Anda di halaman 1dari 33

MATERI PENYULUHAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Di Susun untuk Memenuhi Tugas dalam Mata Kuliah:

BIMBINGAN DAN PENYULUHAN SOSIAL

Di Susun Oleh:

AHMAD RIZAL 11140540000012

JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2017

BAB I
1
A. LATAR BELAKANG

Pada dasarnya setiap keluarga ingin membangun keluarga bahagia dan penuh rasa
saling mencintai baik secara lahir maupun batin, dengan kata lain bahwa setiap keluarga
sungguh menghendaki dapat membangun keluarga harmoni dan bahagia yang sering
disebut keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Pada kenyataannya bahwa tidak semua
keluarga dapat berjalan mulus dalam mengarungi hidupnya, karena dalam keluarga tidak
sepenuhnya dapat dirasakan kebahagiaan dan saling mencintai dan menyayangi,
melainkan terdapat rasa ketidaknyamanan, tertekan, atau kesedihan dan saling takut dan
benci di antara sesamanya. Hal ini diindikasikan dengan masih dijumpainya pada
sejumlah rumah tangga yang bermasalah, bahkan terjadi berbagai ragam kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT). Ironisnya jumlah kekerasan yang terjadi semakin hari semakin
meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Almira At-Thahirah (2006)
menjelaskan bahwa sekitar 24 juta perempuan dari 217 juta penduduk Indonesia terutama
di pedesaan mengakui pernah mengalami kekerasan dan yang terbesar adalah KDRT.
Komnas perempuan pada tahun 2016 melakukan survei pada 14 daerah di Indonesia
(Aceh, Palembang, Jambi, Bengkulu, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta,
Jawa Timur, Kalimantan Barat, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, NTT)
menunjukkan bahwa kaum perempuan paling banyak mengalami kekerasan dan
penganiayaan oleh orang-orang terdekatnya serta tindak perkosaan di lingkungan
komunitasnya sendiri. Selain daripada itu terdapat 60% kekerasan terhadap anak
dilakukan oleh orangtua mereka! (Seto Mulyadi, Komnas Anak). (Zastrow & Bowker
(1984) menegaskan bahwa jumlah ini memang tidak sebanyak angka KDRT di AS yang
melebihi dari 50% dari keluarga Amerika Serikat mengalami KDRT. Ada dua faktor yang
menyebabkan timbulnya KDRT, yaitu faktor internal dan eksternal. Secara internal,
KDRT dapat terjadi sebagai akibat dari semakin lemahnya kemampuan adaptasi setiap
anggota keluarga di antara sesamanya, sehingga setiap anggota keluarga yang memiliki
kekuasaan dan kekuatan cenderung bertindak deterministik dan eksploitatif terhadap
anggota keluarga yang lemah. Secara eksternal, KDRT muncul sebagai akibat dari
intervensi lingkungan di luar keluarga yang secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi sikap anggota keluarga, terutama orangtua atau kepala keluarga, yang

2
terwujud dalam perlakuan eksploitatif terhadap anggota keluarga yang sering kali
ditampakkan dalam pemberian hukuman fisik dan psikis yang traumatik baik kepada
anaknya, maupun pasangannya. KDRT dengan alasan apapun dari waktu ke waktu akan
berdampak terhadap keutuhan keluarga, yang pada akhirnya bisa membuat keluarga
berantakan. Jika kondisinya demikian, yang paling banyak mengalami kerugian adalah
anak-anaknya terlebih bagi masa depannya. Karena itulah perlu terus diupayakan mencari
jalan terbaik untuk menyelamatkan institusi keluarga dengan tetap memberikan perhatian
yang memadai untuk penyelamatan terutama anggota keluarga, dan umumnya
masyarakat sekitarnya. Untuk lebih memahami persoalan KDRT, saya ingin melakukan
penyuluhan megenai prilaku kekerasan KDRT utuk dapat meminimalisir dan mencegah
terjadinya prilaku kekerasan. Selanjutnya akan digali lebih jauh tentang makna KDRT,
penyebab-penyebabnya, dampak KDRT, dan berbagai pendekatan untuk penangannya.

BAB II

PEMBAHASAN MATERI PENYULUHAN KDRT

3
A. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Mengkaji mengenai masalah kekerasan bukanlah suatu hal mudah, sebab kekerasan pada
dasarnya adalah merupakan tindakan agresif yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Misalnya
tindakan memukul, menusuk, menendang, menampar, meninju, menggigit, semuanya itu adalah
contoh daripada bentuk-bentuk kekerasan. Disamping hal-hal itu juga, kadang-kadang kekerasan
merupakan tindakan yang normal, namun tindakan yang sama pada suatu situasi yang berbeda
akan disebut penyimpangan.1 Situasi dimana suatu tindakan kekerasan dapat dikategorikan
sebagai tindakan agresif dan kapan tindakan kekerasan dapat dikategorikan sebagai suatu
tindakan normal dan situasional. Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan sebuah
perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert) dan baik yang bersifat menyerang
(offensive) atau yang bersifat bertahan (deffense) yang disertai penggunaan kekuatan kepada
orang lain.2 Kekerasan (violence) menurut sebagian para ahli disebut sedemikian rupa sebagai
tindakan yang mengakibatkan terjadinya kerusakan baik fisik ataupun psikis adalah kekerasan
yang bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu kekerasan adalah sebagai suatu bentuk
kejahatan.
Dalam pandangan klasik suatu tindak kekerasan (violence) menunjukan kepada tingkah
laku yang pertama-tama harus bertentangan dengan undang-undang, baik berupa ancaman saja
maupun sudah merupakan tindakan nyata dan memiliki akibat-akibat kerusakan terhadap harta
benda atau fisik atau dapat mengakibatkan kematian pada seseorang, 3 defenisi sangat luas sekali
karena menyangkut pula perbuatan mengancam di samping suatu tindakan nyata. Namun
demikian kekerasan dilihat dari persfektif kriminologi, kekerasan ini menunjukan kepada tingkah
laku yang berbeda-beda baik motif maupun mengenai tindakannya seperti perkosaan dan
pembunuhan. Istilah kekerasaan digunakan oleh John Conrad dengan istilah Criminally
Violence, sedangkan Clinard dan Quenney menggunakan istilah Criminal violence, di
Columbia istilah kekerasan dikenal dengan La Violencia. Kejahatan kekerasan oleh Yesmil

1. Muhammad Mustofa, Prevensi Masalah Kekerasan Di Kalangan Remaja,Depok: 1996

2. Jack D. Douglas & Frances Chaput Waksler, Teori-Teori Kekerasan, Jakarta: PT. Ghalia, 2002, hlm. 11.

3. Romli Atmasasmitha, Teori & Kapita Selekta Kriminolog, Bandung: PT. Eresco, 1992, hlm. 55.

4
Anwar diartikan sebagai4: Penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan
terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan
memar atau trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan
hak. Berkaitan dengan masalah kejahatan, maka kekerasan sering merupakan pelengkap dari
bentuk kejahatan itu sendiri. Bahkan ia telah membentuk suatu ciri tersendiri dalam khasanah
tentang studi kejahatan. Semakin menyebar luas frekuensi kejahatan yang diikuti dengan
kekerasan dalam masyarakat, maka semakin tebal keyakinan masyarakat akan penting dan
seriusnya kejahatan semacam ini. Dengan demikian pada gilirannya model kejahatan ini telah
membentuk persepsi yang khas di kalangan masyarakat.
Dalam kamus bahasa Indonesia kekerasan diartikan dengan5:
Perihal yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain, atau ada paksaan.
Menurut penjelasan ini, kekerasaan itu merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik
yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau penderitaan pada orang lain. Salah satu unsur yang
perlu diperhatikan adalah berupa paksaan atau ketidakrelaan atau tidak adanya persetujuan pihak
lain yang dilukai.
Sedangkan yang dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah
kekerasan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami maupun oleh istri. Menurut
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga (UU PKDRT), KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sebagian
besar korban KDRT adalah kaum perempuan (istri) dan pelakunya adalah suami, walaupun ada
juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu.
Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan,
persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga,

4. Yesmil Anwar, Saat Menuai Kejahatan: Sebuah Pendekatan Sosiokultural Kriminologi Hukum, UNPADPress:
Bandung, 2004, hlm. 54.

5. Trisno Yuwono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, Surabaya: Arkola, 1994, hlm. 223.

5
tinggal di rumah ini. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut
dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal perlindungan
oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak
pelakunya.
Adapun yang termasuk cakupan rumah tangga menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah:
a. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana disebutkan di
atas karena hubungan darah, perkawinan (misalnya mertua, menantu, ipar, dan besan),
persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut,
dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan (Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang KDRT).

B. Penyebab Terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga

Zastrow & Browker (1984) menyatakan bahwa ada tiga teori utama yang mampu menjelaskan
terjadinya kekerasan, yaitu teori biologis, teori frustasi-agresi, dan teori kontrol.

Pertama, teori biologis menjelaskan bahwa manusia, seperti juga hewan, memiliki suatu
instink agressif yang sudah dibawa sejak lahir. Sigmund Freud menteorikan bahwa manusia
mempunyai suatu keinginan akan kematian yang mengarahkan manusia-manusia itu untuk
menikmati tindakan melukai dan membunuh orang lain dan dirinya sendiri. Robert Ardery yang
menyarankan bahwa manusia memiliki instink untuk menaklukkan dan mengontrol wilayah,
yang sering mengarahkan pada perilaku konflik antar pribadi yang penuh kekerasan. Konrad
Lorenz menegaskan bahwa agresi dan kekerasan adalah sangat berguna untuk survive. Manusia
dan hewan yang agresif lebih cocok untuk membuat keturunan dan survive, sementara itu
manusia atau hewan yang kurang sagresif memungkinkan untuk mati satu demi satu. Agresi pada
hakekatnya membantu untuk menegakkan suatu sistem dominan, dengan demikian memberikan
struktur dan stabilitas untuk kelompok. Beberapa ahli teori biologis berhipotesis bahwa hormon
sek pria menyebabkan perilaku yang lebih agresif. Di sisi lain, ahli teori belajar verteori bahwa

6
perbedaan perilaku agresif terutama disebabkan oleh perbedaan sosialisasi terhadap pria dan
wanita.

Kedua, teori frustasi-agresi menyatakan bahwa kekerasan sebagai suatu cara untuk
mengurangi ketegangan yang dihasilkan situasi frustasi. Teori ini berasal dari suatu pendapat
yang masuk akal bahwa sesorang yang frustasi sering menjadi terlibat dalam tindakan agresif.
Orang frustasi sering menyerang sumber frustasinya atau memindahkan frustasinya ke orang
lain. Misalnya. Seorang remaja (teenager) yang diejek oleh orang lain mungkin membalas
dendam, sama halnya seekor binatang kesayangan yang digoda. Seorang pengangguran yang
tidak dapat mendapatkan pekerjaan mungkin memukul istri dan anak-anaknya. Suatu persoalan
penting dengan teori ini, bahwa teori ini tidak menjelaskan mengapa frustasi mengarahkan
terjadinya tindakan kekerasan pada sejumlah orang, tidak pada orang lain. Diakui bahwa
sebagian besar tindakan agresif dan kekerasan nampak tidka berkaitan dengan frustasi. Misalnya,
seorang pembunuh yang pofesional tidak harus menjadi frustasi untuk melakukan penyerangan.
Walaupun teori frustasi-agresi sebagian besar dikembangkan oleh para spikolog, beberapa
sosiolog telah menarpkan teori untuk suatu kelompok besar. Mereka memperhatikan
perkampungan miskin dan kotor di pusat kota dan dihuni oleh kaum minoritas telah
menunjukkan angka kekerasan yang tinggi. Mereka berpendapat bahwa kemiskinan, kekurangan
kesmepatan, dan ketidakadilan lainnya di wilayah ini sangat membuat frustasi penduduknya.
Penduduk semua menginginkan semua banda yang mereka lihat dan dimiliki oleh orang lain,
serta tak ada hak yang sah sedikitpun untuk menggunakannya. Akibatnya, mereka frustasi dan
berusaha untuk menyerangnya. Teori ini memberikan penjelasan yang masuk akal terhadap
angka kekarasan yang tinggi bagi penduduk minoritas.

Ketiga, teori ini menjelaskan bahwa orang-orang yang hubungannya dengan orang lain
tidak memuaskan dan tidak tepat adalah mudah untuk terpaksa berbuat kekerasan ketika usaha-
usahnya untuk berhubungan dengan orang lain menghadapi situasi frusstasi. Teori ini berpegang
bahwa orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan orang lain yang sangat berarti
cenderung lebih mampu dengan baik mengontrol dan mengendalikan perilakunya yang impulsif.
Travis Hirschi memberikan dukungan kepada teori ini melalu temuannya bahwa remaja putera
yang memiliki sejarah prilaku agresif secara fisik cenderung tidak memiliki hubungan yang
dekat dengan orang lain. Selain itu juga dinyatakan bahwa kekerasan mengalami jumlah yang

7
lebih tinggi di antara para eks narapidana dan orang-orang lain yang terasingkan dari teman-
teman dan keluarganya daripada orang-orang Amerika pada umumnya. Setelah memperhatikan
ketiga teori tersebut, kiranya variasi kekerasan di masyarakat untuk sementara ini disebabkan
oleh tiga faktor tersebut. Bagaimana dengan penyebab munculnya KDRT, lebih khususnya di
Indonesia. Menurut hemat saya, KDRT di Indonesia ternyata bukan sekedar masalah
ketimpangan gender. Hal tersebut acap kali terjadi karena: Kurang komunikasi,
Ketidakharmonisan. Alasan Ekonomi Ketidakmampuan mengendalikan emosi, Ketidakmampuan
mencari solusi masalah rumah tangga apapun, dan juga Kondisi mabuk karena minuman keras
dan narkoba.
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan suami terhadap istri, antara
lain:
1) Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan bahwa anak laki-
laki harus kuat, berani dan tidak toleran.
2) Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat.
3) Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena
merupakan masalah keluarga dan bukan masalah sosial.
4) Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri, kepatuhan
istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi bahwa laki-laki boleh
menguasai perempuan.
5) Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.
6) Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.
7) Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.
8) Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.
9) Melakukan imitasi, terutama anak laki-laki yang hidup dengan orang tua yang sering
melakukan kekerasan pada ibunya atau dirinya.
10) Masih rendahnya kesadaran untuk berani melapor dikarenakan dari masyarakat sendiri yang
enggan untuk melaporkan permasalahan dalam rumah tangganya, maupun dari pihak- pihak yang
terkait yang kurang mensosialisasikan tentang kekerasan dalam rumah tangga, sehingga data
kasus tentang (KDRT) pun, banyak dikesampingkan ataupun dianggap masalah yang sepele.
Masyarakat ataupun pihak yang tekait dengan KDRT, baru benar- benar bertindak jika kasus
KDRT sampai menyebabkan korban baik fisik yang parah dan maupun kematian, itupun jika

8
diliput oleh media massa. Banyak sekali kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT) yang tidak
tertangani secara langsung dari pihak yang berwajib, bahkan kasus kasus KDRT yang kecil pun
lebih banyak dipandang sebelah mata daripada kasus kasus lainnya.
11) Masalah budaya, Masyarakat yang patriarkis ditandai dengan pembagian kekuasaan yang
sangat jelas antara laki laki dan perempuan dimana laki laki mendominasi perempuan.
Dominasi laki laki berhubungan dengan evaluasi positif terhadap asertivitas dan agtresivitas
laki laki, yang menyulitkan untuk mendorong dijatuhkannya tindakan hukum terhadap
pelakunnya. Selain itu juga pandangan bahwa cara yang digunakan orang tua untuk
memperlakukan anak anaknya , atau cara suami memperlakukan istrinya, sepenuhnya urusan
mereka sendiri dapat mempengaruhi dampak timbulnya kekerasan dalam rumah tangga
( KDRT).
12) Faktor Domestik Adanya anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui oleh orang
lain. Hal ini menyebabkan munculnya perasaan malu karena akan dianggap oleh lingkungan
tidak mampu mengurus rumah tangga. Jadi rasa malu mengalahkan rasa sakit hati, masalah
Domestik dalam keluarga bukan untuk diketahui oleh orang lain sehingga hal ini dapat
berdampak semakin menguatkan dalam kasus KDRT. Lingkungan. Kurang tanggapnya
lingkungan atau keluarga terdekat untuk merespon apa yang terjadi, hal ini dapat menjadi
tekanan tersendiri bagi korban. Karena bisa saja korban beranggapan bahwa apa yang dialaminya
bukanlah hal yang penting karena tidak direspon lingkungan, hal ini akan melemahkan
keyakinan dan keberanian korban untuk keluar dari masalahnya. Selain itu, faktor penyebab
terjadinya kekerasan terhadap istri berhubungan dengan kekuasaan suami/istri dan diskriminasi
gender di masyarakat. Dalam masyarakat, suami memiliki otoritas, memiliki pengaruh terhadap
istri dan anggota keluarga yang lain, suami juga berperan sebagai pembuat keputusan.
Pembedaan peran dan posisi antara suami dan istri dalam masyarakat diturunkan secara kultural
pada setiap generasi, bahkan diyakini sebagai ketentuan agama. Hal ini mengakibatkan suami
ditempatkan sebagai orang yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada istri. Kekuasaan
suami terhadap istri juga dipengaruhi oleh penguasaan suami dalam sistem ekonomi, hal ini
mengakibatkan masyarakat memandang pekerjaan suami lebih bernilai. Kenyataan juga
menunjukkan bahwa kekerasan juga menimpa pada istri yang bekerja, karena keterlibatan istri
dalam ekonomi tidak didukung oleh perubahan sistem dan kondisi sosial budaya, sehingga peran
istri dalam kegiatan ekonomi masih dianggap sebagai kegiatan sampingan.

9
C.Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

Sedangkan yang menjadi bentuk-bentuk atau klasifikasi dari kekerasan dalam rumah tangga

adalah:

1. Kekerasan Fisik

a. Kekerasan Fisik Berat; berupa penganiayaan berat seperti menendang, memukul, menyundut,
melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan, dan semua perbuatan lain yang dapat
mengakibatkan:

1) Cedera berat

2) Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari

3) Pingsan

4) Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan
bahaya mati

5) Kehilangan salah satu panca indera.

6) Mendapat cacat.

7) Menderita sakit lumpuh.

8) Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih

9) Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan

10) Kematian korban.

b. Kekerasan Fisik Ringan; berupa menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya
yang mengakibatkan:

1) Cedera ringan

2) Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat

10
3) Melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan berat.

2. Kekerasan Psikis

a. Kekerasan Psikis Berat; berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan,


perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial, tindakan
dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina, penguntitan, kekerasan dan atau ancaman
kekerasan fisik, seksual dan ekonomis yang masing masingnya bisa mengakibatkan penderitaan
psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut:

1) Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual yang
salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun.

2) Gangguan stres pasca trauma.

3) Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis)

4) Depresi berat atau destruksi diri

5) Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan

atau bentuk psikotik lainnya

6) Bunuh diri

b. Kekerasan Psikis Ringan; berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi,


kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi
sosial, tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina, penguntitan, ancaman
kekerasan fisik, seksual dan ekonomis yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan
psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa hal di bawah ini:

1) Ketakutan dan perasaan terteror

2) Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak

3) Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual

11
4) Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa indikasi
medis)

5) Fobia atau depresi temporer

3. Kekerasan Seksual

a. Kekerasan seksual berat, berupa:

1) Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium
secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina
dan merasa dikendalikan.

2) Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak
menghendaki.

3) Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan.

4) Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan
tertentu.

5) Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban


yang seharusnya dilindungi.

6) Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan
sakit, luka,atau cedera.

b. Kekerasan Seksual Ringan; berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal,
gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah,
gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak
dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban. Melakukan repitisi
kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat.

4. Kekerasan Ekonomi

a. Kekerasan Ekonomi Berat; yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat
sarana ekonomi berupa:

12
1) Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran.

2) Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.

3) Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau
memanipulasi harta benda korban.

b. Kekerasan Ekonomi Ringan; berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan korban
tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.6

D.Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga

Rumah tangga terdapat sepasang suami istri, dan anak-anak. Rumah tangga tersebut
susunan dan wewenang harus diatur dengan baik sehingga dapat menjadikan tanggung jawab
dari masing-masing dan tercipta suasana yang harmonis. Ketidakharmonisan dapat terjadi jika
perannya tidak berlaku sebagaimana semestinya dan tanggung jawab tidak dapat dijalankan
sesuai kemampuan. Pada hakikatnya, rumah tangga bertujuan memenuhi tuntunan naluri
manusia yang asasi, membentengi manusia yang luhur, menegakkan rumah tangga yang islami,
meningkatkan ibadah bahwa manusia merupakan makhluk yang beragama, mencari keturunan
yang halal dan shalih. Hampir seluruh budaya bangsa menempatkan kehidupan keluarga sebagai
ukuran kebahagiaan yang sebenarnya. Meski seseorang gagal karirnya di luar rumah, tetapi
sukses membangun keluarga yang kokoh dan sejahtera, maka tetaplah ia dipandang sebagai
orang yang sukses dan bahagia. Ajaran pernikahan dalam Islam tidak berdiri di atas lahan
kosong, tetapi merupakan subsistem dari sistem kemasyarakatan Islam. Tuntutan riil ketika itu di
mana hal-hal yang menyangkut peperangan banyak sekali disebut, karena ketika itu
pembentukan masyarakat Islam sejalan dengan peperangan yang sering terjadi. Peperangan pada
masa Nabi lebih bersifat perang fisik. Al Quran justru banyak menyebut bagaimana
mengedepankan etika dalam perang dan bagaimana merencanakan keadaan pasca perang
(Mubarok, 2009: 141). Menegakkan yang hak dan melawan kebathilan merupakan semangat
dasar yang terkandung dalam ajaran Islam. Setiap penganut agama Islam, lelaki maupun
perempuan, tua maupun muda supaya ber-amar maruf nahi munkar sesuai dengan kemampuan

6. http://www.lbh-apik.or.id/fact-58.htm, Sekilas Tentang Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam


RumahTangga

13
masing-masing. Kekerasan merupakan tindakan yang menyuburkan kemungkaran, maka
membiarkan kekerasan sama dengan mengabdikan kebathilan. Rasulullah SAW sangat menaruh
perhatian terhadap persoalan KDRT (Muhammad, dkk, 2008: 294). Menurut Mufidah (2008:
273-274), beberapa faktor penyebab terjadinya KDRT yang terjadi di masyarakat, antara lain:7

a. Budaya patriarki yang menempatkan posisi pihak yang memiliki kekuasaan merasa lebih
unggul. Dalam hal ini laki-laki dianggap lebih unggul daripada perempuan dan berlaku tanpa
perubahan, bersifat kodrati. Pengunggulan laki-laki atas perempuan ini menjadikan perempuan
berada pada posisi rentan menjadi korban KDRT.

b. Pandangan dan pelabelan negatif (stereotype) yang merugikan, misalnya laki-laki kasar, maco,
perkasa sedangkan perempuan lemah, dan mudah menyerah jika mendapatkan perlakuan kasar.
Pandangan ini digunakan sebagai alasan yang dianggap wajar jika perempuan menjadi sasaran
tindak KDRT.

c. Interpretasi agama yang tidak sesuai dengan nilai-nilai universal agama. Agama sering
digunakan sebagai legitimasi pelaku KDRT terutama dalam lingkup keluarga, padahal agama
menjamin hak-hak dasar seseorang, seperti cara memahami nusyuz, yakni suami boleh memukul
istri dengan alasan mendidik atau ketika istri tidak mau melayani kebutuhan seksual suami maka
suami berhak memukul dan ancaman bagi istri adalah dilaknat oleh malaikat.

d. KDRT berlangsung justru mendapatkan legitimasi masyarakat dan menjadi bagian dari
budaya, keluarga, negara, dan praktek di masyarakat, sehingga menjadi bagian kehidupan yang
sulit dihapuskan, kendatipun terbukti merugikan semua pihak.

e. Antara suami dan istri tidak saling memahami, dan tidak saling mengerti. Sehingga jika terjadi
permasalahan keluarga, komunikasi tidak berjalan baik sebagaimana mestinya.

Menurut Annisa (2010: 17-18), faktor penyebab terjadinya KDRT yang terjadi di
masyarakat, antara lain:

a. Motif (dorongan seseorang melakukan sesuatu)

7. Mufidah CH, 2008. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. Malang: UIN. Press. Hlm 273-274

14
1.) Terganggunya motif biologis, artinya kebutuhan biologis pelaku KDRT mengalami terganggu
atau tidak dapat terpenuhi. Sehingga membuat ia melakukan untuk menuntut kebutuhan tersebut,
namun cara menuntut pemenuhan kebutuhan tersebut menyimpang tanpa adanya komunikasi
yang baik sebagaimana mestinya.

2.) Terganggunya motif psikologis, artinya tertekan oleh tindakan pasangan, misalnya suami
sangat membatasi kegiatan istri dalam aktualisasi diri, memaksakan istri untuk menuruti semua
keinginan suami.

3.) Terganggunya motif teologis, artinya hubungan manusia dengan Tuhan mengalami
penyimpangan, ketika hal ini terganggu, maka akan muncul upaya kemungkinan pemberontakan
untuk memenuhi kebutuhan. Misalnya, perbedaan agama antara suami dan istri, dan keduanya
tidak saling memahami satu sama lain, tidak ada toleransi dalam keluarga, keduanya hanyalah
mementingkan dari kepercayaan masing-masing, maka yang muncul adalah ketidakharmonisan
antara keduanya.

4.) Terganggunya motif sosial, artinya komunikasi atau interaksi antara pasangan suami istri
tidak dapat berjalan dengan baik. Sehingga jika terjadi kesalah fahaman atau perbedaan, hanya
mementingkan ego dari masing-masing tanpa adanya komunikasi timbal balik yang baik hingga
kekerasan menurut mereka yang dapat menyelesaikan masalah.

b. Harapan, setiap pasangan suami istri memiliki suatu harapan mengenai apa yang akan dicapai
dalam keluarganya, misalnya harapan agar keluarganya hidup sejahtera dengan berkecukupan
akan tetapi harapan tersebut tidak dapat berjalan sebagai kenyataan. Kemudian diantara
keduanya tidak dapat menerima kenyataan sehingga yang terjadi hanyalah tuntutan kepada
pasangan tanpa memikirkan bersama jalan keluar.

c. Nilai atau norma, dapat terjadi KDRT jika terjadi pelanggaran terhadap nilai dan norma yang
ada di dalam keluarga atau tidak dipatuhinya nilai di dalam keluarga. Misalnya penerapan nilai
etika yang salah, tidak adanya penghormatan dari istri terhadap suami atau sebaliknya, tidak
adanya kepercayan suami terhadap istri, tidak berjalannya fungsi dan peran dari masing-masing
anggota keluarga.

E. Dampak KDRT terhadap Anak

15
Marianne James, Senior Research pada Australian Institute of Criminology (1994),
menegaskan bahwa KDRT memiliki dampak yang sangat berarti terhadap perilaku anak, baik
berkenaan dengan kemampuan kognitif, kemampuan pemecahan masalah, maupun fungsi
mengatasi masalah dan emosi.

Adapun dampak KDRT secara rinci akan dibahas berdasarkan tahapan perkembangannya
sebagai berikut:

1. Dampak terhadap Anak berusia bayi

Usia bayi seringkali menunjukkan keterbatasannya dalam kaitannya dengan kemampuan


kognitif dan beradaptasi. Jaffe dkk (1990) menyatakan bahwa anak bayi yang menyaksikan
terjadinya kekerasan antara pasangan bapak dan ibu sering dicirikan dengan anak yang memiliki
kesehatan yang buruk, kebiasaan tidur yang jelek, dan teriakan yang berlebihan. Bahkan
kemungkinan juga anak-anak itu menunjukkan penderitaan yang serius. Hal ini berkonsekuensi
logis terhadap kebutuhan dasarnya yang diperoleh dari ibunya ketika mengalami gangguan yang
sangat berarti. Kondisi ini pula berdampak lanjutan bagi ketidaknormalan dalam pertumbuhan
dan perkembangannya yang sering kali diwujudkan dalam problem emosinya, bahkan sangat
terkait dengan persoalan kelancaran dalam berkomunikasi.

2. Dampak terhadap anak kecil

Dalam tahun kedua fase perkembangan, anak-anak mengembangkan upaya dasarnya


untuk mengaitkan penyebab perilaku dengan ekspresi emosinya. Penelitian Cummings dkk
(1981) menilai terhadap expresi marah dan kasih sayang yang terjadi secara alamiah dan
berpura-pura. Selanjutnya ditegaskan bahwa ekspresi marah dapat menyebabkan bahaya atau
kesulitan pada anak kecil. Kesulitan ini semakin menjadi lebih nampak, ketika ekspresi verbal
dibarengi dengan serangan fisik oleh anggota keluarga lainnya. Bahkan banyak peneliti
berhipotesis bahwa penampilan emosi yang kasar dapat mengancam rasa aman anak dalam
kaitannya dengan lingkungan sosialnya. Pada tahun ketiga ditemukan bahwa anak-anak yang
merespon dalam interaksinya dengan kemarahan, maka yang ditimbulkannya adalah adanya
sikap agresif terhadap teman sebayanya. Yang menarik bahwa anak laki-laki cenderung lebih
agresif daripada anak-anak perempuan selama simulasi, sebaliknya anak perempuan cenderung
lebih distress daripada anak laki-laki. Selanjutnya dapat dikemukakan pula bahwa dampak

16
KDRT terhadap anak usia muda (anak kecil) sering digambarkan dengan problem perilaku,
seperti seringnya sakit, memiliki rasa malu yang serius, memiliki self-esteem yang rendah, dan
memiliki masalah selama dalam pengasuhan, terutama masalah sosial, misalnya : memukul,
menggigit, dan suka mendebat.

3. Dampak terhadap Anak usia pra sekolah

Cumming (1981) melakukan penelitian tentang KDRT terhadap anak-anak yang berusia
TK, pra sekolah, sekitar 5 atau 6 tahun. Dilaporkannya bahwa Anak-anak yang memperoleh rasa
distress pada usia sebelumnya dapat diidentifikasi tiga tipe reaksi perilaku. Pertama, 46%-nya
menunjukkan emosi negatif yang diwujudkan dengan perilaku marah yang diikuti setelahnya
dengan rasa sedih dan berkeinginan untuk menghalangi atau campur tangan. Kedua, 17%-nya
tidak menunjukkan emosi, tetapi setelah itu mereka marah. Ketiga, lebih dari sepertiganya,
menunjukkan perasaan emosional yang tinggi (baik positif maupun negatif) selama
berargumentasi. Keempat, mereka bahagia, tetapi sebagian besar di antara mereka cenderung
menunjukkan sikap agresif secara fisik dan verbal terhadap teman sebayanya.

Berdasarkan pemeriksaan terhadap 77 anak, Davis dan Carlson (1987) menemukan anak-
anak TK yang menunjukkan perilaku reaksi agresif dan kesulitan makan pada pria lebih tinggi
daripada wanita. Hughes (1988) melakukan penelitian terhadap ibu dan anak-anak yang usia TK
dan non-TK, baik dari kelompok yang tidak menyaksikan KDRT maupun yang menyaksikan
KDRT. Disimpulkan bahwa kelompok yang menyaksikan KDRT menunjukkan tingkat distress
yang jauh lebih tinggi, dan kelompok anak-anak TK menunjukkan perilaku distres yang lebih
tinggi daripada anak-anak non-TK. deLange (1986) melalui pengamatannya bahwa KDRT
berdampak terhadap kompetensi perkembangan sosial-kognitif anak usia prasekolah. Ini dapat
dijelaskan bahwa anak-anak prasekolah yang dipisahkan secara sosial dari teman sebayanya,
bahkan tidak berkesempatan untuk berhubungan dengan kegiatan atau minat teman sebayanya
juga, maka mereka cenderung memiliki beberapa masalah yang terkait dengan orang dewasa.

4. Dampak terhadap Anak usia SD

Jaffe dkk (1990) menyatakan bahwa pada usia SD, orangtua merupakan suatu model
peran yang sangat berarti. Baik anak pria maupun wanita yang menyaksikan KDRT secara cepat
belajar bahwa kekerasan adalah suatu cara yang paling tepat untuk menyelsaikan konflik dalam

17
hubungan kemanusiaan. Mereka lebih mampu ,mengekspresikan ketakutan dan kecemasannya
berkenaan dengan perilaku orangtuanya. Hughes (1986) menemukan bahwa anak-anak usia SD
seringkali memiliki kesulitan tentang pekerjaan sekolahnya, yang diwujudkan dengan prestasi
akademik yang jelek, tidak ingin pergi ke sekolah, dan kesulitan dalam konsentrasi. Wolfe et.al,
1986: Jaffe et.al, 1986, Christopoulus et al, 1987 menguatkan melalui studinya, bahwa anak-anak
dari keluarga yang mengalami kekerasan domistik cenderung memiliki problem prilaku lebih
banyak dan kompetensi sosialnya lebih rendah daripada keluarga yang tidak mengalami
kekerasan dalam rumah tangga.

Sementara studi yang dilakukan terhadap anak-anak Australia, (Mathias et.al, 1995)
sebanyak 22 anak dari usia 6 sd 11 tahun menunjukkan bahwa kelompok anak-anak yang secara
historis mengalami kekerasan dalam rumah tangganya cenderung mengalami problem perilaku
pada tinggi batas ambang sampai tingkat berat, memiliki kecakapan adaptif di bawah rata-rata,
memiliki kemampuan membaca di bawah usia kronologisnya, dan memiliki kecemasan pada
tingkat menengah sampai dengan tingkat tinggi.

5. Dampak terhadap Anak remaja

Pada usia ini biasanya kecakapan kognitif dan kemampuan beradaptasi telah mencapai
suatu fase perkembangan yang meliputi dinamika keluarga dan jaringan sosial di luar rumah,
seperti kelompok teman sebaya dan pengaruh sekolah. Dengan kata lain, anak-anak remaja sadar
bahwa ada cara-cara yang berbeda dalam berpikir, merasa, dan berperilaku dalam kehidupan di
dunia ini. Misalnya studi Davis dan Carlson (1987) menyimpulkan bahwa hidup dalam keluarga
yang penuh kekarasan cenderung dapat meningkatkan kemungkinan menjadikan isteri yang
tersiksa, sementara itu Hughes dan Barad (1983) mengemukakan dari hasil studinya bahwa
angka kejadian kekerasan yang tinggi dalam keluarga yang dilakukan oleh ayah cenderung dapat
menimulkan korban kekerasan, terutama anak-anaknya. Tetapi ditekankan pula oleh Rosenbaum
dan OLeary (1981) bahwa tidak semua anak yang hidup kesehariannya dalam hubungan yang
penuh kekerasa akan mengulangi pengalaman itu. Artinya bahwa seberat apapun kekerasan yang
ada dalam rumah tangga, tidak sepenuhnya kekerasan itu berdampak kepada semua anak remaja,
tergantung ketahanan mental dan kekuatan pribadi anak remaja tersebut. Dari banyak penelitian
menunjukkan bahwa konflik antar kedua orangtua yang disaksikan oleh anak-anaknya yang

18
sudah remaja cenderung berdampak yang sangat berarti, terutama anak remaja pria cenderung
lebih agresif, sebaliknya anak remaja wanita cenderung lebih dipresif.

f. Upaya Penanganan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Upaya penanganan KDRT Pada hakekatnya secara psikologis dan pedagogis ada dua
pendekatan yang dapat dilakukan untuk menangani KDRT, yaitu pendekatan kuratif dan
preventif.

1. Pendekatan kuratif:

a. Menyelenggarakan pendidikan orangtua untuk dapat menerapkan cara mendidik dan


memperlakukan anak-anaknya secara humanis.

b. Memberikan keterampilan tertentu kepada anggota keluarga untuk secepatnya melaporkan ke


pihak lain yang diyakini sanggup memberikan pertolongan, jika sewaktu-waktu terjadi KDRT.

c. Mendidik anggota keluarga untuk menjaga diri dari perbuatan yang mengundang terjadinya
KDRT.

d. Membangun kesadaran kepada semua anggota keluarga untuk takut kepada akibat yang
ditimbulkan dari KDRT.

e. Membekali calon suami istri atau orangtua baru untuk menjamin kehidupan yang harmoni,
damai, dan saling pengertian, sehingga dapat terhindar dari perilaku KDRT.

f. Melakukan filter terhadap media massa, baik cetak maupun elektronik, yang menampilkan
informasi kekerasan.

g. Mendidik, mengasuh, dan memperlakukan anak sesuai dengan jenis kelamin, kondisi, dan
potensinya.

h. Menunjukkan rasa empati dan rasa peduli terhadap siapapun yang terkena KDRT, tanpa
sedikitpun melemparkan kesalahan terhadap korban KDRT.

i. Mendorong dan menfasilitasi pengembangan masyarakat untuk lebih peduli dan responsif
terhadap kasus-kasus KDRT yang ada di lingkungannya.

19
2. Pendekatan kuratif:

a. Memberikan sanksi secara edukatif kepada pelaku KDRT sesuai dengan jenis dan tingkat berat
atau ringannya pelanggaran yang dilakukan, sehingga tidak hanya berarti bagi pelaku KDRT
saja, tetapi juga bagi korban dan anggota masyarakat lainnya.

b. Memberikan incentive bagi setiap orang yang berjasa dalam mengurangi, mengeliminir, dan
menghilangkan salah satu bentuk KDRT secara berarti, sehingga terjadi proses kehidupan yang
tenang dan membahagiakan.

c. Menentukan pilihan model penanganan KDRT sesuai dengan kondisi korban KDRT dan nilai-
nilai yang ditetapkan dalam keluarga, sehingga penyelesaiannya memiliki efektivitas yang tinggi.
d. Membawa korban KDRT ke dokter atau konselor untuk segera mendapatkan penanganan sejak
dini, sehingga tidak terjadi luka dan trauma psikis sampai serius.

e. Menyelesaikan kasus-kasus KDRT yang dilandasi dengan kasih sayang dan keselamatan
korban untuk masa depannya, sehingga tidak menimbulkan rasa dendam bagi pelakunya.

f. Mendorong pelaku KDRT untuk sesegera mungkin melakukan pertaubatan diri kepada Allah
swt, akan kekeliruan dan kesalahan dalam berbuat kekerasan dalam rumah tangga, sehingga
dapat menjamin rasa aman bagi semua anggota keluarga.

g. Pemerintah perlu terus bertindak cepat dan tegas terhadap setiap praktek KDRT dengan
mengacu pada UU tentang PKDRT, sehingga tidak berdampak jelek bagi kehidupan masyarakat.
Pilihan tindakan preventif dan kuratif yang tepat sangat tergantung pada kondisi riil KDRT,
kemampuan dan kesanggupan anggota keluarga untuk keluar dari praketk KDRT, kepedulian
masyarakat sekitarnya, serta ketegasan pemerintah menindak praktek KDRT yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat.

g. Solusi untuk Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga maka masyarakat perlu
digalakkan pendidikan mengenai HAM dan pemberdayaan perempuan; menyebarkan informasi
dan mempromosikan prinsip hidup sehat, anti kekerasan terhadap perempuan dan anak serta
menolak kekerasan sebagai cara untuk memecahkan masalah; mengadakan penyuluhan untuk

20
mencegah kekerasan; mempromosikan kesetaraan jender; mempromosikan sikap tidak
menyalahkan korban melalui media. Sedangkan untuk pelaku dan korban kekerasan sendiri,
sebaiknya mencari bantuan pada Psikolog untuk memulihkan kondisi psikologisnya. Bagi suami
sebagai pelaku, bantuan oleh Psikolog diperlukan agar akar permasalahan yang menyebabkannya
melakukan kekerasan dapat terkuak dan belajar untuk berempati dengan menjalani terapi
kognitif. Karena tanpa adanya perubahan dalam pola pikir suami dalam menerima dirinya sendiri
dan istrinya maka kekerasan akan kembali terjadi. Sedangkan bagi istri yang mengalami
kekerasan perlu menjalani terapi kognitif dan belajar untuk berperilaku asertif. Selain itu, istri
juga dapat meminta bantuan pada LSM yang menangani kasus-kasus kekerasan pada perempuan
agar mendapat perlidungan. Suami dan istri juga perlu untuk terlibat dalam terapi kelompok
dimana masing-masing dapat melakukan sharing sehingga menumbuhkan keyakinan bahwa
hubungan perkawinan yang sehat bukan dilandasi oleh kekerasan namun dilandasi oleh rasa
saling empati. Selain itu, suami dan istri perlu belajar bagaimana bersikap asertif dan memanage
emosi sehingga jika ada perbedaan pendapat tidak perlu menggunakan kekerasan karena
berpotensi anak akan mengimitasi perilaku kekerasan tersebut. Oleh karena itu, anak perlu
diajarkan bagaimana bersikap empati dan memanage emosi sedini mungkin namun semua itu
harus diawali dari orangtua. Mengalami KDRT membawa akibat akibat negatif yang
berkemungkinan mempengaruhi perkembangan korban di masa mendatang dengan banyak cara.
Dengan demikian, perhatian utama harus diarahkan pada pengembangan berbagai strategi untuk
mencegah terjadi penganiayaan dan meminimalkan efeknya yang merugikan ada beberapa solusi
untuk mencegah KDRT antara lain :

1. Membangun kesadaran bahwa persoalan KDRT adalah persoalan sosial bukan individual dan
merupakan pelanggaran hukum yang terkait dengan HAM.

2. Sosialiasasi pada masyarakat tentang KDRT adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan
dapat diberikan sangsi hukum. Dengan cara mengubah pondasi KDRT di tingkat masyarakat
pertama tama dan terutama membutuhkan.

3. Adanya konsensus bahwa kekerasan adalah tindakan yang tidak dapat diterima.

4. Mengkampanyekan penentangan terhadap penayangan kekerasan di media yang mengesankan


kekerasan sebagai perbuatan biasa, menghibur dan patut menerima penghargaan.

21
5. Peranan Media massa. Media cetak, televisi, bioskop, radio dan internet adalah macrosystem
yang sangat berpengaruh untuk dapat mencegah dan mengurangi kekerasan dalam rumah tangga
( KDRT). Peran media massa sangat berpengaruh besar dalam mencegah KDRT bagaimana
media massa dapat memberikan suatu berita yang bisa merubah suatu pola budaya KDRT adalah
suatu tindakan yang dapat melanggar hukum dan dapat dikenakan hukuman penjara sekecil
apapun bentuk dari penganiayaan.

6. Mendampingi korban dalam menyelesaikan persoalan (konseling) serta kemungkinan


menempatkan dalam shelter (tempat penampungan) sehingga para korban akan lebih terpantau
dan terlindungi serta konselor dapat dengan cepat membantu pemulihan secara psikis.

h. Penanganan Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Penyuluhan

1. Teori Penanganan Kekerasan dalam Rumah Tangga

KDRT sering terjadi muncul di dalam masyarakat luas. KDRT kurang adanya perhatian
penuh, ini disebabkan karena masyarakat merasa malu dan tabu menceritakan aib keluarga
terhadap orang lain. KDRT dapat terselesaikan dengan menggunakan teori-teori bimbingan dan
konseling keluarga, diantaranya (Willis, 2009: 94):

a. Teori psikoanalisis, teori ini dapat diterapkan jika terjadi KDRT. Artinya, KDRT sering terjadi
dari alam ketidaksadaran. Pelaku merasa bahwa dirinya dalam keadaan benar. Kehidupan psikis
pelaku untuk menurunkan ketegangan psikis pada taraf yang rendah, sehingga pelaku dapat
menetralisir ketegangan psikis dengan kondisi stabil.

b. Teori feminis, teori ini mengubah budaya patriarki mengenai perempuan yang berada dibawah
kendali laki-laki. Laki-laki dan perempuan menempati posisi yang setara dan adil. Suami
melakukan kewajiban yang seharusnya ia kerjakan, dan istri juga melakukan kewajiban.
Keduanya berjalan dengan seimbang, saling menghormati, dan menghargai tanpa adanya
perbedaan.

c. Teori behavioral, teori ini diterapkan pada saat terjadi KDRT. Pelaku dan korban KDRT belajar
mengenai masa lalu yang dapat menghancurkan hubungan diantara keduanya dengan keadaan
serupa. Meningkatkan motivasi pada diri sendiri agar trauma tidak berkelanjutan yang dapat
menyebabkan dirinya dalam kondisi tidak stabil.

22
d. Teori terpusat pada klien atau client centered therapy merupakan suatu teori perawatan pada
psikis yang dilakukan dengan cara berdialog antara konselor dan klien, agar tercipta gambaran
yang serasi dengan kenyataan klien yang sebenarnya. Teori ini dapat diterapkan pada saat terjadi
KDRT, artinya seorang konselor dan korban KDRT dapat berkomunikasi dengan baik hingga
korban KDRT dapat menceritakan semua yang ia alami. Sehingga konselor dapat mampu betul
memahami psikis yang dialami korban KDRT, kemudian konselor dapat memberikan gambaran
solusi yang tepat kepada korban KDRT karena diharapkan psikis korban KDRT dapat stabil
sebagaimana mestinya.

e. Teori gestalt merupakan individu jika dikatakan sehat berarti yang seimbang antara organisme
dengan lingkungan. Teori ini dapat diterapkan pada saat terjadinya KDRT, artinya dapat
menyembuhkan rasa trauma psikis yang mendalam pada korban KDRT. Sehingga ia dapat
menerima segala kenyataan yang telah terjadi hingga ia mampu beradaptasi yang baik dengan
lingkungan sekitar dengan kondisi yang baik pula sebagaimana mestinya.

2. Model Penanganan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Islam merupakan agama rahmatan lil alamin yang ramah pada siapapun, melindungi,
menyelamatkan dan memberikan penghargaan pada semua manusia tanpa kecuali, dari beragam
suku, warna kulit, perbedaan kelas sosial ekonomi, hingga perbedaan laki-laki dan perempuan.
Rasulullah dalam menegakkan Islam adalah mengangkat harkat dan martabat laki-laki maupun
perempuan agar mendapatkan dan melindungi hak-hak pribadi sebagai manusia. Islam
melakukan tatanan hukum dan perundang-undangan sesuai dengan perubahan budaya yang
tercermin dalam kehidupan Rasulullah agar sesama untuk saling menghargai dan menghormati
tanpa adanya kekerasan (Mufidah, 2008: 278). Berbagai masalah KDRT yang muncul
memerlukan kesiapan dari kedua belah pihak sehingga berbagai masalah yang mungkin muncul
dapat meminimalisir dan dicegah, diantaranya: Pertama, tidak melawan tindakan pasangan yang
sedang marah, tunggu situasi lebih tenang untuk membicarakan masalahnya. Kedua, bila ada
masalah, usahakan tidak berkelahi di depan anak. Sebaiknya di ruang tidur atau di luar rumah.
Ketiga, belajarlah menyelesaikan masalah hari itu juga sehingga masalah tidak tertumpuk.
Keempat, usahakan tidur nyenyak sehingga terjadi penyembuhan dan usahakan melihat pasangan
dari segi positifnya. Kelima, sebelum menikah, masing-masing mengikuti program memahami
diri sehingga terbebas dari beban masa lalu (Murtadho, 2009: 157).

23
Model bimbingan dan konseling keluarga Islam berdasarkan Al Quran menjadi landasan
bimbingan dan konseling Islam berlandaskan Al Quran Surat An Nahl ayat 125 (Depag RI,
2002: 281)

Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-Mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya TuhanMu, Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-
orang yang mendapat petunjuk.

Dari ayat tersebut dapat diambil pemahaman bahwa model bimbingan dan konseling keluarga
Islam meliputi tiga cakupan, yaitu (Suparta, 2006: 8-17): 40

a. Model Al Hikmah

Hikmah berarti mencegah dari kezaliman dan menghindari hal-hal yang kurang relevan dalam
melaksanakan tugas dalam keluarga. Al hikmah adalah Pertama, sikap kebijaksanaan yang
mengandung asas musyawarah dan mufakat, asas keseimbangan, asas manfaat, dan menjauhkan
mudharat serta kasih sayang terhadap keluarga. Kedua, energi ilahiyah yang mengandung potensi
perbaikan, perubahan, pengembangan, dan penyembuhan kasus keluarga KDRT. Ketiga, esensi
ketaatan dan ibadah. Keempat, kecerdasan ilahiyah dengan segala persoalan hidup ini dapat
teratasi, termasuk kasus KDRT. Model ini didasarkan untuk mengatasi kasus KDRT yaitu sebuah
pedoman, penuntun, dan pembimbing untuk memberikan bantuan kepada individu korban kasus
KDRT yang sangat membutuhkan pertolongan dalam menstabilkan kondisi dirinya hingga ia
dapat menemukan permasalahan yang dihadapinya serta dapat menyelesaikan masalah atau
mengatasi kasus KDRT maupun berbagai ujian hidup secara mandiri.

b. Model Al Mauidzatul Hasanah

Model ini dapat diartikan sebagai ungkapan yang mengandung unsur bimbingan, pendidikan,
pengajaran, kisah-kisah, berita gembira, peringatan, pesan-pesan positif yang dapat dijadikan
pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Penuh kasih
sayang terhadap keluarga dalam perasaan penuh kelembutan, tidak membongkar atau
membeberkan kesalahan antar anggota keluarga sebab kelemah lembutan dalam menasehati
seringkali dapat meluluhkan hati yang keras, dan dapat lebih mudah melahirkan kebaikan

24
daripada keburukan sehingga kasus KDRT dapat diminimalisir Bimbingan dan konseling
keluarga Islam dengan model ini dapat dikembangkan dengan cara mengambil pelajaran dari
kehidupan Nabi, Rosul, Auliya Allah. Bagaimana Allah membimbing dan mengarahkan cara
berfikir, cara berperasaan, cara berperilaku, serta menanggulangi berbagai problem kehidupan
keluarga terutama kasus KDRT. Bagaimana cara mereka membangun keluarga dengan ketaatan
dan ketakwaan kepada Allah, mengembangkan eksistensi diri dan menemukan citra diri, dan
bagaimana cara mereka melepaskan diri dari hal-hal yang menghancurkan mental spiritual dan
moral sehingga kasus KDRT dapat selalu dikendalikan.

c. Model Al Mujadalah Bi al Lati Hiya Ahsan

Bertukar pendapat oleh antara pasangan suami dan istri secara sinergis, yang tidak melahirkan
permusuhan dengan tujuan agar dapat saling menerima pendapat yang diajukan dengan
memberikan argumentasi dan bukti yang kuat. Antara suami dan istri harus saling menghargai
dan menghormati pendapat keduanya berpegang pada kebenaran, mengakui kebenaran pasangan
dan ikhlas menerima hukuman kebenaran tersebut. Ketika sikap saling menghargai dan
menghormati pasangan, KDRT dapat selalu dikendalikan karena kondisi antar pasangan dalam
keadaan stabil. Model ini digunakan untuk korban KDRT yang sedang mengalami kebimbangan
yaitu korban KDRT ingin mencari suatu kebenaran yang dapat meyakinkan dirinya, yang selama
ini ia memiliki problem kesulitan mengambil keputusan dari dua hal atau lebih, sedangkan ia
berpendapat bahwa kedua atau lebih itu baik dan benar untuk dirinya.

3. Model Penanganan Kekerasan dalam Rumah Tangga menurut Islam

Rasulullah pada dasarnya tidak membeda-bedakan umatnya antara laki laki dan perempuan
karena kedudukan manusia dimata Allah adalah sama tanpa adanya perbedaan. Rasulullah
melakukan upaya mengangkat harkat dan martabat perempuan, proses pembentukan konsep
kesetaraan keadilan dalam Islam, yaitu (Mufidah, 2008:24-25):

a. Perlindungan hak-hak perempuan melalui hukum perempuan tidak dapat diperlakukan


semena-mena oleh siapapun karena dipandang sama di hadapan hukum dan undang-undang yang
berlaku.

25
b. Perbaikan hukum keluarga, perempuan mendapat hak pula menentukan jodoh, mendapat
mahar, hak waris, mengajukan hak talak gugat, mengatur hak-hak suami istri yang seimbang, dan
hak pengasuhan anak.

c. Perempuan mempunyai hak hidup layak seperti halnya laki-laki, tanpa adanya kecaman atau
ancaman. Ditandai adanya penetapan aturan larangan melakukan pembunuhan atau
penganiayaan terhadap perempuan karena sudah tidak pada masa bangsa Arab Jahiliyah.
Kebahagiaan dalam keluarga merupakan harapan bagi semua orang. Kebahagiaan pada
hakekatnya tidak dapat hanya dimiliki oleh salah satu atau sebagian anggota keluarga, namun
kebahagiaan akan terwujud jika seluruh anggota turut mengupayakan, melestarikan dan
memperoleh buahnya secara kolektif (Mufidah, 2008: 295). Keluarga sakinah tidak hanya takdir
dari Allah, tetapi ketenangan dalam kehidupan keluarga merupakan bagian dari upaya manusia
melalui proses dan dinamika yang dibentuk dan dibangun oleh setiap keluarga. Demikian pula
konflik dan kekerasan dalam keluarga juga bukan bersifat kodrati yang dipastikan sebagai bagian
penting yang muncul dalam setiap keluarga, namun kekerasan dalam keluarga merupakan
sesuatu yang dapat dihindari, diperangi atau sekurang-kurangnya dikendalikan oleh setiap
anggota keluarga itu sendiri (Mufidah, 2008: 296).

Upaya yang dilakukan oleh keluarga dalam menghapus KDRT, antara lain: Pertama, tindakan
preventif, untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam keluarga, perlu dilakukan
sosialisasi/pembiasaan kepada anggota keluarga terintegrasi dengan penanaman nilai-nilai
agama. Kedua, tindakan kuratif, tindakan ini diambil setelah terjadinya tindak penyimpangan
sosial. Tindakan ini ditujukan untuk memberikan penyadaran kepada para pelaku KDRT agar
dapat menyadari kesalahannya dan mampu memperbaiki kehidupannya selanjutnya. Sehingga
dikemudian hari tidak lagi mengulangi. Ketiga, tindakan development, tindakan ini dilakukan
untuk membantu keluarga memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi agar tetap baik
dan menjadi lebih baik. Sehingga tidak memungkinkan menjadi sebab munculnya masalah
KDRT kembali (Mufidah, 2008: 297-298).

i.UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)

Tanggal 22 September 2004 merupakan tanggal bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada
tanggal tersebut, perjuangan perempuan Indonesia, terutama yang tergabung dalam Jaringan

26
Advokasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Jangka-PKTP), yang
merupakan gabungan LSM perempuan se-Indonesia, membuahkan hasil disahkannya RUU
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjadi UU. Pertimbangan lahirnya UU 23 /
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) antara lain adalah
bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi
manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus
dihapus; korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus
mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat, agar terhindar dan terbebas dari
kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan
martabat kemanusiaan. Kekerasan dalam rumah tangga dalam UU PKDRT didefinisikan sebagai,
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Dengan kata lain, ruang
lingkup KDRT menurut UU PKDRT meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan
seksual, dan penelantaran rumah tangga. Sebelum lahir UU PKDRT, anggota keluarga yang
menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga hanya dapat menuntut kekerasan fisik yang
diatur dalam KUHP, berdasarkan pasal penganiayaan, dan apabila terjadi kekerasan seksual yang
dilakukan suami terhadap istri, istri tidak dapat menuntut karena KUHP tidak mengaturnya.
Beberapa keuntungan dari adanya UU No. 23 tahun 2004 ini adalah : Pertama, kasus KDRT
bukan lagi delik aduan dari korban. Bahkan dalam pasal 15 diungkapkan bahwa setiap orang
yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya KDRT wajib melakukan upaya-upaya
sesuai dengan batas kemampuannya, termasuk melaporkan ke polisi. Selama ini, adanya
ketentuan aduan dari korban membuat hanya 15,2 persen dari korban KDRT yang lapor ke polisi,
sebagaimana catatan Mitra Perempuan. Mayoritas korban memutuskan pindah dari rumah (45,2
persen). Bahkan ada 10,9 persen memilih berdiam diri (Suara Karya, 9/10/04). Dari sedikit yang
melapor tersebut, tidak semua berlanjut hingga ke pengadilan, sebab banyak yang kemudian
mencabut aduannya. Di Polda Metro Jaya misalnya, dari 118 kasus yang sampai ke proses
penyidikan antara tahun 2001-2003, hanya 19 kasus (16 persen) yang dilanjutkan sampai ke
tingkat penyidik umum (jaksa) dan pelaku divonis sesuai kesalahannya (Kompas, 1/12/2003).
Kedua, syaratnya lebih ringan, cukup dengan seorang saksi ditambah satu alat bukti sudah sah

27
dan dapat digunakan untuk membuktikan seseorang terdakwa bersalah. Korban KDRT bisa
menjadi saksi, tidak perlu lagi saksi lain. Hal ini akan mempermudah pembuktian mengingat
peristiwa KDRT yang umumnya hanya diketahui oleh pelaku dan korban dan terjadi di ruang
domestik, yang tertutup. Ketiga, lebih memberikan perlindungan pada korban. Bahkan bila
dicermati, masalah perlindungan korban mendapat porsi pengaturan yang besar, diatur dalam 22
pasal (dari pasal 16 38), 40 persen dari 55 pasal yang ada. Dalam pasal 16 misalnya dinyatakan
bahwa dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan KDRT,
kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban tanpa diskriminasi.
Keempat, memprioritaskan penyelesaian perkara KDRT, walaupun ada tuntutan balik yang
diajukan pelaku. Hal ini penting, karena selama ini ketakutan adanya tuntutan balik pelakulah
yang membuat korban tidak mau melaporkan kasusnya, karena umumnya korban tidak
mempunyai saksi atau alat bukti yang lain. Kelima, adanya wewenang kepolisian yang lebih
tinggi, sebab kepolisian dapat menangkap pelaku untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa
surat perintah (surat menyusul) terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah
perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas.
Terlebih penangguhan penahanan tidak berlaku. Keenam, adanya hukuman yang lebih berat.
Untuk pelaku kekerasan seksual misalnya dikenakan pidana penjara maksimal 12 tahun dan
denda Rp 36 juta (Pasal 46). Untuk pelaku pemaksaan hubungan seksual untuk tujuan komersial
dan atau tujuan tertentu dikenakan pidana minimal empat tahun dan maksimal 15 tahun atau
denda minimal Rp 12 juta dan maksimal Rp 300 juta (pasal 47). Bahkan bila mengakibatkan
korban luka tak bisa sembuh, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan, atau gugur atau
matinya janin dalam kandungan atau tak berfungsinya alat reproduksi dikenakan pidana penjara
minimal lima tahun dan maksimal 20 tahun atau denda minimal Rp 25 juta dan maksimal Rp 500
juta (pasal 48). Namun demikian, dalam implementasinya masih dijumpai kendala-kendala.
Kendala dalam penegakan UU PKDRT, antara lain adalah budaya patriarki masih melekat dalam
masyarakat kita; UU yang menjadi dasar pembentukan rumah tangga, yaitu UU Perkawinan
masih mengandung bias gender; UU PKDRT masih mengandung kelemahan, yaitu tidak
dimasukkannya kekerasan ekonomi dalam ruang lingkup KDRT, padahal dalam realita ada istri
yang dipaksa bekerja oleh suaminya di luar kapasitasnya atau suami menghambur-hamburkan
uang dari hasil jerih payah istrinya. Juga tidak dimasukannya kekerasan sosial, yaitu sikap atau
tindakan membatasi pergaulan istri, misalnya untuk mengikuti organisasi sosial, mengunjungi

28
famili, dll. Penganiayaan ringan dalam UU PKDRT dimasukkan dalam delik aduan, padahal
dalam KUHP merupakan delik biasa. Pasal 55 mengenai sistem pembuktian yang dianut UU
PKDRT rancu, baik dalam bunyi pasalnya itu sendiri maupun dalam penjelasannya, sehingga
dalam praktik dapat merugikan pihak korban. Selain itu, UU PKDRT belum tersosialisasi dengan
baik.

j. Contoh Kasus KDRT

Aniaya Bocah dengan Disetrika

indosiar.com, Karawang - Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) kembali terjadi di


Karawang, Jawa Barat. Kali ini dilakukan sepasang suami istri (pasutri) yang tega menganiaya
bocah perempuan berusia 10 tahun dengan berbagai pukulan benda tumpul serta menggunakan
setrika panas. Korban terpaksa dilarikan ke rumah sakit dengan sejumlah luka, sementara pelaku
kini mendekam di sel tahanan kepolisian. Marni Barus, warga Perumnas Bumi Teluk Jambi,
Kecamatan Teluk Jambi Timur, Karawang hanya bisa bertunduk dan menangis saat digiring
polisi ke ruang pemeriksaan. Perempuan yang memiliki tiga orang anak ini ditangkap petugas
akibat penganiayaan yang dilakukan bersama suaminya. Aksi kekerasan sendiri dilakukan
tersangka Marni terhadap Ayu Wandira, bocah perempuan berusia 10 tahun yang selama ini
tinggal dan dipekerjakan di rumahnya. Menurut tersangka, tindakannya yang membuat dirinya
harus berurusan dengan kepolisian terjadi lantaran khilaf. Korban dinilai sering berbohong, tidak
menuruti perintahnya serta mengambil makanan tanpa seijinya. Akibat perbuatannya Ayu
mengalami sejumlah luka di tubuh. Luka tersebut akibat pukulan hingga cubitan dan tamparan.
Bahkan luka akibat setrikaan hingga kini masih membekas dibagian lengan dan punggungnya.
Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya tersangka Marni harus mendekam di sel tahanan
Mapolres Karawang. Namun polisi membebaskan Sembiring, suami Marni lantaran tidak cukup
bukti. Sementara itu Ayu Wandira yang mengalami luka penganiayaan hingga kini masih
menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Karawang. (Zaenal Arifin/Sup)

2. Istri Usia 15 Tahun Disiksa Suami

indosiar.com, Garut - Reni Rismayanti (15 tahun) warga Kecamatan Leles, Kabupaten Garut ini,
hanya bisa merintih kesakitan saat dibopong petugas dari dalam mobil menuju tempat
pengobatan alternatif. wanita muda yang baru sebulan menikah ini, kerap disiksa suaminya.

29
Akibat penyiksaan tersebut, tulang pinggang belakang Reni patah hingga tak bisa berjalan.
Menurut Reni, awalnya ia hanya menegur suaminya yang pulang malam dalam keadaan mabuk.
Namun suaminya itu malah tak terima dan menyiksa Reni. Reni juga diancam akan dibunuh
Rendi, jika melapor kepada orang tuanya. Korban mengaku tindak penganiayaan itu, bukan yang
pertama. Ia sering ditonjok, ditendang bahkan disundut rokok oleh suaminya itu, serta pernah
disekap selama satu minggu didalam kamar, dengan makan seadanya. Karena tak kuat lagi
menahan penyiksaan, korban Reni bersama ibunya melapor ke polisi. Sementara suami korban
yang kabur melarikan diri, usai menyiksa istrinya itu, masih dalam kejaran petugas.(Deni
Muhammad Arif/Ijs)

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Muhammad Mustofa, Prevensi Masalah Kekerasan Di Kalangan Remaja, Depok: 1996


2. Jack D. Douglas & Frances Chaput Waksler, Teori-Teori Kekerasan, Jakarta: PT. Ghalia,

2002
3. At-Thahirah, Almira, (2006), Kekerasan Rumah Tangga Produk Kapitalisme (Kritik Atas

Persoalan KDRT), Bandung: UIN


4. Muhyari, (2002), Pembinaan Mental Terhadap Perempuan Korban Kekerasan, Semarang:

IAIN Walisongo
5. Tungka, Meyske dkk, 2007, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Salatiga: Batara Offset
6. Romli Atmasasmitha, Teori & Kapita Selekta Kriminolog, Bandung: PT. Eresco, 1992
7. Yesmil Anwar, Saat Menuai Kejahatan: Sebuah Pendekatan Sosiokultural Kriminologi

Hukum, UNPAD Press: Bandung, 2004


8. Zastrow, Charles & Bowker, Lee (1984), Social Problems: Issues and Solutions, Chicago:

Nelson-Hall
9. Jaffe, P., Wolfe, D., Wilson, S. and Zak, L. (1986), 'Family violence and child adjustment:

a comparative analysis of girls' and boys' behavioural symptoms', American Journal of

Psychiatry, vol.143, no.1, pp.74-7.


10. Lembaga Bantuan Hukum untuk Peremouan dan Keadilan (LBH APIK) Jakarta, (2002),

Angka Kekerasan di Jakarta tahun 1998-2002, Jakarta: LBH APIK


11. Departemen Hukum dan Ham, (2004), Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), Jakarta


12. Trisno Yuwono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, Surabaya: Arkola, 1994
13. http://www.lbh-apik.or.id/fact-58.htm, Sekilas Tentang Undang-Undang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga


14. Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2002

15. Amalia,E.2000. Kekerasan terhadap Perempuan dalam Keluarga:Analisa Kasus Pada

Beberapa Keluarga di Wilayah Ciputat.Jakarta:Unpudblished research report PSW IAIN

Syarif Hidayatullah

31
16. Benston, M. 1989."The Political Economy of Woment Liberation."Dalam Monthly

Review,41 (7),31-43.

17. Ciciek ,F. 1999. Ikhtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah

Tangga.Jakarta:LKAJ,PSP,The Asia Foundation

18. Connell,R.W.1987.Gender and power;Society,the person and sexual

politics.California:Stanford University Press

19. Darwin,M.1996."Kesehatan Reproduksi:Ruang Lingkup Dan Kompleksitas

Masalah."Populasi,7,(2)

20. Dewi,S.R.1996. Kekerasan Suami terhadap Istri di Masyarakat Perkotaan

Yogyakarta:Yogyakarta :Fakultas Psikologi UGM.

21. Dobash,R.E.,& Dobash, R.1979.Violence Against Wives:A Case Againts the

Patriarhhy.New York:The Free Press.

22. Fakih,M.1998."Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan: Prespektif Gender."Dalam Hj

Bainer(Ed). Wacana Perempuan Dalam Keindonesiaan dan Kemodeman. Yogyakarta:

Pustaka CIDESINDO

23. Frieze,I.H.1983."Investigating the Causes and Consequences of Marital Rape."Dalam

Signs 8,(3)

24. Gelles,R.J.1985.Domestic Violence:An Overview.Kingston:American Sociological

Association.

32
25. Harkrisnowo,H.2000."Hukum Pidana dan Kekerasan Terhadap Perempuan."Dalam

A.S.Luhalima(Eds).Pemahaman terhadap Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Perempuan

dan Alternatif Pemecahannya. Jakarta: Kelompok Kerja "Convention Watch", Pusat

Kajian Wanita dan Fewleral.

26. Meiyanti,S.1999. Kekerasan terhadap Perempuan dalam Rumah

Tangga.Yogyakarta:Pusat Penelitian Kependudukan UGM dan Ford Foundation.

27. Djanah, F. 2003. kekerasan terhadap Istri . Yogyakarta : LKIS

28. Erna, Zuraida Yuni W. 2006. Hubungan Antara Persepsi Kekerasan Suami Terhadap Istri

Dengan Sikap Terhadap Prekawinan Pada Wanita Lajang. Surakarta : Fakultas Psikologi

UMS

33

Anda mungkin juga menyukai