun dan kadar Hb juga ikut menurun dikarenakan

pengeluaran darah yang berlebih (Wiknjosastro, 2009; h.223).

c. Assesment

Berdasarkan data yang terkumpul maka akan didapatkan

diagnosa yang aktual yaitu menometroragia serta kesimpulan dari

data yang terkumpul dengan kadar Hb rendah (Wiknjosastro,

2009; h.223).

d. Diagnosa potensial

Diagnosa potensial mengingat kemungkinan yang didapatkan

adalah anemia dikarenakan komplikasi yang akan terjadi jika

kasus tidak segera diobati dan dapat dilakukan antisipasi dengan

memberikan pemberian tablet fe dan dilakukan transfusi darah

jika mengalami penurunan kesadaran (Wiknjosastro, 2009;

h.227).
47

e. Planning

Memberikan support mental dan dilakukan observasi untuk

mengevaluasi perdarahan tidak teratur yang terjadi. Dalam

bagian ini penerapan asuhan kebidanan langsung diterapkan

dalam SOAP.

C. Landasan Hukum Kewenangan Bidan

Landasan hukum kewenangan bidan pada kasus Menometroragia

meliputi :

1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun

2017 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan.

a. Pasal 18

Dalam penyelenggaraan Praktik Kebidanan, Bidan memiliki

kewenangan untuk memberikan :

1) Pelayanan kesehatan ibu

2) Pelayanan kesehatan anak, dan

3) Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga

berencana

b. Pasal 21

Dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan

dan keluarga berencana sebagaimana dimaksud dalam pasal 18

angka 3). Bidan berwenang memberikan :

1) Penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan

dan keluarga berencana; dan


48

2) Pelayanan kontrasepsi oral, kondom, dan suntikan.

(Kemenkes RI, 2017).

c. Pasal 22

Selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18,

Bidan memiliki kewenangan memberikan pelayanan berdasarkan:

1) Penugasan dari pemerintah sesuai kebutuhan; dan/atau

2) Pelimpahan wewenang melakukan tindakan pelayanan

kesehatan secara mandate dari dokter.

d. Pasal 27

1) Pelimpahan wewenang melakukan tindakan pelayanan

kesehatan secara mandat dari dokter sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 22 angka 2) diberikan secara tertulis oleh dokter

pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama tempat

Bidan bekerja.

2) Tindakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) hanya dapat diberikan dalam keadaan di mana

terdapat kebutuhan pelayanan yang melebihi ketersediaan

dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama

tersebut.

3) Pelimpahan tindakan pelayanan kesehatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan :

a) Tindakan yang dilimpahkan termasuk dalam kompetensi

yang telah dimiliki oleh Bidan penerima pelimpahan;

b) Pelaksanaan tindakan yang telah dilimpahkan tetap

dibawah pengawasan dokter pemberi pelimpahan;


49

c) Tindakan yang dilimpahkan tidak termasuk mengambil

keputusan klinis sebagai dasar pelaksanaan tindakan;

dan

d) Tindakan yang dilimpahkan tidak bersifat terus menerus.

4) Tindakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) menjadi tanggung jawab dokter pemberi mandate,

sepanjang pelaksanaan tindakan sesuai dengan pelimpahan

yang diberikan.

2. Standar Kompetensi Bidan di Indonesia

Kompetensi ke – 9 : Melaksanakan asuhan kebidanan pada

wanita/ibu dengan gangguan sistem reproduksi

Keputusan Menteri Kesehatan No.363/Menkes/SK/III/2007 Dalam

Kompetensi Bidan Yang Ke-9 Tentang Asuhan Kebidanan Gangguan

Sistem Reproduksi berisi :

Melaksanakan asuhan kebidanan kepada wanita atau ibu yang

mengalami gangguan sistem reproduksi.

a. Pengetahuan dasar

1) Penyuluhan kesehatan mengenai kesehatan reproduksi,

penyakit menular seksual (PMS), HIV/AIDS.

2) Tanda dan gejala infeksi saluran kemih serta penyakit seksual

yang lazim terjadi.

3) Tanda gejala, dan penatalaksanaan pada kelainan ginekologi

meliputi: keputihan, perdarahan tidak teratur dan penundaan

haid.
50

b. Pengetahuan tambahan

1) Mikroskop dan penggunaannya.

2) Teknik pengambilan dan pengiriman sediaan apusan (pap

smear).

c. Keterampilan dasar

1) Mengidentifikasi gangguan masalah dan kelainan sistem

reproduksi.

2) Melaksanakan pertolongan pada wanita atau ibu yang

mengalami gangguan sistem reproduksi.

3) Melaksanakan kolaborasi dan atau rujukan secara cepat dan

tepat pada wanita atau ibu yang mengalami gangguan sistem

reproduksi.

4) Memberi pelayanan pengobatan sesuai dengan pelayanan

ginekologi, meliputi keputihan, perdarahan tidak teratur dan

penundaan haid.

5) Mendokumentasikan temuan-temuan dan interfensi yang

dilakukan.

d. Keterampilan tambahan

1) Mempersiapkan wanita untuk menjelang klimaksterum dan

menopause.

2) Mengobati perdarahan abnormal dan abortus spontan (jika

belum sempurna).

3) Melaksanakan kolaborasi dan atau rujukan secara cepat dan

tepat pada wanita yang mengalami gangguan sistem

reproduksi.
51

4) Memberi pelayanan dan pengobatan sesuai dengan

kewenangan pada gangguan sistem reproduksi, meliputi

keputihan, perdrahan tidak teratur dan penundaan haid (IBI,

2010; h.10-22).

3. Standar Asuhan Kebidanan

Standar Asuhan Kebidanan berdasarkan Keputusan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia No. 938/Menkes/SK/VIII/2007 tentang

Standar Asuhan Kebidanan. Standar asuhan kebidanan adalah

acuan dalam proses pengambilan keputusan dan tindakan yang

dilakukan oleh bidan sesuai wewenang dan ruang lingkup praktiknya

berdasarkan ilmu ddan kiat kebidanan. Mulai dari pengkajian,

perumusan diagnosa dan atau masalah kebidanan, perencanaan,

implementasi, evaluasi dan pencatatan asuhan kebidanan.

a. Standar I : Pengkajian

Pernyataan standar :

Bidan mengumpulkan semua informasi ang akurat, releven dan

lengkap dari semua sumber yang berkaitan dengan kondisi klien.

Kriteria Pengkajian :

1) Data tepat, akurat dan lengkap.

2) Terdiri dari data subyektif (hasil anamnesa : biodata, keluhan

utama, riwayat obstetri, riwayat kesehatan dan latar belakang

sosial budaya).

3) Data obyektif (hasil pemeriksaan fisik, psikologis dan

pemeriksaan penunjang).
52

b. Standar II : Perumusan diagnosa dan atau masalah kebidanan

Pernyataan standar :

Bidan menganalisis data yang diperoleh pada pengkajian,

menginterpretasikan secara akurat dan logis untuk menegakkan

diagnosa dan masalah kebidanan yang tepat.

Kriteria Perumusan diagnosa dan atau Masalah

1) Diagnosa sesuai dengan nomenklatur kebidanan.

2) Masalah dirumuskan sesuai dengan kondisi klien.

3) Dapat diselesaikan dengan Asuhan Kebidanan secara

mandiri, kolaborasi, dan rujukan.

c. Standar III : Perencanaan

Pernyataan standar :

Bidan merencanakan asuhan kebidanan berdasarkan diagnosa

dan masalah yang ditegakkan.

Kriteria Perencanaan

1) Rencana tindakan disusun berdasarkan prioritas masalah dan

kondisi klien; tindakan segera, tindakan antisipasi, dan

asuhan secara komprehensif.

2) Melibatkan klien/pasien dan atau keluarga.

3) Mempertimbangkan kondisi psikologi, sosial budaya

klien/keluarga.

4) Memilih tindakan yang aman sesuai kondisi dan kebutuhan

klien berdasarkan evidence based dan memastikan bahwa

asuhan yang diberikan bermanfaat untuk klien.


53

5) Mempertimbangkan kebijakan dan peraturan yang berlaku,

sumberdaya serta fasilitas yang ada.

d. Standar IV : Implementasi

Pernyataan standar :

Bidan melaksanakan rencana asuhan kebidanan secara

komprehensif, efektif, efisien dan aman berdasarkan evidence

based kepada klien/pasien, dalam bentuk upaya promotif,

preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dilaksanakan secara mandiri,

kolaborasi dan rujukan.

Kriteria Implementasi

1) Memperhatikan keunikan klien sebagai makhluk bio-psiko-

sosial-spiritual-kultural.

2) Setiap tindakan asuhan harus mendapatkan persetujuan dari

klien dan atau keluarganya (inform consent).

3) Melaksanakan tindakan asuhan berdasarkan evidence based.

4) Melibatkan klien/pasien.

5) Menjaga privasi klien/ pasien.

6) Melaksanakan prinsip pencegahan infeksi.

7) Mengikuti perkembangan kondisi klien secara

berkesinambungan.

8) Menggunakan sumber daya, sarana dan fasilitas yang ada

dan sesuai.

9) Melakukan tindakan sesuai standar.

10) Mencatat semua tindakan yang telah dilakukan.


54

e. Standar V : Evaluasi

Pernyataan standar :

Bidan melakukan evaluasi secara sistimatis dan

berkesinambungan untuk melihat keefektifan dari asuhan yang

yang sudah diberikan, sesuai dengan perubahan perkembangan

kondisi klien.

Kriteria Evaluasi

1) Penilaian dilakukan segera setelah selesai melakukan asuhan

sesuai kondisi klien.

2) Hasil evaluasi segera dicatat dan dikomunikasikan pada klien

dan /keluarga.

3) Evaluasi dilakukan sesuai dengan standar.

4) Hasil evaluasi ditindak lanjuti sesuai dengan kondisi

klien/pasien.

f. Standar VI : Pencatatan Asuhan Kebidanan

Pernyataan standar :

Bidan melakukan pencatatan secara lengkap, akurat, singkat dan

jelas mengenai keadaan/kejadian yang ditemukan dan dilakukan

dalam memberikan asuhan kebidanan.

Kriteria Pencatatan Asuhan Kebidanan

1) Pencatatan dilakukan segera setelah melaksanakan asuhan

pada formulir yang tersedia (Rekam medis/ KMS/Status

pasien/buku KIA).

2) Ditulis dalam bentuk catatan perkembangan SOAP.


55

3) S adalah data subjektif

Mencatat hasil anamnesa, mengumpulkan semua

informasi yang akurat, releven dan lengkap dari semua

sumber yang berkaitan dengan kondisi pasien.

4) O adalah data objektif

Mencatat hasil pemeriksaan, melakukan pemeriksaan

fisik sesuai indikasi.

5) A adalah assessment

Mencatat dan merumuskan diagnosa dan masalah

kebidanan, menganalisis data yang diperoleh pada

pengkajian menginterpretasikan secara akurat dan logis untuk

menegakkan diagnosa dan masalah kebidanan yang tepat.

6) P adalah penatalaksanaan

Mencatat seluruh perencanaan dan penatalaksanaan

yang sudah dilakukan seperti tindakan antisipatif, tindakan

segera, tindakan secara komprehensif; penyuluhan,

dukungan, kolaborasi, evaluasi/follow up dan rujukan

(Kemenkes RI, 2007).

Anda mungkin juga menyukai