KEPERAWATAN JIWA II
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
PERILAKU KEKERASAN DALAM KELUARGA
Disusun Oleh:
Anneke Widi . P 13131113016
Lisa Choirotus 13131113028
Aida Fitriyah 13131113050
Gabriela kando . R 13131113077
M. Daud Al Abror 13131113080
Dewi Fathur . R 13131113110
Wahyu Novitasari 13131113137
Alfina Maghfiroh . S 13131113143
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah
ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas tentang Asuhan Keperawatan
pada Pasien dengan Perilaku Kekerasan dalam Keluarga.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik
dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca
sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua.
Tim Penyusun
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tersebut tertinggi di Indonesia.
Padahal di Indonsia sendiri selama empat tahun terakhir ini Indonesia telah
memberlakukan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau yang dikenal dengan nama UU
Penghapusan KDRT (disahkan 22 September 2004).
penyelamatan terutama anggota keluarga, dan umumnya masyarakat
sekitarnya.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa dapat membuat dan mengaplikasikan asuhan
keperawatan pada klien dengan perilaku kekerasan pada keluarga.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dengan Perilaku
Kekerasan dalam Keluarga
2. Menjelaskan definisi perilaku kekerasan
3. Menjelaskan rentang respon marah
4. Menjelaskan faktor penyebab perilaku kekerasan pada
keluarga
5. Menjelaskan manifestasi klinis perilaku kekerasan
6. Menjelaskan proses terjadinya perilaku kekerasan
7. Menyusun asuhan keperawatan klien perilaku kekerasan
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang secara lebih
luas diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu anggota
keluarga kepada anggota keluarga lain dengan melanggar hak individu
(Poerwandari, 2000).
Kekerasan dalam keluarga dapat mencakup penganiayaan fisik,
emosional, dan seksual pada anak-anak, pengabaian anak, pemukulan
pasangan, pemerkosaan terhadap suami/istri, dan penganiayaan lansia. Dalam
kekerasan keluarga, keluarga yang normalnya merupakan tempat yang aman
dan anggotanya merasa dicintai dan terlindungi, dapat menjadi tempat paling
berbahaya bagi korban (Videbeck, 2008).
Kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu pola pemaksaan
kehendak atas seseorang terhadap pasangannya dengan menggunakan
serangan dan ancaman termasuk penyiksaan secara fisik, mental/ emosional
dan juga penguasaan secara ekonomis. Kekerasan terjadi karena
ketidakseimbangan antara suami dan istri baik secara fisik, dan ekonomi
kepada yang lemah, antara yang dominan kepada yang kurang dominan dan
antara yang berkuasa dan yang tidak berdaya. (LPKP2 Fatayat NU & The
Asia Foundation,. 2003).
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi perilaku kekerasan dalam keluarga menurut Videbeck
(2008), dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Penganiayaan Pasangan
Penganiayaan pasangan ialah perlakuan semena-mena atau
penyalahgunaan seseorang oleh orang lain dalam konteks hubungan intim.
Penganiayaan dapat berupa penganiayaan emosional, psikologis, fisik,
seksual, atau kombinasi semua tipe tersebut, yang umum terjadi (Singer et al,
1995).
3
a. Penganiayaan psikologis atau emosional
Penganiayaan ini antara lain mengejek, meremehkan, berteriak dan
memekik, merusak barang, dan mengancam, serta bentuk penganiayaan
yang lebih tidak kentara, misalnya menolak berbicara dengan korban atau
berpura-pura tidak melihat korban.
Penganiayaan jenis ini tercantum dalam pasal 7
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 hurf b adalah
perbuatan yang mengakibatakan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau
penderitaan psikis berat pada seseorang. (Himpunan Peraturan
Perundang-Undangan tentang Pelanggaran HAM, 2007, Hal 36).
b. Penganiayaan fisik
Penganiayaan ini dapat berkisar dari mendorong dan mendesak samapai
pemukulan berat dan mencekik, yang menyebabkan ekstremitas dan
tulang iga patah, perdarahan internal maupun eksternal, kerusakan otak,
dan bahkan pembunuhan.
Penganiayaan jenis ini tercantum dalam pasal 6
Kekerasan fisik sebgaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a adalah
perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh skit, atau luka berat.
(Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Pelanggaran HAM,
2007, Hal 36).
c. Penganiayaan seksual
Penganiayaan ini meliputi serangan fisik selama hubungan seksual,
misalnya mengigit puting, menjambak rambut, menampar dan memukul,
serta memerkosa.
Penganiayaan jenis ini tercantum dalam pasal 8
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalm pasal 5 huruf c meliputi
: a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersbut. b. Pemaksaan hubungan
seksusla terhadap salan seorang dalam lingkup rumah tangganya denga
orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu. (Himpunan
4
Peraturan Perundang-Undangan tentang Pelanggaran HAM, 2007, Hal
36).
d. Kekerasan ekonomi
Mengontrol perilaku istri, tidak memberikan nafkah untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga sementara melarang istri untuk bekerja,
menghambur-hamburkan uang sementara istri dan anak kekurangan,
memperkerjakan istri atau menguasai uang atau barang milik istri dan
sebagainya (Komnas Perempuan, 2002).
Penganiayaan jenis ini tercantum dalam pasal 9
(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,
atau pemeliharaan kepada orang yersebut. (2) Penelenaran sebagaimana
dimaksupd pada ayat (1) juga berlaku bago setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau
melarang untuk berkerja yang layak di dalam atau luar rumah sehingga
korban berada dibawah kendali orang tersebut. (Himpunan Peraturan
Perundang-Undangan tentang Pelanggaran HAM, 2007, Hal 37).
Penganiayaan pasangan diperkiarakan terjadi pada dua sampai 12
juta rumah di Amerika Serikat pertahun. Sekitar 8% pembuhunan di
Amerika Serikat adalah pembunuhan terhadap salah seorang pasangan
oleh pasangannya, dan 3 dari 10 wanita korban pembunuhan dibunuh
oleh suami mereka, mantan suami, kekasih, atau mantan kekasih. 90-95%
korban kekerasan dalam rumah tangga adalah wanita (Commission on
Domestic Violence, 1999).
5
Gambar. Siklus Kekerasan (Videbeck, 2008)
2. Penganiayaan Anak
Penganiayaan anak atau perlakuan semena-mena terhadap anak umumnya
didefinisikan sebagai cedera yang sengaja dilakukan terhadap seorang anak
dan dapat mencakup penganiayaan atau cedera fisik, pengabaian atau
kegagalan mencegah bahaya, kegagalan member perawatan atau pengawasan
emosional atau fisik yang adekuat, penelantaran, penyerangan atau intrusi
seksual, dan menyiksa secara terbuka atau mencederai (Biernet 2000).
Pada tahun 1997, institusi layanan perlindungan anak di 48 negara
bagian menyelidiki sekitar dua juta laporan yang menyatakan penganiayaan
terhadap tiga juta anak, dengan lebih dari setengah jumlah tersebut
merupakan anak berusia kurang dari tujuh tahun dan 26% berusia kurang dari
empat tahun. Setiap hari, rata-rata lebih dari tiga anak meninggal di Amerika
Serikat akibat penganiayaan atau pengabaian (Paulk, 1999). Lebih dari tiga
juta anak dilaporkan ke layanan perlindungan anak karena dicurigai
mengalami penganiayaan atau pengabaian. Anak-anak juga dipengaruhi oleh
kekerasan di rumah mereka. Sebuah studi melaporkan bahwa 27% korban
pembunuhan kekerasan dalam rumah tangga adalah anak-anak, dengan 56%
dari korban anak-anak tersebut berusia kurang dari dua tahun (Paulk, 1999).
Tipe penganiayaan anak adalah sebagai berikut :
a. Penganiayaan fisik
Penganiayaan fisik pada anak sering kali terjadi akibat hukuman fisik
yang berat dan tidak masuk akal, atau hukuman yang tidak dapat dibenarkan,
misalnya memukul bayi, karena menangis atau mengotori popoknya. Tindak
6
kekerasan yang sengaja dilakukan pada anak antara lain membakar,
menggigit, memotong, meninju, memelintir ekstremitas, atau menyiram
dengan air panas. Korban sering kali memilki tanda bekas cedera, seperti
jaringan parut, fraktur yang tidak diobati, atau banyak memar pada berbagai
tingkat usia, yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat oleh riwayat yang
disampaikan orang tua atau pengasuh (Lego, 1996).
b. Penganiayaan seksual
Meliputi tindakan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa pada
anak berusia kurang dari 18 tahun. Tindakan ini dapat mencakup inses,
pemerkosaan, dan sodomi, yang dilakukan oleh seseorang atau dengan suatu
benda, kontak oral-genital, dan tindakan cabul seperti menggesek, meraba,
atau memperlihatkan alat kelamin orang dewasa. Penganiayaan seksual dapat
berupa insiden tunggal atau episode multiple selama periode waktu yang laa.
Tipe kedua penganiayaan seksual meliputi eksploitasi, misalnya membuat,
mengumumkan, atau menjual pornografi yang melibatkan anak kecil dan
memaksa anak kecil melakukan tindakan cabul.
c. Pengabaian
Merupakan tindakan menyakiti atau mengabaikan kebutuhan fisik,
emosional, atau pendidikan untuk kesejahteraannya. Penganiayaan anak
melalui pengabaian adalah tipe penganiayaan yang paling sering terjadi dan
mencakup penolakan untuk mencari perawatan kesehatan atau menunda
melakukan hal tersebut, penelantaran, pengawasan yang tidak adekuat,
ceroboh dan tidak peduli terhadap keamanan anak, tindakan menghukum,
eksploitasi, atau perlakuan emosional yang abusive, penganiayaan pasangan
di depan anak, memberi izin membolos kepada anak, atau tidak mendaftarkan
anak masuk sekolah.
d. Penganiayaan psikologis atau emosional
Meliputi serangan verbal, seperti menyalahkan, meneriaki, mengejek,
dan sarkasme, ketidakharmonisan keluarga yang terus menerus, yang
dotandai oleh pertengkaran, saling meneriaki, dan kekacauan, serta deprivasi
emosional atau tidak member kasih saying, asuhan, dan pengalaman normal
yang meningkatkan perasaan menerima, cinta, keamanan, serta harga diri.
7
Penganiayaan ini sering terjadi bersama tipe penganiayaan yang lain, seperti
penganiayaan fisik atau seksual. Sering melihat orang tua mengonsumsi
alcohol, menggunakan obat-oabatn atau terlibat dalam prostitusi, dan
pengabaian yang diakibatkannya, juga dapat dimasukkan dalam kategori ini.
2.3 Karakteristik
Kekerasan dalam keluarga mencakup penganiayaan fisik, emosional,
dan seksual pada anak-anak, pengabaian anak, pemukulan pasangan,
pemerkosaan terhadap suami/istri, dan penganiayaan lansia. Perilaku
penganiayaan dan perilaku kekerasan yang tidak akan dapat diterima bila
dilakukan orang yang tidak dikenal sering kali ditoleransi selama bertahun-
tahun dalam keluarga. Dalam kekerasan keluarga, keluarga yang normalnya
merupakan tempat yang aman dan anggotnya merasa dicintai dan terlindungi,
dapat menjadi tempat berbahaya bagi korban. Studi penelitian
mengidentifikasi beberapa karakteristik umum kekerasan dalam keluarga
tanpa memerhatikan tipe penganiayaan yang ada (Videbeck, 2008):
1. Isolasi sosial
Anggota keluarga ini merahasiakan kekerasan dan sering kali tidak
mengundang orang lain datang ke rumah mereka atau tidak megatakan
kepada orang lain apa yang terjadi. Anak dan wanita yang mengalami
penganiyaan seering kali diancm oleh penganiaya bahwa mereka akan lebih
disakiti jika mengungkapkan rahasia tersebut. Anak-anak mungkin diancam
bahwa ibu, saudara kandung, atau hewan peliharaan mereka akan dibunuh
jika orang dilur keluarga mengetahui penganiayaan tersebut. Mereka ditakuti
agar mereka menyimpan rahasia atau mencegah orang lain mencampuri
urusan keluarga yang pribadi
2. Penyalahgunaan kekuasaan dan kontrol
Anggota keluarga yang melakukan penganiayaan hampir selalu berada
dalam posisi berkuasa dan memiliki kendali terhadap korban, baik korban
adalah anak, atau lansia. Penganiaya bukan hanya menggunakan kekuatan
fisik terhadap korban, tetapi juga kontrol ekonomi dan sosial. Penganiaya
sering kali adalah satu-satunya anggota keluarga yang membuat keputusan,
8
mengeluarkan uang, atau diizinkan untuk meluangkan waktu diluar rumah
dengan orang lain. Penganiaya melakukan penganiyaan emosional dengan
meremehkan atau menyalahkan korban dan sering mengancam korban. Setiap
indikasi kemandirian atau ketidakpatuhan anggota keluarga, baik yang nyata
atau dibayangkan, biasanya menyebabkan peningkatan perilaku kekerasan
(Singer et al, 1995).
3. Penyalahgunaan akohol dan obat-obatan lain
Ada hubungan antara penyalahgunaan zat, terutama alkohol, dengan
kekerasan dalam keluarga. Hal ini tidak menunjukkan hubungan sebab dan
akibat alkohol tidak menyebabkan individu menjadi penganiaya, sebaliknya
penganiaya juga cenderung menggunakan alkohol atau obat-obatan lain. 50-
90% pria yang memukul pasanganya dalam rumah tangga juga memiliki
riwayat penyalahgunaan zat. Jumlah wanita yang mengalami penganiayaan
dan mencari pelarin dengan menggunakan alkohol mencapai 50%
(Commission on Domestic Violence, 1999). Akan tetapi, banyak peneliti
yakin bahwa alkohol dapat menurangi inhibisi dan membuat perilaku
kekerasan lebih intens atau sering (Denham, 1995).
Alkohol juga disebut sebagai faktor dalam kasus pemerkosaan terhadap
pasangan kencan atau pemerkosaan oleh orang yang dikenal. CDCs Division
of Violence Prevention melaporkan bahwa studi mengidentifikasi penggunaan
alkohol atu obat yang berlebihan yang dikaitkan dengan penganiayaan
seksual. Selain itu, pengguanaan flunitrazepam (Rohhpnol) dugunakan untuk
mengurangi korban potensial pemerkosaan terhadap pasangan kencan
meningkat di Amerika Serikat walaupun onat tersebut ilegal (Smith, Wesson,
& Calhoun, 1999).
4. Proses tranmisi antar generasi
Proses tranmisi antar generasi berarti bahwa pola perilaku kekerasan
diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui mode peran dan
pembelajaran sosial (Humphreys, 1997; Tyra, 1996). Tranmisi antar generasi
menunjukan bahwa kekerasan dalam keluarga merupaaka suatu pola perilaku
yang dipelajari. Misalnya anak-anak yang menyaksikan kekerasna dalam
9
keluarga akan belajar dari melihat orang tua mereka bahwa kekerasan adalah
cara menyelesaikan konflik dan bagian integral dalam suatu hubungan dekat.
Statistik menunjukkan bahwa sepertiga pria penganiaya cenderung berasal
dari rumah tangga yang terdapat kekerasan, yang didalamnya mereka
menyaksikan pemukulan terhadap istri atau mereka sendiri dianiaya. 50%
wanita yang tumbuh dirumah yang didalamnya terjadi tindakan kekerasan
cenderung mengira atau menerima tindakan kekerasan dalam hubungan yang
mereka jalin (Singer et al, 1995). Akan tetapi, tidak semua orang yang
menyaksikan kekerasan dalam keluarga menjadi penganiaya atau pelaku
kekerasan ketika dewasa sehingga faktor tunggal ini saja tidak menjelaskan
perilaku kekerasan yang terus ada.
Menurut Marwick C. (1998), Old Sally, B, et all. (2004), dan Strack E,
Flipteraf (1996) ada beberapa karakteristik baik korban maupun pelaku tindak
kekerasan dalam rumah tangga yaitu:
1. Wanita/ korban
a. Pengaruh-pengaruh dalam keluarga
Prilaku kasar dalam keluarga, kurangnya pengajaran agama dalam
keluarga, kemungkinan dengan status sosial ekonomi yang rendah,
peran-peran sex bersifat tradisional menerima dan pasif, terjadi disfungsi
dalam sistem keluarga.
b. Pembawaan personal
Self esteem yang rendah, pernah mengalami kekecewaan, merasa
bertanggung jawab untuk disakiti, cepat merasa frustasi, merasa bersalah
dan tidak berguna, senang menyendiri dan senang mengisolasi diri,
sering merasa tidak percaya dengan orang lain, penakut, menolak prilaku
kasar, marah dan takut.
10
2. Suami/ Pelaku
a. Pengaruh-pengaruh dalam keluarga
Prilaku kasar dalam keluarga, kurangnya pengajaran agama dalam
keluarga, kemungkinan dengan status sosial ekonomi yang rendah,
peran-peran sex bersifat tradisional dominan dan agresif untuk laki-laki,
terjadi disfungsi dalam sistem keluarga.
b. Pembawaan personal
Perasaan tidak ade kuat, sifat inferior, sering menyalahkan orang lain
karena tindakannya sendiri, cemburu berlebihan, ingin memiliki, cepat
marah, tidak menerima diri, agresif, emosi yang belum matang, tidak
dapat mengontrol diri sendiri, tidak menaruh hormat pada wanita.
11
Pandangan psikologi lainnya mengenai perilaku agresif,
mendukung pentingnya peran dari perkembangan predisposisi atau
pengalaman hidup. Ini menggunakan pendekatan bahwa manusia mampu
memilih mekanisme koping yang sifatnya tidak merusak. Beberapa contoh
dari pengalaman tersebut :
a) Kerusakan otak organik, retardasi mental, sehingga tidak mampu
menyelesaikan secara efektif
b) Severe emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada masa
kanak-kanan atau seduction parental, yang mungkin telah merusak
hubungan saling percaya dan harga diri.
c) Terpapar kekerasan selama masa perkembangan termasuk child abuse
atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga, sehingga membentuk
pola pertahanan atau koping.
3. Faktor Sosial dan Budaya
Teori yang dikembangkan oleh Bandura (1977) ini mengemukakan
bahwa agresi tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Agresi dapat
dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan
penguatan maka akan semakin besar kemungkionan untuk terjadi. Jadi
seseorang akan merespon terhadap keterbangkitan emosionalnya secara
agresif sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Pembelajaran ini bias
internal maupun eksternal. Kultural dapat pula mempengaruh perilaku
kekerasan. Adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi
agresif mana yang dapat diterima atau ditolak. Sehingga dapat membantu
individu untuk mengekspresikan marah secara asertif.
4. Faktor Biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agresif
mempunyai dasar biologis. Penelitian neurobiologi mendapatkan bahwa
adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus.
Perangsangan yang diberikan terutama pada nucleus periforniks
hipotalamus yang dapat menyebabkan seekor kucing mengluarkan
cakarnya, mengangkat ekornya, mendesis, bulunya berdiri, emngeram,
matanya terbuka lebar, pupil berdilatasi dan hendak menerka tikus atau
12
objek yang ada di sekitarnya. Jadi kerusakan fungsi sistem limbic, lobus
frontal, dan lobus temporal.
Neurotransmitter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif,
serotonin, dopamine, norepineprin,acetilkolin, dan asam amino GABA.
Faktor-faktor yang mendukung :
a. Masa anak-anak yang tidak menyenangkan
b. Sering mengalami kegagalan
c. Kehidupan yang penuh tindakan agresif
d. Lingkungan yang tidak kondusif (bising, padat)
13
2.6 Faktor Resiko Terjadinya KDRT
Faktor resiko terjadinya KDRT dapat dijelaskan melalui skema berikut ini :
(WHO, 2005)
14
2.7 Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang timbul akibat dari kekerasan dalam rumah
tangga bisa bermacam-macam tergantung jenis kekerasan yang dilakukan
oleh pelakunya, berikut tanda dan gejala yang bisa ditemukan pada korban
kekerasan dalam rumah tangga.
1. Kekerasan Fisik
a. Kekerasan fisik berat
Penganiayaan berat seperti menendang, memukul, menyundut,
melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan dan semua
perbuatan lain yang dapat mengakibatkan:
1. Cedera berat
2. Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari
3. Pingsan
4. Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit
disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati
5. Kehilangan salah satu panca indera.
6. Mendapat cacat.
7. Menderita sakit lumpuh.
8. Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih
9. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan
10. Kematian korban.
b. Kekerasan fisik ringan
Seperti menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya
yang mengakibatkan:
1. Cedera ringan
2. Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat
3. Melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan ke
dalam jenis kekerasan berat.
2. Kekerasan Psikis
a. Kekerasan psikis berat
Berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi,
kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan,
15
pemaksaan dan isolasi social yang masing-masingnya bisa
mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa
hal berikut:
1. Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat
atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan
atau menahun
2. Gangguan stres pasca trauma.
3. Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta
tanpa indikasi medis)
4. Depresi berat atau destruksi diri
5. Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas
seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya
6. Bunuh diri
b. Kekerasan psikis ringan
1. Ketakutan dan perasaan terteror
2. Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak
3. Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual
4. Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan
pencernaan tanpa indikasi medis)
5. Fobia atau depresi temporer
3. Kekerasan Seksual
1. Kontusio, aberasi pada berbagai area tubuh
2. Nyeri kepala, lelah, gangguan pola tidur
3. Nyeri abdomen, mual dan muntah
4. Sekret vagina dan gatal, rasa terbakar pada saat defekasi, perdarahan
dan nyeri rektal
5. Kasar, mempermalukan, memalukan, hasrat untuk balas dendam,
meyalahkan diri sendiri
6. Ketakutan terhadap kekerasan fisik dan kematian
7. Rasa tidak berdaya yang sangat dan kekerasan pribadi
16
2.8 Siklus Kekerasan dalam Rumah Tangga
Teori siklus kekerasan yang dikemukankan Walker (1979) yang
dikutip oleh LKP2 (2003), dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Tension-Building Phase atau fase ketegangan yaitu suatu masa dimana
terjadi ketegangan-ketegangan kecil terjadi, terus mulai bertambah dan
semakin tidak tertahan.
b. Explosion or Battering Phase adalah fase kedua atau fase penganiayaan
pada fse ini ketegangan yang meningkat dilepaskan dengan penganiayaan.
Pelaku mulai mengeluarkan ancaman pembunuhan secara verbal maupun
fisik, perkosaan. Pada fase ini sebagian besar korban mengalami cedera
yang mengharuskan korban segera dibawa ke fasilitas kesehatan.
c. Honeymoon phase/Calm Phase merupakan fase terakhir atau penyesalan
atau bulan madu dimana pelaku merasa bersalah dan menyesal telah
melakukan kekerasan, pelaku mengatakn bahwa dia tidak bermaksud
menyakiti pasangannya, memohon maaf, memberikan hadiah, dan
menangis.
17
2.9 Dampak
Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi
mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan
suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang
lain dan lingkungan.
Dampak terhadap korban:
1. Trauma fisik berulang dapat menyebabkan penyakit fisik, kecacatan
hingga kematian.
2. Problem kejiwaan, depresi, gangguan panik, fobia, insomnia, dan
psikosomatis.
Dampak terhadap anak dalam keluarga:
1. Gangguan perkembangan mental, kelambatan psikomotor &
intelektual
2. Problem perilaku dan emosi, psikosomatis, mengompol, kesulitan
belajar, perilaku agresif.
Menurut Old Sally, B, et all. (2004) dampak KDRT secara fisik
dapat menyebakan kecacatan yang tetap dan juga kematian juga dapat
berdampak pada psikologis dan sosial dari istri. Kekerasan psikologis
dapat merusak harga diri, menimbulkan kebingungan dan dapat merusak
kejiwaan istri.
Penganiayaan terhadap istri sering disertai pada penganiayaan pada
anak. Pengaruh-pengaruh jangka panjang dari kekerasan terhadap istri
sering berlanjut menjadi perlakuan kejam pada anak dan pola tersebut
berlanjut dari kekerasan dalam keluarga, menimbulkan masalah
psikopatologis yang serius pada istri dan masalah-masalah lainnya dalam
keluarga.
Anak-anak yang sering melihat atau mengalami kekerasan
cenderung menjadi terlibat dalam lingkaran tersebut. Pola kekerasan ini
dapat diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Anak belajar
bahwa dari kondisi yang mereka saksikan memperbolehkan melakukan
tindak kekerasan ketika merasakan emosi-emosi yang kuat seperti dalam
keadaan marah, frustasi dan stress. Mereka belajar bahwa perlakuan
18
kekerasan merupakan kondisi yang normal terjadi dalam keluarga,
mencintai dan menyakiti merupakan kondisi yang tidak kompatibel.
Pengaruh terhadap diri yaitu harga diri yang rendah, orang yang posesif
dan memiliki rasa cemburu yang kuat.
19
2.10.2 Pemulihan
Sesuai dengan UU tentang pemulihan korban KDRT (2006) bahwa
pemulihan korban adalah segala upaya yang dilakukan untuk membantu
memberikan penguatan kepada korban agar lebih berdaya secara fisik dan
psikis. Sedangkan upaya penyelenggaraan pemulihan adalah segala tindakan
yang dilakukan yang meliputi memberikan pelayanan kepada korban,
pendampingan kepada korban. Sedangkan orang yang melakukan
pendampingan dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan, pekerja sosial,
relawan pendamping dan pembimbing rohani.
Program pemulihan korban KDRT di Indonesia ada beberapa
bentuk intervensi menurut Poerwandari (2008) yakni sebagai berikut :
a. Konseling
Konseling adalah percakapan yang sengaja diarahkan untuk membantu
pemecahan masalah tertentu (Poerwandari, 2008). Konseling merupakan
suatu proses yang dimaksudkan untuk membantu orang lain dalam
memperoleh jawaban atas pertanyaan (LKP2 Fatayat NU, 2003).
Bentuk-bentuk konseling untuk korban KDRT adalah :
1. Individual Counseling
Konseling individu adalah proses membantu individu dengan tujuan
bukan untuk mengubah sesorang tetapi memungkinkan individu
mampu menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Hasil yang diharapkan dari
konseling individu adalah individu mampu mengambil langkah-
langkah yang konstruktif atas kemampuannya sendiri. (LKP2
Fatayat NU, 2003).
2. Peer Counseling
Peer counseling atau teman sebaya, disebut teman sebaya karena
umumnya berlatar belakang sama seperti orang-orang yang
didampinginya (Poerwandari, 2008). Menurut LKP2 Fatayat NU
(2003) peer counseling merupaka paket pemberian nasihat oleh
sesama kawan dalam membantu perempuan yang menjadi korban
KDRT. Dengan paket sesama kawan yang senasib ini diharapkan
20
akan memberikan perasaan setara bagi korban. Dalam hal ini
pendamping dan korban adalah kawan yang setara, kawan untuk
berbagi rasa. Sebagai perempuan sesama korban KDRT diharapkan
mempunyai pengalaman-pengalaman serupa yang pernah dialami.
b. Bentuk Intervensi pada Korban yang Lain adalah : Group Support,
Family Therapy, Bimbingan Rohani
a. Terapi Keluarga
Berfokus pada keluarga dimana keluarga membantu mengatasi
masalah klien dengan memberikan perhatian:
1) BHSP
2) Jangan memancing emosi klien
3) Libatkan klien dalam kegiatan yang berhubungan dengan keluarga
4) Memberikan kesempatan pada klien dalam mengemukakan
pendapat
5) Anjurkan pada klien untuk mengemukakan masalah yang dialami
6) Mendengarkan keluhan klien
7) Membantu memecahkan masalah yang dialami oleh klien
8) Hindari penggunaan kata-kata yang menyinggung perasaan klien
9) Jika klien melakukan kesalahan jangan langsung memvonis
10) Jika terjadi perilaku kekerasan, yang dilakukan adalah:
a) Bawa klien ketempat yang tenang dan aman
b) Hindari benda tajam
c) Lakukan fiksasi sementara
d) Rujuk ke pelayanan kesehatan
b. Terapi Kelompok
Berfokus pada dukungan dan perkembangan, ketrampilan social atau
aktivitas lai dengan berdiskusi dan bermain untuk mengembalikan
kesadaran klien karena masalah sebagian orang merupakan perasaan
dan tingkah laku pada orang lain.
c. Terapi Musik
Dengan musik klien dapat terhibur, rileks, dan bermain untuk
mengembalikan kesadaran klien.
21
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 KASUS
Klien juga mengatakan pernah memukul orang tuanya karena kesal dan
marah sewaktu tidak dibelikan rokok. Klien juga mengatakan marahnya karena
kesal melihat orang yang berkumpul, menurut klien orang yang berkumpul
tersebut sedang membicarakannya. Klien juga mengatakan setiap dia kesal selalu
melampiaskan dengan pukul-pukul atau dengan mencaci maki orang tersebut
kemudian di pukul.
Pada saat dikaji ekspresi wajah klien tampak tegang, sorot mata klien
tampak tajam, nada suara klien tinggi, emosi klien labil, klien juga memukul-
mukul pintu ruang isolasi, badan klien tampak kotor dan menggaruk kepala, klien
memukul-mukul pintu karena tidak diberikan rokok oleh perawat. tangan klien
tampak terdapat bekas luka, pada saat ditanya luka tersebut bekas memukul pintu
dan jendela. Klien mengatakan merasa tidak dihargai oleh keluarga dan
22
lingkungannya karena suka dianggap tidak waras dan tidak berguna. Orang tua
klien mengatakan klien pernah kuliah tapi tidak sampai selesai. Selain itu klien
juga pernah dikecewakan oleh seorang wanita karena orang tuanya menolak
keinginan klien untuk mengawini anaknya.
3.2 Pengkajian
Aniaya seksual
Penolakan
Tindakan kriminal
Jelaskan :
Pasien pernah mengalami gangguan jiwa di masa lalu, namun pengtobatan
yang diberikian kurang berhail dalam mengatasi masalah gangguan jiwanya
tersebut.
Masalah Keperawatan: Perilaku kekerasan
4. Adakah anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa: Ya
Tidak
Masalah Keperawatan : -
5. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan:
Orang tua klien mengatakan klien pernah kuliah tapi tidak sampai selesai.
Selain itu klien juga pernah dikecewakan oleh seorang wanita karena orang
tuanya menolak keinginan klien untuk mengawini anaknya.
IV. FISIK
1. Tanda vital : TD : 150/95 mmHg N : 98x/menit S : 36, 50 C P : 22
x/menit
2. Ukur : TB : 170 cm BB : 68 kg
3. Keluhan fisik : Ya Tidak
Jelaskan : keadaan fisiologis klien dalam batas normal
Masalah keperawatan: -
24
V. PSIKOSOSIAL
1. Genogram
Keterangan
: Laki-laki
: Perempuan
: Meninggal
: Klien
Jelaskan :
Klien adalah anak ketiga dalam keluarganya. Klien sering memukul
orangtuanya jika tidak dibelikan rokok
Masalah Keperawatan : Perilaku kekerasan
2. Konsep diri
26
3. Aktivitas Motorik:
Lesu Tegang Gelisah Agitasi
Tik Grimasen Tremor Kompulsif
Jelaskan : Klien lebih sering menggepalkan tangannya dan memandang kea rah
lain
Masalah Keperawatan : Perilaku Kekerasan
4. Alam perasaaan
Sedih Ketakutan Putus asa Khawatir Gembira
berlebihan
Jelaskan : klien cenderung marah-marah
Masalah Keperawatan : Perilaku Kekerasan
5. Afek
Datar Tumpul Labil Tidak sesuai
Jelaskan : Klien sangat labil emosinya
Masalah Keperawatan : Perilaku Kekerasan
6. lnteraksi selama wawancara
Bermusuhan Tidak kooperatif Mudah tersinggung
27
9. Isi Pikir
Obsesi Fobia Hipokondria
Depersonalisasi Ide yang terkait Pikiran magis
Waham
Agama Somatik Kebesaran Curiga
Nihilistic Sisip pikir Siar pikir Kontrol pikir
Jelaskan : -
Masalah Keperawatan : -
10. Tingkat kesadaran
Bingung Sedasi Stupor
Disorientasi
Waktu Tempat Orang
Jelaskan : -
Masalah Keperawatan : -
11. Memori
Gangguan daya ingat jangka panjang Gangguan daya ingat jangka
pendek
Gangguan daya ingat saat ini Konfabulasi
Jelaskan : -
Masalah Keperawatan : -
12. Tingkat konsentrasi dan berhitung
Mudah beralih Tidak mampu konsentrasi Tidakmampu
berhitung sederhana
Jelaskan : Klien mengalami keterlambatan dalam berfikir
Masalah Keperawatan : -
13. Kemampuan penilaian
28
Mengingkari penyakit yang diderita Menyalahkan hal-hal diluar
dirinya
Jelaskan : Klien merasa tidak dihargai oleh semua orang atas permintaannya
Masalah Keperawatan : -
29
Transportasi Ya Tidak
Lain-lain Ya Tidak
Jelaskan : Klien tidak mampu bersosialisasi dengan baik
Masalah Keperawatan : Perilaku Kekerasan
- ekspresi wajah
klien tampak
tegang
- sorot mata klien
tampak tajam
- nada suara klien
tinggi
- emosi klien labil
- klien juga
memukul-mukul
pintu ruang isolasi
- tangan klien
tampak terdapat
bekas luka, pada
saat ditanya luka
tersebut bekas
memukul pintu
dan jendela
DS : Koping individu tidak Perilaku kekerasan
efektif
- Keluarga klien
mengatakan bahwa
klien di rumah,
jika klien ada
masalah atau kesal
dengan orang lain
tidak pernah cerita
tetapi klien suka
menyendiri di
kamar dan lama
kelamaan
kekesalan tersebut
dilampiaskan
dengan memukul
- Klien juga
32
mengatakan
pernah memukul
orang tuanya
karena kesal dan
marah sewaktu
tidak dibelikan
rokok
- Klien juga
mengatakan setiap
dia kesal selalu
melampiaskan
dengan pukul-
pukul atau dengan
mencaci maki
orang tersebut
kemudian di pukul
DO :
- ekspresi wajah
klien tampak
tegang
- sorot mata klien
tampak tajam
- nada suara klien
tinggi
- emosi klien labil
DS : Gangguan konsep diri :
Harga diri rendah
- Keluarga klien
mengatakan bahwa
di rumah klien
suka gelisah,
bicara dan tertawa
sendiri, klien suka
melamun dan
menyendiri
- Klien mengatakan
merasa tidak
dihargai oleh
keluarga dan
lingkungannya
karena suka
dianggap tidak
waras dan tidak
berguna
- Orang tua klien
mengatakan klien
pernah kuliah tapi
33
tidak sampai
selesai. Selain itu
klien juga pernah
dikecewakan oleh
seorang wanita
karena orang
tuanya menolak
keinginan klien
untuk mengawini
anaknya
DO :
Gg Pemeliharaan
Kesehatan
34
3.5 LPSP ( LAPORAN PENDAHULUAN STRATEGI PERENCANAAN)
2.5.1 LPSP 1
I. PROSES KEPERAWATAN
a. Kondisi klien :
Klien duduk sendiri di sebuah bangku di sudut ruangan, ekspresi wajah
klien tampak tegang, sorot mata klien tampak tajam, nada suara klien
tinggi, emosi klien labil, klien juga memukul-mukul pintu ruang isolasi,
badan klien tampak kotor dan menggaruk kepala, klien memukul-mukul
pintu karena tidak diberikan rokok oleh perawat.
b. Diagnosa Keperawatan :
Perilaku kekerasan berhubungan dengan gangguan konsep diri: harga diri
rendah
c. Tujuan Khusus:
Membina hubungan saling percaya, identifikasi penyebab perasaan marah,
tanda dan gejala yang dirasakan, perilaku kekerasan yang dilakukan,
akibatnya serta cara mengontrol secara fisik I
d. Tindakan keperawatan:
1. Bina hubungan saling percaya : Mengucapkan salam terapeutik, berjabat
tangan, menjelaskan tujuan, membuat kontrak topic dan tempat.
2. Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini dan
masa lalu
3. Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku kekerassan:
diskusikan tanda dan gejala.
35
4. Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
pada saat marah
5. Diskusikan bersama pasien akibat dari perilakunya
6. Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan
7. Latihan mengontrol perilaku kekerasan
Nama saya Suster Aida Fitriyah, saya senang di panggil Aida, nama
Bapak siapa? Dan senang dipanggil siapa ?
B. KERJA
1. Apa yang menyebabkan bapak marah?, Apakah sebelumnya bapak
pernah marah? Terus, penyebabnya apa? Samakah dengan yang
sekarang?
36
2. Pada saat penyebab marah itu ada, seperti bapak pulang ke rumah
mintak uang ke Orang Tua namun tidak diberi (misalnya ini penyebab
marah pasien), apa yang bapak rasakan?
3. Apakah bapak merasakan kesal kemudian dada bapak berdebar-debar,
mata melotot, rahang terkatup rapat, dan tangan mengepal?
4. Setelah itu apa yang bapak lakukan? O..iya, jadi bapak memukul
Orang tua bapak?
5. apakah dengan cara ini Uang tersebut akan ada dengan sendiri?
6. Apa kerugian atas apa yang Bapak lakukan? Menurut bapak adakah
cara lain yang lebih baik? Maukah bapak belajar cara mengungkapkan
kemarahan dengan baik tanpa menimbulkan kerugian?
7. Ada beberapa cara untuk mengontrol kemarahan, pak. Salah satunya
adalah dengan cara fisik. Jadi melalui kegiatan fisik disalurkanrasa
marah. Bagaimana kalau kita belajar cara satu ini terlebih dahulu?
8. Begini pak, kalau tanda-tanda marah tadi sudah bapak rasakan maka
bapak berdiri, lalu tarik napas dari hidung, tahan sebentar, lalu
keluarkan/tiupu perlahan lahan melalui mulut seperti mengeluarkan
kemarahan. Ayo coba lagi, tarik dari hidung, bagus.., tahan, dan tiup
melalui mulut. Nah, lakukan 5 kali. Bagus sekali, bapak sudah bisa
melakukannya. Bagaimana perasaannya?
9. Nah, sebaiknya latihan ini bapak lakukan secara rutin, sehingga bila
sewaktu-waktu rasa marah itu muncul bapak sudah terbiasa
melakukannya
C. TERMINASI
1. Evaluasi ( evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan)
Subyektif : Bagaimana perasaan bapak setelah berbincang-bincang tentang
kemarahan 10 menit? Iya jadi ada beberapa penyebab bapak marah
diantaranya karena tidak diberi uang orang tua dan karena diputus kekasih
37
2. Tindak lanjut ( PR untuk klien )
Nah......ini sudah 10 menit, jadi kita cukupkan disini dulu pembicaraan kita
karena waktunya sudah habis. Sekarang pak A bisa istirahat daluhu. Kalau
nanti ada yang ingin diceritakan atau ditanyakan kepada suster, Pak X bisa
langsung sampaikan saat kita ketemu lagi. Coba selama saya tidak ada, ingat-
ingat lagi penyebab marah bapak yang lalu, apa yang bapak lakukan kalau
marah yang belum kita bahas dan jangan lupa latihan napas dalamnya ya pak.
Sekarang kita buat jadual latihan untuk besok ya pak, berapa kali sehari bapak
mau latihan napas dalam? jam berapa saja pak?
2.5.2 LPSP 2
38
1. Kondisi klien:
Klien duduk sendiri di sebuah bangku di depan ruangan, ekspresi wajah
klien tampak tegang, namun sorot mata klien sudah mulai normal, nada
suara klien sedikit tinggi, emosi klien masih labil, badan klien tampak
kotor dan klien menggaruk kepala.
2. Diagnosa Keperawatan:
Perilaku kekerasan berhubungan dengan gangguan konsep diri: harga diri
rendah
3. Tujuan Khusus:
Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik ke-2
4. Tindakan keperawatan:
1. Mengevaluasi latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik yang
sebelumnya dilakukan (Napas dalam)
2. Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik ke-2: (pukul kasur
dan bantal)
3. Susun jadwal kegiatan harian cara kedua
39
a. Topik : Baik, sekarang kita akan belajar cara mengontrol
perasaan marah dengan kegiatan fisik untuk cara yang
kedua
B. KERJA
10. Bagaimana bapak apakah sebelum saya kesini tadi bapak sudah
melakukan latihan napas dalam? Bagus sekali
11. Nah.. Kalau ada yang menyebabkan bapak marah dan muncul
perasaan kesal, berdebar-debar, mata melotot, selain napas dalam
bapak dapat melakukan pukul kasur dan bantal
12. Sekarang mari kita latihan memukul kasur dan bantal. Bagaimana
kalau di kamar bapak? Di mana kamar bapak?
13. Jadi kalau nanti bapak kesal dan ingin marah, langsung ke kamar dan
lampiaskan kemarahan tersebut dengan memukul kasur dan bantal.
Nah, coba bapak lakukan, pukul kasur dan bantal. Ya, bagus sekali
bapak melakukannya
14. Nah cara inipun dapat dilakukan secara rutin jika ada perasaan marah.
Kemudian jangan lupa merapikan tempat tidurnya
C. TERMINASI
4. Evaluasi ( evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan)
Subyektif : Bagaimana perasaan bapak setelah 20 menit latihan cara
menyalurkan marah tadi? Ada berapa cara yang sudah kita latih, coba bapak
sebutkan lagi?Bagus. Mari kita masukkan kedalam jadual kegiatan sehari-hari
bapak
2.5.3 LPSP 3
41
( Narasi sesuai dengan teori dan rencana tindakan keperawatan yang telah
dibuat)
d. Tindakan keperawatan:
3. Kontrak :
42
a. Topik : Bagaimana kalau sekarang kita latihan cara bicara untuk
mencegah marah?
C. KERJA
1. Sekarang kita latihan cara bicara yang baik untuk mencegah marah.
2. Kalau marah sudah dusalurkan melalui tarik nafas dalam atau pukul
kasur dan bantal, dan sudah lega, maka kita perlu bicara dengan orang
yang membuat kita marah.
3. Ada tiga caranya pak. Bapak ingin tahu caranya?
4. Meminta dengan baik tanpa marah dengan nada suara yang rendah serta
tidak menggunakan kata-kata kasar.
5. Kemarin Bapak bilang penyebab marahnya larena minta uang sama
isteri tidak diberi.
6. Yang pertama coba Bapak minta uang dengan baik:Bu, saya perlu uang
untuk membeli rokok.
7. Nanti bisa dicoba di sini untuk meminta baju, minta obat dan lain-lain.
Coba bapak praktekkan. Bagus pak.
8. Yang kedua menolak dengan baik, jika ada yang menyuruh dan bapak
tidak ingin melakukannya, katakan: Maaf saya tidak bisa melakukannya
karena sedang ada kerjaan.
9. Coba Bapak praktikkan. Bagus
10. Yang ketiga mengungkapkan perasaan kesal, jika ada perlakuan orang
lain yang membuat kesal bapak dapat mengatakan: Saya jadi ingin
marah karena perkataanmu itu.
11. Coba Bapak praktikkan. Bagus
43
D. TERMINASI
2. Evaluasi (evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan)
Subyektif : Bagaimana perasaan bapak setelah kita bercakap-cakap tentang
cara mengontrol marah dengan bicara yang baik?
Bagus sekali, sekarang mari kita masukkan dalam jadual. Berapa kali sehari
bapak mau latihan bicara yang baik?, bisa kita buat jadwalnya?
I. PROSES KEPERAWATAN
a. Kondisi klien :
44
Pasien duduk di tengah taman di bawah pohon. Pakaian pasien bersih,
wajah segar seperti sehabis mansi. Pasien duduk dengan sikap waspada
melihat ke sekelilingnya.
b. Diagnosa Keperawatan :
c. Tujuan Khusus :
d. Tindakan keperawatan:
2. Latihan sholat/berdoa
3. Kontrak :
a. Topik : Bagaimana kalau sekarang kita latihan cara lain untuk
mencegah rasa marah yaitu dengan ibadah?
45
b. Waktu : Berapa lama bapak mau kita berbincang-bincang?
Bagaimana kalau 15 menit?
B. KERJA
1. Coba ceritakan kegiatan ibadah yang biasa Bapak lakukan!
Bagus. Baik, yang mana mau dicoba?
2. Nah, kalau bapak sedang marah coba bapak langsung duduk dan
tarik napas dalam. Jika tidak reda juga marahnya rebahkan badan
agar rileks. Jika tidak reda juga, ambil air wudhu kemudian
sholat
3. Bapak bisa melakukan sholat secara teratur untuk meredakan
kemarahan.
4. Coba Bapak sebutkan sholat 5 waktu? Bagus. Mau coba yang
mana?Coba sebutkan caranya .
C. TERMINASI
7. Evaluasi ( evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan)
Subyektif : Setelah 20 menit berbicara tadi, bagaimana perasaan
Bapak?
Mari kita masukkan kegiatan ibadah pada jadual kegiatan bapak. Mau
berapa kali bapak sholat. Baik kita masukkan sholat subuh dan maghrib
dulu ya Pak..
Coba bapak sebutkan lagi cara ibadah yang dapat bapak lakukan bila
bapak merasa marah
Setelah ini coba Bapak lakukan jadual sholat sesuai jadual yang telah
kita buat tadi
46
9. Kontrak yang akan datang :
o Topik : Besok kita ketemu lagi ya Pak, nanti kita bicarakan cara
keempat mengontrol rasa marah, yaitu dengan patuh minum obat?
o Waktu: Mau jam berapa Pak? Seperti sekarang saja, jam 10 ya?
o Tempat: Nanti kita akan membicarakan cara penggunaan obat yang
benar untuk mengontrol rasa marah Bapak, setuju, Pak?
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang secara lebih
luas diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu anggota
keluarga kepada anggota keluarga lain dengan melanggar hak individu.
Kekerasan dalam keluarga dapat mencakup penganiayaan fisik,
emosional, dan seksual pada anak-anak, pengabaian anak, pemukulan
pasangan, pemerkosaan terhadap suami/istri, dan penganiayaan lansia. Dalam
kekerasan keluarga, keluarga yang normalnya merupakan tempat yang aman
dan anggotanya merasa dicintai dan terlindungi, dapat menjadi tempat paling
berbahaya bagi korban.
47
DAFTAR PUSTAKA
Keliat, Budi Anna. 1996. Marah Akibat Penyakit yang Diderita. Jakarta: EGC.
http://www.lahargokembaren.com/2013/08/perilaku-kekerasan-di-sekitar-
kita.html
48
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/suryo.dharmono/material/dampakpsikologik
kekerasanterhadapperempuandalamrumaht.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27602/4/Chapter%20II.pdf
LPKP2 Fatayat NU & The Asia Foundation. (2003). Buku panduan konselor
tentang kekerasan dalam rumah tangga. Jakarta.
Old Sally, B, et all. (2004). Maternal-newborn nursing & womens health care. 7th.
New Jersey: Prentice Hall.
49