Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH KESEHATAN REPRODUKSI

KONSEP KESEHATAN REPRODUKSI


Di susun
O
L
E
H
Nama Kelompok

Sylvia Kartika Dewi


Lailan Mardhiah
Debby Sri Pamela
Meltioria Silaban
Semester

: IV B

Dosen Pembimbing : JUMILAWATI, SST.,M.Si

AKADEMI KEBIDANAN PEMKO TEBING TINGGI


T.A 2013/2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul Konsep Kesehatan Reproduksi

ini dapat

terselesaikan.
Untuk itu pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat Ibu
Jumilawati,SST.,M.Si yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan
makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu kami memohon saran dan kritik dari para pembaca yang sifatnya membangun.

Tebing Tinggi, Maret 2015

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi sekarang ini sangat mendukung
dalam kehidupan manusia di Indonesia bahkan di dunia, penemuan yang setiap waktu terjadi dan
para peneliti terus berusaha dalam penelitiannya demi kemajuan dan kemudahan dalam
beraktivitas.
Ilmu kedokteran khususnya ilmu kesehatan pun begitu cepat bekembang mulai dari peralatan
ataupun teori sehingga mendorong para pengguna serta spesialis tidak mau ketinggalan untuk bisa
memiliki dan memahami wawasan serta ilmu pengetahuan tersebut.
Terkait ilmu kesehatan dalam hal ini, yaitu kesehatan reproduksi banyak sekali teori-teori serta
keilmuan yang harus dimiliki oleh para pakar atau spesialis kesehatan reproduksi. Wilayah
keilmuan tersebut sangat penting dimiliki demi mengemban tugas untuk bisa menolong para pasien
yang mana demi kesehatan, kesejahteraan dan kelancaran pasien dalam menjalanakan kodratnya
sebagai perempuan.
Pengetahuan kesehatan reproduksi bukan saja penting dimiliki oleh para bidan atau spesialais tetapi
sangat begitu penting pula dimiliki khususnya oleh para istri-istri atau perempuan sebagai ibu atau
bakal ibu dari anak-anaknya demi kesehatan, dan kesejahteraan meraka.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kesehatan reproduksi?
2. Apa saja ruang lingkup kesehatan reproduksi?
3. Apa saja hak yang terkait dengan kesehatan reproduksi?
C. Tujuan penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui pengertian kesehatan reproduksi
2. Untuk mengetahui ruang lingkup kesehatan reproduksi
3. Untuk mengetahui hak yang terkait dengan kesehatan reproduksi

BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Definisi Kesehatan Reproduksi

Kesehatan Reproduksi adalah suatu keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental dan
social dan bukan semata-mata terbebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang

berhubungan dengan system reproduksi, fungsi serta prosesnya.


Kesehatan Reproduksi menurut WHO adalah suatu keadaan fisik, mental dan sosial yang
utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan

dengan system reproduksi, fungsi serta prosesnya.


Kesehatan Reproduksi menurut hasil ICPD 1994 di Kairo adalah keadaan sempurna fisik,
mental dan kesejahteraan social dan tidak semata-mata ketiadaan penyakit atau kelemahan,

dalam segala hal yang berkaitan dengan system reproduksi dan fungsi serta proses.
Depkes RI (2000) Kesehatan Reproduksi adalah suatu keadaan sehat secara menyeluruh
mencakup fisik, mental dan kehidupan sosial yang berkaitan dengan alat, fungsi serta proses
reproduksi yang pemikiran kesehatan reproduksi bukannya kondisi yang bebas dari penyakit
melainkan bagaimana seseorang dapat memiliki kehidupan seksual yang aman dan

memuaskan sebelum dan sesudah menikah.


1.2 Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi dalam Siklus Kehidupan
Ruang lingkup kesehatan reproduksi adalah pendekatan siklus hidup, yang berarti
memperhatikan kekhususan kebutuhan penanganan system reproduksi pada setiap fase
kehidupan, serta kesinambungan antar fase kehidupan tersebut. Dengan demikian, masalah
kesehatan reproduksi pada setiap fase kehidupan dapat diperkirakan, yang bila tak ditangani
dengan baik maka hal ini dapat berakibat buruk pada masa kehidupan selanjutnya.
1. Ibu hamil dan konsepsi
Bayi dan anak Menurut Depkes RI (2001) ruang lingkup kesehatan reproduksi sebenarnya
sangat luas, sesuai dengan definisi yang tertera di atas, karena mencakup keseluruhan
kehidupan manusia sejak lahir hingga mati.Dalam uraian tentang kesehatan reproduksi yang
lebih rinci digunakan pendekatan siklus hidup (life-cycle approach), sehingga diperoleh
komponen pelayanan yang nyata dan dapat dilaksanakan.
Secara lebih luas, ruang lingkup kespro meliputi:
1.
Kesehatan ibu dan bayi baru lahir
2.
Keluarga Berencana
3.
Pencegahan dan penanggulangan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR), termasuk PMS
4.
5.
6.
7.
8.

HIV/AIDS
Pencegahan dan penanggulangan komplikasi aborsi
Kesehatan Reproduksi Remaja
Pencegahan dan penanggulangan Infertilitas
Kanker pada usia lanjut dan osteoporosis
Berbagai aspek kesehatan reproduksi lain missalnya kanker serviks, mutilasi

genetalia, fistula dll.


1.3 Hak-Hak Reproduksi

Hak reproduksi perorangan adalah hak yang dimiliki oleh setiap orang, baik laki-laki maupun
perempuan (tanpa memandang perbedaan kelas sosial, suku, umur, agama, dll) untuk
memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab (kepada diri, keluarga dan masyarakat)
mengenai jumlah anak, jarak antar anak, serta penentuan waktu kelahiran anak dan akan
melahirkan. Hak reproduksi ini didasarkan pada pengakuan akan hak-hak asasi manusia yang
diakui di dunia internasional (Depkes RI, 2002).
A. Menurut Depkes RI (2002) hak kesehatan reproduksi dapat dijabarkan secara praktis,
a.

antara lain:
Setiap orang berhak memperoleh standar pelayanan kesehatan reproduksi yang terbaik. Ini
berarti penyedia pelayanan harus memberikan pelayanan kesehatan reproduksi yang
berkualitas dengan memperhatikan kebutuhan klien, sehingga menjamin keselamatan dan

b.

keamanan klien.
Setiap orang, perempuan dan laki-laki (sebagai pasangan atau sebagai individu) berhak
memperoleh informasi selengkap-lengkapnya tentang seksualitas, reproduksi dan manfaat
serta efek samping obat-obatan, alat dan tindakan medis yang digunakan untuk pelayanan

c.

dan/atau mengatasi masalah kesehatan reproduksi.


Setiap orang memiliki hak untuk memperoleh pelayanan KB yang aman, efektif,

d.

terjangkau, dapat diterima, sesuai dengan pilihan, tanpa paksaan dan tak melawan hukum.
Setiap perempuan berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya, yang
memungkinkannya sehat dan selamat dalam menjalani kehamilan dan persalinan, serta

e.

memperoleh bayi yang sehat.


Setiap anggota pasangan suami-isteri berhak memiliki hubungan yang didasari

f.

penghargaan
Terhadap pasangan masing-masing dan dilakukan dalam situasi dan kondisi yang

g.

diinginkan bersama tanpa unsure pemaksaan, ancaman, dan kekerasan.


Setiap remaja, lelaki maupun perempuan, berhak memperoleh informasi yang tepat dan
benar tentang reproduksi, sehingga dapat berperilaku sehat dalam menjalani kehidupan

h.

seksual yang bertanggung jawab


Setiap laki-laki dan perempuan berhak mendapat informasi dengan mudah, lengkap, dan
akurat mengenai penyakit menular seksual, termasuk HIV/AIDS

B. Menurut ICPD (1994) hak-hak reproduksi antara lain :


a.
Hak mendapat informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi.
b.
Hak mendapat pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi
c.
Hak kebebasan berpikir tentang pelayanan kesehatan reproduksi
d.
Hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan
e.
Hak untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran anak
f.
Hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan reproduksinya
g.
Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari
h.

perkosaan, kekerasan, penyiksaan, dan pelecehan seksual


Hak mendapatkan manfaat kemajuan, ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kesehatan
reproduksi

i.

Hak atas kerahasiaan pribadi berkaitan dengan pilihan atas pelayanan dan kehidupan

j.
k.

reproduksinya
Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga
Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga dan

l.

kehidupan reproduksi
Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan
kesehatan reproduksi

Hak Reproduksi maupun akses untuk mendapatkan Pelayanan Kesehatan Reproduksi adalah
penting, sehingga perempuan dapat:
1.

Mempunyai pengalaman dalam kehidupan seksual yang sehat, terbebas dari penyakit,
kekerasan, ketidakmampuan, ketakutan, kesakitan, atau kematian yang berhubungan dengan
reproduksi dan seksualitas

2.

Mengatur kehamilannya secara aman dan efektif sesuai dengan keinginannya,


menghentikan kehamilan yang tidak diinginkan, dan menjaga kehamilan sampai waktu
persalinan

3.

Mendorong dan membesarkan anak-anak yang sehat seperti juga ketika mereka
menginginkan kesehatan bagi dirinya sendiri.

1.4 Perawatan Kesehatan Reproduksi


Seksualitas dan kesehatan reproduksi remaja didefinisikan sebagai keadaan sejahtera fisik
dan psikis seorang remaja, termasuk keadaan terbebas dari kehamilan yang tak dikehendaki, aborsi
yang tidak aman, penyakit menular seksual (PMS) ter-masuk HIV/AIDS, serta semua bentuk
kekerasan dan pemaksaan seksual (FCI, 2000).
Masa remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dengan dewasa dan relatif
belum mencapai tahap kematangan mental dan sosial sehingga mereka harus menghadapi tekanantekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan. Banyak sekali life events yang akan terjadi
yang tidak saja akan menentukan kehidupan masa dewasa tetapi juga kualitas hidup generasi
berikutnya sehingga menempatkan masa ini sebagai masa kritis.
Di negera-negara berkembang masa transisi ini berlangsung sangat cepat. Bahkan usia saat
berhubungan seks pertama ternyata selalu lebih muda daripada usia ideal menikah (Kiragu,
1995:10, dikutip dari Iskandar, 1997).
Pengaruh informasi global (paparan media audio-visual) yang semakin mudah diakses
justru memancing anak dan remaja untuk mengadaptasi kebiasaan-kebiaasaan tidak sehat seperti
merokok, minum minuman berakohol, penyalahgunaan obat dan suntikan terlarang, perkelahian
antar-remaja atau tawuran (Iskandar, 1997). Pada akhirnya, secara kumulatif kebiasaan-kebiasaan
tersebut akan mempercepat usia awal seksual aktif serta mengantarkan mereka pada kebiasaan
berperilaku seksual yang berisiko tinggi, karena kebanyakan remaja tidak memiliki pengetahuan

yang akurat mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas serta tidak memiliki akses terhadap
informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi, termasuk kontrasepsi.
Kebutuhan dan jenis risiko kesehatanreproduksi yang dihadapi remaja mempunyai ciri yang
berbeda dari anak-anak ataupun orang dewasa. Jenis risiko kesehatan reproduksi yang harus
dihadapi remaja antara lain adalah kehamilan, aborsi, penyakit menular seksual (PMS), ke-kerasan
seksual, serta masalah keterbatasan akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan. Risiko ini
dipe-ngaruhi oleh berbagai faktor yang saling berhubungan, yaitu tuntutan untuk kawin muda dan
hubungan seksual, akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, ketidaksetaraan jender, kekerasan
seksual dan pengaruh media massa maupun gaya hidup.
Khusus bagi remaja putri, mereka kekurangan informasi dasar mengenai keterampilan
menegosiasikan hubungan seksual dengan pasangannya. Mereka juga memiliki kesempatan yang
lebih kecil untuk mendapatkan pendidikan formal dan pekerjaan yang pada akhirnya akan
mempengaruhi kemampuan pengambilan keputusan dan pemberdayaan mereka untuk menunda
perkawinan dan kehamilan serta mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki (FCI, 2000). Bahkan
pada remaja putri di pedesaan, haid pertama biasanya akan segera diikuti dengan perkawinan yang
menempatkan mereka padarisiko kehamilan dan persalinan dini (Hanum, 1997:2-3).
Kadangkala pencetus perilaku atau kebiasaan tidak sehat pada remaja justru adalah akibat
ketidak-harmonisan hubungan ayah-ibu, sikap orangtua yang menabukan pertanyaan anak/remaja
tentang fungsi/proses reproduksi dan penyebab rangsangan seksualitas (libido), serta frekuensi
tindak kekerasan anak (child physical abuse).
Mereka cenderung merasa risih dan tidak mampu untuk memberikan informasi yang
memadai mengenai alat reproduksi dan proses reproduksi tersebut. Karenanya, mudah timbul rasa
takut di kalangan orangtua dan guru, bahwa pendidikan yang menyentuh isu perkembangan organ
reproduksi dan fungsinya justru malah mendorong remaja untuk melakukan hubungan seks
pranikah (Iskandar, 1997).
Kondisi lingkungan sekolah, pengaruh teman, ketidaksiapan guru untuk memberikan
pendidikan kesehatan reproduksi, dan kondisi tindak kekerasan sekitar rumah tempat tinggal juga
berpengaruh (OKeefe, 1997: 368-376).
Remaja yang tidak mempu-nyai tempat tinggal tetap dan tidak mendapatkan perlin-dungan
dan kasih sayang orang tua, memiliki lebih banyak lagi faktor-faktor yang berkontribusi, seperti:
rasa kekuatiran dan ketakutan yang terus menerus, paparan ancaman sesama remaja jalanan,
pemerasan, penganiayaan serta tindak kekerasan lainnya, pelecehan seksual dan perkosaan (Kipke
et al., 1997:360-367). Para remaja ini berisiko terpapar pengaruh lingkungan yang tidak sehat,

termasuk penyalahgunaan obat, minuman beralkohol, tindakan kriminalitas, serta prostitusi


(Iskandar, 1997).
Pilihan dan keputusan yang diambil seorang remaja sangat tergantung kepada kualitas dan
kuantitas informasi yang mereka miliki, serta ketersediaan pelayanan dan kebijakan yang spesifik
untuk mereka, baik formal maupun informal (Pachauri, 1997).
Sebagai langkah awal pencegahan, peningkatan pengetahuan remaja mengenai kesehatan
reproduksi harus ditunjang dengan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang tegas
tentang penyebab dan konsekuensi perilaku seksual, apa yang harus dilakukan dan dilengkapi
dengan informasi mengenai saranan pelayanan yang bersedia menolong seandainya telah terjadi
kehamilan yang tidak diinginkan atau tertular ISR/PMS. Hingga saat ini, informasi tentang
kesehatan reproduksi disebarluaskan dengan pesan-pesan yang samar dan tidak fokus, terutama bila
mengarah pada perilaku seksual (Iskandar, 1997).
Di segi pelayanan kesehatan, pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana
di Indonesia hanya dirancang untuk perempuan yang telah menikah, tidak untuk remaja. Petugas
kesehatan pun belum dibekali dengan kete-rampilan untuk melayani kebutuhan kesehatan
reproduksi para remaja (Iskandar, 1997).
Jumlah fasilitas kesehatan reproduksi yang menyeluruh untuk remaja sangat terbatas.
Kalaupun ada, pemanfaatannya relatif terbatas pada remaja dengan masalah kehamilan atau
persalinan tidak direncanakan. Keprihatinan akan jaminan kerahasiaan (privacy) atau kemampuan
membayar, dan kenyataan atau persepsi remaja terhadap sikap tidak senang yang ditunjukkan oleh
pihak petugas kesehatan, semakin membatasi akses pelayanan lebih jauh, meski pelayanan itu ada.
Di samping itu, terdapat pula hambatan legal yang berkaitan dengan pemberian pelayanan dan
informasi kepada kelompok remaja (Outlook, 2000).
Karena kondisinya, remaja merupakan kelompok sasaran pelayanan yang mengutamakan
privacy dan confidentiality (Senderowitz, 1997a:10). Hal ini menjadi penyulit, mengingat sistem
pelayanan kesehatan dasar di Indonesia masih belum menempatkan kedua hal ini sebagai prioritas
dalam upaya perbaikan kualitas pelayanan yang berorientasi pada klien.
Sebuah survei terbaru terhadap 8084 remaja laki-laki dan remaja putri usia 15-24 tahun di
20 kabupaten pada empat propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung)
menemukan 46,2% remaja masih menganggap bahwa perempuan tidak akan hamil hanya dengan
sekali melakukan hubungan seks. Kesalahan persepsi ini sebagian besar diyakini oleh remaja lakilaki (49,7%) dibandingkan pada remaja putri (42,3%) (LDFEUI & NFPCB, 1999a:92).
Dari survei yang sama juga didapatkan bahwa hanya 19,2% remaja yang menyadari peningkatan
risiko untuk tertular PMS bila memiliki pasangan seksual lebih dari satu. 51% mengira bahwa

mereka akan berisiko tertular HIV hanya bila berhubungan seks dengan pekerja seks komersial
(PSK) (LDFEUI & NFPCB, 1999b:14).
Remaja seringkali merasa tidak nyaman atau tabu untuk membicarakan masalah seksualitas
dan kesehatan reproduksinya. Akan tetapi karena faktor keingintahuannya mereka akan berusaha
untuk mendapatkan informasi ini. Seringkali remaja merasa bahwa orang tuanya menolak
membicarakan masalah seks sehingga mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi lain
seperti teman atau media massa.
Kebanyak orang tua memang tidak termotivasi untuk memberikan informasi mengenai seks
dan kesehatan reproduksi kepada remaja sebab mereka takut hal itu justru akan meningkatkan
terjadinya hubungan seks pra-nikah. Padahal, anak yang mendapatkan pendidikan seks dari orang
tua atau sekolah cenderung berperilaku seks yang lebih baik daripada anak yang mendapatkannya
dari orang lain (Hurlock, 1972 dikutip dari Iskandar, 1997).
Keengganan para orang tua untuk memberikan informasi kesehatan reproduksi dan
seksualitas juga disebabkan oleh rasa rendah diri karena rendahnya pengetahuan mereka mengenai
kesehatan reproduksi (pendidikan seks). Hasil pre-test materi dasar Reproduksi Sehat Anak dan
Remaja (RSAR) di Jakarta Timur (perkotaan) dan Lembang (pedesaan) menunjukkan bahwa
apabila orang tua merasa meiliki pengetahuan yang cukup mendalam tentang kesehatan reproduksi,
mereka lebih yakin dan tidak merasa canggung untuk membicarakan topik yang berhubungan
dengan masalah seks (Iskandar, 1997:3). Hambatan utama adalah justru bagaimana mengatasi
pandangan bahwa segala sesuatu yang berbau seks adalah tabu untuk dibicarakan oleh orang yang
belum menikah (Iskandar, 1997:1).
Responden survei remaja di empat propinsi yang dilakukan pada tahun 1998
memperlihatkan sikap yang sedikit berbeda dalam memandang hubungan seks di luar nikah. Ada
2,2% responden setuju apabila laki-laki berhubungan seks sebelum menikah. Angka ini menurun
menjadi 1% bila ditanya sikap mereka terhadap perempuan yang berhubungan seks sebelum
menikah. Jika hubungan seks dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai, maka responden
yang setuju menjadi 8,6%. Jika mereka berencana untuk menikah, responden yang setuju kembali
bertambah menjadi 12,5% (LDFEUI & NFPCB, 1999a:96-97).
Sebuah studi yang dilakukan LDFEUI di 13 propinsi di Indonesia (Hatmadji dan Rochani,
1993) menemukan bahwa sebagian besar responden setuju bahwa pengetahuan mengenai
kontrasepsi sudah harus dimiliki sebelum menikah.
Survei remaja di empat propinsi kembali melaporkan bahwa ada 2,9% remaja yang telah seksual
aktif. Persentase remaja yang telah mempraktikkan seks pra-nikah terdiri dari 3,4% remaja putra
dan 2,3% remaja putri (LDFEUI & NFPCB,1999:101). Sebuah survei terhadap pelajar SMU di

Manado, melaporkan persentase yang lebih tinggi, yaitu 20% pada remaja putra dan 6% pada
remaja putri (Utomo, dkk., 1998).
Sebuah studi di Bali menemukan bahwa 4,4% remaja putri di perkotaan telah seksual aktif. Studi di
Jawa Barat menemukan perbedaan antara remaja putri di perkotaan dan pedesaan yang telah
seksual aktif yaitu berturut-turut 1,3% dan 1,4% (Kristanti & Depkes, 1996: Tabel 8b).
Sebuah studi kualitatif di perkotaan Banjarmasin dan pedesaan Mandiair melaporkan bahwa
interval 8-10 tahun adalah rata-rata jarak antara usia pertama kali berhubungan seks dan usia pada
saat menikah pada remaja putra, sedangkan pada remaja putri interval tersebut adalah 4-6 tahun
(Saifuddin dkk, 1997:78).
1.5 Indikator Permasalahan Kesehatan Reproduksi Wanita
Dalam pengertian kesehatan reproduksi secara lebih mendalam, bukan semata-mata sebagai
pengertian klinis (kedokteran) saja tetapi juga mencakup pengertian sosial (masyarakat). Intinya
goal kesehatan secara menyeluruh bahwa kualitas hidupnya sangat baik. Namun, kondisi sosial dan
ekonomi terutama di negara-negara berkembang yang kualitas hidup dan kemiskinan memburuk,
secara tidak langsung memperburuk pula kesehatan reproduksi wanita.
Indikator-indikator permasalahan kesehatan reproduksi wanita di Indonesia antara lain:
Jender, adalah peran masing-masing pria dan wanita berdasarkan jenis kelamin menurut budaya
yang berbeda-beda. Jender sebagai suatu kontruksi sosial mempengaruhi tingkat kesehatan, dan
karena peran jender berbeda dalam konteks cross cultural berarti tingkat kesehatan wanita juga
berbeda-beda.
Kemiskinan, antara lain mengakibatkan:
1. Makanan yang tidak cukup atau makanan yang kurang gizi
2. Persediaan air yang kurang, sanitasi yang jelek dan perumahan yang tidak layak.
3. Tidak mendapatkan pelayanan yang baik.
4. Pendidikan yang rendah.
Kemiskinan mempengaruhi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Kesempatan untuk
sekolah tidak sama untuk semua tetapi tergantung dari kemampuan membiayai. Dalam situasi
kesulitan biaya biasanya anak laki-laki lebih diutamakan karena laki-laki dianggap sebagai pencari
nafkah utama dalam keluarga.
Dalam hal ini bukan indikator kemiskinan saja yang berpengaruh tetapi juga jender
berpengaruh pula terhadap pendidikan. Tingkat pendidikan ini mempengaruhi tingkat kesehatan.
Orang yang berpendidikan biasanya mempunyai pengertian yang lebih besar terhadap masalahmasalah kesehatan dan pencegahannya. Minimal dengan mempunyai pendidikan yang memadai

seseorang dapat mencari liang, merawat diri sendiri, dan ikut serta dalam mengambil keputusan
dalam keluarga dan masyarakat.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesehatan reproduksi sangatlah penting untuk diketahui oleh para perempuan bakal calon ibu
ataupun laki-laki calon bapak. Oleh karena itu bverdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan
bahwa.
Definisi kesehatan sesuai dengan WHO, kesehatan tidak hanya berkaitan dengan kesehatan fisik,
tetapi juga kesehatan mental dana sosial, ditambahkan lagi (sejak deklarasi Alma Ata-WHO dan
UNICEF) dengan syart baru, yaitu: sehingga setiap orang akan mampu hidup produktif, baik secara
ekonomis maupun sosial.
Kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang utuh dan bukan
hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem
reproduksi dan fungsi-fungsi serta proses-prosesnya.

Hak reproduksi adalah bagian dari hak asasi yang meliputi hak setiap pasangan dan individual
untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab jumlah, jarak, dan waktu kelahiran anak,
serta untuk memiliki informasi dan cara untuk melakukannya.
B. Saran
Untuk itu wawasan dan pengetahuan kesehatan reproduksi sangatlah penting untuk bisa dikuasai
dan dimiliki oleh para perempuan dan laki-laki yang berumah tangga, supaya kesejahtaraan dan
kesehatan bisa tercapai dengan sempurna. Oleh kerana itu penulis memberi saran kepada para pihak
yang terkait khususnya pemerintah, Dinas Kesehatan untuk bisa memberikan pengetahuan dan
wawasan tersebut kepada khalayak masyarakat dengan cara sosialisasi, kegiatan tersebut mudahmudahan kesehatan reproduksi masyarakat bisa tercapai dan masyarakat lebih pintar dalam
menjaga kesehatannya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Mona Isabella Saragih, Amkeb, SKM. Materi Kesehatan Reproduksi. Akademi Kebidanan
YPIB Majalengka.
2. http://jurnalbidandiah.blogspot.com/2012/05/konsep-dasar-kesehatanreproduksi.html#ixzz3THWJr2l7
3. Rafless Bencoolen. (20-06-2012).

Konsep

Kesehatan

Reproduksi.

Bahan

kesehatan.blogspot.com/2011/03/definisi-sejarah-ruang-lingkup-dan-hak.html.

kuliah
Dikutip

pada tanggal 19 Maret 2013


4. Kusmiran, Eny. 2011. Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Jakarta : Salemba Medika.
5. dr. Awi Muliadi. (2011). Beberapa Data (proxy) Kesehatan Indonesia Tahun
2010/2011.http://www.infodokterku.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=172:beberapa-data-proxy-kesehatan-indonesiatahun-20102011&catid=40:data&itemid=54. Dikutip pada tanggal 20 Maret 2013

Anda mungkin juga menyukai