Anda di halaman 1dari 8

PROPOSAL PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

PROGRAM JABATU GUNA MENGHINDARI PENYEBARAN HOAKS

PADA ANAK SEKOLAH DASAR

BIDANG KEGIATAN:

PKM – GAGASAN TERTULIS

Diusulkan Oleh:

Karina Rae Bilqis 112111133172

Divanya Vinanda Marwoto 122111133048

Chintya Tuffahati Fadhilah 122111233134

Vina Yunita Dwi Rahma 122111233099

Alvina Wijayanto 122111233226

Bintang Baswara Priambodo 122111233214

Jordan Tugan Hutagaol 122111133107

MATA KULIAH BAHASA INDONESIA A-2.10

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2021
BIDANG KEGIATAN PKM ARTIKEL ILMIAH
DILAKSANAKAN PENDIDIKAN SEKS ANAK USIA DINI DAN REMAJA UNTUK
MENGHINDARI KEKERASAN DAN PELECEHAN SEKSUAL

Disusun Oleh:
Jordan Tugan Hutagaol122111133107
S-1 Bahasa dan Sastra Indonesia

Dosen Pembimbing:
Sandra Whila Mulia, S.Pd., M.Hum.

MATA KULIAH BAHASA INDONESIA A-2.10


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021
PENDAHULUAN
Bagi orang tua anak adalah generasi penerus masa depan. Sehingga sudah menjadi
tanggung jawab orang tua untuk menjaga dan membimbing anak melewati masa tumbuh
kembangnya. Bagi anak pengalaman di masa kecil adalah pengalaman berharga untuk
tumbuh kembangnya. Orang tua harus bisa memberi pendidikan sejak dini kepada anak, baik
itu akademik dan non- akademik, dan tidak lupa pendidikan seks juga harus diajarkan kepada
anak mulai usia dini sampai dewasa oleh orang tua. Untuk menghindari anak melakukan seks
bebas dibawah umur.

Pendidikan seks di Indonesia masih menjadi perdebatan, secara umum masih banyak
masyarakat berpandangan bahwa pendidikan seks merupakan hak yang “tabu” untuk
dibicarakan kepada anak. Terutama anak usia dini dan remaja. Masyarakat beranggapan
bahwa ada masanya mereka akan memahaminya dengan sendirinya. Pandangan yang tidak
setuju dengan dilakukannya pendidikan seks kepada anak akan mendorong mereka
melakukan hubungan seks sejak dini, sementaea pandangan yang setuju dengan dilakukan
pendidikan seks beranggapan dengan semakin dini mereka mendapatkan pendidikan mereka
akan lebih siap menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya dan mampu
untuk menjaga diri dari kejahatan seksual

Purwakania (Indrijati, 2015) mengatakan bahwa perubahan gender yang terjadi pada
anak dapat dilihat berdasarkan tiga hal, yaitu perkembangan identitas gender (gender
identity), stereotip peran gender (gender role stereotype), dan pola perilaku gender (gender
typhed behaviour). Identitas gender (gender identity) merupakaan perasaan psikologis
seorang anak mengenali dirinya sebagai laki-laki dan perempuan. Pemahami ini dimulai sejak
anak berusia 6 bulan. Ketika anak bisa membedakan suara dari ayah dan ibu. Hal ini akan
terus meningkat saat mereka usia antara 2 dan 3 tahun, anak mulai bisa membedakan laki-
laki dan perempuan. Istilah bapak, ayah, papa digunakan untuk laki-laki dan istilah ibu,
mama, bunda digunakan untuk perempuan. Tetapi, anak masih belum memahami bahwa jenis
kelamin merupakan bagian tubuh yang permanen.

Endang (2015) menambahkan pada anak pada usia 6-7 tahun akan mulai memahami
bahwa jenis kelamin merupakan bagian tubuh yang permanen. Stereotip peran gender (gender
role stereotype) merupakan pemahaman akan peran yang dilakukan oleh laki-laku dan
perempuan. Stereotipe yang berkaitan dengan pemahaman anak perempuan banyak bicara,
bermain “barbie”, tidak suka kekerasan. Sedangkan, anak laki-laki lebih suka melakukan
permaian yang kasar seperti mobil-mobilan. Dan yang terakhir

Sebuah penelitian yang pernah dilakukan oleh Endang,dkk (2015) tentang “Model
dan materi pendidikan seks anak usia dini perspektif gender untuk menfhindari seksual
abuse” berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD) yang ditawarkan dalam materi
pendidikan seks untuk anak usia dini adalah dengan mengadaptasi taksonomi Bloom yang
meliputi tiga ranah yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Hasil adaptasi tersebut kemudian dikaji lebih mendalam dengan FGD.


Pengaplikasiannya dengan menggunakan taksonomi Bloom, yang meliputi ranah kognitif
(knowledge, comprehension, application, analysis, synthesis, evaluation), ranah afektif
(receiving, responding, valueing, organization, characterization), ranah psikomotorik
(observing, imitating, practicing, adapting).

Dalam mengimplementasikan pendidikan seks di sekolaj, guru dapat memilih tema-


tema yang dapat di sesuaikan dengan usia. Pada anak usia dini guru dapat mengangkat tema
dan pembahasan yang ringan. seperti, “aku dan diriku” di sini guru bisa memperkenalkan
bagian-bagian tubuh dan memberikan penekanan kepada siswa, bagian mana yang disentuh
dan bagian mana yang tidak boleh untuk disentuh orang lain.

Pada anak remaja pendidikan seksual guru dapat membantu mereka untuk
mengembangkan dirinya, sehingga meningkatkan harga dan kepercayaan diri, serta memiliki
kepribadian yang sehat dan penerimaan diri yang positif dan bisa mempertahankan diri dari
marabahaya. Dengan demikian pendidikan seksual bertujuan untuk menjelaskan tentang
segala hal yang berhubungan dengan seksualitas dalam bentuk wajar, seperti batasan dalam
berteman, batasan dalam berpacaran.

Kenapa pendidikan seks untuk anak usia sejak dini dan remaja penting, karena ada
beberapa manfaat dari pendidikan seks yang dilakukan kepada mereka, yaitu:

1. Memberikan bekal pengetahuan kepada anak, serta membuka wawasan mereka


tentang permasalahan seks secara benar dan jelas sehingga anak memiliki
kesadaran akan fungsi dari organ reproduksinya serta paham tentang cara
memelihara dan menjaga kebersihannya.
2. Menghindarkan anak dari berbagai kejahatan seksual dan risiko negatif dari
perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab.
Hasil penelitian yang dilakukan Universitas Atmajaya (dalam Solihin, 2015)
melakukan penelitian bahwa 9,9% remaja pernah melakukan hubungan seks dengan pacarnya
setelah menonton film porno, Universitas Indonesia juga melakukan riset studi diperoleh
bahwa 30,9% remaja di bogor telah melakukan hubungan seks sebelum menikah, di
sukabumi 21,8% dan, bandung 21,9%. Sedangkan dari hasil pra survei pada 20 orang siswa
diketahui 90% siswa menyatakan belum pernah mendapatkan pendidikan seks sejak dini,
sedangkan 10% siswa menyatakan pernah. Maka pendidikan seks hendaknya menjadi bagian
penting dalam pendidikan baik itu dirumah ataupun sekolah.

METODE PENELITIAN
Metode Deskripsi kualitatif terpilih untuk digunakan sebagai metode dalam artikel ini.
Alasan penulis menggunakan metode kualitatif adalah karena dapat memahami suatu
fenomena kebudayaan dan pengaruhnya pada masyarakat secara lebih muda, efektif, dan
detail. Kebenaran sebuah argumen juga akan tercapai apabila ini digunakan secara absolut.

Menurut (Danim, 2002) penelitian kualitatif dapat mempercayai tentang kebenaran


sebagai sesuatu yang dinamis dan dapat ditemukan pada masyarakat dalam segala interaksi
sosial yang dialaminya. Riset yang digunakan adalah berupa studi pustaka/literature review
yakni pencarian data dengan menelusuri Pustaka menggunakan relevansi kata kunci dan
mengakses sumber-sumber berits, artikel, serta jurnal.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Masih banyak masyarakat Indonesia memperdebatkan “pendidikan seks bagi anak
usia dini dan remaja” pandangan masyarakat terkait hal tersebut merupakan hal yang di
pandang “tabu”. Antara guru dan orang tua juga masih banyak yang mempermasalahkan
pendidikan seks. Pada umumnya guru hanya memahami pentingnya pendidikan seks di
sekolah. Sekolah sudah melakukan pendidikan seks di sekolah namun sangat terbatas, hal ini
disebabkan sekolah masih mengkhawatirkan adanya budaya tabu dari pihak orang tua tentang
pendidikan seks.

Orang tua dan guru harus bekerja sama dalam pendidikan seks terhadap anak usia dini
dan remaja, pendidikan seksual sebaiknya diberikan pertama kali oleh orang tua. Tetapi tidak
semua orang tua terbuka terhadap anaknya dalam membicarakan seks, karena belum
waktunya anak-anak usia dini untuk memahami tentang hal-hal yang berhubungan dengan
seksualitas. Orang tua mengkhawatirkan bahwa pendidikan seks yang diberikan kepada anak
akan mendorong mereka melakukan hubungan seks lebih dini. Tetapi orang tua yang
mempunyai pendidikan tinggi menggangap pendidikan seks jika diterapkan pada anak akan
menambah pengetahuan mereka dan bisa untuk menjaga dan melindungi dirinya

Orang tua juga harus mengikuti perkembangan gender pada anak. Perkembangan
gender dapat dilihat berdasarkan tiga hal; pertama, identitas gender (gender identity).
Stereotip peran gender (gender role stereotype), dan pola perilaki gender (gender typhed
behaviour). Identitas gender (gender identity) dipahami anak sebagai atribut yang tidak dapat
diubah. Pemahaman ini dimulai ketika anak berusia 6 bulan, ketika mereka mulai bisa
membedakan suara ayah, ibu ataupun figur lekat yang menggantikan keduanya. Hal ini
meningkat pada rentang usia antara 2 dan 3 tahun, anak mulai mengetahui identitas gender
laki-laki dan perempuan dengan label papa/ayah/bapak dan bunda/mama/ibu dan dapat
memanggil keduanya dengan tepat. Pada usia 6-7 tahun anak diharapkan mengerti jenis
kelamin merupakan atribut yang tidak dapat diubah. Stereotip peran gender (gender role
stereotype) merupakan pemahaman tentang peran apa yang dijalankan oleh laki-laki dan
perempuan. Stereotipe peran gender berkembang dimulai dengan terbentuknya identitas
gender sebagai anak perempuan atau laki-laki pada usia 2,5–3 tahun. Stereotipe yang
berkaitan dengan pemahaman bahwa anak perempuan banyak bicara, bermain boneka, tidak
suka pukul-pukulan, dan senang membantu ibu. Sedangkan, anak laki-laki diidentifikasi
melalui kesukaannya bermain mobil-mobilan, melakukan permainan motorik kasar dan lebih
cocok bila membantu ayah.

Pada saat umur 6 tahun anak akan mulai di perkenalkan pada dunia pendidikan
sekolah. Di dalam sekolah guru juga harus menerapkan pendidikan seks di dalam
pembelajaran, guru bisa memili tema-tema yang dapat di sesuaikan dengan usia. Pada anak
usia dini guru dapat mengangkat tema dan pembahasan yang ringan. seperti, “aku dan diriku”
di sini guru bisa memperkenalkan bagian-bagian tubuh dan memberikan penekanan kepada
siswa, bagian mana yang disentuh dan bagian mana yang tidak boleh untuk disentuh orang
lain. Pada anak remaja pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan yang
dapat membantu mereka untuk mengembangkan dirinya, sehingga meningkatkan harga dan
kepercayaan diri, serta memiliki kepribadian yang sehat dan penerimaan diri yang positif dan
bisa mempertahankan diri dari marabahaya. Dengan demikian pendidikan seksual bertujuan
untuk menjelaskan tentang segala hal yang berhubungan dengan seksualitas dalam bentuk
wajar, seperti batasan dalam berteman, batasan dalam berpacaran.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

Pelaksaan pendidikan seks untuk anak usia dini dan remaja oleh orang tua dan guru
disekolah belum terlaksana kerja sama yang baik dalam membimbing. Dari pihak sekolah
sudah melakukan pendidikan seks untuk anak usia dini dan remaja seperti mengenalkan
bagian bagian tubuh dengan benar tanpa menyamarkan, mengenalkan bagian-bagian tubuh
yang tidak boleh disentuh orang lain, menanamkan rasa malu, dan mempelajari sistem
reproduksi manusia.

Masih ada orang tua yang menganggap bahwa pendidikan seks untuk anak usia dini
dan remaja adalah hal yang tabu belum pantas diberikan, sedangkan orang tua yang
mempunyai pendidikan tinggi menggangap pendidikan seks jika diterapkan pada anak akan
menambah pengetahuan mereka dan bisa untuk menjaga dan melindungi dirinya. Hambatan
yang sering dialami oleh orang tua dan guru dalam menyampaikan pendidikan seks pada
mereka yaitu kurangnya informasi yang cukup mengenai pendidikan seksual

Saran

Berdasarkan hasil penelitan yang penulis lakukan, penulis memberikan beberapa saran untuk
Sekolah agar melengkapi prasarana pendukung pendidikan seks seperti pemasangan poster
tentang pendidikan seks agar anak usia dini dan remaja lebih mudah mengerti, melakukan
seminar kepada guru-guru untuk meningkatkan pengetahuan tentang pendidikan seks.
Kepada orang tua diharapkan dapat memberikan informasi tentang pendidikan seks pada
anak mereka karena orang tua sebagai pendidikan awal bagi anak dalam memberikan
pendidikan seks.
DAFTAR PUSTAKA
Endang. Tri, dkk (2015) Model dan materi pendidikan seks anak usia dini dan perspektif
gender untuk menghindarkan sexual abuse. Cakrawala Pendidikan, Oktober 2015,
THN XXXIV, No. 3
Gunarsa. S. (1995). Psikologi Praktis : Anak, Remaja, dan Kelurga. Jakarta : BPK Gunung
Mulia
Roqib.Moh ( 2008). Pendidikan sex pada anak usia dini. Jurnal pemikiran alternative
pendidikan, INSANIA, Vol.13 No. 2, hal. 271-286
Safita, Rany. (2014). “Peranan Orang Tua Dalam Memberikan Pendidikan Seksual Pada
Anak”. Edu-Bio. Vol.4, dalam http://id.portalgaruda.org/index.php?ref=br
owse&mod=viewarticle&article=252706, diunduh pada tanggal 28 Desember
2021
Chomaria, Nurul. (2012). Pendidikan Seks Untuk Anak (Dari Balita Hingga Dewasa). Solo:
Aqwan Jembatan Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai