Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH INTERVENSI DAN TRAUMA KRISIS

PENGANIYAAN DAN KEKERASAN PADA REMAJA


Dosen Pengampu :

Disusun Oleh :
1. Ayu Wulandari (010114a013)
2. Alfian Arif Mahmudi (010114a007)
3. Faiqotul Maula (010114a013)
4. I Made Bayu Sudarsana (010114a040)
5. Ismawati Nur Aini (010114a046)
6. Itsna Khoirunnisa (010114a048)
7. Lalu Sahdan (010114a058)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa remaja merupakan masa peralihan atau masa anak-anak menuju
kearah kedewasaan. Ditandai dengan kematangan dan perubahan fisik maupun
emosi. Rentang usia remaja berbeda-beda. Merujuk pada UU No. 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, remaja adalah mereka yang berusia 10-18 tahun.
Akan tetapi karena usia 18 tahun tidak menjamin remaja telah mencapai kondisi
yang sehat secara fisik, mental dan sosial untuk proses reproduksi. WHO telah
meningkatkan cakupan usia remaja hingga usia 24 tahun.
Kekerasan dan penganiayaan adalah tindakan menyakiti orang lain yang
mengakibatkan adanya luka baik secara fisik, maupun kejiwaan seseorang atau
mengakibatkan kerugian yang nyata terhadap kesehatan. Kekerasan dan
Penganiayaan biasanya terjadi di kalangan anak-anak dan remaja karena mereka
tidak dapat membalas perlakuan yang telah ia dapati, lebih mudah di bujuk, lebih
mudah untuk diancam dan lebih cenderung pendiam dan malu serta takut untuk
mengungkapkan kekerasan dan penganiayaan yang telah di dapatinya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari penganiayaan dan kekerasan pada remaja?
2. Apa saja bentuk-bentuk penganiayaan dan kekerasan pada remaja ?
3. Apa saja dampak dari penganiayaan dan kekerasan pada remaja?
4. Bagaimana ciri-ciri pada remaja yang mengalami tindakan penganiayaan dan
kekerasan?
5. Apa saja faktor dari perilaku penganiayaan dan kekerasan pada remaja?
6. Bagaimana antisipasi dari tindakan penganiayaan dan kekerasan pada remaja
?

C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui definisi dari penganiayaan dan kekerasan pada remaja
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk penganiayaan dan kekerasan pada remaja
3. Untuk mengetahui dampak dari penganiayaan dan kekerasan pada remaja
4. Untuk mengetahui ciri-ciri pada remaja yang mengalami tindakan
penganiayaan dan kekerasan
5. Untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya
penganiayaan dan kekerasan pada remaja
6. Untuk mengetahui antisipasi dari tindakan penganiayaan dan kekerasan pada
remaja
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Kekerasan menurut Standard Definition for Childhood Injury
Research adalah perilaku terhadap orang lain, yang menyimpang dari norma
tingkah laku dan mempunyai risiko substantial menyebabkan kejahatan fisik dan
emosional dengan subkategori: penyerangan fisik dan seksual, penyerangan
emosional dan penelantaran, akibat perlakuan ini menyebabkan kerugian yang
berat, ringan ataupun tidak timbul dengan segera.
Kekerasan atau dalam bahasa inggrisnya Violence berasal dari bahasa latin,
violentus yang berasal dari kata vi atau vis berarti kekuasaan atau berkuasa.
Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut
WHO (dalam Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan
fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan
atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan
besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan
perkembangan atau perampasan hak.
Kekerasan dan penganiayaan adalah tindakan menyakiti orang lain yang
mengakibatkan adanya luka baik secara fisik,maupun kejiwaan seseorang atau
mengakibatkan kerugian yang nyata terhadap kesehatan.

B. Bentuk Penganiayaan dan Kekerasan pada Remaja


Terry E. Lawson (dalam Huraerah, 2007), psikiater internasional yang
merumuskan definisi tentang child abuse, menyebut ada empat macam abuse,
yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse.

1. Kekerasan secara Fisik (physical abuse)


Physical abuse, terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak
memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan
akan diingat anak itu jika
kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. Kekerasan yang
dilakukan
seseorang berupa melukai bagian tubuh anak.
2. Kekerasan Emosional (emotional abuse)
Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak
setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia
membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin
diganggu pada waktu itu. Ia boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk
dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional
jika kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. Orang tua yang secara
emosional berlaku keji pada anaknya akan terus menerus melakukan hal sama
sepanjang kehidupan anak itu.
3. Kekerasan secara Verbal (verbal abuse)
Biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola
komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang melecehkan
anak. Pelaku biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan,
melabeli, atau juga mengkambing hitamkan.
4. Kekerasan Seksual (sexual abuse)
Sexual abuse meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti
istri, anak dan pekerja rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual
abuse adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual,
pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai,
pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan
atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan jenis
penganiayaan yang biasanya dibagi dalam kategori berdasar identitas pelaku
(Tower, 2002), terdiri dari:
a. Familial Abuse
Incest merupakan sexual abuse yang masih dalam hubungan darah,
menjadi bagian dalam keluarga inti. Seseorang yang menjadi pengganti
orang tua, misalnya ayah tiri, atau kekasih, termasuk dalam pengertian
incest. Mayer (dalam Tower, 2002) menyebutkan kategori incest dalam
keluarga dan mengaitkan dengan kekerasan pada anak. Kategori pertama,
sexual molestation (penganiayaan). Hal ini meliputi interaksi noncoitus,
petting, fondling, exhibitionism, dan voyeurism, semua hal yang
berkaitan untuk menstimulasi pelaku secara seksual. Kategori kedua,
sexual assault (perkosaan), berupa oral atau hubungan dengan alat
kelamin, masturbasi, fellatio (stimulasi oral pada penis), dan
cunnilingus (stimulasi oral pada klitoris). Kategori terakhir yang paling
fatal disebut forcible rape (perkosaan secara paksa), meliputi kontak
seksual. Rasa takut, kekerasan, dan ancaman menjadi sulit bagi korban.
Mayer mengatakan bahwa paling banyak ada dua kategori terakhir yang
menimbulkan trauma terberat bagi anak-anak, namun korban-korban
sebelumnya tidak mengatakan demikian. Mayer berpendapat derajat
trauma tergantung pada tipe darikekerasan seksual, korban dan survivor
mengalami hal yang sangat berbeda. Survivor yang mengalami
perkosaan mungkin mengalami hal yang berbeda dibanding korban yang
diperkosa secara paksa.
b. Extrafamilial Abuse
Extrafamilial Abuse, dilakukan oleh orang lain di luar keluarga
korban, dan hanya 40% yang melaporkan peristiwa kekerasan.
Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa disebut pedophile,
yang menjadi korban utamanya adalah anak-anak. Pedophilia diartikan
menyukai anak-anak (deYong dalam Tower, 2002). Pedetrasy
merupakan hubungan seksual antara pria dewasa dengan anak laki-laki
(Struve & Rush dalam Tower, 2002). Pornografi anak menggunakan
anak-anak sebagai sarana untuk menghasilkan gambar, foto, slide,
majalah, dan buku (OBrien, Trivelpiece, Pecora et al., dalam Tower,
2002). Biasanya ada tahapan yang terlihat dalam melakukan kekerasan
seksual kemungkinan pelaku mencoba perilaku untuk mengukur
kenyamanan korban. Jika korban menuruti, kekerasan akan berlanjut dan
intensif, berupa:
1) Nudity (dilakukan oleh orang dewasa).
2) Disrobing (orang dewasa membuka pakaian di depan anak).
3) Genital exposure (dilakukan oleh orang dewasa).
4) Observation of the child (saat mandi, telanjang, dan saat membuang
air).
5) Mencium anak yang memakai pakaian dalam.
6) Fondling (meraba-raba dada korban, alat genital, paha, dan bokong).
7) Masturbasi
8) Fellatio (stimulasi pada penis, korban atau pelaku sendiri).
9) Cunnilingus (stimulasi pada vulva atau area vagina, pada korban
atau pelaku).
10) Digital penetration (pada anus atau rectum).
11) Penile penetration (pada vagina).
12) Digital penetration (pada vagina).
13) Penile penetration (pada anus atau rectum)
14) Dry intercourse (mengelus-elus penis pelaku atau area genital
lainnya, paha, atau bokong korban) (Sgroi dalam Tower, 2002)

C. Dampak dari penganiayaan dan kekerasan pada remaja


Dampak dari remaja dengan tindakan penganiayaan dan kekerasan pada
remaja yaitu korban sangat bergantung pada tingkat perkembangan korban pada
saat terjadi tindak kekerasan tersebut. Oleh karena itu, tiap pihak yang peduli
dengan korban tindak kekerasan, termasuk perawat, perlu memahamitahap
perkembangan individu sehingga dapat mengidentifikasi dampak tindak
kekerasan sesuai dengan titik rawan pada setiap tahap perkembangan individu.
1. Respon Fisik
Korban tindak kekerasan menderita sejumlah konsekuensi fisik dari
yang ringan hingga berat. Cedera ringan bisa hanya abrasi atau lecet pada
kepala, leher, muka, torso, dan alat pergerakan. Cedera berat meliputi
trauma ganda, fraktur yang parah, laserasi, dan cedera bagian dalam tubuh.
Kehilangan penglihatan dan pendengaran dapat diakibatkan oleh pukulan
pada kepala. Korban penganiayaan seksual dapat mengalami trauma pada
vagina dan perineum yang sampai memerlukan tindakan pembedahan.
Cedera pada anus dan rektum serta kerusakan pada sfingter anus atau adanya
benda asing dan laserasi selaput mukosa, dapat terjadi akibat penganiayaan
seksual. Kekerasn fisik atau sekdual dapat mengakibatkan trauma kepala
yang menimbulkan perubahan dalam kemampuan berpikir afek, motivasi
dan perilaku.
2. Respon Biologis
Depresi merupakan salah satu respons yang paling sering terjadi
akibat penganiayaan. Depresi berdsarkan gangguan yang bersifat biologis
sebagai pengaruh dari stres kronis terhadap neurotransmiter dan sistem
neuroendokrin. Sebagian besar jenis penganiayaan merupakan bentuk
ekstrem dari stres yang kronis. Respons tubuh terhadap stres bersifat
kompleks, sistem reaksi yang terintegrasi memengaruhi tubuh dan jiwa.
3. Respon Psikologis
Respon psikologis terdiri atas harga diri rendah, rasa bersalah, malu,
dan marah yang diuraikan sebagai berikut :
a. Harga diri rendah
Penganiayaan mempengaruhi efek harga diri korban. Harga diri
rendah bisa sebagai akibat langsung dari penganiayaan fisik atau seksual
atau sebagai penyerta penganiayaan psikologis. Salah satu teknik yang
digunakan penganiaya untuk mengendalikan dan membuat korban
merasa tidak berdaya adalah dengan membuat mereka merasa tidak
berharga dengan secara terus menerus menghina korban. Pada umumnya,
penganiaya wanita sering kali mengatakan bahwa korbannya bodoh,
jelek, bukan istri atau ibu yang baik, dan tidak mempunyai kemampuan.
Faktor lain yang mengkontribusi pada harga diri rendah yang dialami
wanita korban penganiayaan adalah perasaan berbeda dari orang lain,
kebutuhan untuk mempertahankan rasa percaya, kurang rasa percaya dan
menyalahkan dirinya sendiri. Perasaan harga diri rendah merupakan
salah satu faktor yang membuat wanita korban penganiayaan ragu-ragu
mengungkapkan tentang penganiayaan yang dialaminya, karena merasa
tidak mampu melakukan apapun terhadap penganiaya.
b. Rasa bersalah dan malu
Riwayat penganiayaansangat erat hubungannya dengan rasa
bersalah dan malu yang luar biasa. Perasaan bersalah ini yang membuat
korban meyakini bahwa mereka yang salah dan penyebab terjadinya
tindak kekerasan. Perasaan terhina dan malu mencegah korban untuk
meminta bantuan dari tenaga kesehatan dan melaporkan tentang
penganiayaan tersebut kepada yang berwenang. Pengalaman disiksa dan
dihina begitu kuat sehingga sering sekali korban takut
mengungkapkannya. Banyak yang merasa takut bahwa orang lain tidak
serius akan membantunya atau bahkan menyalahkan dirinya karena tetap
bertahan tinggal bersama penganiaya (Hendricks-Mattews, 1993).
c. Marah
Rasa tersinggung dan mudah marah yang kronis, perasaan marah
yang tidak terkendalikan, dan kesulitan untuk mengekspresikan
kemarahan sering dialami oleh korban penganiayaan. Kemarahan
ditunjukkan kepada penganiaya atau pada orang lain yang menurut
seharusnya membela korban dan dapat mencegah terjadinya
penganiayaan. Perasaan marah yang ditutupi dengan perilaku patuh dan
berupaya selalu sempurna, biasa dimanifestasikan oleh wanita korban
inses. Wanita yang cenderung tidak secara terbuka mengungkapkan
kemarahannya, mungkin karena ia merasa takut terhadap hukuman
(Hendricks-Mattews, 1993).
4. Respon Perilaku
Wanita yang pernah mengalami penganiayaan, terutama
penganiayaan seksual pada masa kanak-kanak, seringkali menjadi peminum
alkohol atau menyalahgunakan zat lainnya. Menurut Miller & Downs
(1995), wanita peminum alkohol dan obat lain, dua setengah kali lebih
banyak yang melaporkan bahwa mereka pernah dianiaya secara seksual
ketika kanak-kanak dibandingkan yang tidak menggunakan alkohol.
5. Respon Interpersonal
Sebagai akibat penganiayaan yang sering dilakukan oleh keluarga
dekat bahkan orangtua yang seharusnya menyayangi dan melindungi
mereka, anak-anak korban penganiayaan akan tumbuh sebagai orang
dewasa yang sulit menjalin hubungan rasa percaya dan intim. Yang paling
sering dialami adalah masalah dalam hubungan seksual, yaitu perasaan takut
menjalin hubungan seksual yang intim, terutama jika sudah berkeluarga,
yang ditandai dengan perasaan menolak dan tidak dapat menikmati
hubungan intim tersebut.
Berdasarkan laporan dari korban penganiayaan, khususnya
penganiayaan seksual pada masa kanak-kanak, ternayata cenderung untuk
mengalami pemerkosaan pada kehidupan sesudah dewasa yang mungkin
disebabkan oleh kerapuhan diri untuk menghadapi situasi yang berbahaya.

D. Ciri-ciri Pada Remaja Yang Mengalami Tindakan Penganiayaan Dan


Kekerasan
1. Perubahan perilaku
2. Terjadi luka-luka ringan atau berat
3. Sulit tidur
4. Takut sekolah
5. Perubahan penampilan

E. Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Penganiayaan Dan Kekerasan


Pada Remaja
1. Faktor internal
a. Krisis identitas
Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan
terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan
akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas
peran. Kenakalan remaja terjadi karena remaja gagal mencapai
integrasi kedua.
b. Kontrol diri yang lemah
Remaja yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku
yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret
pada perilaku nakal. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui
perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa
mengembangkan contol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan
pengetahuannya. Contoh : penyebab kontrol diri lemah adalah orang
yang selalu memendam masalah dalam dirinya atau tidak terbuka.
2. Faktor eksternal
a. Keluarga : perceraian orang tua, tidak adanya komunikasi antar
anggota keluarga, perselisihan atar anggota keluarga
b. Pergaulan
c. Pengaruh lingkungan yang kurang baik

F. Antisipasi Tindakan Penganiayaan Dan Kekerasan Pada Remaja


Beberapa cara agar remaja tidak menjadi korban kekerasan atau menjadi
pelaku kekerasan :
1. Tingkatkan percaya diri
2. Melakukan kegiatan yang bermanfaat
3. Jangan bolos atau putus sekolah
4. Melakukan rekreasi
5. Mengurangi menonton yang mengandung kekerasan di media, baik
game, tv, internet, dll
6. Pandai memilih teman dan lingkungan yang baik
7. Mengetahui bagian tubuh yang bersifat pribadi.
Proses adaptasi untuk mengembalikan keseimbangan dengan membebaskan
diri dari perasaan takut dan perasaan tidak berdaya, biasanya disebut dengan
sindrom trauma tindak kekerasan terdiri atas dua tahap, yaitu tahap akut atau
disorganisasi dan tahap jangka atau reorganisasi
1. Adaptasi tahap akut atau disorganisasi
Tahap disorganisasi meliputi reaksi pertama yang deiekspresikan atau
reaksi yang ditahan atau dikendalikan, reaksi fisik dan reaksi emosional
terhadap situasi yang mengancam kehidupan korban. Pada tahap akut ini,
wanita yang mengalami tindak keerasan biasanya merasa cemas, marah,
merasa bersalah, merasa terhina, mengingkari, syok, tidak percaya atau
merasa takut mati, bahkan merasa ingin membalas dendam. Perasaan yang
dialami korban tindak kekerasandapat bersifat ekspresif dengan
membicarakan perasaan yang dialaminya, atau sebaliknya berupaya untuk
mengendalikan perasaannya dengan tetap tampak tenang. Ketenangan ini
tidak berarti bahwa korban tersebut tidak menderita dan merasa takut, tetapi
hanya cara mengatasi traumanya saja yang berbeda.
Reaksi fisik pada tahap akut akan bergantung pada cedera tubuh yang
dialami. Mersa sakit pada bagian tertentu yang terkena serangan atau bersifat
umum, seperti merasakan otot yang tegang. Biasanya juga terdapat gangguan
pola tidur dan makan. Pada tahap disorganisasi, reaksi emosional akibat
tindak kekerasan adalah perasaan takut, takut membahayakan tubuh, takut
mati atau mutilasi, disertai perasaan lain, seperti marah, terhina dan
menyalahkan diri sendiri. Sering kali korban mengalami reaksi emosional
yang kuat dan bereaksi secara berlebihan terhadap situasi lain yang tidak
berhubungan dengan tindak kekerasan. Misalnya, mudah tersinggung, tidak
sabar, cengeng, dan marah yang dapat menyebabkan korban merasa tidak
mampu mengendalikan diri dan merasa berjarak terhadap dirinya sendiri.
2. Adaptasi tahap jangka panjang atau reorganisasi
Reorganisasi adalah proses penyesuaian atau adaptasi selama
beberapa bulan setelah terjadi tindak kekerasan. Stuart & Sundeen (1995) dan
Johnson (1996) menyatakan bahwa korban tindak kekerasan mengalami
masalah psikologis yang berkepanjangan. Pemulihan keseimbangan fisik,
psikologis, sosial, spiritual dan seksual terjadi berbulan atau bertahun
kemudian. Korban tindak kekerasan kembali pada kehidupan rutin seperti
sebelum terjadi tindak kekerasan. Pada awalnya, bersifat sementara kemudian
disusul dengan masa resolusi, yaitu perasaan terhadap diri sendiri, terhadap
perilaku tindak kekerasan, dan perasaan kehilangan secara bertahap menyatu.
Pada tahap reorganisasi, halpenting yang dialami adalah :
a. Mendapatkan kembali rasa aman
b. Mengatasi perasaan takut
c. Mengatasi perasaan kehilangan, seperti kehilangan harga diri dan rasa
percaya
d. Menyatukan kejadian dalam diri secara menyeluruh.
Trauma akibat tindak kekerasan yang tidak terselesaikan dapat juga
terjadi apabila tidak ada atau sangat sedikit intervensi yang mendukung
korban pada masa akut (disorganisasi), tindak kekerasan terjadi berulangkali,
sebelum terjadi tindak kekerasan terjadi berulangkali, sebelum terjadi tindak
kekerasan korban tersebut sedang menghadapi stresor kehidupan, dan tidak
mempunyai dukungan sosial. Trauma tindak kekerasan yang tidak teratasi
dapat terlihat pada:
a. Individu yang mengalami gejala fobia, seperti rasa taku sendirian atau
keluar rumah
b. Menarik diri dari kegiatan sosial, harga dirir rendah, dan perasaan
bersalah
c. Hanya dengan sedikit pemicu dapat menimbulkan gejala trauma
tindak kekerasan
d. Menghindari kontak dengan orang yang identik dengan pelaku tindak
kekerasan
e. Menarik diri, pendiam atau mudah marah terhadap keluarga dan
teman
Kondisi tersebut biasanya terlihat pada korban tindak kekerasan yang
tidak pernah membicarakan kejadian yang dialaminya.
Daftar Pustaka

Yani, Achir. 2009. Bunga Rampai Asuhan Keperawatan Kesehatan


Jiwa. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai