Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pelecehan yang berulang sering ditemui pada lebih dari setengah kasus pelecehan seksual
di komunitas dan terdapat pada 75% kasus yang ditemukan di klinik.sexual abuse (kekerasan
seksual) dikenal pada tahun 70-an dan 80-an. Penelitian lain telah mengarah pada perkiraan
kekerasan pada anak yang lebih luas di Inggris, seperti dari Childhood Matters (1996): Sekitar
100 000 anak mengalami pengalaman seksual yang berpotensi mengarah ke seksual abuse
(FKUI, 2006).
Banyak anak yang mendapat perlakuan kurang manusiawi, bahkan tidak jarang dijadikan
objek kesewenangan.Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, ada 481 kasus
kekerasan anak (2003).Jumlah ini menjadi 547 kasus pada tahun 2004. Dari situ, ada 140 kasus
kekerasan fisik, 80 kasus kekerasan psikis, 106 kasus kekerasan lainnya, dan 221 kasus
kekerasan seksual. Gambaran paradoks tersebut memancing pertanyaan.Mengapa kekerasan
seksual sering menimpa diri anak dan siapa yang paling berpotensi sebagai pelakunya? Di
samping dapat menimbulkan dampak yang luar biasa pada diri si korban, kasus kekerasan
seksual juga dapat menguji kebenaran dari pernyataan Singarimbun (2004), bahwa modernisasi
sering diasosiasikan sebagai keserbabolehan melakukan hubungan seksual (Suda, 2006).
Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan kasus yang menonjol yang terjadi pada anak-anak.
Dalam catatan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) pada tahun 1992-2002 terdapat
2.611 kasus (65,8 persen) dari 3.969 kasus kekerasan seksual dialami anak-anak di bawah usia
18 tahun. Dari jumlah itu, 75 persen korbannya adalah anak perempuan. Kasus yang menonjol
terutama pemerkosaan (42,9 persen) dengan kejadian terjadi di rumah tinggal (35,7 persen)
(FKUI, 2006).
B. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui tentang definisi dari seksual abuse.
2. Untuk mengetahui tentang etiologi dari seksual abuse.
3. Untuk mengetahui tentang klasifikasi dari seksual abuse.
4. Untuk mengetahui tentang patofisiologi dari seksual abuse.

5. Untuk mengetahui tentang manifestasi klinis dari seksual abuse.


6. Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan dari seksual abuse.
7. Untuk mengetahui tentang pemeriksaan penunjang dari seksual abuse.
8. Untuk mengetahui tentang diagnosa keperawatan dari seksual abuse.
9. Untuk mengetahui tentang intervensi dan rasional dari seksual abuse.
12. Untuk mengetahui tentang discharge planning dari seksual abuse.

BAB II
KONSEP DASAR
A. DEFINISI SEXUAL ABUSE
Penyiksaan seksual (sexual abuse) terhadap anak disebut Pedofilian atau penyuka
anak-anak secara seksual. Seorang Pedofilia adalah orang yang melakukan aktivitas seksual
dengan korban anak usia 13 tahun ke bawah. Penyakit ini ada dalam kategori
Sadomasokisme : adalah suatu kecenderungan terhadap aktivitas seksual yang meliputi
pengikatan atau menimbulkan rasa sakit atau penghinaan (Pramono, 2009). Kemudian
klasifikasi kekerasan/penganiayaan seksual pada anak menurut Resna dan Darmawan (dalam
Huraerah, 2006:60) diklasifikasi menjadi tiga kategori, antara lain: perkosaan, incest, dan
eksploitasi. Perkosaan biasanya terjadi pada saat pelaku terlebih dahulu mengancam dengan
memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Incest, diartikan sebagai hubungan seksual atau
aktivitas seksual lainnya antarindividu yang mempunyai hubungan dekat, yang perkawinan
di antara mereka dilarang, baik oleh hukum, kultur, maupun agama.Eksploitasi seksual
meliputi prostitusi dan pornografi (Suda, 2006).
Kekerasan seksual (sexual abuse), dapat didefinisikan sebagai perilaku seksual secara
fisik maupun non fisik oleh orang yang lebih tua atau memiliki kekuasaan terhadap korban,
bertujuan untuk memuaskan hasrat seksual pelakunya. Korban mungkin saja belum atau
tidak memahami perlakuan yang dilakukan terhadap dirinya, mereka hanya merasa tidak
nyaman, sakit, takut, merasa bersalah, dan perasaan lain yang tidak menyenangkan (FKUI,
2006). Kekerasan seksual (sexual abuse) pada anak mencakup penganiayaan seksual secara
fisik dan non fisik. Kekerasan fisik antara lain menyentuh alat kelamin atau bagian tubuh lain
yang bersifat pribadi, seks oral, penetrasi vagina/anus menggunakan penis atau benda lain,
memaksa anak membuka pakaian, sampai tindak perkosaan. Sedangkan penganiyaan non
fisik diantaranya memperlihatkan benda-benda yang bermuatan pornografi atau aktivitas
seksual orang dewasa, 6 eksploitasi anak dalam pornografi (gambar, foto, film, slide,
majalah, buku), exhibitionism, atau mengintip kamar tidur/kamar mandi (voyeurism). (Suda,
2006).

B. ETIOLOGI/ PREDISPOSISI
a. Faktor kelalaian orang tua.. Kelalaian orang tua yang tidak memperhatikan tumbuh
kembang dan pergaulan anak yang membuat subyek menjadi korban kekerasan seksual..
b. Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku. Moralitas dan mentalitas yang tidak
dapat bertumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak dapat mengontrol nafsu atau
perilakunya.
c.
Faktor ekomoni. Faktor ekonomi membuat pelaku dengan mudah memuluskan
rencananya dengan memberikan imingiming kepada korban yang menjadi target dari
pelaku.
Berdasarkan jurnal play therapy dalam identifikasi kasus kekerasan seksual terhadap anak,
dampak sexual abuse adalah : Dampak kekerasan seksual terhadap anak diantaranya adanya
perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, bayangan kejadian dimana anak menerima
kekerasan seksual, mimpi buruk, insomnia, takut hal yang berhubungan dengan
penyalahgunaan (termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, dll), masalah harga diri,
disfungsi seksual, sakit kronis, kecanduan, keinginan bunuh diri cedera, bunuh diri, keluhan
somatik, depresi (Roosa, Reinholtz., Angelini, 1999). Selain 7 itu muncul gangguangangguan psikologis seperti pasca-trauma stress disorder, kecemasan, jiwa penyakit lain
(termasuk gangguan kepribadian dan gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk
reviktimisasi di masa dewasa, bulimia nervosa, cedera fisik kepada anak, (Widom, 1999;
Levitan, Rector, Sheldon, & Goering, 2003; Messman-Moore, Terri Patricia, 2000;
Dinwiddie , Heath , Dunne, Bucholz , Madden, Slutske, Bierut, Statham et al, 2000)
C. KLASIFIKASI
Klasifikasi dari sexual abuse pada anak menurut (Suda, 2006) adalah :
1. Perkosaan.
Perkosaan adalah jenis kekerasan yang paling mendapat sorotan. Diperkirakan 22%
perempuan dan 2% laki-laki pernah menjadi korban perkosaan. Untuk di Amerika saja,
setiap 2 menit terjadi satu orang diperkosa. Hanya 1 dari 6 perkosaan yang dilaporkan ke
polisi. Sebagian besar perkosaan dilakukan oleh orang yang mengenal korban alias orang
dekat korban.

2. Kekerasan seksual terhadap anak-anak.


Suatu tinjauan baru-baru ini terhadap 17 studi dari seluruh dunia menunjukkan bahwa di
manapun, sekitar 11% sampai dengan 32% perempuan dilaporkan mendapat perlakuan
atau mengalami kekerasan seksual pada masa kanak-kanaknya. Umumnya pelaku
kekerasan adalah anggota keluarga, orang-orang yang memiliki hubungan dekat, atau
teman. Mereka yang menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak biasanya adalah
korban kekerasan seksual pada masa kanak-kanak.
3. Kekerasan seksual terhadap pasangan.
Kekerasan ini mencakup segala jenis kekerasan seksual yang dilakukan seseorang
terhadap pasangan seksualnya. Sebesar 95% korban kekerasan adalah perempuan.
Temuan penelitian yang dilakukan Rifka Annisa bersama UGM, UMEA University, dan
Womens Health Exchange USA di Purworejo, Jawa Tengah, Indonesia, pada tahun 2000
menunjukkan bahwa 22% perempuan mengalami kekerasan seksual. Sejumlah 1 dari 5
perempuan (19%) melaporkan bahwa biasanya mereka dipaksa untuk melakukan
hubungan seksual dengan pasangan mereka selama dipukuli. Termasuk kekerasan seksual
adalah kekerasan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, sematamata karena sang korban adalah perempuan. Istilah untuk ini adalah kekerasan berbasis
gender. Berikut adalah kekerasan berbasis gender:
4. Kekerasan fisik : Menampar, memukul, menendang, mendorong, mencambuk, dll.
5. Kekerasan emosional/ verbal: Mengkritik, membuat pasangan merasa bersalah, membuat
permainan pikiran, memaki, menghina, dll.
6. Ketergantungan finansial: Mencegah pasangan untuk mendapat pekerjaan, membuat
pasangan dipecat, membuat pasangan meminta uang, dll
7. Isolasi sosial: Mengontrol pasangan dengan siapa boleh bertemu dan di mana bisa
bertemu, membatasi gerak pasangan dalam pergaulan, dll
8. Kekerasan seksual: Memaksa seks, berselingkuh, sadomasokisme, dll.
9. Pengabaian/penolakan: Mengatakan kekerasan tidak pernah terjadi, menyalahkan
pasangan bila kekerasan terjadi, dll.
10. Koersi, ancaman, intimidasi: Membuat pasangan khawatir, memecahkan benda-benda,
mengancam akan meninggalkan, dll.
D. PATOFISIOLOGI
Menurut Tower (2002) dalam Maria (2008) kekerasan seksual pada anak dapat terjadi
satu kali, beberapa kali dalam periode berdekatan, bahkan menahun. Walaupun berbeda-

beda pada setiap kasus, kekerasan seksual tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui
beberapa tahapan antara lain :
1. Tahap awal, pelaku membuat korban merasa nyaman. Ia menyakinkan bahwa apa
yang dilakukannya "tidak salah" secara moral. Pelaku mencoba menyentuh sisi
kbutuhan anak akan kasih saying dan perhhatian, penerimaan dari orang lain, atau
mencoba menyamakannya dengan permainan dan menjanjikan imbalan material yang
menyenangkan. Pelaku dapat mengintimidasi secara halus ataupun bersikap memaksa
secara kasar.
2. Tahap kedua, adalah interaksi seksual. Perilaku yang terjadi bisa saja hanya berupa
mengintip sampai perilaku yang intensitasnya berat, yaitu memakasa anak untuk
melakukan hubungan seksual. Setelah kejadian tersebut, pelaku mengancam korban
agar merahasiakan apa yang terjadi kepada orang lain.
3. Tahap berikutnya, adalah tahapan dimana korban mau menceritakan pengalamannya
kepada orang lain. Kemungkinan korban merahasiakan pengalamannya sampai
berusia dewasa, atau menceritakannya kepada orang yang mempunyai kedekatan
emosional dengannya, sehingga ia merasa aman. Pelaku "mencobai" korban sedikit
demi sedikit, mulai dari :
a. membuka pakaiannya sendiri
b. Pelaku meraba-raba bagian tubuhnya sendiri
c. pelaku memperlihatkan alat kelaminnya
d. Pelaku mencium korban dengan pakaian lengkap
e. Oral sex, dengan menstimilasi alat kelamin korban
f. Sodomi
Anak yang memiliki resiko mengalami kekerasan seksual biasanya adalah anakanak yang biasa ditinggalkan sendiri dan tidak mendapat pengawasan dari orang
yanglebih dewasa, terutama ibu.Tidak hanya kehadiran secara fisik, kedekatan
emosional antara ibu dan anak pun merupakan faktor yang penting (Maria, 2008).
Tidak diragukan lagi bahwa kekerasan seksual dapat memberikan dampak jangka
pendek maupun jangka panjang bagi korbannya. Pada anak lainnya, ada kemungkinan
gangguan tersebut di 'tekan' sehingga tidak teramati dari luar sampai ada pemicu yang
menampilkan gejolak emosi mereka, misalnya saat anak memasuki usia remaja dan
mulai dekat dengan lawan jenis, atau pada saat mereka akan menikah. selain itu,

sangat mungkin anak yang menjadi korban kekerasan seksual kemudian justru malah
menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak lain (Maria, 2008).
Berikut ini jenis-jenis kekerasan seksual berdasarkan pelakunya (Tower, 2002
dalam Maria, 2008) :
1. Kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga. Dilakukan oleh ayah, ibu atau
saudara kandung. Selain itu, kekerasan seksual mungkin pula dilakukan oleh orang
tua angkat/tiri, atau orang lain yang tinggal serumah dengan korban.
2. Kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar anggota keluarga Kekerasan seksual
dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak dibatasi perbedaan jenis kelamin, suku, agama,
tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.Sebagian besar pelaku adalah pria dan orang
yang melakukan orang yang cukup dikenal oleh korban, misalnya tetangga, guru,
sopir, baby-sittter.Pelaku bisa saja mengalami kelainan seperti paedophilia, pecandu
seks, atau sangat mungkin teman sebaya. Kemungkinan pelaku penah menjadi korban
kekerasan seksual sebelumnya,atau menirukan perilaku orang lain. salah satu
penyebabnya adalah untuk mengatasi trauma akibat kekesaran seksual yang
dialaminya, atau sekedar memenuhi rasa ingin tahu.
Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan pada genital dan anus, fisur pada
anus, pembesaran liang vagina dan anus, dan penipisan/kerusakan hymen pada
vagina. Efek psikologis pencabulan terhadap anak umumnya berjangka panjang,
antara lain: kemarahan, kecemasan, mimpi buruk, rasa tak Iman, kebingungan,
ketakutan, kesedihan, dan perubahan perilaku baik menjadi buruk.

E. Manifestasi Klinik
a. Gangguan Perilaku, ditandai dengan malas untuk melakukan aktifitas sehari-hari.
b. Gangguan Kognisi, ditandai dengan sulit untuk berkonsentrasi, tidak focus ketika sedang
belajar, sering melamun dan termenung sendiri.
c. Gangguan Emosional, ditandai dengan adanya gangguan mood dan suasana hati serta
menyalahkan diri sendiri.
Korban pelecehan seksual adalah anak laki-laki dan perempuan berusia bayi sampai usia
18 tahun. Kebanyakan pelakunya adalah orang yang mereka kenal dan percaya. Gejala

seorang anak yang mengalami pelecehan seksual tidak selalu jelas. Ada anak-anak yang
menyimpan rahasia pelecehan seksual yang dialaminya dengan bersikap "manis" dan patuh,
berusaha agar tidak menjadi pusat perhatian.Meskipun pelecehan seksual terhadap anak tidak
memperlihatkan bukti mutlak, tetapi jika tanda-tanda di bawah ini tampak pada anak dan
terlihat terus menerus dalam jangka waktu panjang, kiranya perlu segera mempertimbangkan
kemungkinan anak telah mengalami pelecehan seksual (minangsari, 2007).
Tanda dan indikasi ini diambil Jeanne Wess dari buku yang sama:
1. Balita
a. Tanda-tanda fisik, antara lain memar pada alat kelamin atau mulut, iritasi kencing,
penyakit kelamin, dan sakit kerongkongan tanpa penyebab jelas bisa merupakan
indikasi seks oral.
b. Tanda perilaku emosional dan sosial, antara lain sangat takut kepada siapa saja atau
pada tempat tertentu atau orang tertentu, perubahan kelakuan yang tiba-tiba,
gangguan tidur (susah tidur, mimpi buruk, dan ngompol), menarik diri atau depresi,
serta perkembangan terhambat.
2. Anak usia prasekolah, Gejalanya sama ditambah tanda-tanda berikut:
a. Tanda fisik: antara lain perilaku regresif, seperti mengisap jempol, hiperaktif,
keluhan somatik seperti sakit kepala yang terus-menerus, sakit perut, sembelit.
b. Tanda pada perilaku emosional dan sosial: kelakuan yang tiba-tiba berubah, anak
mengeluh sakit karena perlakuan seksual.
c. Tanda pada perilaku seksual: masturbasi berlebihan, mencium secara seksual,
mendesakkan tubuh, melakukan aktivitas seksual terang-terangan pada saudara
atau teman sebaya, tahu banyak tentang aktivitas seksual, dan rasa ingin tahu
berlebihan tentang masalah seksual.
3. Anak usia sekolah
Memperlihatkan tanda-tanda di atas serta perubahan kemampuan belajar, seperti susah
konsentrasi, nilai turun, telat atau bolos, hubungan dengan teman terganggu, tidak
percaya kepada orang dewasa, depresi, menarik diri, sedih, lesu, gangguan tidur, mimpi
buruk, tak suka disentuh, serta menghindari hal-hal sekitar buka pakaian.
4. Remaja
Tandanya sama dengan di atas dan kelakuan yang merusak diri sendiri, pikiran bunuh
diri, gangguan makan, melarikan din, berbagai kenakalan remaja, penggunaan obat
terlarang atau alkohol, kehamilan dini, melacur, seks di luar nikah, atau kelakuan seksual

lain yang tak biasa. Sedangkan menurut Townsend (1998) simtomatologi dari
penganiayaan/kekerasan seksual pada anak (sexual abuse) antara lain :
1. Infeksi saluran kemih yang sering
2. Kesulitan atau nyeri saat berjalan atau duduk
3. Kemerahan atau gatal pada daerah genital, menggaruk daerah tersebut secara
sering atau gelisah saat duduk
4. Sering muntah
5. Perilaku menggairahkan, dorongan masturbasi, bermain seks dewasa sebelum
waktunya
6. Ansietas berlebihan dan tidak percaya kepada orang lain
7. Penganiyaan seksual pada anak yang lain
F. PENATALAKSANAAN
terapi bermain dapat mengurangi atau menghilangkan gangguan-gangguan
perilaku, fisik, psikis, social, sensori dan komunikasi dan mengembangkan kemampuan
yang masih dimiliki secara optimal. Terkait dengan kasus kekerasan seksual pada anak,
Jongsma, Peterson dan Mclnnis (2000) menyatakan bahwa terapi bermain (play therapy)
merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi dan menggalikan perasaan anak
korban kekerasan seksual. Melalui terapi bermain selain kasus dapat diidentifikasi apa
yang terjadi pada diri anak, anak juga dapat mengekpresikan perasaan atas kasus yang
terjadi pada dirinya.
Menurut Suda (2006) ada beberapa model program counseling yang dapat diberikan
kepada anak yang mengalami sexual abuse, yaitu :
a. The dynamics of sexual abuse.
Artinya, terapi difokuskan pada pengambangan konsepsi. Pada kasus tersebut kdsalahan
dan tanggung jawa berada pada pelaku bukan pada korban. Anak dijamin tidak
disalahkan meskipun telah terjadi kontak seksual.
b. Protective behaviors counseling.
Artinya, anak-anak dilatih menguasai keterampilan mengurangin kerentannya sesuai
dengan usia. Pelatihan anak prasekolah dapat dibatasi; nberkata tidak terhadap sentuhansentuhan yang tidak diinginkan; menjauh secepatnya dari orang yang kelihatan sebagai
abusive person; melaporkan pada orangtua atau orang dewasa yang dipercaya dapat
membantu menghentikan perlakuan salah.
c. Survivor/self-esteem counseling.
Artinya, menyadarkan anak-anak yang menjadi korban bahwa mereka sebenarnya
bukanlah korban, melainkan orang yang mampu bertahan (survivor) dalam menghadapi

masalah sexual abuse. Keempat, feeling counseling. Artinya, terlebih dahulu harus
diidentifikasi kemampuan anak yang mengalami sexual abuse untuk mengenali berbagai
perasaan. Kemudian mereka didorong untuk mengekspresikan perasaan-perasaannya
yang tidak menyenangkan, baik pada saat mengalami sexual abuse maupun sesudahnya.
Selanjutnya mereka diberi kesempatan untuk secara tepat memfokuskan perasaan
marahnya terhadap pelaku yang telah menyakitinya, atau kepada orang tua, polisi,
pekerja sosial, atau lembaga peradilan yang tidak dapat melindungi mereka.
d. Cognitif terapy.
Artinya, konsep dasar dalam teknik ini adalah perasaan-perasaan seseorang mengenai
beragam jenis dalam kehidupannya dipengaruhi oleh pikiran-pikiran mengenai kejadian
tersebut secara berulang-lingkar.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Doenges et. al (2007) pemeriksaan diagnostic yang dilakukan pada anak
dengan sexual abuse bergantung pada situasi dan kebutuhan individu. Uji skrining
(misalnya Daftar Periksa Perilaku Anak), peningkatan nilai pada skala internalisasi yang
menggambarkan perilaku antara lain ketakutan, segan, depresi, pengendalian berlebihan
atau di bawah pengendalian, agresif dan antisosial.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN SEXUAL ABUSE
A. PENGKAJIAN
Menurut Doenges et.al (2007) pengkajian anak yang mengalami penganiayaan seksual
(sexual abus) antara lain :
1. Aktivitas atau istirahat : Masalah tidur (misalnya tidak padat tidur atau tidur berlebihan,
mimpi burukm, berjalan saat tidur, tidur di tempat yang asing, keletihan.
2. Integritas ego
a. Pencapaian diri negatif, menyalahkan diri sendiri/meminta ampun karena tindakannya
terhadap orang tua.
b. Harga diri rendah (pelaku/korban penganiayaan seksual yang selamat.)
c. Perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan atau tidak berdaya
d. Minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku (mekanisme pertahanan yang
paling dominan/menonjol)
e. Penghindaran atau takut pada orang, tempat, objek tertentu, sikap menunduk, takut
(terutama jika ada pelaku)
f. Melaporkan faktor stres (misalnya keluarga tidak bekerja, perubahan finansial, pola
hidup, perselisihan dalam pernikahan)
g. Permusuhan terhadap/objek/tidak percaya pada orang lain
3. Eliminasi
a. Enuresisi, enkopresis.
b. Infeksi saluran kemih yang berulang
c. Perubahan tonus sfingter.
4. Makan dan minum : Muntah sering, perubahan selera makan (anoreksia), makan
berlebihan, perubahan berat badan, kegagalan memperoleh berat badan yang sesuai .
5. Higiene
a. Mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan kondisi cuaca (penganiayaan seksual)
atau tidak adekuat memberi perlindungan.
b. Mandi berlebihan/ansietas (penganiayaan
terpelihara.
6. Neurosensori

seksual),

penampilan

kotor/tidak

a. Perilaku ekstrem (tingkah laku sangat agresif/menuntut), sangat amuk atau pasivitas
dan menarik diri, perilaku tidak sesuai dengan usia
b. Status mental : memori tidak sadar, periode amnesia, lap[oran adanya pengingatan
kembali. Pikiran tidak terorganisasi, kesulitan konsentrasi/membuat keputusan. Afek
tidak sesuai, mungkin sangat waspada, cemas dan depresi.
c. Perubahan alam perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan penyesalan yang
dalam setelah penganiayaan seksual terjadi.
d. Kecemburuan patologis, pengendalian impuls yang buruk, ketrampilan koping
terbatas, kurang empati terhadap orang lain.
e. Membantung. Menghisap jempol atau perilaku kebiasaan lain : gelisah (korban
selamat).
f. Manifestasi psikiatrik (misal : fenomena disosiatif meliputi kepribadian ganda
(penganiayaan seksual), gangguan kepribadian ambang (koeban inses dewasa)
g. Adanya defisit neurologis/kerusakaan SSP tanpa tanda-tanda cedera eksternal
7. Nyeri atau ketidaknyamanan
a. Bergantung pada cedera/bentuk penganiayaan seksual
b. Berbagai keluhan somatik (misalnya nyeri perut, nyeri panggul kronis, spastik kolon,
sakit kepala)
8. Keamanan
a. Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar (tersiran air panas, rokok) ada
bagian botak di kepala, laserasi, perdarahan yang tidak wajar, ruam/gatal di area
genital, fisura anal, goresan kulit, hemoroid, jaringan parut, perubahan tonus sfingter.
b. Cedera berulang, riwayat bermacam kecelakaan, fraktur/ cedera internal.
c. Perilaku mencederai diri sendiri (bunuh diri), keterlibatan dalam aktivitas dengan
risiko tinggi
d. Kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak ada perhatian yang dapat menghindari
bahaya di dalam rumah.
9. Seksualitas
a. erubahan kewaspadaan/aktivitas seksual, meliputi masturbasi kompulsif, permainan
seks dewasa sebelum waktunya, kecenderungan mengulang atau melakukan kembali
pengalaman inses. Kecurigaan yang berlebihan tentang seks, secara seksual
menganiaya anak lain.
b. Perdarahan vagina , laserasi himen linier, bagian mukosa berlendir.
c. Adanya PMS, vaginitis, kutil genital atau kehamilan (terutama pada anak).
10. Interaksi social
Merikan diri dari rumah, pola interaksi dalam keluarga secara verbal kurang responsif,
peningkatan penggunaan perintah langsung dan pernyataan kritik, penurunan

penghargaan atau pengakuan verbal, merasa rendah diri. Pencapaian restasi dis ekolah
rendah atau prestasi di sekolah menurun.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Sindrom trauma perkosaan berhubungan dengan menjadi korban perkosaan seksual
yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan dengan keinginan dan
persetujuan pribadi seseorang.
2. Ansietas (sedang sampai berat) berhubungan dengan ancaman konsep diri, rasa takut
terhadap kegagalan, disfungsi system keluarga dan hubungan antara orang tua dan anak
yang tidak memuaskan
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ansietas dan hiperaktif
4. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tidak Efektif
5. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan perasaan bersalah yang berlebihan,
marah atau saling menyalahkan diantara anggota keluarga mengenai perilaku anak,
kepenatan orang tua karena menghadapi anak dengan gangguan dalam jengka waktu
lama

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Sindrom trauma perkosaan berhubungan dengan menjadi korban perkosaan seksual yang
dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan dengan keinginan dan

1.

persetujuan pribadi seseorang.


Tujuan :
1. Klien terbebas dari trauma
`
2. Dapat mendeteksi resiko
Intervensi:
Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
2. Idetifikasi kebutuhan keamanan klien, sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi kognitif
klien.

3. Berikan penjelasan pada klien dan keluarga atau pengunjung adanya perubahan status
kesehatan klien.
2. Ansietas (sedang sampai berat) berhubungan dengan ancaman konsep diri, rasa takut
terhadap kegagalan, disfungsi system keluarga dan hubungan antara orang tua dan anak
yang tidak memuaskan
Tujuan:
1. Klien mampu mengidentikasi dan mengungkapkan gejala cemas.
2. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkt aktifitas menunjukan
berkurangnya kecemasan.
3. Mengidentifikasi, menungkapkn dan menunjukan tekhnik untuk mengontrol cemas.
Intervensi:
1. Gunakan pendekatan yang menenangkan.
2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap klien.
3.
Temani pasien untuk memberikan keamanan dan menguagi takut.
4. Dengarkan dengan penuh perhatian.
5. Dorong klien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, pesepsi.
6.
Instruksikan pesien menggunakan
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ansietas dan hiperaktif
Tujuan:
1. Jumlah ja tidur dalam batas normal 6-8 jam/hari
2. Pola tidur, kualitas dalam batas normal.
3. Persaan sesudar tidur atau istirahat.
4. Mampu mengidetifikasi hal-hal yang meningkatkan tidur.
Intervensi:
1. Ciptakan lingkungan yang nyaman.
2. Diskusikan dengan klien dan keluarga kien tentang tekhnik tidur.
3. Monitor waktu makan dan minum dengan waktu tidur.
4. Monitor/catat kebutuhan tidur pasien setiap hari dan jam.
4. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tidak Efektif
Tujuan:
1. Menunjukan nilai prbadi tentang harga diri.
2. Mengungkapkan penerimaan diri.
3. Mengatakan optimize tentang masa depan.
4. Menggunakan strategi koping efektif
Intervensi:
1. Tunjukan rasa percaya diri terhadap kemampuan klien untuk mengatasi situasi.
2. Buat statement postif terhadap pasien
3. Kolaborasi dengan sumber lain (petugas, dinas social, perawat spesialis klinis,
dan layanan keagamaan.
4. Dorong pasien mengidentifikasi kekuatan dirinya

5. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan perasaan bersalah yang


berlebihan, marah atau saling menyalahkan diantara anggota keluarga mengenai
Tujuan:
1. Hubungan pemberi asuhan pasien: interaksi dan hubungan yang positif antara
pemberi dan penerima asuhan.
2. Performa pemberi asuhan perawatan langsung: penyediaan perawatan kesehatan
dan perawatan personal yang tepat kepada anggota keluarga oleh pemberi
perawatan keluarga.
3. Kesejahtraan pemberi asuhan : derajat persesi positif mengenai status kesehatan
dan kondisi
Intervensi:
1. Bantu keluarga dalam mengenal masalah (misalnya penatalaksaan konflik
kekerasan, kekerasan sexual)
2. Dorong pastisipasi keluarga dalam semua pertemuan kelompok.
3. Dorong keluarga untuk memperlihatkan kekhawatiran dan untuk membatu
merencanakan perawatan pasca hospitalisasi.
4. Bantu memotivasi keluarga untuk berubah.
5. Membantu pasien beradaptasi dengan persepsi stressor, perubahan atau ancaman
yang mengganggu pemenuhan tuntutan dan peran hidup.

BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak dibawah umur belakangan ini semakin
banyak muncul dipermukaan.Hal ini belum tentu merupakan indicator meningkatnya jumlah
kasus, karena fenomena yang terjadi adalah fenomena gunung es, jumlah yang terlihat belum
tentu menunjukkan fakta yang sesungguhnya.Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap
penegakan hokum merupakan salah satu faktor meningkatnya pelaporan kasus kekerasan
seksual. Penganiayaan seksual pada anak didefinisikan sebagai adanya tindakan seksual yang
mencakup tetapi tidak dibatas pada insiden membuka pakaian, menyentuh dengan cara yang
tidak pantas dan penetrasi (koitus seksual), yang dilakukan dengan seorang anak untuk
kesenangan seksual orang dewasa. Insest telah didefinisikan sebagai eksploitasi seksual pada
seorang anak di bawah usia 18 tahun oleh kerabat atau buka kerabat yang merupakan orang
dipercaya dalam keluarga (Townsend, 1998). Anak sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat
mungkin sebelumnya adalah korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku lain.
Kemungkinan motif kekerasan yang dilakukannya adalah untuk eksploitasi-memuaskan
rasa ingin tahu, atau menirukan kejadian yang dialami sebelumnya, baik dari perlakuan langsung
maupun dari media yang dilihatnya.Dengan adanya azas praduga tak bersalah, hendaknya
ditelusuri dengan mendalam faktor yang mendorong anak menjadi pelakukekerasan seksual, agar
anak tidak dua kali menjadi korban (Maria, 2008). Efek klinis pencabulan berkisar dari
pendarahan pada genital dan anus, fisur pada anus, pembesaran liang vagina dan anus, dan
penipisan/kerusakan hymen pada vagina. Efek psikologis pencabulan terhadap anak umumnya
berjangka panjang, antara lain: kemarahan, kecemasan, mimpi buruk, rasa tak Iman,
kebingungan, ketakutan, kesedihan, dan perubahan perilaku baik menjadi buruk.

B. SARAN
Berdasarkan asuhan keperawatan anak pada retardasi mental maka disarankan :
1. Perawat
Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan seksual abuse dapat
melibatkan anak dalam brain Gym untuk memfokuskan perhatiananak dan melupakan
peristiwa trauma akibat penganiayaan seksual.
2. Sekolah
Sekolah dapat bekerja sama dengan keluarga dan para dokter untuk membantu anak
korban aniaya seksual di sekolah. Komunikasi terbuka antara orangtua dan staf sekolah
dapat merupakan kunci keberhasilan anak dalam menyesuaikan diri di sekolah.
3. Keluarga/Orang tua
Keluarga atau orang tua dalam membantu anak yang mengalami seksual abuse harus
memberikan perawatan anak dengan metode yang berbeda dengan anak yang normal.
Oleh karena itu hendaknya orang tua atau keluarga menyusun kegiatan sehingga anak
mempunyai rutinitas yang sama tiap hari, mengatur kegiatan harian, menggunakan jadwal
untuk pekerjaan rumah, dan memperpertahankan aturan secara konsisten dan berimbang.

DAFTAR PUSTAKA
Doengoes,M.E Townsend,M.F. 2007.Rencana Asuhan Keperawatan Psikiatri,Edisi
3.Jakarta: EGC
Maslihah.Sri,2006.Kekerasan Pada Anak: Model tradisional dan dampak jangka
panjang.Edukid : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini
Tower,Cynthia Crosson.2002.Understanding Child Abuse And Negeiect.Boston : Allyn
& Bacon
Masland, Robert, dkk. 2004. Apa yang Ingin Diketahui Remaja tentang Seks. Bumi
Aksara: Jakarta.
Wiknjosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo: Jakarta.
Zein, Asmar Yetty, dkk. 2005. Psikologi Ibu dan Anak. Fitramaya: Yogyakarta.

Price, Sylvia A. (2005). Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses penyakit


(edisi 6). Jakarta :EGC
Wiknjoksastro, Hanifa dkk. 2007. Ilmu Kandungan. Ed 2, Cet. 5. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Bobak. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas edisi 4. Jakarta : EGC.
Dorland. 2005. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC.
Prawirohardjo, Sarwono. 2005. Ilmu kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.
Saryono. 2009. Sindrom Premenstruasi.Yogyakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai