Anda di halaman 1dari 139

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
PENGANTAR REDAKSI

Perlindungan Hukum Terhadap Istri Sebagai


Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
I.A. Indah Sukma Angandari .................... 1-11
Strategi Penanggulangan Illegal Logging
Melalui Ekolabeling
I Wayan Suardana .................................. 12-29
Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Peran
Negara Dalam Perlindungan Pekerja
I Wayan Gde Wiryawan.......................... 30-42
Filsafat Praktis Dalam Tataran Konsep Etika
Bagi Pendidik, Suatu Tinjauan Pramagtis
Tentang Toxic World Sebagai Salah Satu
Penyebab Awal Anak Berdelikuensi
Vieta Imelda Cornelis ............................. 43-53
Alternatif Sanksi Pidana Penjara Terhadap
Anak Delinquent
I Nyoman Ngurah Suwarnatha............... 54-68
Penyelesaian Pelanggaran Ham Yang Berat
1998 Melalui Out Court System
Ika Amilatun Nazah Email ...................... 69-76
Kebebasan Pers Di Indonesia
Jimmy Z Usfunan ................................... 77-87
Eksistensi Hukuman Mati Ditinjau Dari
Persepspektif Hak Asasi Manusia (Hak
Untuk Hidup)
Sagung Putri M.E. Purwani .................... 88-97
Penyelesaian Pelanggaran Rahasia Dagang
Di Indonesia
Ida Bagus Ketut Weda ......................... 98-113
Ontologi Sila Kesatu Pancasila (Kajian
Hukum Tata Negara)
Tomy M Saragih ................................. 114-126
The Legal Protection Toward Remuneration
Of Performing Artist In Bali
Tjok Istri Sri Harwathy, Made Emy Andayani
Citra, Ni Luh Gede Yogi Arthani, And Dewi
Bunga Faculty Of Law, University Of
Mahasaraswati Denpasar. ................. 127-134

Daftar Riwayat Penulis .............................................


Ketentuan Umum Penulisan
Jurnal Advokasi ........................................................

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTRI SEBAGAI KORBAN


KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
I.A. Indah Sukma Angandari
Imogena Consultants &Development
dayuindahsukma@yahoo.co.id

Abstract:
Wholeness and harmony of the household may be disrupted if the quality and self-control can not be
controlled, which can ultimately lead to the occurrence of domestic violence. Domestic Violence is any
action against someone, especially his wife, which resulted in misery or suffering physical, sexual,
psychological. To prevent, protect the wife as a victim, and prosecution of domestic violence on
September 22, 2004, was approved the introduction of Law Number 23 Year 2004 on the Elimination
of Domestic Violence (PKDRT), which consists of 10 Chapters and 56 Articles. The law is expected to
provide legal protection for members in the household, particularly women, the most victims of
domestic violence.
Key words: Protection, violence and wife
Pendahuluan
Selama ini rumah tangga dianggap sebagai tempat yang aman karena seluruh anggota
keluarga merasa damai dan terlindungi. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang
bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga.
Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang
dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap
orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat
terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya
dapat mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul
ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga
tersebut.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai salah satu jenis kekerasan yang
berbasis gender dari waktu ke waktu terus meningkat. Hal ini pertama dilatarbelakangi oleh
budaya patriarki yang terus langgeng, kesetaraan gender yang belum nampak serta nilai
budaya masyarakat yang selalu ingin hidup harmonis sehingga cenderung selalu
menyalahkan perempuan.
Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis
kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di
dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota

keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan
fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan).

Pelaku dan korban tindak kekerasan

didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial,
tingkat pendidikan, dan suku bangsa.
Menurut pendapat Romli Atmasasmita, kekerasan jika dikaitkan dengan kejahatan,
maka kekerasan sering merupakan pelengkap dari kejahatan itu sendiri. Bahkan, ia telah
membentuk ciri tersendiri dalam khasanah tentang studi kejahatan. Semakin menggejala dan
menyebar luas frekuensi kejahatan yang diikuti dengan kekerasan dalam masyarakat, maka
semakin tebal keyakinan masyarakat akan penting dan seriusnya kejahatan semacam ini1.
Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah
tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan
penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI
Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan
dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Pada tanggal 22 September 2004, telah disahkan berlakunya Undang-undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yang terdiri
atas 10 Bab dan 56 Pasal. Undang-undang tersebut diharapkan dapat memberikan
perlindungan hukum bagi anggota dalam rumah tangga, khususnya perempuan, yang paling
banyak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Negara dan masyarakat wajib
memberikan perlindungan agar setiap anggota dalam rumah tangga terhindar dari ancaman
kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia.
Segala bentuk kekerasan harus dicegah dan dihapuskan, karena merupakan pelanggaran hak
asasi manusia.
Perlindungan Hukum dalam Kasus KDRT
Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tidak berarti bahwa perjuangan perempuan sudah selesai,
karena sebetulnya perjuangan perempuan masih panjang. Masih perlu dicermati, diikuti dan
diawasi, sejauh mana komitmen pemerintah dalam menjalankan kewajibannya untuk
melaksanakan undang-undang tersebut. Perlu diperhatikan problema apa saja yang timbul
1

Atmasasmita, Romli. 2007, Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Rafika Aditama, Bandung,
hal.63

dan bagaimana penanganan yang tepat untuk mencegah dan membebaskan anggota rumah
tangga, khususnya perempuan dari tindak kekerasan yang terjadi.
Kasus KDRT yang terjadi sesungguhnya dapat disebut sebagai fenomena gunung es.
Secara kuantitas sedikit yang terdata oleh karena faktor-faktor :
1) Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena
merupakan masalah keluarga dan bukan masalah sosial.
2) Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri,
kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi
bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.
3) Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.
4) Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.
5) Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.
6) Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.
7) Masih rendahnya kesadaran untuk berani melapor dikarenakan dari masyarakat
sendiri yang enggan untuk melaporkan permasalahan dalam rumah tangganya,
maupun dari pihak- pihak yang terkait yang kurang mensosialisasikan tentang
kekerasan dalam rumah tangga.
8) Masalah budaya, Masyarakat yang patriarkis ditandai dengan pembagian kekuasaan
yang sangat jelas antara laki laki dan perempuan dimana laki laki mendominasi
perempuan. Dominasi laki laki berhubungan dengan evaluasi positif terhadap
asertivitas dan agtresivitas laki laki, yang menyulitkan untuk mendorong
dijatuhkannya tindakan hukum terhadap pelakunya. Selain itu juga pandangan
bahwa cara yang digunakan orang tua untuk memperlakukan anakanaknya , atau
cara suami memperlakukan istrinya, sepenuhnya urusan mereka sendiri dapat
mempengaruhi dampak timbulnya kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT).
9) Faktor Domestik Adanya anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui
oleh orang lain. Hal ini menyebabkan munculnya perasaan malu karena akan
dianggap oleh lingkungan tidak mampu mengurus rumah tangga. Jadi rasa malu
mengalahkan rasa sakit hati, masalah Domestik dalam keluarga bukan untuk
diketahui oleh orang lain sehingga hal ini dapat berdampak semakin menguatkan
dalam kasus KDRT.
Menurut hemat penulis faktor-faktor tersebutlah yang mengakibatkan kekerasan dalam
rumah tangga semakin marak terjadi.Kekerasan merupakan salah satu bentuk dari
kejahatan, yang tentunya akan sangat mengganggu dan meresahkan masyarakat,
sebagaimana yang telah dikatakan oleh Bonger bahwa "Kejahatan adalah perbuatan yang
sangat anti sosial, yang oleh Negara ditentang dengan sadar.2
Kekerasan dalam lingkup rumah tangga atau keluarga banyak dilakukan oleh seorang
suami, Adapun bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri antara
lain :
1.

Kekerasan Fisik
2

Bonger, W.A.,1977, Pengantar Tentang Kriminologi, Terjemahan A. Koesnoen, Ghalia


Indonesia, Hal.23

2.

3.

4.

Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan
lain-lain) yang mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga
menyebabkan kematian.
Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina,
berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri,
meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya.
Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin
tergantung pada suami meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain,
kekerasan psikis juga dapat memicu dendam dihati istri.
Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan memaksa istri
untuk melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan
tidak memenuhi kebutuhan seksual istri.
Kekerasan Ekonomi
Kekerasan ekonomi adalah suatu tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam
atau di luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri
yang bekerja untuk di-eksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan
ekonomi keluarga. Sebagian suami juga tidak memberikan gajinya pada istri karena
istrinya berpenghasilan, suami menyembunyikan gajinya,mengambil harta istri, tidak
memberi uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi uang belanja sama sekali,
menuntut istri memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak mengijinkan istri untuk
meningkatkan karirnya.
Penulis berpendapat bahwa Kurang tanggapnya lingkungan atau keluarga terdekat

untuk merespon apa yang terjadi, dapat menjadi tekanan tersendiri bagi korban. Karena bisa
saja korban beranggapan bahwa apa yang dialaminya bukanlah hal yang penting karena
tidak direspon lingkungan, hal ini akan melemahkan keyakinan dan keberanian korban
untuk keluar dari masalahnya. Selain itu, faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap istri
berhubungan dengan kekuasaan suami/istri dan diskriminasi gender di masyarakat. Dalam
masyarakat, suami memiliki otoritas, memiliki pengaruh terhadap istri dan anggota keluarga
yang lain, suami juga berperan sebagai pembuat keputusan.
Pembedaan peran dan posisi antara suami dan istri dalam masyarakat diturunkan secara
kultural pada setiap generasi. Hal ini mengakibatkan suami ditempatkan sebagai orang yang
memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada istri. Kekuasaan suami terhadap istri juga
dipengaruhi oleh penguasaan suami dalam sistem ekonomi, hal ini mengakibatkan
masyarakat memandang pekerjaan suami lebih bernilai.
Kenyataan juga menunjukkan bahwa kekerasan juga menimpa pada istri yang bekerja,
karena keterlibatan istri dalam ekonomi tidak didukung oleh perubahan sistem dan kondisi

sosial budaya, sehingga peran istri dalam kegiatan ekonomi masih dianggap sebagai
kegiatan sampingan.3
Bergulirnya reformasi yang diikuti dengan demokratisasi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia berdampak pada upaya penegakan hukum dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia. Bangsa Indonesia sebagai negara demokrasi
menunjukkan salah satu ciri negara demokrasi adalah proteksi konstitusional atau kekuasaan
negara dilaksanakan berdasarkan konstitusi (rechstaats) bukan atas kekuasaan belaka.
Konstitusi kita mengatur pula tentang perlindungan hak asasi manusia.4
Pada asasnya, Hak Asasi Manusia menurut Bab I Pasal I angka 1 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia disebutkan merupakan seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu maka pada dasarnya menurut Paul Sieghart.5
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga memberikan perlindungan secara khusus bagi korban kekerasan yang terjadi
dalam lingkup rumah tangga, dan dilaksanakan berdasarkan asas penghormatan hak asasi
manusia, keadilan dan kesetaraan gender, non diskriminasi dan perlindungan korban, serta
mempunyai tujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga,
melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga serta memelihara
keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Konsepsi kekerasan sebagai kejahatan dalam konteks kehidupan berumah tangga,
sebagaimana yang dikonsepsikan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga selanjutnya disebut UU PKDRT, adalah
sebagai berikut:
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk

Baquandi,
2009,
Kekerasan
Dalam
Rumah
Tangga,
http://psikologi.or.id/mycontents/uploads/2010/10/kdrt.pdf diakses pada 18 Januari 2012
4
Romli Atmasasmita, Latar Belakang Penyusunan RUU tentang Pengadilan HAM di
Indonesia, Makalah disampaikan pada 18 Oktober 2000, Yogyakarta.
5
Paul Sieghart, 1986, The Lawful Rights Of Mankind, An Introduction To The International
Legal Code Of Human Rights, Oxford University Press, Inggris, hal.107

melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan


hukum dalam lingkup rumah tangga.
Disahkannya Undang-undang tersebut merupakan titik awal keberhasilan perjuangan
perempuan dalam memperoleh perlindungan terhadap kekerasan yang sering terjadi dalam
lingkup rumah tangga, yang sebelumnya dianggap sebagai urusan pribadi suami-isteri,
merupakan aib keluarga, tabu untuk diketahui dan dikemukakan kepada masyarakat.
Ketidakberdayaan perempuan yang disebabkan adanya keinginan untuk mempertahankan
posisi diri sebagai perempuan baik-baik dari keluarga yang terhormat, mengakibatkan
perempuan harus bersikap pasif dan mau menerima perlakuan apapun yang diperolehnya
demi mempertahankan citra perempuan baik-baik atau keluarga harmonis. Hal-hal
demikian ini yang menyebabkan adanya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak
terungkap dan tidak dapat diatasi.
Penulis berpendapat meskipun

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah disahkan bukan berarti bahwa
perjuangan perempuan sudah selesai, karena sebetulnya perjuangan perempuan masih
panjang dan harus diketahui apakah UU No. 23 Tahun 2004 digunakan secara cermat,
selektif dan limitative. Hal ini sependapat

Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh

Sudarto, apabila menggunakan upaya penal maka penggunaanya sebaiknya dilakukan


dengan lebih hati-hati, cermat, hemat, selektif, dan limitative. Penyusunan suatu perundangundangan yang mencantumkan ketentuan pidana haruslah memperhatikan beberapa
pertimbangan kebijakan sebagai berikut :
1.

2.

3.
4.

Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional,


yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil spiritual
berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana
bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap
tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman
masyarakat.
Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum
pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang
mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas masyarakat.
Penggunaan hukum pidana harus memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost
and benefit principle)
Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya
kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan
beban tugas (overbelasting)6

Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, hal. 44-48

Agar hukum itu berfungsi maka hukum harus memenuhi syarat berlakunya hukum
sebagai kaidah yakni:
a)

Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah
yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.
Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya,
kaidah itu dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh
warga masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya
pengakuan dari masyarakat.
Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai
positif yang tertinggi.7

b)

c)

Penulis berpandangan kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu persoalan sosial
yang menuntut penyelesaian, maka upaya untuk penanggulangan kejahatan telah dimulai terusmenerus. Salah satu usaha pencegahan dan pengendalian kejahatan itu ialah menggunakan
hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana. Hal ini sesuai dengan apa yang telah
diungkapkan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, bahwa ada tiga alasan mengenai perlunya
pidana dan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan yang pada intinya sebagai berikut :
a. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang
hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan
itu boleh menggunakan paksaan, persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan
dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batasbatas kebebasan pribadi masing-masing.
b. Ada usaha-usaha perbaikan perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi
si terhukum dan disamping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaranpelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu
saja.
c. Pengaruh pidana atas hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat,
tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang
mentaati norma-norma masyarakat.8
Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri dari
tiga tahap kebijakan yaitu :
a. Tahap kebijakan legislatif (formulatif) yaitu menetapkan atau merumuskan
perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh
badan pembuat undang-undang.
b. Tahap kebijakan yudikatif/ aplikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh aparat
penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif yaitu melaksanakan hukum pidana
secara konkrit, oleh aparat pelaksana pidana.9
7

H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 94.
8

Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah


Penegakan
Hukum
dan
Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal 152-153
9
Barda Nawawi Arief, 1998 Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.30

Dihubungkan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan hukum, penulis


mengutip pendapat Lawrence friedman dalam buku Hukum dan Masyarakat karangan
Satjipto Raharjo, hukum dilihat sebagai suatu sistem hukum yang utuh, yang terdiri dari 3
komponen, yaitu:
a.
b.
c.

Komponen substansi hukum, yang terdiri dari hasil aktual yang diberikan oleh sistem
hukum, misalnya norma-norma peraturan dan sebagainya.
Komponen struktur hukum, yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistim hukum
dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya hukum.
Komponen kultur atau budaya hukum, yaitu nilai-nilai yang merupakan kaidah yang
mengikat sistim serta menentukan sistim hukum itu di tengah kultur bangsa secara
keseluruhan.10
Bagi masyarakat Indonesia, lemah kuatnya penegakan hukum oleh aparat akan

menentukan persepsi ada tidaknya hukum. Bila penegakan hukum lemah, masyarakat akan
mempersepsikan hukum tidak ada dan seolah-olah mereka berada dalam hutan rimba,
sebaliknya, bila penegakan hukum kuat dan dilakukan secara konsisten, barulah masyarakat
mempersepsikan hukum ada dan akan tunduk. Oleh karenanya penegak hukum yang tegas dan
berwibawa dalam kehidupan hukum masyarakat sangat diperlukan. Patuh hukum bukanlah
tataran tertinggi, melainkan adalah setiap individu dalam masyarakat yang bersikap di bawah
alam sadar sesuai dengan tujuan. Kultur hukum di sini berkaitan dengan sikap sosial dan nilainilai sosial yang telah terpatri yang dipergunakan sebagai acuan normatif dalam perilaku.
Penulis berpandangan bahwa istri sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga berhak
mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial atau pihak lain baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan. Selain itu istri sebagai korban juga berhak memperoleh pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, penanganan secara khusus berkaitan dengan
kerahasiaan korban, pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum, pada setiap tingkat
proses pemeriksaan karena hal-hal tersebut telah diatur didalam ketentuan pasal-pasal yang telah
termuat didalam UU. No. 23 Tahun 2004 tentang pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.
Korban kekerasan dalam rumah tangga juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi
pemulihan dari tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/ atau pembimbing
rohani (Ketentuan Pasal 39 UU. No.23 Tahun 2004).

Sehingga Pemerintah mempunyai

kewajiban dan tanggungjawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga
(Ketentuan Pasal 12 UU No. 23 Tahun 2004). Sedangkan masyarakat berkewajiban melakukan

10

Satjipto Raharjo, 1986, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung.

upaya-upaya sesuai batas kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana,


memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat dan membantu
proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan Korban kekerasan dalam rumah tangga,
selain memperoleh perlindungan secara fisik dan psikis dari pemerintah dan masyarakat, korban
juga memperoleh perlindungan hukum, dengan pemberian sanksi pidana bagi pelaku kekerasan
dalam rumah tangga, yang diatur dalam ketentuan Pasal 44 sampai dengan Pasal 53 UU No. 23
Tahun 2004, dengan ancaman sanksi pidana yang berlainan, tergantung perbuatan yang
dilakukan, dengan ancaman sanksi paling berat yaitu pidana penjara selama 20 (dua puluh)
tahun atau denda Rp. 500.000.000,(Lima ratus juta rupiah), dan paling ringan 4 (empat) bulan
penjara atau denda Rp.5.000.000 (Lima juta rupiah).
Peran aparat penegak hukum, yaitu kepolisian, advokat dan pengadilan, dalam
memberikan perlindungan dan pelayanan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga,
diatur secara khusus oleh UU No. 23 Tahun 2004, sebagai berikut:
-

Kepolisian
Diatur dalam ketentuan Pasal l6 UU No. 23 Tahun 2004. Pada waktu kepolisian
menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, harus segera dijelaskan kepada
korban bahwa mereka mendapatkan pelayanan dan pendampingan. Kepolisian
memperkenalkan identitas mereka dan segera wajib melakukan penyelidikan serta wajib
melindungi korban. Selanjutnya kepolisian akan meminta surat penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan. Kepolisian dapat melakukan penangkapan dan penahanan
terhadap pelaku.
- Advokat
Diatur dalam ketentuan Pasal 25 UU. No. 23 Tahun 2004. Di dalam memberikan
perlindungan dan pelayanan, advokat wajib memberikan konsultasi hukum mengenai
hak-hak korban dan proses peradilan. Mendampingi korban pada penyidikan dan
pemeriksaan di dalam sidang, serta melakukan koordinasi dengan sesama penegak
hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan
sebagaimana mestinya.
- Pengadilan
Diatur dalam ketentuan Pasal 28 sampai dengan 34, 37 dan 38 UU. No. 23 Tahun 2004.
Pengadilan harus mengeluarkan surat penetapan perintah perlindungan bagi korban dan
anggota keluarga lain yang diajukan oleh kepolisian.
Penutup
Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri antara lain kekerasan
fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi. Kekerasan fisik adalah suatu
tindakan kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan lain-lain) yang mengakibatkan luka, rasa
sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga menyebabkan kematian. Kekerasan psikis adalah suatu
tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina, berkata kasar dan kotor) yang
mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan

10

untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat
mengakibatkan istri semakin tergantung pada suami meskipun suaminya telah membuatnya
menderita. Di sisi lain, kekerasan psikis juga dapat memicu dendam dihati istri. Kekerasan seksual
adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan memaksa istri untuk melakukan hubungan
seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan tidak memenuhi kebutuhan seksual istri.
Kekerasan ekonomi adalah suatu tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam atau di
luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri yang bekerja untuk
di-eksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sebagian suami
juga tidak memberikan gajinya pada istri karena istrinya berpenghasilan, suami menyembunyikan
gajinya,mengambil harta istri, tidak memberi uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi
uang belanja sama sekali, menuntut istri memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak
mengijinkan istri untuk meningkatkan karirnya.
Perlindungan terhadap istri sebagai Korban kekerasan dalam rumah tangga berhak
mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial atau pihak lain baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan dimana sudah diatur didalam UU. No. 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Adapun saran yang dapat penulis sampaikan
untuk mencegah agar istri tidak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga antara lain
peningkatan pendidikan bagi perempuan sehingga mereka menyadari hak-hak dan kewajibannya
sebagai warga negara dan warga masyarakat. Serta peningkatan kesempatan kerja dan lapangan
kerja bagi perempuan, sehingga secara ekonomi tidak tergantung sepenuhnya kepada suami/lakilaki. Sosialisasi peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan kepada istri
khususnya sosialisasi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga lengkap dengan peran dan fungsi Ruang Pelayanan Khusus (RPK).
Memberikan advokasi dan pendampingan bagi korban serta Memberikan advokasi kebijakan
pemerintah di dalam menyusun peraturan-peraturan yang melindungi istri.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembanqan
Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.
____________________, 2001, Masalah
Penegakan
Hukum
Penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya Baakti, Bandung.

dan

Kebijakan

11

Bonger, W.A.,1977, Pengantar Tentang Kriminologi, Terjemahan A. Koesnoen, Ghalia


Indonesia, Jakarta.
Romli Atmasasmita,
Bandung.

2007, Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Rafika Aditama,

Satjipto Raharjo, 1986, Hukum dan Masyarakat, PT. Angkasa, Bandung.


Sieghart, Paul, 1986, The Lawful Rights Of Mankind, An Introduction To The International
Legal
Code Of Human Rights, Oxford University Press
Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung
Zainuddin Ali, H., 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
MAKALAH
Romli Atmasasmita, Latar Belakang Penyusunan RUU tentang Pengadilan HAM di
Indonesia Makalah pada 18 Oktober 2000, Yogyakarta..

INTERNET
Baquandi,
2009,
Kekerasan
Dalam
Rumah
Tangga,
http://psikologi.or.id/mycontents/uploads/2010/10/kdrt.pdf diakses pada 18 Januari
2012

12

STRATEGI PENANGGULANGAN ILLEGAL LOGGING MELALUI


EKOLABELING
I Wayan Suardana
Dinas Kehutanan Provinsi Bali
wayan_suardana@rocketmail.com
Abstract:
Indonesia is one of country that has not been able to tackle illegal logging. Increasing quantities of
illegal logging results in deforestation. Deforestation is a threat to the lives of living things. To
overcome this deforestation, we need a sustainable forest management. One form of sustainable
forest management is ecolabeling or labeling of forest products is a form of forest inventory activities
play an important role in preventing deforestation. Basically, this application is a breakthrough
ecolabeling very well in the inventory of forest and prevent deforestation.
Key words: forest, deforestation, illegal logging and ecolabeling
Pendahuluan
Hutan merupakan aset besar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Meskipun
Kepulauan Indonesia hanya terdiri sekitar 1% dari seluruh daratan di permukaan bumi,
cadangan hutan alaminya merupakan yang terbesar di Asia dan kedua terbesar di dunia,
yang diperkirakan membentang seluas lebih dari 100 juta hektar. Hutan merupakan karunia
Tuhan yang tak ternilai harganya. Hutan memberikan manfaat besar untuk hidup dan
kehidupan bagi seluruh makhluk, terutama manusia. Bagi sebagian masyarakat Indonesia,
hutan merupakan sumber kehidupan. Disamping merupakan tempat penyedia makanan,
penyedia obat-obatan, juga menjadi tempat hidup bagi sebagian besar masyarakat.
Indonesia mulai memanfatkan hutan pada awal tahun 1970-an, melalui pembangunan
industri pengolahan kayu. Saat ini, Indonesia menjadi eksportir kayu lapis terbesar di dunia,
dan juga produksi kayu gelondongan, kayu olahan dan bubur kayu untuk produksi kertas.
Pada tahun 2001, terdapat data statistik yang akurat, produksi kayu menyumbang 1,1 %
Gross Domestic Product Indonesia dan sekitar US$ 5,1 miliar dari hasil ekspor. Walaupun
pentingnya industri kayu untuk ekonomi nasional, sektor ini menghadapi ancaman serius
dari maraknya praktik penebangan liar.11
Pada Januari 2003, pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa aktivitas penebangan liar
menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 30,24 trilliun (US$3,37 miliar). Selain itu, sekitar
11

Felicity
Williams,
2004,
Asia
Pulse
Analyst,
http://www.addthis.com/landing/?to=ffext&utm_source=el&utm_medium=link&utm_content=ATT
ool_orig&utm_campaign=AT_tooldl, diakses pada 3 Januari 2012.

13

322 dari 460 perusahaan yang beroperasi di bidang ini mengalami kegagalan diakibatkan
penebangan liar. Sebanyak 80% dari 70 juta meter kubik kayu setiap tahunnya diperjualbelikan
secara ilegal. Jumlah kayu selundupan dari Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, Sulawesi Utara, Riau, Aceh, Sumatera Utara dan Jambi yang diselundupkan ke luar
negeri seperti Malaysia, Cina, Vietnam dan India kira-kira mencapai 10 juta meter kubik tiap
tahunnya dan dari Papua sendiri bisa mencapai 600 ribu meter kubik.12
Di tahun 2001, Indonesia mengkonsumsi 19 juta kubik kayu dalam bentuk kertas, kayu
gelondong, kayu lapis dan produk lain. Di tahun yang sama, Indonesia mengekspor sejumlah
40,7 juta meter kubik dalam bentuk-bentuk tersebut. Tetapi laporan resmi mengenai penebangan
kayu pada tahun 2001 hanya sebanyak 10 juta kubik. Dengan kata lain, total jumlah penebangan
kayu yang sebanyak 59,7 juta meter kubik termasuk di dalamnya sekitar 50 juta meter kubik
kayu yang dihasilkan dari penebangan liar.
Penjagaan terhadap kelestarian hutan menjadi tanggung jawab semua pihak baik terhadap
pemanfaatan sumber daya hutan yang ramah lingkungan hingga dalam memproteksi hasil-hasil
hutan. Untuk itu badan-badan internasional yang memiliki kepedulian terhadap sumber daya
hutan ini memperkenalkan kebijakan ekolabel atau biasa pula disebut dengan ekolabeling.
Ekolabel berasal dari kata eco yang berarti lingkungan hidup dan label yang berarti suatu tanda
pada produk yang membedakannya dari produk lain. Ekolabel membantu konsumen untuk
memilih produk yang ramah lingkungan sekaligus berfungsi sebagai alat bagi produsen untuk
menginformasikan konsumen bahwa produk yang diproduksinya ramah lingkungan.
Dengan adanya penandaan melalui ekolabel ini, maka akan diketahui karakteristik
serta jumlah dari sumber daya yang ada di hutan. Ekolabel di Indonesia pada mulanya
diterapkan pada hutan-hutan di daerah Jawa yang rawan akan pencurian kayu atau
penebangan secara ilegal. Dengan inventarisasi semacam ini maka akan mudah bagi negara
dan pihak swasta pengelola hutan untuk mengetahui persediaan kayu-kayu yang diekolabel.
Deskripsi Singkat Illegal Logging di Indonesia
Hutan merupakan karunia Tuhan yang mengandung banyak nilai dan fungsi strategis
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sumber daya hayati ini memiliki begitu banyak
kekayaan di dalamnya yang dapat dipergunakan manusia untuk mempertahankan hidupnya.
Namun dewasa ini penebangan liar semakin banyak terjadi. Penebangan liar atau yang

12

Ibid.

14

kemudian sering diistilahkan dengan illegal logging bukan hanya dilakukan oleh masyarakat
di sekitar hutan namun juga dilakukan oleh kelompok-kelompok yang terorganisir.
Istilah illegal logging sampai saat ini belum pernah ditemukakan dalam peraturan
perundang-undangan manapun. Definisi illegal logging itu sendiri belum menemukan bentuk
bakunya. Perbedaan dalam menentukan definisi ini seringkali terjadi, baik antara tataran lokal,
tataran international dan masyarakat. Dalam The Comtemporary English Indonesian Dictionary
sebagaimana yang diikuti Salim, illegal artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan
hukum, haram. Dalam Blacks Dictionary, illegal artinya forbidden by law; unlawsfuls artinya
yang dilarang menurut hukum atau tidak sah. Log dalam bahasa Inggris artinya batang kayu
atau kayu gelondongan dan logging artinya menebang kayu dan membawa ke tempat
gergajian.13

Dari aspek implikasi semantik illegal logging sering diartikan sebagai praktik

penebangan liar. Adapun aspek integratif, illegal logging diartikan sebagai praktik pemanenan
kayu beserta prosesnya secara tidak sah atau tidak mengikuti prosedur dan tata cara yang telah
ditetapkan. Proses tersebut mulai dari kegiatan perencanaan, perjanjian, permodalan, aktifitas
memanen, hingga pasca pemanenan yang meliputi pengangkutan, tata niaga, pengolahan,
hingga penyelundupan.14
Illegal logging bukanlah sebuah masalah baru. Usianya hampir sama dengan sejarah
penebangan komersial itu sendiri. Di Indonesia, sejak zaman penjajahan Belanda, pencurian
kayu kecil-kecilan sering dilakukan di tanah-tanah yang diberikan izin konsesi penebangan oleh
Belanda. Bahwa illegal logging menjadi perhatian yang sedemikian besar pada saat ini tidak
lain karena skala dan intensitasnya yang memang sangat luar biasa. Illegal logging atau
penebangan yang tidak sah muncul sebagai akibat dari peningkatan kapasitas industri kayu yang
yang tidak diimbangi dengan analisa terhadap daya dukung lingkungan, penghormatan terhadap
hak-hak tenurial, persiapan hutan tanaman industri yang akan mensuplai bahan baku dan
kecenderungan untuk melihat hutan sebagai potensi ekonomi berdasarkan tegakan pohon yang
ada didalamnya. Hutan itu sendiri dipandang dengan sudut pandang yang berbeda baik oleh
masyarakat, perusahaan, pemerintah daerah dan pemerintah pusat.15

13

Salim, 2005, Illegal Logging Dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua)
cetakan pertama, Universitas Atma jaya, Yogyakarta, hal. 72.
14
Rahmi Hidayati D. dkk., 2006, Pemberantasan Illegal Logging dan Penyelundupan Kayu
Melalui Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutanan, Wanaaksara, Tangerang,
hal. 128.
15
Rully Syumanda, ____, Deforestasi dan Illegal Logging, http://rullysyumanda.org/naturalresources/forest/moratorium-logging-a-forest-conversion/54-deforestasi-dan-illegal-logging.html,
diakses pada 3 Januari 2012.

15

Sebuah penelitian dari World Bank mengestimasikan bahwa dalam 40 tahun


Indonesia akan menjadi tandus, dan faktor penyebab utamanya adalah praktek penebangan
kayu tanpa perhatian (World Bank, 1986). Pada tahun 2002, Departemen Kehutanan
memperkirakan luas kawasan hutan yang terdegradasi mencapai 59,7 juta hektar dengan
lahan kritis didalam dan diluar kawasan mencapai 42,1 juta hektar. Hingga 1999 hingga
2000, kapasitas produksi industri kehutanan meningkat menjadi 74 juta meter kubik
pertahun. Sementara itu Departemen Kehutanan menyebutkan bahwa produksi kayu yang
ditebang secara legal pada tahun 2000 hanya mencapai 17 juta meter kubik. Bila produksi
ini ditambah dengan kayu impor (yang menurut berbagai kalangan nilainya sangat kecil dan
tidak signifikan) yang mencapai 3 juta meter kubik, maka kita mendapatkan pasokan kayu
sebesar 20 juta meter kubik. Sampai disini, diketahui defisit untuk memenuhi kebutuhan
kayu bagi industri mencapai angka 54 juta meter kubik. Jika diestimasi seluruh perusahaan
tidak menggenjot angka produksinya dengan maksimal, asumsi ini memungkinkan
mengingat mesin yang sudah tua, sehingga kapasitas produksi hanya 80 persen, maka akan
mendapatkan gambaran defisit sebesar 39,2 juta meter kubik setiap tahunnya.
Dengan angka defisit seperti ini, ditambah gambaran bahwa pada tahun 2000 tidak
ada satupun catatan yang menunjukkan terjadinya kebangkrutan disektor industri kayu,
maka bisa dipastikan bahwa pada tahun 2000, lebih kurang 39 juta meter kubik kayu yang
ditebang di Indonesia adalah ilegal. Angka tersebut sekaligus menggambarkan bahwa laju
deforestasi pada tahun 2000 mencapai 1,85 juta hektar dengan kerugian nominal langsung
dari kayu mencapai 47,01 trilyun rupiah.
Pada tahun 2003, meskipun pemerintah hanya memberikan jatah tebang sebesar 6,8
juta meter kubik namun Departemen Kehutanan sendiri memperkirakan bahwa kapasitas
produksi industri kehutanan mencapai 73 juta meter kubik. Sedangkan kemampuan hutan
alam hanya mencapai 22 juta meter kubik pertahun dengan perincian 7 juta meter kubik dari
hutan alam dan 15 juta meter kubik dari hutan tanaman industri. Dengan figur ini dapat
dipastikan bahwa 36,4 juta meter kubik kayu yang ditebang di Indonesia adalah illegal.
Angka ini sekali lagi menggambarkan laju deforestasi di Indonesia pada tahun yang sama
mencapai 1,825 juta hektar pertahun dengan kerugian nominal mencapai 43,680 trilyun
rupiah. Pada tahun 2006, sebagian besar hutan tanaman di Sumatera dan Kalimantan sudah
mulai mampu memenuhi kebutuhan industri sehingga pasokan bahan baku mencapai 46,7
juta meter kubik. Namun ini pun belum mampu memenuhi kebutuhan industri yang juga
meningkat, akibat peningkatan produksi industri pulp, yang mencapai 96,19 juta meter

16

kubik. Dengan figur ini dipastikan 30 juta meter kubik kayu ditebang secara illegal sehingga
menciptakan angka deforestasi sebesar 2,6 juta ha. Belum termasuk kayu yang
diselundupkan ke Malaysia yang diperkirakan mencapai 10 juta meter kubik setiap
tahunnya.
Dengan kondisi kekurangan bahan baku resmi dimulailah pembalakan besarbesaran dalam sejarah industri kehutanan di Indonesia. Pada awal tahun 2000, seorang
pejabat senior Departemen Kehutanan mengakui bahwa industri pengolahan kayu telah
diizinkan melakukan ekspansi tanpa mempertimbangkan kemampuan pasokan kayu yang
tersedia, sehingga menyebabkan kelebihan kapasitas. Kegagalan memasok kayu secara
resmi sebagian besar ditutupi dengan pembalakan illegal, yang telah mencapai proporsi
epidemis.
Sampai disini, sudah jelas bahwa illegal logging adalah sebuah aktivitas kehutanan
yang tidak saja merugikan secara lingkungan namun juga menciptakan sejumlah masalah
besar lainnya baik dalam perannya dalam penghancuran sistem ekonomi maupun perannya
sebagai pemicu konflik. Demikian halnya menjadi mustahil untuk menyangkal bahwa
illegal logging adalah produk pokok masalah struktural di sektor kehutanan yang terus
menyebar. Sejak tahun 2001 hingga 2006, diperkirakan angka kayu yang ditebang secara
illegal mencapai 23,323 juta meter kubik setiap tahunnya. Jika dikalkulasi secara finansial,
illegal logging tersebut menciptakan kerugian negara sebesar Rp. 27,9 trilyun setiap tahun
sejak tahun 2001.
Untuk mengatasi hal tersebut maka pemerintah menerapkan kebijakan operasi hutan
lestari. Operasi hutan lestari ini dimaksudkan untuk mencegah pembalakan liar melalui
pengawasan dari departemen Kehutanan. Operasi hutan lestari, meskipun mampu menekan
keinginan orang untuk melakukan pembalakan secara liar namun dianggap belum mampu
memenuhi target. Rata-rata setiap tahun, hanya 8 persen dari kayu yang tertebang secara
illegal berhasil ditangkap. Dengan demikian kejahatan ini memang memerlukan konsentrasi
yang tinggi untuk diselesaikan.
Fenomena illegal logging ini dapat dilihat secara kasat mata dengan menggunakan
data-data resmi antara negara pengekspor dengan negara pengimpor. Sebagai contoh, pada
tahun 2000, catatan pemerintah menunjukkan Indonesia tidak mengimpor sebatang kayu
bulat pun ke Malaysia, sementara data di negara tersebut menunjukkan bahwa Malaysia
telah mengimpor kayu bulat dari Indonesia sebesar 623.000 meter kubik. Sementara itu di
Cina, angka impor kayu lebih besar 103 kali dari angka ekspor kayu dari Indonesia. Seperti

17

fenemona gunung es, realitas "illegal logging" dan illegal trade tentu saja lebih besar dari
angka-angka resmi tersebut.
Praktek Illegal logging dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian,
mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran
kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar, diantaranya berupa
pendapatan negara kurang lebih US$ 1.4 milyar setiap tahun. Kerugian tersebut belum
menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat
dihasilkan dari sumberdaya hutan.
Penebangan hutan secara illegal ini tentunya memerlukan penanganan secepatnya
sebab penyelesaian kasus ini selalu berpacu dengan waktu. Deferostasi yang terus-menerus
dibiarkan akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang lebih parah, dan kalau sudah
seperti itu tentu penanganannya akan semakin sulit. Penanganan tersebut bukan hanya
bersifat represif namun juga bersifat preventif. Salah satu upaya preventif yang dapat
dilakukan adalah dengan menginventarisasi persediaan keanekaragamanan hayati di hutan.
Upaya inilah yang selanjutnya dikenal dengan prinsip ekolabeling. Inventarisasi yang
dilakukan dengan ekolabeling memerlukan pengorganisasian yang solid, sebab walaupun
hutan merupakan tanggung jawab negara namun hal tersebut tidak menutup akses bagi
pihak swasta dan masyarakat untuk turut berpartisipasi. Praktiknya, ekolabeling ini
kebanyakan dilakukan oleh pihak swasta baik yang bertujuan komersial maupun lembaga
swadaya masyarakat.
Konstruksi Pemikiran Ekolabeling
Sejak tahun 1990 ekspor kayu lapis memberikan hasil devisa non migas kedua
terbesar setelah tekstil. Pada tahun 1993 hingga 1994 besarnya pangsa ekspor kayu lapis
terhadap total ekpor produk kehutanan adalah sebesar 70,8% dan terhadap total ekspor non
migas sebesar 17,5%. Peningkatan produksi dan volume ekspor kayu lapis Indonesia yang
cukup pesat memberikan sumbangan devisa yang sangat besar pula. Sejak tahun 1975
hingga 1986, kayu lapis hanya memberikan sumbangan sekitar 21,5 % dari total ekspor
hasil hutan, sekitar 5,3 % dari total ekspor Indonesia. Hingga tahun 1996 kayu lapis telah
memberikan sumbangan devisa yang cukup besar yaitu sekitar 70,7 % dari total ekspor hasil
hutan, 16,7 % dari nilai total ekspor Indonesia.16
16

Amiluddin dan Isang Gonarsyah, _____, Analisis Ekonometrika Keragamanan Pasar


Kayu Lapis Indonesia dan Dampak Kemungkinan Diberlakukannya Liberalisasi Perdagangan,
http://www.google.com, diakses pada 3 Januari 2012.

18

Ekspor kayu lapis Indonesia pada 2010 ke Jepang, Uni Eropa, Timur Tengah dan AS
diperkirakan naik 20% dibandingkan dengan realisasi ekspor 2009 sebanyak 3,1 juta ini.
Keyakinan itu mengacu pada peningkatan permintaan pasar internasional, terutama Jepang
yang menyerap 50% ekspor kayu lapis asal lndonesia. Harga pasar kayu lapis yang berlaku
di pasar internasional pada 2010, diprediksi berkisar pada US$ 500 hingga US$ 550/m.
Sebelum situasi krisis keuangan global, harga yang berlaku US$ 450 hingga US$500/m.
Produk kayu lapis nasional, katanya, sebenarnya mengalami peningkatan jika dibandingkan
2008 yang tercatat 3,6 juta m. Produk kayu lapis ekspor tercatat 3,1 juta rn, angka itu belum
termasuk produk kayu lapis yang dikonsumsi di dalam negeri yang jumlahnya 1,5 juta m.
Kalau melihat kapasitas kayu lapis yang diekspor pada 2009 tercatat 3.1 juta m memang
menurun jika dibandingkan ekspor kayu lapis 2008 yang tercatat 3,6 juta rn1.
Produksi kayu lapis nasional pada 2009 tidak turun karena sebagian hasil produksinya
sebesar 1,5 juta m1 dijual di dalam negeri. Banyak produsen yang memasarkan kayunya
untuk pasar domestik. Sementara itu, pemerintah hendaknya tidak hanya bersikap optimistis
akan terjadi kenaikan investasi. Sebaiknya pemerintah mengambil langkah mempersiapkan
aturan tentang kemudahan ekspor dan memperbaiki kualitas ekspor kayu yang akan
diekspor. Permintaan pasar internasional terhadap kayu lapis Indonesia, tetap tinggi.
Namun, apakah hasil produksi kayu nasional memiliki daya saing di pasar internasional, itu
yang dipertanyakan. Perusahaannya setiap tahun memperoleh pesanan dari Amerika Serikat
sebesar 4.000 rn hingga 5.000 rn. Pada 2010 ada kenaikan permintaan hingga 6.000 in
Harganya pun masih lebih baik, bisa mencapai US$550. Daya saing kualitas kayu nasional
di pasar global, sebagian besar masih belum memenuhi standar yang ada.17
Menyimak dari data yang telah disajikan sebelumnya maka dapat diketahui bahwa
sebenarnya kualitas kayu lapis Indonesia masih berada di bawah negara pengekspor kayu
lapis lainnya. Hal ini disebabkan karena pengkajian yang teliti dari negara pengimpor
mengenai asal-usul dari kayu lapis tersebut. Kayu lapis di Indonesia disinyalir berasal dari
hutan produksi yang tidak ramah lingkungan, sementara itu isu global yang semakin
berkembang membawa kecenderungan bagi negara pengimpor untuk membeli kayu dari
negara yang penghasil yang ramah lingkungan.
Ekspor kayu kini juga dihadapkan dengan tingginya angka illegal logging. Buruknya
pola penanganan konvensional oleh pemerintah sangat mempengaruhi efektivitas penegakan
17

Erwin Tambunan (Bisnis Indonesia), 2010, Ekspor kayu lapis 2010 akan naik 20%,
http://bataviase.co.id/bataviase/search/?search_block_form=, diakses pada 3 Januari 2012.

19

hukum. Pola penanganan yang hanya mengandalkan 18 instansi sesuai ketentuan dalam
Inpres No.4 Tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara illegal di kawasan
hutan dan peredarannya di seluruh wilayah republik Republik Indonesia, dalam satu mata
rantai pemberantasan illegal logging turut menentukan proses penegakan hukum, di
samping adanya indikasi masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia akibat dari sistem
politik dan ekonomi yang korup. Kekebalan para dalang / mastermind/ aktor intelektual/
backing/ pemodal/ pelaku utama terhadap hukum disebabkan adanya keterlibatan oknum
aparat penegak hukum menjadi dinamisator maupun supervisor dan sebagian bahkan
menjadi backing bisnis ini. Besarnya uang yang beredar sekitar US$1.3 milyar
(WWF/World Bank, 2005), serta banyaknya pihak yang turut menikmati hasil bisnis ilegal
ini, punya andil yang cukup besar untuk mempengaruhi proses kegagalan dalam
penanganan kejahatan kehutanan seperti illegal logging.
Penebangan liar menjadi isu politik utama tidak hanya di Indonesia tetapi juga di
beberapa negara importir seperti Jepang dan Inggris. Salah satu perusahaan pengolahan
kayu terbesar di Indonesia, Asia Pulp and Paper (APP), baru-baru ini didesak untuk
membersihkan praktik penebangan liar setelah sebuah konsumen dari perusahaan besar di
Jepang memperingatkan bahwa mereka mungkin akan berhenti membeli kayu lapis dari
perusahaan tersebut. Pada perjanjian awal dengan World Wild Fund for Nature (WWF),
APP telah memperuntukkan 58.500 hektare dari area konsesinya di Riau untuk area
konservasi dan berjanji berbuat sebaik mungkin untuk menghentikan penebangan liar di
areal mereka. Pada bulan Juni 2003, pemerintah Inggris mengeluarkan peraturan yang
melarang impor produksi kayu dari Indonesia yang berasal dari penebangan liar. Larangan
tersebut akhirnya kini telah dicabut.18
Buruknya pola penegakan hukum dalam menjerat pelaku illegal logging selama ini,
semakin mendorong peran CSO yang selama ini memberi perhatian terhadap maraknya
tindak pidana illegal logging di Indonesia. Perlu adanya pergeseran yang drastis dalam pola
penanganan tindak pidana illegal logging. Strategi tersebut bisa berupa strategi penanganan
bersama antara CSO yang selama ini melakukan investigasi di lapangan dan aparat penegak
hukum yang berwenang. Baik itu dari segi pendekatan hukum, peningkatan kapasitas aparat
maupun keterlibatan masyarakat/ CSO untuk menjerat mastermind pelaku illegal logging.19

18

Ibid.
Icel, 2006, Konferensi Nasional Pemberantasan Illegal Logging, http://www.icel.or.id/.,
diakses pada 3 Januari 2012.
19

20

Berdasarkan hasil analisis organisasi non pemerintah FWI dan GFW, dalam kurun
waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total
tutupan hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di
Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan
sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta
keuntungan pribadi.
Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak
dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan
hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta
hektar per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan
sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang
sama. Menurut analisis World Bank, hutan di Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun
2010.
Peningkatan kualitas ekspor kayu, maraknya illegal logging yang berakibat pada
deforestasi hutan memerlukan suatu manajemen penataan hutan yang profesional.
Berdasarkan hal tersebut maka dipopulerkanlah istilah ekolabeling melalui suatu lembaga
ekolabel.

Pada tahun 2003, Lembaga Ekolabel Indonesia kemudian ditunjuk untuk

memprakarsai penyusunan definisi Kayu Sah. Melalui serangkaian pertemuan yang alot,
kemudian ditemukan definisi sah tidaknya kayu. Kayu disebut sah jika kebenaran asal
kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumentasi
angkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindah-tanganannya dapat dibuktikan
memenuhi semua persyaratan legal yang berlaku.
Persyaratan kayu yang legal sebagaimana dikemukakan oleh Lembaga Ekolabel
Indonesia merupakan dasar yuridis dari pengusahaan hutan. Kekayaan alam merupakan
modal pembangunan nasional sehingga perlu digali dan dimanfaatkan secara optimal.
Penggalian kekayaan tersebut harus dilakukan dengan pengusahaan hutan secara modern di
seluruh Indonesia. Pengusahaan secara modern ini akan memberikan hasil yang sebesarbesarnya apabila dilaksanakan pada wilayah kerja yang cukup luas sehingga merupakan
proyek produksi dan industri hasil hutan. Pengusahaan hutan tidak hanya menjadi monopoli
Pemerintah dengan Badan Usaha Milik Negaranya, tetapi keterlibatan pihak swasta juga
sangat diperlukan.
Pengusahaan hutan sangat diperlukan untuk membangun perekonomian bangsa dan
masyarakat. Pemanfaatan sumber daya alam yang ada di hutan ini harus dapat memberikan

21

manfaat bagi kemakmuran rakyat dan senantiasa memperhatikan kelestarian sumber daya
alam hutan agar mampu memberikan manfaat yang terus menerus.
Ekolabeling Sebagai Bentuk Inventarisasi Hutan
Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonsesia Tahun 1945
menyatakan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari rumusan Pasal ini,
dapat dilihat bahwa kemakmuran rakyat merupakan tujuan akhir dari penggunaan kekayaan
alam sedangkan negara berfungsi sebagai pengelola bukan pemilik. Dengan demikian
negara memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan hutan. Dalam pengelolaan hutan ini,
negara dapat bekerjasama dengan lembaga pengelola atau perencanaan di bidang kehutanan
dalam menata manajerial dengan melibatkan badan-badan dunia. Tujuannya adalah untuk
mewujudkan pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forest management), seperti
International Tropical Timber Organization Forest Management yang diterapkan pada
tahun 2003.20
World Wide Fund for Nature (WWF), telah menyusun target pengelolan hutan
berkelanjutan untuk seluruh dunia, yang dimulai pada tahun 1995, dan Forest Stewardship
Council (FSC), suatu badan internasional yang dapat memberikan akreditasi dan memantau
program sertifikasi, dengan maksud untuk memberikan jaminan kepada pengusahaan
pengelolaan hutan agar kegiatannya sesuai dengan standar pengelolaan hutan berkelanjutan
dilakukan oleh lembaga ekolabeling.21
Kebutuhan akan hasil kayu semakin meningkat karena kayu merupakan sumber
pemenuhan bagi kebutuhan primer manusia yakni kebutuhan akan perumahan. Pengelolaan
terhadap jumlah dan optimalisasi penggunaan kayu ini perlu dilakukan secara tepat, cepat
dan terpadu. Oleh sebab itu lembaga-lembaga yang mengatur mengenai hasil hutan berupa
kayu mulai bermunculan. Salah satu lembaga trersebut adalah lembaga ekolabeling.
Lembaga ekolabeling ini dibentuk oleh negara-negara Barat atau negar-negara industri yang
ingin menekan negara-negara yang memiliki hutan tropis agar menghentikan pengambilan
aset hutan, karena pengambilan aset hutan yang tidak terkendali akan menimbulkan
kerusakan ekosistem.

20

Surna T, Djajadiningrat,Imam Hendargo Ismoyo dan Rijaluzaman, 1995, Ecolabeling dan


Kecenderungan Lingkungan Hidup Global, Pen. Rena Pariwara, Jakarta, hal. 1.
21
Bambang Pamulardi, 1995, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal 94 dan 98.

22

Berdasarkan hal tersebut maka tergambarkan bahwa kegunaan ekolabel adalah untuk
membantu konsumen membuat suatu pilihan, karena ekolabel memungkinkan adanya
perbandingan antara produk-produk sejenis. Ekolabel yang dapat dipercaya diberikan
melalui proses sertifikasi oleh pihak ketiga yang independen untuk menilai bahwa suatu
produk diproduksi dengan mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian lingkungan hidup.
Mengacu pada GATT (General Agreement on Tariff and Trade), ekolabel didasarkan
pada non-diskriminasi dan atas dasar sukarela. Dasar sukarela menekankan bahwa sistem
sertifikasi bekerja atas dasar insentif pasar. Produsen ikut serta ketika melihat ada insentif
pasar

sebagaimana

WTP

bagi

produk-produk

berlabel atau

kesempatan

untuk

mengembangkan pasaran baru atau mereka tidak melakukan ancaman boikot ketika tidak
mendapatkan insentif pasar. Pemilihan kategori produk memasukkan seluruh produk-produk
sejenis dan menerapkan standar-standar yang sama guna menghindari diskriminasi
perdagangan, hal ini mengacu pada Pasal 7 Kesepakatan Technical Barriers to Trade (TBT)
GATT. (LEI, 1994).22
Tahun 1997 hingga 1998 produk kayu lapis masih merupakan komoditas andalan.
Namun mengingat meningkatnya persaingan terhadap produk kayu lapis Indonesia, maka
produksi kayu lapis massal (raw plywood) diarahkan pada produk kayu lapis yang sudah
diproses lebih ke hilir (processed plywood). Persaingan produk kayu-kayu tropis dengan
kayu non tropis akan semakin ketat, terlebih dengan diberlakukannya ekolabeling yaitu
penggunaan label terhadap produk yang ramah lingkungan. 23 Produk-produk yang dapat
diterima di pasaran, terutama di pasar internasional adalah produk yang dihasilkan dari
pengelolaan hutan yang ramah lingkungan. Dengan demikian penerapan ketentuan
ekolabeling dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan merupakan suatu proses yang perlu
terus dikembangkan.
Meningkatnya persaingan produk kayu-kayu tropis terhadap kayu non tropis dan
bahan substitusinya menuntut pengusaha kehutanan untuk mencari peluang-peluang pasar
yang baru. Untuk itu perusahaan kehutanan harus meningkatkan kualitas, efisiensi,
diversifikasi pasar dan diversifikasi produk dalam menghadapi persaingan tersebut. Selain
kayu lapis, produk pulp dan kertas, produk kayu olahan lanjutan lainnya, hasil hutan non
kayu seperti gondorukem, lak dan jasa juga menjadi komoditas andalan karena
22

Muhlasin, 2008, Ekolabeling, Strategi Bisnis Jitu Peduli Hutan, http://www.pewartakabarindonesia.blogspot.com, diakses pada 3 Januari 2012.
23
Suara Pembaruan, 2009, Produk Kayu Lapis Masih Jadi Komoditas
Andalan,:http://google.com, diakses pada 3 Januari 2012.

23

menunjukkan permintaan yang meningkat. Oleh karena itu para pengusaha juga harus
memperhatikan komoditas itu.
Diingatkan, walaupun boikot terhadap kayu tropis tidak dibenarkan dalam
kesepakatan internasional, tetapi ternyata masih ada kelompok masyarakat dan walikota
yang tetap memboikot, antara lain di Jermandan Belanda. Oleh karena itu untuk pasaran
Eropa tahun 1997 hingga 1998 perlu diarahkan pada pasaran negara-negara yang
masyarakatnya tidak memboikot. Seperti telah diketahui, dalam kesepakatan internasional
yang telah dicapai dalam sidang International Tropical Timber Organization (ITTO) 1996
yang berkaitan dengan ekolabeling dan perdagangan bebas, tindakan-tindakan unilateral
(sepihak) seperti boikot terhadap kayu tropis tidak dibenarkan.
Permasalahan yang menyangkut perdagangan kayu tropis harus diselesaikan secara
multilateral, bahkan perlu adanya tindakan-tindakan konkrit yang mendorong peningkatan
pasaran kayu tropis. Selain itu tidak dibenarkan membedakan perlakuan antara kayu tropis dan
kayu non tropis (non discriminatory treatment). Untuk hal ini telah diputuskan dalam sidangsidang pendukung Intergovernmental Panel on Forest (IPF) tahun 1996.
Mengenai pelaksanaan ekolabeling harus disesuaikan dengan keadaan masing-masing
negara serta harus disepakati antara negara produsen dan konsumen. Sedangkan target tahun
2000 yang telah diputuskan dalam sidang ITTO tahun 1992 adalah menyangkut pengelolaan
hutan secara lestari atau Sustainable Forest Management (SFM), di mana kriteria dan indikator
SFM perlu disusun dan dilaksanakan. Ekolabeling sangat penting dan dibutuhkan oleh
Indonesia. Karena sebagai anggota International Tropic Timber Organization (ITTO) yang
berkedudukan di Yokohama, Indonesia telah sepakat untuk melaksanakan ekolabeling produk
kehutanan mulai tahun 2000.
Organisasi kayu tropis dunia (ITTO) yang terdiri dari negara produsen dan konsumen
kayu tropis telah menetapkan pemberlakuan ekolabel mulai tahun 2000. Artinya mulai
tahun itu seluruh kayu tropis yang diperdagangkan di dunia internasional harus berasal dari
hutan yang dikelola secara lestari. Selama beberapa waktu ini, telah disusun tolak ukur
pengelolaan hutan yang berwawasan lingkungan, yaitu apakah hutan dikelola secara
berkelanjutan, apa dampak pengelolaan tersebut

terhadap lingkungan, keanekaragaman

hayati, erosi sungai dan sebagainya. Dan yang terakhir adalah apa dampak pengelolaan
hutan itu terhadap masyarakat sekitar hutan, apakah bermanfaat atau tidak.24

24

Ibid.

24

Tujuan dari pelaksanaan ekolabeling di Indonesia semula memang untuk menjaga


kelestarian hutan tanaman khususnya tanaman Jati di pulau Jawa yang semakin menipis.
Dengan pemberlakuan sertifikasi yang persyaratannya sangat ketat, diharapkan pencurian
kayu Jati di pulau Jawa bisa teratasi. Perhutani sendiri mulai menjadi anggota SmartWood
sekitar tahun 1990 lalu. Pada awalnya semua kawasan hutan tanaman Perhutani disertifikasi.
Namun sekitar tahun 1996-1997 dilakukan perubahan kebijakan dari Rainforest Alliance,
yaitu sertifikasi diberikan pada tingkat KPH akibat tidak konsistennya kinerja antar KPH
dalam sistem Perhutani. Selain Perhutani, di Jateng juga terdapat 32 pengusaha sekaligus
eksportir kayu juga menjadi anggota SmartWood. Semula proses kerjasama antara
pengusaha sekaligus eksportir kayu, Perhutani dan pihak Rainforest Alliance berjalan lancar
dan saling pengertian. Sehingga pihak Rainforest Alliance juga memberikan kepercayaan
besar kepada anggotanya untuk mencetak sendiri label SmartWood dengan memberikan
master label SmartWood kepada para pengusaha bersangkutan. Ini dilakukan mengingat
terbatasnya jumlah personil Rainforest Alliance yang berada di Indonesia. (Kedaulatan
Rakyat, 2001-09-20)25
Lembaga ekolabeling Indonesia berfungsi untuk menilai implementasi prinsipprinsip pengelolaan hutan berkelanjutan atau lestari (hutan alam dan hutan produksi) dengan
pemberian sertifikat ekolabel pada produk hasil hutan untuk menjamin bahwa pengelolaan
hutan memenuhi standar tertentu. Produk terbuat dari kayu yang berasal dari pengelolaan
hutan berkelanjutan, dan proses produksi hutan berkelanjutan. Standar pengelolaan hutan
berkelanjutan merupakan baku mutu yang harus dipenuhi oleh pengelola hutan untuk
memperoleh sertifikat ekolabel.
Sertifikat ekolabel di bidang perkayuan adalah suatu cara untuk memberikan
informasi kepada konsumen mengenai produk kayu yang dipasarkan kepadanya dalam
bentuk sertifikat ekolabel yang menunjuk bahwa kayu tersebut berasal atau dihasilkan dari
konsesi hutan yang dikelola secara berkelanjutan. Fungsi lembaga ekolabel ini adalah
menilai penerapan sistem pengelolaan hutan yang berdasarkan prinsip kelestarian
lingkungan hidup yang secara langsung dikaitkan dengan nilai tambah pedagang kayu.26
Sertifikasi adalah suatu proses pembuktian independen bahwa manajemen hutan telah
mencapai tingkatan yang diisyaratkan oleh suatu standar tertentu. Pada beberapa kasus, bila
25

Redaksi,___,
Ekolabel,
Akibatkan
Maraknya
Pencurian
Kayu,
http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=2130, diakses pada 3 Januari 2012.
26
Abubakar M. Lahjie, 2005, Ekofoerestri Dalam Panduan Hutan Lestari, Universitas
Mulawarman, Samarinda, hal. 28.

25

digabungkan dengan suatu rangkaian sertifikasi perlindungan, sertifikasi memungkinkan


aliran produk dari suatu hutan tertentu yang telah memiliki sertifikat diberi ecolebel.
Sertifikasi telah berkembang dengan luas sebagai respons terhadap konsensus internasional
bahwa manajemen hutan lestari merupakan persoalan yang sangat signifikan. Keberhasilan
sangat tergantung kepada para konsumen, investor dan pihak-pihak lain yang menyediakan
insentif bagi manajer hutan untuk menerapkan manajemen hutan lestari, dengan memilih
mebeli produk-produk dari dan menanamkan investasi pada hutan-hutan yang dikelola
dengan baik. Ada dua faktor penting agar proses sertifikasi dapat dipercaya:
a.
b.

Isi standar sertifikasi harus dipublikasikan untuk masyarakat dan diterima secara luas.
Lembaga sertifikasi (pemberi sertifikasi) harus terbukti independen dan memiliki
kemampuan untuk menunjukkan bahwa konsumen benar-benar memenuhi standar.27
Sektor kehutanan dan industri kayu serta sektor-sektor pendukung lainnya telah

memberikan kontribusi yang nyata terhadap GDP dan penyerapan tenaga kerja serta
peningkatan devisi negara. Andil kehutanan dan industri kehutanan terhadap GDP telah
mengingkat secara signifikan dari 4 % tahun 1980an menjadi 8,7 % pada pertengahan tahun
1990. Perkembangan penyerapan tenaga kerja lokal dan luar negeri yang langsung dan tidak
langsung terkait dengan berbagai industri perkayuan seperti industri pulp dan paper,
furniture, kayu gergajian dan kayu lapis diuraian secara detail dengan data-data yang utuh
dan lengkap.
Penerapan sertifikasi dan ekolabeling bagi produk-produk kayu industri kehutanan
dibahas berkaitan dengan prosedur dan teknis penilaiannya serta lembaga-lembaga
independen penilainya (LEI dan FSC).Ada beberapa kebijakan terkait dengan pengelolaan
hutan lestari yang dapat dicapai melalui pertumbuhan dan pemerataan, diantaranya:
a.
b.
c.

memperbaiki efisiensi pemanfaatan sumber daya,


mendorong daya saing (kompetisi) untuk pasokan bahan baku,
melaksanakan rehabilitasi hutan dan mendorong partispasi kelompok-kelompok
kepentingan dalam pengelolaan hutan lestari,
menerapkan secara konsiten sertifikasi hutan dan ekolabeling, dan
pemerintah daerah sebagainya menerima proporsi yang lebih besar terhadap
pendapatan dan royalti yang dikumpulkan pemerintah.28

d.
e.

Semua produk kehutanan dari Indonesia yang akan diekspor ke Jepang harus
mempunyai sertifikat dari Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI). Kebijakan ini diambil
pemerintah Jepang melalui Kementerian Pertanian, Perikanan, dan Kelautan Jepang dalam
27

Supriadi, 2010, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 35.
28
Subarudi,___,
Forestry
and
Wood
Industry
on
The
Move,
http://puslitsosekhut.web.id/index.php, diakses pada 3 Januari 2012.

26

rangka memperketat pengawasan terhadap kegiatan penebangan liar dan ekspor-impor


produk hutan yang akan mulai berlaku pada April tahun depan.
Kebijakan ini diambil Jepang setelah pada pertemuan G8 di Inggris, Pemerintah Jepang
menyatakan akan melakukan pengawasan terhadap penebangan liar (illegal logging) yang
terjadi di Jepang maupun di luar Jepang yang berkaitan dengan ekspor produk kayu ke Jepang.
Indonesia mengekspor produk-produk yang terkait dengan kehutanan ke Jepang berupa kayu
dan produk kayu, kertas dan produk kertas, serta pulp dari kayu, yang pada tahun 2004 nilainya
mencapai USD1,35 milliar.29 Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI) menentang penghentian
penebangan kayu, karena sulit dipertanggungjawabkan secara ekonomi, ekologi dan sosial.
Kalau penghentian penebangan kayu diberlakukan, Indonesia akan mengalami krisis neraca
perdagangan karena harus mengimpor bahan baku kayu, sehingga ekspor barang yang berbahan
baku kayu Indonesia menurun sekitar US$ 5 miliar.30
Salah satu komponen perencanaan kehutanan yang memegang peranan penting dalam
mencegah terjadinya kerusakan hutan adalah kegiatan inventarisasi hutan. Secara teknis
inventarisasi kegiatan kehutanan menurut Abubakar M. Lahjie adalah membentuk dasar untuk
manajemen hutan lestari. Inventarisasi ini merupakan penilaian kuantitas dan kualitas sumber
daya hutan yang btersedia untuk manajemen. Inventarisasi sumber daya hutan pada alam
dilakukan untuk menilai sumber daya kayu, hasil hutan nir kayu, seperti perambat, buahbuahan, kacang-kacangan, bambu dan satwa liar.
Dalam melakukan inventarisasi hutan perlu mengetahui manfaat yang terdapat dalam
inventarisasi. Pelaksanaan inventarisasi umumnya berarti pengukuran pohon-pohon (walaupun
mungkin juga mencakup hasil hutan nir kayu dan aspek-aspek lain, tergantung pada informasi
yang diperlukan). Suatu sampel pohon diukur dan hasil-hasil pengukuran tersebut di
diekstrapolasikan atau dijadikan dasar untuk mengestimasi pohon-pohon lainnya di hutan
tersebut dengan mempertimbangkan tipe dan luas. Pengambilan sampel dari proporsi pohon
yang cukup besar untuk mewakili seluruh hutan dengan akurat akan memerlukan biaya yang
mahal. Tergantung pada sasaran inventarisasi mungkin saja untuk menghimpun informasi yang
sama pentingnya dari sumber-sumber lain seperti informasi yang bermanfaat dapat dihimpun
29

Redaksi,
2005,
Ekolabeling
ke
Jepang,
http://www.fkkm.org/Warta/index2.php?terbitan=noe&action=detail8&page=13#top&lang=ind,
diakses pada 3 Januari 2012.
30
Drajad H Wibowo, 2003, Larangan Penebangan Kayu di Jawa Timbulkan Gejolak
Ekonomi, http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&rubrik=Lingkungan+Hidup, diakses
pada 3 Januari 2012.

27

dari citra satelit yang ada atau foto udara, perbandingan dengan tegakan-tegakan yang serupa
yang telah diinventarisasi dan hasil-hasil penelitian lainnya.
Secara teknis kegiatan inventarisasi hutan menjadi tipe-tipe utama inventarisasi adalah
inventarisasi pra-pemanenan dan inventarisasi pasca-pemanenan (yang dapat bersifat statis atau
dinamis) dan survei persediaan tegakan. Inventarisasi pra-pemanenan bertujuan untuk
mengumpulkan informasi mengenai spesies-spesies yang terdapat dihutan, berapa jumlahnya
dan areal distribusinya serta kisaran ukurannya (ukuran/ kelas/ distribusi). Sementara survei
persediaan tegakan tujuannya adalah penarikan sampel 100 persen terhadap semua pohon yang
dapat dipanen dengan melebihi batas diameter tertentu. Survei ini dilaksanakan sebelum
pemanenan untuk membantu perencaan kegiatan pemanenan. Semua pohon komersial dengan
ukuran yang dapat dipanen, dipetakan dan diberi label.
Penutup
Illegal logging berakibat pada deforestasi hutan. Untuk menanggulangi kerusakan
hutan akibat illegal logging maka diperlukan suatu manajemen penataan hutan yang
profesional. Berdasarkan hal tersebut maka dipopulerkanlah istilah ekolabeling melalui
suatu lembaga ekolabel. Ekolabeling atau penandaan hasil hutan ini merupakan bentuk
kegiatan inventarisasi hutan yang memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya
kerusakan hutan. Kelestarian hutan merupakan tanggung jawab semua pihak karena hutan
menyangkut hajat hidup orang banyak.
Penerapan ekolabeling

hendaknya diikuti dengan sumber daya manusia yang

berkualitas. Artinya kegiatan ekolabeling ini bukan hanya sekadar pada tahap ekolabel saja
namun juga harus disertai dengan pengawasan yang intensif mengenai hasil hutan yang
sudah diekolabel. Pengawasan ini tentunya memerlukan koordinasi wewenang yang tegas
agar dalam pelaksanaan tersebut nantinya tidak terjadi wewenang yang tumpang tindih.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abubakar M. Lahjie, 2005, Ekofoerestri Dalam Panduan Hutan Lestari, Universitas
Mulawarman, Samarinda.
Bambang Pamulardi, 1995, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan,
RajaGrafindo Persada, Jakarta.

28

Rahmi Hidayati D. dkk., 2006, Pemberantasan Illegal Logging dan Penyelundupan Kayu
Melalui Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutanan, Wanaaksara,
Tangerang..
Salim, 2005, Illegal Logging Dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua)
cetakan pertama, Universitas Atma jaya, Yogyakarta.
Supriadi, 2010, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta.
Surna T, Djajadiningrat,Imam Hendargo Ismoyo dan Rijaluzaman, 1995, Ecolabeling dan
Kecenderungan Lingkungan Hidup Global, Pen. Rena Pariwara, Jakarta.
INTERNET
Amiluddin dan Isang Gonarsyah, _____, Analisis Ekonometrika Keragamanan Pasar Kayu
Lapis Indonesia dan Dampak Kemungkinan Diberlakukannya Liberalisasi
Perdagangan, http://www.google.com, diakses pada 3 Januari 2012.
Drajad H Wibowo, 2003, Larangan Penebangan Kayu di Jawa Timbulkan Gejolak
Ekonomi,
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&rubrik=Lingkungan+Hidup,
diakses pada 3 Januari 2012.
Erwin Tambunan (Bisnis Indonesia), 2010, Ekspor kayu lapis 2010 akan naik 20%,
http://bataviase.co.id/bataviase/search/?search_block_form=, diakses pada 3 Januari
2012.
Felicity
Williams,
2004,
Asia
Pulse
Analyst,
http://www.addthis.com/landing/?to=ffext&utm_source=el&utm_medium=link&utm_
content=ATTool_orig&utm_campaign=AT_tooldl, diakses pada 3 Januari 2012.
Icel, 2006, Konferensi Nasional Pemberantasan Illegal Logging, http://www.icel.or.id/.,
diakses pada 3 Januari 2012.
Muhlasin, 2008, Ekolabeling, Strategi Bisnis Jitu Peduli Hutan, http://www.pewartakabarindonesia.blogspot.com, diakses pada 3 Januari 2012.
Redaksi,
2005,
Ekolabeling
ke
Jepang,
http://www.fkkm.org/Warta/index2.php?terbitan=noe&action=detail8&page=13#top
&lang=ind, diakses pada 3 Januari 2012.
Redaksi,___,
Ekolabel,
Akibatkan
Maraknya
Pencurian
Kayu,
http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=2130, diakses pada 3 Januari 2012.
Rully

Syumanda,
____,

Deforestasi
dan
Illegal
Logging,
http://rullysyumanda.org/natural-resources/forest/moratorium-logging-a-forestconversion/54-deforestasi-dan-illegal-logging.html, diakses pada 3 Januari 2012.

Suara

Pembaruan, 2009, Produk Kayu Lapis Masih


Andalan,http://google.com, diakses pada 3 Januari 2012.

Jadi

Subarudi,___,
Forestry
and
Wood
Industry
on
The
http://puslitsosekhut.web.id/index.php, diakses pada 3 Januari 2012.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Komoditas
Move,

29

PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP PERAN NEGARA DALAM


PERLINDUNGAN PEKERJA
I Wayan Gde Wiryawan
Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar
gdewiryawan@yahoo.co.id

Abstract:
The existence of Pancasila Industrial Relations in Indonesia, which consists of three parties, namely
cedar workers, employers and the government put the governments role as a representative of the
State in a strategic position as a regulator in an attempt to create a harmonious industrial relations.
Changes in the state system in Indonesia from the centralized system in the New Order into a
decentralized system directly affects the political constellation changes, economic, social and
democratic culture becomes more focused on optimizing the role of the State to make the protection
of workers' rights in addition to the protection of employers in running business. Autonomy that arise
as a result of applying the principle of decentralization in the state system in Indonesia has been
explicitly set on the delegation of authority for the protection of workers from central to local
government should make the role of local governments to protect workers more optimal because local
governments have been aware of the situation and working conditions in the region. The existence of
local regulations and policies are directed at the protection of workers within the framework of regional
autonomy as well as a form of state intervention in industrial relations between employers and
workers parties that became the essence of the theory of the welfare state.
Key words: Pancasila industrial relations, labor protection, regional autonomy

Pendahuluan
Pada masa orde baru, hubungan industrial ditandai oleh dominasi negara terhadap
pekerja yang juga dikenal. dengan "korporatisme eksklusioner negara"31 dengan sistem
hubungan perburuhan yang bersifat kaku. Dominasi negara dalam konsepsi hubungan
industrial pada masa orde baru Orde Baru yang memberi perhatian yang sangat besar
terhadap perkembangan ekonomi dalam kerangka pembangunan nasional dilakukan dengan
pembatasan atau pengekangan kehidupan politik yang demokratis sehingga berimplikasi
pada pengekangan hak-hak pekerja. Kebijakan industrialisasi yang dijalankan pemerintah
Orde Baru tersebut menjadi efektif ditunjang dengan kebijakan yang menempatkan
stabilitas nasional sebagai tujuan dengan menjalankan industrial peace.

31

Vedi R. Hadiz, Buruh Dalam Penataan Politik Awal Orde Baru, Majalah Prisma No.7, Juli
1990, hal. 1. Korporatisme Ekslusioner diperkenalkan oleh Alfred Stepan untuk menjelaskan upaya kelompok
elite dalam masyarakat untuk meredam dan mengubah bentuk "kelompok-kelompok kelas pekerja yang menonjol"
melalui kebijakan yang bersifat koersi. la berbeda dengan "korporatisme inklusioner" yang lebih bercirikan akomodasi
dan inkorporasi kelompok-kelompok tersebut oleh negara.

30

Pemerintah orde baru menjadikan Hubungan Industrial Pancasila (HIP) sebagai


dasar dalam kebijakan ketenagakerjaan yang pada masa orde baru ditandai oleh kontrol
yang kuat dari negara terhadap pekerja, intervensi negara yang dominan dalam struktur
hubungan industrial (tidak melepasnya ke mekanisme pasar) dengan melanggar hak-hak
dasar dari pekerja adalah fenomena yang mendominasi kebijakan pada masa orde baru yang
berakibat pada ketiadaan perlindungan terhadap pekerja yang telah diatur secara
konstitusional.
Secara konstitusional negara Indonesia mengakui bahwa tiap warga negara
mempunyai hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan sesuai dengan pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Dengan diaturnya perlindungan
terhadap pekerja secara konstitusional seharusnya menjadi dasar bagi pemerintah untuk
setiap kebijakannya yaitu diarahkan dalam rangka perlindungan terhadap pekerja, karena
menurut Hilaire Barnett Coustutionalisme is the doctrine which governs the legitimacy of
government action. By constituonalisme is meant - in relation to constituons written and
unwitten conformity with the broad philosophical values within a state.32
Konsepsi Hubungan Industrial Pancasila yang terdiri dari pihak pengusaha, pekerja
dan pemerintah telah menempatkan posisi pemerintah untuk memerankan posisi sebagai
pelindung kepentingan kedua belah pihak dalam sebuah relasi yang mengedepankan prinsip
simbiosis mutualisme dan saling membutuhkan. Melalui peraturan perundang-undangan
pemerintah memainkan perannya pada dua kepentingan yang saling berlawanan, dan
mempertahankan tuntutan masing-masing menjadikan intervensi pemerintah sebagai suatu
keharusan.
Adanya internvensi dari pemerintah yang mewakili negara dalam hubungan industrial
menjadi wujud nyata dari konsepsi negara kesejahteraan (welfare state) yang dianut oleh
Negara Republik Indonesia. Ide dasar dari tipe negara verzorgingsstaat atau welfare
state tersebut adalah negara menjamin kesejahteraan umum para warganya dengan cara
menyusun suatu program kesejahteraan sosial (de overheid stelt zich garant voor het
collectieve sociale welzijn van haar burgers door middel van een programma van sociale
voorzieningen).33
Negara kesejahteraan (welfare state) memberikan gambaran bagaimana keadilan dan
kesejahteraan diwujudkan dalam masyarakat. Secara tidak langsung, fungsi hukum
32

Hilaire Barmett, 2000, Constituonal & Administrative Law, fourth edition, Landon, Sydney, hal. 5.
Schuyt & Veen (1986) dalam Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum yang membahagiakan
Rakyatnya, Genta Publishing, Yogyakarta hal. 19.
33

31

diarahkan sebagai alat untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur yang dalam
perspektif negara kesejahteraan adalah menciptakan jaminan perlindungan kepada setiap
lapisan masyarakat atas pemenuhan kebutuhan masing masing lapisan masyarakat tidak
terlaksana pada masa orde Baru.
Berakhirnya Orde Baru dengan lahirnya gerakan reformasi 1998 yang bertujuan
untuk melakukan perubahan disegala bidang diantaranya dalam sistem pemerintahan daerah
dan hubungan industrial. Reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
didasarkan pada adanya pengaturan secara konstitusional penyelenggaraan pemerintah
daerah dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur bahwa:
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
Pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut asas otonomi daerah
dalam UUD 1945 berakibat pada terbitnya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah yang selanjutnya diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah untuk mengganti Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang PokokPokok Pemerintahan Di Daerah yang dinilai dan dirasakan orang sangat sentralistik.
Secara eksplisit Bagian Penjelasan Umum Undang-undang No. 32 Tahun 2004 pada
ininya menjelaskan bahwa prinsip otonomi daerah pada intinya adalah untuk memberikan
keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang tumbuh, hidup, dan
berkembang di daerah demi terciptanya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat, pegembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta keserasian
hubungan antara pusat dan daerah sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat di daerah.
Sistem otonomi daerah telah membawa banyak perubahan positif dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Hal ini tentunya tidak terlepas
dari tujuan pemberian otonomi untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta
peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Adanya perubahan sistem penyelenggaraan pemerintah daerah tidak secara langsung
menyebabkan adanya peningkatan kesejahteraan pekerja di setiap daerah di Indonesia.
Kenyataan tersebut menyebabkan Reformasi Ketenagakerjaan memang sebuah keniscayaan
untuk mengakhiri peninggalan orde baru yang memasung hakhak pekerja untuk

32

kepentingan pengusaha semata. Selama orde baru hubungan industrial dikendalikan secara
ketat oleh pemerintah, yang merupakan bagian dari agenda pertumbuhan ekonomi yang
lebih menekankan pada upaya menarik investasi asing dan pertumbuhan industri baru
daripada penegakkan hakhak buruh34 menjadi salah satu faktor keterpurukan kesejahteraan
para pekerja di Indonesia.
Ditetapkannya Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menjadi landasan normatif untuk adanya peningkatan perlindungan terhadap pekerja di
Indonesia yang tidak dapat terlepas dari sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
telah menjadikan prinsip otonomi sebagai asas penyelenggaraannya pada kenyataannya
sampai saat ini belum optimal. Fenomena tersebut menjadi titik tolak dalam melakukan
analisis terhadap pengaruh otonomi daerah dalam perlindungan pekerja.
Peran

Negara dalam Teori

negara Kesejahteraa (welfare State)

terhadap

Perlindungan Pekerja
Perkembangan konsepsi negara hukum diawali dengan konsep Negara Hukum Formil
(formele rechtstaat) yang lebih mengutamakan bentuk daripada isi. Negara hukum formil
tidak memperdulikan kandungan moral kemanusiaan yang harus terdapat didalamnya.
Dengan karakteristik tersebut maka negara hukum menjadi identik dengan bangunan
peraturan perundang-undangan dan kualitasnya hanya ditentukan oleh ketundukannya pada
hukum.35
Negara hukum yang hanya dikonstruksikan sebagai bangunan hukum dengan
pemisahan antara negara hukum sebagai struktur politik dan sebagai organisasi hukum tidak
bertahan lama karena modernisasi, industrialisasi menciptakan problem-problem sosial
besar dan baru seperti perlindungan terhadap pekerja yang tidak ada padanan sebelumnya.
Negara modern harus menghadapi perluasan tugas publik yang luar biasa sehingga negara
tidak dapat lagi berhenti hanya menjadi negara hukum formal dan hanya berpangku tangan
dengan alasan tidak dapat mencampuri urusan masyarakat, sesuai dengan semboyan liberal
laissez faire, laissez aller. Dengan menyerahkan segalanya kepada aktivitas dan inisiatif
individu dan mencegah campur tangan kekuasaan publik, maka kesejahteraan umum akan
tercipta dengan sendirinya.36 Sehingga Perkembangan konsep nachwakersstaat tidak dapat

34

Alan J. Boulton, 2002, Struktur Hubungan Industrial di Indonesia Masa Mendatang, Kantor
Perburuhan Internasional, Jakarta, hal. 10.
35
Satjipto Rahardjo, op.cit., hal. 2.
36
Ibid, hal. 18.

33

membawa masyarakat kearah kemakmuran, indikasi ini terlihat dari berbagai aspek dalam
masyarakat.37
Pada masa selanjutnya perkembangan industrialisasi menciptakan jurang-jurang lebar
dalam masyarakat, menciptakan stratifikasi sosial yang cukup dahsyat yaitu perbedaan
kesejahteraan antara pengusaha dan pekerja. Keadilan dalam pembagian kekayaan terasa
sangat timpang, sehingga muncul potret-potret ketidakadilan sosial.
Dalam suasana demikian maka dirasakan perlunya campur tangan kekuasaan publik
untuk mencegah kemerosotan lebih jauh dalam kualitas hidup anggota masyarakat. Ide
dasar tentang perlunya campur tangan kekuasaan publik dalam penyelenggaraan
kesejahteraan ini pertama kali dikemukakan oleh Beveridge, seorang Anggota Parlemen
Inggris dalam laporannya (Beveridge Report), yang mengandung suatu program sosial
tentang:38
1.
2.
3.
4.
5.

memeratakan pendapatan masyarakat;


usaha kesejahteraan sosial sejak manusia lahir sampai meninggal;
mengusahakan lapangan kerja yang seluas-luasnya;
pengawasan upah oleh pemerintah;
usaha dalam bidang pendidikan disekolah-sekolah, pendidikan lanjutan/latihan
kerja, dan sebagainya.

Adanya campur tangan pemerintah dalam kehidupan masyarakat juga ditegaskan oleh
John Maynard Keynes menganjurkan bahwa pemerintah dapat mencampuri kegiatan
ekonomi rakyat dengan tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Oleh karena itu
munculah konsepsi negara kesejahteraan (welfare state) atau negara hukum modern atau
negara hukum materiil yang ciri-cirinya sebagai berikut: 39
1. Dalam negara hukum kesejahteraan yang diutamakan adalah terjaminnya hak-hak
asasi sosial-ekonomi rakyat;
2. Pertimbangan-pertimbangan efisiensi dan manajemen lebih diutamakan dibanding
pembagian kekuasaan yang berorientasi politis, sehingga peranan eksekutif lebih
besar daripada legislatif;
3. Hak milik tidak bersifat mutlak;
4. Negara tidak hanya menjaga ketertiban dan keamanan atau sekedar penjaga
malam (nachtwakerstaat), melainkan negara turut serta dalam usaha-usaha sosial
maupun ekonomi;
5. Kaedah-kaedah hukum administrasi semakin banyak mengatur sosial ekonomi
dan membebankan kewajiban tertentu kepada warganegara;
6. Peranan Hukum Publik condong mendesak Hukum Privat, sebagai konsekwensi
semakin luasnya peranan negara;
37

Muhammad Siddiq, 2009, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta,

hal. 55.
38
39

Muchsan, 1981, Peradilan Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, hal.1.


Mac Iver, 1984, Negara Modern, terjemahan Moertono, Aksara Baru, Jakarta, hal. 4.

34

7. Lebih bersifat negara hukum materiil yang mengutamakan keadilan sosial yang
materiil pula.
Ide tentang perlunya campur tangan pemerintah demi kesejahteraan masyarakat telah
menginspirasi gerakan-gerakan hak sosial (welfare right movement) yang terjadi pada Abad
ke-20 yang memasukan hak-hak kesejahteraan sosial kedalam hak-hak rakyat yang harus
dipenuhi oleh suatu negara hukum.40 Pada Tahun 1930-1945 di Belanda telah dibangun
dasar-dasar bagi usaha untuk membangun negara kesejahteraan tersebut yang dilakukan
dengan cara: (1) melindungi orang-orang terhadap risiko bekerjanya industri modern, seperti
kecelakaan perburuhan; (2) jaminan penghasilan minimum, juga karena sakit, kehilangan
pekerjaan dan masa tua; (3) menyediakan sarana yang dibutuhkan oleh setiap orang agar
dapat berfungsi dengan baik dalam masyarakat, seperti perumahan, pendidikan dan
kesehatan; (4) memajukan kesejahteraan individu, seperti penyaluran aspirasi politik,
kebudayaan olah raga dan sebagainya.41
Tuntutan tentang peran pemerintah dalam aspek kehidupan masyarakat dalam negara
kesejahteraan dalam hubungan industrial secara konkrit diwujudkan dalam perlindungan
terhadap pekerja dalam hubungannya dengan pengusaha. Pentingnya perlindungan terhadap
pekerja tersebut karena pihak pekerja memiliki posisi tawar (bergaining position) yang
lemah berhadapan langsung dengan pengusaha yang kuat.42 Sehingga peran pemerintah
diperlukan untuk melakukan campur tangan dengan tujuan mewujudkan hubungan
perburuhan yang adil melalui peraturan perundang-udangan dan kebijakan.43
Perlindungan dapat dilakukan, baik dengan jalan memberikan tuntunan maupun
dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia, perlindungan fisik dan teknis
serta sosial dan ekonomi melalui norma yang berlaku dalam lingkungan kerja44 yang
menurut Imam Soepomo pelindungan pekerja itu dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:45
a. Perlindungan ekonomis, yaitu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usahausaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup
memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk dalam
hal pekerja tersebut tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya.
Perlindungan ini disebut dengan jaminan sosial.
b. Perlindungan Sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha
kemasyarakatan yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan
40

Ibid.
Satjipto Rahardjo, loc.cit.
42
Eggy Sudjana, 2005, Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia, Renaissan, Jakarta, hal. 1
43
Lalu Husni, 2003, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 12
44
Zaenal Asikin dkk, 2010, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 96
45
Ibid, hal.97
41

35

memperkembangkan perikehidupannya sebagai manusia pada umumnya dan


sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga atau yang biasa disebut
kesehatan kerja.
c. Perlindungan Teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan
usaha-usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat
ditimbulkan oleh pesawat-pesawat atau alat lainnya atau oleh bahan yang diolah
atau dikerjakan perusahaan. Perlindungan ini disebut dengan keselamatan kerja.
Hakekat Perlindungan Terhadap Pekerja
Tujuan negara hukum adalah perlindungan hukum terhadap hak-hak dan kebebasan
asasi manusia warga negaranya untuk mewujudkan kesejahteraan umum, perlindungan dari
tindakan penguasa yang sewenang-wenang.46 Konsep Rechstaat maupun rule of Law salah
satu unsur pokoknya adalah perlindungan hukum yang salah satunya adalah perlindungan
HAM disamping unsur-unsur yang lainnya, karena membicarakan HAM berarti
membicarakan dimensi kehidupan manusia47
Dalam negara kesejahteraan peran negara pada intinya diarahkan pada upaya
perlindungan hukum terhadap warga negaranya agar tujuan dari negara kesejahteraan
tersebut dapat tercapai. Teori Perlindungan Hukum dari Philipus M. Hadjon, yang tertuang
dalam bukunya yang berjudul Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, mengartikan
perlindungan hukum bagi rakyat setara dengan rechtsbescherming van de burgers tegen de
overheid dalam kepustakaan Belanda dan legal protection of the individual in relation to
act of administrative authorities.48 Dengan menggunakan konsepsi barat sebagai kerangka
berpikir dengan landasan pijak pada Pancasila, prinsip perlindungan hukum bagi rakyat (di
Indonesia) adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan
Pancasila.49
Pada bagian lain Philipus M. Hadjon juga menyatakan bahwa perlindungan hukum
selalu berkaitan dengan dua kekuasaan yang selalu menjadi perhatian, yakni: Kekuasaan
pemerintahan

dan

kekuasaan

ekonomi.

Dalam

hubungannya

dengan

kekuasaan

pemerintahan, permasalahan perlindungan hukum adalah menyangkut perlindungan hukum


bagi rakyat (yang diperintah) terhadap yang memerintah (pemerintah). Sedangkan

46
47

A. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, hal. 44.
Majda El-Muhtaj, 2009, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Prenada Media, Jakarta,

hal. 1.
48

Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya,

49

Ibid, hal. 20.

hal.1.

36

permasalahan perlindungan hukum ekonomi adalah perlindungan silemah terhadap sikuat,


misalnya perlindungan buruh terhadap pengusaha.50
Adanya kewajiban negara dalam melaksanakan hak konstitusional, maka negara
dituntut untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya dan seluas-luasnya kepada
masyarakat dan akhirnya akan pasti muncul dua gejala yakni pertama, campur tangan
pemerintah terhadap aspek kehidupan masyarakat sangat luas; kedua, dalam pelaksanaan
fungsi pemerintahan sering digunakan asas diskresi51 karena pada kenyatannya di Indonesia,
persoalan hubungan industrial tidaklah dapat direduksi menjadi hubungan produksi antara
kelas pekerja dengan kelas pengusaha saja tetapi haruslah dilihat dalam kaitannya dengan
hubungan antara negara (state) dengan masyarakat sipil (civil society) yang lebih kompleks.
Hal tersebut disebabkan secara realita bahwa sangat banyak persoalanpersoalan
ketenagakerjaan yang terjadi, seperti pembayaran upah tidak tepat waktu, upah yang sangat
rendah, penundaan pembayaran upah, pemotongan upah yang memiliki dampak sosial yang
sangat luas sehingga mendesak negara untuk terlibat didalamnya. Timbulnya reaksireaksi
dari pekerja seperti demonstrasi, pemogokan yang akan mempengaruhi perekonomian
Negara Indonesia merupakan fakta empiris yang tidak terbantahkan akibat lemahnya
perlindungan pemerintah terhadap pekerja.
Relevansi Otonomi Daerah Terhadap Kesejahteraan Pekerja
Pada prinsipnya perlindungan terhadap pekerja merupakan salah satu pelaksanaan
kewajiban negara untuk melindungi pekerja yang merupakan bagian dari HAM diarahkan
pada peningkatan kesejahteraan pekerja yang akan berkorelasi langsung pada peningkatan
terhadap harkat dan martabat pekerja. secara prinsipiil Frans Magnis Suseno menjabarkan
tentang hakekat kesejahteraan yang dikaji dalam dua perspektif yaitu pertama, secara
negatif yaitu tercapainya kesejahteraan tersebut jika telah terbebas dari perasaan lapar dan
kemiskinan, kecemasan akan hari esok, bebas dari perasaan takut dan tertindas apabila
diperlakukan tidak adil; kedua secara positif, kesejahteraan tersebut akan tercapai jika telah
terjadi seseorang merasa aman, tenteram, selamat; apabila ia dapat hidup sesuai dengan citacita dan nilai-nilainya sendiri, merasa bebas untuk mewujudkan kehidupan individual dan
sosialnya sesuai dengan aspirasi-aspirasi dan kemungkinan-kemungkinan yang tersedia

50

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Dalam Negara Pancasila, Simposium Politik, Hak Asasi
Manusia dan Pembangunan Hukum, Lustrum VIII, Universitas Airlangga, Surabaya, 1994, hal.1.
51
Wayan Gde Wiryawan, Perjuangan Hak Pekerja Buruh, Makalah dalam Ceramah di Lembaga
Bantuan dan Perlindungan Hukum, Federasi Serikat Pekerja Mandiri Bali, Denpasar, 28 Oktober 2008.

37

baginya, apabila kemampuan dan kreativitasnya meskipun terbatas bisa dikembangkan dan
apabila ia merasa tenang dan bebas.
Adanya kewajiban konstitusional dari pemerintah untuk melindungi hak pekerja
yang merupakan bagian dari hak asasi manusia secara eksplisit telah diatur dalam pasal 8
UU No. 39 Th. 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa melindungi,
memajukan dan menghormati Hak Asasi Manusia termasuk hak atas pekerjaan merupakan
kewajiban pemerintah. Hal tersebut menjadikan pemerintah telah memiliki legitimasi yang
kuat dalam upaya perlindungan terhadap pekerja.
Dari uraian diatas telah ditunjukan bahwa secara limitatif arah perlindungan
terhadap pekerja adalah perlindungan atas hak kesejahteraan dari pekerja akan dapat
tercapai jika aspek-aspek dalam hubungan industrial telah berorientasi pada perlindungan
terhadap pekerja. Secara normatif aspek-aspek hubungan industrial tersebut telah diatur
dalam pasal 39 UU No. 39 th. 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu:
(1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas
pekerjaan yang layak.
(2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak
pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.
(3) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama,
sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja
yang sama.
(4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan
dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan
prestasinya dan dapat menjarmin kelangsungan kehidupan keluarganya
Uraian secara filsafati, konstitusional, teoritis dan normatif terhadap perlindungan
pekerja yang pada prinsipnya diarahkan pada tercapainya kesejahteraan pekerja yang
menyangkut berbagai aspek yang telah diatur dalam UU No. 13 Th. 2003 tentang
Ketenagakerjaan menurut Zaenal Asikin meliputi aspek-aspek yaitu:52
1. Perlindungan hukum, yaitu apabila dapat dilaksanakan peraturan perundangundangan dalam bidang ketenagakerjaan yang mengharuskan atau memaksakan
majikan bertindak sesuai dengan perundang-undangan tersebut dan benar-benar
dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait.
2. Perlindungan ekonomi, yaitu perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk
memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup memenuhi keperluan
sehari-hari baginya dan keluarganya.
3. Perlindungan sosial, yaitu perlindungan yang berkaitan dengan usaha
kemasyarakatan yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan

52

Zaenal Asikin, op.cit, hal. 76

38

mengembangkan perikehidupannya sebagai manusia dan sebagai anggota


masyarakat.
4. Perlindungan teknis, yaitu perlindungan yang berkaitan dengan usaha untuk menjaga
pekerja dari bahaya kecelakaan yang ditimbulkan atau berkaitan dengan keselamatan
dan kesehatan kerja.
Aspek perlindungan terhadap pekerja dalam rangka mewujudkan kesejahteraan yang
kompleks dan tidak akan dapat ditangani secara komprohensif oleh pemerintah pusat telah
disadari oleh pemerintah pada zaman orde lama. Terbitnya Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 14 tahun 1958 Tentang Kesejahteraan Buruh yang merupakan peraturan
pelaksanaan Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah 1956 (Undangundang No. 1 tahun 1957) adalah bukti kesadaran tentang pentingnya peran pemerintah
daerah untuk ikut aktif dalam mewujudkan kesejahteraan pekerja karena pemerintah daerah
yang paling mengetahui situasi dan kondisi masing-masing daerah. Pasal 2 Peraturan
Pemerintah No. 14 tahun 1958 secara tegas mengatur bahwa:
(1) Daerah-daerah diserahi urusan-urusan kesejahteraan buruh.
(2) Yang dimaksud dengan urusan-urusan kesejahteraan buruh ialah usaha-usaha untuk
memajukan kesejahteraan buruh di dalam maupun di luar perusahaan dengan jalan:
a. Memberi bantuan dalam penyelenggaraan asrama/pemondokan buruh, perumahan
buruh, balai istirahat buruh, balai pertemuan buruh, keolah-ragaan buruh, hiburan
buruh, tempat penitipan kanak-kanak/bayi-bayi buruh, pemberantasan buta huruf
dan pendidikan umum di kalangan buruh, dan usaha-usaha lain dalam lapangan
kesejahteraan buruh, sejauh soal-soal tersebut dengan Undang-undang/peraturan
tidak dibebankan kepada pengusaha;
b. Memberi bimbingan kepada usaha-usaha kesejahteraan buruh;
c. Memberi ceramah-ceramah dan kursus-kursus tentang kesejahteraan buruh.
(3) Untuk menjalankan usaha-usaha untuk memajukan kesejahteraan buruh tersebut di ayat
(2) dapat didirikan badan-badan yang bertujuan menyelenggarakan perbaikan
kesejahteraan buruh, baik oleh Daerah sendiri maupun bersama-sama dengan buruh
dan pengusaha.
Adanya fakta tentang kegagalan pemerintah pada masa orde baru untuk memberikan
perlindungan terhadap pekerja dalam hubungan industrial Pancasila tidak terlepas dari
adanya upaya mengabaikan aspek-aspek internal dari daerah-daerah yang ada di Indonesia
yang secara langsung berpengaruh terhadap eksistensi hubungan industrial pancasila
semakin menunjukan besarnya peran pemerintah daerah dalam upaya perlindungan terhadap
pekerja. Upaya standarisasi pola kesejahteraan dengan konsep sentralisasi telah gagal untuk
menciptakan kesejahteraan pada pekerja di masing-masing daerah. Kenyataan tersebut
secara tegas diungkapkan oleh B.J. Habibie mengkonstatir dampak negatif sentralisasi
kekuasaan dibidang ekonomi dan politik sebagai berikut:

39

Masyarakat luas sudah mengetahui bahwa Sentralisasi kekuasaan ekonomi dan


politik telah menimbulkan kesengsaraan masyarakat didaerah. Sentralisasi hanya
menguntungkan mereka yang dekat dengan kekuasaan ataupun konsentrasi ekonomi
dengan jumlah pengusaha besar di pusat. Belum lagi dengan berbagai kebocoran dari
dana pembangunan yang ada, masyarkat semakin menuntut agar mekanisme
pembangunan direvisi secara substansial.53
Momentum reformasi yang diarahkan pada adanya otonomisasi pada pemerintah
daerah yang diberikan kewenangan yang luas dalam menyelenggarakan semua urusan
pemerintahan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Sebagai konsekuensi dari kewenangan otonomi yang luas, pemerintah daerah mempunyai
kewajiban untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan secara demokratis, adil,
merata, dan berkesinambungan, karena pada hakikatnya otonomi daerah diterapkan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Secara normatif dalam pasal 1 angka 5 UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah diatur bahwa Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaan atas
hak, wewenang dan kewajiban tersebut dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa Pemerintahan daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembatuan.
Kebijakan desentralisasi dibidang ketenagakerjaan yang dimulai pada awal tahun
2001 tidak dapat terlepas dari pelaksanaan prinsip otonomi daerah yang telah diatur didalam
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang dilaksanakan atas
dasar Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonum yang secara tegas dalam pada pasal 3 ayat
(5) butir 8 ditentukan pembagian kewenangan kepada daerah dalam bidang ketenagakerjaan
yaitu Penetapan pedoman jaminan kesejahteraan purna kerja, dan Penetapan dan
pengawasan atas pelaksanaan upah minimum.
Hakekat otonomi yang diarahkan agar pemerintah daerah mampu mengelola potensi
daerahnya yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, dan potensi sumber daya
keuangan secara optimal seharusnya dapat menjadikan pemerintah daerah dapat melakukan
53

A.W Praktiknya Raja, 1999, Pandangan Dan Langkah reformasi B.J. Habibie, PT, Gafindo Persada,
Jakarta, hal. 218.

40

mengeluarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan baik berupa peraturan perundang-undangan


(legistative policy) maupun berupa peraturan-peraturan pelaksanaan (bureaucracy policy)
yang dimaksudkan untuk memperkuat substansi dari hak konstitusional karena di negara
hukum modern (negara kesejahteraan) negara berkewajiban untuk menjamin pelaksanaan
hak konstitusional itu.
Penutup
Secara konstitusional perlindungan pekerja merupakan bagian dari perlindungan
terhadap Hak Asasi manusia dalam sistem negara hukum modern (welfare state) telah
memposisikan pemerintah sebagai pihak yang memiliki kewajiban untuk melindungi pihak
pekerja dan pengusaha dalam Hubungan Industrial Pancasila, dimana hakekat perlindungan
terhadap pekerja diarahakan pada perlindungan terhadap kesejahteraan untuk menuju
peningkatan harkat dan martabat pekerja.
Sistem penyelenggaraan pemerintah daerah yang didasarkan pada prinsip otonomi
daerah yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat menjadi dasar bagi
pemerintah daerah untuk dapat menetapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan baik berupa
peraturan perundang-undangan (legistative policy) maupun berupa peraturan-peraturan
pelaksanaan (bureaucracy policy) yang diarahkan pada peningkatan aspek perlindungan
pekerja yang meliputi perlindungan hukum, ekonomi, sosial dan teknis demi peningkatan
kesejahteraan karena pemerintah daerah yang paling mengetahui potensi daerahnya masingmasing.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
A. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang
A.W Praktiknya Raja, 1999, Pandangan Dan Langkah reformasi B.J. Habibie, PT, Gafindo
Persada, Jakarta
Alan J. Boulton, 2002, Struktur Hubungan Industrial di Indonesia Masa Mendatang, Kantor
Perburuhan Internasional, Jakarta
Eggy Sudjana, 2005, Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia, Renaissan, Jakarta
Hilaire Barmett, BA, LL.M, 2000, Constituonal & Administrative Law, fourth edition,
Landon. Sydney
Lalu Husni, 2003, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta
Mac Iver, 1984, Negara Modern, terjemahan Moertono, Aksara Baru, Jakarta

41

Majda El-Muhtaj, 2009, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Prenada Media,
Jakarta
Muchsan, 1981, Peradilan Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta
Muhammad Siddiq, 2009, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya Paramita,
Jakarta
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya
Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum yang membahagiakan Rakyatnya, Genta
Publishing, Yogyakarta
Zaenal Asikin dkk, 2010, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta
PERTEMUAN ILMIAH
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Dalam Negara Pancasila, Simposium Politik,
Hak Asasi Manusia dan Pembangunan Hukum, Lustrum VIII, Universitas
Airlangga, Surabaya, 1994.
Vedi R. Hadiz, Buruh Dalam Penataan Politik Awal Orde Baru, Majalah Prisma No.7,
Juli 1990
Wayan Gde Wiryawan, Perjuangan Hak Pekerja / Buruh, Makalah dalam Ceramah di
Lembaga Bantuan dan Perlindungan Hukum, Federasi Serikat Pekerja Mandiri
Bali, Denpasar, 28 Oktober 2008.

42

FILSAFAT PRAKTIS DALAM TATARAN KONSEP ETIKA BAGI PENDIDIK,


SUATU TINJAUAN PRAMAGTIS TENTANG TOXIC WORLD SEBAGAI SALAH
SATU PENYEBAB AWAL ANAK BERDELIKUENSI
Vieta Imelda Cornelis
Dosen dpk Universitas Kartini
Imeldaparera@ymail.com

Abstract:
Functions of National Education is to develop skills and form the character and civilization of the
nation's dignity in the context of the intellectual life of the nation that aims for the development of
potential learners in order to become a man of faith & fear of God Almighty.Under UU No.20 tahun
2003 on National Education system there are nine pillars of character education that serves to
develop skills & shaping the character of the nation worthwhile. And as penunjuang required special
attention to the sources of the indicator is less successful character education such as strengthening
the ethical dimension, educational value indicator and moral Control of Toxic World
Key words :Functions of National Education, National Education system , moral Control of Toxic
World

Pendahuluan
Negara Indonesia membangun pendidikan nasionalnya berdasarkan pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,bahkan dalam Undang undang no
20 Tahun 2003 , Tentang Sistem pendidikan Nasional menjelaskan pada pasal 3 bahwa :
Fungsi pendidikan Nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
,bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,berakhlak mulia,sehat,berilmu ,cakap,kreatif,
mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.Di lihat dari
pernyataan pada pasal 3 apa yang telah di ciptakan oleh penentu kebijakan rasanya sudah
sangat sempurna bahkan jauh dari cacat akan nilai nilai murni pembangunan pendidikan
sebagai fungsi dan tujuan yang termaksud dalamPendidikan Nasional.Dengan demikian
,untuk pencapaian tujuan dari undang-undang itu yaitu perkembangan potensi peserta anak
didik perlu di susun rancangan yang menghimpun segala aspek tersebut,yang secara formal
yaitu menyediakan kondisi,sarana/prasarana kegiatan pendidikan dan kurikulum

yang

mengarah kepada pembentukan watak dan budi pekerti generasi muda bangsa yang
memiliki landasan yuridis yang kuat,hal ini tercipta ketika di tahun-tahun reformasi bangsa

43

kita telah terjadi kemorosotan moral,perilaku,penggunaan kata yang buruk, egois,


menurunnya rasa cinta tanah air,merusak kepentingan publik,ketidakjujuran,sarayang tanpa
kita sadari telah terjadi krisis akhlak yang menerpa

semua lapisan masyarakat,tidak

terkecuali juga pada anak anak usia dini dan usia sekolah. Menyikapi hal tersebut ,telah di
lakukan upaya-upaya pencegahan dari parahnya krisis akhlak ,upaya tersebut mulai di rintis
melalui pendidikan karakter bangsa.
Pendidikan Karakter Bangsa mulai di susun oleh para ahli pendidikan, para penentu
kebijakan dan para pemerhati pendidikan.Para pakar pendidikan mengembangkan
setidaknya ada tiga pendapat yang berbeda dalam mengaplikasikan Pemberian pendidikan
karakter bangsa di sekolah yaitu pertama pendidikan karakter bangsa di berikan berdiri
sendiri sebagai mata pelajaran ,kedua pendidikan karakter

bangsa

di berikan secara

integrasi dengan mata pelajaran Pkn,pendidikan agama dan mata pelajaran yang relevan
,ketiga pendidikan karakter bangsa yang terintegrasi dalam semua pelajaran.Karakter
menurut

Pusat

Bahasa

Depdiknas

adalah

bawaan

hati,jiwa

kepribadian,budi

pekerti,perilaku,personalitas,sifat ,tabiat,tempramen ,watak sedangkan berkarakter adalah


kepribadian,berperilaku,bertabiat dan berwatak sehingga dapat di simpulkan berkarakter
mengacu pada serangkaian sikap,perilaku,motivasi dan ketrampilan.
Di Indonesia berdasarkan pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem pendidikan
Nasional, menyebutkan ada 9 pilar pendidikan karakter yang berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk karakter bangsa yang bermartabat yaitu; ( 1) Cinta Tuhan dan
segenap ciptaannya.( 2) Tanggung jawab dan kedisiplinan dan kemandirian ( 3) kejujuran
/amanah dan kearifan (4) hormat dan santun( 5) dermawan dan suka menolong dan gotong
royong/kerjasama (6) percaya diri,kreatif dan bekerjasama.( 7) kepimpinan dan keadilan (8)
baik dan rendah hati (9) Toleransi Kedamaian dan kesatuan.
Meskipun pendidikan berkarakter sudah sejak lama diwacanakan dalam dunia
pendidikan indonesia tapi baru di tahun 2010/2011 meski sangat terlambat kementerian
pendidikan

nasional kembali menggiatkan wacana pendidikan berkarakter

untuk

mentuntaskan peliknya masalah pendidikan di indonesia. Solusi yang diaplikasikan ketika


pendidikan berbasis berkarakter di sisipkan ke kurikulim dan silabus sebagian pendidik
bingung menentukan pengertian berkarakter itu sendiri,kebingungan menyusun kurikulum
yang harus menyisipkann pembentukan karakter siswa siswi didik merupakan potret nyata
bahwa selama ini pendidikan di negara kita hanya bisa mencerdaskan otak namun gagal
menciptakan siswa siswi yang berkarakter,dunia pendidikan terlalu sibuk menciptakan

44

kecerdasan dan memberikan beban pelajaran super berat dan banyakpadahal dengan beban
pelajaran yang tinggi energi guru dan siswa terbuang percuma krewna hanya 10 persen
siswa yang mampu mengikuti pelajaran sedangan siswa dengan kemampuan dibawah rata
rata dan tidak memiliki nilai akademis tinggi yang menempati porsi terbesar di negara kita
di abaikan sehingga tanpa sadar kita telah menciptakan jurang dikotomi terhadap hak hak
pendidikan yang layak bagi 90 persen komunitas ini.
Menurut Comissioner KPAI Apong Herlina dalam workshop penyelarasan persektif
penangan anak yang berhadapan dengan hukum melalui upaya restoratif justice di
jawatenga dan DIY,dari data yang di kumpulkan

di tahun 2004

jumlah anak yang

bermasalah dengan hukum mencapai 11 ribu anak,dan rata rata tiap tahun sekitar 7 ribu
anak harus menjalani persiapan persidangan akibat terlibat berbagai tindakan pidana dan
hampir 90 persen di antara anak anak tersebut harus melewatkan masa bermainnya di
penjara baik sebelum ( tahanan sementara) atau sesudah putusan.54
Lembaga pemasyarakatan di bawah tahun 90 penghuninya kebanyakan berusia 4060 tahun tapi setelah tahun 90 sampai sekarang lembaga pemasyarakatanpenjara penjara di
isi oleh anak anak remaja berusia 14-25 tahun.
Sungguh prihatin melihat perkembangan generasi indonesia dari tahun ke tahun bila
di evaluasi secara kasat mata dan data dari comissioner KPAI apong Herlina begitu banyak
dan semakin meningkat anak yang bermasalah dengan hukum menunjukan indikasi sistem
pendidikan di negara kita telah menghasilkan generasi yang gagal dan bahkan cenderung
bermasalah ketimbang yang unggul di tiap jenjang mulai dari pendidikan dasar sampai pada
pendidikan tinggi. Sekolah yang mengklaim sebagai lembaga pendidikan ternyata tidak
melakukan proses pendidikan melainkan hanya sebagai lembaga yang memaksa anak
untuk mengikuti kurikulum yang kaku ,guru lebih suka memberikan pelajaran daripada
mendidik dan melakukan pendekatanpsikologis untuk membantu memecahkan masalah
anak didiknya,dan tidak merasa bertanggung jawab dan melempar tanggung jawabnya
kepada orang tua dengan alasan waktu yang terbanyak dari anak adalah di rumah bukan di
sekolah.danhal yang memperburuk keadaan pemerintah yang bertanggungjawab di bidang
pendidikan hanyas mementingkan nilai ,angka angka pada ujian tertulis. Pemerintah seakan
akan menujtup mata terhadap menurunnya perilaku moral, rusaknya anak anak sekolah dan
meningkatnya kekerasan dikalangan remaja seperti tawuran,pemerkosaan bahkan sampai
pembunuhan.ukuran keberhasilan yang dipentingkan adalah indikator nilai nilai di atas
54

Surat kabar,suara merdeka.16 Maret 2011

45

kertas ulangan dari pada indikator moral yang nantinya merupakan modal hidup anak yang
berkarakter di lingkungan,akibatnya kita dapat menjumpai ada siswa yang pintar di kelas
tapi moralnya sangat rendah ada juga yang yang nilainya rata rata mengalami depresi dan di
tambah standar moral yang rendah mengakibatkan berpikir pendek untuk bunuh diri karena
minder dengan nilai di sekolah yang rendah.
Melihat masalah yang

kompleks dalam dunia pendidikan kita ,haruskah kita

berdiam diri atau ikut ikut tidak peduli adakah yang salah dari legalitas umndang undang
yang sudah di aplikasikan

oleh penentu kebijakan pendidikan, apa sebenarnya yang

menjadi sumber indikator kurang berhasilnya Pendidikan yang berkarakter?


Penguatan Dimensi Etika
Kalau kita cermati kembali secara terminologis pengertian Karakter menurut Pusat
Bahasa

Depdiknas

adalah

perilaku,personalitas,sifat

bawaan

hati,

,tabiat,tempramen

jiwa

,watak

kepribadian,
sedangkan

budi

berkarakter

pekerti,
adalah

kepribadian,berperilaku,bertabiat dan berwatak sehingga dapat di simpulkan berkarakter


mengacu pada serangkaian sikap,perilaku,motivasi dan ketrampilan.ini berarti penguatan
dimensi etika yang berpedoman oada moral pada peserta didik harus di bina dalam perilaku
pendidik sebagai pada setiap aktifitas mendidik.Pendidik yang di maksudkan dalam tulisan
ini adalam pendidik di sekolah ( guru) maupun Pendidik di rumah ( keluarga) sebagai
harmonisasi pendidikan. Etika bukan hal yang baru di dunia ilmu pendidikan karana etika
merupakan salah satu cabang dari filsafat ilmu.
Secara umum etika dapat di mengerti sebagai cabang filsafat yang membicarakan
tingkah laku manusia yang di lakukan dengan sadar di lihat dari sudut yang baik dan
buruk.Etika di samakan artinya dengan filsafat kesusilaan atau filsafat moral juga filsafat
nilai( aksiologi) oleh karena itu etika sering di sebut filsafat praktis.55
Filsafat Praktis adalah ruang lingkup Filsafat yang

di ajarkan oleh Aristoteles

sebelum abad ke 20,pada zaman klasik.Aristoteles adalah murid Plato,menurut Aristoteles


ruang lingkup Filsafat meliputi :
1. Logika
2. Filsafat Teoritis : Ilmu pengetahuan alam,matematika,,metafisika( filsafat
kosmologi)
3. Filsafat Praktis : Etika,Politik,EkonomiFilsafat hukum.merupakan bagian daripada
Filsafat etika (yang mengatur tingkah laku manusia tentang hal hal yang baik dan
55

Win Usuluddin Bernadien, 2011, Membuka Gerbang Filsafat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal.
59

46

buruk)bagian yang lainnya dari filsafat etika adalah kesopanan, kesusilaan dan
agama.
4. Poetika (aestetika) misalnya kesenian dan lain sebagainya.
Sejarah filsafat juga mencatat setelah aliran klasik tentang etika pada zaman Modern
di saat muncul aliran rasionalisme empiris Immanuel kant mempertegas posisi pemikiran
tentang etika.Immanuel kant membagi filsafat yunani dalam tiga bagian yaitu :
1.
2.
3.

Logika ; berkaitan dengan bentuk pemahaman ratio.


Fisika ; terkait dengan persoalan hukum alam( law of nature).
Etika ; berkaitan dengan tindakan Moral.
Imanuel Kant ( 1724-1804) lahir di konigsberg ( sekarang Kaliningrad, UUSR),prusia

timur<Jerman dari anak seorang pembuat kelana kuda,dia tinggal di kota ini sepanjang
hidupnya hingga meninggal pada usia 80-an Keluarganya Penganut Kristen sangat
saleh,Keyakinan agamanya itu sekaligus merupakan latar belakang yang cukup penting bagi
pemikiran filosofisnya,terutama masalah etika.56
Menurut Kant tentang etika di dasari oleh realitas pure reason yang menghasilkan
sains tidak mampu memasuki wilayah neumena yaitu dunia thing in itself. Bagi Kant ,ratio
dan sains sangat terbatas dan hanya mengetahui penampakan objek.Ketika sains akan
memasuki wilayah Neumena ia akan tersesat dan hilang dalam antinomy. Demikian juga
ketika ratio mencoba memasuki wilayah neumena ia akan terjebak dan hilkang dalam
paralogisme,oleh karean itu Kant beryakinan bahwa untuk memasuki wilayah neumena
termasuk dalam Etika dan agama maka harus menggunakan Practical reason ( akal Praktis)
57

Adapun prinsip yang yang mendasar dfalam etika kant yakni Universalitas,humanitas dan

otonomi.Prinsip ini membawa konsekuaensi bahwa dalam segala tindakan manusia perlu di
tanamkann suatu sikap di mana sesama manusia tidak boleh menjadi alat. Manusia adalah
tujuan bagi dirinya sendiri sebab segala tindakan moral bersumber dari hati nurani manusia
dan di peruntukan guna mengangkat harkat kemanusiaan secara universal.letak kekuatan
dan kekhasan bangunan pemikiran etika Kant karena dalam Etika rasionalnya ia dapat
memadukan bangunan etika yang sangat kental dengan muatan religius meskipun di
rumuskan dengan pendekaan rasional karena dalam kelaziman suatu perkembangan
keilmuan ( terutama Etika) bila menggunakan pendekatan rasional dengan serta merta di
konotasikan

sebagai non religius.Teori etika yang sangat religius dapat dilihat dari

penjabaran Prinsip otonomi yang merupakan otonomi kehendak,yaitu kemampuan untuk


56

Zubaedi,dkk. 2010, Filsafat Barat dari logika baru Rene Descartes hingga Revolusi sains ala
Thumas Kuhn, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, hal. 67.
57
Ibid., hal. 68.

47

menaati hukum Moral yang di buatnya sendiri. Otonomi kehendak ini suci dan sakral atau
paling tidak merupakan kehendak yang baik,Otonomi Kehendai ini merupakan prinsip
Moralitas tertinggi dalam satu satunya prinsip hukum kewajiban Moral.secara etimologis
etika di ambil dalam bahasa Yunani ethos yang artinya adat dan kebiasaan namun dalam
perkembangannya etika di hubungkan dengan hal hal yang terkait erat dengan nilai.bahkan
secara jelas Magnis memberi pengertian Etika sebagai ilmu yag mengkaji nilai sedangkan
Sudikno memberi pengertian etika sebagai usaha manusia mencari Norma baik dan Norma
Buruk.
Bertens juga membedakan etika di dalam tiga pengertian :
1. Etika dalam arti nilai moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok
untuk mengatur tingkah laku yang dalam hal ini bisa di samakan dengan adat
istiadat, atau kebiasaan.
2. Etika diartikan sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang juga lebih di kenal
dengan kode etik.
3. Etika mempunyai arti sebagai ilmu yang baik dan buruk.Di dalam hal ini Etika baru
menjadi ilmu apabila kemungkinan kemungkinan etis yang begitu saja di terima
dalam suatu masyarakat menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan
metodis.58.
Bertens yang merupakan salah satu pemikir yang merespons produk pemikiran dan
memberi penilaian terhadap bangunan etika oleh kant sehingga dapat di simpulkan
dari ketiga point yang di ungkapkan oleh bertens sejalan dengan pemikiran Kant
tentang Imperatif Kategoris yang di simbolkan dengan perkataan Bertindaklah
secara Moralsehingga Moral adalah ruh dari Etika.Etika membutuhkan Moral
sebagai landasan atau pijakan di dalam melahiransikap tertentu.Moral dapat di
definisikan sebagai wejangan,khotbah ,patokan ,kumpulan peraturan dan ketetapan
baik lisan maupun tertulis tyentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak
agar dapat menjadi manusia yang baik. Etika dan Moral sangat berhubungan erat
seperti dua sisimata uang.Etika merupakan tinjauan pragtisdan kritis untuk
mengatasi permasalahan permasalahan tertentu dengan menggunakan moral sebagai
refrensinya.simbol perkataan yang di jelaskan oleh kant yaitu Bertindaklah secara
Moral ,tidak serta merta mengandung segala perintah melainkan sebagi perwujudan
adanya suatu keharusan Objektif untuk bertindak secara moral yang datang dari diri
sendiri ,yang tidak bersyarat mutlak dan merupakan realisasi dari (budi)praksis.59

58

Indriyanti Dewi Alexander, 2008, Etika dan hukum Kesehatan, Pustaka Book, Yogyakarta
Publisher, hal. 14
59
Lily Tjahyadi, 1991, Hukum Moral, Kanisius,Yogyakarta, hal. 75.

48

Sehingga umumnya apabila seseorang di katakan melakukan tindakan yang tidak


etis maka perbuatan sudah terjadi dan ada ketentuan Moral yang di langgar.
Indikator Nilai Pendidikan.
Apabila konsep legalitas dari Pendidikan yang di selenggarakan di Indonesia
berfungsi dan bertujuan seperti yang terkonsepkan dalam pemikiran pada pasal 3 Undang
undang no 20 tahun2003 tentang pendidikan nasional,maka Etika dan moralitas yang di
legalitas dalam undang undang tersebut jangan sampai kehilangan makna filsafatnya, karena
sejatinya filsafat berkenan denga pencarian kebenaran yang fundamental sehingga filsafat
praktis yang di dasari oleh etika pada pasal 3 UU No 20 tahun 2003 jangansampai
terabaikan dan salah memperasumsikan pendidikan yang berkarakter dengan menirukan
kurikulum yag tidak sejalan dengan ideologi negara kita.
Pasal 3 menyebutkan : Fungsi pendidikan Nasional untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, ,bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif ,mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
Konsep mencerdaskan bangsa memang sudah di terapkan semaksimal mungkin di
dalam pendidikan bangsa kita tapi kurang kepekaaan dari segenap komponen bangsa untuk
mendudukan manusia pada posisi yang tinggi ( prinsip humanistis,kant)dan bukan
menciptaka manusia sebagai alat atau robotsehingga indikator penilaian pendidikan kita
hanya di dasari oleh Niai nilai ulangan harian,nilai rapot atau hasil akhir dari kelulusan
kemudian di dukung oleh pemerintah yang mendefinisikan indikator penillaian hasil
pencapaian ujian lisan ,preses pendidikan malah memakai standar akademik yang
kaku.sudah selayaknya Indikator Penilaian Pendidikan di rubah paradigmanya agar sesuai
dengan filsafat yang tersirat pada pasal 3 UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional konsep tersebut adalah perpaduan atau harmonisasi pada sistem pendidikan formal
maupun informal dan sebagai tolak ukur indikator nilai pendidikan di dasari padaMoral dan
kareakter perilaku anak yang di awali dengan teladan sikap hati dari pendidik formal
maupun pendidik informal ( keluarga/orang tua) seperti ,Nilai kejujuran yang di utamakan
dalam pembelajaran mencerdaskan kehidupan bangsa.
Contoh dalam pembelajaran fisika dan matematika di konsepkan pada kejujuran
siswa untuk tidak mencontek atau kejujuran pendidik untuk tidak membocorkan soal soal

49

ujian kepada peserta didik,Nilai tolong menolong pada tataran etika dan moral.sangat jauh
lebih penting mengajari anak kita tentang moral, attitude, character building dari pada
hanya mementingkan nilai nilai tinggi. Karena kehidupan lebih mengharapkan orang orang
yang bermoral dan berkarakter untuk membangun karakter tatanan kehidupan yang jauh lebi
baik, orang orang yang mencintai sesama,menolong sesama dan menjaga kelestarian alam
lingkungan tempat mereka hidup. Dengan merubah paradigma indikator etika penilaian
yang sejalan dengan UU No 20 Tahun 2003 (Legalitas) maka tindakan akan sejalan dengan
sikap (moralitas). Hal ini sejalan dengan legalitas dan moralitas yang merupakan filsafat
praktis dari kant yang biasa di sebut dengan Metafisika kesusilaan.Pada Legalitas kant
memandang sebagai tindakan yang tidak atau belum bernilai moral ,karena tindakan
tersebut belum memenuhi norma moral. Norma moral (moralitas) adalah tindakan yang
bersifat maksim formalberdasarkan prinsip murni dan apriori. Tindakan yang memenuhi
asas moralitas adalah tindakan yang di lakukan berdasrkan atas kesadaran demi kewajiban
atau tidak memiliki pamrih apapun.
Kontrol moral terhadap Toxic World.
Kisah Toxic World adalah buku yang populer yang menceritakan tentang kata kata
yang menghancurkan masa depan anak,kisah dalam buku the toxic world adalah kisah yang
di ceritakan dalam audio book inspiration tentang inspirasi pendidikan yang dikisahkan
kembali oleh pakar pendidikan Indonesia Ayah Edy ,parenting consultant praktisi multiple
intelligence dan holistik learning.Toxic world adalah hasil penelitian yang di lakukan interview
atau wawancara dengan anak anak yang masuk dalam penjara dan ternyata mempunyai kisah
yang pahit di balik kata kata yang beracun yang mereka dapat di masa lampau sebelum masuk
penjara. Kata kata beracun tersebut menusuk hati mereka yang paling dalam dan tanpa di sadari
kalimat kalimat negatif tersebut bisa jadi dibawa sepanjang masa karena kata kata atau kalimat
tersebut di ucapkan oleh orang orang yang seharusnya mendidik mereka ( para pendidik formal
dan informal). Kata tersebut disimpan dalam hati menjadi sugestii dan lama kelamaan
menjadi keyakinan diri karena berkaitan dengan kemampuan dan tidak kemampuan dalam
dirinya.terkadang kata kata negatif lebih kejam dari pukulan secara fisik karena melukai hati
dan terbawa dalam bathin dan menjadi hal pembenaran diri.
Keyakinan diri ini bisa didapat dalam kehidupan sehari hari yang setiap hari di dengar
dan lama kelamaan menjadi keyakinan kalau kata tersebut kata negatif maka lama kelamaan
anak tersebut akan bertidak negatif. Dari Hasil penelitian The toxic world adalah kata kata
sangat penting membuat anak anak tersebut membentuk keyakinan atau falsafah hidupnya

50

menjadi negatif sehinnga padaakhirnya mereka menegatifkan perilaku mereka sampai pada hasil
akhirnya mereka menikmati kehidupan di dalam penjara. Contoh kata kata atau kalimat beracun
yang mereka dapatkan adalah : dasar anak pembawa sial, lihat saja hidupmu akan berakhir dalam
penjara, anak terkutuk!, aku menyesal melahirkanmu,dasar anak bodoh, anak setan, dll. Betapa
dashatnya kata atau kalimat oleh karena hati-hatilah dengan kata dan kalimat yang negatif karena
sangat berpengaruh pada kehidupan seseorang terlebih kepada anak didik . Tetapi hal yang
positif adalah kata atau kalimat tersebut masih bisa dirubah dengan kegiatan dalam sehari
hari di ganti dengan kalimat yang positif dan memotivasi anak didik kita sehingga langkah
awal adalah merubah suasana hati dan aura positif dalam mendidik anak anak. sebenarnya
jauh sebelum filsafat filsafat barat masuk didalam kurikulum maupun traing traing kepada
para pendidik bangsa kita sudah mempunyai filsafat yang membangun perilaku para
pendidik kita yaitu apa yang sudah di ajarkan oleh Ki Hajar Dewantara yang terkenal dalam
semboyan semboyan sebagai pilar dasar perilaku para pendidik.
Semboyan Tut wuri handayani, atau aslinya: ing ngarsa sung tulada, ing madya
mangun karsa, tut wuri handayani. Arti dari semboyan ini adalah: tut wuri handayani (dari
belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun
karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing
ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan
yang baik). Sehingga Tercipta kalimat : Di Depan, Seorang Pendidik harus memberi
Teladan atau Contoh Tindakan Yang Baik, Di tengah atau di antara Murid, Guru harus
menciptakan prakarsa dan ide, Dari belakang Seorang Guru harus Memberikan dorongan
dan Arahan. Sehingga dalam mendidik perilaku dalam berkata kata atau kalimat dalam
aktifitas mendidik harus di dasari dengan bahasa yang positif yang membawa aura positif
terhadap kegiatan dan kemajuan peserta didik. Ajaran kepemimpinan Ki Hadjar
Dewantara yang sangat poluler di kalangan masyarakat adalah Ing Ngarso Sun Tulodo,
Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani. Yang pada intinya bahwa seorang
pemimpin harus memiliki ketiga sifat tersebut agar dapat menjadi panutan bagi orang lain.
Ing Ngarso Sun Tulodo artinya Ing ngarso itu didepan / dimuka, Sun berasal dari kata
Ingsun yang artinya saya, Tulodo berarti tauladan. Jadi makna Ing Ngarso Sun Tulodo
adalah menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi orang orang disekitarnya. Sehingga yang harus dipegang teguh oleh seseorang adalah kata suri
tauladan. Ing Madyo Mbangun Karso, Ing Madyo artinya di tengah-tengah, Mbangun berarti
membangkitan atau menggugah dan Karso diartikan sebagai bentuk kemauan atau niat. Jadi

51

makna dari kata itu adalah seseorang ditengah kesibukannya harus juga mampu
membangkitkan atau menggugah semangat. Karena itu seseorang juga harus mampu
memberikan inovasi-inovasi dilingkungannya dengan menciptakan suasana yang lebih
kodusif untuk keamanan dan kenyamanan.
Demikian pula dengan kata Tut Wuri Handayani, Tut Wuri artinya mengikuti dari
belakang dan handayani berati memberikan dorongan moral atau dorongan semangat.
Sehingga artinya Tut Wuri Handayani ialah seseorang harus memberikan dorongan moral
dan semangat kerja dari belakang. Dorongan moral ini sangat dibutuhkan oleh orang - orang
disekitar kita menumbuhkan motivasi dan semangat. Jadi secara tersirat Ing Ngarso Sun
Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani berarti figur seseorang yang baik
adalah disamping menjadi suri tauladan atau panutan, tetapi juga harus mampu menggugah
semangat dan memberikan dorongan moral dari belakang agar orang - orang disekitarnya
dapat merasa situasi yang baik dan bersahabat. Sehingga kita dapat menjadi manusia yang
bermanfaat di masyarakat.
Penutup
Tugas dalam mendidik adalah tugas yang membawa atau mengiringi anak didik
menuju jalan cita cita mereka sehingga sebagai Pendidik tidak saja pintar dalam mengajar /
untuk hanya mencerdaskan peserta didik tapi lebih dari itu seorang pendidik harus
mempunyai teladan sikap hati dengan di dasari benar benar legalitas dan moralitas yang di
legalkan pada pasal 3 UU No 20 tahun 2003 tetapi juga mulai kembali ke fitrah pada
esensi pemikiran filsafat yaitu suatu kebenaran itu harus di cari dan di absahkan
kebenarannya melalui sebuah perjalanan yang membawa kebenaran meskipun dalam
pencarian tersebut kita harus berbalik kembali ke jalan yang pernah di lalui dan merangkul
erat erat semboyan semboyan yang sudah di ajarkan oleh Ki hajar Dewantara sebagai
konsep mendidik berperilaku

baik berupa ungkapan ucapan dan tingkah laku yang

membawa dampak positif ke anak anak Indonesia.saatnya kini para pendidik formal dan
informal menyadari bahwa masa depan anak anak indonesia melalui pendidikan yang
bernafaskan Pancasila.

DAFTAR PUSTAKA

52

BUKU
Indriyanti Dewi Alexander, 2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher,
Yogyakarta.
Lily Tjahyadi, Hukum Moral, Kanisius Yogyakarta.
Win usuluddin bernadien,Membuka Gerbang Filsafat,Yogyakarta: pustaka pelajar,agustus
2011
Zubaedi,dkk., 2010, Filsafat Barat dari logika baru Rene Descartes hingga Revolusi sains
ala Thumas Kuhn, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta.
SURAT KABAR
Surat kabar,suara merdeka.16 maret 2011
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem pendidikan Nasional

53

ALTERNATIF SANKSI PIDANA PENJARA


TERHADAP ANAK DELINQUENT
I Nyoman Ngurah Suwarnatha
Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional Denpasar
ngurahsuwarnatha13@gmail.com

Abstract:
In the court does not little children who sentenced imprisonment. Increasing number of juvenile
delinquent processed in court showed a loss of sense of priority and sense of justice of the law
enforcement officers. Sanction in the form of "treatment" is more goal oriented sentencing for specific
prevention and re-education, not solely for the purpose of retribution so in accordance with the
philosophy contained in the theory of sentencing reform, which leads to objective improvements to the
perpetrators.
Key wordss: Sanction, Juvenile Delinquent, Treatment.

Pendahuluan
Kasus-kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak pidana atau anak
delinquent merupakan fenomena yang berbeda dengan pelaku tindak pidana dewasa. Anak
merupakan individu yang masih labil emosinya dalam masa perkembangan jasmani dan
jiwa, dalam tahap pertumbuhan menuju kedewasaan dan dalam masa pencarian jati diri.60
Anak sebagai pelaku tindak pidana yang dijatuhi pidana untuk dibina dalam Lembaga
Pemasyarakatan (LAPAS) Anak, perlu mendapat penanganan khusus dalam menjalani masa
pidananya.
Masalah perlindungan hukum dan hak-hak bagi anak merupakan salah satu sisi
pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Berkaitan dengan hak anak, negaranegara di dunia memberikan perhatian serius terhadap jaminan hak-hak anak termasuk hak
anak yang berhadapan dengan hukum serta hak anak dalam masa pidana. Pada tanggal 20
November 1989 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengesahkan Konvensi Hak Anak
(Child Rights Convention). Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Keputusan
Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990.61 Ratifikasi terhadap instrumen hukum

60

I Nyoman Ngurah Suwarnatha, 2009, Perlindungan Hak Asasi Anak Pidana dalam
Menjalani Masa Pidana, Tesis, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hal. 1.
61
Darwan Prinst, 2003, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 124.

54

internasional tersebut secara otomatis menimbulkan kewajiban bagi negara untuk menjamin
pelaksanaan perlindungan terhadap hak-hak anak.
Materi hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak (KHA) tersebut
dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak, yaitu: hak terhadap
kelangsungan hidup (survival rights), hak terhadap perlindungan (protection rights), hak
untuk tumbuh kembang (development rights), hak untuk berpartisipasi (participation
rights).62
Bagi anak delinquent (anak yang berhadapan dengan hukum) berhak untuk
mendapatkan perlindungan khusus dari pemerintah dan lembaga negara yang memiliki
kewajiban dan tanggung jawab untuk itu.63 Bentuk perlindungan khusus bagi anak
delinquent (anak yang berhadapan dengan hukum) dilakukan melalui perlakuan secara
manusiawi sesuai martabat dan hak anak, petugas pendamping khusus, penyedian sarana
dan prasarana khusus, penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi
anak, pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak, jaminan
untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga dan perlindungan dari
pemberitaan identitas melalui media massa untuk menghindari labelisasi.64
Persoalan anak-anak Indonesia yang tergolong bermasalah (delinquent) masih
sangat problematis. Persoalan riil yang dihadapi terutama menyangkut aktualisasi dan
implementasi prinsip umum bahwa state shall ensure each child enjoy full rights without
discrimination or distinction of any kind (negara menjamin setiap anak menikmati hakhaknya secara penuh tanpa diskriminsasi dan perbedaan dalam berbagai bentuk) di samping

62

Mohammad Joni, Zulchaina Z. Tanamas, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam
Perspektif Konvensi Hak Anak, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 35.
63
Pasal 1 angka 15 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
menyatakan Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi
darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak
tereksploitasi, secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi
korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak
korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik/atau mental, anak
yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. dan Pasal 59 Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pemerintah dan lembaga negara lainnya
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam
situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi,
anak tereksploitasi, secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi
korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak
korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik/atau mental, anak
yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
64
Ketentuan Pasal 64 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.

55

prinsip bahwa the childs best interest shall be a primary consideration in all actions
concerning children (kepentingan terbaik anak-anak harus dijadikan pertimbangan utama
dalam segala aksi yang berhubungan dengan anak-anak).
Kasus pidana yang melibatkan anak-anak sebagai pelaku setiap tahunnya mengalami
peningkatan. Menurut data pada tahun 2010/2011, terdapat sekitar 7.000 lebih anak yang
berhadapan dengan hukum, diantaranya 6.726 anak sudah divonis dan selebihnya dalam
proses. Sementara pada tahun 2008/2009, ada sekitar 4 ribu anak yang berhadapan dengan
hukum. Tidak sedikit dari mereka yang sudah menjalani penahanan di LAPAS. Hal ini
seharusnya menjadi perhatian pemerintah dalam rangka penanganan dan perlindungan anak
yang berhadapan dengan hukum.65 Pada proses pengadilan tidak sedikit anak yang dijatuhi
vonis pidana penjara. Semakin banyaknya anak yang diproses di pengadilan menunjukkan
hilangnya sense of priority dan sense of justice dari para aparat penegak hukum. Meskipun
anak bermasalah dengan hukum, namun prinsip-prinsip anti diskriminasi dan anti distingsi,
mulai dari proses peradilan sampai pemberian tindakan atau treatment (penanganan) tidak
boleh bertentangan atau mengeliminasi hak-hak anak.
Aparat penegak hukum dalam menangani anak delinquent (anak yang bekonflik
dengan hukum) hendaknya lebih mengedepankan prinsip restoratif justice, yaitu sebuah
konsep restorasi keadilan. Pemidanaan terhadap anak bukan lagi sekedar memberikan efek
jera, namun bagaimana mengembalikan sebuah persoalan pada keadaan yang semestinya
terjadi.

Kategori Batas Usia Anak dan Kenakalan Anak


Anak dan generasi muda adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena anak
merupakan bagian dari generasi muda. Selain anak, di dalam generasi muda ada yang
disebut remaja dan dewasa. Menurut Zakiah Daradjat sebagaimana dikutip oleh Gatot
Supramono, generasi muda dibatasi sampai seorang anak berumur 25 tahun. Generasi muda
terdiri atas masa kanak-kanak umur 0 sampai dengan 12 tahun, masa remaja umur 13
sampai dengan 20 tahun dan masa dewasa muda umur 21 sampai dengan 25 tahun.66

65

Suara
Merdeka,
2012, Jazuli: Perlindungan Anak Jangan Teori,
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/01/16/106930/Jazuli-Perlindungan-AnakJangan-Sekadar-Teori, diakses pada 17 Januari 2012.
66
Gatot Supramono, 2007, Hukum Acara Pengadilan Anak, Penerbit Djambatan, Jakarta,
hal. 1.

56

Proses perkembangan anak terdiri dari beberapa masa pertumbuhan, yaitu:67


a) Masa kanak-kanak
Masa kanak-kanak terbagi dalam masa bayi (dari lahir sampai menjelang 2 tahun);
kanak-kanak pertama umur 2 sampai dengan 5 tahun dan kanak-kanak terakhir umur 5
sampai dengan 12 tahun.
b) Masa remaja umur 13 sampai dengan 20 tahun
Pada masa ini terjadi perubahan dalam segala bidang, sikap sosial dan kepribadian.
Karena banyaknya perubahan, sehingga terjadi kegoncangan, tidak stabil emosinya,
kadang-kadang menyebabkan timbulnya sikap dan tindakan yang oleh orang dewasa
dinilai tindakan nakal.
c) Masa dewasa muda umur 21-25 tahun
Perkembangan jasmani dan kecerdasan telah betul-betul dewasa, emosi sudah mulai
stabil, namun dari segi kemantapan agama dan ideologi masih dalam proses
pemantapan.
Berdasarkan hukum positif Indonesia, pengertian anak diatur secara implisit dan
eksplisit. Pengertian anak secara implisit diatur dalam Pasal 330 KUHPerdata.68 Pengertian
anak secara eksplisit diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak, Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, Pasal 1 ayat (5) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi

Manusia, Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, Pasal 1 KHA.69


Ditinjau dari aspek yuridis pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim
diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig / person under age), orang yang
dibawah umur sering disebut juga anak dibawah pengawasan wali (minderjarig

67

Emeliana Krisnawati, 2005, Aspek Hukum Perlindungan Anak, CV. Utomo, Bandung, hal.

7.
68

Pasal 330 KUHPerdata Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap
dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin
69
Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah
kawin
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Anak adalah orang
yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin
Pasal 1 ayat (5) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia anak adalah
setiap manusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih
dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan
Pasal 1 KHA yang dimaksud dalam Konvensi sekarang ini, seorang anak adalah setiap manusia
yang berusia di bawah 18 tahun kecuali, berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak-anak,
kedewasaan dicapai lebih cepat.

57

ondervoordij). Bertitik tolak pada aspek tersebut ternyata dalam Kitab Undang Undang
Hukum Pidana Indonesia tidak ada ketentuan batas usia anak.
Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam ilmu
pengetahuan (the body of knowledge), tetapi dapat ditelaah dari sisi pandang sentralistis
kehidupan. Seperti agama, hukum dan sosiologi yang menjadikan pengertian anak semakin
rasional dan aktual dalam lingkungan sosial.70
Pengertian anak dalam lapangan hukum pidana diletakkan dalam pengertian anak
yang bermakna penafsiran hukum secara negatif. Dalam arti seorang anak yang berstatus
sebagai subyek hukum yang seharusnya bertanggung jawab terhadap tindak pidana
(strafbaar feit) yang dilakukan oleh anak itu sendiri, ternyata karena kedudukannya sebagai
seorang anak yang berada dalam usia belum dewasa diletakkan sebagai seseorang yang
mempunyai hak-hak khusus dan perlu mendapat perlindungan khusus menurut ketentuan
hukum yang berlaku. 71
Pengertian anak dalam hukum pidana lebih mengutamakan pada pemahaman
terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi karena anak berdasarkan kodratnya
mempunyai akal dan fisik yang masih lemah dan di dalam sistem hukum dipandang sebagai
subyek hukum yang dicangkokkan dari bentuk pertanggung jawaban, sebagaimana layaknya
seorang subyek hukum yang normal.
Batas usia anak adalah pengelompokan usia maksimun anak yang dilihat dari
kemampuan anak di dalam status hukum, sehingga status usia anak tersebut beralih dari usia
anak-anak menjadi usia dewasa. Usia seorang anak yang beralih status menjadi usia dewasa,
kedudukannya dilingkungan hukum juga statusnya beralih menjadi subyek hukum yang
mampu bertanggung jawab sendiri atas segala perbuatan hukum yang dilakukannya.
Dengan melihat ketentuan yang berlainan tersebut, pengertian anak berlaku bagi
seorang anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah mencapai umur 8
(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah
kawin.72
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010,
menyatakan batas usia pertanggungjawaban seorang anak minimal berusia 12 tahun sebagai
70

Maulana Hassan Wadong, 2000, Pengantar Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak,
Grasindo, Jakarta, hal. 1.
71
Ibid., hal. 20.
72
Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak.

58

ambang batas usia pertanggungjawab anak. Dengan demikian, seorang anak yang
berhadapan dengan hukum, dapat diproses pada tahap penuntutan apabila usia seorang anak
telah mencapai usia 12 tahun.
Penetapan usia minimal 12 tahun sebagai ambang batas usia pertanggungjawaban
hukum bagi anak telah diterima dalam praktik sebagian negara-negara sebagaimana juga
direkomendasikan oleh Komite Hak Anak PBB dalam General Comment, 10 Februari 2007.
Dengan batasan usia 12 tahun maka telah sesuai dengan ketentuan tentang pidana yang dapat
dijatuhkan kepada anak dalam Pasal 26 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Pengadilan Anak.
Penetapan batas usia tersebut juga dengan mempertimbangkan bahwa anak secara relatif sudah
memiliki kecerdasan emosional, mental, dan intelektual yang stabil serta sesuai dengan
psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia, sehingga dapat bertanggung jawab secara hukum
karena telah mengetahui hak dan kewajibannya. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi
berpendapat, batas usia minimal 12 tahun lebih menjamin hak anak untuk tumbuh berkembang
dan mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.73
Kenakalan anak diambil dari istilah asing Juvenile Delinquency. Sebagaimana
diketahui terdapat berbagai macam definisi yang dikemukakan oleh para ilmuwan tentang
Juvenile Delinquency ini, seperti diuraikan di bawah ini:
1. Menurut Kartini Kartono, Juvenile Delinquency adalah: perilaku jahat/dursila, atau
kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial
pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial
sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang
menyimpang.74
2. Menurut Romli Atmasasmita, Juvenile Delinquency, yaitu setiap perbuatan/tingkah laku
seseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran
terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan
pribadi si anak yang bersangkutan.75
Berdasarkan Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak yang dimaksud Anak Nakal adalah:
a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik
menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain
yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
73

Mahkamah
Konstitusi,____,12
Tahun,
Batas
Usia
Pidana
Anak,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Berita.Berita&id=5049,
diakses
pada 1 Maret 2011.
74
Kartini Kartono, 1992, Patologi Sosial 2 Kenakalan Anak Pidana, Rajawali Pers, Jakarta,
hal. 7.
75
Wagiati Soetodjo, 2006, Hukum Pidana Anak, PT Refika Aditama, Bandung, hal. 11.

59

Anak yang melakukan tindak pidana dan berdasarkan putusan pengadilan menjalani
pidana penjara di LAPAS anak disebut sebagai anak pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 1
angka 8 (a) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, anak pidana
yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS anak paling
lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
Pidana Penjara Terhadap Anak
Istilah hukuman berasal dari kata straf,76 merupakan istilah yang sering digunakan
sebagai sinonim dari istilah pidana. Istilah hukuman merupakan istilah yang umum,
memiliki arti luas dan dapat berkonotasi pada cakupan yang luas.
Pidana merupakan istilah yang lebih khusus, memiliki batasan pengertian atau
makna. Menurut Sudarto:77 pidana adalah nestapa yang diberikan oleh negara kepada
seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang (hukum
pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa. Pemberian nestapa sengaja diberikan
kepada pelanggar ketentuan Undang-undang dengan maksud sebagai efek jera.
Menurut Andi Hamzah, istilah pidana harus dikatikan dengan ketentuan yang
tercantum di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP atau yang disebut asas nullum delictum nulla
poena sine praevia lege poenalenullum delictum nulla poena sine praevia lege poenale
yang diperkenalkan Anselm von Feuerbach, yang berbunyi sebagai berikut:78 tiada suatu
perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan-ketentuan perundangundangan pidana yang telah ada sebelumnya.
Menurut Roeslan Saleh sebagaimana dikutip oleh Niniek Suparni menyatakan
bahwa: pidana adalah reaksi-reaksi atas delik, yang berwujud suatu nestapa yang sengaja
ditampakan negara kepada pembuat delik.79 Akan tetapi tidak semua Sarjana menyetujui
pendapat bahwa hakikat pidana adalah pemberian nestapa, hal ini antara lain diungkapkan
oleh Hulsman sebagaimana dikutip oleh Muladi bahwa: Pidana adalah menyerukan untuk
tertib; pidana pada hakikatnya mempunyai dua tujuan utama yakni untuk mempengaruhi
tingkah laku dan untuk menyelesaikan konflik.80
76

Marjanne Termorshuizen, 1999, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Djambatan, Jakarta,

hal. 399.
77

Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal. 109-110.
Andi Hamzah, 1993, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita,
Jakarta, hal. 1-2.
79
Niniek Suparni, 2007, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan,
Sinar Grafika, Jakarta, hal. 12.
80
Ibid., hal.12.
78

60

Pemidanaan sebagai suatu proses penjatuhan pidana terhadap seorang anak


seharusnya dilakukan sebijaksana mungkin yaitu perlu mempertimbangkan pidana yang
sesuai dengan kondisi anak, sebab pidana tidak berakibat sama pada setiap anak. Adapun
fungsi pidana penjara adalah:
a) Menjamin pengamanan narapidana.
b) Memberikan kesempatan kepada narapidana untuk direhabilitasi.81
Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana:
1) Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien)
Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis,
seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur
untuk dijatuhkannya pidana.
2) Teori relatif atau tujuan (doel theorien)
Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan
akibatnya yaitu tujuan pidana untuk provensi terjadinya kejahatan.
3) Teori gabungan (verenigings theorien)
Teori gabungan yaitu menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini tidak
boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih
besar daripada yang seharusnya.82
Pidana penjara bagi anak delinquent dilakukan sebagai upaya terakhir dan
penahanan terhadap anak delinquent harus memperhatikan kepentingan anak yang
menyangkut pertumbuhan dan perkembangan anak delinquent baik secara fisik, mental
maupun sosial.
Menurut P.A.F. Lamintang, pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan
kebebasan bergerak dari seorang terpidana yang dilakukan dengan menutup orang tersebut
di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati
semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan
dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.83
Menurut Jan Remmelink, pidana penjara adalah salah satu bentuk pidana
perampasan kemerdekaan (pidana badan) terpenting. Di Belanda bahkan persyaratan
penjatuhannya dimuat dalam UUD Belanda yang baru Pasal 113 ayat (3), dengan
menetapkan persyaratan bahwa ia hanya boleh dijatuhkan oleh hakim pidana.84

81

Ibid., hal. 40.


Andi Amzah, op. cit, hal. 26-29.
83
P.A.F. Lamintang, 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, hal. 69.
84
Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Paparannya Dalam Undang-undang Hukum Pidana
Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 465.
82

61

Pidana penjara merupakan salah satu jenis pidana pokok yang berwujud
pengurangan atau perampasan kemerdekaan seseorang yang dapat memberikan cap jahat
dan dapat menurunkan derajat serta harga diri seseorang apabila dijatuhi pidana penjara.
Hukum pidana sebagai pengayoman pada mulanya mengandung arah bagi tujuan
pidana penjara yang bersifat mendidik, membimbing dan memperlakukan narapidana sesuai
dengan harkat kemanusiaan yang dilaksanakan dengan sistem pemasyarakatan.
Menurut Bambang Poernomo, sistem pemasyarakatan bukan mengakibatkan jenis
pidana penjara diganti menjadi pidana pemasyarakatan, akan tetapi harus menjadi kebijakan
pelaksanaan pidana (penal policy) sebagai berikut:
1. Sistem pemasyarakatan mengandung kebijakan pidana dengan upaya baru
pelaksanaan pidana penjara yang institusional (Institutional Treatment of Offender)
yang berupa aspek pidana yang dirasakan tidak enak (Custodial Treatment of
Offender) dan aspek tindakan pembinaan di dalam dan/atau bimbingan di luar
lembaga (non-custodial Treatment of Offender) agar melalui langkah-langkah yang
selektif dapat menuju kepada deinstusinalisasi atas dasar kemanusiaan;
2. Sistem pemasyarakatan mengandung perlakuan terhadap narapidana (the Treatment
of Prisoners) agar semakin terintegrasi dalam masyarakat dan meperoleh bimbingan
yang terarah berlandaskan pada pedoman pelaksanaan pembinaan (manual) yang
disesuaikan dengan Standard Minimum Rules.85
Sistem pemasyarakatan yang dianut di Indonesia diatur dalam Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, ini menandai dimulainya era baru dalam
pelaksanaan pembinaan bagi narapidana dan anak didik yang selama ini menggunakan
Reglemen Penjara sebagai dasar dari pelaksanaan pembinaan narapidana dan anak didik
pemasyarakatan.
Bagi anak delinquent (anak yang berkonflik dengan hukum), jenis sanksi pidana
penjara atau kurungan dilakukan sebagai upaya terakhir dan untuk masa paling singkat yang
dimungkinkan.
Dengan mempertimbangkan anak berdasarkan kodratnya mempunyai akal dan fisik
yang masih lemah dan di dalam sistem hukum dipandang sebagai subyek hukum yang
dicangkokkan dari bentuk pertanggung jawaban, sebagaimana layaknya seorang subyek
hukum yang normal, maka harus tetap mengupayakan agar pemidanaan terhadap anak
delinquent, khususnya penjatuhan pidana penjara merupakan upaya akhir bilamana upaya
lain tidak berhasil. Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak delinquent pada

85

Bambang Poernomo, 1986, Pelaksanaan


Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, hal. 89.

Pidana

Penjara

Dengan

Sistem

62

dasarnya tetap harus mengacu pada prisip-prinsip yang diatur dalam Beijing Rules dan juga
Konvensi Hak Anak, khususnya yang berkaitan dengan:
a. Kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child) sebagai dasar
pertimbangan utama yang digunakan pada saat akan menjatuhkan sanksi pidana
terhadap anak delinquent;
b. Perampasan kemerdekaan (pidana penjara) digunakan sebagai pilihan terakhir dan
untuk jangka waktu sesingkat yang diperlukan.
Aparat penegak hukum, khususnya Hakim Anak untuk meminimalisasi penjatuhan
sanksi pidana penjara bagi anak delinquent, karena pidana penjara mempunyai dampak
negatif, utamanya bagi anak. Selain memiliki dampak negatif bagi anak, sesungguhnya
pidana penjara juga memiliki beberapa keterbatasan dalam upayanya menanggulangi
kejahatan.
Maatregelen atau Treatment Sebagai Alternatif Sanksi Pidana Penjara Terhadap Anak
Berkaitan dengan penjatuhan pidana, Konggres PBB pada tahun 1950 membentuk
Komisi Khusus di bidang hukum dan peradilan pidana, yang mengubah orientasi kebijakan
dalam penjatuhan pidana dari the punishment of offenders menjadi the treatment of
offenders,86 yang salah satu pertimbangannya adalah untuk menghindari pengaruh buruk
dari LAPAS Anak terhadap anak delinquent. Pergaulan antar sesama anak pidana di dalam
LAPAS Anak dapat membuat anak delinquent justru akan mejadi lebih jahat setelah keluar
dari LAPAS Anak. Oleh sebab itu, Bernes dan Teeters berpendapat bahwa LAPAS Anak
telah tumbuh menjadi tempat pencemaran (a place of contamination)87. Dengan kata lain
LAPAS Anak tidak dapat menjamin bahwa anak delinquent akan menjadi sadar dengan
kesalahannya, bertobat dan tidak akan mengulangi perbuatan jahatnya, seperti yang
dikemukakan oleh W.A. Bonger bahwa mencegah kejahatan adalah lebih baik (dalam
artian : lebih mudah, lebih mencapai tujuannya, dan lebih murah) daripada mencoba
mendidik penjahat menjadi orang baik kembali.88
Dunia internasional melalui PBB dalam Koggres PBB kelima di Genewa pada tahun
1975 mengenai Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, juga menghendaki
dibatasinya kemungkinan penjatuhan pidana penjara jangka pendek, karena di samping akan

86

Bambang Poernomo, (t.th.), Hand-out Sistem Peradilan Pidana, Program Pascasarjana


UGM, Yogyakarta, hal. 110.
87
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-teori Dan Kebijakan Pidana, P.T. Alumni,
Bandung, hal. 79.
88
W.A. Bonger, 1995, Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan, Jakarta, hal.
167.

63

membawa efek-efek negatif juga dipandang kurang menunjang sistem pembinaan


pemasyarakatan.89 Senada dengan hal tersebut, Muladi mengemukakan bahwa sekalipun
penjara diusahakan untuk tumbuh sebagai instrumen reformasi dengan pendekatan
manusiawi, namun sifat aslinya sebagai lembaga yang harus melakukan tindakan
pengamanan dan pengendalian narapidana tidak dapat ditinggalkan demikian saja.90
Apalagi pidana penjara jangka pendek, menurut Muladi jelas tidak mendukung
kemungkinan untuk rehabilitasi narapidana di satu pihak, dan di pihak lain bahkan
menimbulkan apa yang disebut stigma atau cap jahat.91 Pidana penjara jangka pendek juga
tidak mengefektifkan fungsi pidana sebagai general prevention. Orang menjadi tidak takut
untuk melakukan perbuatan pidana karena hukumannya sangat ringan dan sebentar lagi juga
akan menjadi bebas beraktifitas seperti semula.
Sistem penjatuhan sanksi di dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, menganut sistem dua jalur (double track system) yang tidak hanya berupa
penjatuhan sanksi pidana (straf / punishment) tetapi juga berupa tindakan (maatregel /
treatment). Sistem tindakan yang terdapat di dalam Undang-Undang Pengadilan Anak
adalah dalam hal Anak delinquent (Nakal), hakim dapat memerintahkan untuk :
a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh,
b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan
latihan kerja,
c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan
kerja.92
Tindakan mengembalikan Anak delinquent (Nakal) kepada orang tuanya dilandasi
dengan pertimbangan bahwa pengadilan melihat dan meyakini kehidupan di lingkungan
keluarga tersebut dapat membantu yang bersangkutan tidak melakukan perbuatan pidana lagi.
Tindakan menyerahkan Anak Nakal kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan
dan latihan kerja dilandasi dengan pertimbangan apabila keadaan lingkungan keluarga tidak
memberikan jaminan dapat

membantu yang bersangkutan dalam perbaikan dan

pembinaannya. Tindakan menyerahkan Anak Nakal kepada Departemen Sosial, atau


Organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja

89

Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung. hal. 125.
90
Muladi dan Barda Nawawi Arief, op. cit., hal. 78.
91
Ibid., hal. 80.
92
Lihat Ketentuan Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak.

64

dilandasi dengan pertimbangan apabila keluarga sudah tidak sanggup lagi untuk mendidik dan
membina yang bersangkutan ke arah yang lebih baik, sehingga yang bersangkutan tidak
melakukan perbuatan pidana lagi.93
Menurut Herbert L. Packer, tujuan utama dari treatment (tindakan) adalah untuk
memberikan keuntungan atau untuk memperbaiki orang yang telah melakukan tindak pidana.
Fokusnya bukan pada perbuatannya yang telah lalu atau yang akan datang, tetapi pada tujuan
untuk memberikan pertolongan. Jadi dasar pembenaran dari tindakan adalah pada anggapan
bahwa orang yang bersangkutan akan atau mungkin menjadi lebih baik. Tujuan utamanya
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan. Sedangkan dasar pembenaran punishment
(penjatuhan sanksi pidana) adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan yang telah dilakukan
dan untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan. Jadi fokusnya adalah pada perbuatan
salah atau tindak pidana yang telah dilakukan.94
Sanksi yang berupa tindakan lebih berorientasi pada tujuan pemidanaan untuk
prevensi khusus dan pendidikan ulang (reeducation), bukan semata-mata untuk tujuan
retribusi (pembalasan seimbang) sehingga sesuai dengan filosofi pemidanaan yang terdapat
pada teori reformasi, yaitu mengarah pada tujuan perbaikan kepada pelaku.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menghendaki kepentingan yang terbaik
bagi anak, atau dengan kata lain mengarah pada keberpihakan terhadap masa depan anak
harus menjadi pertimbangan utama bagi aparat penegak hukum khususnya hakim dalam
menentukan sanksi yang akan dijatuhkan kepada anak delinquent. Oleh sebab itu, filsafat
pemidanaan yang terdapat pada teori retributif yang mengutamakan unsur pembalasan tidak
tepat diterapkan pada kasus, dimana seorang anak menjadi pelakunya.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Peradilan Anak yang tengah dibahas di
Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat diharapkan mengedepankan perlindungan terhadap
anak yang berhadapan dengan hukum ketimbang memberi sanksi pidana. Seorang anak
delinquent (anak yang berhadapan dengan hukum), harus dilihat sebagai korban dari berbagai
faktor, seperti kemiskinan, kurangnya perhatian keluarga dan masyarakat, keterbatasan
pengetahuan orangtua atas pendidikan anak, serta pengaruh buruk lingkungan.95
93

Wagiati Soetodjo, op. cit., hal. 47.


Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit., hal. 5-6.
95
Kompas,
2011,
Beri Perlindungan Anak,
Bukan Sanksi
Pidana,
http://nasional.kompas.com/read/2011/10/18/17550531/Beri.Perlindungan.Anak.Bukan.Sanksi.Pidan
a, diakses pada 15 Januari 2012.
94

65

Penjatuhan sanksi yang tepat terhadap anak delinquent adalah harus berupa tindakan,
atau hakim tidak perlu menjatuhkan sanksi pidana (penjara, kurungan) dengan memasukkan
seorang anak ke dalam LAPAS Anak karena beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1. Fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga usaha rehabilitasi dan
reintegrasi sosial,96 agar anak delinquent menyadari kesalahannya, tidak lagi
berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat
yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya. Dengan kata lain,
pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan anak delinquent agar menyesali
perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat
kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial, dan keagamaan, sehingga
tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai.97
2. Untuk menghindari pengaruh negatif dari LAPAS Anak yang dikhawatirkan akan
selalu terekam dalam perkembangan jiwa anak, dan untuk mengantisipasi adanya
kemungkinan yang bersangkutan untuk menjadi recidivis atau bahkan menjadi
penjahat kronis.
3. Untuk menghindari labelisasi dari masyarakat, mengingat harapan hidupnya yang
relatif masih panjang jika dibandingkan dengan orang dewasa, serta demi menatap
masa depannya yang lebih baik, karena anak merupakan generasi penerus bangsa.
Penutup
Pemidanaan sebagai suatu proses penjatuhan pidana terhadap seorang anak
seharusnya dilakukan sebijaksana mungkin yaitu perlu mempertimbangkan pidana yang
sesuai dengan kondisi anak, sebab pidana tidak berakibat sama pada setiap anak. Sanksi
yang berupa tindakan lebih berorientasi pada tujuan pemidanaan untuk prevensi khusus
dan pendidikan ulang (reeducation), bukan semata-mata untuk tujuan retribusi (pembalasan
seimbang) sehingga sesuai dengan filosofi pemidanaan yang terdapat pada teori reformasi,
yaitu mengarah pada tujuan perbaikan kepada pelaku. Penjatuhan sanksi yang tepat terhadap
anak delinquent adalah harus berupa tindakan, atau hakim tidak perlu menjatuhkan sanksi
pidana (penjara, kurungan) dengan memasukkan seorang anak ke dalam LAPAS Anak.
Hakim anak yang menangani kasus anak delinquent hendaknya menjatuhkan sanksi
tindakan atau treatment, sehingga lebih mengutamakan pada aspek kemanfaatan, tidak
hanya mengacu kepada bunyi pasal dalam undang-undangnya, serta berpikir secara
interdisipliner. Dalam hal pengadilan menetapkan sanksi yang berupa tindakan
dikembalikan kepada orang tuanya, maka orang tua atau keluarga yang diberi
kepercayaan oleh pengadilan tersebut harus tetap dipantau dan diawasi oleh pihak Jaksa
Penuntut Umum selaku eksekutor atau Hakim Pengawas dan Pengamat yang berwenang.
96

Lihat Ketentuan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang


Pemasyarakatan.
97
Ibid.

66

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Arief, Barda Nawawi, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Bonger, W.A., 1995, Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan, Jakarta.
Hamzah, Andi, 1993, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta.
Joni, Mohammad, Tanamas, Zulchaina Z., 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam
Perspektif Konvensi Hak Anak, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Kartono, Kartini, 1992, Patologi Sosial 2 Kenakalan Anak Pidana, Rajawali Pers, Jakarta.
Krisnawati, Emeliana, 2005, Aspek Hukum Perlindungan Anak, CV. Utomo, Bandung.
Lamintang, P.A.F., 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico Bandung.
Muladi dan Arief, Barda Nawawi, 2005, Teori-teori Dan Kebijakan Pidana, P.T. Alumni,
Bandung.
Poernomo, Bambang, (t.th.), Hand-out Sistem Peradilan Pidana, Program Pascasarjana
UGM, Yogyakarta.
Poernomo, Bambang, 1986, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan,
Liberty, Yogyakarta.
Prinst, Darwan, 2003, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Remmelink, Jan, 2003, Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Paparannya Dalam Undang-undang
Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Soetodjo, Wagiati, 2006, Hukum Pidana Anak, PT Refika Aditama, Bandung.
Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Suparni, Niniek, 2007, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan,
Sinar Grafika, Jakarta.
Supramono, Gatot, 2007, Hukum Acara Pengadilan Anak, Penerbit Djambatan, Jakarta.
Suwarnatha, I Nyoman Ngurah, 2009, Perlindungan Hak Asasi Anak Pidana dalam
Menjalani Masa Pidana, Thesis, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Termorshuizen, Marjanne, 1999, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Wadong, Maulana Hassan, 2000, Pengantar Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak,
Grasindo, Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Konvensi Hak Anak
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

67

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.


Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
INTERNET
Kompas,
2011,
Beri
Perlindungan
Anak,
Bukan
Sanksi
Pidana,
http://nasional.kompas.com/read/2011/10/18/17550531/Beri.Perlindungan.Anak.Buk
an.Sanksi.Pidana, diakses tanggal 15 Januari 2012.
Mahkamah
Konstitusi,____,
12
Tahun,
Batas
Usia
Pidana
Anak,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Berita.Berita&id=50
49, diakses tanggal 1 Maret 2011.
Suara

Merdeka,
2012
Jazuli:
Perlindungan
Anak
Jangan
Teori,
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/01/16/106930/JazuliPerlindungan-Anak-Jangan-Sekadar-Teori, diakses Tanggal 17 Januari 2012.

68

PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM YANG BERAT 1998 MELALUI OUT


COURT SYSTEM
Ika Amilatun Nazah Email
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
iccasajalah@yahoo.com
Abstrak:
So far, there are two mechanisms for resolving human right violations in the past that is ad-hoc
Human Right Court and Truth and Reconciliation Commission (KKR). In this paper, the settlement of
human rights violations that are considered effective, regardless of the cancellation of the Law on the
KKR, the KKR feels that is quite effective in resolving the conflict the human rights violations that
occurred in Indonesia.
Key words: Human right violations, Truth and Reconcilliation Commission and conflict.
Pendahuluan
Kemarahan masyarakat terhadap kebrutalan aparat keamanan dalam peristiwa
Trisakti dialihkan kepada orang Indonesia sendiri yang keturunan, terutama keturunan Cina.
Betapa amuk massa itu sangat menyeramkan dan terjadi sepanjang siang dan malam hari
mulai pada malam hari tanggal 12 Mei dan semakin parah pada tanggal 13 Mei siang hari
setelah disampaikan kepada masyarakat secara resmi melalui berita mengenai gugurnya
mahasiswa tertembak aparat.
Sampai tanggal 15 Mei 1998 di Jakarta dan banyak kota besar lainnya di Indonesia
terjadi kerusuhan besar tak terkendali mengakibatkan ribuan gedung, toko maupun rumah di
kota-kota Indonesia hancur lebur dirusak dan dibakar massa. Sebagian mahasiswa mencoba
menenangkan masyarakat namun tidak dapat mengendalikan banyaknya massa yang marah.
Setelah kerusuhan, yang merupakan terbesar sepanjang sejarah bangsa Indonesia
pada abad ke 20, yang tinggal hanyalah duka, penderitaan, dan penyesalan. Bangsa ini telah
menjadi bodoh dengan seketika karena kerugian material sudah tak terhitung lagi padahal
bangsa ini sedang mengalami kesulitan ekonomi. Belum lagi kerugian jiwa di mana korban
yang meninggal saat kerusuhan mencapai ribuan jiwa. Mereka meninggal karena terjebak
dalam kebakaran di gedung-gedung dan juga rumah yang dibakar oleh massa. Ada pula
yang psikologisnya menjadi terganggu karena peristiwa pembakaran, penganiayaan,
pemerkosaan terhadap etnis Cina maupun yang terpaksa kehilangan anggota keluarganya
saat kerusuhan terjadi. Sangat mahal biaya yang ditanggung oleh bangsa ini.

69

Opsi-opsi Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Tahun 1998


Pergantian kekuasaan dari rezim otoritarian ke rezim demokrasi pada tahun 1998
telah memberikan angin segar terhadap penegakan HAM di Indonesia. Pemerintah
kemudian mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menopang usaha penyelesaian
pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Tahun 1998, merupakan tahun yang bersejarah
dalam perkembangan HAM di Indonesia. Salah satu syarat dalam sebuah negara yang
mengalami proses transisi dari sistem otoriter menuju ke sistem demokratis adalah
penyelesaian pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh rejim.98 Sampai sejauh ini,
terdapat beberapa mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu yaitu Pengadilan
HAM ad-hoc dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), serta Alternative Dispute
Resolution (ADR). Pengadilan HAM ad-hoc merupakan satu mekanisme penyelesaian kasus
yang menggunakan logika sistem yudisial sementara Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
dan ADR menggunakan logika sistem non-yudisial. Dengan adanya mekanisme
penyelesaian tersebut tentunya diharapkan dapat terselesaiakn pelanggarn-pelanggarn HAM
yang terjadi dimasa lalu.
Belajar dari pengalaman beberapa negara lain yang mengalami masalah yang serupa
serta melihat peluang mendapatkan keadilan melalui mekanisme peradilan, mekanisme tentang
KKR kemudian muncul. Beberapa konsep dasar KKR adalah memberikan arti pada suara
korban secara individu, pengungkapan sejarah sebenarnya, pendidikan dan pengetahuan publik,
menuju reformasi kelembagaan, mengembalikan hak korban serta pertanggungjawaban dari
para pelaku. Namun, kehadiran KKR sendiri yang diatur dalam UU mendapat sambutan yang
dingin dari para kelompok korban. Sehingga hal ini adanya pengajuan judicial review kepada
Mahkamah Konstitusi (MK). Atas permohonan tersebut, MK mengabulkan serta membatalkan
adanya Undang-undang KKR tersebut. Untuk memberikan gambaran tentang meknisme
penyelesaiannya, dapat dideskripsikan sebagai berikut :
1.

Pengadilan HAM Ad-hoc


Mekanisme ini berdasarkan pada pasal 43 UU No. 26 tahun 2000.99 Sementara
itu, untuk sistem acara pidana tetap mengikuti Kitab Umum Hukum Acara Pidana

98

Badruzzaman Ismail, ____, Pola-pola damai Sebagia Solusi Penyelesaian Pelanggaran


HAM Masa Lalu, http://www.acehinstitute.org/opini_hbadruzzaman_pola_damai.htm, diakses
tanggl 1 Juni 2010.
99

Pasal 43 ayat 1 menyebutkan: Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi
sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.

70

(KUHAP) yang digunakan dalam sistem peradilan di Indonesia. Selanjutnya,


penuntutan perkara dapat dilakukan oleh penuntut umum dari Kejaksaan Agung atau
ad-hoc yang berasal dari unsur masyarakat. Kemudian, pemeriksaan perkara
dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri dari hakim karier dan non-karier.
Menurut UU No. 26 tahun 2000, proses terbentuknya pengadilan terdiri dari tiga
bagian yang ideal. Pertama, Komnas HAM melakukan penyelidikan berdasarkan
pengduan dari kelompok korban atau kelompok masyarakat tentang satu kasus yang
terjadi di masa lalu. Komnas HAM kemudian membentuk satu KPP HAM untuk
melakukan penyelidikan dan kemudian mengeluarkan rekomendasi. Jika dalam
rekomendasi tersebut terdapat bukti terhadap dugaan terjadinya kejahatan terhadap
kemanusiaan atau genosida, maka akan dilanjutkan pada tahap penuntutan oleh
Kejaksaan Agung. Kedua, DPR kemudian membahas hasil penyelidikan dari Komnas
HAM dan kemudian membuat rekomendasi kepada presiden untuk membentuk
pengadilan HAM ad-hoc. Ketiga, Presiden kemudian mengeluarkan keputusan
presiden untuk pembentukan satu pengadilan HAM ad-hoc. Pada tahap kedua dan
ketiga tampak jelas bagaimana political will dari pemerintahan yang berkuasa
memegang peranan penting.
Beberapa kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu yang telah ditangani
oleh mekanisme ini adalah kasus Timor Timur dan Tanjung Priok. Peradilan pertama
dilakukan pada tahun 2003 atau sekitar terlambat dua tahun dari yang direncanakan.
Pemerintah berapologi bahwa keterlambatan tersebut hanya masalah teknis seperti
pembangunan infrastruktur peradilan dan rekrutmen jaksa dan hakim ad-hoc.
2.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi


Komisi ini akan dibentuk berdasarkan UUNo. 27 tahun 2004 tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi yang telah disahkan pada 7 September 2004.
Sebelumnya, UU ini telah diusulkan oleh TAP MPR No. VI/MPR/200 yang kemudian
juga tertuang dalam pasal 47 (ayat 1) UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM yang
menyatakan Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum

Dan pasal 2 menyebutkan : Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibentuk
atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan
Keputusan Presiden. Kemudian pasal 3: Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) berada di lingkungan Peradilan Umum.

71

berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya


dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.100
Dalam UU-nya, Komisi ini bertugas untuk untuk mengungkapkan pelanggaran
HAM yang berat di masa lalu dan melaksanakan proses rekonsiliasi nasional demi
keutuhan bangsa. Selain itu, komisi mendefinisikan lebih detil tentang siapa yang
menjadi korban dan apa saja yang menjadi hak dari mereka seperti untuk
mendapatkan kebenaran, kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Komisi ini juga
mengatur bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang telah diungkapkan
dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan
hak asasi manusia ad hoc.101 Menurut beberapa narasumber, komisi ini merupakan
komplementer dari UU No. 26 tahun 2000.
Komisi ini terdiri dari tiga sub-komisi yang terdiri dari subkomisi penyelidikan
dan klarifikasi; subkomisi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi serta subkomisi
pertimbangn amnesti. Komisi ini akan beranggotakan 21 anggota komisi yang
kemudian akan berkerja dengan sistem sub-komisi.102
3.

Alternative Dispute Resolution (ADR)


Alternative dispute resolution, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan
dengan alternatif penyelesaian sengketa merupakan lembaga penyelesaian sengketa
atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian
di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu
hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara
tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang
mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara
arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.103

100

Jose Zalaquett, 2003, Menangani Pelanggaran HAM di Masa Lalu : Prinsip-prinsip


penyelesaian dan Kendala Politik, sebagaimana dimuat dalam Jurnal Dignitas Volume I, Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), hal. 32.
101
Djoko Prakoso,___, Masalah Pemberian Pidana Dalam Teori dan Praktik Peradilan,
Ghalia Indonesia,Jakarta, hal. 37.
102
Wikipedia,
KomisiaKebenaranadanaRekonsiliasi,
http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Kebenaran_dan_Rekonsiliasi, diakses pada 1 Juni 2009.
103
Pasal 1 angka 10 UU No. 30 tahun 1999. Namun, sebagian besar sarjana mengartikan
ADR dalam dua pandangan yang berbeda : Pertama, ADR mencakup berbagai penyelesaian
sengketa selain dari pada proses peradilan, baik yang berdasarkan pendekatan konsensus misalnya

72

Kata alternatif disini sebenarnya sebagai penegasan terhadap pengertian selain


daripada pengadilan.104 Sengketa atau beda pendapat (perdata) dapat diselesaikan
oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad
baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa
tersebut diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling
lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan
tertulis.105
Dalam perkembangan hukum di Indonesia, mekanisme penyelesaian pelanggaran
HAM yang berat melalui KKR telah ditiadakan. Hal ini dilegitimasi berdasarkan putusan
MK yang menyatakan lembaga KKR inkonstitusional. Sungguhpun UU KKR dan
keberadaanya telah dibatalkan oleh MK dan diganti dengan mekanisme ADR namun KKR
sejauh ini nampaknya dipandang sebagai mekanisme yang efektif dalam menyelesaikan
pelanggran HAM yang berat yang terjadi dimasa lalu, khususnya terkait dengan peristiwa
1998. Hal ini mengingat bahwa KKR bukanlah suatu gagasan yang muncul dari suatu
hubungan keperdataan tetapi suatu mekanisme transisitional untuk menyelesaikan
pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di suatu negara.106 Dengan demikian, Keberadaan
Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi

merupakan

lembaga

yang

bertugas untuk

menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa-lalu, dengan cara pengungkapan


kebenaran, memberikan pengakuan kepada korban bahwa mereka adalah korban,
menyediakan reparasi kepada korban, serta melakukan reformasi terhadap institusi yang
dianggap bertanggung-jawab atas pelanggaran HAM masa lalu untuk memastikan
pelanggaran HAM tersebut tidak terulang dimasa-datang (nonrecurrence), tetapi tidak ada
penghukuman terhadap pelaku.107

negoisasi, mediasi, konsiliasi maupun yang tidak berdasarkan pada konsensus, seperti arbitrasi.
Sedangkan yang lain hanya berdasarkan konsensus, arbitrasi tidaktermasuk sebagai ADR.
104
Takdir Rakhmadi, 1997, Mempertimbangkan ADR: Kajian Alternatif Penyelesaian
Sengketa Di Luar Peradilan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, hal. 25.
105
Pasal 1 angka 10, Pasal 2, Pasal 6 ayat (1-2) UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa, Lembaran Negara LN 138 tahun 1999. Lihat juga Peraturan
Mahkamah Agung No. 2 tahun 2003 tentang Mediasi diluar Pengadilan.
106
Hal ini dapat juga dirujuk dalam ketentuan Pasal 3 UU No. 27 tahun 2004 tentang KKR
yang merumuskan Mekanisme KKR merupakan salah satu mekanisme untuk menyelesaikan
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa lalu diluar pengadilan,
guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa, dan mewujudkan rekonsiliasi dan persatuan
nasional dalam jiwa saling pengertian
107
Ifdhal Kasim, Apakah Komisi Kebenaran Itu?, Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat, Jurnal Dignitas Volume IV, hal. 21.

73

Upaya maksimal yang dapat dilakukan oleh lembaga ini adalah mengidentifikasi
pelaku dan mengungkap nama mereka kepada Publik (naming name). Namun ini pun
biasanya hanya terbatas pada pelaku yang paling bertanggung-jawab atas kasus tersebut (the
most responsible perpetrators). Bahkan kepada pelaku khususnya yang kooperatif dengan
Komisi ini -- akan mendapat pengampunan (amnesty).108 Sifat komplementari dari Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 47 ayat (1) UU No.
26 tahun 2000 dan penjelasan umumnya, yang menyatakan :
Pelanggaran hak sasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya
Undangundang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang sudah diberi putusan oleh
pengadilan hak asasi manusia ad hoc maka Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak
berwenang memutuskan. Dengan demikian, putusan Komisi kebenaran dan
Rekonsiliasi atau putusan pengadilan hak asasi manusia ad hoc bersifat final dan
mengikat.
Dari ketentuan di atas, paling tidak dua kesimpulan yang dapat diambil, yaitu 1.
Komisi bekerja terlebih dahulu untuk mengungkapkan kebenaran dan melakukan prosesproses penyelesaian, apabila perkaranya bisa diselesaikan maka perkara tersebut berhenti
sampai di Komisi saja; 2. Tetapi apabila perkaranya tidak dapat diselesaikan, maka
perkaranya kemudian diajukan lagi ke Pengadilan HAM ad-hoc. Pada saat itulah Pengadilan
HAM ad-hoc mulai bekerja. Berkaitan dengan karakteristik, setidaknya terdapat empat
elemen umum yang dimiliki berbagai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di dunia sejauh
ini. Pertama, yang menjadi fokus penyelidikan KKR adalah kejahatan masa lalu. Kedua,
tujuannya untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai kejahatan HAM dan
pelanggaran hukum internasional pada kurun waktu tertentu, serta tidak terfokus pada satu
kasus saja. Ketiga, masa bakti terbatas, biasanya berakhir setelah perampungan laporan.
Keempat, memiliki kewenangan mengakses informasi ke lembaga apapun, dan mengajukan
perlindungan hukum terhadap saksi.
Kemudian yang menjadi penting kenapa KKR menjadi solusi yang efektif karena
urgensi dari KKR adalah membangun pondasi kesatuan bangsa menuju demokrasi, untuk
membangun kembali kepercayaan public terhadap prinsip-prinsip hokum dan keadilan

108

A.H Semendawai, 2005, Working Paper Relasi Antara KKR dan Badan Peradilan di
Indonesia: Mencari Format Hubungan Ideal untuk Pemberian Keadilan Bagi Korban, Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, hal. 13.

74

melalui penungkapan kebenaran faktual, walau nantinya bermuara pada pemaafan.


Keunggulan KKR juga menjadi pertimbangan serius, karena model KKR dapat menangani
kasus dalam jumlah lebih besar sekaligus, sehingga hal ini mengefisiensikan waktu dan
biaya, dapat juga mengungkap berbagai pertanyaan penting dan mendasar, dapat menjadi
media bantuan praktis bagi para korban untuk memperoleh hak-hak pemulihan diri sebagai
koprban dan dapat mengurangi jumlah kebohongan yang beredar tanpa dibuktikan
kebenarannya di depan publik.
Penutup
Dalam penyelesaian pelanggaran HAM yang berat terdapat beberapa mekanisme
penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu yaitu Pengadilan HAM ad-hoc dan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), serta Alternative Dispute Resolution (ADR). Dalam
perkembangan hukum di Indonesia, KKR telah dihapuskan melalui putusan MK yang
membatalkan UU KKR. Padahal KKR memiliki fungsi yang sangat penting dalam
menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat. KKR adalah membangun pondasi kesatuan
bangsa menuju demokrasi, untuk membangun kembali kepercayaan public terhadap prinsipprinsip hokum dan keadilan melalui penungkapan kebenaran faktual, walau nantinya
bermuara pada pemaafan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Djoko Prakoso, Tanpa tahun, Masalah Pemberian Pidana Dalam Teori dan Praktik
Peradilan, Ghalia Indonesia, Jakarta..
Semendawai, A.H, 2005, Working Paper Relasi Antara KKR dan Badan Peradilan di
Indonesia: Mencari Forma Hubungan Ideal untuk Pemberian Keadilan Bagi
Korban, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta.
Takdir Rakhmadi, 1997, Mempertimbangkan ADR: Kajian Alternatif Penyelesaian
Sengketa Di Luar Peradilan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta.
INTERNET
Badruzzaman Ismail, ___Pola-pola damai Sebagia Solusi Penyelesaian Pelanggaran HAM
Masa Lalu, http://www.acehinstitute.org/opini_hbadruzzaman_pola_damai.htm,
diakses tanggl 1 Juni 2010.
Wikipedia,
KomisiaKebenaranadanaRekonsiliasi,
http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Kebenaran_dan_Rekonsiliasi, diakses tanggal 1
Juni 2009.

75

JURNAL
Ifdhal Kasim, Apakah Komisi Kebenaran Itu?, Jurnal Dignitas Volume IV, Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat, 2004.
Jose Zalaquett, Menangani Pelanggaran HAM di Masa Lalu : Prinsip-prinsip penyelesaian
dan Kendala Politik, Jurnal Dignitas Volume I, Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM).
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

76

KEBEBASAN PERS DI INDONESIA


Jimmy Z Usfunan
Fakultas Hukum Mahasaraswati Denpasar
jimmyusfunan@yahoo.com

Abstract:
Article 28 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia guarantees freedom of association
and to assemble, to express written and oral opinions, etc., shall be regulated by law. Theoretically,
the concept of rule of law both in the Continental European system and the Anglo Saxon, has
similarities in guarantees the protection of human rights including the freedom of the press, but in
applicative cases of violence that occurred to reporters as if blasted by the State guarantees the
protection of human rights. Whereas in Article 8 the Act of Republic of Indonesia No. 39 of 1999
Concerning Human Rights determines the principal responsibility for protecting, promoting, upholding,
and fulfilling human rights lies with the Government. With the freedom of the press, does not mean
that human press (jurnalist) can freely preach one thing without obey the law corridor that has been
determined. Legally in Article 5 paragraph (1) the Act of Republic of Indonesia No. 40 of 1999
concerning Press, shall determine that the national press is obliged to proclaim the events and
opinions with respect the religious norms and a sense of public decency and the presumption of
innocent. Restrictions on the press aims to respect the human rights of others.
Key words : freedom of the press, human rights, and law

Pendahuluan
Pasal 28 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya yang ditetapkan dengan Undang-undang. Pers yang meliputi media cetak, media
elektronik dan media lainnya merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan tersebut.
Masa reformasi merupakan era kebebasan bagi insan pers di Indonesia, sebab era
tersebut merupakan titik awal bebasnya dari belenggu pembungkaman kebebasan
berpendapat di Indonesia pada era orde baru. Banyak pihak yang menyatakan bahwa
kebebasan pers pada saat orde baru tidak sebebas masa reformasi. Sebab pemerintahan yang
terkesan otoriter sangatlah memusuhi pers sebagai media otokritik terhadap penguasa.
Kebebasan pers merupakan salah satu perwujudan kedaulatan rakyat, dan
merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang demokratis. Sebab dalam kehidupan yang demokratis itu, menghendaki

77

penyelenggaraan negara yang transparan sehingga peran serta masyarakat dalam


penyelenggaraan roda pemerintahan, dapat terimplementasi dengan baik.
Meskipun kemerdekaan pers telah dijamin dalam Undang-Undang No. 40 Tahun
1999 tentang Pers, namun masih juga terjadi tindakan kriminalisasi terhadap wartawan.
Adapun kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan yang terjadi pada masa reformasi,
sebagaimana dicatat oleh Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) tanggal 16 Juni 2006, yakni109;
Pemukulan terhadap 5 wartawan, Bambang SP (Kamerawan TVRI), Endan Syafardan
(Reporter TVRI), Aleks Madji (Wartawan Suara Pembaruan, Imron (koresponden SCTV
di Samarinda) dan Jasmin Jafar (Koresponden Trans TV Samarinda) mereka diserang
dan diusir sekelompok orang tak dikenal pada 13 Juni 2006, saat hendak melakukan
liputan ke wilayah Kutai Kertanegara, tepatnya diatas jembatan Tenggarong, kelima
wartawan itu dihadang sekelompok orang tak dikenal yang keluar dari 2 mobil kijang dan
sepeda motor. Penyerang itu langsung memukuli, mengancam dan memaksa wartawan
agar tidak melanjutkan perjalanan ke Kutai Kertenagara melainkan langsung pulang ke
Jakarta.
Dalam pemberitaan Kantor Berita Antara, Aliansi Jurnalistik Indonesia mencatat
sebanyak 270 kasus kriminalisasi terhadap pers terjadi pada tahun 2005 hingga 2009 di
Indonesia,110 kriminalisasi pers terbanyak tahun 2007 mencapai 75 kasus, 2008 (59 kasus),
2006 (53 kasus), 2005 (43 kasus) dan 2009 sebanyak 40 kasus. Kriminalisasi pers dilakukan
dalam bentuk pembunuhan, penculikan, pemenjaraan, serangan fisik, pengusiran, pelecehan,
ancaman dan tuntutan.
Selain itu, sebagaimana diberitakan TV One, 25 Januari 2010, yang memberitakan
tentang catatan Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) bahwa sebanyak 5 orang wartawan
meninggal dunia atau hilang akibat kriminalisasi pers di Indonesia tahun 1999 s/d 2009111.
Korban-korban itu diantaranya Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin, Wartawan Harian
Bernas Yogyakarta pada tahun 1999, Reporter RCTI Sory Ersa Siregar yang tewas diculik
saat meliput Konflik Aceh di Langsa tahun 2003, Herliyanto dari Tabloid Delta Post
Sidoarjo yang ditemukan tewas pada 29 April 2006 di dalam hutan jati Desa Tarokan,
Banyuanyar, Probolinggo, Jawa Timur, AA. Gde Bagus Narendra Prabangsa, Wartawan
Radar Bali yang ditemukan tewas tanggal 16 Februari 2009.

109

Aji Indonesia,___, ___,http.ajiindonesia.org, diakses pada 12 Januari 2012.


Antara, 2010, 270 Kasus Kriminalisasi Pers Selama 2005-2009,
http://www.antaranews.com/berita/1264314959/270-kasus-kriminalisasi-pers-selama
2005-2009,
diakses pada 10 Januari 2012.
111
TV One,___ AJI:Lima Wartawan RI Mati Akibat Kriminalisasi Pers,
http://hukum.tvone.co.id/mobile/read.php?id=32088 , diakses pada 10 Januari 2012.
110

Kemudian data terbaru

78

yang dimiliki Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers

menunjukkan, pada tahun 2011, tindak kekerasan terhadap jurnalis tercatat 96 kasus,
sedangkan pada tahun 2010 ada 69 kasus.112 Selain itu Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
mengemukakan jumlah kekerasan fisik 2011 meningkat dari 16 menjadi 19 kasus yang
didominasi oleh aparat pemerintah dan kelompok massa. Kekerasan fisik meliputi
intimidasi,

teror,

pemukulan,

penyerangan,

pengeroyokan,

pembakaran,

sampai

pembunuhan. Divisi Advokasi AJI Indonesia mencatat 49 kasus kekerasan terhadap jurnalis
periode Desember 2010 - Desember 2011, meliputi kekerasan fisik dan non-fisik.113
Dari data-data tersebut menunjukkan adanya peningkatan tindak kekerasan terhadap
Jurnalis atau wartawan seiring berjalannya waktu yang mengisyaratkan bahwa perlindungan
Negara terhadap kebebasan pers belum membaik. Padahal pengakuan dan jaminan Negara
terhadap kebebasan pers diakui secara konstitusional. Berkaitan dengan perlindungan HAM,
Undang-Undang Dasar 1945 telah diamandemen dengan menambahkan sejumlah ketentuan
terkait dengan perlindungan, penegakan dan pemenuhan HAM pada Pasal 28 UUD NRI
1945. Namun dalam perkembangannya perlindungan HAM oleh Negara masih belum
berjalan optimal.
Secara normatif pengertian Pers dan Wartawan, ditentukan dalam Pasal 1 angka 1
dan angka 4 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yakni :
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan
kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan
gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan
media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Pada Pasal 1 angka 4, menentukan, Wartawan adalah orang yang secara teratur
melaksanakan kegiatan jurnalistik.
Dengan demikian kegiatan pers dalam menyampaikan

informasi dengan

menggunakan sarana media apapun merupakan kegiatan dalam memenuhi HAM


masyarakat untuk mendapatkan informasi.
Kebebasan Pers Dalam Negara Hukum
Secara filosofis kebebasan pers merupakan aktualisasi dari penggunaan HAM yang
dijamin oleh konstitusi. Perhatian Negara yang belum optimal terhadap perlindungan
112

Kompas, 2011, Tahun 2011, Kekerasan Terhadap Jurnalis Meningkat, www.kompas.com,


diakses pada 10 Januari 2012.
113
Oke Zone, 2011, Selama 2011 Kekerasan Terhadap Wartawan Oleh Aparat Meningkat,
news.okezone.com, diakses pada 10 Januari 2012.

79

kepada insan pers merupakan bentuk pengingkaran terhadap prinsip Negara hukum,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, yang menentukan Negara
Indonesia adalah negara hukum.
Konsep Negara hukum baik dalam sistem Eropa Kontinental maupun Anglo Saxon,
memiliki persamaan dalam menjamin perlindungan HAM. Karenanya perlindungan
terhadap kebebasan pers itu bersifat universal. Adapun ciri-ciri Negara hukum Rechstaat,
yang diungkapkan oleh Frederick Julius Stahl, yakni:
1.
2.
3.
4.

Asas Legalitas
Perlindungan HAM
Pembagian Kekuasaan
Adanya Peradilan Administrasi114

Ciri Negara hukum Anglo Saxon yang dikenal dengan konsep rule of law, dipopulerkan
oleh Albert Venay Dicey, diantaranya:
1. Supremasi Hukum
2. Equality before the law (Persamaan dimuka hukum)
3. HAM115
Sedangkan menurut J.B.M. Ten Berge menyebutkan prinsip-prinsip negara hukum
yaitu:116
1.
1.
2.
3.
4.

Asas Legalitas
Perlindungan hak-hak asasi;
Pemerintah terikat pada hukum;
Monopoli pemaksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum;
Pengawasan oleh hakim yang merdeka

Kegiatan jurnalistik sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Pers


tersebut merupakan wujud dari hak asasi manusia (HAM) yang dijamin secara
konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Pasal 28 F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
menentukan:
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untu mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

114

Moh. Mahfud MD, 1993, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Jogjakarta, hal. 28.
Subawa et.all, 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Wawasan, Denpasar,
hal. 56.
116
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 9
115

80

Dalam Pasal 14 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM:


1. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang
diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
2. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang
tersedia.
Ketentuan Pasal 28 F UUD NRI 1945 dan Pasal 4 Undang-Undang HAM tersebut
merupakan landasan yuridis bagi jaminan kebebasan pers di Indonesia.
Jaminan kebebasan pers tidak hanya berlaku di tingkat nasional melainkan secara juga
secara internasional, yakni pada Pasal 19 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM)
PBB, menentukan:
Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam
hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari,
menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja
dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah.
Dengan demikian Negara harus menjamin penggunaan HAM terkait kebebasan pers di
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Istilah
Secara terminologi frasa kemerdekaan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia117
dimaknai sebagai keadaan berdiri sendiri, bebas, lepas, tidak terjajah lagi. Sedangkan
Kemerdekaan dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu kebebasan dari
perhambaan, penjajahan, penindasan118.
Frasa

kemerdekaan

tersebut

menunjukkan

dengan

jelas

bahwa

istilah

kemerdekaan pada dasarnya berkaitan dengan kehidupan suatu bangsa untuk membebaskan
diri dari penjajahan. Atau suatu gerakan untuk membebaskan diri dari perbudakan atau
penindasan. Dengan demikian makna kemerdekaan pers itu tidak tepat untuk digunakan,
sebab bangsa ini telah merdeka tahun 1945 lalu.
Berkaitan dengan terminologi kemerdekaan, Louis O. Kattsoff,119 mengatakan :
Kadang-kadang antara istilah kebebasan dan kemerdekaan merupakan pengertian
pengertian politik yang dipergunakan secara bertukar-tukar dan kadang kadang
mengandung suatu hubungan antara genus dengan species. Demikianlah kita mendengar
117

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Republik Indonesia,


http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
118
W.J.S.Purwadaminta, 1987, Kamus Bahasa Indonesia, hal.84.
119
Louis O.Kattsoff dalam Yohanes Usfunan, 2010, HAM Politik Kebebasan Berpendapat di
Indonesia, Udayana University Press, Denpasar, hal. 26

81

orang mengatakan bahwa kesepuluh Amandemen yang pertama terhadap konstitusi


Amerika Serikat memberikan jaminan kepada rakyat Amerika akan kemerdekaan tertentu
untuk melestarikan kebebasan kebebasannya.
Dari sudut pandang ini berarti kebebasan merupakan suatu keadaan yang diakibatkan
oleh adanya pelaksanaan kemerdekaan. Secara politis manusia tidak mungkin menikmati
kebebasan-kebebasannya manakala tidak ada jaminan kemerdekaan. Dengan demikian istilah
kebebasan pers lebih tepat untuk digunakan. Perlu dipahami penggunaan frasa kemerdekaan
pada Undang-Undang Pers tersebut merupakan ungkapan emosional bangsa Indonesia dalam
pembentukan Undang-Undang pada saat itu. Sebab terpasungnya kebebasan pers saat orde
baru mengesankan adanya bentuk penjajahan terhadap dunia pers di negeri ini.
Dilihat dari sejarah, era reformasi merupakan awal baru bagi kemerdekaan pers di
Indonesia dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Momen
tersebut memberikan harapan baru bagi dunia pers dalam menggunakan kebebasannya guna
menjalankan tugas dan fungsinya sebagai kontrol sosial. Sebab diberikannya kebebasan dalam
pemberitaan yang berkaitan dengan kepentingan umum, itu sejalan dengan pemenuhan HAM.
Memang secara yuridis perlindungan pers dijamin oleh peraturan perundangundangan, akan tetapi secara aplikatif kasus kekerasan yang terjadi kepada wartawan seakan
mengecam jaminan perlindungan HAM oleh Negara. Padahal dalam Pasal 8 Undang-Undang
No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, menentukan Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.
Fungsi Pers dan Kedaulatan Rakyat
Intisari dari prinsip Kedaulatan rakyat, ialah rakyat yang memegang kekuasaan tertinggi
di dalam negara. Selain dilaksanakan oleh lembaga-lembaga Negara sesuai amanat Konstitusi,
kedaulatan rakyat juga diaktualisasikan oleh lembaga Pers yang bertugas untuk melakukan
kontrol sosial dalam penyelenggaraan negara. Dalam Pasal 3 Undang-Undang N0. 40 Tahun
1999 tentang Pers, menentukan Pers nasional mempunyai fungsi kontrol sosial, pendidikan ,
hiburan, informasi dan komunikasi. Secara konseptual fungsi konvensional pers meliputi;
a. Sebagai MiddleMan
b. Sebagai Watchdog
c. Sebagai Attackdog.120
Konsep middleman menyangkut fungsi pers sebagai perantara, antara pemerintah
dengan masyarakat dalam meyampaikan berbagai informasi dan peristiwa termasuk
kegiatan dan kebijakan pemerintah. Sedangkan, konsep watchdog menyangkut fungsi pers
120

Ibid, hal. 204.

82

dalam melakukan investigasi atas kehidupan publik dan membuka skandal-skandal yang
merugikan kepentingan publik. Acapkali, attackingdog berpotensi menjadi aktor politik
yang menakutkan dan yang dapat membahayakan ketenangan masyarakat.
Sedangkan Oemar Seno Adji121 menyebutkan 4 fungsi Pers, yaitu
1.
2.
3.
4.

menyampaikan kritik dan koreksi,


sebagai barometer,
sebagai petunjuk, dan
sebagai pengontrol

Fungsi-fungsi tersebut secara nyata dipahami sebagai bentuk peran serta masyarakat
dalam pembangunan negara demi menjalankan prinsip kedaulatan rakyat.
Aktualisasi konsep kedaulatan rakyat merupakan wujud bahwa penyelenggaraan negara
demi kepentingan rakyat. Karenanya kekerasan terhadap jurnalis merupakan bentuk
pemasungan terhadap prinsip kedaulatan rakyat yang telah dijamin oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Di samping itu, tentu perlu adanya pemahaman yang bijak, disamping menuntut
pembenahan kepada pemerintah dalam hal perlindungan jurnalis, insan pers juga perlu
mengoreksi diri dan mencegah penyalahgunaan kebebasan pers dalam pelaksanaan tugas
dan fungsinya. Sebab penyalahgunaan kebebasan pers oleh para oknum merupakan bentuk
pelanggaran terhadap kemurnian prinsip kedaulatan rakyat dijalankannya.
Pers dan Pembatasannya
Tentunya juga dengan adanya kebebasan pers, tidak mengartikan bahwa insan Pers
sebebas-bebasnya dalam memberitakan suatu hal tanpa mematuhi koridor hukum yang telah
ditentukan. Secara yuridis dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pers, menentukan bahwa
Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati normanorma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
Ketentuan tersebut merupakan pembatasan dari pelaksanaan kegiatan pers, sebab
kebebasan pers merupakan wujud dari HAM relatif yang berbeda dengan HAM absolut
dalam penggunaannya tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun.
Sebagaimana diketahui kharakteristik HAM terdiri dari 2 kharakter, yakni:
a. Kharakter HAM Absolut
b. Kharakter HAM relatif

121

Oemar Seno adji, 1997, Mass Media dan Hukum, Erlangga, Jakarta, hal. 76.

83

HAM absolut merupakan HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh
siapapun, diantaranya Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi,
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut. Sedangkan HAM relatif merupakan HAM yang dapat dibatasi
dalam penggunaannya.
Karenanya selain dibatasi dalam Pasal 5 Undang-Undang Pers, pembatasan
penggunaaan HAM, juga dibatasi secara konstitusional dalam Pasal 28 huruf J UndangUndang Dasar Negara, menentukan:
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain
dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Perlunya pembatasan pers ini merupakan wujud dari pencegahan bentuk arogansi
pers. Fenomena lepasnya dari belenggu orde baru acapkali berimplikasi pada penggunaan
kebebasan pers yang berlebihan oleh para oknum wartawan. Sebab secara fakta juga, tidak
jarang oknum wartawan melakukan berbagai pelanggaran dalam menjalankan tugas dan
fungsinya, baik itu berkaitan dengan obyektifitas dalam pemberitaan ataupun perimbangan
berita, dan lainnya. Sebab, penggunaan kebabasan pers yang kebablasan berpotensi
menyerang harkat dan martabat orang lain dan mengganggu

keamanan dan ketertiban

masyarakat (prinsip Doel criteria).122


Dengan demikian, supremasi hukum dalam kaitan dengan kebebasan pers
mengandung arti bahwa, dalam suatu pemberitaan pers wartawan harus memperhatikan
ketentuan-ketentuan hukum pers dan kode etik pers. Selain itu, perlu mempertimbangkan
apakah suatu berita yang akan disiarkan itu layak / tidak layak, dan apakah pemberitaan
pers tersebut akan mewujudkan keadilan atau justru menimbulkan ketidak adilan.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak
asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh
masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk
memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan

122

Yohanes Usfunan,op.cit, hal. 246

84

etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan
menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia
menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik
Guna mencegah pemberitaan wartawan merugikan seseorang tanpa alasan
diharuskan mematuhi, Kode Etik Jurnalistik123 dengan mempertimbangkan hal-hal sbb. :
1. Pemberitaan Yang Akurat
- Bertanggung Jawab.
- Mempertimbangkan layak atau tidak.
- Tidak diskriminatif.
- Tidak sewenang-wenang.
- Memisahkan fakta dengan opini.
- Obyektif dan sportif.
- Tidak Sensasional
- Imoral.
- Tidak berdasarkan Desas-desus, hasutan, Fitnah.
2. Sumber Berita
- Memperoleh Informasi Dengan cara yang benar.
- Meneliti Kebenaran suatu informasi.
- Meneliti kredibilitas suatu informasi.
- Melindungi Sumber berita.
- Informasi secara of the record.
- Jujur menyebut Sumber dalam mengutip suatu berita.
Selain kode etik jurnalistik PWI tersebut, terdapat pula Peraturan Dewan Pers No.
6/Peraturan-DP/V/2008 yang mengatur tentang kode etik jurnalis. Dengan adanya
pengaturan terkait pembatasan pers akan menjamin penggunaan kebebasan pers yang
professional dengan menghormati nilai agama, moral, serta menghormati hak asasi orang
lain. Sehingga memaksimalkan fungsi pers sebagai media informasi, pendidikan, hiburan
dan kontrol sosial dalam menjalankan amanat sebagai salah satu pemegang kedaulatan
rakyat.
Penutup
Kebebasan pers merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM), karena itu Negara
harus menjamin perlindungannya. Perlindungan hukum bagi tindakan kriminalisasi terhadap
pers merupakan tugas negara dalam menjamin kebebasan pers di Indonesia sebagaimana
yang telah diatur secara konstitusional. Sebab Kebebasan pers adalah salah satu wujud
kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi
hukum. Karenanya eksistensi pers, sangat diperlukan dalam penyelenggaraan roda

123

Kode Etik Jurnalistik PWI.

85

pemerintahan. Jaminan perlindungan terhadap insan pers menjadi tanggung jawab Negara
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Adanya kebebasan pers tidak mengartikan penyelenggaraan kegiatan jurnalistik
menjadi sangat bebas, melainkan terdapat koridor-koridor hukum yang membatasi
penyelenggaraan kegiatan jurnalistik. Hal ini diperlukan guna menghormati penggunaan hak
asasi orang lain. Sebab kebebasan pers merupakan HAM yang berkharakteristik relatif
sehingga penggunaannya dapat dibatasi.
Perlu peningkatan perlindungan oleh pemerintah terhadap wartawan dalam
menjalankan kegiatan jurnalistik. Para wartawan dalam melaksanakan tugasnya hendaknya
mematuhi pembatasan pers dengan menghormati norma-norma agama, rasa kesusilaan
masyarakat, asas praduga tak bersalah serta mematuhi kode etik jurnalistik.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Mahfud MD, Moh., 1993, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Jogjakarta
Purwadaminta, W.J.S., 1987, Kamus Bahasa Indonesia
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Subawa et.all, 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Wawasan,
Denpasar
Yohanes Usfunan, 2010, HAM Politik Kebebasan Berpendapat Di Indonesia, Udayana
University Press, Denpasar.
INTERNET
Aji Indonesia, ___, ___, http.ajiindonesia.org, diakses pada 12 Januari 2012.
Antara,
2010,
270
Kasus
Kriminalisasi
Pers
Selama
2005-2009,
http://www.antaranews.com/berita/1264314959/270-kasus-kriminalisasi-pers-selama
2005-2009, diakses pada 10 Januari 2012.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php

Pendidikan

Republik

Indonesia,

Kompas, 2011, Tahun 2011, Kekerasan Terhadap Jurnalis Meningkat, www.kompas.com,


diakses pada 10 Januari 2012.
Oke Zone, 2011, Selama 2011 Kekerasan Terhadap Wartawan Oleh Aparat Meningkat,
news.okezone.com, diakses pada 10 Januari 2012.
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 9

TV

86

One,___ AJI:Lima Wartawan RI Mati Akibat Kriminalisasi Pers,


http://hukum.tvone.co.id/mobile/read.php?id=32088 , diakses pada 10 Januari 2012.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
Kode Etik Jurnalistik PWI.

87

EKSISTENSI HUKUMAN MATI DITINJAU DARI PERSEPSPEKTIF


HAK ASASI MANUSIA (HAK UNTUK HIDUP)
Sagung Putri M.E. Purwani
Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstract:
Implementation of the death penalty, do not mean tolerance of what has been done by the
perpetrators of criminal acts. No means to respect the rights of a persons life, then it should let the
atrocity or cruelty continues. One of this principle should not be allowed to lose the principles to be
firm and not compromise on crime. Regarding the death penalty, even if executed, not executed with
the intention of "killing". The only legitimate purpose of capital punishment is to preserve and protect
the lives of the forces that threaten it.
Key words : Death Penalty, Right to Life, Human Rights
Pendahuluan
Perdebatan tentang hukuman mati sudah cukup lama berlangsung dalam hukum
pidana di berbagai belahan dunia. Praktek hukuman mati telah dilakukan sejak dulu
dihampir seluruh negara dan sampai saat ini masih banyak negara yang menerapkan
hukuman mati, antara lain : Cina, Pakistan, Malaysia, Amerika Serikat, Arab Saudi, Iran,
dan lain-lain. Cara untuk menghukum mati terpidana pun beragam, ada yang menggunakan
kursi listrik, dimasukkan dalam kamar gas, gantung, pancung, ditembak, dengan minuman
racun dan ada juga yang menggunakan obat.
Meskipun banyak kecaman, negara pendukung hukuman mati tetap melaksanakan
hukuman mati. Alasan yang dikemukan oleh negara-negara tersebut bahwa ideologi, agama
dan pandangan hukum tertentu masih membenarkan untuk tetap melaksanakan hukuman
mati. Disamping itu hukuman mati masih dianggap konstitusional karena sesuai dengan
peraturan negaranya. Sebuah negara memiliki hak sebagai subyek berdasarkan konstitusinya
untuk menjatuhkan hukuman mati kepada siapapun yang telah diputus bersalah sesuai
hukum yang berlaku.
Indonesia kontroversi hukuman mati kembali menyeruak dan menimbulkan pro dan
kontra diberbagai kalangan. Hal ini terjadi terkait dengan dikeluarkannya beberapa
Keputusan Presiden yang menolak permohonan grasi terhadap para terpidana mati yang
terlibat dalam tindak pidana narkotika dan pembunuhan. Ada dua pendapat yang
bertentangan dalam perdebatan tersebut yakni yang setuju terhadap hukuman mati dan pada
pihak lain tidak setuju terhadap hukuman mati.

88

Secara singkat pihak yang tidak setuju menyatakan hukuman mati bertentangan
dengan hak asasi manusia, dengan mengacu kepada UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang mengutip Pasal 28 A perubahan kedua yang menyatakan setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dengan
demikian hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non
derogable human right).
Perspektif internasional ketentuan mengenai hak asasi manusia yang berkaitan dengan
hak hidup dapat ditemukan dalam International Covenant on Civil and Political Right
(ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life). Pasal 6 ayat (1) ICCPR berbunyi
setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan
tiada yang dapat mencabut hak itu. Namun dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR memberi peluang
untuk tetap melaksanakan hukuman mati, yang menyatakan : Di negara-negara yang belum
menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap
beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat
dilakukan kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan kovenan ini dan kovenan
tentang pencegahan dan hukuman tentang kejahatan genosida.
Sedangkan pihak yang setuju berargumentasi bahwa hukuman mati masih relevan
diterapkan di Indonesia dan masih banyak peraturan perundang-undangan yang
mencantumkan ancaman hukuman mati dalam hukum posistif Indonesia, baik di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun peraturan perundang-undanga di
luar KUHP sehingga sebagai suatu negara hukum kebradan hukuman mati harus dihormati
keberlakuannya. Alasan lainnya pidana mati masih diperlukan untuk menjadi shock therapy
bagi pelaku kejahatan, karena shock therapy itu penting mengingat banyak tingkat kejahatan
yang terjadi di masyarakat.124
Menggunakan pemidanaan untuk menimbulkan efek jera akan muncul pertanyaan
penting apakah betul dengan adanya hukuman mati dapat dikurangi angka kejahatan?
Ternyata berbagai hasil penelitian menunjukkan tidak ada korelasi positif antara hukuman
mati dan penurunan angka kejahatan. Perspektif hukuman mati lebih ditujukan pada orang
lain agar tidak melakukan kejahatan serupa atau lebih dari itu, tidak terdapat fakta-fakta
yang membuktikan terjadinya penurunan data kejahatan baik secara kuantitas maupun
secara kualitas.125 Alasan tersebut sudah tidak relevan untuk dikemukakan. Hal yang perlu
124
125

______, Hukuman mati Harus Selektif, Kompas 11 Januari 2003


Ibid.

89

dikaji lebih lanjut adalah mengenai keberadaan hukuman mati itu sendiri dalam kaitannya
dengan hak asasi manusia.
Penegakkan hak asasi manusia tidak boleh bersikap diskriminatif termasuk
memperjuangkan hak hidup seorang penjahat kelas berat sekalipun, karena mereka memiliki
hak untuk hidup sebagai hak asasi yang paling mendasar. Berdasarkan pemaparan di atas,
dapatlah tergambar bahwa Bagaimana eksistensi hukuman mati ditinjau dari perspektif hak
asasi manusia khususnya mengenai hak untuk hidup?
Hukuman Mati Dalam Perspektif HAM
Masalah keberadaan hukuman mati dan haka asasi manusia dalam hukum pidana tidak
terlepas dari masalah penetapan tujuan yang ingin dicapai dalam pemidanaan. Berkenaan
dengan hal tersebut berikut ini akan dikemukakan tentang prinsip-prinsip dasar yang
dikemukakan oleh teori-teori mengenai tujuan pemidanaan.
a.

Teori Retributif (Vergeldings Theorieen)


Dasar pijakan dari teori ini adalah pembalasan, yang merupakan pembenar dari

penjatuhan pidana berupa penderitaan kepada sesorang pelanggar hukum pidana.


Penjatuhan pidana yang pada dasarnya penderitaan kepada penjahat dibenarkan karena
penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain, penjahat telah melakukan penyerangan
yang merugikan hak dan kepentingan hukum. Setiap kejahatan harus diikuti oleh pidana
bagi pembuatnya, tidak dilihat akibat-akibat apa yang dapat timbul dari penjatuhan pidana
itu, tidak memperhatikan masa depan baik terhadap diri penjahat maupun masyarakat.
Menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis, tetapi
bermaksud satu-satunya penderitaan bagi penjahat.126 Tindakan pembalasan di dalam
penjatuhan pidana mempunyai 2 arah, yaitu :
-

Ditujukan pada penjahatnya (sudut subyektif dari pembalasan);


Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam dikalangan
masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan).127

Dari uraian teori tersebut maka pidana dimaksudkan untuk membalas tindak pidana
yang dilakukan seseorang sehingga setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana. Seorang
mendapat pidana oleh karena telah melakukan kejahatan. Hal tersebut merupakan tuntutan
mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Teori ini
memusatkan perhatiannya pada masalah perbuatan (jahat) yang telah dilakukannya. Dalam
126

Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,

hal. 154.
127

Ibid.

90

konteks ini pidana menjadi pembalasan yang adil bagi kerugian yang sudah
ditimbulkannya.karena telah memenuhi kepuasan dari perasaan dendam dikalangan
masyarakat. Jika dikaitkan antara hukuman mati dengan teori ini maka penjatuhan hukuman
mati tidak bertentangan dengan teori ini karena teori ini tidak memperhatikan akibat-akibat
apapun yng mungkin timbul dengan dijatuhkannya pidana. Tidak peduli apakah masyarakat
mungkin dirugikan. Hanya dilihat ke masa lampau, tidak dilihat ke masa depan.
b.

Teori Utilitarian atau Teori Telelogis (Doel Theorieen)


Teori ini juga dikenal dengan teori relatif atau teori tujuan, teori ini lahir sebagai

reaksi terhadap teori absolut/teori retributif. Teori ini dikemukakan oleh John Howard
(1726-1791), Cesare Beccaria (1738-1794), dan Jeremy Bentham (1748-1832). Secara garis
besar teori ini mengacu pada dasar bahwa pidana adalah suatu alat untuk menegakkan
hukum dalam masyarakat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, sehingga tata tertib
masyarakat tetap terpelihara. Tujuan pidana menurut teori relatif ialah tata tertib
masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Pidana adalah untuk
mencegah timbulnya tindak pidana dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap
terpelihara. Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat, maka pidana mempunyai tiga
macam sifat, yaitu : bersifat menakut-nakuti, bersifat memperbaiki dan bersifat
membinasakan.
Dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak supaya orang
jangan melakukan kejahatan.128 Atas dasar tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut teori
teleologis atau utilitarian penjatuhan pidana ingin dicapai dua hal yaitu :
a)

Prevensi umum (General preventie)


Prevensi umum menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk mempertahankan

ketertiban masyarakat dari gangguan kejahatan. Dengan memidana pelaku tindak


pidana, diharapkan anggota masyarakat lainnya tidak akan melakukan tindak pidana.
b)

Prevensi khusus (Speciale preventie)


Prevensi khusus menekankan bahwa tujuan pidana adalah agar terpidana jangan

mengulangi perbuatannya. Dalam hal ini pidana dimaksudkan untuk memperbaiki


sikap dan perilaku dari pelaku tindak pidana yang berfungsi untuk mendidik dan
memperbaiki terpidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna,
sesuai dengan harkat dan martabatnya.
128

Muladi dan Barda Nawawi Arif, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung, hal. 16.

91

Jadi menurut pandangan Utilitarianisme bahwa pidana itu ditetapkan bertujuan untuk
pencegahan kejahatan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan
masayarakat. Proses penjatuahan pidana yang terpenting bukanlah pidana itu sendiri tetapi
sesuatu yang ingin dihasilkan dengan adanya pemidanaan tersebut.
Dari uraian tersebut maka hukuman mati bertentangan teori utilitarian, baik dari
prevensi umum maupun khusus. Ditinjau dari prevensi umum ternyata hukuman mati tidak
berhasil sebagai sarana yang bersifat menakut-nakuti anggota masyarakat lainnya tetap saja
melakukan tindak pidana. Sedangkan kalau ditinjau dari prevensi khusus maka dengan
dijatuhi hukuman mati maka tidak ada kesempatan untuk mendidik dan memperbaiki
terpidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, sesuai dengan harkat
dan martabatnya.
c.

Retributivisme Teleologis (Teleological Retributivist)


Selanjutnya muncul paradigma yang bersafat integratif yang mangakumulasikan kedua

pandangan diatas ke dalam satu pemahaman. Teori ini dipelopori oleh Cesare Lambroso,
yang mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat,
sehingga menurut aliran ini tujuan dari pemidanaan adalah bersifat plural, disatu sisi pidana
itu dimaksudkan sebagai pengimbalan atau pembalasan atas dilakukannya kejahatan, disisi
lain pidana itu juga dimaksudkan sebagai prevensi baik yang bersifat umum maupun
khusus. Teori ini mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus retribution dan yang
bersifat utilitarian, misalnya pencegahan dan rehabilitasi, yang kesemuanya dilihat
sebagai sarana-sarana yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan.129 Pidana dan
pemidanaan terdiri dari proses kegiatan terhadap pelaku tindak pidana yang dengan suatu
cara tertentu diharapkan untuk dapat mangasimilasikan kembali narapidana kedalam
masyarakat.
Teori ini dapat dibedakan menjadi 2 golongan besar, yaitu :
1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak
boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya
dipertahankannya tata tertib masyarakat.
2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi
penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan
yang dilakukan terpidana.130
Jika hukuman mati ditinjau dari teori ini maka sulit sekali menentukan apakah
hukuman mati sesuai atau bertentangan teori ini karena teori ini merupakan akumulasi dari
129
130

Muladi, 1985, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, hal. 52.


Adami Chazawi, op.cit, hal. 162

92

dua teori yang bertentangan. Di satu sisi teori ini membenarkan dijatuhkannya hukuman
mati sedangkan disisilain justu bertentangan dengan tujuan dari tori ini.
Indonesia adalah salah satu negara yang masih tetap mempertahankan hukuman mati.
Eksistensinya dapat dilihat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan
beberapa Tindak Pidana Khusus. Pada Undang-undang Narkotika, Psikotropika, Korupsi,
Tindak Pidana Ekonomi, Tenaga Atom dan Antiterorisme jelas mengenal juga hukuman mati.
Keadaan apapun pidana mati yang diancamkan dalam pasal-pasal perundang-undangan
tetap berlaku. Meskipun kemudian muncul wacana yang menghubungkan pidana mati dengan
HAM karena acapkali hukuman mati bersinggungan dengan HAM. Ada sementara pandangan
yang melihat hukuman mati bertentangan dengan HAM. Pandangan tersebut bertolak dari
ketentuan Pasal 28 A UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 yang pada
pokoknya menentukan, ''setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup
dan kehidupannya''

serta ketentuan dalam pasal 28 I UUD NEGARA REPUBLIK

INDONESIA TAHUN 1945 yang menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Kalangan yang berpandangan normatif tentang pasal ini akan berpendirian bahwa
hukuman mati jelas akan bertentangan dengan konstitusi. Pandangan ini dalam perspektif
hukum tentu saja tidak terlalu salah. Argumentasinya, dengan penerapan hukuman mati maka
orang tidak dapat memperbaiki dirinya, tidak berhak hidup dan mempertahankan
kehidupannya sebagaimana dijamin undang-undang. Contoh konkret, misalnya UU 39/1999
tentang Hak Asasi Manusia menegaskan, ''hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa dan
seterusnya, adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan
oleh siapa pun.''.
Argumen demikian tentu dapat dibenarkan apabila aspek HAM hanya dipandang dari
dimensi pelaku tindak pidana itu sendiri. Hak untuk hidup tergolong dalam non derogable
rights, yakni hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi oleh siapapun dan dalam kondisi
apapun. Sifat hak hidup ini sangat mendasar dan fundamental karena hak-hak manusia yang
lainnya tergantung dengan hak hidup tersebut. Setiap manusia sejak kelahirannya memiliki
hak untuk hidup dan berhak mendapatkan perlindungan hukum untuk mendapatkannya,
termasuk juga terpidana. Namun jika ditinjau dari aspek sosialogis, pendapat demikian jelas
hanya sepihak, melihat hukum di luar konteks kenyataan sosialnya. Dilihat dari sudut hukum
yang hidup bahwa pidana mati baik dalam hukum yang tidak tertulis maupun hukum agama
merupakan merupakan conditio sine qua non.

93

Secara global dan manusiawi melalui aturan hukum pelaku jelas secara prosedural diatur
hak-haknya dalam undang-undang. Mulai dari adanya pemberian bantuan hukum, disidik
sesuai ketentuan hukum, adanya asas praduga tidak bersalah sampai dengan kebebasannya
melakukan upaya hukum. Akan tetapi dari sisi lain, maka pelaksanaan HAM tersebut
bukanlah bersifat mutlak dan tanpa adanya limitasi. Pada dasarnya, ketentuan Pasal 28 J
Perubahan Kedua UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 menegaskan
bahwa, ''Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan undang-undang.''
Dari sudut pandang ini maka pelaksanaan HAM sifatnya parsial dalam artian juga
memperhitungkan kepentingan HAM masyarakat, korban tindak pidana yang dilakukannya,
serta kepentingan bangsa dan negara. HAM sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat
pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng maka sudah tentu sifatnya harus dilindungi,
dihormati dan dipertahankan serta tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapa
pun.
Eksistensi hukuman mati tentu tidak memberikan toleransi terhadap mereka yang
melakukan kejahatan apalagi kejahatan yang berat, akan tetapi juga tentu tidak menghendaki
demi melampiaskan emosi maka melakukan pembalasan yang berlebihan terhadap pelaku
kejahatan.
Aspek filosofis hukuman mati berkorelasi erat dengan teori tujuan pemidanaan. Pada
asasnya, hukuman mati diterapkan sebagai upaya pembalasan (vergeldings theorien) yang
ingin memberi efek jera (deterrence effect) kepada si pelaku. karena teori ini tidak
memperhatikan akibat-akibat apapun yang mungkin timbul dengan dijatuhkannya pidana.
Tidak peduli apakah masyarakat mungkin dirugikan. Hanya dilihat ke masa lampau, tidak
dilihat ke masa depan. Akan tetapi, seiring dengan perjalanan waktu dan konsepsi pemidanaan
yang dianut ternyata tujuan pemidanaan mengalami perkembangan yang signifikan,
pemidanaan tidak lagi semata-mata ditujukan pada efek jera tetapi harus juga bersifat
pencegahan dan pendidikan dengan melakukan rehabilitasi terhadap terpidana yakni
mengembalikan terpidana seperti semula agar dapat bersosialisasi dan dapat diterima oleh
masyarakat. Dari tolok ukur demikian, maka di Indonesia filsafat pemidanaan yang dirintis
bersifat integratif. Sehingga jika ditinjau maka hukuman mati tidak sejalan dengan teori tujuan
pemidanaan dan konsep pemasyarakatan yang berorintasi pada resosialisai dan integrasi sosial
bagi terpidana. Dengan dujatuhi hukuman mati maka terpidana tidak memperoleh kesempatan
untuk memperbaiki diri dan tidak ada kesempatan bagi masyarakat untuk menerima kembali

94

terpidana. Disamping itu secara fakta aktual berbicara, bahwa penerapan hukuman mati
bukanlah terapi yang amat manjur untuk menekan tindak pidana yang dilakukan. Hukuman
mati sesungguhnya tidak mampu mencegah orang melakukan tindak pidana itu sendiri.
Dengan kata lain, meskipun terhadap ancaman pidana mati terhadap seseorang yang
melakukan tindak pidana, tidak akan mampu menakut-nakuti pelaku atau calon pelaku untuk
melakukan tindakannya.
Para filosof telah lama mencurahkan pemikirannya sehubungan dengan eksistensi
hukuman mati ini. C Beccaria misalnya, menolak pidana mati dengan alasan bahwa pidana itu
tidak dapat mencegah orang untuk melakukan tindak pidana dan bahkan mencerminkan
kebrutalan dan kekerasan. Begitu juga Jeremy Bentham dengan teori felicific calculus yang
mengemukakan bahwa pidana mati yang disertai kekejaman dan kebrutalan luar biasa,
tidaklah merupakan pidana yang memuaskan karena ia menciptakan penderitaan yang lebih
besar daripada dibutuhkan untuk tujuan tersebut. Tokoh lain yang berpendirian lebih lunak,
misalnya C Lombroso yang berpendapat bahwa pidana mati merupakan seleksi yang terakhir
bilamana dengan penjara pembuangan dan kerja keras, penjahat tetap mengulangi
kejahatannya yang mengancam masyarakat. Dalam hal ini Lombroso tetap menyetujui
eksistensi pidana mati.131
Filsafat Pemidanaan berkembang pemikiran bahwa pidana yang dijatuhkan bukan untuk
membalas dendam, akan tetapi untuk memperbaiki, right to punish yang dimiliki oleh negara
harus diganti dengan right to cure. Filsafat itu sejalan dengan tujuan pimidanaan yang kita
anut saat ini yakni pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan mengusahakan agar orang yang
telah melakukan kejahatan dibina, diarahkan, dididik untuk menemukan kembali nilai-nilai
kemasyarakatan yang telah hilang dari dirinya. Tujuan akhir akan muncul pribadi-pribadi baru
yang menghargai nilai-nilai kemasyarakatan, kesusilaan dan moralitas. Hanya mereka yang
tidak dapat dibina, bahkan menunjukkan perangai buruk, tidak menyesali perbuatannya,
merasa tidak bersalah, menunjukkan sikap yang mengancam siapapun jika nanti ia
dibebaskan, yang pantas dijatuhi hukuman mati.
Sebagai bagian sistem pidana maka hukuman mati merupakan pelaksanaan dan konsepsi
dari kebijakan sebuah negara. Oleh karena itu, acapkali konsepsi hukuman mati berubah
mengiringi kebijakan negara tersebut. Contoh kongkret, misalnya secara umum Belanda telah
menghapus hukuman mati sejak 1870, kemudian hanya diterapkan terbatas pada Pengadilan
131

M. Ali Zaidan, Kontoversi Seputar Hukuman Mati, Makalah Universitas


Muhammadiah Palembang, 2003.

95

Militer. Sedangkan, di Indonesia, dimana KUHP merupakan konkordansi dari Wetboek van
Strafrecht Belanda masih mempertahankan hukuman mati melalui ketentuan Pasal 10 KUHP
sebagai bagian Pidana Pokok. Kemudian dengan adanya perubahan kebijakan negara yang
lebih mengedepankan HAM maka Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Pidana
Indonesia (RUU KUHP) memang tetap mencantumkan hukuman mati. Akan tetapi, hubungan
mati tersebut sebagai sebuah konsep sifatnya fleksibel. Aspek ini dapat dilihat dari pengaturan
hukuman mati secara tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana tersebut benar-benar
bersifat istimewa dan bukan bagian dari pidana pokok. Selain itu, sifat fleksibilitasnya juga
tampak adanya ketentuan limitatif hukuman mati selalu diancam secara alternatif.
Pertentangan mengenai hukuman mati pastilah memiliki kekurangan dan kelebihannya
masing-masing, sebagaimana pergulatan pemikiran yang selama ini berkembang. meskipun
sebagian kalangan menentang dilaksanakannya hukuman mati, bukan berarti melakukan
toleransi terhadap apa yang telah lakukan oleh pelaku tindak pidana. Teori-teori tentang
pencegahan kejahatan tentu tidak harus memanjakan penjahat, tetapi aspek korban dan
perlindungan masyarakat (social defence) harus diutamakan. Tidak berarti demi menghormati
hak hidup seseorang, maka harus membiarkan kekejaman atau kekejian tetap berlangsung.
Tugas negara untuk melindungi serta menjamin rasa aman dan kesejahteraan hidup seluruh
masyarakat dan kenyataan membuktikan, bahwa rasa aman dan kesejahteraan masyarakat ini
sering terganggu. Gangguannya sangat bervariasi, dari yang amat ringan sampai yang amat
ekstrem. Untuk yang ringan, masyarakat sendiri mampu melindungi diri sendiri. Tapi untuk
yang ekstrem, ini sering hanya dapat diatasi dengan intervensi dan tindakan represif yang
ekstrem pula dari negara. Salah satunya adalah dengan ancaman hukuman mati. Sangat tidak
adil hanya menekankan hak yang satu dan mengabaikan hak yang lain. Terlebih-lebih bila hak
si pelaku kejahatan-lah yang justru diperhatikan, sementara hak-hak korbannya yang justru
dilupakan. Agar sedapat mungkin tak ada hak siapa pun yang dilanggar. Hukumnya terus
menerus ditinjau ulang, agar semakin adil. Bentuk hukumannya juga dipilih sedemikian rupa,
sehingga menimbulkan penderitaan dan kesakitan yang seminim mungkin bagi si terhukum.
Tapi yang jelas, terlepas dari pro atau kontra mengenai hukuman mati, satu prinsip ini
hendaknya jangan sampai dibiarkan hilang yaitu prinsip untuk bersikap tegas dan tidak
kompromi terhadap kejahatan. Mengenai hukuman mati, kalau pun dijalankan, tidak
dilaksanakan dengan maksud membunuh. Satu-satunya tujuan hukuman mati yang sah
adalah untuk memelihara dan melindungi kehidupan dari kekuatan-kekuatan yang
mengancamnya.

96

Penutup
Pidana mati jika ditinjau dari perspektif HAM jelas sangat bertentangan sebab
melanggar hak hidup yang merupakan hak asasi yang paling dasar dan tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun dan oleh siapapun (non derogable rights) karena hak tersebut
merupakan hak yang melekat pada diri setiap manusia serta dilindungi oleh berbagai
peraturan perundang-undangan. Hukum positif Indonesia baik di dalam KUHP maupun UU di
luar KUHP masih mengakui dan mencantumkan hukuman mati sebagai pidana pokok oleh
karena itu sebagai sebuah Negara hukum keberadaan hukuman mati tetap harus dihormati.
Teori-teori tentang pencegahan kejahatan tentu tidak harus memanjakan penjahat, tetapi
aspek korban dan perlindungan masyarakat (social defence) harus diutamakan. Keberadaan
hukuman mati tidak dilaksanakan dengan maksud membunuh tetapi dengan tujuan untuk
memelihara dan melindungi kehidupan dari kekuatan-kekuatan yang mengancamnya.
Indonesia masih mengakui hukuman mati sebagai hukum positif hendaknya hukuman
mati ditujukan hanya untuk kejahatan-kejahatan paling serius seperti kejahatan kemanusiaan,
genosida serta kejahatan teroris. Disamping itu penjatuhan hukuman mati sebaiknya dilakukan
dengan sangat selektif sebagai alternatif terakhir jika terpidana dianggap sudah tidak dapat
diperbaiki dan berbahaya bagi masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Chazawi Adami, 2002, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
Muladi, 1985, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung .
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung.
MAKALAH
Zaidan M. Ali, 2003, Kontoversi Seputar Hukuman Mati, Makalah Universitas
Muhammadiyah Palembang.
SURAT KABAR
Anonim, Hukuman mati Harus Selektif, Kompas 11 Januari 2003

97

PENYELESAIAN PELANGGARAN RAHASIA DAGANG DI INDONESIA


Ida Bagus Ketut Weda
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar
bagusweda@ymail.com
Abstract:
The Act no 30 of 2000 concerning Trade Secret, is part of the intellectual property right. There is a
very close relationship between the protection of the trade secret or also known as the confidential
information which is part of the Property Rights Intellectual with the globalization of trade. Trade
Secret is now one of a very expensive form of the investment. In addition, other forms of investment
which is must be maintained on all sides so as not to be abused for sake of ethers through a
mechanism of competition is not fairly. As s result of this fact, the protection of trade secret will be
determined by factor in attracting foreign investor entered Indonesia, and the deciding factor for
frequency of international trade it self.
Key words: trade secret, property right, investment
Pendahuluan
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah hasil dari proses kemampuan
berpikir (intellectual) manusia yang merupakan ide dan diwujudkan dalam bentuk ciptaan
atau invensi. Pada ide tersebut, melekat predikat intelektual yang bersifat abstrak,
sedangkan pada ciptaan atau invesi yang merupakan milik didalamnya melekat suatu
hak yang bersumber dari akal atau intelek manusia. Jadi dapatlah dikatakan bahwa HAKI
tersebut merupakan hak yang bersifat abstrak dan termasuk pada lingkup benda tidak
berwujud.
Terdapat keterkaitan yang sangat erat antara perlindungan atas Rahasia Dagang
(trade secret) atau yang dikenal juga dengan informasi yang dirahasiakan (undisclosed
information) yang merupakan bagian dari Hak Atas Kekayaan Intelktual dengan globalisasi
perdagangan132 .
Pada era globalisasi perdagangan internasional dilakukan secara bebas antar negaranegara di dunia. Kondisi ini sangat mempengaruhi perkembangan HAKI oleh karena itu
perlu diberikan perlindungan hukum terhadap HAKI, dimana perlindungan ini tidak hanya
secara bilateral melainkan juga secara multilateral atau secara global.
Tingginya frekuensi keluar masuk dan berpindah-pindahnya sumber daya
manusia dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya bahkan antar perusahaan yang berbeda

132

Ahmad M Ramli, , 2000, Hak atas Kepemilikan Intelektual (Teori Dasar Perlindungan
Rahasia Dagang) Bandung, Mandar Maju, hal 1.

98

negara telah menjadi ciri dalam era globalisasi perdagangan yang tidak dapat dihindarkan.
Kenyataan seperti ini akan sangat berpengaruh terhadap perlindungan Rahasia Dagang.
Tingginya frekuensi keluar masuk tenaga kerja dari suatu perusahaan ke perusahaan
lainnya secara internasional dengan mudah dapat digunakan sebagai upaya pelanggaran
Rahasia Dagang oleh kompetitor.
Dengan berpindahnya sumber daya manusia dari satu perusahaan ke perusahaan
lainnya tidak berarti bahwa orang tersebut dapat menggunakan Rahasia Dagang yang dimiliki
oleh perusahaan yang ditinggalkannya untuk dimanfaatkan pada perusahaan barunya. Oleh
karena itu pembuatan kontrak kerja yang melindungi Rahasia Dagang baik itu bersifat
formula, proses produksi, daftar pelanggan metodemetode dan sebagainya menjadi sangat
penting untuk dilakukan.
Pembentukan Undang-Undang Rahasia Dagang harus diterapkan atau setidaknya
menerapkan standar minimal dalam TRIPs Agreement. Dengan kemungkinan penerapan
standar minimal, berarti masih dimungkinkan celah untuk menentukan ketentuan-ketentuan
yang dapat memberikan manfaat.
Indonesia pada prinsipnya telah memberikan Rahasia Dagang itu sendiri jauh
sebelum Undang-Undang Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang dirumuskan. Undang-Undang
Rahasia

Dagang

sangat

penting

untuk

melindungi

gagasan-

gagasan yang mempunyai nilai komersil yang memberikan keuntungan bersaing. UndangUndang Rahasia Dagang juga dapat mendorong iklim yang sehat dan memantapkan
hubungan para pihak dalam transaksi perdagangan dengan tersedianya perangkat aturanaturan main yang jujur, bahkan tanpa adanya kontrak yang tegas sekalipun. Lebih jauh,
Undang-Undang Rahasia Dagang juga mempertinggi efisiensi dan produktivitas dengan
memberikan kerangka yang mendorong arus informasi diantara semua pihak terhadap suatu
transaksi perdagangan133 .
Rahasia Dagang saat ini sudah merupakan salah satu bentuk investasi yang sangat
mahal disamping bentuk investasi lainnya yang harus dipertahankan terhadap semua pihak
sehingga tidak disalahgunakan demi kepentingan pihak lain melalui suatu

mekanisme

persaingan tidak jujur3 . Akibat dari kenyataan ini, maka perlindungan atas Rahasia
Dagang akan menjadi salah satu faktor penentu dalam menarik investor asing untuk masuk ke
Indonesia, dan faktor penentu untuk frekuensi perdagangan internasional itu sendiri.
133

Cita Citrawinda Priapantja, 1999, Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi


Perdagangan Atau Perlindungan Rahasia Dagang Di Bidang Farmasi, Chandra Pratama, hal. 36.

99

Untuk melindungi Rahasia Dagangnya para investor juga berkepentingan terhadap


suatu bentuk usaha penanam modal asing yang didalamnya tidak terlibat unsur luar
perusahaan itu. Perlindungan Rahasia Dagang juga semakin penting jika dikaitkan dengan
hubungan antar perusahaan dan karyawannya. Keberadaan PMA yag tidak melibatkan
unsur luar perusahaan saat ini sudah dimungkinkan di Indonesia dengan kebijakan pemerintah
yang menyatakan dibolehkannya bentuk PMA 100% saham dalam suatu PT sangat penting
artinya, terutama apabila bidang usaha PT tersebut melibatkan HAKI termasuk Paten dan
Rahasia Dagang.134
Perlindungan hukum berlaku bagi Hak Kekayaan Intelektual yang sudah terdaftar
dan dibuktikan dengan sertifikat pendaftaran. Perlindungan hukum berlangsung selama
jangka

waktu yang

ditentukan

menurut

bidang dan klasifikasinya. Apabilia orang

ingin menikmati manfaat ekonomi dari Hak Atas Kekayaan Intelektual orang lain, dia
wajib memperoleh izin dari orang yang berhak.
Perlindungan hukum merupakan upaya yang diatur oleh Undang-Undang guna
mencegah terjadinya pelanggaran HAKI oleh orang yang tidak berhak. Undang-Undang
Rahasia

Dagang

memainkan

peranan

penting

bagi

suatu

bisnis yang menghasilkan inovasi-inovasi yang harus dijaga kerahasiaannya untuk


memperoleh kembali biaya-biaya dan keuntungan.
Dalam konteks yang lebih luas, dasar perdagangan dari seluruh negara dapat
dipengaruhi oleh seberapa luasnya sistem hukum yang melindungi Rahasia Dagang, bersamasama Hak Atas Kekayaan Intelektual lainnya, seperti Hak Paten, Hak Merek, Hak Cipta,
Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan lain-lain.
Tidak memadainya Perlindungan Hukum atas Hak Atas Kekayaan Intelektual
(HAKI) tersebut dapat mempengaruhi perkembangan industri karena
itu

dirancang

untuk

merangsang

perangkat HAKI

kegiatan swasta, terutama investasi dana untuk

membantu riset dan pengembangan teknologi baru yang sudah menjadi sifatnya mengandung
resiko yang lebih besar dari pada kegiatan perdagangan lainnya. Maka melalui pengurangan
resiko, perangkat hukum HAKI merangsang investasi yang lebih besar dalam proses invasi .
Jadi, perlindungan atas Rahasia Dagang dapat mendorong masuknya investasi,
inovasi industri, dan kemajuan teknologi dan dengan demikian mempunyai pengaruh
langsung pada keseluruhan perekonomian negara.
134

Komar Kantaatmadja, 1995, Undang-Undang Perseroan Terbatas 1995 dan Implikasinya


Terhadap Penanaman Modal Asing, Bandung, Hal 1

Dalam

tahun-tahun

belakangan

ini,

lajunya

perubahan

100
teknologi,

meningkatkan pengeluaran biaya untuk riset dan pengembangan, lebih besarnya


mobilitas karyawan dan kegiatan pengusaha, persaingan bisnis secara internasional, dan
bertambah

rumitnya

menyatu-padukan

teknologi-teknologi

yang

berbeda,

telah

mempertinggi pentingnya Undang-Undang Rahasia Dagang


Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang
di Indonesia diharapkan dapat

menjamin dan memberikan perlindungan hukum

terhadap informasi-informasi yang bersifat rahasia dari suatu perusahaan sehingga tidak
mudah diperoleh pihak

lain secara melawan hukum dan dapat terhindar dari praktek

persaingan curang atau persaingan tidak sehat. Dengan demikian, kelancaran dan
kemajuan suatu perusahaan meningkatkan dan melahirkan optimisme dari pelaku usaha di
dalam memasuki era globalisasi perdagangan.
Era globalisasi ini memperlihatkan suatu kenyataan bahwa perdagangan global
akan memasuki tahapan baru, yaitu makin berkurangnya hambatan perdagangan antar
negara yang ada di dunia ini dan makin bertambahnya ketergantungan suatu negara
kepada negara lainnya.
Arah globalisasi ini sangat erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan teknologi,
terutama di bidang informasi, telekomunikasi, serta transportasi, dan memperlihatkan
kecenderungan yang terus berkembang.
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini mengakibatkan suatu
peristiwa di satu negara sangat mudah dan cepat diketahui oleh orang banyak yang ada di
negara lain. Hal ini berarti tidak ada lagi batas antara negara dan menyebabkan pembauran
antar negara menjadi semakin kompleks. Inilah salah satu gambaran yang akan dihadapi
oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia dalam era globalisasi atau perdagangan
bebas.
Para pelaku usaha dan investor, baik dari dalam negeri maupun dari luar
negeri merasa berkepentingan terhadap teknologi yang mereka miliki sehingga mereka
merasa perlu adanya perlindungan hukum terhadap teknologi tersebut.
Hal ini terjadi karena barang dan jasa yang mereka hasilkan dengan teknologi yang
mereka miliki merupakan bagian dari Hak Atas Kekayaan Intelektual yang wajib dilindungi
oleh hukum yang sesuai dengan standar internasional.
Munculnya keterkaitan antara barang dan jasa dengan Hak Atas Kekayaan
Intelektual adalah karena di dalam proses pembuatan barang dan jasa tersebut terdapat

101

informasi yang dirahasiakan atau yang lebih dikenal dengan Rahasia Dagang yang tidak
boleh diketahui oleh umum yang merupakan bagian dari HAKI selain Hak Paten, Hak
Merek, Hak Cipta, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan lain-lain.
Informasi yang dirahasiakan atau Rahasia Dagang dari suatu perusahaan
merupakan hal yang sangat penting bagi pelaku usaha karena informasi ini memiliki nilai
ekonomis dan menyangkut kualitas dari barang dan jasa yang dihasilkan.
Apabila terjadi pembocoran maka akan merugikan perusahaan tersebut, jadi
dipandang dari sudut hukum dan ekonomi, Rahasia Dagang menjadi faktor yang esensial
bagi perkembangan perusahaan tersebut.
Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap Rahasia Dagang ini merupakan suatu
syarat mutlak dan menjadi faktor yang sangat esensial terutama untuk mencegah
persaingan usaha yang tidak sehat dari pelaku bisnis lainnya yang memiliki perusahaan
yang memproduksi barang atau jasa yang sejenis, terlebih-lebih jika dikaitkan dengan
globalisasi perdagangan.
Jadi dengan adanya perlindungan hukum terhadap Rahasia Dagang, maka akan
melahirkan bentuk persaingan dagang yang jujur di antara pelaku bisnis dan menjadi
komoditas yang sangat berharga karena memiliki nilai ekonomis tinggi . Selain itu,
perlindungan hukum ini menjadi salah satu faktor penentu dalam menarik investor asing
untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Para pelaku usaha enggan melakukan kegiatan perdagangan karena jika terjadi
pembocoran Rahasia Dagang oleh orang yang tidak berhak maka mengakibatkan kerugian,
serta investor asing tidak berminat menanamkan modalnya di Indonesia dalam bentuk
Penanaman Modal Asing (PMA) yang didalamnya tidak terlibat unsur luar perusahaan itu
atau dalam bentuk Joint Venture karena tingkat kompetisi antar perusahaan semakin tinggi
sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.
Pelanggaran Rahasia Dagang
Seorang dianggap tidak sah dan melanggar Rahasia Dagang orang lain apabila ia
memperoleh atau menguasai Rahasia Dagang tersebut dengan cara-cara yang tidak layak,
seperti wanprestasi (ingkar janji), pencurian, penyadapan, spionase, membujuk untuk
membocorkan Rahasia Dagang melalui penyuapan, paksaan dan lain-lain. Yang bukan
dikatakan pelanggaran tersebut adalah kegiatan rekayasa ulang untuk mengurangi
bagian-bagian suatu produk yang diperoleh secara sah guna dianalisa untuk mengetahui
komposisi, cara pembuatan, cara kerja, bentuk maupun metode pembuatannya. Praktik

102

seperti ini diakui sah sepanjang digunakan sebagai dasar bagi pengembangan atau
penyempurnaan lebih lanjut atas produk yang bersangkutan.
Sebagai contoh, misalnya kasus Rachmat Hendarto alias Kristoforus dan
Andreas Tan Giok San Alias David Tan yang didakwa telah membocorkan Rahasia Dagang
PT General Food Industri Bandung (GFIB). Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan
Negeri Bandung, Jaksa Penuntut Umum menjerat perbuatan kedua terdakwa dengan pasal
13 jo pasal 17 Undang-Undang RI nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang jo
pasal 55 ayat (1) KUH Pidana.135 Perbuatan kedua terdakwa dinilai telah merugikan PT
GFIB, yang mana keduanya saat masih bekerja dan terikat sebagai karyawan PT GFIB,
telah keluar dan bekerja di perusahaan lain yang bergerak di bidang yang sama, yaitu
pengolahan biji cokelat menjadi produk makanan olahan.
Pelanggaran Rahasia Dagang terjadi apabila seseorang dengan sengaja (unsur
kesengajaan):
1.
2.
3.
4.

mengungkapkan Rahasia Dagang;


mengingkari kesepakatan untuk menjaga Rahasia Dagang;
mengingkari kewajiban tertulis atau tidak tertulis untuk menjaga Rahasia
Dagang; atau,
memperoleh Rahasia Dagang dengan cara yang bertentangan dengan hukum.

Pengecualian dari Pelanggaran Rahasia Dagang :


1.
2.

Pengungkapan
atau
penggunaan
Rahasia
Dagang
didasarkan
pada
kepentingan pertahanan keamanan, kesehatan, atau keselamatan masyarakat.
Tindakan rekayasa ulang atas produk yang dihasilkan dari penggunaan Rahasia
Dagang milik orang lain yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan
pengembangan lebih lanjut dari produk yang bersangkutan. (analisis dan evaluasi
untuk mengetahui informasi tentang suatu teknologi yang sudah ada).
Untuk menindak pelaku pelanggaran, Indonesia wajib menerbitkan suatu

peraturan baru untuk mengantisipasi perkembangan teknologi dan informasi yang


kesemuanya mengarah bagi perlindungan Rahasia Dagang.
Hal ini mutlak dilakukan karena saat ini Pasal 1365 KUH Perdata sudah tidak
memadai dan tidak dapat mengikuti perkembangan di masa datang. Dengan terikatnya
kita pada persetujuan TRIPs yang menekankan pada pelaksanaan penegakan hukum,
perlu pula diadakan perbaikan-perbaikan ketentuan-ketentuan mengenai sarana hukum
yang dapat mengikuti perkembangan praktek-praktek bisnis yang saat ini banyak
melibatkan teknologi.
135

Wikipedia, 2008, Rahasia Dagang, http://id.wikepeda.org/wiki/rahasia_dagang, diakses


pada 10 Januari 2012.

103

Hal yang paling penting adalah bila kita tidak mau dicap sebagai bangsa yang suka
menjiplak inovasi dan Rahasia Dagang milik bangsa lain, maka kita juga harus menggiatkan
inovasi bertaraf internasional maupun teknologi tepat guna.
Apabila pihak penerima Rahasia Dagang melanggar kesepakatan yang telah
ditetapkan, maka persaingan usaha tidak sehat tidak dapat dihindari lagi

dan

mengakibatkan timbulnya sengketa bisnis. Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2000 Tentang Rahasia Dagang memberikan kesempatan kepada pemegang Rahasia Dagang
untuk menyelesaikan sengketa bisnis ini melalui lembaga peradilan umum, yaitu Pengadilan
Negeri. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000
Tentang Rahasia Dagang yang menyatakan Pemegang

Hak

Rahasia Dagang

atau

penerima lisensi dapat Pengguggat siapapun yang dengan sengaja dan tanpa hak
melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, berupa

gugatan ganti rugi

dan penghentian semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (empat).


Gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

4 ayat (1) diajukan ke Pengadilan

Negeri.
Semua prosedur yang dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa ini harus secara
akomodatif
Dalam

menyediakan
Pasal 11

sarana

untuk

Undang-Undang

mengidentifikasikan
Rahasia

Dagang

dan

untuk

melindungi.

memerintahkan

membayar ganti rugi yang memadai kepada Pemegang Rahasia Dagang berkenaan dengan
kerugian yang di deritanya. Ganti rugi ini dapat berupa pengembalian keuntungan atau
pembayaran atas hasil yang diterimanya dari kegiatan pelanggaran tersebut. Selain itu,
seperti juga tercantum dalam Pasal 11 ayat (1b), Pengadilan Negeri juga berwenang
untuk memerintahkan pelanggar menghentikan kegiatan pelanggaran tersebut untuk
mencegah masuknya ke dalam arus perdagangan di dalam wilayah Indonesia atau
memeritahkan barang yang merupakan hasil pelanggaran Rahasia Dagang, tanpa
kompensasi apapun, dikeluarkan dari arus perdagangan untuk menghindari atau
mengurangi kerugian yang dapat dialami pemiliknya.
Walaupun sifat rahasia dari Rahasia Dagang bersifat perdata, namun UndangUndang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang juga mengatur aspek
pidananya. Hal ini bertujuan untuk melindungi pemilik yang beritikad baik dan
menigkatkan pengembangan dan penggunaan Rahasia Dagang oleh rakyat Indonesia.

104

Aspek pidana yang berkenaan dengan pelanggaran Rahasia Dagang ini terdiri dari
dua macam yang diatur dalam pasal 13 dan 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000
Tentang Rahasia Dagang yang menyatakan:
Pasal 13
pelanggaran Rahasia Dagang juga terjadi apabila seseorang dengan sengaja
mengungkapakan Rahasia Dagang, mengingkari kesepakatan atau mengingkari
kewajiban tertulis atau tidak tertulis untuk menjaga Rahasia Dagang
yang
bersangkutan.
Pasal 14 menyatakan:
seseorang dianggap melanggar Rahasia Dagang pihak lain apabila ia
memperoleh atau menguasai Rahasia Dagang tersebut dengan cara yang
bertentangan
dengan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku
Terhadap pelanggaran yang di atur dalam Pasal 13 dan Pasal 14 tersebut.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang menetapkan
sanksi berupa ketentuan pidana yang diatur dalam Bab IX Pasal 17 ayat (1) yang
menyatakan:
barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengunakan Rahasia Dagang pihak lain atau
melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
300.000.000,- (tiga ratus juta).
Ketentuan pidana tersebut dapat dilakukan secara alternatif atau kumulatif.
Secara alternatif berarti pelanggar tersebut hanya dikenai salah satu hukuman saja,
apakah pidana penjara paling lama
300.000.000,-

(dua) tahun atau denda paling banyak Rp

(tiga ratus juta). sedangkan secara kumulatif berarti sanksi pidana

tersebut, baik pidana penjara maupun pidana denda, keduanya dikenakan kepadanya.
Walaupun negara memberikan ketentuan pidana kepada pelanggar, namun
pemberian sanksi ini didasarkan kepada kepentingan pemilik atau pemegang Rahasia
Dagang. Oleh karena itu, tindak pidana tersebut dijadikan sebagai delik aduan, bukan delik
biasa. Dengan demikian, proses pemeriksaan atau penyidikan tndak pidana tersebut dapat
dilaksanakan

apabila

ada

pengaduan

dari

pihak

yang

dirugikan.

Apabila aspek perdata dan pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang dikaitkan dengan kegiatan bisnis yang akan dilakukan
pemilik atau pemegang Rahasia Dagang dalam era globalisasi, maka gugatan perdata
ini dapat diajukan oleh pemilik Rahasia Dagang setelah putusan pidana berkekuatan hukum
tetap.

105

Hal ini dperlukan untuk melindungi pelaku usaha dari tindakan pesaingnya yang
berkaitan dengan Rahasia Dagang yang dimilikinya serta agar mampu menghadapi
persaingan global yang cenderung mempergunakan teknologi canggih yang berkaitan pula
dengan Rahasia Dagang.
Ketentuan tentang Pelanggaran Rahasia Dagang diatur dalam Bab VII Pasal 13,
Pasal 14, dan Pasal 15 Undang-Undang Rahasia Dagang. Pasal 13 menyatakan:
Pelanggaran Rahasia Dagang dapat juga terjadi apabila seseorang dengan sengaja
mengungkapkan Rahasia Dagang, mengingkari kesepakatan atau mengingkari
kewajiban tertulis atau tidak tertulis untuk menjaga Rahasia Dagang yang
bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pelanggaran Rahasia Dagang dianggap telah
terjadi jika terdapat seseorang dengan sengaja mengungkapkan informasi atau mengingkari
kesepakatan atau mengingkari kewajiban (wanprestasi) atas perikatan yang telah dibuatnya
baik tersurat maupun tersirat untuk menjaga Rahasia Dagang dimaksud.
Seseorang pun dianggap telah melanggar Rahasia Dagang orang lain jika ia
memperoleh atau menguasai Rahasia Dagang tersebut dengan cara yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kekecualian terhadap ketentuan pelanggaran Rahasia Dagang ini diberikan terhadap
pengungkapan atau penggunaan Rahasia Dagang yang didasarkan untuk kepentingan
pertahanan keamanan, kesehatan, dan keselamatan masyarakat di samping berlaku pula
untuk tindakan rekayasa ulang atas produk yang dihasilkan dari penggunaan Rahasia
Dagang milik orang lain yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan pengembangan
lebih lanjut produk yang bersangkutan.
Ketentuan tentang pengecualian terhadap pelanggaran Rahasia Dagang tersebut
seharusnya juga dilengkapi dengan ketentuan yang secara tegas mengatur tentang
pengungkapan Rahasia Dagang oleh seseorang di depan sidang pengadilan atas perintah
hakim. Atas perintah hakim, seseorang yang mengungkapkan Rahasia Dagang di depan
sidang pengadilan seharusnya juga ditetapkan sebagai suatu kekecualian

sehingga

yang bersangkutan tidak dianggap telah melakukan pelanggaran Rahasia Dagang.


Ketentuan Pasal 18 tentang dimungkinkannya sidang pengadilan berkaitan dengan
Rahasia Dagang bersifat tertutup (atas permintaan para pihak yang bersengketa) juga
tidak secara tegas maupun tersirat bermaksud mengatur pengecualian di atas.
Di Amerika Serikat tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran Rahasia
Dagang antara lain berupa tindakan perolehan Rahasia Dagang secara tidak patut.

106

Pengungkapan atau penggunaan Rahasia Dagang milik orang lain tanpa izin ataupunpada
saat pengungkapan atau penggunaan Rahasia Dagang tersebut ia mengetahui dan patut
menduga bahwa informasi itu telah diperoleh secara tidak patut, atau diperoleh dari pihak
yang seharusnya berkewajiban memelihara Rahasia Dagang itu.136
Penyelesaian Pelanggaran Rahasia Dagang di Indonesia
Pelanggaran rahasia dagang sering kali merupakan masalah yang tidak di sadari
sepenuhnya oleh pelaku atau yang melakukannya, karena mereka tidak sadar sudah
melakukan pelanggaran rahasia dagang tersebut.
Untuk lebih jelasnya, penulis dapat menguraikan jenis-jenis pelanggaran rahasia
dagang yang terjadi di indonesia, antara lain:
a.
b.
c.
d.

Mengungkap rahasia dagang.


Mengingkari kesepakatan untuk menjaga rahasia dagang.
Mengingkari kewajiban tertulis atau tidak tertulis untuk menjaga rahasia dagang
Memperoleh rahasia dagang dengan cara yang bertentangan dengan hukum.
Pengecualian dari pelanggaran rahasia dagang yaitu:

a.
b.

Pengungkapan atau penggunaan rahasia dagang didasarkan pada kepentingan


pertahanan keamanan, kesehatan atau juga untuk keselamatan masyarakat.
Tindakan rekayasa ulang atas produk yang di hasilkan dari penggunaan rahasia dagang
milik orang lain yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan perkembangan lebih
lanjut dari produk yang bersangkutan.

Penyelesaian Pelanggaran Rahasia Dagang di Indonesia


Dalam undang-undang Rahasia Dagang terdapat 3 (tiga) cara menyelesaikan
sengketa Rahasia Dagang, yaitu :
1. Secara perdata dengan mengajukan tuntutan kompensasi atau ganti rugi atas
pelanggaran Rahasia Dagang, termasuk pula tuntutan ganti rugi atas
pelanggaran Rahasia Dagang, termasuk pula tuntutan ganti rugi akibat terjadi
wanprestasi dalam perjanjian lisensi tersebut;
2. Secara pidana dengan melaporkan adanya tindak pidana terhadap pemegang hak
atau penerima lisensi hak dagang; dan

136

Pasal 2 UTSA (USA) selengkapnya berbunyi : "Misappropriation" means: (i) acquisition of a


trade secret of another by a person who knows or has reason to know that the trade secret was
acquired by improper means; or (ii) disclosure or use of a trade secret of another without express or
implied consent by a person who (A) used improper means to acquire knowledge of the trade secret;
or (B) at the time of disclosure or use, knew or had reason to know that his knowledge of the trade
secret was (I) derived from or through a person who had utilized improper means to acquire it; (II)
acquired under circumstances giving rise to a duty to maintain its secrecy or limit its use; or (Ill)
derived from or through a person who owed a duty to the person seeking relief to maintain its
secrecy or limit its use; or (C) before a material change of his position, knew or had reason to know
that it was a trade secret and that knowledge of it had been acquired by accident or mistake."

107

3. Selain melalui pengadilan dapat juga diselesaikan melalui Arbitrase atau


Alternatif Penyelesaian Sengketa apabila terjadi sengketa dalam
melaksanakannya perjanjian yang berkaitan dengan Rahasia Dagang.
a.

Tuntutan Perdata
Penyelesaian sengketa dibidang Rahasia Dagang dapat diajukannya penyelesaian

melalui Pengadilan Negeri, namun demikian, pengadilan bukanlah satu-satunya jalan atau
cara penyelesaian perkara berkaitan dengan Rahasia Dagang.
Masalah penyelesaian sengketa Rahasia Dagang diatur dalam Bab VI, pasal 11
sampai pasal 12. Dalam bab ini ditentukan 2 (dua) cara penyelesaian sengketa, yaitu :
1.

2.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara arbitrase atau alternatif


penyelesaian sengketa. Salah satu alasan mengapa Undang-undang Rahasia
Dagang mencantumkan penyelesaian malalui cara di atas adalah karena Hak
Kekayaan Intelektual, termasuk masalah Rahasia Dagang, pada daarnya
merupakan masalah perdata sehingga diperlukan penyelesaian yang dapat
dilakukan secara efektif dan efisien serta dilakukan secara tertutup.
Disamping itu, dengan penyelesaian melalui arbitrase atau alternatif
penyelesaian sengketa maka hanya para pihak yang bersengketa saja yang
mengetahuinya sehingga mereka tidak perlu kehilangan hak Rahasia Dagangnya
apabila perkara ini diselesaikan di pengadilan yang dapat disaksikan atau
diketahui masyarakat.
Disamping cara penyelesaian di atas, Undang-undang Rahasia Dagang juga
memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyelesaikan perkaranya
melalui lembaga peradilan umum ini dilakukan dengan cara mengajukan
gugatan melalui Pengadilan Negeri.

Pada awalnya, dalam Rancangan Undang-undang Rahasia Dagang, penyelesaian


sengketa Rahasia Dagang dicantumkan melalui Pengadilan Niaga Jakarta, dan tidak
dicantumkan jangka waktu untuk menyelesaikan perkara ditingkat pertama maupun tingkat
selanjutnya. Beberapa alasan mengapa jangka waktu penyelesaian perkara tidak
dicantumkan dalam rancangan undang-undang karena tidak ada pembatasan jangka waktu
terhadap perlindungan Rahasia Dagang, disamping tingkat kesulitan penyelesaian sengketa
perdata Rahasia Dagang akan memerlukan waktu banyak.
Selama Rahasia Dagang itu tetap memenuhi ketentuan dalam pasal 1 angka 1 dan
atau pasal 2 maka selama itu pula perlindungan Rahasia Dagangtetap terjaga. Selain karena
proses pembuktian dalam perkara Rahasia Dagang apabila diajukan ke pengadilan tidaklah
mudah.
Karena berhubungan dengan teknologi, atau informasi bisnis yang dapat meliputi
rumus-rumus, proses pembuatan suatu produk yanng memerlukan keahlian tertentu, dan
juga saksi-saksi yang memiliki keahlian khusus sehingga akan membutuhkan waktu yang

108

lebih lama dibandingkan perkara bidang Hak Kekayaan Intelektual lainnya, misalnya
perkara gugatan pembatalan merek.
Kemudian, dalam penyelesaian sengketa dalam melalui Pengadilan Negeri, pihak
penggugat, apakah ia memegang hak Rahasia Dagang atau penerima lisensi (apabila ia
mempunyai hak untuk melakukan tuntutan), dapat juga mengajukan tuntutan kepada
siapapun yang telah sengaja dan tanpa hak melakukan tindakan yang bertentangan dengan
hak Rahasia Dagangnya. Misalnya, menggunakan Rahasia Dagang itu kepada pihak lain
sehingga menimbulkan kerugian baginya. Atas pelanggaran tersebut pemegang Hak Rahasia
Dagang dapt mengajukan tuntutan berupa :
1.
2.

Gugatan ganti rugi; dan atau


Penghentian semua perbuatan yang berupa penggunaan, pemberian lisensi, atau
pengungkapan Rahasia Dagang kepada orang lain sebagaimana dimaksud dalam
pasal 4.
Ketentuan yang diatur dalam pasal 4 menyatakan :
Pemilik Rahasia Dagang memiliki hak untuk :
a.
b.

Menggunakan sendiri Rahasia Dagang yang dimilikinya;


Memberikan lisensi kepada atau melarang pihak lain untuk menggunakan Rahasia
Dagang atau mengungkapkan Rahasia Dagang itu kepada pihak ketiga untuk
kepentingan yang bersifat komersial.
Dengan memperhatikan hal di atas, pemilik Rahasia Dagang hanya memiliki 2 (dua)

hak untuk memanfaatkan dan sekaligus mempunyai hak untuk melarang, yaitu :
1.
2.
3.

Menggunakan sendiri Rahasia Dagangnya;


Memberikan lisensi kepada pihak lain;
Dan sekaligus melarang pihak lain menggunakan Rahasia Dagang atau
mengungkapkan Rahasia Dagangnya itu kepada pihak lain yang dilakukan secara
tanpa hak dan/ atau tanpa izin.

Kasus di Indonesia misalnya pabrik Gudang Garam sangat dikenal atas produksi
rokok kretek. Untuk rokok kretek tersebut, pabrik yang bersangkutan mempunyai formula
yang tidak dimiliki oleh pabrik rokok lainnya, sehingga hasil produksinya tetap diminati
oleh pecandu rokok.
Formula buatan rokok kretek tersebut merupakan Rahasia Dagang dari pabrik
Gudang Garam. Formula ini mempunyai nilai ekonomi, yang artinya dapat dipasarkan dan
sampai saat ini formula tersebut belum diketahui oleh umum, hanya pemilik pabrik tersebut
yang mengetahui sehingga pemilik pabrik sangat menjaga kerahasiaan dari formula tersebut.
Apabila salah satu unsur dari Rahasia Dagang tidak dipenuhi misalnya : formula
tersebut telah diketahui oleh umum, maka formula tersebut tidak mempunyai arti lagi,
karena masyarakat juga dapat memproduksi rokok tersebut dengan formula yang tersedia.

109

Dengan demikian untuk adanya Rahasia Dagang, ketiga unsur harus ada dan saling kait
mengait serta saling berhubungan. Tanpa adanya salah satu unsur tersebut akan
mengakibatkan tidak ada Rahasia Dagang lagi137.
b.

Tuntutan dan pengecualian terdapat tuntutan pidana.


Undang-undang Rahasia Dagang sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat (1)

memberikan sanksi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/ atau denda paling banyak
Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah), dan tindak pidana itu merupakan delik aduan.
Ketentuan yang mengatur pelanggaran Rahasia Dagang hanya diatur dalam 2 (dua)
pasal sehingga kita dapat menyatakan 2 (dua) macam tindakan yang dianggap sebagai
pelanggaran Rahasia Dagang, yaitu :
1.
2.
3.
4.

Apabila seseorang dengan sengaja mengungkapkan Rahasia Dagang;


Mengingkari kesepakatan
Mengingkari kewajiban terlukis
Mengingkari kewajiban tidak tertulis untuk menjaga Rahasia Dagang yang
bersangkutan.

Dengan mempertimbangkan hal-hal yang di atas, maka penyelesaian perkara di bidang


Rahasia Dagang yang timbul karena adanya perjanjian, sekali lagi penulis sampaikan akan
diselesaikan melalui gugatan perkara perdata dengan mangajukan gugatan pembatalan
perjanjian (mungkin sekaligus tuntutan ganti rugi) atau melimpahkan perkara itu melalui
arbitrase, atau alternatif penyelesaian sengketa.
Kemudian, sekali lagi jika dilihat unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 13 di atas
menurut hemat penulis dapat dikategorikan sebagai wanprestasi suatu perikatan. Tindakan
wanprestasi itu sebenarnya hanya dapat mengakibatkan batalnya suatu perjanjian yang
didasarkan pada kaidah-kaidah yang diatur dalam lingkup hukum perdata, khususnya
mengenai pembatalan perjanjian yang diatur dalam pasal 1266 jo pasal 1267 KUH Perdata.
Hanya saja, dalam undang-undang ini pelanggaran perjanjian itu ternyata tidak sekedar
merupakan tindakan wanprestasi saja, tetapi dapat juga dikenakan sanksi pidana.
Kedua, diatur dalam pasal 14 yang menyatakan :
Seseorang dianggap melanggar Rahasia Dagang pihak lain apabila ia memperoleh
atau menguasai Rahasia Dagang tersebut dengan cara yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
Penjelasan pasal di atas hanya menyatakan cukup jelas dan tidak menguraikan apa
yang dimaksud bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun
137

2.

Imam Sjahputra Tunggal, 2000, Seluk-Beluk Tanya Jawab Teori dan Praktik, Harvarindo,hal.

110

dalam beberapa kali pertemuan pembahasan Rancangan Undang-undang Rahasia Dagang,


disampaikan bahwa yang dimaksud dengan bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, misalnya : penipuan, penggelapan, penyadapan dan sebagainya.
Jika yang dimaksud dalam pasal 14 tindakan-tindakan tersebut berupa tindak pidana
penipuan, penggelapan dan atau penyadapan, maka dalam mengajukan sangkaan dan/ atau
dakwaan, bagaimanapun polisi atau jaksa tidak bisa mengabaikan ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yaitu pasal 372, pasal 378, atau pasal
322 dan pasal 323.
Selanjutnya sebagaimana tercantum dalam pasal 15 Undang-undang Rahasia
Dagang, terhadap pelanggaran pasal 13 atau pasal 14, akan dikenai sanksi pidana yang isi
pasalnya menyatakan :
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Rahasia Dagang pihak
lain atau melakukan perbuiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 atau pasal
14 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/ atau denda
paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan delik aduan
Terdapat beberapa unsur delik dalam pasal di atas yang dapat dikenakan sanksi
pidana, yaitu :
1. Barang siapa dengan sengaja, dan
2. Tanpa hak menggunakan Rahasia Dagang pihak lain;
3. Dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp.
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Dalam Undang-undang Rahasia Dagang tampaknya hanya tindakan pelanggaran
terhadap pasal 4 dan pelanggaran-pelanggaran terhadap pasal 13 atau pasal 14 saja yang
dapat dikenakan sanksi perdata dan/ atau pidana. Oleh karena pasal 15 memberikan suatu
pengecualian bagi siapapun yang melakukan pelanggaran tertentu dapat dikesampingkan
dari segala tuntutan apabila tindakan itu berupa:
1. Tindakan pengungkapan Rahasia Dagang atau penggunaan Rahasia Dagang
tersebut didasarkan pada kepentingan pertahanan keamanan, kesehatan, atau
keselamatan masyarakat.
2. Tindakan rekayasa ulang atas produk yang dihasilkan dari penggunaan Rahasia
Dagang milik orang lain dilakukan semata-mata untuk kepentingan
pengembangan lebih lanjut produk yang bersangkutan.
Penutup
Perlindungan rahasia dagang di Indonesia di lindungi oleh Undang Undang oleh
karena Rahasia dagang termasuk Hak kekayaan Intelektual (HAKI), maka Rahasia Dagang
Memperoleh perlindungan dan hak alami serta perlindungan reputasi. Dilindungi dari

111

penggunaan pihak lain yang tanpa hak, jika hal tersebut di langgar maka akan ada sanksi
perdata maupun pidana berdasarkan pasal 13, 14 dan 15 Undang-undang No. 30 Tahun
2000 tentang Rahasia Dagang.
Dalam Undang-undang Rahasia Dagang terdapat 3 (tiga) cara untuk menyelesaikan
pelanggaran Rahasia Dagang di Indonesia, yaitu :
a. Secara perdata dengan mengajukan tuntutan kompensasi atau ganti rugi atas
pelanggaran Rahasia Dagang, termasuk pula tuntutan ganti rugi akibat terjadi
wanprestasi dalam perjanjian lisensi tersebut;
b. Secara pidana dengan melaporkan adanya tindak pidana terhadap pemegang hak atau
penerima lisensi Rahasia Dagang, dan
c. Melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa
dengan melaksanakan perjanjian yang berkaitan dengan Rahasia Dagang.
Pentingnya undang-undang rahasia dagang ini untuk di perbaiki atau di revisi lagi
karena perkembangan dunia perdagangan khususnya perkembangan dunia niaga di dunia
internasional serta dalam rangka memasuki era pasar bebas, pastinya nanti akan banyak lagi
masalah-masalah yang belum di atur dalam undang-undang ini akan menjadi sengketa
hukum.
Perlunya pemahaman yang lebih komperhensif dari aparat penegak hukum, seperti
polisi, kejaksaan dan kehakiman, untuk lebih mengerti masalah rahasia dagang, sehingga
nantinya jika ada sengketa para aparat penegak hukum bisa menguasai masalah
perlindungan rahasia dagang.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Cita Citrawinda Priapantja, 1999, Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi
Perdagangan Atau Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi, Penerbit
Chandra Pratama.
Imam Sjahputra Tunggal, 2000, Seluk-Beluk Tanya Jawab Teori dan Praktik, Harvarindo
Komar Kantaatmadja, 1995, Undang-Undang Perseroan Terbatas 1995 dan Implikasinya
Terhadap Penanaman Modal Asing, Bandung.
Ramli. Ahmad M, 2001, Hak Atas Kepemilikan Intelektual Teori Dasar Perlindungan
Rahasia Dagang, Mandar Maju, Bandung.
INTERNET
Wikipedia, 2008, Rahasia Dagang, http://id.wikepeda.org/wiki/rahasia_dagang, diakses
pada 10 Januari 2012.

112

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang
Trade Related Aspects Of Intelectual Property (TRIPs)

113

ONTOLOGI SILA KESATU PANCASILA


(KAJIAN HUKUM TATA NEGARA)
Tomy M Saragih
Penerbit Titah Surga Jogjakarta
a_los_tesalonicenses@yahoo.com

Abstract:
Principle point to one Pancasila is even greater than principle fourth another so deep principle to one
that gets to be made by utilised main footing creates reconciliation to get religion and settles SARA's
conflict at Indonesian. So acquired result is state disability in apply Pancasila's principles because of
still plural it views to Pancasila's realities.
Key words: Pancasila,ontologi and reconciliation religion.
Pendahuluan
Di dalam berbagai Undang-undang, terdapat berbagai definisi mengenai Indonesia,
antara lain:
1.

Di dalam konsiderans Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011


tentang Informasi Geospasial dijelaskan bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri
nusantara dengan segala kekayaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dikelola dengan baik dan penuh
rasa tanggung jawab untuk menjadi sumber kemakmuran bagi seluruh rakyat
Indonesia, baik di masa kini maupun di masa mendatang.

2.

Di dalam konsiderans Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008


tentang Wilayah Negara dijelaskan bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang berciri
nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayahnya serta memiliki hak-hak berdaulat
di luar wilayah kedaulatannya dan kewenangan tertentu lainnya untuk dikelola dan
dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

3.

Di dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2009


tentang Gelar, Tanda Jasa, Dan Tanda Kehormatan dijelaskan bahwa
Negara Kesatuan Republik Indoensia yang selanjutnya disingkat NKRI adalah
sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas
dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

114

Dari sebagian definisi di atas maka diketahui bahwa Indonesia merupakan negara
yang berciri nusantara, dalam hal ini menunjuk pada artian positif yaitu negara yang
tujuannya adalah memberi kenyamanan hidup bagi rakyatnya. Hal ini juga diperkuat dalam
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial dijelaskan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya
kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Namun kenyamanan
yang diharapkan tidak dapat terjadi dalam segala bidang khususnya dalam keagamaan.
Muncul berbagai kejadian bermotif Suku, Agama, Ras dan Adat-istiadat (SARA) di
Indonesia semenjak era penjajahan Belanda, salah satunya adanya penggolongan pasal-pasal
tertentu seperti dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang
pada mulanya terdapat 1993 pasal yang keberlakuannya dibatasi dengan mereka yang
termasuk golongan Eropa, mereka yang termasuk golongan Tionghoa serta mereka yang
termasuk golongan Timur Asing lain daripada Tionghoa. Hingga di era reformasi pun masih
muncul kejahatan yang mengatasnamakan agama.
Namun

saat

ini,

keberadaan

agama

menjadi

diduakan

akibat

semakin

berkembangnya kecerdasan manusia dalam memahami segala hal di sekitarnya. Agama


menjadi suatu barang usang karena dianggap membatasi manusia secara tidak langsung
dalam melakukan kehendaknya. Oleh karena itu, sangat beruntung sekali agregasi gerakan
reformasi yang telah berhasil menjatuhkan pemerintah orde baru di bawah kendali Soeharto
membuka jalan terang memasuki era Indonesia baru. Dalam kaitan ini juga, sebenarnya
tujuan reformasi adalah mewujudkan bangsa dan negara yang demokratis di bawah naungan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.138
Bersandar kepada Pancasila, maka sudah seharusnya Indonesia mampu menjadi
negara yang memahami agama sebagai bagian penting dalam kerukunan beragama bagi
masyarakat. Kerukunan beragama selalu menimbulkan sikap pro dan kontra, oleh karena di
dalam tulisan ini akan membahas seputar Pancasila terkait pengaruhnya dengan kerukunan
beragama dalam kajian hukum tata negara.

138

Ahkam Jayadi, Aspek Politik Hukum UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik, Jurnal
Konstitusi, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Volume II, Nomor: 1, 2009, hal. 56.

115

Sejarah Singkat Pancasila


Pancasila secara kronologis baik menyangkut rumusan maupun istilah, meliputi
ruang lingkup antara lain Pancasila menurut istilah etimologis, Pancasila menurut istilah
historis, dan Pancasila menurut istilah terminologis.
Secara etimologis, Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta India (bahasa Kasta
Brahmana), bahasa rakyat jelata adalah bahasa Prakerta. Menurut Muhammad Yamin,
Pancasila mempunyai dua macam makna secara leksikal antara lain adalah Panca
maknanya lima, Syila (vokal i pendek) maknanya satu sendi, alas ataupun dasar. Syila
(vokal i panjang) maknanya aturan tentang moral dan sikap yang baik. Pancasila asal
mulanya terdapat dalam kepustakaan Budha di India pada Kitab Suci Tri Pitaka yang terdiri
dari tiga macam antara lain Suttha Pitaka, Abhidarma, dan Vinaya Pitka.
Ajaran-ajaran moral yang terdapat dalam agama Budha, yakni Dasasyila, Saptasyila
dan Pancasyila. Pancasila menurut Budha berisikan lima prinsip moral yang memuat
larangan-larangan antara lain:139
a.
b.
c.
d.
e.

Panditipata Virati, artinya jangan mencabut nyawa makhluk hidup atau dilarang
membunuh.
Adinnadana Virati, artinya janganlah mengambil barang yang tidak diberikan atau
dilarang mencuri.
Kamesu Micchacara Virati, artinya janganlah berhubungan kelamin, atau dilarang
berzina.
Musavada Virati, artinya janganlah berkata palsu atau dilarang berdusta.
Surapana Virati, artinya jangan meminum-minuman yang menghilangkan akal
pikiran, hati dan jiwa atau dilarang minum-minuman keras yang memabukkan.
Pancasila secara historis dipandang sebagai suatu proses perumusan Pancasila yang

bermula dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Pemerintahan Kemerdekaan


Indonesia (BPUPKI) yang didirikan oleh Dr. Radjiman Widyadiningrat, yang diwakili oleh
tiga pembicara, antara lain Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno. Tanggal 1 Juni
1945 Ir. Soekarno memberi nama Pancasila yang mempunyai makna lima dasar pada
pidatonya dan tanggal 17 Agustus 1945 memproklamasikan kemerdekaan dan sehari
sesudahnya tanggal 18 Agustus 1945 secara sah dan resmi memiliki dasar negara, yaitu
Pancasila yang disahkan bersama UUD NRI 1945.
Pancasila secara terminologis, dimulai sejak sidang Panitia Penyelidik Kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 yang telah berhasil mengesahkan UUD NRI

139

Pandji Setijo, 2009, Pendidikan Pancasila Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa: Dilengkapi
dengan Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen, Grasindo, Jakarta, hal. 16-17.

116

1945.140 Adapun UUD NRI 1945 terdiri dari dua bagian yaitu Pembukaan UUD NRI
1945dan Pasal-pasal UUD NRI 1945 berisi 37 pasal, 1 Aturan Peralihan yang terdiri atas 4
pasal dan 1 aturan tambahan terdiri atas 2 ayat, serta Penjelasan otentik UUD NRI 1945.
Dari sejarahnya, Pancasila benar-benar berlandaskan suatu ajaran-ajaran positif. Hal
ini juga diperkuat dengan argumen Soeharto yang menyatakan bahwa Pancasila adalah
kepribadian kita, adalah pandangan hidup seluruh Bangsa Indonesia, pandangan hidup yang
disetujui oleh wakil-wakil rakyat, menjelang dan sesudah Proklamasi kemerdekaan kita;
oleh karena itu, Pancasila adalah satu-satunya pandangan hidup yang dapat pula
mempersatukan kita. Pancasila adalah perjanjian luhur seluruh rakyat Indonesia yang harus
selalu kita junjung tinggi bersama dan kita bela selama-lamanya.141
Landasan Yuridis Pancasila
Landasan yuridis Pancasila sebagai dasar negara termuat sebagaimana dalam
pembukaan UUD NRI 1945 pada alinea ke empat, yakni:
Kemudian daripada itu, untuk membentuk, maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dalam mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila sebagai dasar negara juga pada hakikatnya tercermin dalam berbagai asasasas, di antaranya:
a. Asas ketuhanan Yang Maha Esa: tercermin dalam tiga bidang ketatanegaraan Indonesia
(Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif),
b. Asas perikemanusiaan: asas yang mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan
harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa,
c. Asas kebangsaan: setiap warga negara mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang
sama,
d. Asas kedaulatan rakyat: menghendaki bahwa setiap tindakan negara harus berdasarkan
keinginan rakyat,
e. Asas keadilan sosial: menghendaki bahwa tujuan negara adalah mewujudkan keadilan
sosial secara adil dan makmur.

140

Saefroedin, dkk, 1992, Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, Sekretariat Negara Republik Indonesia,
Jakarta, hal. 137-290 dan hal. 293-324.
141
Centre For Strategic And International Studies (CSIS), 1976, Pandangan Presiden Soeharto
Tentang Pancasila, Sekretariat Negara RI, Jakarta, hal. 10-11.

117

Pancasila sebagai dasar negara juga dimaknai sebagai hukum dasar negara Indonesia
yang secara objektif merupakan suatu pandangan hidup, kesadaran, cita-cita hukum dan
cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan serta watak bangsa Indonesia.142
Penerapan Sila Kesatu Pancasila
Kekuatan sila-sila dalam Pancasila tidaklah sama dalam hal ini bahwa sila kesatu
kedudukannya lebih besar dari keempat sila lainnya dan membawahi keempat sila tersebut.
Tersirat bahwa Pancasila terutama sila kesatu mampu menjadikan landasan agar terciptanya
kerukunan beragama. Di dalam tulisan ini, penulis juga meitikberatkan bahwa keberadaan
Pancasila seharusnya melindungi keberadaan ateis (tidak mengakui adanya Tuhan),
penghayat (mengaku Tuhan namun tidak menyandarkan seluruh kepecayaannya kepada
Than itu sendiri), agnostik (Tuhan dianalogikan sebagai pribadi yang bersifat kebendaan),
dan animisme (kepercayaan yang mendiami roh-roh atau benda). Hal ini terjadi karena
sumber Pancasila adalah kebaikan. Dimana apabila kita mengacu pada sila kedua
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab jelaslah bahwa keadilan adalah milik semua orang.
Tetapi keadilan demikian akan terpatahkan apabila kita mengacu pada definisi Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dijelaskan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia. Sedangkan mengacu pada Article 1 Universal Declaration of Human Rights
disebutkan bahwa All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are
endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of
brotherhood.
Terpatahkannya bukan karena definisi dalam Hak Asasi Manusia (HAM) itu sendiri
melainkan disebabkan masih adanya variasi dalam menterjemahkan HAM itu sendiri.
Mustafa Lutfi menjelaskan bahwa HAM merupakan derivasi dari istilah asing yaitu human
rights (bahasa Inggris) dan Mensen Rechten (bahasa Belanda). Selain kata HAM, juga
terdapat kata Hak Dasar Manusia (HDM) sebagai terjemahan dari istilah fundamental rights
(bahasa Inggris) dan grund rechten (bahasa Belanda). Sedangkan terminologi HAM dalam
literatur ilmu politik dan hukum tata negara dapat ditelusuri dari terjemahan droits

142

Soekarno, 2006, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, Media Presindo, Yogyakarta, hal. 47.

118

delhomme (bahasa Prancis).143 Dampak masih bervariasinya definis HAM, membawa


implikasi seperti yang termaktub dalam Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM
Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya
kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk
menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan perkembangan manusia dan
masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas atau diganggu gugat oleh
siapapun.
Dengan adanya perbedaan definisi HAM di Indonesia, khususnya pada saat ini
seringkali HAM dikaitkan dengan suatu kebebasan dan kemerdekaan. Salah satu ilustrasi,
seorang penghuni kos memutar musik dengan pengeras suara hingga volume maksimal maka
secara cepat dapat disimpulkan bahwa perbuatan penghuni kos termasuk bertentangan dengan
HAM milik penghuni kos lainnya. Bersandar pada penjelasan Soekarno bahwa kemerdekaan
adalah politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain tak dan tak bukan adalah
satu jembatan, satu jembatan emas, diseberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita
punya masyarakat.144 Dari pengertian tersebut maka kemerdekaan dalam artian HAM harus
selalu diperjuangkan dari waktu ke waktu karena kemerdekaan itu sendiri bersifat dinamis,
progresif, inovatif dan transformatif.
Perdebatan HAM tersebut menimbulkan pertentangan tentang di mana keberadaan
Tuhan

yang

menentukan

kebijakan

suatu

pemimpin

dalam

menjalankan

roda

pemerintahannya. Tetapi esensi Pancasila dalam kerukunan beragama, merupakan sesuatu


yang sulit terlaksana. Hal ini terjadi karena beberapa faktor antara lain:
a.

b.

c.

Keberadaan Pancasila dalam suatu peraturan perundang-undangan hanyalah sebagai


penguat bahwa suatu peraturan perundang-undangan tersebut selalu bersumber pada
Pancasila
Pancasila hanya dimaknai sebagai Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia
(lebih lengkapnya dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara Serta
Lagu Kebangsaan) yang tidak memiliki kekuatan dalam menciptakan kerukunan
beragama
Masih sedikitnya literatur yang membahas secara hermeneutika, sistemik dan ilmiah
terhadap Pancasila
Peranan Pancasila yang menonjol sejak permulaan penyelenggaraan negara adalah

fungsinya dalam mempersatukan seluruh rakyat menjadi bangsa yang berkepribadian. Di


143

Jazim Hamidi, 2010, Civic Education Antara Realitas Politik dan Implementasi Hukumnya, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 210-211.
144
Imam Anshori Saleh dan Jazim Hamidi, 2004, Memerdekakan Indonesia Kembali (Perjalanan
Bangsa dari Soekarno ke Megawati), IRCiSoD, Yogyakarta, hal. xvi.

119

mana bangsa Indonesia sejak permulaan hidup terdiri dari multi etnis, multi religius dan
multi ideologis. Berbagai unsur-unsur tersebut dapat memperkaya budaya untuk
membangun bangsa yang kuat namun sisi berlawanan dapat memperlemah kekuatan dengan
berbagai perselisihan dan pertentangan. Maka, problematika yang timbul yaitu
bagaimanakah agar sila kesatu

Pancasila mampu menciptakan kerukunan beragama

sepanjang waktu.
Penulis menjadikan Pancasila ke dalam tiga landasan yaitu:
a.

b.

c.

Landasan epistimologi yaitu Pancasila merupakan sumber pengetahuan yang terdapat


dalam diri bangsa Indonesia dan sumber pengetahuan tersebut bersinergi dengan
berbagai institusi-institusi yang berada di Indonesia. Institusi-institusi tersebut harus
dapat memaknai Pancasila sebagai suatu kebenaran yang utuh dan harmonis.
Landasan aksiologis lebih menekankan bahwa Pancasila merupakan nilai kerohanian
(kesucian, kebaikan, kebenaran, dan keindahan) dan tidak mengesampingkan nilai
materiil serta nilai vital. Nilai materiil sebagai nilai yang bermanfaat bagi jasmani
manusia seperti kenikmatan, kesehatan. Nilai vital sebagai nilai yang bermanfaat bagi
kegiatan manusia seperti motor, telepon genggam. Nilai kerohanian sebagai nilai yang
bermanfaat bagi rohani manusia. Nilai kerohanian diklasifikasikan menjadi nilai
kebenaran yang bersumber dari akal, nilai keindahan yang bersumber dari perasaan,
nilai kebaikan yang bersumber pada kehendak dan nilai agama yang merupakan nilai
kerohanian yang paling tinggi.145
Secara ontologis kesatuan sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem bersifat hierarki dan
berbentuk piramidal adalah sebagai berikut: bahwa hakikat adanya Tuhan adalah ada
karena dirinya sendiri, Tuhan sebagai causa prima. Oleh karena itu segala sesuatu yang
ada termasuk manusia ada karena diciptakan Tuhan atau manusia ada sebagai akibat
adanya Tuhan (Sila 1). Adapun manusia adalah sebagai subjek pendukung pokok
negara, karena negara adalah lembaga kemanusiaan, negara adalah sebagai persekutuan
hidup bersama yang anggotanya adalah manusia (Sila 2). Negara adalah sebagai akibat
adanya manusia bersatu (Sila 3). Terbentuknya persekutuan hidup bersama yang
disebut rakyat. Rakyat pada hakikatnya merupakan unsur negara, unsur wilayah dan
pemerintah. Rakyat adalah sebagai totalitas individu-individu dalam negara yang
bersatu (Sila 4). Keadilan pada hakikatnya merupakan tujuan suatu keadilan dalam
hidup bersama atau dengan lain perkataan keadilan sosial (Sila 5) yang pada hakikatnya
sebagai tujuan dari lembaga hidup bersama yang disebut negara.146
Maka apabila landasan tersebut disandarkan pada adagium Thomas Hobbes yaitu Non

est Potestas Super Terram Quae Compraturei (tiada kekuasaan yang dapat menandingi
kekuasaan negara), Pancasila tetap dapat membawa pengaruh positif bagi keberlangsungan
beragama di Indonesia. Hal ini tercermin dalam sudut pandang sejarah Pancasila yaitu causa

145

Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 1995, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 211.
146
Notonagoro, 1975, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pantjuran Tudjuh, Jakarta, hal. 52-57.

120

materialis formalis,147 sebagai sambungan dari causa formalis148 dan causa finalis,149 serta
causa efisien.150
Bersandar dari Pancasila, seharusnya kerukunan umat beragama merupakan sesuatu
yang mutlak dijaga keutuhannya. Kerukunan umat beragama apabila dikaitkan dengan
pendapat Friedrich von Savigny bahwa hukum hanya bisa dideskripsikan sebagaimana apa
adanya dalam faktanya yang nyata dalam masyarakat.151 Apabila fakta adanya ruang selisih
antara substansi hukum undang-undang negara dan hukum rakyat yang informal dan tidak
tertulis itu dipandang sebagai suatu masalah kompetisi yang berpotensi konflik antara
sentral dan lokal maka perkembangan dalam pergaulan politik dan hukum antar bangsa
tersebut dapat dikatakan sebagai proses terolahnya kebijakan yang mengarah pada solusi
kompromistis. Perhatian selanjutnya bahwa sejak masa pergerakan maupun bahwa sejak
masa pergerakan maupun pada saat menyusun UUD Proklamasi, semua berpendapat agar
demokrasi atau paham kedaulatan rakyat menjadi salah satu sendi Indonesia merdeka.
Diakui memang, ada beberapa visi di antara para anggota pergerakan dan tim penyusun
UUD. Ada yang membangun paham demokrasi bagi Indonesia merdeka dari prinsip-prinsip
ajaran agama Islam seperti prinsip permusyawaratan (yang direpresentasikan oleh Yamin
dan Agus salim). Ada yang menggali prinsip-prinsip demokrasi dari adat-istiadat Indonesia
yang dipadukan dengan paham demokrasi modern (oleh Hatta dan Soekarno). Ada juga
yang semata-mata melihat dari budaya asli Indonesia seperti halnya Soepomo.152
Pancasila bagi bangsa Indonesia pada hakikatnya berfungsi sebagai dasar negara dan
ideologi bangsa dan negara. Pancasila sampai detik ini telah diterima dan masih perlu
pemahaman mendalam lagi oleh seluruh rakyat Indonesia, serta menjadi dasar dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan, termasuk penegakan hukum di Indonesia. Nilai-nilai yang
147

Causa materialis formalis adalah asal mula bahan. Sebelum terbentuk dan dirumuskan, unsurunsur Pancasila telah ada yaitu berupa adat istiadat, kebudayaan dan agama-agama.
148
Causa formalis adalah asal mula bentuk. Artinya bagaimana Pancasila tersebut dirumuskan.
Pembentukan Pancasila dibentuk berdasarkan atas pembentukan negara dalam suatu sidang yaitu
BPUPKI.
149
Causa finalis adalah asal mula tujuan. Hal ini dimaksudkan asal mula dalam hubungannya
dengan tujuan dirumuskannya Pancasila.
150
Causa efisien adalah asal mula karya. Hal ini dimaksudkan dalam proses perumusan Pancasila
dalam sidang BPUPKI, Piagam Jakarta 1945 hingga disahkannya pada tanggal 18 Agustus 1945.
151
Agung Yuriandi, 2008, Perbandingan Teori Hukum Roscoe Pound Dan Carl Von Savigny
Dipandang Dari Perspektif Politik Hukum, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,
Medan, hal. 1.
152
Jazim Hamidi, 2005, Makna Dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945
Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran, Bandung, hal. 223.

121

terkandung di dalam rumusan sila-sila merupakan landasan filosofis yang dianggap,


dipercaya, dan diyakini sebagai suatu kenyataan, norma-norma, nilai-nilai yang dianggap
benar atau tidak, adil dan tidaknya, dan bijaksana atau tidaknya oleh seluruh rakyat
Indonesia merupakan tonggak terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.153
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, artinya bahwa Pancasila
adalah sumber kaidah hukum negara secara konstitusional yang mengatur dan
menyelenggarakan pemerintahan negara, beserta unsur-unsur negara, yakni rakyat, wilayah,
pemerintahan yang berdaulat dan pengakuan dari negara lain. Di dalam Ketetapan MPRS
Nomor XX/MPRS/1966 ditegaskan bahwa Pancasila itu adalah sumber dari segala sumber
hukum baik secara formal, berdasar atas peraturan perundang-undangan yang berlaku,
bersifat memaksa atau tidak, berasal dari kebiasaan-kebiasaan, berbentuk traktat atau
perjanjian, mempunyai jurisprudensi dan tidak kalah penting merupakan khasanah dari ilmu
pengetahuan hukum.
Selain itu, Pancasila mengandung unsur-unsur pluralisme, penghormatan terhadap
keanekaragaman budaya, menjunjung tinggi derajat kemanusiaan yang adil dan beradab
sebagaimana terkandung dalam nilai-nilai Pancasila. Kehidupan bermasyarakat sebagai
manusia yang dibekali akal sehat, logika dan perilaku yang tumbuh dan berkembang sampai
saat ini, haruslah tetap menjunjung tinggi nilai-nilai budaya bangsa sendiri. Nilai-nilai
budaya tersebut tertuang secara lebih nyata dalam jalinan normanorma sosial yang ada di
dalam masyarakat. Pada akhirnya norma-norma sosial itu akan menjelma menjadi susunan
pranata-pranata sosial dengan ciri dan sifat serta perilaku yang sesuai dengan tatanantatanan sosial pada umumnya. Hal inilah merupakan gambaran sosial cara hidup tumbuh
dan berkembangnya dinamika masyarakat sosial. Dengan demikian apabila muncul
pertanyaan apakah yang menjadi cita hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
apakah tujuan hukum dalam kehidupan masyarakat hanya sebatas sebagai alat kontrol dan
pengendali sosial untuk dapat menciptakan keteraturan dan ketertiban sosial, maka
jawaban yang tepat adalah dengan memahami secara mendalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945, Nilai-nilai Pancasila dan konstitusi dalam perspektif pembangunan
nasional.154

153

Muhammad Naufal Arifiyanto, 2011, Teori Pancasila dan Kewarganegaraan, Gre Publishing,
Yogyakarta, hal. 102.
154
Agung Kesna Mahatmaharti, Menyikapi Multikulturalisme dalam Konteks Pluralitas Budaya.
Majalah Ilmiah Media, Kampus STKIP Jombang, Edisi Maret-April 2010, hal. 59-60.

122

Tercapainya kerukunan umat beragama tidak hanya sekadar dengan berdiskusi


ataupun hanya mencela apabila terjadi kejadian teroris di suatu daerah. Kita juga sering
melihat para tokoh lintas agama yang sangat mengapresiasi dan menghargai rakyat yang
telah bekerja keras mengembangkan solidaritas, serta terus kreatif menyelamatkan bangsa
dan negara. Tokoh lintas agama ini terdiri dari antara lain Ahmad Syafii Maarif (mantan
Ketua Umum PP Muhammadiyah), KH. Salahuddin Wahid (tokoh Nahdlatul Ulama),
Pendeta Andreas Yewangoe (Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia), Biksu Sri
Panyavaro Mahathera (tokoh agama Buddha), Ida Pedande Sebali Tianyar Arimbawa (tokoh
agama Hindu), Mgr Martinus Situmorang OFM Cap (Ketua Konferensi Wali Gereja
Indonesia), Haksu Thjie Tjai Ing Xueshi, Franz Magnis-Suseno SJ, dan Djohan Effendy.155
Tindakan yang dilakukan tokoh lintas agama ini merupaka wujud nyata dalam
mengamalkan Pancasila namun jika tindakan tersebut tidak mendapat dukungan pemerintah
dalam hal ini presiden sebagai kepala eksekutif (definisi yang tepat secara keilmuan) maka
akan menjadikan suatu kemunduran dalam menciptakan kerukunan umat beragama di
Indonesia.
Pemikir kenamaan Bawa Muhayyadin dalam Islam for World Peace: Eksplanations
of A Sufi (1987) menceritakan ketika Khalifah Umar memasuki kota Jerussalem, Uskup dari
Makam Suci Kristus menawarkan untuk menunaikan salat di dalam gereja namun Umar
memilih salat di luar pintu. Secara bijaksana Umar mengatakan bahwa jika saya sudah salat
di temapt suci kalian, para pengikut saya dan orang-orang yang datang ke sini pada masa
yang akan datang akan mengambil alih bangunan ini dan mengubahnya menjadi sebuah
masjid. Merkea akan mengacurkan tempat ibadah kalian, untuk menghindari kesulitankesulitan ini dan agar gereja kalian tetap terjaga maka saya memilih salat di luar. Dari
perspektif Umar dijelaskan bahwa tempat ibadah merupakan cermin suci nan mendasar bagi
komunitas beragama sehingga ketika Uskup tersebut menawarkan salat di dalam gereja,
Umar tidak semata berpikir tentang agama yang dipeluknya tetapi juga menjatuhkan sikap
politik keagamaan yang arif dan bening. Terdapat dimensi edukatif dan demokratisasi tepat
yang diajarkan oleh Umar yaitu penghormatan terhadap pemeluk agama lain secara egaliter,
inklusif dan humanistik.
Prinsip Pancasila sama halnya dengan yang dilakukan oleh Khalifah Umar, untuk
menciptakan kerukunan umat beragama yaitu dengan memasukkannya nilai-nilai Pancasila
ke dalam setiap tindakan negara antara lain dengan mesiratkan atau mensuratkan esensi
155

Fer, Akhiri Keprihatinan, Harian Kompas, Tanggal 19 Oktober 2011.

123

Pancasila di dalam setiap peraturan perundang-undangan, menjadikan Pancasila sebagai


landasan berpikir menciptakan jalan keluar cermat dalam mengatasi kebuntuan kerukunan
umat beragama di Indonesia. Di sisi lain timbul pemikiran di luar nalar bahwa mengapa
aktor agama melakukan tindakan kekerasan. Hal ini dijelaskan oleh Lee Ross sebagai
fundamental attribution error bahwa para aktor agama membawa kita pada pikiran sesat
seperti menyalahkan korban.156 Pendapat berlawanan yang mengacu pada doktrin Ingersoll
bahwa agama menyebabkan tindakan kekerasan sehingga memunculkan ateis lebih banyak
dari aliran pemikiran filsafat mana pun religion makes enemy instead of friends. That one
word, religion covers all the horizon of memory with visions of war, of outrage, of
persecution, of tyranny and death. Agama wajib ditinggalkan manusia bukan karena
teologis melainkan agama telah menjadi sumber kekerasan saat ini dan pada setiap zaman di
masa lalu.157 Di lain pihak, para ateis internasional, mengumpulkan setumpuk data tentang
keterlibatan agama dalam berbagai peperangan. Argumentasi mereka antara lain agama
menimbulkan perpecahan di antara manusia, agama memberikan label untuk memisahkan
satu kelompok dengan kelompok lainnya, perang terjadi di antara kelompok dengan label
berbeda (kelompok yang dikasihi Tuhan dan kelompok yang tidak dikasihi Tuhan) dan
agama adalah penyebab tersirat dari peperangan.
Penolakan yang paling sederhana dari kaum agamawan ialah kenyataan sejarah
bahwa agama bukan hanya memecah-belah, agama juga mempersatukan. Milton Edwards
menunjukkan dengan data historis bahwa peperangan lebih banyak disebabkan karena
kepentingan ekonomis, persoalan etnis, isu kebangsaan (nasionalisme) dan masalah
politik.158 Dengan kata lain, tindakan kekerasan yang menimbulkan kehancuran bangsa dan
negara lebih banyak disebabkan oleh sebab-sebab sekular daripada sebab-sebab agama.
Perang Dunia I dan II tidak disebabkan karena perbedaan agama. Konflik Israel dan
Palestina diketahui semua orang bukan perang antar agama. Perang Amerika dan Vietnam
yang berlarut-larut terjadi karena sebab-sebab sekular dan tidak menyangkut agama.
Perang Iraq yang mengambil korban jiwa dan harta merupakan perang minyak.
Maka terkait soteriologis (ilmu tentang keselamatan), semua orang yang tidak
beragama merupakan penghuni neraka. Secara keyakinan, hal tersebut karena seseorang
156

L. Berkowitz, 1977, Advances in Experimental Social Psychology, Academic Press, New York,
hal. 173-220.
157
Sam Harri, 2004, The End of Faith: Religion: Terror and the Future of Reason, Norton, New
York, hal. 26.
158
Beverly Milton-Edwards, 2006, Violence in the Modern Era, Palgrave, New York, hal. 22-23.

124

yang telah berbuat jahat apabila orang tersebut bertobat maka dalam kehidupan berikutnya
akan memperoleh kebahagiaan kekal. Diskriminasi terhadap agama tidak perlu terjadi
apabila setiap individu memiliki pemahaman terhadap keberadaan suatu agama dan
bagaimana keberlakuan agama tersebut bagi seseorang yang bertindak agnostik.
Bersumber pada St. Tomas Aquinas dalam sebuah refleksinya mengatakan bahwa
Makhluk ciptaan keluar dari tangan Allah yang dibuka dengan kunci cinta. Tangan Allah
mencipta dan membuka setiap kehidupan manusia dengan kunci cinta. Kekuatan cinta Allah
itulah yang memampukan manusia untuk saling mencinta.159 Senada juga Plato mengatakan
bahwa keadilan dapat tercipta tanpa hukum, karena yang menjadi penguasa adalah kaum
cerdik pandai, kaum arif bijaksana yang mewujudkan theoria (pengetahuan dan pengertian
terbaiknya) dalam bertindak. Pemerintahan dijalankan dengan berpedoman pada keadilan
sesuai ide keadilan orang arif tersebut dan kaum bijak bertindak sebagai guru sekaligus
pelayan kepentingan umum berbasis keadilan. Pada akhirnya sila kesatu Pancasila akan
menciptakan kerukunan di antara masyarakat.
Penutup
Negara masih kurang dalam menerapkan sila-sila Pancasila khususnya sila kesatu bagi
masyarakat dikarenakan masih adanya berbagai sudut pandang mengenai hakikat Pancasila
itu sendiri. Sehingga wujud nyata tersebut tidak dapat terlaksana secara optimal. Sebagai
negara yang berdasarkan hukum, pemerintah berdaulat di Indonesia wajib melakukan:
a.
b.

c.

d.
e.
f.

g.

159

Sosialisasi Pancasila khususnya esensi sila kesatu bagi seluruh masyarakat tanpa
terkecuali
Menambah beban studi mata pelajaran atau mata kuliah pendidikan kewarganegaraan
dengan tujuan mendidik generasi muda menjadi warga negara yang paham akan nilainilai kerukunan beragama dan pada akhirnya terciptanya kebijakan yang demokratis
dan memiliki kebijaksanaan sebagai hasil akhirnya
Menggiatkan seminar-seminar khususnya bagi Warga Negara indonesia (WNI) yang
sedang melakukan studi atau bekerja di luar negeri dengan tujuan agar nilai-nilai
Pancasila tersebut mampu bertransformasi pada perkembangan jaman
Menjadikan Pancasila sebagai tumpuan dasar dalam menyelesaikan permasalahan
konflik yang terkait SARA
Membentuk peraturan perundang-undangan yang selalu berfilosofi pada Pancasila
Memberlakukan ilmu hermeneutika dan ilmu filsafat ke setiap jenjang pendidikan
khususnya tingkat Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Internasional yang berada di
Indonesia, Sekolah berbasis keagamaan dan Sekolah Menengah Atas
Menjadikan ilmu hukum tata negara sebagai mata kuliah wajib dalam setiap jenjang
ilmu-ilmu sosial karena dengan demikian akan menumbuhkan rasa ingin tahu terhadap
keberadaan dan keberlansungan suatu negara.
Institut Karmel Indonesia (IKI), 2011, Cafe Rohani, Carmel Vision, Malang, hal. 6.

125

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Agung Yuriandi, 2008, Perbandingan Teori Hukum Roscoe Pound Dan Carl Von Savigny
Dipandang Dari Perspektif Politik Hukum, Tesis, Program Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara, Medan.
Berkowitz, L., 1977, Advances in Experimental Social Psychology, Academic Press, New
York.
Beverly Milton-Edwards, 2006, Violence in the Modern Era, Palgrave, New York.
Centre For Strategic And International Studies (CSIS), 1976, Pandangan Presiden Soeharto
Tentang Pancasila, Sekretariat Negara RI, Jakarta.
Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 1995, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Imam Anshori Saleh dan Jazim Hamidi, 2004, Memerdekakan Indonesia Kembali
(Perjalanan Bangsa dari Soekarno ke Megawati), IRCiSoD, Yogyakarta.
Institut Karmel Indonesia (IKI), 2011, Cafe Rohani, Carmel Vision, Malang.
Jazim Hamidi, 2005, Makna Dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945
Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana
Universitas Padjadjaran, Bandung.
___________, 2010, Civic Education Antara Realitas Politik dan Implementasi Hukumnya,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Muhammad Naufal Arifiyanto, 2011, Teori Pancasila dan Kewarganegaraan, Gre
Publishing, Yogyakarta.
Notonagoro, 1975, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pantjuran Tudjuh, Jakarta.
Pandji Setijo, 2009, Pendidikan Pancasila Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa:
Dilengkapi dengan Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen, Grasindo,
Jakarta.
Saefroedin, dkk, 1992, Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, Sekretariat Negara Republik
Indonesia, Jakarta.
Sam Harri, 2004, The End of Faith: Religion: Terror and the Future of Reason, Norton,
New York.
Soekarno, 2006, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, Media Presindo, Yogyakarta.
SURAT KABAR
Fer, Akhiri Keprihatinan, Harian Kompas, Tanggal 19 Oktober 2011.
JURNAL
Agung Kesna Mahatmaharti, Menyikapi Multikulturalisme dalam Konteks Pluralitas
Budaya. Majalah Ilmiah Media, Kampus STKIP Jombang, Edisi Maret-April 2010.
Ahkam Jayadi, Aspek Politik Hukum UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik, Jurnal
Konstitusi, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Volume II, Nomor: 1, 2009.

126

THE LEGAL PROTECTION TOWARD


REMUNERATION OF PERFORMING ARTIST IN BALI
Tjok Istri Sri Harwathy, S.H., M.M., Made Emy Andayani Citra, S.H., M.H., Ni Luh Gede
Yogi Arthani, S.H., M.H. and Dewi Bunga, S.H., M.H.
Faculty of Law, University of Mahasaraswati Denpasar.
bunga8287@yahoo.com and yogi_arthani@yahoo.com
Abstract
Performing arts is one of Bali's tourist attractions known throughout the world. Artist contributed
greatly in the development of cultural tourism in Bali as stipulated in the Regional Regulation of the
Bali Province No. 3 of 1991 concerning Cultural Tourism. However, the legal protection toward the
remuneration of artist in Bali is not maximized. They paid no more than Rp 10.000,00 per hour per
each person. The regulations of remuneration of artist in Bali can be seen on the Article 12 of The
Decision of the Governor of Bali No. 394 of 1997 concerning The Regulation of Regional Arts in Bali
Province. In the article is determined that the acceptance of remuneration for art organizations that will
implement the performing arts of the region for tourism in the region with a maximum of an hour long
show is Rp 10000.00 - Rp 20000.00 per person. In practice, these artists are often paid less than that
specified. This is because the provision of such remuneration is not in accordance with the times, the
event organizers are looking for maximum profit and artists weak position in determining
remuneration. Therefore required an optimal legal protection mechanisms in ensuring the welfare of
artist.
Key words: legal protection, remuneration, and performing artist.
Introduction
The tourism sector into an industry that is relied upon by the Balinese. Tourism can
contribute a significant contribution as well as a catalyst in developing the construction
(agent of development) and the distribution of incomes (re-distribution of income).

160

Badung district as a regional center of tourism in Bali get a very high income from tourism.
The Regent of Badung District, AA Gde Agung said, amounting to 76.19 percent of revenue
comes from tourism. Of the amount of revenue Badung 2011 of Rp 1.1 trillion or 76.19
percent obtained from the tourism sector of hotels and restaurant taxes. 161 Revenues from
the tourism sector is capital in the development.
Bali is known as a tourist destination because it has a unique culture. Tourists visiting
Bali always want to watch the performing arts. Arts on the Balinese are so loved by the

160

Oka A. Yoeti, 2006, Pariwisata Budaya: Masalah dan Solusinya, Pradnya Paramita,
Jakarta, p. 2.
161
Antara News, 2011, 76,19 Persen PAD Berasal Dari Pariwisata Serial Online Sunday,
August 7 2011 16:16 WIB, available from: URL: http://bali.antaranews.com/berita/13076/7619persen-pad-berasal-dari-pariwisata, Cited 21th February 2012.

127

people of Bali so as if seen to dominate the whole life of the Balinese people. On the basis
of such functions, art is the focus of Balinese culture. 162 Bali has a wide range of regional
arts. Art has become an important tool in the development of cultural tourism.
Since Bali opened one tourist destination in Indonesia in the late 1960s, the growing
number of Balinese arts developed into a tourist performing arts presented to the tourists.
Interesting to note that the growth of tourism in the area of performing arts in general have
the support of the Balinese itself. 163 Performing arts are performed in the hotels, restaurants,
or in the art stages. This show is in great demand by tourists.
This art shows provide a large share of national income through tourism. They are the
main actor in determining the progress of tourism in Bali. In addition, they also play a role
in preserving the local culture, but the legal protection of remuneration of artists in Bali is
not maximized. They paid no more than Rp 10.000,00 per hour per each person.
Remuneration is still cut support costs such as clothing and make-up. Organizers can also
play standard price if they know that the organization employs an artist who does not have
the license by Governor represented by Head of Culture Office. This condition leads to
lower economic standard of the artists whereas they are the principal actor in the
development of tourism in Bali. Therefore necessary legal protection for remuneration of
artists in Bali.
The Regulations of Remuneration of Artist in Bali
The tourism industry has developed rapidly. At the beginning of the 20th century,
tourism is an activity that is only done by a handful of relatively wealthy people. Today,
tourism is becoming an integral part of human life, especially social and economic life. 164
Tourism activities are seen as a human right that needs to be fought for. In the government's
tourism development (Government of the Republic of Indonesia and Bali Provincial
Government) has made a series of policies in developing the tourism activities.
The idea of tourism policy is based on the notion that tourism is an integral part of
national development is done in a systematic, planned, integrated, sustainable and
responsible manner while providing protection toward religious values, cultures living in the
community, sustainability, and environmental life quality, as well as national concern.
162

Dinas Pariwisata Provinsi Bali (Bali Government Tourism Office, Informasi Objek dan
Daya Tarik Wisata di Bali, Denpasar, p. 9.
163
Ni Made Ruastiti, 2005. Seni Pertunjukan Bali Dalam Kemasan Pariwisata. Bali Mangsi
Press, Denpasar, p. 1.
164
I Gde Pitana dan Putu G. Gayatri, 2005, Sosiologi Pariwisata, Andi, Yogyakarta, p. 40.

128

Tourism development is needed to encourage equal opportunities and benefits as well able
to face the challenges of changes in local, national, and global.
Tourism development is directed at the distribution of welfare, therefore the protection
toward the remuneration of artists need to be regulated in various laws. In Article 27
paragraph (2) of the Constitution of the Republic of Indonesia of 1945 stated that Every
citizen has the right to work and live in human dignity. Provision in the Constitution is a
mandate that must be spelled out at a lower regulatory.165
The level of the Act, the provisions regarding the protection of remuneration of these
artists set out in Article 3 of The Act No. 10 of 2009 concerning Tourism which states:
Tourism function of physical needs, spiritual, and intellectual recreation and every tourist
with travel and increase revenues for the welfare of the people.
Furthermore, in Article 4 of The Act No. 10 of 2009 concerning Tourism, tourism aims to:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

promote economic growth;


improve the welfare of the people;
eradicate poverty;
tackle unemployment;
preserve natural, environmental, and resources;
promote culture;
lift the image of the nation;
foster a sense of patriotism;
strengthen national identity and unity, and
foster friendship among nations.
The provisions of The Act No. 10 of 2009 concerning Tourism, set the goal of tourism

activity itself that is on one hand to developing countries that carry out the existence of a
tourism activity (advancing a culture, a sense of patriotism, and imagery of the state in
international relations) and the others also provide welfare and increase economic growth.
Bali tourism development focused on cultural tourism, so the artists become the
principal actors who have protected the country. In Article 8 of The Decision of the
Governor of Bali No. 394 of 1997 concerning The Regulation of Regional Arts in Bali

165

In accordance to Article 7 paragraph (1 Act of Republic of Indonesia No. 12 of 2011


concerning Formating Legislation mentioned that the type and hierarchy legislation consists of:
a. Constitution of the Republic of Indonesia of 1945;
b. People's Consultative Assembly Decree;
c. Act/ Goverment Regulation Substitue the Act;
d. Government Regulations;
e. President Regulation;
f. Regional Regulations of Provincial;
g. Regional Regulations of Regency / City.

129

Province is mentioned about the things that should be considered in implementing the legal
protection for the artists, that is where the performance artist who adapted to the type of
activities performed, dress room with adequate facilities, remunerations are adjusted to the
rules of the remunerations rate, provision of social security for sekaa / performing art
organizations such as insurances and health services and catering for the sekaa / performing
art organizations. In Article 12 The Decision of the Governor of Bali No. 394 of 1997
concerning The Regulation of Regional Arts in Bali Province is determined that:
(1) Acceptance of remunerations for sekaa / art organizations that will implement the
performing arts of the region for tourism area with a maximum 1-hour long show:
a.

For the types of dance off / legong with accompaniment of Gong Kebyar or Gong
Suling by the number of members of at least 35 (thirty five) minimum wage of Rp
700,000.00 plus the cost of transportation from home to the venue round-trip.
b. For the types of fragmen new creations by the number of members of at least 45
people receive a minimum wage of Rp. 900,000.00 plus the cost of transportation
from home to the venue round-trip.
c. For the type of Godogan Dance (Frog Dance) by the number of members of the
35 people receive a minimum wage of Rp 700,000.00 plus the cost of
transportation from home to the venue round-trip.
d. For the type of Janger Dance by the number of members of at least 30 people
receive a wage of Rp 600,000.00 plus the cost of transportation from home to the
venue round-trip.
e. For the type of Joged Bumbung by the number of members of at least 20 people
receive a minimum wage of Rp 400,000.00 plus the cost of transportation from
home to the venue round-trip.
f. For the type of Okokan/Grumbyungan by the number of members of the 60
people receiving minimum wage of Rp 600,000.00 plus the cost of transportation
from home to the venue round-trip.
g. For the type of Jegog by the number of members of at least 35 people receive a
wage of Rp 700,000.00 plus the cost of transportation from home to the venue
round-trip.
h. Tabuh iringan/ percussion accompaniment to receive a wage of Rp Rp
300.000,00 plus the cost of transportation from home to the venue round-trip.
i. For Penyambutan dance with any personnel receive a wage of Rp 20000.00 plus
the cost of transportation from home to the venue round-trip.
(2) Remunerations as stated in paragraph (1), can be reviewed, modified and adapted to
the situation that developed the condition.
(3) Changes in the remunerations as paragraph (2), established by Decision of the
Governor of Bali.
Guidance and supervision of the owner / manager / sekaa / organization as the
organizer of the region performing arts are conducted by the Regional Arts Technical Team
established by the Decision of the Governor of Bali.

130

The Implementation of Regulations on the Remuneration of Artist


The performing artist is a tourism worker who became a leading player in the
development of cultural tourism, so the legal protection of remuneration for performing artist
is a legal obligation for the government (mainly the Provincial Government of Bali). Legal
protection for equal pay in accordance with Pacific Ministers Conference on Tourism and
Environmental Maldivest in 1997 that states that the principles of sustainable tourism include
local welfare, job creation, natural resource conservation, maintenance and improvement of
life quality and balance of international and intergenerational in the distribution of welfare.
Hotel, restaurant, and other tourism businesses that employ these artists must comply
with the terms of remuneration as set out in Article 12 of The Decision of the Governor of
Bali No. 394 of 1997 concerning The Regulation of Regional Arts in Bali Province, but in
practice, there are many artists who paid less than that determined by the government. They
are paid less than Rp 10.000,00 per person in each staging. This can be analyzed through three
factors namely the legal substance factors, the legal structure, and legal culture.
Legal substance that is the whole rule of law, legal norms and principles of law, whether
written or otherwise, including court decisions. Legal structure, the overall legal institutions
that exist and their staff members, covering among others the institution of police with the
police, the institution of prosecutors with prosecutors, court judges, and others. Legal culture,
that the opinions, beliefs practices, ways of thinking, and how to act, either by law enforcers
as well as from citizens, law and other law-related phenomena. 166 Those factors are called the
elements of the legal system.
Judging from the legal substance factors, sub-standard remunerations are caused by
setting the nominal remuneration is no longer appropriate to the circumstances in the present.
Moreover, this rule has existed since 1997 and has not been updated. Remuneration violations
committed by the show organizers can not be penalized because the Decision of Governor is
not listed on sanctions. Sanctions are only included in the regional regulation so that the rules
on local arts should be regulated in Local Regulation not in Decision of Governor.
The legal structure in this context is the Local Government particularly the Department
of Tourism and Culture of Bali Province. The Government is responsible for four main things,
namely: planning area of tourism, development and the main facilities supporting tourism,

166

Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, p. 204.

expenditure tourism policy, and make and law enforcement (regulation).

131
167

Weak

implementation of the provisions of the remuneration due to the absence of the parties to
supervise the wage. Although the topic of the low remuneration of these artists are often
covered in the media, but the supervision and the imposition of sanctions toward the
organizers of the show did not exist.
Weak implementation of the provisions of remuneration for performing artists is also
due sekaa / organization does not have the performing license. Article 4 paragraph (1) The
decision of The Decision of the Governor of Bali No. 394 of 1997 concerning The Regulation
of Regional Arts in Bali Province says In carrying out activities in the performing arts of the
region, especially for tourism in the area of each Sekaa / art organization should have a
performing license by the show Governor represented by the Head of Culture Office.
From research conducted in Bali Provincial Cultural Office in mind that 166 sekaa / art
organizations registered in Bali Provincial Cultural Office recorded only 18 sekaa / art
organizations have license and which do not have as many as 148 licenses sekaa / art
organizations. Show the absence of consent is causing the organizers to suppress their wages.
The legal culture of the performing artists who are less fight for their rights as well be
the cause of the weakness of the implementation of the remuneration. Artists do not have
bargaining position in remunerations because he feels that they are more in need than the
organizers. The artist also did not try to fight for his remuneration. For them, not a problem if
they have low remuneration. The most important for them had come in hotel and enjoy the
hotel facilities, restaurant, or stage performances. For them it becomes a pride.
Development of tourism in Bali is inseparable from the role of the five pillars of tourism
development which consists of community, stakeholders in tourism, government, academia,
and the press. Balinese people as perpetrators of Balis culture. They have important role in
the development of tourism in Bali based on culture tourism.168 Legal protection of
remuneration requires that the role of community to determine the nominal in accordance to
the situation and conditions. The organizer of tourism have the role to obey the rules of the
remuneration of performing artists. The government in shaping the rules and regulations
overseeing the remuneration provisions. Academics as the experts who helped the government
167

Subadra, I Nengah, 2007, Peran Pemerintah dalam Pembangunan Pariwisata available


from: URL: http://subadra.wordpress.com/2007/08/26/89/, Cited 21th February 2012.
168

Regional Regulation of Bali Province No. 9 of 2009 concerning the Bali Province Medium
Term Regional Development Plan of 2008-2013.

132

to formulate the rules of remuneration and conduct scientific studies in the implementation of
the remuneration. The press that oversees the implementation of remunerations for performing
artist.
Appropriate remuneration for performing artists is an important part of sustainable
tourism development. Bali sustainable tourism development is development in dimension of
economic, social and cultural environment that has justice not only for the present generation
but also generations to come. In this construction, tourism is seen as a system that includes
various components of each system that includes various components that interact and
influence each other. Therefore we need a synergy with multi-sectoral and multidisciplinary
approach.169
Conclusion
Remuneration arrangements for the performing artists provided

in Article 27

paragraph (3) of the Constitution of the Republic of Indonesia of 1945, Articles 3 and 4 of
The Act No. 10 of 2009 concerning Tourism and specifically for performing artists in Bali
can be seen in the provisions of Article The Decision of the Governor of Bali No. 394 of
1997 concerning The Regulation of Regional Arts in Bali Province. In the article is
determined that the acceptance of remuneration for art organizations that will implement the
performing arts of the region for tourism in the region with a maximum of an hour long
show is Rp 10000.00 - Rp 20000.00 per person.
In practice, this performing artists are paid less than specified. This condition is
happened because of the legal substance of the provision of such remuneration is not in
accordance with the conditions, circumstances and the times and also the absence of
penalties for the infraction. Weak implementation of remuneration was also caused by
factors that do not have the legal structure of government that oversees the implementation
of the remunerations so that the organizers are looking for maximum profit and legal
cultural factors that the weak position of workers in the art of determining the remuneration.
To improve the welfare of these artists, we need a legal protection toward
remuneration for artists. Legal protection of remuneration requires that the bargaining
position of community to determine the nominal in accordance to the situation and
conditions. The organizers of tourism have the role to obey the rules corncerning the
remuneration. The government have authority in shaping the rules and regulations
169

IGN Parikesit Widiatedja,2011, Kebijakan Liberalisasi Pariwisata Konstruksi Konsep


Ragam Masalah dan Alternatif, Udayana University Press, Denpasar, p. 33.

133

overseeing the remuneration provisions. Academics as the experts can help the government
to formulate the rules of remuneration and conduct scientific researches in the
implementation of the remuneration. The press oversees the implementation of
remunerations for performing artist.
REFERENCES
BOOKS
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana
Prenada Media Group, Jakarta.
Dinas Pariwisata Provinsi Bali (Bali Government Tourism Office, Informasi Objek dan
Daya Tarik Wisata di Bali, Denpasar.
Oka A. Yoeti, 2006, Pariwisata Budaya: Masalah dan Solusinya, Pradnya Paramita,
Jakarta.
Parikesit Widiatedja,2011, Kebijakan Liberalisasi Pariwisata Konstruksi Konsep Ragam
Masalah dan Alternatif, Udayana University Press, Denpasar.
Pitana, I Gde dan Putu G. Gayatri, 2005, Sosiologi Pariwisata, Andi, Yogyakarta.
Ruastiti, Ni Made, 2005, Seni Pertunjukan Bali Dalam Kemasan Pariwisata, Bali Mangsi
Press, Denpasar.
ARTICLES
Antara News 2011, 76,19 Persen PAD Berasal Dari Pariwisata Serial Online Sunday,
August
7
2011
16:16
WIB,
available
from:
URL:
http://bali.antaranews.com/berita/13076/7619-persen-pad-berasal-dari-pariwisata,
Cited 21th February 2012.
Subadra, I Nengah, 2007, Peran Pemerintah dalam Pembangunan Pariwisata available
from: URL: http://subadra.wordpress.com/2007/08/26/89/, Cited 21th February 2012.
LAW MATERIALS
Constitution of the Republic of Indonesia of 1945.
Act of Republic of Indonesia No. 10 of 2009 concerning Tourism.
Act of Republic of Indonesia No. 12 of 2011 concerning Formating Legislation.
Regional Regulation of the Bali Province No. 3 of 1991 concerning Cultural Tourism.
Regional Regulation of Bali Province No. 9 of 2009 concerning the Bali Province Medium
Term Regional Development Plan of 2008-2013.
Decision of the Governor of Bali No. 394 of 1997 concerning The Regulation of Regional
Arts in Bali Province.

134

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I.A. Indah Sukma Angandari, S.H., M.H.


Terlahir di Denpasar pada tanggal 20 Juli 1987. Menamatkan pendidikan S1 di Fakultas
Hukum Universitas Udayana konsentrasi Peradilan dan S2 di Program Pascasarjana Ilmu
Hukum Universitas Udayana konsentrasi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Semasa
kuliah aktif dalam kegiatan organisasi. Pernah menjabat sebagai Ketua Panitia Latihan
Ketrampilan Manajemen Mahasiswa dan sebagai Bendahara 1 Eksada Fakultas Hukum
Universitas Udayana. Saat ini bekerja di Imogena Consultants & Development. Penulis
dapat dihubungi melalui dayuindahsukma@yahoo.co.id
I Wayan Suardana, S.H., M.H.
Dilahirkan di Blungbang pada 22 Oktober 1973. Saat ini bekerja sebagai PNS di lingkungan
Dinas Kehutanan Provinsi Bali. Sejak 2009 hingga kini menjabat sebagai staf bidang
Perlindungan dan Konservasi Alam dan diperbantukan di bidang Fungsional Polisi Hutan
pada Sub Bidang Kepegawaian Dinas Kehutanan Provinsi Bali. Terakhir penulis dipercaya
sebagai sekretaris Tim Kajian Dinas Kehutanan Provinsi Bali dalam menangani sejumlah
kasus kehutanan di Bali. Penulis juga aktif dalam berbagai penulisan ilmiah, konsultasi
masalah hukum kehutanan dan bertindak sebagai narasumber. Penulis yang beralamat di
Banjar Batur Sari, Bitra, Gianyar dapat dihubungi melalui 0816582265.
I Wayan Gde Wiryawan, S.H., M.H.
Dilahirkan di Gianyar, 13 Mei 1976. Menyelesaikan Pendidikan S1 di Fakultas Hukum
Universitas Atma jaya Yogyakarta, S2 di Program Magister Ilmu Hukum Universitas
Udayana dan saat ini sedang menyelesaikan pendidikan Doktoral (S3) di Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya Malang dengan konsentrasi di Bidang Hukum Ketenagakerjaan. Saat
ini bekerja sebagai Dosen di Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar. Selain
sebagai dosen penulis juga sebagai narasumber dalam berbagai seminar baik skala regional,
nasional dan internasional. Tulisannya telah dimuat dalam media cetak, jurnal ilmiah. Pada
saat ini penulis juga duduk dalam keanggotaan Angota majelis Pengawas Daerah Notaris,
Dewan Pengupahan Provinsi Bali, dan sebagai Pembina dan penasehat dari Serikat Pekerja
Mandiri Regional Bali dan Serikat Pekerja di Bali Hyatt, Grand Hyatt Bali, Nusa Dua
Beach Hotel, The Royal Beach Seminyak, Mercure Sanur Bali, dll. Penulis dapat dihubungi
melalui email: gdewiryawan@yahoo.co.id
Vieta Imelda Cornelis, S.H., M.Hum
Terlahir di Manado, 11 Januari 1974. Menyelesaikan pendidikan Strata 1 (S-1) Untag
Surabaya 1997, Strata-2 (S-2) Untag Surabaya 2000 dan saat ini sedang melanjutkan studi
Strata-3 (S-3) di Universitas Brawijaya. Penulis aktif dalam pelbagai organisasi diantaranya
Sekwil Surabaya, asosiasi Pengajar HTN HAN Jawa Timur, anggota APHAMKA, Wakil
Ketua Ikatan Pendidik Pengajar di Surabaya dan Anggota Kelompok Perempuan Surabaya.
Saat ini bekerja sebagai Dosen dpk Universitas Kartini. Penulis dapat dihubungi melalui
alamat surat Griya Kartika C-21-A, Sedati Cemandi Juanda, Sidoarjo, E-mail
Imeldaparera@ymail.com atau 081357949945

135

I Nyoman Ngurah Suwarnatha, S.H., LL.M.


Dilahirkan di Denpasar pada tahun 1980. Memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas
Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta tahun 2002 dengan predikat cum laude. Master
of Laws dari Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tahun 2009 dengan
predikat cum laude. Penulis adalah Dosen Kopertis Wilayah VIII dpk Pada Fakultas Hukum
Universitas Pendidikan Nasional Denpasar. Sebagai Ketua Pusat Kajian Konstitusi
Universitas Pendidikan Nasional Denpasar dari tahun 2010 sampai dengan sekarang,
sebagai Pimpinan Redaksi Jurnal Konstitusi pada Pusat Kajian Konstitusi Universitas
Pendidikan Nasional Denpasar dari Tahun 2011 sampai dengan sekarang serta sebagai
Pimpinan Redaksi pada Jurnal Hukum Universitas Pendidikan Nasional Denpasar dari
Tahun 2011 sampai dengan sekarang. Penulis aktif menulis di berbagai Jurnal ilmiah dan
sebagai narasumber dalam beberapa kegiatan seminar dan sebagai narasumber dalam
beberapa acara suara konstitusi dan obrolan konstitusi.
Ika Amilatun Nazah
Dilahirkan di Brebes, 15 Januari 1990. Saat ini sedang menyelesaikan pendidikan di
Fakultas Hukum UII Yogyakarta angkatan 2008/2009
.
Aktif
dalam
kegiatan
organisasi diantaranya sebagai Staff Syiar Takmir MasjidAl-Azhar FH UII 2010-2011, Staff
Medkominfo LEM FH UII 2010-2011 dan Koor Public Relation FKPH FH UII 2011sekarang. Dapat dihubungi melalui 085266883199, Email : iccasajalah@yahoo.com atau
Blog : ikajamzuri.blogspot.com
Jimmy Z. Usfunan, S.H., M.H.
Dilahirkan di Denpasar, 12 Oktober 1985. Tamat Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali
(2007) dan tamat pada Program Magister Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Udayana
(2009). Staf Pengajar pada Fakultas Hukum dan Program Magister Ilmu Hukum
Pemerintahan Universitas Mahendradatta, Tahun 2009 s/d sekarang, Staf Pengajar di
Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar dan Staf Pengajar pada IKIP
Saraswati Tabanan, Tahun 2008-2011. Penulis juga pernah menjabat sebagai Sekretaris di
Lembaga Pengkajian Hukum dan HAM Sinar Z BUS MARIKUN Denpasar, Bali Tahun
2003 s/d sekarang dan Wartawan Surat Kabar Mingguan Wawasan Indonesia (HukumHAM-Politik), Denpasar-Bali Tahun 2004 s/d 2009. Penulis juga sering menulis opini pada
harian umum Balipost, Wawasan Indonesia dan lain-lain. Dapat dihubungi melalui (0361)
481137 / 081805524895 dan Email jimmyusfunan@yahoo.com
Sagung Putri M.E. Purwani, S.H., M.H.
Dilahirkan di Denpasar, 13 Maret 1971. Menyelesaikan pendidikan Strata S1 di Universitas
Udayana, Tahun 1995 dan Strata S2 Universitas Udayana, Tahun 2010. Saat ini bekerja
sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Udayana. Dapat dihubungi melalui Alamat
Kantor Jln. Pulau Bali No.1 Denpasar atau alamat Rumah Jln. Pulau Kae No.12 Denpasar,
E-Mail sg_putri@yahoo.co.id dan Tlp/HP (0361) 8747223 dan 08155744872.
Ida Bagus Ketut Weda, S.H., M.H.
Dilahirkan 4 November 1975, di Amlapura, Bali. Menyelesaikan pendidikan formal di
Universitas Udayana pada Fakultas Hukum tahun 1999, dan memulai karir pertamanya pada
tahun 2000 sebagai staf pengajar di STIE Sailendra Jakarta mengajar pada bidang studi
arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Pada tahun 2004 sampai 2006 melanjutkan
pendidikan program pasca sarjana di STIH IBLAM Jakarta. Pada tahun 2008 menjadi staf
pengajar di fakultas hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar, Bali. Mengajar mata

136

kuliah hukum internasional, hukum laut internasional, hukum diplomatik dan perjanjian
internasional dan saat ini sebagai pembimbing GMCC (Ganesha Mort Court Competion),
yang dapat mengikuti lomba peradilan semu di Universitas Soedirman, Purwokerto, Jawa
tengah pada tahun 2011.
Tomy M Saragih, S.H., M.H.
Lahir di Surabaya,12 Januari 1987. Menyelesaikan Strata 1 di Fakultas Hukum Universitas
17 Agustus 1945 Surabaya (2004-2008) dan Strata 2 di Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya Malang (2009-2011). Saat ini bekerja sebagai editor buku di Penerbit Titah Surga
Yogyakarta. Penulis memiliki karya buku diantaranya Nikmatnya Bus Ekonomi-2009,
Optik Hukum Peraturan Daerah Bermasalah-2010, Pemahaman Teori Dalam Ilmu Hukum2010, Pengantar Hukum Persaingan Usaha-2011, 101 Lirik Lagu Yang Menghebohkan
Dunia-2011, Status Komisi Pengawas Persaingan Usaha Dalam Hukum Tata Negara-2011
dan Kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha di Indonesia-2011. Dapat dihubungi
melalui No. Telepon 081333330187/0819671079 atau dengan surat elektronik
melalui
a_los_tesalonicenses@yahoo.com
Tjok Istri Sri Harwathy, S.H., M.M.
Dilahirkan di Bima, 11 September 1957. Menamatkan pendidikan S1 di Fakultas Hukum
Universitas Udayana pada tahun 1984 dan pendidikan S2 Magister Manajemen tahun 2002
di IMNI Jakarta. Saat ini menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas
Mahasaraswati Denpasar. Aktif dalam bidang penelitian dan pengabdian masyarakat. Dapat
dihubungi melalui 08123806751.
Made Emy Andayani Citra, S.H., M.H.
Dilahirkan di Singaraja, 28 Agustus 1964. Menamatkan pendidikan S1 di Fakultas Hukum
Universitas Mahasaraswati Denpasar dan S2 pada Program Magister Hukum Universitas
Udayana konsentrasi Hukum Bisnis. Saat ini bekerja sebagai dosen pada Fakultas Hukum
Universitas Mahasaraswati Denpasar dan menjabat sebagai Wakil Dekan II. Aktif pada
bidang penelitian dan pengabdian masyarakat. Pernah mendapatkan penghargaan sebagai
dosen berprestasi baik di lingkungan civitas akademika maupun di tingkat Kopertis Wilayah
VIII. Dapat dihubungi melalui 08123829184.
Ni Luh Gede Yogi Arthani, S.H., M.H.
Dilahirkan di Denpasar, 22 Desember 1980. Menamatkan pendidikan S1 di Fakultas Hukum
Universitas Udayana dan S2 pada Program Magister Hukum Universitas Udayana. Saat ini
bekerja sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar. Aktif dalam
bidang pengabdian masyarakat. Dapat dihubungi melalui 087862712727 atau
yogi_arthani@yahoo.com.
Dewi Bunga, S.H., M.H.
Dilahirkan di Denpasar, 8 Februari 1987. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum
Universitas Udayana dan S2 di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana dengan
predikat cumlaude. Saat ini bekerja sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas
Mahasaraswati Denpasar. Aktif pula sebagai narasumber hukum di pelbagai acara TV dan
Radio. Berbagai tulisannya telah dimuat dalam media cetak, jurnal ilmiah serta
diseminarkan baik dalam skala regional, nasional dan internasional. Dapat dihubungi
melalui bunga8287@yahoo.com atau 081916151963.

137

KETENTUAN UMUM PENULISAN JURNAL ADVOKASI HUKUM

Jurnal Advokasi Hukum merupakan jurnal yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas
Mahasaraswati Denpasar. Sebagaimana tulisan ilmiah, maka terdapat ketentuan-ketentuan terkait
dengan penulisan pada jurnal ini. Adapun ketentuan-ketentuan yang dimaksud adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

7.

8.

Tulisan yang diterima adalah menyangkut masalah advokasi baik dalam kajian pidana, perdata,
tata negara dan tata usaha negara.
Tulisan belum pernah dimuat atau tidak sedang diajukan pada jurnal atau penerbit lain.
Judul ditulis dengan huruf kapital dan maksimal terdiri atas 12 kata.
Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris maksimal 200 kata dan memuat kata kunci 3-5 kata.
Naskah diketik di atas kertas HVS A4, 2 spasi, margin atas dan kiri 4 cm dan margin kanan dan
bawah 3 cm dengan jumlah halaman antara 14-20 halaman.
Pada bagian akhir tulisan disertai dengan daftar riwayat hidup singkat yang sekurang-kurangnya
melampirkan nama, tempat dan tanggal lahir, riwayat pendidikan, afiliasi serta alamat kontak
yang dapat dihubungi (alamat/ email/ HP/ blog).
Penulisan catatan kaki adalah sebagai berikut:
Buku:
nama pengarang, tahun terbit, judul buku (cetak miring), penerbit, kota, halaman.
contoh: Abdul Ghofur Anshori, 2009, Filfasat Hukum, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, hal. 25.
Makalah:
Nama pengarang, judul makalah (dalam tanda kutip), tema seminar/ lokakarya, penyelenggara,
tempat, waktu, halaman.
Contoh:
Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana di Dalam kejahatan yang Dilakukan oleh Korporasi,
Makalah pada seminar nasional kejahatan korporasi, FH UNDIP, Semarang, 23-24 November
1989, hal. 2.
Internet:
Nama pengarang, edisi, judul (dalam tanda kutip), alamat web, tanggal akses.
Agus Raharjo, 2006, Kebijakan Kriminalisasi dan Penanganan Cybercrime di Indonesia,
http://www.unsoed.ac.id/newcmsfak/UserFiles/File/HUKUM/kriminalisasi_cybercrime.htm,
diakses pada 9 Juni 2011.
Jurnal:
Nama penulis, judul (dicetak miring), nama jurnal, penerbit, edisi, halaman.
Tjok Istri Sri Harwathy, Pengaruh Kebudayaan Terhadap Penegakan Hukum di Masyarakat,
Maha Yustika, Fakultas Hukum Mahasaraswati Denpasar, Vol. 7 No. 7 September 2010, hal. 5.
Penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut:
Buku:
nama pengarang, tahun terbit, judul buku (cetak miring), penerbit, kota.
contoh: Abdul Ghofur Anshori, 2009, Filfasat Hukum, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

138

Makalah:
Nama pengarang, judul makalah (dalam tanda kutip), tema seminar/ lokakarya, penyelenggara,
tempat, waktu.
Contoh:
Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana di Dalam kejahatan yang Dilakukan oleh Korporasi,
Makalah pada seminar nasional kejahatan korporasi, FH UNDIP, Semarang, 23-24 November
1989.
Internet:
Nama pengarang, edisi, judul (dalam tanda kutip), alamat web, tanggal akses.
Agus Raharjo, 2006, Kebijakan Kriminalisasi dan Penanganan Cybercrime di Indonesia,
http://www.unsoed.ac.id/newcmsfak/UserFiles/File/HUKUM/kriminalisasi_cybercrime.htm,
diakses pada 9 Juni 2011.
Jurnal:
Nama penulis, judul (dicetak miring), nama jurnal, penerbit, edisi.
Tjok Istri Sri Harwathy, Pengaruh Kebudayaan Terhadap Penegakan Hukum di Masyarakat,
Maha Yustika, Fakultas Hukum Mahasaraswati Denpasar, Vol. 7 No. 7 September 2010.
Sumber Hukum:
Nama sumber hukum, lembaran negara dan lembaran tambahan negara.
contoh:
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843.
9.

Pengiriman naskah dilakukan dengan menyertakan hard copy dan soft copy yang dikirim ke
alamat redaksi Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jalan Kamboja,
Denpasar, contact person: Bunga (081916151963/ bunga8287@yahoo.com).
10. Naskah yang diterima oleh redaksi akan di review dan apabila diterbitkan maka redaksi akan
menghubungi penulis.
11. Redaksi berhak atas naskah yang dikirimkan oleh penulis.

Salam Redaksi

Anda mungkin juga menyukai