ELDERLY ABUSE
Oleh :
Rian Fauzan
16.1102.2047
B. Pengertian
Kekerasan terhadap lansia dapat diartikan sebagai tindakan yang disengaja
atau kelalaian (tidak sengaja) terhadap lansia baik dalam bentuk malnutrisi,
fisik/tenaga atau luka fisik, psikologis oleh orang lain atau keluarga yang
disebabkan adanya kegagalan pemberian asuhan, nutrisi, pakaian, pengawasan,
pelayanan medis,rehabilitasi dan perlindungan yang dibutuhkan.
D. Gejala-Gejala
Kita bisa mengetahui ketika terjadi kekerasan pada lansia, dengan
memperhatikan beberapa kondisi berikut:
1. Ketegangan atau argumentasi yang kerap terjadi antara lansia dan
perawat
2. Perubahan perilaku atau kepribadian pada lansia
3. Kehilangan berat badan,
4. Tanda-tanda malnutrisi (kekurangan nutrisi)
5. Dehidrasi
6. Kecemasan
7. Depresi
8. Putus harapan hidup, dan keinginan untuk bunuh diri
9. Tanda-tanda trauma fisik
10. Kondisi tempat tinggal yang tidak bersih
11. Kondisi fisik lansia yang kotor/tidak dimandikan
12. Pengabaian lansia di tempat umum.
Gejala yang lebih spesifik terhadap jenis kekerasan tertentu bisa kita lihat
sebagai berikut,
Kekerasan fisik: tanda luka yang tidak jelas, seperti memar, bekas parut;
patah tulang, dislokasi, pembengkakan; pecah kaca mata; tanda bekas
dicekik; perawat yang tidak mengizinkan anda untuk
menengok/mengunjungi lansia.
Kekerasan emosional: perilaku perawat yang suka mengancam, sering
menghilang; perilaku lansia yang terlihat “kehilangan kesadaran” seperti
berbicara sendiri, bergoyang-goyang, menghisap-hisap sesuatu.
Kekerasan seksual: luka pada payudara atau daerah genital; infeksi
genital; perdarahan pada vagina atau anus; menemukan pakaian yang
robek atau tidak berpakaian.
Kekerasan finansial: penarikan uang secara signifikan dari rekening
lansia; perubahan mendadak pada kondisi keuangan; kehilangan uang
atau barang di rumah lansia; tagihan yang belum terbayarkan, kurang
perawatan medis, meskipun lansia tersebut memiliki cukup uang;
pembelian barang yang tidak perlu.
F. Faktor Predisposisi
Menurut Townsend (1996), ada beberapa teori yang dapat menjelaskan
tentang faktor predisposisi, yaitu teori biologi, teori psikologi, dan teori
sosiokultural, yaitu :
a. Teori Biologi
Teori biologi terdiri atas tiga pandangan, yaitu pengaruh neurofisiologis,
biokimia, genetik, dan gangguan otak.
a) Pengaruh Neurofisiologis
Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik secara
jelas terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan
respon agresif.
b) Pengaruh Biokimia
Berbagai neurotransmitter sangat berperan dalam memfasilitasi dan
menghambat impuls agresif.
c) Pengaruh Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku
agresif dengan keterkaitan dengan genetik.
d) Gangguan Otak
Penelitian membuktikan bahwa sindrom otak organik berhubungan
dengan berbagai gangguan serebral merupakan faktor predisposisi
perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b. Teori Psikologi
a) Teori Psikoanalitik
Teori psikoanalitik menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya
kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat
mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri
yang rendah. Perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan
pengungkapan secara terbuka tehadap rasa ketidakberdayaannya dan
rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan.
Freud berpendapat bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua
insting. Insting hidup yang diekspresikan dengan seksualitas dan
insting kematian yang diekspresikan dengan agresivitas.
b) Teori Pembelajaran
Anak-anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran
mereka, yakni orang tua, kemudian mereka mulai meniru pola
perilaku guru, teman dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika
masih kanak-kanak atau yang mempunyai orang tua yang
mendisiplinkan mereka dengan hukuman fisik akan cenderung
berperilaku keras setelah dewasa.
c. Teori Sosiokultural
Selain pengaruh biologis dan psikologis, faktor budaya dan
struktural sosial juga berpengaruh terhadap perilaku agresif. Ada
kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai
cara menyelesaikan masalah.
G. Sumber Koping
Sumber koping dapat meliputi pengetahuan tentang seksualitas,
pengalaman seksual yang positif dimasa lal, adanya individu yang
mendukung termasuk pasangan seksual, dan norma social atau budaya yang
mendorong ekspresi seksual yang sehat.
H. Mekanisme Koping
Berbagai mekanisme koping yang dapat digunakan untuk
mengekspresikan respons seksual individu adalah sebagai berikut :
1. Fantasi dapat digunakan untuk meningkatkan pengalaman seksual.
2. Penyangkalan dapat digunakan untuk menolak pengakuan terhadap konflik
atau ketidakpuasan seksual
3. Rasionalisasi dapat digunakan untuk membenarkan atau menerima impuls,
prilaku, perasaan, atau motif seksual yang dapat diterima.
4. Menarik diri dapat dilakukan untuk mengatasi perasaan rentan yang belum
terselesaikan dan perasaan ambivalen terhadap keintiman.
I. Pencegahan
Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk mencegah kekerasan pada
lansia. Proses pencegahan/preventif pada tindak kekerasan terhadap lansia bisa
mencakup beberapa langkah praktis berikut:
1. Memperlakukan lansia dengan cinta dan rasa hormat
2. Menelpon dan mengunjungi mereka sesering mungkin
3. Memberikan lebih banyak perhatian, meskipun jika mereka memiliki
perawat pribadi sendiri
4. Jika mencurigai adanya kekerasan pada lansia, laporkan segera
5. Bersikap lebih sabar terhadap lansia, jangan pernah mengabaikan
permasalahan yang mereka hadapi, meskipun untuk urusan persoalan kecil
6. Jangan pernah memperlakukan mereka seakan-akan mereka adalah orang
yang tidak penting/berguna di masyarakat/pergau
7. Motivasi mereka untuk lebih berpartisipasi dalam aktivitas yang mereka
sukai.
J. Respon Korban Tindak Kekerasan
Respon korban tindak kekerasan sangat bergantung pada tingkat
perkembangan korban pada saat terjadi tindak kekerasan tersebut. Foley cit Shives
(1994), menjelaskan reaksi korban tindak kekerasan sesuai dengan tingkat
perkembangan mulai dari masa bayi sampai usia dewasa tua. Rasa percaya pada
orang dewasa akan terguncang selama masa bayi (0-3 tahun); preokupasi dengan
tindakan yang salah dan benar pada masa kanak-kanak (4-7 tahun); persepsi yang
salah terhadap tindak kekerasan selama masa laten (7 tahun hingga remaja);
kerancuan terhadap perilaku tindak kekerasan dan akibatnya sebagai remaja
(pubertas sampai 18 tahun); kepedulian terhadap kredibilitas, gaya hidup dan nilai
moral terjadi pada masa dewasa muda (18-24 tahun); kepedulian bagaiman tindak
kekerasan dapat mempengaruhi kehidupan keluarga dan gaya hidup selama masa
dewasa (25-45 tahun); serta kepedulian terhadap keselamatan diri, takut mati,
reputasi dan kehormatan, dirasakan oleh orang yang sudah tua (45 tahun dan lebih
tua).
Respon korban tindak kekerasan dapat ditinjau dari respon fisik, biologis,
psikologis, perilaku dan respon interpersonal (Boyd & Nihart, 1998).
1. Respon Fisik
Korban tindak kekerasan menderita sejumlah konsekuensi fisik dari
yang ringan hingga berat. Cedera ringan berupa abrasi atau lecet. Cedera
berat berupa trauma gandu, fraktur yang parah, dan cedera pada bagian dalam
tubuh.
2. Respon Biologis
Depresi merupakan salah satu respon yang paling sering terjadi
akibat penganayaan. Respon tubuh terhadap stress bersifat kompleks, sistem
reaksi yang terintegrasi mempengaruhi tubuh dan jiwa.
3. Respon Psikologis
Respon psikologis terdiri atas harga diri rendah, rasa bersalah, malu
dan marah.
4. Respon Perilaku
Wanita yang pernah mengalami penganiayaan, terutama
penganiayaan seksual pada masa kanak-kanak, sering kali menjadi peminum
alkohol atau menyalahgunakan zat lainnya.
5. Respon Interpersonal
Sebagai akibat dari penganiayaan yang sering dilakukan oleh
keluarga dekat bahkan orang tua yang seharusnya menyayangi dan
melindungi mereka, anak-anak korban penganiayaan akan tumbuh sebagai
orang dewasa yang sulit menjalin hubungan rasa percaya dan intim.
K. Proses Adaptasi
Proses adapatasi untuk mengembalikan keseimbangan dengan
membebaskan diri dari perasaaan takut dan perasaan tidak berdaya disebut dengan
sindrom trauma tindak kekerasan. Sindrom trauma tindak kekerasan terdiri atas 2
tahap, yaitu tahap akut atau disorganisasi dan tahap jangka panjang atau
reorganisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Budi Anna Kelliat, 2012, “Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa”, Jakarta. EGC
http://hukum.kompasiana.com/2015/03/17/edan-nenek-asyani-diperas-rp-4-juta--
730833.html di unduh 17 juli 2017 jam 16.00
Stuart GW, Sunden . 1998 . “Buku Saku Keperawatan Jiwa” . Jakarta EGC