PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sel-sel hidup dalam tubuh diselubungi cairan interfisial yang mengandung konsentrasi
nutrien, gas, dan elektrolit yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi normal sel.
Kelangsungan hidup memerlukan lingkungan internal yang konstan (homeostatis). Mekanisme
regulator penting untuk mengendalikan keseimbangan volume, komposisi, dan keseimbangan
asam, basa cairan tubuh selama fluktuasi metabolik normal atau saat terjadi abnormalitas
seperti penyakit atau trauma.
Menjaga agar volume cairan tubuh tetap relatif konstan dan komposisinya tetap stabil
adalah penting untuk homeostatis. Sistem pengaturan mempertahankan konstannya cairan
tubuh, keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa, dan pertukaran kompartemen cairan
ekstraselular dan intraselular.
Dalam tubuh yang sehat 60% dari berat badan terdiri dari air. Air terdapat dalam 2
komponen (cairan intraselular dan cairan ekstraselular). Ekstraselular dibagi menjadi 2 yaitu
interstisial dan intravaskuler.
Dari sejumlah cairan dalam tubuh, 2/3 berada dalam intraselular, 1/3 ekstraselular (65%
interstisial, intravaskuler 35%). Misalnya, seseorang dengan berat badan 60 kg, cairan dalam
tubuhnya 40L yang terdiri dari cairan intraselular 27L, dan cairan ekstraselular 13L (cairan
interstisial 8L, cairan intravaskular 5L).
Dengan mengetahui persentase air dalam tubuh harus dipahami bahwa hilangnya
sejumlah air dalam tubuh dengan presentase yang sama akan menimbulkan akibat yang
berbeda. Kehilangan cairan dalam tubuh bayi lebih berakibat serius karena menggoyahkan
homeostatis 60% dari BB.
Penatalaksanaan pasien dengan gangguan cairan dan elektrolit memerlukan pemahaman
tentang komposisi cairan di dalam tubuh, kompartemen serta metabolisme air dan elektrolit.
Sebagian besar komposisi tubuh adalah air. Hampir 60% pada pria dan 50% pada wanita
adalah air. Keseluruhan jumlah air ini disebut sebagai total body water (TBW). TBW dibagi
menjadi 2 bagian volume yaitu volume cairan ekstraselular (ECF) dan volume cairan
intraselular (ICF).
ECF didefinisikan sebagai seluruh cairan di dalam tubuh yang terdapat di luar sel. ECF
dibagi dalam cairan plasma dan cairan interstisial. Normalnya ECF adalah 40% dari TBW.
Intraselular fluid (ICF) didefinisikan sebagai volume cairan yang berada di dalam sel. ICF
mencapai 60% dari TBW.
Keseimbangan air dipertahankan dengan merubah intake dan ekskresi air. Intake
dikontrol oleh rasa haus, sedangkan ekskresi air dikendalikan oleh ginjal melalui hormon ADH
(Anti Diuretik Hormon). Kebutuhan cairan ditentukan oleh berat badan. Rata-rata
membutuhkan 25-30 cc/kgBB/hari.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana terapi cairan dan elektrolit pada pasien yang mengalami ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit?
C. Tujuan
Untuk mengetahui penatalaksanaan terapi cairan dan elektrolit pada pasien dengan
gangguan cairan dan elektrolit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut kalium dari cairan
ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis kadar total kalium tubuh. Tanda
dan gejala hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan EKG (QRS segmen
melebar, ST segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan otot skeletal, poliuria, intoleransi
glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor presipitasi (alkalosis,
hipomagnesemia, obat-obatan), infuse potasium klorida sampai 10 mEq/jam (untuk mild
hipokalemia ;>2 mEq/L) atau infus potasium klorida sampai 40 mEq/jam dengan monitoring
oleh EKG (untuk hipokalemia berat;<2mEq/L disertai perubahan EKG, kelemahan otot yang
hebat).13 Rumus untuk menghitung defisit kalium18 :
Keterangan :
K = kalium yang dibutuhkan
K1 = serum kalium yang diinginkan
K0 = serum kalium yang terukur
BB = berat badan (kg)
d. Hiperkalemia
Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi renal atau obat
yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik). Tanda dan
gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan otot) dan sistem
kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Terapi untuk hiperkalemia dapat berupa intravena
kalsium klorida 10% dalam 10 menit, sodium bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10 menit, atau
diuretik, hemodialisis.
3. Perubahan komposisi
a. Asidosis respiratorik (pH< 3,75 dan PaCO2> 45 mmHg)
Kondisi ini berhubungan dengan retensi CO2 secara sekunder untuk menurunkan
ventilasi alveolar pada pasien bedah. Kejadian akut merupakan akibat dari ventilasi yang tidak
adekuat termasuk obstruksi jalan nafas, atelektasis, pneumonia, efusi pleura, nyeri dari insisi
abdomen atas, distensi abdomen dan penggunaan narkose yang berlebihan. Manajemennya
melibatkan koreksi yang adekuat dari defek pulmonal, intubasi endotrakeal, dan ventilasi
mekanis bila perlu. Perhatian yang ketat terhadap higiene trakeobronkial saat post operatif
adalah sangat penting.
b. Alkalosis respiratorik (pH> 7,45 dan PaCO2 < 35 mmHg)
Kondisi ini disebabkan ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera SSP, dan ventilasi yang
dibantu. Pada fase akut, konsentrasi bikarbonat serum normal, dan alkalosis terjadi sebagai
hasil dari penurunan PaCO2 yang cepat. Terapi ditujukan untuk mengkoreksi masalah yang
mendasari termasuk sedasi yang sesuai, analgesia, penggunaan yang tepat dari ventilator
mekanik, dan koreksi defisit potasium yang terjadi.
c. Asidosis metabolik (pH<7,35 dan bikarbonat <21 mEq/L)
Kondisi ini disebabkan oleh retensi atau penambahan asam atau kehilangan bikarbonat.
Penyebab yang paling umum termasuk gagal ginjal, diare, fistula usus kecil, diabetik
ketoasidosis, dan asidosis laktat. Kompensasi awal yang terjadi adalah peningkatan ventilasi
dan depresi PaCO2. Penyebab paling umum adalah syok, diabetik ketoasidosis, kelaparan,
aspirin yang berlebihan dan keracunan metanol. Terapi sebaiknya ditujukan terhadap koreksi
kelainan yang mendasari. Terapi bikarbonat hanya diperuntukkan bagi penanganan asidosis
berat dan hanya setelah kompensasi alkalosis respirasi digunakan.
d. Alkalosis metabolik (pH>7,45 dan bikarbonat >27 mEq/L)
Kelainan ini merupakan akibat dari kehilangan asam atau penambahan bikarbonat dan
diperburuk oleh hipokalemia. Masalah yang umum terjadi pada pasien bedah adalah
hipokloremik, hipokalemik akibat defisit volume ekstraselular. Terapi yang digunakan adalah
sodium klorida isotonik dan penggantian kekurangan potasium. Koreksi alkalosis harus
gradual selama perode 24 jam dengan pengukuran pH, PaCO2 dan serum elektrolit yang sering.
B. Terapi Cairan
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-
batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma ekspander) secara
intravena. Terapi cairan berfungsi untuk mengganti defisit cairan saat puasa sebelum dan
sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti perdarahan
yang terjadi, dan mengganti cairan yang pindah ke rongga ketiga.
1. Terapi cairan resusitasi
Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh atau
ekspansi cepat dari cairan intravaskuler untuk memperbaiki perfusi jaringan. Misalnya pada
keadaan syok dan luka bakar. Terapi cairan resusitasi dapat dilakukan dengan pemberian infus
Normal Saline (NS), Ringer Asetat (RA), atau Ringer laktat (RL) sebanyak 20 ml/kg selama
30-60 menit. Pada syok hemoragik bisa diberikan 2-3 L dalam 10 menit.
2. Terapi rumatan
Terapi rumatan bertujuan memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi. Orang
dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan elektrolit utama Na+=1-2
mmol/kgBB/haridan K+= 1mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan
yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan
pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible water losses.
Terapi rumatan dapat diberikan infus cairan elektrolit dengan kandungan karbohidrat
atau infus yang hanya mengandung karbohidrat saja. Larutan elektrolit yang juga mengandung
karbohidrat adalah larutan KA-EN, dextran + saline, DGAA, Ringer’s dextrose, dll. Sedangkan
larutan rumatan yang mengandung hanya karbohidrat adalah dextrose 5%. Tetapi cairan tanpa
elektrolit cepat keluar dari sirkulasi dan mengisi ruang antar sel sehingga dextrose tidak
berperan dalam hipovolemik.
Dalam terapi rumatan cairan keseimbangan kalium perlu diperhatikan karena seperti
sudah dijelaskan kadar berlebihan atau kekurangan dapat menimbulkan efek samping yang
berbahaya. Umumnya infus konvensional RL atau NS tidak mampu mensuplai kalium sesuai
kebutuhan harian. Infus KA-EN dapat mensuplai kalium sesuai kebutuhan harian.
Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke ruang
peritoneum, ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya pembedahan, yaitu
:
• 6-8 ml/kg untuk bedah besar
• 4-6 ml/kg untuk bedah sedang
• 2-4 ml/kg untuk bedah kecil
C. Prinsip terapi cairan
Pada prinsipnya terapi cairan meliputi terapi resusitasi dan pemeliharaan atau maintenance.
Jenis-Jenis Cairan
1. Cairan kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF). Cairan
kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid) ternyata sama efektifnya
seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh
cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit.
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan untuk
resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai cairan
intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami metabolisme di
hati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah NaCl 0,9%,
tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional
hyperchloremic acidosis) dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan
klorida.
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih banyak
menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih
untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel.
Pada suatu penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit larutan
kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan paru serta berakibat
terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka, apabila seseorang mendapat infus
1 liter NaCl 0,9Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan
edema otak dan meningkatnya tekanan intra kranial.
2. Cairan koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma substitute” atau
“plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul
tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama
(waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid sering digunakan
untuk resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau pada
penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak (misal luka
bakar). Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:
a. Koloid alami:
Yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan 2,5%). Dibuat dengan cara
memanaskan plasma atau plasenta 60°C selama 10 jam untuk membunuh virus hepatitis dan
virus lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa
globulin dan beta globulin.
b. Koloid sintetis:
Dextran:
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70 (Macrodex)
dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri Leuconostoc mesenteroides B
yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan volume expander yang
lebih baik dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran
darah lewat sirkulasi mikro karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah. Selain itu
Dextran mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi platelet adhesiveness,
menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran darah.
Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross match, waktu
perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat menimbulkan reaksi
anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.
Hydroxylethyl Starch (Heta starch)
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 – 1.000.000, rata-rata 71.000,
osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30 mmHg. Pemberian 500 ml larutan ini pada
orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam
waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat
meningkatkan kadar serum amilase ( walau jarang). Low molecullar weight Hydroxylethyl
starch (Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5
kali volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai plasma
volume expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi
maka Penta starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita gawat.
Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul rata-rata 35.000
dibuat dari hidrolisa kolagen binatang.
Ada 3 macam gelatin, yaitu:
- Modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
- Urea linked gelatin
- Oxypoly gelatin
E. Pemilihan Cairan Intravena
Kristaloid adalah larutan garam seimbang yang bebas melewati kapiler endotel dan akan
mengalami keseimbangan cepat dengan cairan ekstraveskular. Contohnya adalah NaCl, RL,
Asering dll. Koloid adalah larutan cairan yang mengandung molekul yang lebih besar yang
akan memberikan tekanan onkotik sehingga akan bertahan di dalam intravaskular lebih lama
jika dibandingkan dengan kristaloid.
Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit
dan kelainan metabolik yang ada. Terapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu
aspek terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien. Terapi awal
pasien hipotensif adalah cairan dari resusitasi dengan memakai 2L larutan isotonis RL. RL
tidak selalu merupakan cairan terbaik untuk resusitasi. Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk
penanganan awal syok hipovolemik dengan hiponatremik, hipokloremia atau alkalosis
metabolik.
Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan CES. Ringer asetat
memiliki profil serupa dengan RL. Tempat metabolisme laktat terutama adalah hati dan
sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat di metabolisme pada hampir seluiruh jaringan
tubuh dengan otot sebagai tempat terpenting. Adanya laktat dalam larutan RL membahayakan
pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.
Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk mengganti
kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan harian.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Cairan tubuh merupakan saran untuk transpor zat makanan maupun sisa-sisa
metabolisme, membawa nutrien (komponen makanan) mulai dari proses absorbsi,
mendistribusikan, sampai ke tingkat intraselular tempat nutrien mengalami proses
metabolisme. Hasil metabolisme akan didistribusikan ke seluruh tubuh dan ekskresinya akan
dikeluarkan dari tubuh.
Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu perubahan volume,
perubahan komposisi dan perubahan konsentrasi yang dapat mengakibatkan
ketidakseimbangan cairan tubuh dan elektrolit dan dapat diatasi dengan terapi cairan.
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-
batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma ekspander) secara
intravena. Tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk mengganti kehilangan cairan
akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan harian.
B. Saran
Dalam pemenuhan kebutuhan dari ketidakseimbangan cairan harus ditangani secara
cepat dan tepat sesuai dengan kebutuhan pasien agar nyawa pasien dapat terselamatkan atau
setidaknya kembali ke keadaan normal.
DAFTAR PUSTAKA
http://estherwendy3.blogspot.com/2015/12/makalah-terapi-cairan-dan-elektrolit.html