Anda di halaman 1dari 3

MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN MENJAGA DIRI

SISWI SMAS LABSCHOOL UPI MELALUI


KEGIATAN EDUKASI SEKS SEJAK DINI

Anne Melia

Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia pada tahun 2017, menunjukkan bahwa
80% wanita dan 84% pria pernah berpacaran. Kelompok usia 15-27 tahun merupakan usia
mulai pacaran pertama kali. Banyak dilaporkan kasus perilaku pacaran yang mengarah pada
kontak sesual terjadi pada mereka yang tinggal di daerah perkotaan.4 SMAS Labschool
merupakan salah satu sekolah di Bandung yang terletak di kawasan perkotaan. Jumlah siswinya
lebih banyak dan banyak yang berprestasi baik di kancah nasional maupun Internasional, hal
ini merupakan potensi penting yang harus dijaga dengan baik. Kondisi tersebut diharapkan
mampu diimbangi dengan keterampilan menjaga diri salah satunya melalui kegiatan edukasi
seks sejak dini. Kegiatan diharapkan mampu menjadi bekal bagi para siswa pada usia remaja
hingga ia lulus sekolah nanti. SMAS Labschool yang Walaupun sekolah ini belum pernah
diterpa kabar negatif, setidaknya kegiatan edukasi ini menjadi langkah ansipatif untuk
mencegah hal-hal yang tidak diinginkan pada usia remaja.
Usia remaja sangat mudah dipengaruhi oleh lingkungan. Setiap perubahan yang terjadi
di lingkungan terutama perubahan dalam hal gaya hidup akan direspon dengan cepat oleh para
remaja2. Kemudahan dalam mengakses informasi secara cepat di era digital ini dapat menjadi
ancaman apabila tidak disikapi dengan bijak. Derasnya arus informasi dapat terlihat dari
banyaknya video dan program tayangan televisi baik dari dalam maupun luar negeri yang
hampir setiap saat dapat kita lihat. Berbagai program tersebut, maupun informasi di internet
banyak yang menjurus ke arah pornografi, gambar dan film yang ditampilkan tidak luput dari
adegan-adengan yang mengarah pada seks. Hal ini dapat terjadi karena remaja saat ini memiliki
fasilitas gadget yang memadai, seperti smartphone, laptop, notebook yang dapat dengan mudah
terhubung ke internet. Kurangnya pengawasan dan kontrol dari orang tua dapat menyebabkan
terjadinya proses pengadaptasian nilai-nilai yang terkandung pada apa yang diterimanya tanpa
melihat baik atau buruknya
Pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah
penyalahgunaan seks yang berdampak negatif, seperti hamil di luar nikah, depresi, dan
penyakit menular seksual. Tingginya angka status berpacaran pada remaja dengan perilaku
seksual yang menyimpang dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya kurangnya
pengetahuan remaja mengenai seksual bebas, rendahnya tingkat pendidikan remaja akibat
putus sekolah, status ekonomi yang rendah, lingkungan tempat tinggal yang buruk, serta
banyaknya remaja yang terpapar informasi melalui berbagai sumber digital yang ditampilkan
pada media sosial
Rendahnya pemahaman tentang Pendidikan seks dikarenakan masih banyaknya
anggapan yang keliru mengenai pendidikan seks. Pendidikan seks bukanlah penerapan tentang
seks melainkan sama dengan pendidikan pada umumnya yang mengandung pengalihan nilai-
nilai dari pendidik ke peserta didik. Namun lebih luas dari itu, pendidikan seks yang
kontekstual memiliki ruang lingkup yang cukup luas, tidak terbatas pada perilaku hubungan
seks semata tetapi menyangkut juga pada peran pria dan wanita dalam lingkungan di
masyarakat kelak.6
Pendidikan seks bukan lagi hal yang dianggap tabu, yang harus dihindari, melainkan
salah satu ilmu yang sangat penting bagi kehidupan remaja. Pengetahuan yang cukup mengenai
pendidikan seks, diharapkan mampu menumbuhkan pemahaman dalam diri remaja tentang
bahaya maupun resiko akibat perilaku seks yang menyimpang. Di samping itu, pengetahuan
dan pemahaman yang baik mengenai seks dapat merubah pola pikir (mindset) maupun sikap
remaja, sehingga angka perilaku seks menyimpang dapat dikurangi.5
Pemberian edukasi seks dapat dilakukan melalui beberapa metode, diantaranya
ceramah, diskusi, konseling dengan guru dan teman sebaya, bimbingan dan penyuluhan,
penerapan buku layanan panduan pendidikan seksual dan simulasi ular tangga GenRe serta
penggunaan media. Metode yang dipilih dalam pemberian edukasi seks dapat menyesuaikan
dengan jumlah audiens serta karakteristik dari audiens tersebut. Kegiatan edukasi seks dengan
jumlah audiens lebih dari 15 orang dapat memanfaatkan metode ceramah, sedangkan jika
audiens dibentuk dalam kelompok kecil dapat menggunakan metode konseling dengan guru
dan teman sebaya. Selain itu, penggunaan media yang menarik dan edukatif mampu
menumbuhkan rasa ingin tahu yang tinggi pada remaja dan mempermudah para remaja untuk
menerima informasi baru yang diberikan.
Selain untuk memberikan pemahaman terhadap remaja, pemberian edukasi seks juga
bertujuan untuk pembentukan sikap positif. Azwar (2012) berpendapat bahwa pembentukan
sikap seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pengalaman pribadi, lingkungan
tempat tinggal, media massa, lembaga pendidikan yang memberi informasi, faktor emosi diri,
dan tingkat pemahaman individu tersebut1. Semakin tinggi atau baik tingkat pengetahuan
remaja mengenai seks maka sikap remaja tersebut akan cenderung lebih positif karena dia akan
berpikir terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan seksual bebas.
Pendidikan seks pada usia remaja bukanlah suatu hal yang mudah. Beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam penyampaian pendidikan seks antara lain, pihak yang
menyampaikan, materi, metode penyampaian, dan waktu yang tepat. Pemberian edukasi seks
dalam waktu edukasi yang terbatas tidak dapat langsung memberikan dampak terhadap remaja
tersebut.
Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan seks merupakan tanggung jawab dari
keluarga (rumah), institusi keagamaan, dan sekolah. Sekolah hanya meneruskan dan
mengembangkan pendidikan yang telah diperoleh di lingkungan keluarga. Sekolah memiliki
peran dan tanggung jawab dalam memberikan pendidikan seks tanpa menghilangkan peran
orang tua di dalamnya. Namun persoalan lain di lapangan adalah kurangnya pengetahuan serta
keterampilan orang tua dalam memberikan pendidikan seks terhadap putra putrinya. Hal ini
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orang tua, dimana pemahaman orang tua tentang
pendidikan seks masih bersifat umum dan normatif belum spesifik dan sesuai dengan
kebutuhan remaja. Kondisi yang terjadi di sekolah pun sama, mayoritas sekolah belum
memiliki program pendidikan seks secara khusus bagi para siswa.
Penekanan terhadap nilai-nilai agama dalam konten pendidikan seks juga penting selain
dengan pendekatan saintifik dan perkembangan. Sehingga sudut pandang agama diharapkan
dapat menjadi rujukan dasar dalam pendidikan seks. Hal ini diperkuat oleh Hajirnis 2019,
bahwa pendidikan seks sebaiknya dilakukan dalam bingkai ajaran agama.3

Referensi:
1
Azwar S. 2012. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2
Borjigen A, Huang C, Liu M, Lu J, Peng H, Sapkota C, and Sheng J. 2019. Status and factors
of menstrual knowledge, attitudes, behaviors and their correlation with psychological
stress in adolescent girls. Journal of Pediatric and Adolescent Gynecology. 32(6): 584-
589.
3
Hajirnis, A. 2019. Untangling the rainbow: How culture, race, religion, and ethnicity can
influence sexuality and gender development. Journal of the American Academy of Child
& Adolescent Psychiatry. 58(10): 11.
4
Oktavia JN, Herawati M, dan Ita Y. 2021. Efektivitas metode sex education terhadap sikap
remaja. Jurnal Pendidikan Kesehatan. 10(2): 141-151.
5
Rohan HH dan Siyoto HS. 2015. Buku Ajar: Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Nuha
Medika.
6
Tridayani N. 2018. Pengaruh pendidikan seks terhadap perilaku seksual peserta didik SMA
Negeri 8 Cirebon (perspektif psikologi pendidikan Islam). OASIS: Jurnal Ilmiah Kajian
Islam. 2(2): 12-26.

Anda mungkin juga menyukai