DAFTAR ISI
PENGANTAR REDAKSI
Abstract:
Wholeness and harmony of the household may be disrupted if the quality and self-control can not be
controlled, which can ultimately lead to the occurrence of domestic violence. Domestic Violence is any
action against someone, especially his wife, which resulted in misery or suffering physical, sexual,
psychological. To prevent, protect the wife as a victim, and prosecution of domestic violence on
September 22, 2004, was approved the introduction of Law Number 23 Year 2004 on the Elimination
of Domestic Violence (PKDRT), which consists of 10 Chapters and 56 Articles. The law is expected to
provide legal protection for members in the household, particularly women, the most victims of
domestic violence.
Key words: Protection, violence and wife
Pendahuluan
Selama ini rumah tangga dianggap sebagai tempat yang aman karena seluruh anggota
keluarga merasa damai dan terlindungi. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang
bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga.
Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang
dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap
orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat
terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya
dapat mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul
ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga
tersebut.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai salah satu jenis kekerasan yang
berbasis gender dari waktu ke waktu terus meningkat. Hal ini pertama dilatarbelakangi oleh
budaya patriarki yang terus langgeng, kesetaraan gender yang belum nampak serta nilai
budaya masyarakat yang selalu ingin hidup harmonis sehingga cenderung selalu
menyalahkan perempuan.
Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis
kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di
dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota
keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan
fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan).
didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial,
tingkat pendidikan, dan suku bangsa.
Menurut pendapat Romli Atmasasmita, kekerasan jika dikaitkan dengan kejahatan,
maka kekerasan sering merupakan pelengkap dari kejahatan itu sendiri. Bahkan, ia telah
membentuk ciri tersendiri dalam khasanah tentang studi kejahatan. Semakin menggejala dan
menyebar luas frekuensi kejahatan yang diikuti dengan kekerasan dalam masyarakat, maka
semakin tebal keyakinan masyarakat akan penting dan seriusnya kejahatan semacam ini1.
Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah
tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan
penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI
Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan
dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Pada tanggal 22 September 2004, telah disahkan berlakunya Undang-undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yang terdiri
atas 10 Bab dan 56 Pasal. Undang-undang tersebut diharapkan dapat memberikan
perlindungan hukum bagi anggota dalam rumah tangga, khususnya perempuan, yang paling
banyak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Negara dan masyarakat wajib
memberikan perlindungan agar setiap anggota dalam rumah tangga terhindar dari ancaman
kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia.
Segala bentuk kekerasan harus dicegah dan dihapuskan, karena merupakan pelanggaran hak
asasi manusia.
Perlindungan Hukum dalam Kasus KDRT
Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tidak berarti bahwa perjuangan perempuan sudah selesai,
karena sebetulnya perjuangan perempuan masih panjang. Masih perlu dicermati, diikuti dan
diawasi, sejauh mana komitmen pemerintah dalam menjalankan kewajibannya untuk
melaksanakan undang-undang tersebut. Perlu diperhatikan problema apa saja yang timbul
1
Atmasasmita, Romli. 2007, Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Rafika Aditama, Bandung,
hal.63
dan bagaimana penanganan yang tepat untuk mencegah dan membebaskan anggota rumah
tangga, khususnya perempuan dari tindak kekerasan yang terjadi.
Kasus KDRT yang terjadi sesungguhnya dapat disebut sebagai fenomena gunung es.
Secara kuantitas sedikit yang terdata oleh karena faktor-faktor :
1) Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena
merupakan masalah keluarga dan bukan masalah sosial.
2) Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri,
kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi
bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.
3) Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.
4) Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.
5) Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.
6) Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.
7) Masih rendahnya kesadaran untuk berani melapor dikarenakan dari masyarakat
sendiri yang enggan untuk melaporkan permasalahan dalam rumah tangganya,
maupun dari pihak- pihak yang terkait yang kurang mensosialisasikan tentang
kekerasan dalam rumah tangga.
8) Masalah budaya, Masyarakat yang patriarkis ditandai dengan pembagian kekuasaan
yang sangat jelas antara laki laki dan perempuan dimana laki laki mendominasi
perempuan. Dominasi laki laki berhubungan dengan evaluasi positif terhadap
asertivitas dan agtresivitas laki laki, yang menyulitkan untuk mendorong
dijatuhkannya tindakan hukum terhadap pelakunya. Selain itu juga pandangan
bahwa cara yang digunakan orang tua untuk memperlakukan anakanaknya , atau
cara suami memperlakukan istrinya, sepenuhnya urusan mereka sendiri dapat
mempengaruhi dampak timbulnya kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT).
9) Faktor Domestik Adanya anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui
oleh orang lain. Hal ini menyebabkan munculnya perasaan malu karena akan
dianggap oleh lingkungan tidak mampu mengurus rumah tangga. Jadi rasa malu
mengalahkan rasa sakit hati, masalah Domestik dalam keluarga bukan untuk
diketahui oleh orang lain sehingga hal ini dapat berdampak semakin menguatkan
dalam kasus KDRT.
Menurut hemat penulis faktor-faktor tersebutlah yang mengakibatkan kekerasan dalam
rumah tangga semakin marak terjadi.Kekerasan merupakan salah satu bentuk dari
kejahatan, yang tentunya akan sangat mengganggu dan meresahkan masyarakat,
sebagaimana yang telah dikatakan oleh Bonger bahwa "Kejahatan adalah perbuatan yang
sangat anti sosial, yang oleh Negara ditentang dengan sadar.2
Kekerasan dalam lingkup rumah tangga atau keluarga banyak dilakukan oleh seorang
suami, Adapun bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri antara
lain :
1.
Kekerasan Fisik
2
2.
3.
4.
Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan
lain-lain) yang mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga
menyebabkan kematian.
Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina,
berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri,
meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya.
Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin
tergantung pada suami meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain,
kekerasan psikis juga dapat memicu dendam dihati istri.
Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan memaksa istri
untuk melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan
tidak memenuhi kebutuhan seksual istri.
Kekerasan Ekonomi
Kekerasan ekonomi adalah suatu tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam
atau di luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri
yang bekerja untuk di-eksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan
ekonomi keluarga. Sebagian suami juga tidak memberikan gajinya pada istri karena
istrinya berpenghasilan, suami menyembunyikan gajinya,mengambil harta istri, tidak
memberi uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi uang belanja sama sekali,
menuntut istri memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak mengijinkan istri untuk
meningkatkan karirnya.
Penulis berpendapat bahwa Kurang tanggapnya lingkungan atau keluarga terdekat
untuk merespon apa yang terjadi, dapat menjadi tekanan tersendiri bagi korban. Karena bisa
saja korban beranggapan bahwa apa yang dialaminya bukanlah hal yang penting karena
tidak direspon lingkungan, hal ini akan melemahkan keyakinan dan keberanian korban
untuk keluar dari masalahnya. Selain itu, faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap istri
berhubungan dengan kekuasaan suami/istri dan diskriminasi gender di masyarakat. Dalam
masyarakat, suami memiliki otoritas, memiliki pengaruh terhadap istri dan anggota keluarga
yang lain, suami juga berperan sebagai pembuat keputusan.
Pembedaan peran dan posisi antara suami dan istri dalam masyarakat diturunkan secara
kultural pada setiap generasi. Hal ini mengakibatkan suami ditempatkan sebagai orang yang
memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada istri. Kekuasaan suami terhadap istri juga
dipengaruhi oleh penguasaan suami dalam sistem ekonomi, hal ini mengakibatkan
masyarakat memandang pekerjaan suami lebih bernilai.
Kenyataan juga menunjukkan bahwa kekerasan juga menimpa pada istri yang bekerja,
karena keterlibatan istri dalam ekonomi tidak didukung oleh perubahan sistem dan kondisi
sosial budaya, sehingga peran istri dalam kegiatan ekonomi masih dianggap sebagai
kegiatan sampingan.3
Bergulirnya reformasi yang diikuti dengan demokratisasi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia berdampak pada upaya penegakan hukum dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia. Bangsa Indonesia sebagai negara demokrasi
menunjukkan salah satu ciri negara demokrasi adalah proteksi konstitusional atau kekuasaan
negara dilaksanakan berdasarkan konstitusi (rechstaats) bukan atas kekuasaan belaka.
Konstitusi kita mengatur pula tentang perlindungan hak asasi manusia.4
Pada asasnya, Hak Asasi Manusia menurut Bab I Pasal I angka 1 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia disebutkan merupakan seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu maka pada dasarnya menurut Paul Sieghart.5
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga memberikan perlindungan secara khusus bagi korban kekerasan yang terjadi
dalam lingkup rumah tangga, dan dilaksanakan berdasarkan asas penghormatan hak asasi
manusia, keadilan dan kesetaraan gender, non diskriminasi dan perlindungan korban, serta
mempunyai tujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga,
melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga serta memelihara
keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Konsepsi kekerasan sebagai kejahatan dalam konteks kehidupan berumah tangga,
sebagaimana yang dikonsepsikan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga selanjutnya disebut UU PKDRT, adalah
sebagai berikut:
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
Baquandi,
2009,
Kekerasan
Dalam
Rumah
Tangga,
http://psikologi.or.id/mycontents/uploads/2010/10/kdrt.pdf diakses pada 18 Januari 2012
4
Romli Atmasasmita, Latar Belakang Penyusunan RUU tentang Pengadilan HAM di
Indonesia, Makalah disampaikan pada 18 Oktober 2000, Yogyakarta.
5
Paul Sieghart, 1986, The Lawful Rights Of Mankind, An Introduction To The International
Legal Code Of Human Rights, Oxford University Press, Inggris, hal.107
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah disahkan bukan berarti bahwa
perjuangan perempuan sudah selesai, karena sebetulnya perjuangan perempuan masih
panjang dan harus diketahui apakah UU No. 23 Tahun 2004 digunakan secara cermat,
selektif dan limitative. Hal ini sependapat
2.
3.
4.
Agar hukum itu berfungsi maka hukum harus memenuhi syarat berlakunya hukum
sebagai kaidah yakni:
a)
Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah
yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.
Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya,
kaidah itu dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh
warga masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya
pengakuan dari masyarakat.
Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai
positif yang tertinggi.7
b)
c)
Penulis berpandangan kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu persoalan sosial
yang menuntut penyelesaian, maka upaya untuk penanggulangan kejahatan telah dimulai terusmenerus. Salah satu usaha pencegahan dan pengendalian kejahatan itu ialah menggunakan
hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana. Hal ini sesuai dengan apa yang telah
diungkapkan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, bahwa ada tiga alasan mengenai perlunya
pidana dan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan yang pada intinya sebagai berikut :
a. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang
hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan
itu boleh menggunakan paksaan, persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan
dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batasbatas kebebasan pribadi masing-masing.
b. Ada usaha-usaha perbaikan perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi
si terhukum dan disamping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaranpelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu
saja.
c. Pengaruh pidana atas hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat,
tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang
mentaati norma-norma masyarakat.8
Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri dari
tiga tahap kebijakan yaitu :
a. Tahap kebijakan legislatif (formulatif) yaitu menetapkan atau merumuskan
perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh
badan pembuat undang-undang.
b. Tahap kebijakan yudikatif/ aplikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh aparat
penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif yaitu melaksanakan hukum pidana
secara konkrit, oleh aparat pelaksana pidana.9
7
H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 94.
8
Komponen substansi hukum, yang terdiri dari hasil aktual yang diberikan oleh sistem
hukum, misalnya norma-norma peraturan dan sebagainya.
Komponen struktur hukum, yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistim hukum
dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya hukum.
Komponen kultur atau budaya hukum, yaitu nilai-nilai yang merupakan kaidah yang
mengikat sistim serta menentukan sistim hukum itu di tengah kultur bangsa secara
keseluruhan.10
Bagi masyarakat Indonesia, lemah kuatnya penegakan hukum oleh aparat akan
menentukan persepsi ada tidaknya hukum. Bila penegakan hukum lemah, masyarakat akan
mempersepsikan hukum tidak ada dan seolah-olah mereka berada dalam hutan rimba,
sebaliknya, bila penegakan hukum kuat dan dilakukan secara konsisten, barulah masyarakat
mempersepsikan hukum ada dan akan tunduk. Oleh karenanya penegak hukum yang tegas dan
berwibawa dalam kehidupan hukum masyarakat sangat diperlukan. Patuh hukum bukanlah
tataran tertinggi, melainkan adalah setiap individu dalam masyarakat yang bersikap di bawah
alam sadar sesuai dengan tujuan. Kultur hukum di sini berkaitan dengan sikap sosial dan nilainilai sosial yang telah terpatri yang dipergunakan sebagai acuan normatif dalam perilaku.
Penulis berpandangan bahwa istri sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga berhak
mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial atau pihak lain baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan. Selain itu istri sebagai korban juga berhak memperoleh pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, penanganan secara khusus berkaitan dengan
kerahasiaan korban, pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum, pada setiap tingkat
proses pemeriksaan karena hal-hal tersebut telah diatur didalam ketentuan pasal-pasal yang telah
termuat didalam UU. No. 23 Tahun 2004 tentang pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.
Korban kekerasan dalam rumah tangga juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi
pemulihan dari tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/ atau pembimbing
rohani (Ketentuan Pasal 39 UU. No.23 Tahun 2004).
kewajiban dan tanggungjawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga
(Ketentuan Pasal 12 UU No. 23 Tahun 2004). Sedangkan masyarakat berkewajiban melakukan
10
Kepolisian
Diatur dalam ketentuan Pasal l6 UU No. 23 Tahun 2004. Pada waktu kepolisian
menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, harus segera dijelaskan kepada
korban bahwa mereka mendapatkan pelayanan dan pendampingan. Kepolisian
memperkenalkan identitas mereka dan segera wajib melakukan penyelidikan serta wajib
melindungi korban. Selanjutnya kepolisian akan meminta surat penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan. Kepolisian dapat melakukan penangkapan dan penahanan
terhadap pelaku.
- Advokat
Diatur dalam ketentuan Pasal 25 UU. No. 23 Tahun 2004. Di dalam memberikan
perlindungan dan pelayanan, advokat wajib memberikan konsultasi hukum mengenai
hak-hak korban dan proses peradilan. Mendampingi korban pada penyidikan dan
pemeriksaan di dalam sidang, serta melakukan koordinasi dengan sesama penegak
hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan
sebagaimana mestinya.
- Pengadilan
Diatur dalam ketentuan Pasal 28 sampai dengan 34, 37 dan 38 UU. No. 23 Tahun 2004.
Pengadilan harus mengeluarkan surat penetapan perintah perlindungan bagi korban dan
anggota keluarga lain yang diajukan oleh kepolisian.
Penutup
Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri antara lain kekerasan
fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi. Kekerasan fisik adalah suatu
tindakan kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan lain-lain) yang mengakibatkan luka, rasa
sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga menyebabkan kematian. Kekerasan psikis adalah suatu
tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina, berkata kasar dan kotor) yang
mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan
10
untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat
mengakibatkan istri semakin tergantung pada suami meskipun suaminya telah membuatnya
menderita. Di sisi lain, kekerasan psikis juga dapat memicu dendam dihati istri. Kekerasan seksual
adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan memaksa istri untuk melakukan hubungan
seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan tidak memenuhi kebutuhan seksual istri.
Kekerasan ekonomi adalah suatu tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam atau di
luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri yang bekerja untuk
di-eksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sebagian suami
juga tidak memberikan gajinya pada istri karena istrinya berpenghasilan, suami menyembunyikan
gajinya,mengambil harta istri, tidak memberi uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi
uang belanja sama sekali, menuntut istri memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak
mengijinkan istri untuk meningkatkan karirnya.
Perlindungan terhadap istri sebagai Korban kekerasan dalam rumah tangga berhak
mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial atau pihak lain baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan dimana sudah diatur didalam UU. No. 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Adapun saran yang dapat penulis sampaikan
untuk mencegah agar istri tidak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga antara lain
peningkatan pendidikan bagi perempuan sehingga mereka menyadari hak-hak dan kewajibannya
sebagai warga negara dan warga masyarakat. Serta peningkatan kesempatan kerja dan lapangan
kerja bagi perempuan, sehingga secara ekonomi tidak tergantung sepenuhnya kepada suami/lakilaki. Sosialisasi peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan kepada istri
khususnya sosialisasi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga lengkap dengan peran dan fungsi Ruang Pelayanan Khusus (RPK).
Memberikan advokasi dan pendampingan bagi korban serta Memberikan advokasi kebijakan
pemerintah di dalam menyusun peraturan-peraturan yang melindungi istri.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembanqan
Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.
____________________, 2001, Masalah
Penegakan
Hukum
Penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya Baakti, Bandung.
dan
Kebijakan
11
INTERNET
Baquandi,
2009,
Kekerasan
Dalam
Rumah
Tangga,
http://psikologi.or.id/mycontents/uploads/2010/10/kdrt.pdf diakses pada 18 Januari
2012
12
Felicity
Williams,
2004,
Asia
Pulse
Analyst,
http://www.addthis.com/landing/?to=ffext&utm_source=el&utm_medium=link&utm_content=ATT
ool_orig&utm_campaign=AT_tooldl, diakses pada 3 Januari 2012.
13
322 dari 460 perusahaan yang beroperasi di bidang ini mengalami kegagalan diakibatkan
penebangan liar. Sebanyak 80% dari 70 juta meter kubik kayu setiap tahunnya diperjualbelikan
secara ilegal. Jumlah kayu selundupan dari Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, Sulawesi Utara, Riau, Aceh, Sumatera Utara dan Jambi yang diselundupkan ke luar
negeri seperti Malaysia, Cina, Vietnam dan India kira-kira mencapai 10 juta meter kubik tiap
tahunnya dan dari Papua sendiri bisa mencapai 600 ribu meter kubik.12
Di tahun 2001, Indonesia mengkonsumsi 19 juta kubik kayu dalam bentuk kertas, kayu
gelondong, kayu lapis dan produk lain. Di tahun yang sama, Indonesia mengekspor sejumlah
40,7 juta meter kubik dalam bentuk-bentuk tersebut. Tetapi laporan resmi mengenai penebangan
kayu pada tahun 2001 hanya sebanyak 10 juta kubik. Dengan kata lain, total jumlah penebangan
kayu yang sebanyak 59,7 juta meter kubik termasuk di dalamnya sekitar 50 juta meter kubik
kayu yang dihasilkan dari penebangan liar.
Penjagaan terhadap kelestarian hutan menjadi tanggung jawab semua pihak baik terhadap
pemanfaatan sumber daya hutan yang ramah lingkungan hingga dalam memproteksi hasil-hasil
hutan. Untuk itu badan-badan internasional yang memiliki kepedulian terhadap sumber daya
hutan ini memperkenalkan kebijakan ekolabel atau biasa pula disebut dengan ekolabeling.
Ekolabel berasal dari kata eco yang berarti lingkungan hidup dan label yang berarti suatu tanda
pada produk yang membedakannya dari produk lain. Ekolabel membantu konsumen untuk
memilih produk yang ramah lingkungan sekaligus berfungsi sebagai alat bagi produsen untuk
menginformasikan konsumen bahwa produk yang diproduksinya ramah lingkungan.
Dengan adanya penandaan melalui ekolabel ini, maka akan diketahui karakteristik
serta jumlah dari sumber daya yang ada di hutan. Ekolabel di Indonesia pada mulanya
diterapkan pada hutan-hutan di daerah Jawa yang rawan akan pencurian kayu atau
penebangan secara ilegal. Dengan inventarisasi semacam ini maka akan mudah bagi negara
dan pihak swasta pengelola hutan untuk mengetahui persediaan kayu-kayu yang diekolabel.
Deskripsi Singkat Illegal Logging di Indonesia
Hutan merupakan karunia Tuhan yang mengandung banyak nilai dan fungsi strategis
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sumber daya hayati ini memiliki begitu banyak
kekayaan di dalamnya yang dapat dipergunakan manusia untuk mempertahankan hidupnya.
Namun dewasa ini penebangan liar semakin banyak terjadi. Penebangan liar atau yang
12
Ibid.
14
kemudian sering diistilahkan dengan illegal logging bukan hanya dilakukan oleh masyarakat
di sekitar hutan namun juga dilakukan oleh kelompok-kelompok yang terorganisir.
Istilah illegal logging sampai saat ini belum pernah ditemukakan dalam peraturan
perundang-undangan manapun. Definisi illegal logging itu sendiri belum menemukan bentuk
bakunya. Perbedaan dalam menentukan definisi ini seringkali terjadi, baik antara tataran lokal,
tataran international dan masyarakat. Dalam The Comtemporary English Indonesian Dictionary
sebagaimana yang diikuti Salim, illegal artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan
hukum, haram. Dalam Blacks Dictionary, illegal artinya forbidden by law; unlawsfuls artinya
yang dilarang menurut hukum atau tidak sah. Log dalam bahasa Inggris artinya batang kayu
atau kayu gelondongan dan logging artinya menebang kayu dan membawa ke tempat
gergajian.13
Dari aspek implikasi semantik illegal logging sering diartikan sebagai praktik
penebangan liar. Adapun aspek integratif, illegal logging diartikan sebagai praktik pemanenan
kayu beserta prosesnya secara tidak sah atau tidak mengikuti prosedur dan tata cara yang telah
ditetapkan. Proses tersebut mulai dari kegiatan perencanaan, perjanjian, permodalan, aktifitas
memanen, hingga pasca pemanenan yang meliputi pengangkutan, tata niaga, pengolahan,
hingga penyelundupan.14
Illegal logging bukanlah sebuah masalah baru. Usianya hampir sama dengan sejarah
penebangan komersial itu sendiri. Di Indonesia, sejak zaman penjajahan Belanda, pencurian
kayu kecil-kecilan sering dilakukan di tanah-tanah yang diberikan izin konsesi penebangan oleh
Belanda. Bahwa illegal logging menjadi perhatian yang sedemikian besar pada saat ini tidak
lain karena skala dan intensitasnya yang memang sangat luar biasa. Illegal logging atau
penebangan yang tidak sah muncul sebagai akibat dari peningkatan kapasitas industri kayu yang
yang tidak diimbangi dengan analisa terhadap daya dukung lingkungan, penghormatan terhadap
hak-hak tenurial, persiapan hutan tanaman industri yang akan mensuplai bahan baku dan
kecenderungan untuk melihat hutan sebagai potensi ekonomi berdasarkan tegakan pohon yang
ada didalamnya. Hutan itu sendiri dipandang dengan sudut pandang yang berbeda baik oleh
masyarakat, perusahaan, pemerintah daerah dan pemerintah pusat.15
13
Salim, 2005, Illegal Logging Dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua)
cetakan pertama, Universitas Atma jaya, Yogyakarta, hal. 72.
14
Rahmi Hidayati D. dkk., 2006, Pemberantasan Illegal Logging dan Penyelundupan Kayu
Melalui Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutanan, Wanaaksara, Tangerang,
hal. 128.
15
Rully Syumanda, ____, Deforestasi dan Illegal Logging, http://rullysyumanda.org/naturalresources/forest/moratorium-logging-a-forest-conversion/54-deforestasi-dan-illegal-logging.html,
diakses pada 3 Januari 2012.
15
16
kubik. Dengan figur ini dipastikan 30 juta meter kubik kayu ditebang secara illegal sehingga
menciptakan angka deforestasi sebesar 2,6 juta ha. Belum termasuk kayu yang
diselundupkan ke Malaysia yang diperkirakan mencapai 10 juta meter kubik setiap
tahunnya.
Dengan kondisi kekurangan bahan baku resmi dimulailah pembalakan besarbesaran dalam sejarah industri kehutanan di Indonesia. Pada awal tahun 2000, seorang
pejabat senior Departemen Kehutanan mengakui bahwa industri pengolahan kayu telah
diizinkan melakukan ekspansi tanpa mempertimbangkan kemampuan pasokan kayu yang
tersedia, sehingga menyebabkan kelebihan kapasitas. Kegagalan memasok kayu secara
resmi sebagian besar ditutupi dengan pembalakan illegal, yang telah mencapai proporsi
epidemis.
Sampai disini, sudah jelas bahwa illegal logging adalah sebuah aktivitas kehutanan
yang tidak saja merugikan secara lingkungan namun juga menciptakan sejumlah masalah
besar lainnya baik dalam perannya dalam penghancuran sistem ekonomi maupun perannya
sebagai pemicu konflik. Demikian halnya menjadi mustahil untuk menyangkal bahwa
illegal logging adalah produk pokok masalah struktural di sektor kehutanan yang terus
menyebar. Sejak tahun 2001 hingga 2006, diperkirakan angka kayu yang ditebang secara
illegal mencapai 23,323 juta meter kubik setiap tahunnya. Jika dikalkulasi secara finansial,
illegal logging tersebut menciptakan kerugian negara sebesar Rp. 27,9 trilyun setiap tahun
sejak tahun 2001.
Untuk mengatasi hal tersebut maka pemerintah menerapkan kebijakan operasi hutan
lestari. Operasi hutan lestari ini dimaksudkan untuk mencegah pembalakan liar melalui
pengawasan dari departemen Kehutanan. Operasi hutan lestari, meskipun mampu menekan
keinginan orang untuk melakukan pembalakan secara liar namun dianggap belum mampu
memenuhi target. Rata-rata setiap tahun, hanya 8 persen dari kayu yang tertebang secara
illegal berhasil ditangkap. Dengan demikian kejahatan ini memang memerlukan konsentrasi
yang tinggi untuk diselesaikan.
Fenomena illegal logging ini dapat dilihat secara kasat mata dengan menggunakan
data-data resmi antara negara pengekspor dengan negara pengimpor. Sebagai contoh, pada
tahun 2000, catatan pemerintah menunjukkan Indonesia tidak mengimpor sebatang kayu
bulat pun ke Malaysia, sementara data di negara tersebut menunjukkan bahwa Malaysia
telah mengimpor kayu bulat dari Indonesia sebesar 623.000 meter kubik. Sementara itu di
Cina, angka impor kayu lebih besar 103 kali dari angka ekspor kayu dari Indonesia. Seperti
17
fenemona gunung es, realitas "illegal logging" dan illegal trade tentu saja lebih besar dari
angka-angka resmi tersebut.
Praktek Illegal logging dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian,
mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran
kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar, diantaranya berupa
pendapatan negara kurang lebih US$ 1.4 milyar setiap tahun. Kerugian tersebut belum
menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat
dihasilkan dari sumberdaya hutan.
Penebangan hutan secara illegal ini tentunya memerlukan penanganan secepatnya
sebab penyelesaian kasus ini selalu berpacu dengan waktu. Deferostasi yang terus-menerus
dibiarkan akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang lebih parah, dan kalau sudah
seperti itu tentu penanganannya akan semakin sulit. Penanganan tersebut bukan hanya
bersifat represif namun juga bersifat preventif. Salah satu upaya preventif yang dapat
dilakukan adalah dengan menginventarisasi persediaan keanekaragamanan hayati di hutan.
Upaya inilah yang selanjutnya dikenal dengan prinsip ekolabeling. Inventarisasi yang
dilakukan dengan ekolabeling memerlukan pengorganisasian yang solid, sebab walaupun
hutan merupakan tanggung jawab negara namun hal tersebut tidak menutup akses bagi
pihak swasta dan masyarakat untuk turut berpartisipasi. Praktiknya, ekolabeling ini
kebanyakan dilakukan oleh pihak swasta baik yang bertujuan komersial maupun lembaga
swadaya masyarakat.
Konstruksi Pemikiran Ekolabeling
Sejak tahun 1990 ekspor kayu lapis memberikan hasil devisa non migas kedua
terbesar setelah tekstil. Pada tahun 1993 hingga 1994 besarnya pangsa ekspor kayu lapis
terhadap total ekpor produk kehutanan adalah sebesar 70,8% dan terhadap total ekspor non
migas sebesar 17,5%. Peningkatan produksi dan volume ekspor kayu lapis Indonesia yang
cukup pesat memberikan sumbangan devisa yang sangat besar pula. Sejak tahun 1975
hingga 1986, kayu lapis hanya memberikan sumbangan sekitar 21,5 % dari total ekspor
hasil hutan, sekitar 5,3 % dari total ekspor Indonesia. Hingga tahun 1996 kayu lapis telah
memberikan sumbangan devisa yang cukup besar yaitu sekitar 70,7 % dari total ekspor hasil
hutan, 16,7 % dari nilai total ekspor Indonesia.16
16
18
Ekspor kayu lapis Indonesia pada 2010 ke Jepang, Uni Eropa, Timur Tengah dan AS
diperkirakan naik 20% dibandingkan dengan realisasi ekspor 2009 sebanyak 3,1 juta ini.
Keyakinan itu mengacu pada peningkatan permintaan pasar internasional, terutama Jepang
yang menyerap 50% ekspor kayu lapis asal lndonesia. Harga pasar kayu lapis yang berlaku
di pasar internasional pada 2010, diprediksi berkisar pada US$ 500 hingga US$ 550/m.
Sebelum situasi krisis keuangan global, harga yang berlaku US$ 450 hingga US$500/m.
Produk kayu lapis nasional, katanya, sebenarnya mengalami peningkatan jika dibandingkan
2008 yang tercatat 3,6 juta m. Produk kayu lapis ekspor tercatat 3,1 juta rn, angka itu belum
termasuk produk kayu lapis yang dikonsumsi di dalam negeri yang jumlahnya 1,5 juta m.
Kalau melihat kapasitas kayu lapis yang diekspor pada 2009 tercatat 3.1 juta m memang
menurun jika dibandingkan ekspor kayu lapis 2008 yang tercatat 3,6 juta rn1.
Produksi kayu lapis nasional pada 2009 tidak turun karena sebagian hasil produksinya
sebesar 1,5 juta m1 dijual di dalam negeri. Banyak produsen yang memasarkan kayunya
untuk pasar domestik. Sementara itu, pemerintah hendaknya tidak hanya bersikap optimistis
akan terjadi kenaikan investasi. Sebaiknya pemerintah mengambil langkah mempersiapkan
aturan tentang kemudahan ekspor dan memperbaiki kualitas ekspor kayu yang akan
diekspor. Permintaan pasar internasional terhadap kayu lapis Indonesia, tetap tinggi.
Namun, apakah hasil produksi kayu nasional memiliki daya saing di pasar internasional, itu
yang dipertanyakan. Perusahaannya setiap tahun memperoleh pesanan dari Amerika Serikat
sebesar 4.000 rn hingga 5.000 rn. Pada 2010 ada kenaikan permintaan hingga 6.000 in
Harganya pun masih lebih baik, bisa mencapai US$550. Daya saing kualitas kayu nasional
di pasar global, sebagian besar masih belum memenuhi standar yang ada.17
Menyimak dari data yang telah disajikan sebelumnya maka dapat diketahui bahwa
sebenarnya kualitas kayu lapis Indonesia masih berada di bawah negara pengekspor kayu
lapis lainnya. Hal ini disebabkan karena pengkajian yang teliti dari negara pengimpor
mengenai asal-usul dari kayu lapis tersebut. Kayu lapis di Indonesia disinyalir berasal dari
hutan produksi yang tidak ramah lingkungan, sementara itu isu global yang semakin
berkembang membawa kecenderungan bagi negara pengimpor untuk membeli kayu dari
negara yang penghasil yang ramah lingkungan.
Ekspor kayu kini juga dihadapkan dengan tingginya angka illegal logging. Buruknya
pola penanganan konvensional oleh pemerintah sangat mempengaruhi efektivitas penegakan
17
Erwin Tambunan (Bisnis Indonesia), 2010, Ekspor kayu lapis 2010 akan naik 20%,
http://bataviase.co.id/bataviase/search/?search_block_form=, diakses pada 3 Januari 2012.
19
hukum. Pola penanganan yang hanya mengandalkan 18 instansi sesuai ketentuan dalam
Inpres No.4 Tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara illegal di kawasan
hutan dan peredarannya di seluruh wilayah republik Republik Indonesia, dalam satu mata
rantai pemberantasan illegal logging turut menentukan proses penegakan hukum, di
samping adanya indikasi masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia akibat dari sistem
politik dan ekonomi yang korup. Kekebalan para dalang / mastermind/ aktor intelektual/
backing/ pemodal/ pelaku utama terhadap hukum disebabkan adanya keterlibatan oknum
aparat penegak hukum menjadi dinamisator maupun supervisor dan sebagian bahkan
menjadi backing bisnis ini. Besarnya uang yang beredar sekitar US$1.3 milyar
(WWF/World Bank, 2005), serta banyaknya pihak yang turut menikmati hasil bisnis ilegal
ini, punya andil yang cukup besar untuk mempengaruhi proses kegagalan dalam
penanganan kejahatan kehutanan seperti illegal logging.
Penebangan liar menjadi isu politik utama tidak hanya di Indonesia tetapi juga di
beberapa negara importir seperti Jepang dan Inggris. Salah satu perusahaan pengolahan
kayu terbesar di Indonesia, Asia Pulp and Paper (APP), baru-baru ini didesak untuk
membersihkan praktik penebangan liar setelah sebuah konsumen dari perusahaan besar di
Jepang memperingatkan bahwa mereka mungkin akan berhenti membeli kayu lapis dari
perusahaan tersebut. Pada perjanjian awal dengan World Wild Fund for Nature (WWF),
APP telah memperuntukkan 58.500 hektare dari area konsesinya di Riau untuk area
konservasi dan berjanji berbuat sebaik mungkin untuk menghentikan penebangan liar di
areal mereka. Pada bulan Juni 2003, pemerintah Inggris mengeluarkan peraturan yang
melarang impor produksi kayu dari Indonesia yang berasal dari penebangan liar. Larangan
tersebut akhirnya kini telah dicabut.18
Buruknya pola penegakan hukum dalam menjerat pelaku illegal logging selama ini,
semakin mendorong peran CSO yang selama ini memberi perhatian terhadap maraknya
tindak pidana illegal logging di Indonesia. Perlu adanya pergeseran yang drastis dalam pola
penanganan tindak pidana illegal logging. Strategi tersebut bisa berupa strategi penanganan
bersama antara CSO yang selama ini melakukan investigasi di lapangan dan aparat penegak
hukum yang berwenang. Baik itu dari segi pendekatan hukum, peningkatan kapasitas aparat
maupun keterlibatan masyarakat/ CSO untuk menjerat mastermind pelaku illegal logging.19
18
Ibid.
Icel, 2006, Konferensi Nasional Pemberantasan Illegal Logging, http://www.icel.or.id/.,
diakses pada 3 Januari 2012.
19
20
Berdasarkan hasil analisis organisasi non pemerintah FWI dan GFW, dalam kurun
waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total
tutupan hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di
Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan
sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta
keuntungan pribadi.
Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak
dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan
hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta
hektar per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan
sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang
sama. Menurut analisis World Bank, hutan di Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun
2010.
Peningkatan kualitas ekspor kayu, maraknya illegal logging yang berakibat pada
deforestasi hutan memerlukan suatu manajemen penataan hutan yang profesional.
Berdasarkan hal tersebut maka dipopulerkanlah istilah ekolabeling melalui suatu lembaga
ekolabel.
memprakarsai penyusunan definisi Kayu Sah. Melalui serangkaian pertemuan yang alot,
kemudian ditemukan definisi sah tidaknya kayu. Kayu disebut sah jika kebenaran asal
kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumentasi
angkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindah-tanganannya dapat dibuktikan
memenuhi semua persyaratan legal yang berlaku.
Persyaratan kayu yang legal sebagaimana dikemukakan oleh Lembaga Ekolabel
Indonesia merupakan dasar yuridis dari pengusahaan hutan. Kekayaan alam merupakan
modal pembangunan nasional sehingga perlu digali dan dimanfaatkan secara optimal.
Penggalian kekayaan tersebut harus dilakukan dengan pengusahaan hutan secara modern di
seluruh Indonesia. Pengusahaan secara modern ini akan memberikan hasil yang sebesarbesarnya apabila dilaksanakan pada wilayah kerja yang cukup luas sehingga merupakan
proyek produksi dan industri hasil hutan. Pengusahaan hutan tidak hanya menjadi monopoli
Pemerintah dengan Badan Usaha Milik Negaranya, tetapi keterlibatan pihak swasta juga
sangat diperlukan.
Pengusahaan hutan sangat diperlukan untuk membangun perekonomian bangsa dan
masyarakat. Pemanfaatan sumber daya alam yang ada di hutan ini harus dapat memberikan
21
manfaat bagi kemakmuran rakyat dan senantiasa memperhatikan kelestarian sumber daya
alam hutan agar mampu memberikan manfaat yang terus menerus.
Ekolabeling Sebagai Bentuk Inventarisasi Hutan
Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonsesia Tahun 1945
menyatakan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari rumusan Pasal ini,
dapat dilihat bahwa kemakmuran rakyat merupakan tujuan akhir dari penggunaan kekayaan
alam sedangkan negara berfungsi sebagai pengelola bukan pemilik. Dengan demikian
negara memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan hutan. Dalam pengelolaan hutan ini,
negara dapat bekerjasama dengan lembaga pengelola atau perencanaan di bidang kehutanan
dalam menata manajerial dengan melibatkan badan-badan dunia. Tujuannya adalah untuk
mewujudkan pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forest management), seperti
International Tropical Timber Organization Forest Management yang diterapkan pada
tahun 2003.20
World Wide Fund for Nature (WWF), telah menyusun target pengelolan hutan
berkelanjutan untuk seluruh dunia, yang dimulai pada tahun 1995, dan Forest Stewardship
Council (FSC), suatu badan internasional yang dapat memberikan akreditasi dan memantau
program sertifikasi, dengan maksud untuk memberikan jaminan kepada pengusahaan
pengelolaan hutan agar kegiatannya sesuai dengan standar pengelolaan hutan berkelanjutan
dilakukan oleh lembaga ekolabeling.21
Kebutuhan akan hasil kayu semakin meningkat karena kayu merupakan sumber
pemenuhan bagi kebutuhan primer manusia yakni kebutuhan akan perumahan. Pengelolaan
terhadap jumlah dan optimalisasi penggunaan kayu ini perlu dilakukan secara tepat, cepat
dan terpadu. Oleh sebab itu lembaga-lembaga yang mengatur mengenai hasil hutan berupa
kayu mulai bermunculan. Salah satu lembaga trersebut adalah lembaga ekolabeling.
Lembaga ekolabeling ini dibentuk oleh negara-negara Barat atau negar-negara industri yang
ingin menekan negara-negara yang memiliki hutan tropis agar menghentikan pengambilan
aset hutan, karena pengambilan aset hutan yang tidak terkendali akan menimbulkan
kerusakan ekosistem.
20
22
Berdasarkan hal tersebut maka tergambarkan bahwa kegunaan ekolabel adalah untuk
membantu konsumen membuat suatu pilihan, karena ekolabel memungkinkan adanya
perbandingan antara produk-produk sejenis. Ekolabel yang dapat dipercaya diberikan
melalui proses sertifikasi oleh pihak ketiga yang independen untuk menilai bahwa suatu
produk diproduksi dengan mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian lingkungan hidup.
Mengacu pada GATT (General Agreement on Tariff and Trade), ekolabel didasarkan
pada non-diskriminasi dan atas dasar sukarela. Dasar sukarela menekankan bahwa sistem
sertifikasi bekerja atas dasar insentif pasar. Produsen ikut serta ketika melihat ada insentif
pasar
sebagaimana
WTP
bagi
produk-produk
berlabel atau
kesempatan
untuk
mengembangkan pasaran baru atau mereka tidak melakukan ancaman boikot ketika tidak
mendapatkan insentif pasar. Pemilihan kategori produk memasukkan seluruh produk-produk
sejenis dan menerapkan standar-standar yang sama guna menghindari diskriminasi
perdagangan, hal ini mengacu pada Pasal 7 Kesepakatan Technical Barriers to Trade (TBT)
GATT. (LEI, 1994).22
Tahun 1997 hingga 1998 produk kayu lapis masih merupakan komoditas andalan.
Namun mengingat meningkatnya persaingan terhadap produk kayu lapis Indonesia, maka
produksi kayu lapis massal (raw plywood) diarahkan pada produk kayu lapis yang sudah
diproses lebih ke hilir (processed plywood). Persaingan produk kayu-kayu tropis dengan
kayu non tropis akan semakin ketat, terlebih dengan diberlakukannya ekolabeling yaitu
penggunaan label terhadap produk yang ramah lingkungan. 23 Produk-produk yang dapat
diterima di pasaran, terutama di pasar internasional adalah produk yang dihasilkan dari
pengelolaan hutan yang ramah lingkungan. Dengan demikian penerapan ketentuan
ekolabeling dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan merupakan suatu proses yang perlu
terus dikembangkan.
Meningkatnya persaingan produk kayu-kayu tropis terhadap kayu non tropis dan
bahan substitusinya menuntut pengusaha kehutanan untuk mencari peluang-peluang pasar
yang baru. Untuk itu perusahaan kehutanan harus meningkatkan kualitas, efisiensi,
diversifikasi pasar dan diversifikasi produk dalam menghadapi persaingan tersebut. Selain
kayu lapis, produk pulp dan kertas, produk kayu olahan lanjutan lainnya, hasil hutan non
kayu seperti gondorukem, lak dan jasa juga menjadi komoditas andalan karena
22
Muhlasin, 2008, Ekolabeling, Strategi Bisnis Jitu Peduli Hutan, http://www.pewartakabarindonesia.blogspot.com, diakses pada 3 Januari 2012.
23
Suara Pembaruan, 2009, Produk Kayu Lapis Masih Jadi Komoditas
Andalan,:http://google.com, diakses pada 3 Januari 2012.
23
menunjukkan permintaan yang meningkat. Oleh karena itu para pengusaha juga harus
memperhatikan komoditas itu.
Diingatkan, walaupun boikot terhadap kayu tropis tidak dibenarkan dalam
kesepakatan internasional, tetapi ternyata masih ada kelompok masyarakat dan walikota
yang tetap memboikot, antara lain di Jermandan Belanda. Oleh karena itu untuk pasaran
Eropa tahun 1997 hingga 1998 perlu diarahkan pada pasaran negara-negara yang
masyarakatnya tidak memboikot. Seperti telah diketahui, dalam kesepakatan internasional
yang telah dicapai dalam sidang International Tropical Timber Organization (ITTO) 1996
yang berkaitan dengan ekolabeling dan perdagangan bebas, tindakan-tindakan unilateral
(sepihak) seperti boikot terhadap kayu tropis tidak dibenarkan.
Permasalahan yang menyangkut perdagangan kayu tropis harus diselesaikan secara
multilateral, bahkan perlu adanya tindakan-tindakan konkrit yang mendorong peningkatan
pasaran kayu tropis. Selain itu tidak dibenarkan membedakan perlakuan antara kayu tropis dan
kayu non tropis (non discriminatory treatment). Untuk hal ini telah diputuskan dalam sidangsidang pendukung Intergovernmental Panel on Forest (IPF) tahun 1996.
Mengenai pelaksanaan ekolabeling harus disesuaikan dengan keadaan masing-masing
negara serta harus disepakati antara negara produsen dan konsumen. Sedangkan target tahun
2000 yang telah diputuskan dalam sidang ITTO tahun 1992 adalah menyangkut pengelolaan
hutan secara lestari atau Sustainable Forest Management (SFM), di mana kriteria dan indikator
SFM perlu disusun dan dilaksanakan. Ekolabeling sangat penting dan dibutuhkan oleh
Indonesia. Karena sebagai anggota International Tropic Timber Organization (ITTO) yang
berkedudukan di Yokohama, Indonesia telah sepakat untuk melaksanakan ekolabeling produk
kehutanan mulai tahun 2000.
Organisasi kayu tropis dunia (ITTO) yang terdiri dari negara produsen dan konsumen
kayu tropis telah menetapkan pemberlakuan ekolabel mulai tahun 2000. Artinya mulai
tahun itu seluruh kayu tropis yang diperdagangkan di dunia internasional harus berasal dari
hutan yang dikelola secara lestari. Selama beberapa waktu ini, telah disusun tolak ukur
pengelolaan hutan yang berwawasan lingkungan, yaitu apakah hutan dikelola secara
berkelanjutan, apa dampak pengelolaan tersebut
hayati, erosi sungai dan sebagainya. Dan yang terakhir adalah apa dampak pengelolaan
hutan itu terhadap masyarakat sekitar hutan, apakah bermanfaat atau tidak.24
24
Ibid.
24
Redaksi,___,
Ekolabel,
Akibatkan
Maraknya
Pencurian
Kayu,
http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=2130, diakses pada 3 Januari 2012.
26
Abubakar M. Lahjie, 2005, Ekofoerestri Dalam Panduan Hutan Lestari, Universitas
Mulawarman, Samarinda, hal. 28.
25
Isi standar sertifikasi harus dipublikasikan untuk masyarakat dan diterima secara luas.
Lembaga sertifikasi (pemberi sertifikasi) harus terbukti independen dan memiliki
kemampuan untuk menunjukkan bahwa konsumen benar-benar memenuhi standar.27
Sektor kehutanan dan industri kayu serta sektor-sektor pendukung lainnya telah
memberikan kontribusi yang nyata terhadap GDP dan penyerapan tenaga kerja serta
peningkatan devisi negara. Andil kehutanan dan industri kehutanan terhadap GDP telah
mengingkat secara signifikan dari 4 % tahun 1980an menjadi 8,7 % pada pertengahan tahun
1990. Perkembangan penyerapan tenaga kerja lokal dan luar negeri yang langsung dan tidak
langsung terkait dengan berbagai industri perkayuan seperti industri pulp dan paper,
furniture, kayu gergajian dan kayu lapis diuraian secara detail dengan data-data yang utuh
dan lengkap.
Penerapan sertifikasi dan ekolabeling bagi produk-produk kayu industri kehutanan
dibahas berkaitan dengan prosedur dan teknis penilaiannya serta lembaga-lembaga
independen penilainya (LEI dan FSC).Ada beberapa kebijakan terkait dengan pengelolaan
hutan lestari yang dapat dicapai melalui pertumbuhan dan pemerataan, diantaranya:
a.
b.
c.
d.
e.
Semua produk kehutanan dari Indonesia yang akan diekspor ke Jepang harus
mempunyai sertifikat dari Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI). Kebijakan ini diambil
pemerintah Jepang melalui Kementerian Pertanian, Perikanan, dan Kelautan Jepang dalam
27
Supriadi, 2010, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 35.
28
Subarudi,___,
Forestry
and
Wood
Industry
on
The
Move,
http://puslitsosekhut.web.id/index.php, diakses pada 3 Januari 2012.
26
Redaksi,
2005,
Ekolabeling
ke
Jepang,
http://www.fkkm.org/Warta/index2.php?terbitan=noe&action=detail8&page=13#top&lang=ind,
diakses pada 3 Januari 2012.
30
Drajad H Wibowo, 2003, Larangan Penebangan Kayu di Jawa Timbulkan Gejolak
Ekonomi, http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&rubrik=Lingkungan+Hidup, diakses
pada 3 Januari 2012.
27
dari citra satelit yang ada atau foto udara, perbandingan dengan tegakan-tegakan yang serupa
yang telah diinventarisasi dan hasil-hasil penelitian lainnya.
Secara teknis kegiatan inventarisasi hutan menjadi tipe-tipe utama inventarisasi adalah
inventarisasi pra-pemanenan dan inventarisasi pasca-pemanenan (yang dapat bersifat statis atau
dinamis) dan survei persediaan tegakan. Inventarisasi pra-pemanenan bertujuan untuk
mengumpulkan informasi mengenai spesies-spesies yang terdapat dihutan, berapa jumlahnya
dan areal distribusinya serta kisaran ukurannya (ukuran/ kelas/ distribusi). Sementara survei
persediaan tegakan tujuannya adalah penarikan sampel 100 persen terhadap semua pohon yang
dapat dipanen dengan melebihi batas diameter tertentu. Survei ini dilaksanakan sebelum
pemanenan untuk membantu perencaan kegiatan pemanenan. Semua pohon komersial dengan
ukuran yang dapat dipanen, dipetakan dan diberi label.
Penutup
Illegal logging berakibat pada deforestasi hutan. Untuk menanggulangi kerusakan
hutan akibat illegal logging maka diperlukan suatu manajemen penataan hutan yang
profesional. Berdasarkan hal tersebut maka dipopulerkanlah istilah ekolabeling melalui
suatu lembaga ekolabel. Ekolabeling atau penandaan hasil hutan ini merupakan bentuk
kegiatan inventarisasi hutan yang memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya
kerusakan hutan. Kelestarian hutan merupakan tanggung jawab semua pihak karena hutan
menyangkut hajat hidup orang banyak.
Penerapan ekolabeling
berkualitas. Artinya kegiatan ekolabeling ini bukan hanya sekadar pada tahap ekolabel saja
namun juga harus disertai dengan pengawasan yang intensif mengenai hasil hutan yang
sudah diekolabel. Pengawasan ini tentunya memerlukan koordinasi wewenang yang tegas
agar dalam pelaksanaan tersebut nantinya tidak terjadi wewenang yang tumpang tindih.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abubakar M. Lahjie, 2005, Ekofoerestri Dalam Panduan Hutan Lestari, Universitas
Mulawarman, Samarinda.
Bambang Pamulardi, 1995, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan,
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
28
Rahmi Hidayati D. dkk., 2006, Pemberantasan Illegal Logging dan Penyelundupan Kayu
Melalui Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutanan, Wanaaksara,
Tangerang..
Salim, 2005, Illegal Logging Dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua)
cetakan pertama, Universitas Atma jaya, Yogyakarta.
Supriadi, 2010, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta.
Surna T, Djajadiningrat,Imam Hendargo Ismoyo dan Rijaluzaman, 1995, Ecolabeling dan
Kecenderungan Lingkungan Hidup Global, Pen. Rena Pariwara, Jakarta.
INTERNET
Amiluddin dan Isang Gonarsyah, _____, Analisis Ekonometrika Keragamanan Pasar Kayu
Lapis Indonesia dan Dampak Kemungkinan Diberlakukannya Liberalisasi
Perdagangan, http://www.google.com, diakses pada 3 Januari 2012.
Drajad H Wibowo, 2003, Larangan Penebangan Kayu di Jawa Timbulkan Gejolak
Ekonomi,
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&rubrik=Lingkungan+Hidup,
diakses pada 3 Januari 2012.
Erwin Tambunan (Bisnis Indonesia), 2010, Ekspor kayu lapis 2010 akan naik 20%,
http://bataviase.co.id/bataviase/search/?search_block_form=, diakses pada 3 Januari
2012.
Felicity
Williams,
2004,
Asia
Pulse
Analyst,
http://www.addthis.com/landing/?to=ffext&utm_source=el&utm_medium=link&utm_
content=ATTool_orig&utm_campaign=AT_tooldl, diakses pada 3 Januari 2012.
Icel, 2006, Konferensi Nasional Pemberantasan Illegal Logging, http://www.icel.or.id/.,
diakses pada 3 Januari 2012.
Muhlasin, 2008, Ekolabeling, Strategi Bisnis Jitu Peduli Hutan, http://www.pewartakabarindonesia.blogspot.com, diakses pada 3 Januari 2012.
Redaksi,
2005,
Ekolabeling
ke
Jepang,
http://www.fkkm.org/Warta/index2.php?terbitan=noe&action=detail8&page=13#top
&lang=ind, diakses pada 3 Januari 2012.
Redaksi,___,
Ekolabel,
Akibatkan
Maraknya
Pencurian
Kayu,
http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=2130, diakses pada 3 Januari 2012.
Rully
Syumanda,
____,
Deforestasi
dan
Illegal
Logging,
http://rullysyumanda.org/natural-resources/forest/moratorium-logging-a-forestconversion/54-deforestasi-dan-illegal-logging.html, diakses pada 3 Januari 2012.
Suara
Jadi
Subarudi,___,
Forestry
and
Wood
Industry
on
The
http://puslitsosekhut.web.id/index.php, diakses pada 3 Januari 2012.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Komoditas
Move,
29
Abstract:
The existence of Pancasila Industrial Relations in Indonesia, which consists of three parties, namely
cedar workers, employers and the government put the governments role as a representative of the
State in a strategic position as a regulator in an attempt to create a harmonious industrial relations.
Changes in the state system in Indonesia from the centralized system in the New Order into a
decentralized system directly affects the political constellation changes, economic, social and
democratic culture becomes more focused on optimizing the role of the State to make the protection
of workers' rights in addition to the protection of employers in running business. Autonomy that arise
as a result of applying the principle of decentralization in the state system in Indonesia has been
explicitly set on the delegation of authority for the protection of workers from central to local
government should make the role of local governments to protect workers more optimal because local
governments have been aware of the situation and working conditions in the region. The existence of
local regulations and policies are directed at the protection of workers within the framework of regional
autonomy as well as a form of state intervention in industrial relations between employers and
workers parties that became the essence of the theory of the welfare state.
Key words: Pancasila industrial relations, labor protection, regional autonomy
Pendahuluan
Pada masa orde baru, hubungan industrial ditandai oleh dominasi negara terhadap
pekerja yang juga dikenal. dengan "korporatisme eksklusioner negara"31 dengan sistem
hubungan perburuhan yang bersifat kaku. Dominasi negara dalam konsepsi hubungan
industrial pada masa orde baru Orde Baru yang memberi perhatian yang sangat besar
terhadap perkembangan ekonomi dalam kerangka pembangunan nasional dilakukan dengan
pembatasan atau pengekangan kehidupan politik yang demokratis sehingga berimplikasi
pada pengekangan hak-hak pekerja. Kebijakan industrialisasi yang dijalankan pemerintah
Orde Baru tersebut menjadi efektif ditunjang dengan kebijakan yang menempatkan
stabilitas nasional sebagai tujuan dengan menjalankan industrial peace.
31
Vedi R. Hadiz, Buruh Dalam Penataan Politik Awal Orde Baru, Majalah Prisma No.7, Juli
1990, hal. 1. Korporatisme Ekslusioner diperkenalkan oleh Alfred Stepan untuk menjelaskan upaya kelompok
elite dalam masyarakat untuk meredam dan mengubah bentuk "kelompok-kelompok kelas pekerja yang menonjol"
melalui kebijakan yang bersifat koersi. la berbeda dengan "korporatisme inklusioner" yang lebih bercirikan akomodasi
dan inkorporasi kelompok-kelompok tersebut oleh negara.
30
Hilaire Barmett, 2000, Constituonal & Administrative Law, fourth edition, Landon, Sydney, hal. 5.
Schuyt & Veen (1986) dalam Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum yang membahagiakan
Rakyatnya, Genta Publishing, Yogyakarta hal. 19.
33
31
diarahkan sebagai alat untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur yang dalam
perspektif negara kesejahteraan adalah menciptakan jaminan perlindungan kepada setiap
lapisan masyarakat atas pemenuhan kebutuhan masing masing lapisan masyarakat tidak
terlaksana pada masa orde Baru.
Berakhirnya Orde Baru dengan lahirnya gerakan reformasi 1998 yang bertujuan
untuk melakukan perubahan disegala bidang diantaranya dalam sistem pemerintahan daerah
dan hubungan industrial. Reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
didasarkan pada adanya pengaturan secara konstitusional penyelenggaraan pemerintah
daerah dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur bahwa:
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
Pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut asas otonomi daerah
dalam UUD 1945 berakibat pada terbitnya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah yang selanjutnya diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah untuk mengganti Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang PokokPokok Pemerintahan Di Daerah yang dinilai dan dirasakan orang sangat sentralistik.
Secara eksplisit Bagian Penjelasan Umum Undang-undang No. 32 Tahun 2004 pada
ininya menjelaskan bahwa prinsip otonomi daerah pada intinya adalah untuk memberikan
keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang tumbuh, hidup, dan
berkembang di daerah demi terciptanya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat, pegembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta keserasian
hubungan antara pusat dan daerah sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat di daerah.
Sistem otonomi daerah telah membawa banyak perubahan positif dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Hal ini tentunya tidak terlepas
dari tujuan pemberian otonomi untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta
peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Adanya perubahan sistem penyelenggaraan pemerintah daerah tidak secara langsung
menyebabkan adanya peningkatan kesejahteraan pekerja di setiap daerah di Indonesia.
Kenyataan tersebut menyebabkan Reformasi Ketenagakerjaan memang sebuah keniscayaan
untuk mengakhiri peninggalan orde baru yang memasung hakhak pekerja untuk
32
kepentingan pengusaha semata. Selama orde baru hubungan industrial dikendalikan secara
ketat oleh pemerintah, yang merupakan bagian dari agenda pertumbuhan ekonomi yang
lebih menekankan pada upaya menarik investasi asing dan pertumbuhan industri baru
daripada penegakkan hakhak buruh34 menjadi salah satu faktor keterpurukan kesejahteraan
para pekerja di Indonesia.
Ditetapkannya Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menjadi landasan normatif untuk adanya peningkatan perlindungan terhadap pekerja di
Indonesia yang tidak dapat terlepas dari sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
telah menjadikan prinsip otonomi sebagai asas penyelenggaraannya pada kenyataannya
sampai saat ini belum optimal. Fenomena tersebut menjadi titik tolak dalam melakukan
analisis terhadap pengaruh otonomi daerah dalam perlindungan pekerja.
Peran
terhadap
Perlindungan Pekerja
Perkembangan konsepsi negara hukum diawali dengan konsep Negara Hukum Formil
(formele rechtstaat) yang lebih mengutamakan bentuk daripada isi. Negara hukum formil
tidak memperdulikan kandungan moral kemanusiaan yang harus terdapat didalamnya.
Dengan karakteristik tersebut maka negara hukum menjadi identik dengan bangunan
peraturan perundang-undangan dan kualitasnya hanya ditentukan oleh ketundukannya pada
hukum.35
Negara hukum yang hanya dikonstruksikan sebagai bangunan hukum dengan
pemisahan antara negara hukum sebagai struktur politik dan sebagai organisasi hukum tidak
bertahan lama karena modernisasi, industrialisasi menciptakan problem-problem sosial
besar dan baru seperti perlindungan terhadap pekerja yang tidak ada padanan sebelumnya.
Negara modern harus menghadapi perluasan tugas publik yang luar biasa sehingga negara
tidak dapat lagi berhenti hanya menjadi negara hukum formal dan hanya berpangku tangan
dengan alasan tidak dapat mencampuri urusan masyarakat, sesuai dengan semboyan liberal
laissez faire, laissez aller. Dengan menyerahkan segalanya kepada aktivitas dan inisiatif
individu dan mencegah campur tangan kekuasaan publik, maka kesejahteraan umum akan
tercipta dengan sendirinya.36 Sehingga Perkembangan konsep nachwakersstaat tidak dapat
34
Alan J. Boulton, 2002, Struktur Hubungan Industrial di Indonesia Masa Mendatang, Kantor
Perburuhan Internasional, Jakarta, hal. 10.
35
Satjipto Rahardjo, op.cit., hal. 2.
36
Ibid, hal. 18.
33
membawa masyarakat kearah kemakmuran, indikasi ini terlihat dari berbagai aspek dalam
masyarakat.37
Pada masa selanjutnya perkembangan industrialisasi menciptakan jurang-jurang lebar
dalam masyarakat, menciptakan stratifikasi sosial yang cukup dahsyat yaitu perbedaan
kesejahteraan antara pengusaha dan pekerja. Keadilan dalam pembagian kekayaan terasa
sangat timpang, sehingga muncul potret-potret ketidakadilan sosial.
Dalam suasana demikian maka dirasakan perlunya campur tangan kekuasaan publik
untuk mencegah kemerosotan lebih jauh dalam kualitas hidup anggota masyarakat. Ide
dasar tentang perlunya campur tangan kekuasaan publik dalam penyelenggaraan
kesejahteraan ini pertama kali dikemukakan oleh Beveridge, seorang Anggota Parlemen
Inggris dalam laporannya (Beveridge Report), yang mengandung suatu program sosial
tentang:38
1.
2.
3.
4.
5.
Adanya campur tangan pemerintah dalam kehidupan masyarakat juga ditegaskan oleh
John Maynard Keynes menganjurkan bahwa pemerintah dapat mencampuri kegiatan
ekonomi rakyat dengan tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Oleh karena itu
munculah konsepsi negara kesejahteraan (welfare state) atau negara hukum modern atau
negara hukum materiil yang ciri-cirinya sebagai berikut: 39
1. Dalam negara hukum kesejahteraan yang diutamakan adalah terjaminnya hak-hak
asasi sosial-ekonomi rakyat;
2. Pertimbangan-pertimbangan efisiensi dan manajemen lebih diutamakan dibanding
pembagian kekuasaan yang berorientasi politis, sehingga peranan eksekutif lebih
besar daripada legislatif;
3. Hak milik tidak bersifat mutlak;
4. Negara tidak hanya menjaga ketertiban dan keamanan atau sekedar penjaga
malam (nachtwakerstaat), melainkan negara turut serta dalam usaha-usaha sosial
maupun ekonomi;
5. Kaedah-kaedah hukum administrasi semakin banyak mengatur sosial ekonomi
dan membebankan kewajiban tertentu kepada warganegara;
6. Peranan Hukum Publik condong mendesak Hukum Privat, sebagai konsekwensi
semakin luasnya peranan negara;
37
Muhammad Siddiq, 2009, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta,
hal. 55.
38
39
34
7. Lebih bersifat negara hukum materiil yang mengutamakan keadilan sosial yang
materiil pula.
Ide tentang perlunya campur tangan pemerintah demi kesejahteraan masyarakat telah
menginspirasi gerakan-gerakan hak sosial (welfare right movement) yang terjadi pada Abad
ke-20 yang memasukan hak-hak kesejahteraan sosial kedalam hak-hak rakyat yang harus
dipenuhi oleh suatu negara hukum.40 Pada Tahun 1930-1945 di Belanda telah dibangun
dasar-dasar bagi usaha untuk membangun negara kesejahteraan tersebut yang dilakukan
dengan cara: (1) melindungi orang-orang terhadap risiko bekerjanya industri modern, seperti
kecelakaan perburuhan; (2) jaminan penghasilan minimum, juga karena sakit, kehilangan
pekerjaan dan masa tua; (3) menyediakan sarana yang dibutuhkan oleh setiap orang agar
dapat berfungsi dengan baik dalam masyarakat, seperti perumahan, pendidikan dan
kesehatan; (4) memajukan kesejahteraan individu, seperti penyaluran aspirasi politik,
kebudayaan olah raga dan sebagainya.41
Tuntutan tentang peran pemerintah dalam aspek kehidupan masyarakat dalam negara
kesejahteraan dalam hubungan industrial secara konkrit diwujudkan dalam perlindungan
terhadap pekerja dalam hubungannya dengan pengusaha. Pentingnya perlindungan terhadap
pekerja tersebut karena pihak pekerja memiliki posisi tawar (bergaining position) yang
lemah berhadapan langsung dengan pengusaha yang kuat.42 Sehingga peran pemerintah
diperlukan untuk melakukan campur tangan dengan tujuan mewujudkan hubungan
perburuhan yang adil melalui peraturan perundang-udangan dan kebijakan.43
Perlindungan dapat dilakukan, baik dengan jalan memberikan tuntunan maupun
dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia, perlindungan fisik dan teknis
serta sosial dan ekonomi melalui norma yang berlaku dalam lingkungan kerja44 yang
menurut Imam Soepomo pelindungan pekerja itu dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:45
a. Perlindungan ekonomis, yaitu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usahausaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup
memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk dalam
hal pekerja tersebut tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya.
Perlindungan ini disebut dengan jaminan sosial.
b. Perlindungan Sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha
kemasyarakatan yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan
40
Ibid.
Satjipto Rahardjo, loc.cit.
42
Eggy Sudjana, 2005, Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia, Renaissan, Jakarta, hal. 1
43
Lalu Husni, 2003, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 12
44
Zaenal Asikin dkk, 2010, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 96
45
Ibid, hal.97
41
35
dan
kekuasaan
ekonomi.
Dalam
hubungannya
dengan
kekuasaan
46
47
A. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, hal. 44.
Majda El-Muhtaj, 2009, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Prenada Media, Jakarta,
hal. 1.
48
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya,
49
hal.1.
36
50
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Dalam Negara Pancasila, Simposium Politik, Hak Asasi
Manusia dan Pembangunan Hukum, Lustrum VIII, Universitas Airlangga, Surabaya, 1994, hal.1.
51
Wayan Gde Wiryawan, Perjuangan Hak Pekerja Buruh, Makalah dalam Ceramah di Lembaga
Bantuan dan Perlindungan Hukum, Federasi Serikat Pekerja Mandiri Bali, Denpasar, 28 Oktober 2008.
37
baginya, apabila kemampuan dan kreativitasnya meskipun terbatas bisa dikembangkan dan
apabila ia merasa tenang dan bebas.
Adanya kewajiban konstitusional dari pemerintah untuk melindungi hak pekerja
yang merupakan bagian dari hak asasi manusia secara eksplisit telah diatur dalam pasal 8
UU No. 39 Th. 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa melindungi,
memajukan dan menghormati Hak Asasi Manusia termasuk hak atas pekerjaan merupakan
kewajiban pemerintah. Hal tersebut menjadikan pemerintah telah memiliki legitimasi yang
kuat dalam upaya perlindungan terhadap pekerja.
Dari uraian diatas telah ditunjukan bahwa secara limitatif arah perlindungan
terhadap pekerja adalah perlindungan atas hak kesejahteraan dari pekerja akan dapat
tercapai jika aspek-aspek dalam hubungan industrial telah berorientasi pada perlindungan
terhadap pekerja. Secara normatif aspek-aspek hubungan industrial tersebut telah diatur
dalam pasal 39 UU No. 39 th. 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu:
(1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas
pekerjaan yang layak.
(2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak
pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.
(3) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama,
sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja
yang sama.
(4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan
dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan
prestasinya dan dapat menjarmin kelangsungan kehidupan keluarganya
Uraian secara filsafati, konstitusional, teoritis dan normatif terhadap perlindungan
pekerja yang pada prinsipnya diarahkan pada tercapainya kesejahteraan pekerja yang
menyangkut berbagai aspek yang telah diatur dalam UU No. 13 Th. 2003 tentang
Ketenagakerjaan menurut Zaenal Asikin meliputi aspek-aspek yaitu:52
1. Perlindungan hukum, yaitu apabila dapat dilaksanakan peraturan perundangundangan dalam bidang ketenagakerjaan yang mengharuskan atau memaksakan
majikan bertindak sesuai dengan perundang-undangan tersebut dan benar-benar
dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait.
2. Perlindungan ekonomi, yaitu perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk
memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup memenuhi keperluan
sehari-hari baginya dan keluarganya.
3. Perlindungan sosial, yaitu perlindungan yang berkaitan dengan usaha
kemasyarakatan yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan
52
38
39
A.W Praktiknya Raja, 1999, Pandangan Dan Langkah reformasi B.J. Habibie, PT, Gafindo Persada,
Jakarta, hal. 218.
40
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
A. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang
A.W Praktiknya Raja, 1999, Pandangan Dan Langkah reformasi B.J. Habibie, PT, Gafindo
Persada, Jakarta
Alan J. Boulton, 2002, Struktur Hubungan Industrial di Indonesia Masa Mendatang, Kantor
Perburuhan Internasional, Jakarta
Eggy Sudjana, 2005, Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia, Renaissan, Jakarta
Hilaire Barmett, BA, LL.M, 2000, Constituonal & Administrative Law, fourth edition,
Landon. Sydney
Lalu Husni, 2003, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta
Mac Iver, 1984, Negara Modern, terjemahan Moertono, Aksara Baru, Jakarta
41
Majda El-Muhtaj, 2009, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Prenada Media,
Jakarta
Muchsan, 1981, Peradilan Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta
Muhammad Siddiq, 2009, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya Paramita,
Jakarta
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya
Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum yang membahagiakan Rakyatnya, Genta
Publishing, Yogyakarta
Zaenal Asikin dkk, 2010, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta
PERTEMUAN ILMIAH
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Dalam Negara Pancasila, Simposium Politik,
Hak Asasi Manusia dan Pembangunan Hukum, Lustrum VIII, Universitas
Airlangga, Surabaya, 1994.
Vedi R. Hadiz, Buruh Dalam Penataan Politik Awal Orde Baru, Majalah Prisma No.7,
Juli 1990
Wayan Gde Wiryawan, Perjuangan Hak Pekerja / Buruh, Makalah dalam Ceramah di
Lembaga Bantuan dan Perlindungan Hukum, Federasi Serikat Pekerja Mandiri
Bali, Denpasar, 28 Oktober 2008.
42
Abstract:
Functions of National Education is to develop skills and form the character and civilization of the
nation's dignity in the context of the intellectual life of the nation that aims for the development of
potential learners in order to become a man of faith & fear of God Almighty.Under UU No.20 tahun
2003 on National Education system there are nine pillars of character education that serves to
develop skills & shaping the character of the nation worthwhile. And as penunjuang required special
attention to the sources of the indicator is less successful character education such as strengthening
the ethical dimension, educational value indicator and moral Control of Toxic World
Key words :Functions of National Education, National Education system , moral Control of Toxic
World
Pendahuluan
Negara Indonesia membangun pendidikan nasionalnya berdasarkan pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,bahkan dalam Undang undang no
20 Tahun 2003 , Tentang Sistem pendidikan Nasional menjelaskan pada pasal 3 bahwa :
Fungsi pendidikan Nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
,bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,berakhlak mulia,sehat,berilmu ,cakap,kreatif,
mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.Di lihat dari
pernyataan pada pasal 3 apa yang telah di ciptakan oleh penentu kebijakan rasanya sudah
sangat sempurna bahkan jauh dari cacat akan nilai nilai murni pembangunan pendidikan
sebagai fungsi dan tujuan yang termaksud dalamPendidikan Nasional.Dengan demikian
,untuk pencapaian tujuan dari undang-undang itu yaitu perkembangan potensi peserta anak
didik perlu di susun rancangan yang menghimpun segala aspek tersebut,yang secara formal
yaitu menyediakan kondisi,sarana/prasarana kegiatan pendidikan dan kurikulum
yang
mengarah kepada pembentukan watak dan budi pekerti generasi muda bangsa yang
memiliki landasan yuridis yang kuat,hal ini tercipta ketika di tahun-tahun reformasi bangsa
43
terkecuali juga pada anak anak usia dini dan usia sekolah. Menyikapi hal tersebut ,telah di
lakukan upaya-upaya pencegahan dari parahnya krisis akhlak ,upaya tersebut mulai di rintis
melalui pendidikan karakter bangsa.
Pendidikan Karakter Bangsa mulai di susun oleh para ahli pendidikan, para penentu
kebijakan dan para pemerhati pendidikan.Para pakar pendidikan mengembangkan
setidaknya ada tiga pendapat yang berbeda dalam mengaplikasikan Pemberian pendidikan
karakter bangsa di sekolah yaitu pertama pendidikan karakter bangsa di berikan berdiri
sendiri sebagai mata pelajaran ,kedua pendidikan karakter
bangsa
di berikan secara
integrasi dengan mata pelajaran Pkn,pendidikan agama dan mata pelajaran yang relevan
,ketiga pendidikan karakter bangsa yang terintegrasi dalam semua pelajaran.Karakter
menurut
Pusat
Bahasa
Depdiknas
adalah
bawaan
hati,jiwa
kepribadian,budi
untuk
44
kecerdasan dan memberikan beban pelajaran super berat dan banyakpadahal dengan beban
pelajaran yang tinggi energi guru dan siswa terbuang percuma krewna hanya 10 persen
siswa yang mampu mengikuti pelajaran sedangan siswa dengan kemampuan dibawah rata
rata dan tidak memiliki nilai akademis tinggi yang menempati porsi terbesar di negara kita
di abaikan sehingga tanpa sadar kita telah menciptakan jurang dikotomi terhadap hak hak
pendidikan yang layak bagi 90 persen komunitas ini.
Menurut Comissioner KPAI Apong Herlina dalam workshop penyelarasan persektif
penangan anak yang berhadapan dengan hukum melalui upaya restoratif justice di
jawatenga dan DIY,dari data yang di kumpulkan
di tahun 2004
bermasalah dengan hukum mencapai 11 ribu anak,dan rata rata tiap tahun sekitar 7 ribu
anak harus menjalani persiapan persidangan akibat terlibat berbagai tindakan pidana dan
hampir 90 persen di antara anak anak tersebut harus melewatkan masa bermainnya di
penjara baik sebelum ( tahanan sementara) atau sesudah putusan.54
Lembaga pemasyarakatan di bawah tahun 90 penghuninya kebanyakan berusia 4060 tahun tapi setelah tahun 90 sampai sekarang lembaga pemasyarakatanpenjara penjara di
isi oleh anak anak remaja berusia 14-25 tahun.
Sungguh prihatin melihat perkembangan generasi indonesia dari tahun ke tahun bila
di evaluasi secara kasat mata dan data dari comissioner KPAI apong Herlina begitu banyak
dan semakin meningkat anak yang bermasalah dengan hukum menunjukan indikasi sistem
pendidikan di negara kita telah menghasilkan generasi yang gagal dan bahkan cenderung
bermasalah ketimbang yang unggul di tiap jenjang mulai dari pendidikan dasar sampai pada
pendidikan tinggi. Sekolah yang mengklaim sebagai lembaga pendidikan ternyata tidak
melakukan proses pendidikan melainkan hanya sebagai lembaga yang memaksa anak
untuk mengikuti kurikulum yang kaku ,guru lebih suka memberikan pelajaran daripada
mendidik dan melakukan pendekatanpsikologis untuk membantu memecahkan masalah
anak didiknya,dan tidak merasa bertanggung jawab dan melempar tanggung jawabnya
kepada orang tua dengan alasan waktu yang terbanyak dari anak adalah di rumah bukan di
sekolah.danhal yang memperburuk keadaan pemerintah yang bertanggungjawab di bidang
pendidikan hanyas mementingkan nilai ,angka angka pada ujian tertulis. Pemerintah seakan
akan menujtup mata terhadap menurunnya perilaku moral, rusaknya anak anak sekolah dan
meningkatnya kekerasan dikalangan remaja seperti tawuran,pemerkosaan bahkan sampai
pembunuhan.ukuran keberhasilan yang dipentingkan adalah indikator nilai nilai di atas
54
45
kertas ulangan dari pada indikator moral yang nantinya merupakan modal hidup anak yang
berkarakter di lingkungan,akibatnya kita dapat menjumpai ada siswa yang pintar di kelas
tapi moralnya sangat rendah ada juga yang yang nilainya rata rata mengalami depresi dan di
tambah standar moral yang rendah mengakibatkan berpikir pendek untuk bunuh diri karena
minder dengan nilai di sekolah yang rendah.
Melihat masalah yang
berdiam diri atau ikut ikut tidak peduli adakah yang salah dari legalitas umndang undang
yang sudah di aplikasikan
Depdiknas
adalah
perilaku,personalitas,sifat
bawaan
hati,
,tabiat,tempramen
jiwa
,watak
kepribadian,
sedangkan
budi
berkarakter
pekerti,
adalah
Win Usuluddin Bernadien, 2011, Membuka Gerbang Filsafat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal.
59
46
buruk)bagian yang lainnya dari filsafat etika adalah kesopanan, kesusilaan dan
agama.
4. Poetika (aestetika) misalnya kesenian dan lain sebagainya.
Sejarah filsafat juga mencatat setelah aliran klasik tentang etika pada zaman Modern
di saat muncul aliran rasionalisme empiris Immanuel kant mempertegas posisi pemikiran
tentang etika.Immanuel kant membagi filsafat yunani dalam tiga bagian yaitu :
1.
2.
3.
timur<Jerman dari anak seorang pembuat kelana kuda,dia tinggal di kota ini sepanjang
hidupnya hingga meninggal pada usia 80-an Keluarganya Penganut Kristen sangat
saleh,Keyakinan agamanya itu sekaligus merupakan latar belakang yang cukup penting bagi
pemikiran filosofisnya,terutama masalah etika.56
Menurut Kant tentang etika di dasari oleh realitas pure reason yang menghasilkan
sains tidak mampu memasuki wilayah neumena yaitu dunia thing in itself. Bagi Kant ,ratio
dan sains sangat terbatas dan hanya mengetahui penampakan objek.Ketika sains akan
memasuki wilayah Neumena ia akan tersesat dan hilang dalam antinomy. Demikian juga
ketika ratio mencoba memasuki wilayah neumena ia akan terjebak dan hilkang dalam
paralogisme,oleh karean itu Kant beryakinan bahwa untuk memasuki wilayah neumena
termasuk dalam Etika dan agama maka harus menggunakan Practical reason ( akal Praktis)
57
Adapun prinsip yang yang mendasar dfalam etika kant yakni Universalitas,humanitas dan
otonomi.Prinsip ini membawa konsekuaensi bahwa dalam segala tindakan manusia perlu di
tanamkann suatu sikap di mana sesama manusia tidak boleh menjadi alat. Manusia adalah
tujuan bagi dirinya sendiri sebab segala tindakan moral bersumber dari hati nurani manusia
dan di peruntukan guna mengangkat harkat kemanusiaan secara universal.letak kekuatan
dan kekhasan bangunan pemikiran etika Kant karena dalam Etika rasionalnya ia dapat
memadukan bangunan etika yang sangat kental dengan muatan religius meskipun di
rumuskan dengan pendekaan rasional karena dalam kelaziman suatu perkembangan
keilmuan ( terutama Etika) bila menggunakan pendekatan rasional dengan serta merta di
konotasikan
sebagai non religius.Teori etika yang sangat religius dapat dilihat dari
Zubaedi,dkk. 2010, Filsafat Barat dari logika baru Rene Descartes hingga Revolusi sains ala
Thumas Kuhn, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, hal. 67.
57
Ibid., hal. 68.
47
menaati hukum Moral yang di buatnya sendiri. Otonomi kehendak ini suci dan sakral atau
paling tidak merupakan kehendak yang baik,Otonomi Kehendai ini merupakan prinsip
Moralitas tertinggi dalam satu satunya prinsip hukum kewajiban Moral.secara etimologis
etika di ambil dalam bahasa Yunani ethos yang artinya adat dan kebiasaan namun dalam
perkembangannya etika di hubungkan dengan hal hal yang terkait erat dengan nilai.bahkan
secara jelas Magnis memberi pengertian Etika sebagai ilmu yag mengkaji nilai sedangkan
Sudikno memberi pengertian etika sebagai usaha manusia mencari Norma baik dan Norma
Buruk.
Bertens juga membedakan etika di dalam tiga pengertian :
1. Etika dalam arti nilai moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok
untuk mengatur tingkah laku yang dalam hal ini bisa di samakan dengan adat
istiadat, atau kebiasaan.
2. Etika diartikan sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang juga lebih di kenal
dengan kode etik.
3. Etika mempunyai arti sebagai ilmu yang baik dan buruk.Di dalam hal ini Etika baru
menjadi ilmu apabila kemungkinan kemungkinan etis yang begitu saja di terima
dalam suatu masyarakat menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan
metodis.58.
Bertens yang merupakan salah satu pemikir yang merespons produk pemikiran dan
memberi penilaian terhadap bangunan etika oleh kant sehingga dapat di simpulkan
dari ketiga point yang di ungkapkan oleh bertens sejalan dengan pemikiran Kant
tentang Imperatif Kategoris yang di simbolkan dengan perkataan Bertindaklah
secara Moralsehingga Moral adalah ruh dari Etika.Etika membutuhkan Moral
sebagai landasan atau pijakan di dalam melahiransikap tertentu.Moral dapat di
definisikan sebagai wejangan,khotbah ,patokan ,kumpulan peraturan dan ketetapan
baik lisan maupun tertulis tyentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak
agar dapat menjadi manusia yang baik. Etika dan Moral sangat berhubungan erat
seperti dua sisimata uang.Etika merupakan tinjauan pragtisdan kritis untuk
mengatasi permasalahan permasalahan tertentu dengan menggunakan moral sebagai
refrensinya.simbol perkataan yang di jelaskan oleh kant yaitu Bertindaklah secara
Moral ,tidak serta merta mengandung segala perintah melainkan sebagi perwujudan
adanya suatu keharusan Objektif untuk bertindak secara moral yang datang dari diri
sendiri ,yang tidak bersyarat mutlak dan merupakan realisasi dari (budi)praksis.59
58
Indriyanti Dewi Alexander, 2008, Etika dan hukum Kesehatan, Pustaka Book, Yogyakarta
Publisher, hal. 14
59
Lily Tjahyadi, 1991, Hukum Moral, Kanisius,Yogyakarta, hal. 75.
48
49
ujian kepada peserta didik,Nilai tolong menolong pada tataran etika dan moral.sangat jauh
lebih penting mengajari anak kita tentang moral, attitude, character building dari pada
hanya mementingkan nilai nilai tinggi. Karena kehidupan lebih mengharapkan orang orang
yang bermoral dan berkarakter untuk membangun karakter tatanan kehidupan yang jauh lebi
baik, orang orang yang mencintai sesama,menolong sesama dan menjaga kelestarian alam
lingkungan tempat mereka hidup. Dengan merubah paradigma indikator etika penilaian
yang sejalan dengan UU No 20 Tahun 2003 (Legalitas) maka tindakan akan sejalan dengan
sikap (moralitas). Hal ini sejalan dengan legalitas dan moralitas yang merupakan filsafat
praktis dari kant yang biasa di sebut dengan Metafisika kesusilaan.Pada Legalitas kant
memandang sebagai tindakan yang tidak atau belum bernilai moral ,karena tindakan
tersebut belum memenuhi norma moral. Norma moral (moralitas) adalah tindakan yang
bersifat maksim formalberdasarkan prinsip murni dan apriori. Tindakan yang memenuhi
asas moralitas adalah tindakan yang di lakukan berdasrkan atas kesadaran demi kewajiban
atau tidak memiliki pamrih apapun.
Kontrol moral terhadap Toxic World.
Kisah Toxic World adalah buku yang populer yang menceritakan tentang kata kata
yang menghancurkan masa depan anak,kisah dalam buku the toxic world adalah kisah yang
di ceritakan dalam audio book inspiration tentang inspirasi pendidikan yang dikisahkan
kembali oleh pakar pendidikan Indonesia Ayah Edy ,parenting consultant praktisi multiple
intelligence dan holistik learning.Toxic world adalah hasil penelitian yang di lakukan interview
atau wawancara dengan anak anak yang masuk dalam penjara dan ternyata mempunyai kisah
yang pahit di balik kata kata yang beracun yang mereka dapat di masa lampau sebelum masuk
penjara. Kata kata beracun tersebut menusuk hati mereka yang paling dalam dan tanpa di sadari
kalimat kalimat negatif tersebut bisa jadi dibawa sepanjang masa karena kata kata atau kalimat
tersebut di ucapkan oleh orang orang yang seharusnya mendidik mereka ( para pendidik formal
dan informal). Kata tersebut disimpan dalam hati menjadi sugestii dan lama kelamaan
menjadi keyakinan diri karena berkaitan dengan kemampuan dan tidak kemampuan dalam
dirinya.terkadang kata kata negatif lebih kejam dari pukulan secara fisik karena melukai hati
dan terbawa dalam bathin dan menjadi hal pembenaran diri.
Keyakinan diri ini bisa didapat dalam kehidupan sehari hari yang setiap hari di dengar
dan lama kelamaan menjadi keyakinan kalau kata tersebut kata negatif maka lama kelamaan
anak tersebut akan bertidak negatif. Dari Hasil penelitian The toxic world adalah kata kata
sangat penting membuat anak anak tersebut membentuk keyakinan atau falsafah hidupnya
50
menjadi negatif sehinnga padaakhirnya mereka menegatifkan perilaku mereka sampai pada hasil
akhirnya mereka menikmati kehidupan di dalam penjara. Contoh kata kata atau kalimat beracun
yang mereka dapatkan adalah : dasar anak pembawa sial, lihat saja hidupmu akan berakhir dalam
penjara, anak terkutuk!, aku menyesal melahirkanmu,dasar anak bodoh, anak setan, dll. Betapa
dashatnya kata atau kalimat oleh karena hati-hatilah dengan kata dan kalimat yang negatif karena
sangat berpengaruh pada kehidupan seseorang terlebih kepada anak didik . Tetapi hal yang
positif adalah kata atau kalimat tersebut masih bisa dirubah dengan kegiatan dalam sehari
hari di ganti dengan kalimat yang positif dan memotivasi anak didik kita sehingga langkah
awal adalah merubah suasana hati dan aura positif dalam mendidik anak anak. sebenarnya
jauh sebelum filsafat filsafat barat masuk didalam kurikulum maupun traing traing kepada
para pendidik bangsa kita sudah mempunyai filsafat yang membangun perilaku para
pendidik kita yaitu apa yang sudah di ajarkan oleh Ki Hajar Dewantara yang terkenal dalam
semboyan semboyan sebagai pilar dasar perilaku para pendidik.
Semboyan Tut wuri handayani, atau aslinya: ing ngarsa sung tulada, ing madya
mangun karsa, tut wuri handayani. Arti dari semboyan ini adalah: tut wuri handayani (dari
belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun
karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing
ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan
yang baik). Sehingga Tercipta kalimat : Di Depan, Seorang Pendidik harus memberi
Teladan atau Contoh Tindakan Yang Baik, Di tengah atau di antara Murid, Guru harus
menciptakan prakarsa dan ide, Dari belakang Seorang Guru harus Memberikan dorongan
dan Arahan. Sehingga dalam mendidik perilaku dalam berkata kata atau kalimat dalam
aktifitas mendidik harus di dasari dengan bahasa yang positif yang membawa aura positif
terhadap kegiatan dan kemajuan peserta didik. Ajaran kepemimpinan Ki Hadjar
Dewantara yang sangat poluler di kalangan masyarakat adalah Ing Ngarso Sun Tulodo,
Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani. Yang pada intinya bahwa seorang
pemimpin harus memiliki ketiga sifat tersebut agar dapat menjadi panutan bagi orang lain.
Ing Ngarso Sun Tulodo artinya Ing ngarso itu didepan / dimuka, Sun berasal dari kata
Ingsun yang artinya saya, Tulodo berarti tauladan. Jadi makna Ing Ngarso Sun Tulodo
adalah menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi orang orang disekitarnya. Sehingga yang harus dipegang teguh oleh seseorang adalah kata suri
tauladan. Ing Madyo Mbangun Karso, Ing Madyo artinya di tengah-tengah, Mbangun berarti
membangkitan atau menggugah dan Karso diartikan sebagai bentuk kemauan atau niat. Jadi
51
makna dari kata itu adalah seseorang ditengah kesibukannya harus juga mampu
membangkitkan atau menggugah semangat. Karena itu seseorang juga harus mampu
memberikan inovasi-inovasi dilingkungannya dengan menciptakan suasana yang lebih
kodusif untuk keamanan dan kenyamanan.
Demikian pula dengan kata Tut Wuri Handayani, Tut Wuri artinya mengikuti dari
belakang dan handayani berati memberikan dorongan moral atau dorongan semangat.
Sehingga artinya Tut Wuri Handayani ialah seseorang harus memberikan dorongan moral
dan semangat kerja dari belakang. Dorongan moral ini sangat dibutuhkan oleh orang - orang
disekitar kita menumbuhkan motivasi dan semangat. Jadi secara tersirat Ing Ngarso Sun
Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani berarti figur seseorang yang baik
adalah disamping menjadi suri tauladan atau panutan, tetapi juga harus mampu menggugah
semangat dan memberikan dorongan moral dari belakang agar orang - orang disekitarnya
dapat merasa situasi yang baik dan bersahabat. Sehingga kita dapat menjadi manusia yang
bermanfaat di masyarakat.
Penutup
Tugas dalam mendidik adalah tugas yang membawa atau mengiringi anak didik
menuju jalan cita cita mereka sehingga sebagai Pendidik tidak saja pintar dalam mengajar /
untuk hanya mencerdaskan peserta didik tapi lebih dari itu seorang pendidik harus
mempunyai teladan sikap hati dengan di dasari benar benar legalitas dan moralitas yang di
legalkan pada pasal 3 UU No 20 tahun 2003 tetapi juga mulai kembali ke fitrah pada
esensi pemikiran filsafat yaitu suatu kebenaran itu harus di cari dan di absahkan
kebenarannya melalui sebuah perjalanan yang membawa kebenaran meskipun dalam
pencarian tersebut kita harus berbalik kembali ke jalan yang pernah di lalui dan merangkul
erat erat semboyan semboyan yang sudah di ajarkan oleh Ki hajar Dewantara sebagai
konsep mendidik berperilaku
membawa dampak positif ke anak anak Indonesia.saatnya kini para pendidik formal dan
informal menyadari bahwa masa depan anak anak indonesia melalui pendidikan yang
bernafaskan Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA
52
BUKU
Indriyanti Dewi Alexander, 2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher,
Yogyakarta.
Lily Tjahyadi, Hukum Moral, Kanisius Yogyakarta.
Win usuluddin bernadien,Membuka Gerbang Filsafat,Yogyakarta: pustaka pelajar,agustus
2011
Zubaedi,dkk., 2010, Filsafat Barat dari logika baru Rene Descartes hingga Revolusi sains
ala Thumas Kuhn, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta.
SURAT KABAR
Surat kabar,suara merdeka.16 maret 2011
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem pendidikan Nasional
53
Abstract:
In the court does not little children who sentenced imprisonment. Increasing number of juvenile
delinquent processed in court showed a loss of sense of priority and sense of justice of the law
enforcement officers. Sanction in the form of "treatment" is more goal oriented sentencing for specific
prevention and re-education, not solely for the purpose of retribution so in accordance with the
philosophy contained in the theory of sentencing reform, which leads to objective improvements to the
perpetrators.
Key wordss: Sanction, Juvenile Delinquent, Treatment.
Pendahuluan
Kasus-kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak pidana atau anak
delinquent merupakan fenomena yang berbeda dengan pelaku tindak pidana dewasa. Anak
merupakan individu yang masih labil emosinya dalam masa perkembangan jasmani dan
jiwa, dalam tahap pertumbuhan menuju kedewasaan dan dalam masa pencarian jati diri.60
Anak sebagai pelaku tindak pidana yang dijatuhi pidana untuk dibina dalam Lembaga
Pemasyarakatan (LAPAS) Anak, perlu mendapat penanganan khusus dalam menjalani masa
pidananya.
Masalah perlindungan hukum dan hak-hak bagi anak merupakan salah satu sisi
pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Berkaitan dengan hak anak, negaranegara di dunia memberikan perhatian serius terhadap jaminan hak-hak anak termasuk hak
anak yang berhadapan dengan hukum serta hak anak dalam masa pidana. Pada tanggal 20
November 1989 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengesahkan Konvensi Hak Anak
(Child Rights Convention). Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Keputusan
Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990.61 Ratifikasi terhadap instrumen hukum
60
I Nyoman Ngurah Suwarnatha, 2009, Perlindungan Hak Asasi Anak Pidana dalam
Menjalani Masa Pidana, Tesis, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hal. 1.
61
Darwan Prinst, 2003, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 124.
54
internasional tersebut secara otomatis menimbulkan kewajiban bagi negara untuk menjamin
pelaksanaan perlindungan terhadap hak-hak anak.
Materi hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak (KHA) tersebut
dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak, yaitu: hak terhadap
kelangsungan hidup (survival rights), hak terhadap perlindungan (protection rights), hak
untuk tumbuh kembang (development rights), hak untuk berpartisipasi (participation
rights).62
Bagi anak delinquent (anak yang berhadapan dengan hukum) berhak untuk
mendapatkan perlindungan khusus dari pemerintah dan lembaga negara yang memiliki
kewajiban dan tanggung jawab untuk itu.63 Bentuk perlindungan khusus bagi anak
delinquent (anak yang berhadapan dengan hukum) dilakukan melalui perlakuan secara
manusiawi sesuai martabat dan hak anak, petugas pendamping khusus, penyedian sarana
dan prasarana khusus, penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi
anak, pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak, jaminan
untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga dan perlindungan dari
pemberitaan identitas melalui media massa untuk menghindari labelisasi.64
Persoalan anak-anak Indonesia yang tergolong bermasalah (delinquent) masih
sangat problematis. Persoalan riil yang dihadapi terutama menyangkut aktualisasi dan
implementasi prinsip umum bahwa state shall ensure each child enjoy full rights without
discrimination or distinction of any kind (negara menjamin setiap anak menikmati hakhaknya secara penuh tanpa diskriminsasi dan perbedaan dalam berbagai bentuk) di samping
62
Mohammad Joni, Zulchaina Z. Tanamas, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam
Perspektif Konvensi Hak Anak, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 35.
63
Pasal 1 angka 15 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
menyatakan Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi
darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak
tereksploitasi, secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi
korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak
korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik/atau mental, anak
yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. dan Pasal 59 Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pemerintah dan lembaga negara lainnya
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam
situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi,
anak tereksploitasi, secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi
korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak
korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik/atau mental, anak
yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
64
Ketentuan Pasal 64 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
55
prinsip bahwa the childs best interest shall be a primary consideration in all actions
concerning children (kepentingan terbaik anak-anak harus dijadikan pertimbangan utama
dalam segala aksi yang berhubungan dengan anak-anak).
Kasus pidana yang melibatkan anak-anak sebagai pelaku setiap tahunnya mengalami
peningkatan. Menurut data pada tahun 2010/2011, terdapat sekitar 7.000 lebih anak yang
berhadapan dengan hukum, diantaranya 6.726 anak sudah divonis dan selebihnya dalam
proses. Sementara pada tahun 2008/2009, ada sekitar 4 ribu anak yang berhadapan dengan
hukum. Tidak sedikit dari mereka yang sudah menjalani penahanan di LAPAS. Hal ini
seharusnya menjadi perhatian pemerintah dalam rangka penanganan dan perlindungan anak
yang berhadapan dengan hukum.65 Pada proses pengadilan tidak sedikit anak yang dijatuhi
vonis pidana penjara. Semakin banyaknya anak yang diproses di pengadilan menunjukkan
hilangnya sense of priority dan sense of justice dari para aparat penegak hukum. Meskipun
anak bermasalah dengan hukum, namun prinsip-prinsip anti diskriminasi dan anti distingsi,
mulai dari proses peradilan sampai pemberian tindakan atau treatment (penanganan) tidak
boleh bertentangan atau mengeliminasi hak-hak anak.
Aparat penegak hukum dalam menangani anak delinquent (anak yang bekonflik
dengan hukum) hendaknya lebih mengedepankan prinsip restoratif justice, yaitu sebuah
konsep restorasi keadilan. Pemidanaan terhadap anak bukan lagi sekedar memberikan efek
jera, namun bagaimana mengembalikan sebuah persoalan pada keadaan yang semestinya
terjadi.
65
Suara
Merdeka,
2012, Jazuli: Perlindungan Anak Jangan Teori,
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/01/16/106930/Jazuli-Perlindungan-AnakJangan-Sekadar-Teori, diakses pada 17 Januari 2012.
66
Gatot Supramono, 2007, Hukum Acara Pengadilan Anak, Penerbit Djambatan, Jakarta,
hal. 1.
56
67
Emeliana Krisnawati, 2005, Aspek Hukum Perlindungan Anak, CV. Utomo, Bandung, hal.
7.
68
Pasal 330 KUHPerdata Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap
dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin
69
Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah
kawin
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Anak adalah orang
yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin
Pasal 1 ayat (5) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia anak adalah
setiap manusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih
dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan
Pasal 1 KHA yang dimaksud dalam Konvensi sekarang ini, seorang anak adalah setiap manusia
yang berusia di bawah 18 tahun kecuali, berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak-anak,
kedewasaan dicapai lebih cepat.
57
ondervoordij). Bertitik tolak pada aspek tersebut ternyata dalam Kitab Undang Undang
Hukum Pidana Indonesia tidak ada ketentuan batas usia anak.
Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam ilmu
pengetahuan (the body of knowledge), tetapi dapat ditelaah dari sisi pandang sentralistis
kehidupan. Seperti agama, hukum dan sosiologi yang menjadikan pengertian anak semakin
rasional dan aktual dalam lingkungan sosial.70
Pengertian anak dalam lapangan hukum pidana diletakkan dalam pengertian anak
yang bermakna penafsiran hukum secara negatif. Dalam arti seorang anak yang berstatus
sebagai subyek hukum yang seharusnya bertanggung jawab terhadap tindak pidana
(strafbaar feit) yang dilakukan oleh anak itu sendiri, ternyata karena kedudukannya sebagai
seorang anak yang berada dalam usia belum dewasa diletakkan sebagai seseorang yang
mempunyai hak-hak khusus dan perlu mendapat perlindungan khusus menurut ketentuan
hukum yang berlaku. 71
Pengertian anak dalam hukum pidana lebih mengutamakan pada pemahaman
terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi karena anak berdasarkan kodratnya
mempunyai akal dan fisik yang masih lemah dan di dalam sistem hukum dipandang sebagai
subyek hukum yang dicangkokkan dari bentuk pertanggung jawaban, sebagaimana layaknya
seorang subyek hukum yang normal.
Batas usia anak adalah pengelompokan usia maksimun anak yang dilihat dari
kemampuan anak di dalam status hukum, sehingga status usia anak tersebut beralih dari usia
anak-anak menjadi usia dewasa. Usia seorang anak yang beralih status menjadi usia dewasa,
kedudukannya dilingkungan hukum juga statusnya beralih menjadi subyek hukum yang
mampu bertanggung jawab sendiri atas segala perbuatan hukum yang dilakukannya.
Dengan melihat ketentuan yang berlainan tersebut, pengertian anak berlaku bagi
seorang anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah mencapai umur 8
(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah
kawin.72
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010,
menyatakan batas usia pertanggungjawaban seorang anak minimal berusia 12 tahun sebagai
70
Maulana Hassan Wadong, 2000, Pengantar Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak,
Grasindo, Jakarta, hal. 1.
71
Ibid., hal. 20.
72
Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak.
58
ambang batas usia pertanggungjawab anak. Dengan demikian, seorang anak yang
berhadapan dengan hukum, dapat diproses pada tahap penuntutan apabila usia seorang anak
telah mencapai usia 12 tahun.
Penetapan usia minimal 12 tahun sebagai ambang batas usia pertanggungjawaban
hukum bagi anak telah diterima dalam praktik sebagian negara-negara sebagaimana juga
direkomendasikan oleh Komite Hak Anak PBB dalam General Comment, 10 Februari 2007.
Dengan batasan usia 12 tahun maka telah sesuai dengan ketentuan tentang pidana yang dapat
dijatuhkan kepada anak dalam Pasal 26 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Pengadilan Anak.
Penetapan batas usia tersebut juga dengan mempertimbangkan bahwa anak secara relatif sudah
memiliki kecerdasan emosional, mental, dan intelektual yang stabil serta sesuai dengan
psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia, sehingga dapat bertanggung jawab secara hukum
karena telah mengetahui hak dan kewajibannya. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi
berpendapat, batas usia minimal 12 tahun lebih menjamin hak anak untuk tumbuh berkembang
dan mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.73
Kenakalan anak diambil dari istilah asing Juvenile Delinquency. Sebagaimana
diketahui terdapat berbagai macam definisi yang dikemukakan oleh para ilmuwan tentang
Juvenile Delinquency ini, seperti diuraikan di bawah ini:
1. Menurut Kartini Kartono, Juvenile Delinquency adalah: perilaku jahat/dursila, atau
kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial
pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial
sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang
menyimpang.74
2. Menurut Romli Atmasasmita, Juvenile Delinquency, yaitu setiap perbuatan/tingkah laku
seseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran
terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan
pribadi si anak yang bersangkutan.75
Berdasarkan Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak yang dimaksud Anak Nakal adalah:
a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik
menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain
yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
73
Mahkamah
Konstitusi,____,12
Tahun,
Batas
Usia
Pidana
Anak,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Berita.Berita&id=5049,
diakses
pada 1 Maret 2011.
74
Kartini Kartono, 1992, Patologi Sosial 2 Kenakalan Anak Pidana, Rajawali Pers, Jakarta,
hal. 7.
75
Wagiati Soetodjo, 2006, Hukum Pidana Anak, PT Refika Aditama, Bandung, hal. 11.
59
Anak yang melakukan tindak pidana dan berdasarkan putusan pengadilan menjalani
pidana penjara di LAPAS anak disebut sebagai anak pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 1
angka 8 (a) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, anak pidana
yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS anak paling
lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
Pidana Penjara Terhadap Anak
Istilah hukuman berasal dari kata straf,76 merupakan istilah yang sering digunakan
sebagai sinonim dari istilah pidana. Istilah hukuman merupakan istilah yang umum,
memiliki arti luas dan dapat berkonotasi pada cakupan yang luas.
Pidana merupakan istilah yang lebih khusus, memiliki batasan pengertian atau
makna. Menurut Sudarto:77 pidana adalah nestapa yang diberikan oleh negara kepada
seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang (hukum
pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa. Pemberian nestapa sengaja diberikan
kepada pelanggar ketentuan Undang-undang dengan maksud sebagai efek jera.
Menurut Andi Hamzah, istilah pidana harus dikatikan dengan ketentuan yang
tercantum di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP atau yang disebut asas nullum delictum nulla
poena sine praevia lege poenalenullum delictum nulla poena sine praevia lege poenale
yang diperkenalkan Anselm von Feuerbach, yang berbunyi sebagai berikut:78 tiada suatu
perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan-ketentuan perundangundangan pidana yang telah ada sebelumnya.
Menurut Roeslan Saleh sebagaimana dikutip oleh Niniek Suparni menyatakan
bahwa: pidana adalah reaksi-reaksi atas delik, yang berwujud suatu nestapa yang sengaja
ditampakan negara kepada pembuat delik.79 Akan tetapi tidak semua Sarjana menyetujui
pendapat bahwa hakikat pidana adalah pemberian nestapa, hal ini antara lain diungkapkan
oleh Hulsman sebagaimana dikutip oleh Muladi bahwa: Pidana adalah menyerukan untuk
tertib; pidana pada hakikatnya mempunyai dua tujuan utama yakni untuk mempengaruhi
tingkah laku dan untuk menyelesaikan konflik.80
76
hal. 399.
77
Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal. 109-110.
Andi Hamzah, 1993, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita,
Jakarta, hal. 1-2.
79
Niniek Suparni, 2007, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan,
Sinar Grafika, Jakarta, hal. 12.
80
Ibid., hal.12.
78
60
81
61
Pidana penjara merupakan salah satu jenis pidana pokok yang berwujud
pengurangan atau perampasan kemerdekaan seseorang yang dapat memberikan cap jahat
dan dapat menurunkan derajat serta harga diri seseorang apabila dijatuhi pidana penjara.
Hukum pidana sebagai pengayoman pada mulanya mengandung arah bagi tujuan
pidana penjara yang bersifat mendidik, membimbing dan memperlakukan narapidana sesuai
dengan harkat kemanusiaan yang dilaksanakan dengan sistem pemasyarakatan.
Menurut Bambang Poernomo, sistem pemasyarakatan bukan mengakibatkan jenis
pidana penjara diganti menjadi pidana pemasyarakatan, akan tetapi harus menjadi kebijakan
pelaksanaan pidana (penal policy) sebagai berikut:
1. Sistem pemasyarakatan mengandung kebijakan pidana dengan upaya baru
pelaksanaan pidana penjara yang institusional (Institutional Treatment of Offender)
yang berupa aspek pidana yang dirasakan tidak enak (Custodial Treatment of
Offender) dan aspek tindakan pembinaan di dalam dan/atau bimbingan di luar
lembaga (non-custodial Treatment of Offender) agar melalui langkah-langkah yang
selektif dapat menuju kepada deinstusinalisasi atas dasar kemanusiaan;
2. Sistem pemasyarakatan mengandung perlakuan terhadap narapidana (the Treatment
of Prisoners) agar semakin terintegrasi dalam masyarakat dan meperoleh bimbingan
yang terarah berlandaskan pada pedoman pelaksanaan pembinaan (manual) yang
disesuaikan dengan Standard Minimum Rules.85
Sistem pemasyarakatan yang dianut di Indonesia diatur dalam Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, ini menandai dimulainya era baru dalam
pelaksanaan pembinaan bagi narapidana dan anak didik yang selama ini menggunakan
Reglemen Penjara sebagai dasar dari pelaksanaan pembinaan narapidana dan anak didik
pemasyarakatan.
Bagi anak delinquent (anak yang berkonflik dengan hukum), jenis sanksi pidana
penjara atau kurungan dilakukan sebagai upaya terakhir dan untuk masa paling singkat yang
dimungkinkan.
Dengan mempertimbangkan anak berdasarkan kodratnya mempunyai akal dan fisik
yang masih lemah dan di dalam sistem hukum dipandang sebagai subyek hukum yang
dicangkokkan dari bentuk pertanggung jawaban, sebagaimana layaknya seorang subyek
hukum yang normal, maka harus tetap mengupayakan agar pemidanaan terhadap anak
delinquent, khususnya penjatuhan pidana penjara merupakan upaya akhir bilamana upaya
lain tidak berhasil. Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak delinquent pada
85
Pidana
Penjara
Dengan
Sistem
62
dasarnya tetap harus mengacu pada prisip-prinsip yang diatur dalam Beijing Rules dan juga
Konvensi Hak Anak, khususnya yang berkaitan dengan:
a. Kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child) sebagai dasar
pertimbangan utama yang digunakan pada saat akan menjatuhkan sanksi pidana
terhadap anak delinquent;
b. Perampasan kemerdekaan (pidana penjara) digunakan sebagai pilihan terakhir dan
untuk jangka waktu sesingkat yang diperlukan.
Aparat penegak hukum, khususnya Hakim Anak untuk meminimalisasi penjatuhan
sanksi pidana penjara bagi anak delinquent, karena pidana penjara mempunyai dampak
negatif, utamanya bagi anak. Selain memiliki dampak negatif bagi anak, sesungguhnya
pidana penjara juga memiliki beberapa keterbatasan dalam upayanya menanggulangi
kejahatan.
Maatregelen atau Treatment Sebagai Alternatif Sanksi Pidana Penjara Terhadap Anak
Berkaitan dengan penjatuhan pidana, Konggres PBB pada tahun 1950 membentuk
Komisi Khusus di bidang hukum dan peradilan pidana, yang mengubah orientasi kebijakan
dalam penjatuhan pidana dari the punishment of offenders menjadi the treatment of
offenders,86 yang salah satu pertimbangannya adalah untuk menghindari pengaruh buruk
dari LAPAS Anak terhadap anak delinquent. Pergaulan antar sesama anak pidana di dalam
LAPAS Anak dapat membuat anak delinquent justru akan mejadi lebih jahat setelah keluar
dari LAPAS Anak. Oleh sebab itu, Bernes dan Teeters berpendapat bahwa LAPAS Anak
telah tumbuh menjadi tempat pencemaran (a place of contamination)87. Dengan kata lain
LAPAS Anak tidak dapat menjamin bahwa anak delinquent akan menjadi sadar dengan
kesalahannya, bertobat dan tidak akan mengulangi perbuatan jahatnya, seperti yang
dikemukakan oleh W.A. Bonger bahwa mencegah kejahatan adalah lebih baik (dalam
artian : lebih mudah, lebih mencapai tujuannya, dan lebih murah) daripada mencoba
mendidik penjahat menjadi orang baik kembali.88
Dunia internasional melalui PBB dalam Koggres PBB kelima di Genewa pada tahun
1975 mengenai Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, juga menghendaki
dibatasinya kemungkinan penjatuhan pidana penjara jangka pendek, karena di samping akan
86
63
89
Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung. hal. 125.
90
Muladi dan Barda Nawawi Arief, op. cit., hal. 78.
91
Ibid., hal. 80.
92
Lihat Ketentuan Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak.
64
dilandasi dengan pertimbangan apabila keluarga sudah tidak sanggup lagi untuk mendidik dan
membina yang bersangkutan ke arah yang lebih baik, sehingga yang bersangkutan tidak
melakukan perbuatan pidana lagi.93
Menurut Herbert L. Packer, tujuan utama dari treatment (tindakan) adalah untuk
memberikan keuntungan atau untuk memperbaiki orang yang telah melakukan tindak pidana.
Fokusnya bukan pada perbuatannya yang telah lalu atau yang akan datang, tetapi pada tujuan
untuk memberikan pertolongan. Jadi dasar pembenaran dari tindakan adalah pada anggapan
bahwa orang yang bersangkutan akan atau mungkin menjadi lebih baik. Tujuan utamanya
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan. Sedangkan dasar pembenaran punishment
(penjatuhan sanksi pidana) adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan yang telah dilakukan
dan untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan. Jadi fokusnya adalah pada perbuatan
salah atau tindak pidana yang telah dilakukan.94
Sanksi yang berupa tindakan lebih berorientasi pada tujuan pemidanaan untuk
prevensi khusus dan pendidikan ulang (reeducation), bukan semata-mata untuk tujuan
retribusi (pembalasan seimbang) sehingga sesuai dengan filosofi pemidanaan yang terdapat
pada teori reformasi, yaitu mengarah pada tujuan perbaikan kepada pelaku.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menghendaki kepentingan yang terbaik
bagi anak, atau dengan kata lain mengarah pada keberpihakan terhadap masa depan anak
harus menjadi pertimbangan utama bagi aparat penegak hukum khususnya hakim dalam
menentukan sanksi yang akan dijatuhkan kepada anak delinquent. Oleh sebab itu, filsafat
pemidanaan yang terdapat pada teori retributif yang mengutamakan unsur pembalasan tidak
tepat diterapkan pada kasus, dimana seorang anak menjadi pelakunya.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Peradilan Anak yang tengah dibahas di
Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat diharapkan mengedepankan perlindungan terhadap
anak yang berhadapan dengan hukum ketimbang memberi sanksi pidana. Seorang anak
delinquent (anak yang berhadapan dengan hukum), harus dilihat sebagai korban dari berbagai
faktor, seperti kemiskinan, kurangnya perhatian keluarga dan masyarakat, keterbatasan
pengetahuan orangtua atas pendidikan anak, serta pengaruh buruk lingkungan.95
93
65
Penjatuhan sanksi yang tepat terhadap anak delinquent adalah harus berupa tindakan,
atau hakim tidak perlu menjatuhkan sanksi pidana (penjara, kurungan) dengan memasukkan
seorang anak ke dalam LAPAS Anak karena beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1. Fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga usaha rehabilitasi dan
reintegrasi sosial,96 agar anak delinquent menyadari kesalahannya, tidak lagi
berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat
yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya. Dengan kata lain,
pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan anak delinquent agar menyesali
perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat
kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial, dan keagamaan, sehingga
tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai.97
2. Untuk menghindari pengaruh negatif dari LAPAS Anak yang dikhawatirkan akan
selalu terekam dalam perkembangan jiwa anak, dan untuk mengantisipasi adanya
kemungkinan yang bersangkutan untuk menjadi recidivis atau bahkan menjadi
penjahat kronis.
3. Untuk menghindari labelisasi dari masyarakat, mengingat harapan hidupnya yang
relatif masih panjang jika dibandingkan dengan orang dewasa, serta demi menatap
masa depannya yang lebih baik, karena anak merupakan generasi penerus bangsa.
Penutup
Pemidanaan sebagai suatu proses penjatuhan pidana terhadap seorang anak
seharusnya dilakukan sebijaksana mungkin yaitu perlu mempertimbangkan pidana yang
sesuai dengan kondisi anak, sebab pidana tidak berakibat sama pada setiap anak. Sanksi
yang berupa tindakan lebih berorientasi pada tujuan pemidanaan untuk prevensi khusus
dan pendidikan ulang (reeducation), bukan semata-mata untuk tujuan retribusi (pembalasan
seimbang) sehingga sesuai dengan filosofi pemidanaan yang terdapat pada teori reformasi,
yaitu mengarah pada tujuan perbaikan kepada pelaku. Penjatuhan sanksi yang tepat terhadap
anak delinquent adalah harus berupa tindakan, atau hakim tidak perlu menjatuhkan sanksi
pidana (penjara, kurungan) dengan memasukkan seorang anak ke dalam LAPAS Anak.
Hakim anak yang menangani kasus anak delinquent hendaknya menjatuhkan sanksi
tindakan atau treatment, sehingga lebih mengutamakan pada aspek kemanfaatan, tidak
hanya mengacu kepada bunyi pasal dalam undang-undangnya, serta berpikir secara
interdisipliner. Dalam hal pengadilan menetapkan sanksi yang berupa tindakan
dikembalikan kepada orang tuanya, maka orang tua atau keluarga yang diberi
kepercayaan oleh pengadilan tersebut harus tetap dipantau dan diawasi oleh pihak Jaksa
Penuntut Umum selaku eksekutor atau Hakim Pengawas dan Pengamat yang berwenang.
96
66
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Arief, Barda Nawawi, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Bonger, W.A., 1995, Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan, Jakarta.
Hamzah, Andi, 1993, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta.
Joni, Mohammad, Tanamas, Zulchaina Z., 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam
Perspektif Konvensi Hak Anak, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Kartono, Kartini, 1992, Patologi Sosial 2 Kenakalan Anak Pidana, Rajawali Pers, Jakarta.
Krisnawati, Emeliana, 2005, Aspek Hukum Perlindungan Anak, CV. Utomo, Bandung.
Lamintang, P.A.F., 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico Bandung.
Muladi dan Arief, Barda Nawawi, 2005, Teori-teori Dan Kebijakan Pidana, P.T. Alumni,
Bandung.
Poernomo, Bambang, (t.th.), Hand-out Sistem Peradilan Pidana, Program Pascasarjana
UGM, Yogyakarta.
Poernomo, Bambang, 1986, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan,
Liberty, Yogyakarta.
Prinst, Darwan, 2003, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Remmelink, Jan, 2003, Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Paparannya Dalam Undang-undang
Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Soetodjo, Wagiati, 2006, Hukum Pidana Anak, PT Refika Aditama, Bandung.
Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Suparni, Niniek, 2007, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan,
Sinar Grafika, Jakarta.
Supramono, Gatot, 2007, Hukum Acara Pengadilan Anak, Penerbit Djambatan, Jakarta.
Suwarnatha, I Nyoman Ngurah, 2009, Perlindungan Hak Asasi Anak Pidana dalam
Menjalani Masa Pidana, Thesis, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Termorshuizen, Marjanne, 1999, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Wadong, Maulana Hassan, 2000, Pengantar Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak,
Grasindo, Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Konvensi Hak Anak
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
67
Merdeka,
2012
Jazuli:
Perlindungan
Anak
Jangan
Teori,
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/01/16/106930/JazuliPerlindungan-Anak-Jangan-Sekadar-Teori, diakses Tanggal 17 Januari 2012.
68
69
98
Pasal 43 ayat 1 menyebutkan: Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi
sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
70
Dan pasal 2 menyebutkan : Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibentuk
atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan
Keputusan Presiden. Kemudian pasal 3: Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) berada di lingkungan Peradilan Umum.
71
100
72
merupakan
lembaga
yang
bertugas untuk
negoisasi, mediasi, konsiliasi maupun yang tidak berdasarkan pada konsensus, seperti arbitrasi.
Sedangkan yang lain hanya berdasarkan konsensus, arbitrasi tidaktermasuk sebagai ADR.
104
Takdir Rakhmadi, 1997, Mempertimbangkan ADR: Kajian Alternatif Penyelesaian
Sengketa Di Luar Peradilan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, hal. 25.
105
Pasal 1 angka 10, Pasal 2, Pasal 6 ayat (1-2) UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa, Lembaran Negara LN 138 tahun 1999. Lihat juga Peraturan
Mahkamah Agung No. 2 tahun 2003 tentang Mediasi diluar Pengadilan.
106
Hal ini dapat juga dirujuk dalam ketentuan Pasal 3 UU No. 27 tahun 2004 tentang KKR
yang merumuskan Mekanisme KKR merupakan salah satu mekanisme untuk menyelesaikan
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa lalu diluar pengadilan,
guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa, dan mewujudkan rekonsiliasi dan persatuan
nasional dalam jiwa saling pengertian
107
Ifdhal Kasim, Apakah Komisi Kebenaran Itu?, Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat, Jurnal Dignitas Volume IV, hal. 21.
73
Upaya maksimal yang dapat dilakukan oleh lembaga ini adalah mengidentifikasi
pelaku dan mengungkap nama mereka kepada Publik (naming name). Namun ini pun
biasanya hanya terbatas pada pelaku yang paling bertanggung-jawab atas kasus tersebut (the
most responsible perpetrators). Bahkan kepada pelaku khususnya yang kooperatif dengan
Komisi ini -- akan mendapat pengampunan (amnesty).108 Sifat komplementari dari Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 47 ayat (1) UU No.
26 tahun 2000 dan penjelasan umumnya, yang menyatakan :
Pelanggaran hak sasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya
Undangundang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang sudah diberi putusan oleh
pengadilan hak asasi manusia ad hoc maka Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak
berwenang memutuskan. Dengan demikian, putusan Komisi kebenaran dan
Rekonsiliasi atau putusan pengadilan hak asasi manusia ad hoc bersifat final dan
mengikat.
Dari ketentuan di atas, paling tidak dua kesimpulan yang dapat diambil, yaitu 1.
Komisi bekerja terlebih dahulu untuk mengungkapkan kebenaran dan melakukan prosesproses penyelesaian, apabila perkaranya bisa diselesaikan maka perkara tersebut berhenti
sampai di Komisi saja; 2. Tetapi apabila perkaranya tidak dapat diselesaikan, maka
perkaranya kemudian diajukan lagi ke Pengadilan HAM ad-hoc. Pada saat itulah Pengadilan
HAM ad-hoc mulai bekerja. Berkaitan dengan karakteristik, setidaknya terdapat empat
elemen umum yang dimiliki berbagai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di dunia sejauh
ini. Pertama, yang menjadi fokus penyelidikan KKR adalah kejahatan masa lalu. Kedua,
tujuannya untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai kejahatan HAM dan
pelanggaran hukum internasional pada kurun waktu tertentu, serta tidak terfokus pada satu
kasus saja. Ketiga, masa bakti terbatas, biasanya berakhir setelah perampungan laporan.
Keempat, memiliki kewenangan mengakses informasi ke lembaga apapun, dan mengajukan
perlindungan hukum terhadap saksi.
Kemudian yang menjadi penting kenapa KKR menjadi solusi yang efektif karena
urgensi dari KKR adalah membangun pondasi kesatuan bangsa menuju demokrasi, untuk
membangun kembali kepercayaan public terhadap prinsip-prinsip hokum dan keadilan
108
A.H Semendawai, 2005, Working Paper Relasi Antara KKR dan Badan Peradilan di
Indonesia: Mencari Format Hubungan Ideal untuk Pemberian Keadilan Bagi Korban, Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, hal. 13.
74
75
JURNAL
Ifdhal Kasim, Apakah Komisi Kebenaran Itu?, Jurnal Dignitas Volume IV, Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat, 2004.
Jose Zalaquett, Menangani Pelanggaran HAM di Masa Lalu : Prinsip-prinsip penyelesaian
dan Kendala Politik, Jurnal Dignitas Volume I, Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM).
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
76
Abstract:
Article 28 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia guarantees freedom of association
and to assemble, to express written and oral opinions, etc., shall be regulated by law. Theoretically,
the concept of rule of law both in the Continental European system and the Anglo Saxon, has
similarities in guarantees the protection of human rights including the freedom of the press, but in
applicative cases of violence that occurred to reporters as if blasted by the State guarantees the
protection of human rights. Whereas in Article 8 the Act of Republic of Indonesia No. 39 of 1999
Concerning Human Rights determines the principal responsibility for protecting, promoting, upholding,
and fulfilling human rights lies with the Government. With the freedom of the press, does not mean
that human press (jurnalist) can freely preach one thing without obey the law corridor that has been
determined. Legally in Article 5 paragraph (1) the Act of Republic of Indonesia No. 40 of 1999
concerning Press, shall determine that the national press is obliged to proclaim the events and
opinions with respect the religious norms and a sense of public decency and the presumption of
innocent. Restrictions on the press aims to respect the human rights of others.
Key words : freedom of the press, human rights, and law
Pendahuluan
Pasal 28 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya yang ditetapkan dengan Undang-undang. Pers yang meliputi media cetak, media
elektronik dan media lainnya merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan tersebut.
Masa reformasi merupakan era kebebasan bagi insan pers di Indonesia, sebab era
tersebut merupakan titik awal bebasnya dari belenggu pembungkaman kebebasan
berpendapat di Indonesia pada era orde baru. Banyak pihak yang menyatakan bahwa
kebebasan pers pada saat orde baru tidak sebebas masa reformasi. Sebab pemerintahan yang
terkesan otoriter sangatlah memusuhi pers sebagai media otokritik terhadap penguasa.
Kebebasan pers merupakan salah satu perwujudan kedaulatan rakyat, dan
merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang demokratis. Sebab dalam kehidupan yang demokratis itu, menghendaki
77
109
78
menunjukkan, pada tahun 2011, tindak kekerasan terhadap jurnalis tercatat 96 kasus,
sedangkan pada tahun 2010 ada 69 kasus.112 Selain itu Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
mengemukakan jumlah kekerasan fisik 2011 meningkat dari 16 menjadi 19 kasus yang
didominasi oleh aparat pemerintah dan kelompok massa. Kekerasan fisik meliputi
intimidasi,
teror,
pemukulan,
penyerangan,
pengeroyokan,
pembakaran,
sampai
pembunuhan. Divisi Advokasi AJI Indonesia mencatat 49 kasus kekerasan terhadap jurnalis
periode Desember 2010 - Desember 2011, meliputi kekerasan fisik dan non-fisik.113
Dari data-data tersebut menunjukkan adanya peningkatan tindak kekerasan terhadap
Jurnalis atau wartawan seiring berjalannya waktu yang mengisyaratkan bahwa perlindungan
Negara terhadap kebebasan pers belum membaik. Padahal pengakuan dan jaminan Negara
terhadap kebebasan pers diakui secara konstitusional. Berkaitan dengan perlindungan HAM,
Undang-Undang Dasar 1945 telah diamandemen dengan menambahkan sejumlah ketentuan
terkait dengan perlindungan, penegakan dan pemenuhan HAM pada Pasal 28 UUD NRI
1945. Namun dalam perkembangannya perlindungan HAM oleh Negara masih belum
berjalan optimal.
Secara normatif pengertian Pers dan Wartawan, ditentukan dalam Pasal 1 angka 1
dan angka 4 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yakni :
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan
kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan
gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan
media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Pada Pasal 1 angka 4, menentukan, Wartawan adalah orang yang secara teratur
melaksanakan kegiatan jurnalistik.
Dengan demikian kegiatan pers dalam menyampaikan
informasi dengan
79
kepada insan pers merupakan bentuk pengingkaran terhadap prinsip Negara hukum,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, yang menentukan Negara
Indonesia adalah negara hukum.
Konsep Negara hukum baik dalam sistem Eropa Kontinental maupun Anglo Saxon,
memiliki persamaan dalam menjamin perlindungan HAM. Karenanya perlindungan
terhadap kebebasan pers itu bersifat universal. Adapun ciri-ciri Negara hukum Rechstaat,
yang diungkapkan oleh Frederick Julius Stahl, yakni:
1.
2.
3.
4.
Asas Legalitas
Perlindungan HAM
Pembagian Kekuasaan
Adanya Peradilan Administrasi114
Ciri Negara hukum Anglo Saxon yang dikenal dengan konsep rule of law, dipopulerkan
oleh Albert Venay Dicey, diantaranya:
1. Supremasi Hukum
2. Equality before the law (Persamaan dimuka hukum)
3. HAM115
Sedangkan menurut J.B.M. Ten Berge menyebutkan prinsip-prinsip negara hukum
yaitu:116
1.
1.
2.
3.
4.
Asas Legalitas
Perlindungan hak-hak asasi;
Pemerintah terikat pada hukum;
Monopoli pemaksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum;
Pengawasan oleh hakim yang merdeka
114
Moh. Mahfud MD, 1993, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Jogjakarta, hal. 28.
Subawa et.all, 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Wawasan, Denpasar,
hal. 56.
116
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 9
115
80
kemerdekaan
tersebut
menunjukkan
dengan
jelas
bahwa
istilah
kemerdekaan pada dasarnya berkaitan dengan kehidupan suatu bangsa untuk membebaskan
diri dari penjajahan. Atau suatu gerakan untuk membebaskan diri dari perbudakan atau
penindasan. Dengan demikian makna kemerdekaan pers itu tidak tepat untuk digunakan,
sebab bangsa ini telah merdeka tahun 1945 lalu.
Berkaitan dengan terminologi kemerdekaan, Louis O. Kattsoff,119 mengatakan :
Kadang-kadang antara istilah kebebasan dan kemerdekaan merupakan pengertian
pengertian politik yang dipergunakan secara bertukar-tukar dan kadang kadang
mengandung suatu hubungan antara genus dengan species. Demikianlah kita mendengar
117
81
82
dalam melakukan investigasi atas kehidupan publik dan membuka skandal-skandal yang
merugikan kepentingan publik. Acapkali, attackingdog berpotensi menjadi aktor politik
yang menakutkan dan yang dapat membahayakan ketenangan masyarakat.
Sedangkan Oemar Seno Adji121 menyebutkan 4 fungsi Pers, yaitu
1.
2.
3.
4.
Fungsi-fungsi tersebut secara nyata dipahami sebagai bentuk peran serta masyarakat
dalam pembangunan negara demi menjalankan prinsip kedaulatan rakyat.
Aktualisasi konsep kedaulatan rakyat merupakan wujud bahwa penyelenggaraan negara
demi kepentingan rakyat. Karenanya kekerasan terhadap jurnalis merupakan bentuk
pemasungan terhadap prinsip kedaulatan rakyat yang telah dijamin oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Di samping itu, tentu perlu adanya pemahaman yang bijak, disamping menuntut
pembenahan kepada pemerintah dalam hal perlindungan jurnalis, insan pers juga perlu
mengoreksi diri dan mencegah penyalahgunaan kebebasan pers dalam pelaksanaan tugas
dan fungsinya. Sebab penyalahgunaan kebebasan pers oleh para oknum merupakan bentuk
pelanggaran terhadap kemurnian prinsip kedaulatan rakyat dijalankannya.
Pers dan Pembatasannya
Tentunya juga dengan adanya kebebasan pers, tidak mengartikan bahwa insan Pers
sebebas-bebasnya dalam memberitakan suatu hal tanpa mematuhi koridor hukum yang telah
ditentukan. Secara yuridis dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pers, menentukan bahwa
Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati normanorma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
Ketentuan tersebut merupakan pembatasan dari pelaksanaan kegiatan pers, sebab
kebebasan pers merupakan wujud dari HAM relatif yang berbeda dengan HAM absolut
dalam penggunaannya tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun.
Sebagaimana diketahui kharakteristik HAM terdiri dari 2 kharakter, yakni:
a. Kharakter HAM Absolut
b. Kharakter HAM relatif
121
Oemar Seno adji, 1997, Mass Media dan Hukum, Erlangga, Jakarta, hal. 76.
83
HAM absolut merupakan HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh
siapapun, diantaranya Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi,
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut. Sedangkan HAM relatif merupakan HAM yang dapat dibatasi
dalam penggunaannya.
Karenanya selain dibatasi dalam Pasal 5 Undang-Undang Pers, pembatasan
penggunaaan HAM, juga dibatasi secara konstitusional dalam Pasal 28 huruf J UndangUndang Dasar Negara, menentukan:
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain
dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Perlunya pembatasan pers ini merupakan wujud dari pencegahan bentuk arogansi
pers. Fenomena lepasnya dari belenggu orde baru acapkali berimplikasi pada penggunaan
kebebasan pers yang berlebihan oleh para oknum wartawan. Sebab secara fakta juga, tidak
jarang oknum wartawan melakukan berbagai pelanggaran dalam menjalankan tugas dan
fungsinya, baik itu berkaitan dengan obyektifitas dalam pemberitaan ataupun perimbangan
berita, dan lainnya. Sebab, penggunaan kebabasan pers yang kebablasan berpotensi
menyerang harkat dan martabat orang lain dan mengganggu
122
84
etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan
menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia
menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik
Guna mencegah pemberitaan wartawan merugikan seseorang tanpa alasan
diharuskan mematuhi, Kode Etik Jurnalistik123 dengan mempertimbangkan hal-hal sbb. :
1. Pemberitaan Yang Akurat
- Bertanggung Jawab.
- Mempertimbangkan layak atau tidak.
- Tidak diskriminatif.
- Tidak sewenang-wenang.
- Memisahkan fakta dengan opini.
- Obyektif dan sportif.
- Tidak Sensasional
- Imoral.
- Tidak berdasarkan Desas-desus, hasutan, Fitnah.
2. Sumber Berita
- Memperoleh Informasi Dengan cara yang benar.
- Meneliti Kebenaran suatu informasi.
- Meneliti kredibilitas suatu informasi.
- Melindungi Sumber berita.
- Informasi secara of the record.
- Jujur menyebut Sumber dalam mengutip suatu berita.
Selain kode etik jurnalistik PWI tersebut, terdapat pula Peraturan Dewan Pers No.
6/Peraturan-DP/V/2008 yang mengatur tentang kode etik jurnalis. Dengan adanya
pengaturan terkait pembatasan pers akan menjamin penggunaan kebebasan pers yang
professional dengan menghormati nilai agama, moral, serta menghormati hak asasi orang
lain. Sehingga memaksimalkan fungsi pers sebagai media informasi, pendidikan, hiburan
dan kontrol sosial dalam menjalankan amanat sebagai salah satu pemegang kedaulatan
rakyat.
Penutup
Kebebasan pers merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM), karena itu Negara
harus menjamin perlindungannya. Perlindungan hukum bagi tindakan kriminalisasi terhadap
pers merupakan tugas negara dalam menjamin kebebasan pers di Indonesia sebagaimana
yang telah diatur secara konstitusional. Sebab Kebebasan pers adalah salah satu wujud
kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi
hukum. Karenanya eksistensi pers, sangat diperlukan dalam penyelenggaraan roda
123
85
pemerintahan. Jaminan perlindungan terhadap insan pers menjadi tanggung jawab Negara
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Adanya kebebasan pers tidak mengartikan penyelenggaraan kegiatan jurnalistik
menjadi sangat bebas, melainkan terdapat koridor-koridor hukum yang membatasi
penyelenggaraan kegiatan jurnalistik. Hal ini diperlukan guna menghormati penggunaan hak
asasi orang lain. Sebab kebebasan pers merupakan HAM yang berkharakteristik relatif
sehingga penggunaannya dapat dibatasi.
Perlu peningkatan perlindungan oleh pemerintah terhadap wartawan dalam
menjalankan kegiatan jurnalistik. Para wartawan dalam melaksanakan tugasnya hendaknya
mematuhi pembatasan pers dengan menghormati norma-norma agama, rasa kesusilaan
masyarakat, asas praduga tak bersalah serta mematuhi kode etik jurnalistik.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Mahfud MD, Moh., 1993, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Jogjakarta
Purwadaminta, W.J.S., 1987, Kamus Bahasa Indonesia
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Subawa et.all, 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Wawasan,
Denpasar
Yohanes Usfunan, 2010, HAM Politik Kebebasan Berpendapat Di Indonesia, Udayana
University Press, Denpasar.
INTERNET
Aji Indonesia, ___, ___, http.ajiindonesia.org, diakses pada 12 Januari 2012.
Antara,
2010,
270
Kasus
Kriminalisasi
Pers
Selama
2005-2009,
http://www.antaranews.com/berita/1264314959/270-kasus-kriminalisasi-pers-selama
2005-2009, diakses pada 10 Januari 2012.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
Pendidikan
Republik
Indonesia,
TV
86
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
Kode Etik Jurnalistik PWI.
87
Abstract:
Implementation of the death penalty, do not mean tolerance of what has been done by the
perpetrators of criminal acts. No means to respect the rights of a persons life, then it should let the
atrocity or cruelty continues. One of this principle should not be allowed to lose the principles to be
firm and not compromise on crime. Regarding the death penalty, even if executed, not executed with
the intention of "killing". The only legitimate purpose of capital punishment is to preserve and protect
the lives of the forces that threaten it.
Key words : Death Penalty, Right to Life, Human Rights
Pendahuluan
Perdebatan tentang hukuman mati sudah cukup lama berlangsung dalam hukum
pidana di berbagai belahan dunia. Praktek hukuman mati telah dilakukan sejak dulu
dihampir seluruh negara dan sampai saat ini masih banyak negara yang menerapkan
hukuman mati, antara lain : Cina, Pakistan, Malaysia, Amerika Serikat, Arab Saudi, Iran,
dan lain-lain. Cara untuk menghukum mati terpidana pun beragam, ada yang menggunakan
kursi listrik, dimasukkan dalam kamar gas, gantung, pancung, ditembak, dengan minuman
racun dan ada juga yang menggunakan obat.
Meskipun banyak kecaman, negara pendukung hukuman mati tetap melaksanakan
hukuman mati. Alasan yang dikemukan oleh negara-negara tersebut bahwa ideologi, agama
dan pandangan hukum tertentu masih membenarkan untuk tetap melaksanakan hukuman
mati. Disamping itu hukuman mati masih dianggap konstitusional karena sesuai dengan
peraturan negaranya. Sebuah negara memiliki hak sebagai subyek berdasarkan konstitusinya
untuk menjatuhkan hukuman mati kepada siapapun yang telah diputus bersalah sesuai
hukum yang berlaku.
Indonesia kontroversi hukuman mati kembali menyeruak dan menimbulkan pro dan
kontra diberbagai kalangan. Hal ini terjadi terkait dengan dikeluarkannya beberapa
Keputusan Presiden yang menolak permohonan grasi terhadap para terpidana mati yang
terlibat dalam tindak pidana narkotika dan pembunuhan. Ada dua pendapat yang
bertentangan dalam perdebatan tersebut yakni yang setuju terhadap hukuman mati dan pada
pihak lain tidak setuju terhadap hukuman mati.
88
Secara singkat pihak yang tidak setuju menyatakan hukuman mati bertentangan
dengan hak asasi manusia, dengan mengacu kepada UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang mengutip Pasal 28 A perubahan kedua yang menyatakan setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dengan
demikian hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non
derogable human right).
Perspektif internasional ketentuan mengenai hak asasi manusia yang berkaitan dengan
hak hidup dapat ditemukan dalam International Covenant on Civil and Political Right
(ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life). Pasal 6 ayat (1) ICCPR berbunyi
setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan
tiada yang dapat mencabut hak itu. Namun dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR memberi peluang
untuk tetap melaksanakan hukuman mati, yang menyatakan : Di negara-negara yang belum
menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap
beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat
dilakukan kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan kovenan ini dan kovenan
tentang pencegahan dan hukuman tentang kejahatan genosida.
Sedangkan pihak yang setuju berargumentasi bahwa hukuman mati masih relevan
diterapkan di Indonesia dan masih banyak peraturan perundang-undangan yang
mencantumkan ancaman hukuman mati dalam hukum posistif Indonesia, baik di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun peraturan perundang-undanga di
luar KUHP sehingga sebagai suatu negara hukum kebradan hukuman mati harus dihormati
keberlakuannya. Alasan lainnya pidana mati masih diperlukan untuk menjadi shock therapy
bagi pelaku kejahatan, karena shock therapy itu penting mengingat banyak tingkat kejahatan
yang terjadi di masyarakat.124
Menggunakan pemidanaan untuk menimbulkan efek jera akan muncul pertanyaan
penting apakah betul dengan adanya hukuman mati dapat dikurangi angka kejahatan?
Ternyata berbagai hasil penelitian menunjukkan tidak ada korelasi positif antara hukuman
mati dan penurunan angka kejahatan. Perspektif hukuman mati lebih ditujukan pada orang
lain agar tidak melakukan kejahatan serupa atau lebih dari itu, tidak terdapat fakta-fakta
yang membuktikan terjadinya penurunan data kejahatan baik secara kuantitas maupun
secara kualitas.125 Alasan tersebut sudah tidak relevan untuk dikemukakan. Hal yang perlu
124
125
89
dikaji lebih lanjut adalah mengenai keberadaan hukuman mati itu sendiri dalam kaitannya
dengan hak asasi manusia.
Penegakkan hak asasi manusia tidak boleh bersikap diskriminatif termasuk
memperjuangkan hak hidup seorang penjahat kelas berat sekalipun, karena mereka memiliki
hak untuk hidup sebagai hak asasi yang paling mendasar. Berdasarkan pemaparan di atas,
dapatlah tergambar bahwa Bagaimana eksistensi hukuman mati ditinjau dari perspektif hak
asasi manusia khususnya mengenai hak untuk hidup?
Hukuman Mati Dalam Perspektif HAM
Masalah keberadaan hukuman mati dan haka asasi manusia dalam hukum pidana tidak
terlepas dari masalah penetapan tujuan yang ingin dicapai dalam pemidanaan. Berkenaan
dengan hal tersebut berikut ini akan dikemukakan tentang prinsip-prinsip dasar yang
dikemukakan oleh teori-teori mengenai tujuan pemidanaan.
a.
Dari uraian teori tersebut maka pidana dimaksudkan untuk membalas tindak pidana
yang dilakukan seseorang sehingga setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana. Seorang
mendapat pidana oleh karena telah melakukan kejahatan. Hal tersebut merupakan tuntutan
mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Teori ini
memusatkan perhatiannya pada masalah perbuatan (jahat) yang telah dilakukannya. Dalam
126
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hal. 154.
127
Ibid.
90
konteks ini pidana menjadi pembalasan yang adil bagi kerugian yang sudah
ditimbulkannya.karena telah memenuhi kepuasan dari perasaan dendam dikalangan
masyarakat. Jika dikaitkan antara hukuman mati dengan teori ini maka penjatuhan hukuman
mati tidak bertentangan dengan teori ini karena teori ini tidak memperhatikan akibat-akibat
apapun yng mungkin timbul dengan dijatuhkannya pidana. Tidak peduli apakah masyarakat
mungkin dirugikan. Hanya dilihat ke masa lampau, tidak dilihat ke masa depan.
b.
reaksi terhadap teori absolut/teori retributif. Teori ini dikemukakan oleh John Howard
(1726-1791), Cesare Beccaria (1738-1794), dan Jeremy Bentham (1748-1832). Secara garis
besar teori ini mengacu pada dasar bahwa pidana adalah suatu alat untuk menegakkan
hukum dalam masyarakat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, sehingga tata tertib
masyarakat tetap terpelihara. Tujuan pidana menurut teori relatif ialah tata tertib
masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Pidana adalah untuk
mencegah timbulnya tindak pidana dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap
terpelihara. Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat, maka pidana mempunyai tiga
macam sifat, yaitu : bersifat menakut-nakuti, bersifat memperbaiki dan bersifat
membinasakan.
Dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak supaya orang
jangan melakukan kejahatan.128 Atas dasar tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut teori
teleologis atau utilitarian penjatuhan pidana ingin dicapai dua hal yaitu :
a)
Muladi dan Barda Nawawi Arif, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung, hal. 16.
91
Jadi menurut pandangan Utilitarianisme bahwa pidana itu ditetapkan bertujuan untuk
pencegahan kejahatan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan
masayarakat. Proses penjatuahan pidana yang terpenting bukanlah pidana itu sendiri tetapi
sesuatu yang ingin dihasilkan dengan adanya pemidanaan tersebut.
Dari uraian tersebut maka hukuman mati bertentangan teori utilitarian, baik dari
prevensi umum maupun khusus. Ditinjau dari prevensi umum ternyata hukuman mati tidak
berhasil sebagai sarana yang bersifat menakut-nakuti anggota masyarakat lainnya tetap saja
melakukan tindak pidana. Sedangkan kalau ditinjau dari prevensi khusus maka dengan
dijatuhi hukuman mati maka tidak ada kesempatan untuk mendidik dan memperbaiki
terpidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, sesuai dengan harkat
dan martabatnya.
c.
pandangan diatas ke dalam satu pemahaman. Teori ini dipelopori oleh Cesare Lambroso,
yang mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat,
sehingga menurut aliran ini tujuan dari pemidanaan adalah bersifat plural, disatu sisi pidana
itu dimaksudkan sebagai pengimbalan atau pembalasan atas dilakukannya kejahatan, disisi
lain pidana itu juga dimaksudkan sebagai prevensi baik yang bersifat umum maupun
khusus. Teori ini mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus retribution dan yang
bersifat utilitarian, misalnya pencegahan dan rehabilitasi, yang kesemuanya dilihat
sebagai sarana-sarana yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan.129 Pidana dan
pemidanaan terdiri dari proses kegiatan terhadap pelaku tindak pidana yang dengan suatu
cara tertentu diharapkan untuk dapat mangasimilasikan kembali narapidana kedalam
masyarakat.
Teori ini dapat dibedakan menjadi 2 golongan besar, yaitu :
1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak
boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya
dipertahankannya tata tertib masyarakat.
2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi
penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan
yang dilakukan terpidana.130
Jika hukuman mati ditinjau dari teori ini maka sulit sekali menentukan apakah
hukuman mati sesuai atau bertentangan teori ini karena teori ini merupakan akumulasi dari
129
130
92
dua teori yang bertentangan. Di satu sisi teori ini membenarkan dijatuhkannya hukuman
mati sedangkan disisilain justu bertentangan dengan tujuan dari tori ini.
Indonesia adalah salah satu negara yang masih tetap mempertahankan hukuman mati.
Eksistensinya dapat dilihat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan
beberapa Tindak Pidana Khusus. Pada Undang-undang Narkotika, Psikotropika, Korupsi,
Tindak Pidana Ekonomi, Tenaga Atom dan Antiterorisme jelas mengenal juga hukuman mati.
Keadaan apapun pidana mati yang diancamkan dalam pasal-pasal perundang-undangan
tetap berlaku. Meskipun kemudian muncul wacana yang menghubungkan pidana mati dengan
HAM karena acapkali hukuman mati bersinggungan dengan HAM. Ada sementara pandangan
yang melihat hukuman mati bertentangan dengan HAM. Pandangan tersebut bertolak dari
ketentuan Pasal 28 A UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 yang pada
pokoknya menentukan, ''setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup
dan kehidupannya''
INDONESIA TAHUN 1945 yang menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Kalangan yang berpandangan normatif tentang pasal ini akan berpendirian bahwa
hukuman mati jelas akan bertentangan dengan konstitusi. Pandangan ini dalam perspektif
hukum tentu saja tidak terlalu salah. Argumentasinya, dengan penerapan hukuman mati maka
orang tidak dapat memperbaiki dirinya, tidak berhak hidup dan mempertahankan
kehidupannya sebagaimana dijamin undang-undang. Contoh konkret, misalnya UU 39/1999
tentang Hak Asasi Manusia menegaskan, ''hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa dan
seterusnya, adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan
oleh siapa pun.''.
Argumen demikian tentu dapat dibenarkan apabila aspek HAM hanya dipandang dari
dimensi pelaku tindak pidana itu sendiri. Hak untuk hidup tergolong dalam non derogable
rights, yakni hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi oleh siapapun dan dalam kondisi
apapun. Sifat hak hidup ini sangat mendasar dan fundamental karena hak-hak manusia yang
lainnya tergantung dengan hak hidup tersebut. Setiap manusia sejak kelahirannya memiliki
hak untuk hidup dan berhak mendapatkan perlindungan hukum untuk mendapatkannya,
termasuk juga terpidana. Namun jika ditinjau dari aspek sosialogis, pendapat demikian jelas
hanya sepihak, melihat hukum di luar konteks kenyataan sosialnya. Dilihat dari sudut hukum
yang hidup bahwa pidana mati baik dalam hukum yang tidak tertulis maupun hukum agama
merupakan merupakan conditio sine qua non.
93
Secara global dan manusiawi melalui aturan hukum pelaku jelas secara prosedural diatur
hak-haknya dalam undang-undang. Mulai dari adanya pemberian bantuan hukum, disidik
sesuai ketentuan hukum, adanya asas praduga tidak bersalah sampai dengan kebebasannya
melakukan upaya hukum. Akan tetapi dari sisi lain, maka pelaksanaan HAM tersebut
bukanlah bersifat mutlak dan tanpa adanya limitasi. Pada dasarnya, ketentuan Pasal 28 J
Perubahan Kedua UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 menegaskan
bahwa, ''Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan undang-undang.''
Dari sudut pandang ini maka pelaksanaan HAM sifatnya parsial dalam artian juga
memperhitungkan kepentingan HAM masyarakat, korban tindak pidana yang dilakukannya,
serta kepentingan bangsa dan negara. HAM sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat
pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng maka sudah tentu sifatnya harus dilindungi,
dihormati dan dipertahankan serta tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapa
pun.
Eksistensi hukuman mati tentu tidak memberikan toleransi terhadap mereka yang
melakukan kejahatan apalagi kejahatan yang berat, akan tetapi juga tentu tidak menghendaki
demi melampiaskan emosi maka melakukan pembalasan yang berlebihan terhadap pelaku
kejahatan.
Aspek filosofis hukuman mati berkorelasi erat dengan teori tujuan pemidanaan. Pada
asasnya, hukuman mati diterapkan sebagai upaya pembalasan (vergeldings theorien) yang
ingin memberi efek jera (deterrence effect) kepada si pelaku. karena teori ini tidak
memperhatikan akibat-akibat apapun yang mungkin timbul dengan dijatuhkannya pidana.
Tidak peduli apakah masyarakat mungkin dirugikan. Hanya dilihat ke masa lampau, tidak
dilihat ke masa depan. Akan tetapi, seiring dengan perjalanan waktu dan konsepsi pemidanaan
yang dianut ternyata tujuan pemidanaan mengalami perkembangan yang signifikan,
pemidanaan tidak lagi semata-mata ditujukan pada efek jera tetapi harus juga bersifat
pencegahan dan pendidikan dengan melakukan rehabilitasi terhadap terpidana yakni
mengembalikan terpidana seperti semula agar dapat bersosialisasi dan dapat diterima oleh
masyarakat. Dari tolok ukur demikian, maka di Indonesia filsafat pemidanaan yang dirintis
bersifat integratif. Sehingga jika ditinjau maka hukuman mati tidak sejalan dengan teori tujuan
pemidanaan dan konsep pemasyarakatan yang berorintasi pada resosialisai dan integrasi sosial
bagi terpidana. Dengan dujatuhi hukuman mati maka terpidana tidak memperoleh kesempatan
untuk memperbaiki diri dan tidak ada kesempatan bagi masyarakat untuk menerima kembali
94
terpidana. Disamping itu secara fakta aktual berbicara, bahwa penerapan hukuman mati
bukanlah terapi yang amat manjur untuk menekan tindak pidana yang dilakukan. Hukuman
mati sesungguhnya tidak mampu mencegah orang melakukan tindak pidana itu sendiri.
Dengan kata lain, meskipun terhadap ancaman pidana mati terhadap seseorang yang
melakukan tindak pidana, tidak akan mampu menakut-nakuti pelaku atau calon pelaku untuk
melakukan tindakannya.
Para filosof telah lama mencurahkan pemikirannya sehubungan dengan eksistensi
hukuman mati ini. C Beccaria misalnya, menolak pidana mati dengan alasan bahwa pidana itu
tidak dapat mencegah orang untuk melakukan tindak pidana dan bahkan mencerminkan
kebrutalan dan kekerasan. Begitu juga Jeremy Bentham dengan teori felicific calculus yang
mengemukakan bahwa pidana mati yang disertai kekejaman dan kebrutalan luar biasa,
tidaklah merupakan pidana yang memuaskan karena ia menciptakan penderitaan yang lebih
besar daripada dibutuhkan untuk tujuan tersebut. Tokoh lain yang berpendirian lebih lunak,
misalnya C Lombroso yang berpendapat bahwa pidana mati merupakan seleksi yang terakhir
bilamana dengan penjara pembuangan dan kerja keras, penjahat tetap mengulangi
kejahatannya yang mengancam masyarakat. Dalam hal ini Lombroso tetap menyetujui
eksistensi pidana mati.131
Filsafat Pemidanaan berkembang pemikiran bahwa pidana yang dijatuhkan bukan untuk
membalas dendam, akan tetapi untuk memperbaiki, right to punish yang dimiliki oleh negara
harus diganti dengan right to cure. Filsafat itu sejalan dengan tujuan pimidanaan yang kita
anut saat ini yakni pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan mengusahakan agar orang yang
telah melakukan kejahatan dibina, diarahkan, dididik untuk menemukan kembali nilai-nilai
kemasyarakatan yang telah hilang dari dirinya. Tujuan akhir akan muncul pribadi-pribadi baru
yang menghargai nilai-nilai kemasyarakatan, kesusilaan dan moralitas. Hanya mereka yang
tidak dapat dibina, bahkan menunjukkan perangai buruk, tidak menyesali perbuatannya,
merasa tidak bersalah, menunjukkan sikap yang mengancam siapapun jika nanti ia
dibebaskan, yang pantas dijatuhi hukuman mati.
Sebagai bagian sistem pidana maka hukuman mati merupakan pelaksanaan dan konsepsi
dari kebijakan sebuah negara. Oleh karena itu, acapkali konsepsi hukuman mati berubah
mengiringi kebijakan negara tersebut. Contoh kongkret, misalnya secara umum Belanda telah
menghapus hukuman mati sejak 1870, kemudian hanya diterapkan terbatas pada Pengadilan
131
95
Militer. Sedangkan, di Indonesia, dimana KUHP merupakan konkordansi dari Wetboek van
Strafrecht Belanda masih mempertahankan hukuman mati melalui ketentuan Pasal 10 KUHP
sebagai bagian Pidana Pokok. Kemudian dengan adanya perubahan kebijakan negara yang
lebih mengedepankan HAM maka Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Pidana
Indonesia (RUU KUHP) memang tetap mencantumkan hukuman mati. Akan tetapi, hubungan
mati tersebut sebagai sebuah konsep sifatnya fleksibel. Aspek ini dapat dilihat dari pengaturan
hukuman mati secara tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana tersebut benar-benar
bersifat istimewa dan bukan bagian dari pidana pokok. Selain itu, sifat fleksibilitasnya juga
tampak adanya ketentuan limitatif hukuman mati selalu diancam secara alternatif.
Pertentangan mengenai hukuman mati pastilah memiliki kekurangan dan kelebihannya
masing-masing, sebagaimana pergulatan pemikiran yang selama ini berkembang. meskipun
sebagian kalangan menentang dilaksanakannya hukuman mati, bukan berarti melakukan
toleransi terhadap apa yang telah lakukan oleh pelaku tindak pidana. Teori-teori tentang
pencegahan kejahatan tentu tidak harus memanjakan penjahat, tetapi aspek korban dan
perlindungan masyarakat (social defence) harus diutamakan. Tidak berarti demi menghormati
hak hidup seseorang, maka harus membiarkan kekejaman atau kekejian tetap berlangsung.
Tugas negara untuk melindungi serta menjamin rasa aman dan kesejahteraan hidup seluruh
masyarakat dan kenyataan membuktikan, bahwa rasa aman dan kesejahteraan masyarakat ini
sering terganggu. Gangguannya sangat bervariasi, dari yang amat ringan sampai yang amat
ekstrem. Untuk yang ringan, masyarakat sendiri mampu melindungi diri sendiri. Tapi untuk
yang ekstrem, ini sering hanya dapat diatasi dengan intervensi dan tindakan represif yang
ekstrem pula dari negara. Salah satunya adalah dengan ancaman hukuman mati. Sangat tidak
adil hanya menekankan hak yang satu dan mengabaikan hak yang lain. Terlebih-lebih bila hak
si pelaku kejahatan-lah yang justru diperhatikan, sementara hak-hak korbannya yang justru
dilupakan. Agar sedapat mungkin tak ada hak siapa pun yang dilanggar. Hukumnya terus
menerus ditinjau ulang, agar semakin adil. Bentuk hukumannya juga dipilih sedemikian rupa,
sehingga menimbulkan penderitaan dan kesakitan yang seminim mungkin bagi si terhukum.
Tapi yang jelas, terlepas dari pro atau kontra mengenai hukuman mati, satu prinsip ini
hendaknya jangan sampai dibiarkan hilang yaitu prinsip untuk bersikap tegas dan tidak
kompromi terhadap kejahatan. Mengenai hukuman mati, kalau pun dijalankan, tidak
dilaksanakan dengan maksud membunuh. Satu-satunya tujuan hukuman mati yang sah
adalah untuk memelihara dan melindungi kehidupan dari kekuatan-kekuatan yang
mengancamnya.
96
Penutup
Pidana mati jika ditinjau dari perspektif HAM jelas sangat bertentangan sebab
melanggar hak hidup yang merupakan hak asasi yang paling dasar dan tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun dan oleh siapapun (non derogable rights) karena hak tersebut
merupakan hak yang melekat pada diri setiap manusia serta dilindungi oleh berbagai
peraturan perundang-undangan. Hukum positif Indonesia baik di dalam KUHP maupun UU di
luar KUHP masih mengakui dan mencantumkan hukuman mati sebagai pidana pokok oleh
karena itu sebagai sebuah Negara hukum keberadaan hukuman mati tetap harus dihormati.
Teori-teori tentang pencegahan kejahatan tentu tidak harus memanjakan penjahat, tetapi
aspek korban dan perlindungan masyarakat (social defence) harus diutamakan. Keberadaan
hukuman mati tidak dilaksanakan dengan maksud membunuh tetapi dengan tujuan untuk
memelihara dan melindungi kehidupan dari kekuatan-kekuatan yang mengancamnya.
Indonesia masih mengakui hukuman mati sebagai hukum positif hendaknya hukuman
mati ditujukan hanya untuk kejahatan-kejahatan paling serius seperti kejahatan kemanusiaan,
genosida serta kejahatan teroris. Disamping itu penjatuhan hukuman mati sebaiknya dilakukan
dengan sangat selektif sebagai alternatif terakhir jika terpidana dianggap sudah tidak dapat
diperbaiki dan berbahaya bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Chazawi Adami, 2002, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
Muladi, 1985, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung .
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung.
MAKALAH
Zaidan M. Ali, 2003, Kontoversi Seputar Hukuman Mati, Makalah Universitas
Muhammadiyah Palembang.
SURAT KABAR
Anonim, Hukuman mati Harus Selektif, Kompas 11 Januari 2003
97
132
Ahmad M Ramli, , 2000, Hak atas Kepemilikan Intelektual (Teori Dasar Perlindungan
Rahasia Dagang) Bandung, Mandar Maju, hal 1.
98
negara telah menjadi ciri dalam era globalisasi perdagangan yang tidak dapat dihindarkan.
Kenyataan seperti ini akan sangat berpengaruh terhadap perlindungan Rahasia Dagang.
Tingginya frekuensi keluar masuk tenaga kerja dari suatu perusahaan ke perusahaan
lainnya secara internasional dengan mudah dapat digunakan sebagai upaya pelanggaran
Rahasia Dagang oleh kompetitor.
Dengan berpindahnya sumber daya manusia dari satu perusahaan ke perusahaan
lainnya tidak berarti bahwa orang tersebut dapat menggunakan Rahasia Dagang yang dimiliki
oleh perusahaan yang ditinggalkannya untuk dimanfaatkan pada perusahaan barunya. Oleh
karena itu pembuatan kontrak kerja yang melindungi Rahasia Dagang baik itu bersifat
formula, proses produksi, daftar pelanggan metodemetode dan sebagainya menjadi sangat
penting untuk dilakukan.
Pembentukan Undang-Undang Rahasia Dagang harus diterapkan atau setidaknya
menerapkan standar minimal dalam TRIPs Agreement. Dengan kemungkinan penerapan
standar minimal, berarti masih dimungkinkan celah untuk menentukan ketentuan-ketentuan
yang dapat memberikan manfaat.
Indonesia pada prinsipnya telah memberikan Rahasia Dagang itu sendiri jauh
sebelum Undang-Undang Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang dirumuskan. Undang-Undang
Rahasia
Dagang
sangat
penting
untuk
melindungi
gagasan-
gagasan yang mempunyai nilai komersil yang memberikan keuntungan bersaing. UndangUndang Rahasia Dagang juga dapat mendorong iklim yang sehat dan memantapkan
hubungan para pihak dalam transaksi perdagangan dengan tersedianya perangkat aturanaturan main yang jujur, bahkan tanpa adanya kontrak yang tegas sekalipun. Lebih jauh,
Undang-Undang Rahasia Dagang juga mempertinggi efisiensi dan produktivitas dengan
memberikan kerangka yang mendorong arus informasi diantara semua pihak terhadap suatu
transaksi perdagangan133 .
Rahasia Dagang saat ini sudah merupakan salah satu bentuk investasi yang sangat
mahal disamping bentuk investasi lainnya yang harus dipertahankan terhadap semua pihak
sehingga tidak disalahgunakan demi kepentingan pihak lain melalui suatu
mekanisme
persaingan tidak jujur3 . Akibat dari kenyataan ini, maka perlindungan atas Rahasia
Dagang akan menjadi salah satu faktor penentu dalam menarik investor asing untuk masuk ke
Indonesia, dan faktor penentu untuk frekuensi perdagangan internasional itu sendiri.
133
99
waktu yang
ditentukan
menurut
ingin menikmati manfaat ekonomi dari Hak Atas Kekayaan Intelektual orang lain, dia
wajib memperoleh izin dari orang yang berhak.
Perlindungan hukum merupakan upaya yang diatur oleh Undang-Undang guna
mencegah terjadinya pelanggaran HAKI oleh orang yang tidak berhak. Undang-Undang
Rahasia
Dagang
memainkan
peranan
penting
bagi
suatu
dirancang
untuk
merangsang
perangkat HAKI
membantu riset dan pengembangan teknologi baru yang sudah menjadi sifatnya mengandung
resiko yang lebih besar dari pada kegiatan perdagangan lainnya. Maka melalui pengurangan
resiko, perangkat hukum HAKI merangsang investasi yang lebih besar dalam proses invasi .
Jadi, perlindungan atas Rahasia Dagang dapat mendorong masuknya investasi,
inovasi industri, dan kemajuan teknologi dan dengan demikian mempunyai pengaruh
langsung pada keseluruhan perekonomian negara.
134
Dalam
tahun-tahun
belakangan
ini,
lajunya
perubahan
100
teknologi,
rumitnya
menyatu-padukan
teknologi-teknologi
yang
berbeda,
telah
terhadap informasi-informasi yang bersifat rahasia dari suatu perusahaan sehingga tidak
mudah diperoleh pihak
persaingan curang atau persaingan tidak sehat. Dengan demikian, kelancaran dan
kemajuan suatu perusahaan meningkatkan dan melahirkan optimisme dari pelaku usaha di
dalam memasuki era globalisasi perdagangan.
Era globalisasi ini memperlihatkan suatu kenyataan bahwa perdagangan global
akan memasuki tahapan baru, yaitu makin berkurangnya hambatan perdagangan antar
negara yang ada di dunia ini dan makin bertambahnya ketergantungan suatu negara
kepada negara lainnya.
Arah globalisasi ini sangat erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan teknologi,
terutama di bidang informasi, telekomunikasi, serta transportasi, dan memperlihatkan
kecenderungan yang terus berkembang.
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini mengakibatkan suatu
peristiwa di satu negara sangat mudah dan cepat diketahui oleh orang banyak yang ada di
negara lain. Hal ini berarti tidak ada lagi batas antara negara dan menyebabkan pembauran
antar negara menjadi semakin kompleks. Inilah salah satu gambaran yang akan dihadapi
oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia dalam era globalisasi atau perdagangan
bebas.
Para pelaku usaha dan investor, baik dari dalam negeri maupun dari luar
negeri merasa berkepentingan terhadap teknologi yang mereka miliki sehingga mereka
merasa perlu adanya perlindungan hukum terhadap teknologi tersebut.
Hal ini terjadi karena barang dan jasa yang mereka hasilkan dengan teknologi yang
mereka miliki merupakan bagian dari Hak Atas Kekayaan Intelektual yang wajib dilindungi
oleh hukum yang sesuai dengan standar internasional.
Munculnya keterkaitan antara barang dan jasa dengan Hak Atas Kekayaan
Intelektual adalah karena di dalam proses pembuatan barang dan jasa tersebut terdapat
101
informasi yang dirahasiakan atau yang lebih dikenal dengan Rahasia Dagang yang tidak
boleh diketahui oleh umum yang merupakan bagian dari HAKI selain Hak Paten, Hak
Merek, Hak Cipta, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan lain-lain.
Informasi yang dirahasiakan atau Rahasia Dagang dari suatu perusahaan
merupakan hal yang sangat penting bagi pelaku usaha karena informasi ini memiliki nilai
ekonomis dan menyangkut kualitas dari barang dan jasa yang dihasilkan.
Apabila terjadi pembocoran maka akan merugikan perusahaan tersebut, jadi
dipandang dari sudut hukum dan ekonomi, Rahasia Dagang menjadi faktor yang esensial
bagi perkembangan perusahaan tersebut.
Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap Rahasia Dagang ini merupakan suatu
syarat mutlak dan menjadi faktor yang sangat esensial terutama untuk mencegah
persaingan usaha yang tidak sehat dari pelaku bisnis lainnya yang memiliki perusahaan
yang memproduksi barang atau jasa yang sejenis, terlebih-lebih jika dikaitkan dengan
globalisasi perdagangan.
Jadi dengan adanya perlindungan hukum terhadap Rahasia Dagang, maka akan
melahirkan bentuk persaingan dagang yang jujur di antara pelaku bisnis dan menjadi
komoditas yang sangat berharga karena memiliki nilai ekonomis tinggi . Selain itu,
perlindungan hukum ini menjadi salah satu faktor penentu dalam menarik investor asing
untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Para pelaku usaha enggan melakukan kegiatan perdagangan karena jika terjadi
pembocoran Rahasia Dagang oleh orang yang tidak berhak maka mengakibatkan kerugian,
serta investor asing tidak berminat menanamkan modalnya di Indonesia dalam bentuk
Penanaman Modal Asing (PMA) yang didalamnya tidak terlibat unsur luar perusahaan itu
atau dalam bentuk Joint Venture karena tingkat kompetisi antar perusahaan semakin tinggi
sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.
Pelanggaran Rahasia Dagang
Seorang dianggap tidak sah dan melanggar Rahasia Dagang orang lain apabila ia
memperoleh atau menguasai Rahasia Dagang tersebut dengan cara-cara yang tidak layak,
seperti wanprestasi (ingkar janji), pencurian, penyadapan, spionase, membujuk untuk
membocorkan Rahasia Dagang melalui penyuapan, paksaan dan lain-lain. Yang bukan
dikatakan pelanggaran tersebut adalah kegiatan rekayasa ulang untuk mengurangi
bagian-bagian suatu produk yang diperoleh secara sah guna dianalisa untuk mengetahui
komposisi, cara pembuatan, cara kerja, bentuk maupun metode pembuatannya. Praktik
102
seperti ini diakui sah sepanjang digunakan sebagai dasar bagi pengembangan atau
penyempurnaan lebih lanjut atas produk yang bersangkutan.
Sebagai contoh, misalnya kasus Rachmat Hendarto alias Kristoforus dan
Andreas Tan Giok San Alias David Tan yang didakwa telah membocorkan Rahasia Dagang
PT General Food Industri Bandung (GFIB). Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan
Negeri Bandung, Jaksa Penuntut Umum menjerat perbuatan kedua terdakwa dengan pasal
13 jo pasal 17 Undang-Undang RI nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang jo
pasal 55 ayat (1) KUH Pidana.135 Perbuatan kedua terdakwa dinilai telah merugikan PT
GFIB, yang mana keduanya saat masih bekerja dan terikat sebagai karyawan PT GFIB,
telah keluar dan bekerja di perusahaan lain yang bergerak di bidang yang sama, yaitu
pengolahan biji cokelat menjadi produk makanan olahan.
Pelanggaran Rahasia Dagang terjadi apabila seseorang dengan sengaja (unsur
kesengajaan):
1.
2.
3.
4.
Pengungkapan
atau
penggunaan
Rahasia
Dagang
didasarkan
pada
kepentingan pertahanan keamanan, kesehatan, atau keselamatan masyarakat.
Tindakan rekayasa ulang atas produk yang dihasilkan dari penggunaan Rahasia
Dagang milik orang lain yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan
pengembangan lebih lanjut dari produk yang bersangkutan. (analisis dan evaluasi
untuk mengetahui informasi tentang suatu teknologi yang sudah ada).
Untuk menindak pelaku pelanggaran, Indonesia wajib menerbitkan suatu
103
Hal yang paling penting adalah bila kita tidak mau dicap sebagai bangsa yang suka
menjiplak inovasi dan Rahasia Dagang milik bangsa lain, maka kita juga harus menggiatkan
inovasi bertaraf internasional maupun teknologi tepat guna.
Apabila pihak penerima Rahasia Dagang melanggar kesepakatan yang telah
ditetapkan, maka persaingan usaha tidak sehat tidak dapat dihindari lagi
dan
mengakibatkan timbulnya sengketa bisnis. Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2000 Tentang Rahasia Dagang memberikan kesempatan kepada pemegang Rahasia Dagang
untuk menyelesaikan sengketa bisnis ini melalui lembaga peradilan umum, yaitu Pengadilan
Negeri. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000
Tentang Rahasia Dagang yang menyatakan Pemegang
Hak
Rahasia Dagang
atau
penerima lisensi dapat Pengguggat siapapun yang dengan sengaja dan tanpa hak
melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, berupa
Negeri.
Semua prosedur yang dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa ini harus secara
akomodatif
Dalam
menyediakan
Pasal 11
sarana
untuk
Undang-Undang
mengidentifikasikan
Rahasia
Dagang
dan
untuk
melindungi.
memerintahkan
membayar ganti rugi yang memadai kepada Pemegang Rahasia Dagang berkenaan dengan
kerugian yang di deritanya. Ganti rugi ini dapat berupa pengembalian keuntungan atau
pembayaran atas hasil yang diterimanya dari kegiatan pelanggaran tersebut. Selain itu,
seperti juga tercantum dalam Pasal 11 ayat (1b), Pengadilan Negeri juga berwenang
untuk memerintahkan pelanggar menghentikan kegiatan pelanggaran tersebut untuk
mencegah masuknya ke dalam arus perdagangan di dalam wilayah Indonesia atau
memeritahkan barang yang merupakan hasil pelanggaran Rahasia Dagang, tanpa
kompensasi apapun, dikeluarkan dari arus perdagangan untuk menghindari atau
mengurangi kerugian yang dapat dialami pemiliknya.
Walaupun sifat rahasia dari Rahasia Dagang bersifat perdata, namun UndangUndang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang juga mengatur aspek
pidananya. Hal ini bertujuan untuk melindungi pemilik yang beritikad baik dan
menigkatkan pengembangan dan penggunaan Rahasia Dagang oleh rakyat Indonesia.
104
Aspek pidana yang berkenaan dengan pelanggaran Rahasia Dagang ini terdiri dari
dua macam yang diatur dalam pasal 13 dan 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000
Tentang Rahasia Dagang yang menyatakan:
Pasal 13
pelanggaran Rahasia Dagang juga terjadi apabila seseorang dengan sengaja
mengungkapakan Rahasia Dagang, mengingkari kesepakatan atau mengingkari
kewajiban tertulis atau tidak tertulis untuk menjaga Rahasia Dagang
yang
bersangkutan.
Pasal 14 menyatakan:
seseorang dianggap melanggar Rahasia Dagang pihak lain apabila ia
memperoleh atau menguasai Rahasia Dagang tersebut dengan cara yang
bertentangan
dengan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku
Terhadap pelanggaran yang di atur dalam Pasal 13 dan Pasal 14 tersebut.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang menetapkan
sanksi berupa ketentuan pidana yang diatur dalam Bab IX Pasal 17 ayat (1) yang
menyatakan:
barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengunakan Rahasia Dagang pihak lain atau
melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
300.000.000,- (tiga ratus juta).
Ketentuan pidana tersebut dapat dilakukan secara alternatif atau kumulatif.
Secara alternatif berarti pelanggar tersebut hanya dikenai salah satu hukuman saja,
apakah pidana penjara paling lama
300.000.000,-
tersebut, baik pidana penjara maupun pidana denda, keduanya dikenakan kepadanya.
Walaupun negara memberikan ketentuan pidana kepada pelanggar, namun
pemberian sanksi ini didasarkan kepada kepentingan pemilik atau pemegang Rahasia
Dagang. Oleh karena itu, tindak pidana tersebut dijadikan sebagai delik aduan, bukan delik
biasa. Dengan demikian, proses pemeriksaan atau penyidikan tndak pidana tersebut dapat
dilaksanakan
apabila
ada
pengaduan
dari
pihak
yang
dirugikan.
Apabila aspek perdata dan pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang dikaitkan dengan kegiatan bisnis yang akan dilakukan
pemilik atau pemegang Rahasia Dagang dalam era globalisasi, maka gugatan perdata
ini dapat diajukan oleh pemilik Rahasia Dagang setelah putusan pidana berkekuatan hukum
tetap.
105
Hal ini dperlukan untuk melindungi pelaku usaha dari tindakan pesaingnya yang
berkaitan dengan Rahasia Dagang yang dimilikinya serta agar mampu menghadapi
persaingan global yang cenderung mempergunakan teknologi canggih yang berkaitan pula
dengan Rahasia Dagang.
Ketentuan tentang Pelanggaran Rahasia Dagang diatur dalam Bab VII Pasal 13,
Pasal 14, dan Pasal 15 Undang-Undang Rahasia Dagang. Pasal 13 menyatakan:
Pelanggaran Rahasia Dagang dapat juga terjadi apabila seseorang dengan sengaja
mengungkapkan Rahasia Dagang, mengingkari kesepakatan atau mengingkari
kewajiban tertulis atau tidak tertulis untuk menjaga Rahasia Dagang yang
bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pelanggaran Rahasia Dagang dianggap telah
terjadi jika terdapat seseorang dengan sengaja mengungkapkan informasi atau mengingkari
kesepakatan atau mengingkari kewajiban (wanprestasi) atas perikatan yang telah dibuatnya
baik tersurat maupun tersirat untuk menjaga Rahasia Dagang dimaksud.
Seseorang pun dianggap telah melanggar Rahasia Dagang orang lain jika ia
memperoleh atau menguasai Rahasia Dagang tersebut dengan cara yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kekecualian terhadap ketentuan pelanggaran Rahasia Dagang ini diberikan terhadap
pengungkapan atau penggunaan Rahasia Dagang yang didasarkan untuk kepentingan
pertahanan keamanan, kesehatan, dan keselamatan masyarakat di samping berlaku pula
untuk tindakan rekayasa ulang atas produk yang dihasilkan dari penggunaan Rahasia
Dagang milik orang lain yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan pengembangan
lebih lanjut produk yang bersangkutan.
Ketentuan tentang pengecualian terhadap pelanggaran Rahasia Dagang tersebut
seharusnya juga dilengkapi dengan ketentuan yang secara tegas mengatur tentang
pengungkapan Rahasia Dagang oleh seseorang di depan sidang pengadilan atas perintah
hakim. Atas perintah hakim, seseorang yang mengungkapkan Rahasia Dagang di depan
sidang pengadilan seharusnya juga ditetapkan sebagai suatu kekecualian
sehingga
106
Pengungkapan atau penggunaan Rahasia Dagang milik orang lain tanpa izin ataupunpada
saat pengungkapan atau penggunaan Rahasia Dagang tersebut ia mengetahui dan patut
menduga bahwa informasi itu telah diperoleh secara tidak patut, atau diperoleh dari pihak
yang seharusnya berkewajiban memelihara Rahasia Dagang itu.136
Penyelesaian Pelanggaran Rahasia Dagang di Indonesia
Pelanggaran rahasia dagang sering kali merupakan masalah yang tidak di sadari
sepenuhnya oleh pelaku atau yang melakukannya, karena mereka tidak sadar sudah
melakukan pelanggaran rahasia dagang tersebut.
Untuk lebih jelasnya, penulis dapat menguraikan jenis-jenis pelanggaran rahasia
dagang yang terjadi di indonesia, antara lain:
a.
b.
c.
d.
a.
b.
136
107
Tuntutan Perdata
Penyelesaian sengketa dibidang Rahasia Dagang dapat diajukannya penyelesaian
melalui Pengadilan Negeri, namun demikian, pengadilan bukanlah satu-satunya jalan atau
cara penyelesaian perkara berkaitan dengan Rahasia Dagang.
Masalah penyelesaian sengketa Rahasia Dagang diatur dalam Bab VI, pasal 11
sampai pasal 12. Dalam bab ini ditentukan 2 (dua) cara penyelesaian sengketa, yaitu :
1.
2.
108
lebih lama dibandingkan perkara bidang Hak Kekayaan Intelektual lainnya, misalnya
perkara gugatan pembatalan merek.
Kemudian, dalam penyelesaian sengketa dalam melalui Pengadilan Negeri, pihak
penggugat, apakah ia memegang hak Rahasia Dagang atau penerima lisensi (apabila ia
mempunyai hak untuk melakukan tuntutan), dapat juga mengajukan tuntutan kepada
siapapun yang telah sengaja dan tanpa hak melakukan tindakan yang bertentangan dengan
hak Rahasia Dagangnya. Misalnya, menggunakan Rahasia Dagang itu kepada pihak lain
sehingga menimbulkan kerugian baginya. Atas pelanggaran tersebut pemegang Hak Rahasia
Dagang dapt mengajukan tuntutan berupa :
1.
2.
hak untuk memanfaatkan dan sekaligus mempunyai hak untuk melarang, yaitu :
1.
2.
3.
Kasus di Indonesia misalnya pabrik Gudang Garam sangat dikenal atas produksi
rokok kretek. Untuk rokok kretek tersebut, pabrik yang bersangkutan mempunyai formula
yang tidak dimiliki oleh pabrik rokok lainnya, sehingga hasil produksinya tetap diminati
oleh pecandu rokok.
Formula buatan rokok kretek tersebut merupakan Rahasia Dagang dari pabrik
Gudang Garam. Formula ini mempunyai nilai ekonomi, yang artinya dapat dipasarkan dan
sampai saat ini formula tersebut belum diketahui oleh umum, hanya pemilik pabrik tersebut
yang mengetahui sehingga pemilik pabrik sangat menjaga kerahasiaan dari formula tersebut.
Apabila salah satu unsur dari Rahasia Dagang tidak dipenuhi misalnya : formula
tersebut telah diketahui oleh umum, maka formula tersebut tidak mempunyai arti lagi,
karena masyarakat juga dapat memproduksi rokok tersebut dengan formula yang tersedia.
109
Dengan demikian untuk adanya Rahasia Dagang, ketiga unsur harus ada dan saling kait
mengait serta saling berhubungan. Tanpa adanya salah satu unsur tersebut akan
mengakibatkan tidak ada Rahasia Dagang lagi137.
b.
memberikan sanksi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/ atau denda paling banyak
Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah), dan tindak pidana itu merupakan delik aduan.
Ketentuan yang mengatur pelanggaran Rahasia Dagang hanya diatur dalam 2 (dua)
pasal sehingga kita dapat menyatakan 2 (dua) macam tindakan yang dianggap sebagai
pelanggaran Rahasia Dagang, yaitu :
1.
2.
3.
4.
2.
Imam Sjahputra Tunggal, 2000, Seluk-Beluk Tanya Jawab Teori dan Praktik, Harvarindo,hal.
110
111
penggunaan pihak lain yang tanpa hak, jika hal tersebut di langgar maka akan ada sanksi
perdata maupun pidana berdasarkan pasal 13, 14 dan 15 Undang-undang No. 30 Tahun
2000 tentang Rahasia Dagang.
Dalam Undang-undang Rahasia Dagang terdapat 3 (tiga) cara untuk menyelesaikan
pelanggaran Rahasia Dagang di Indonesia, yaitu :
a. Secara perdata dengan mengajukan tuntutan kompensasi atau ganti rugi atas
pelanggaran Rahasia Dagang, termasuk pula tuntutan ganti rugi akibat terjadi
wanprestasi dalam perjanjian lisensi tersebut;
b. Secara pidana dengan melaporkan adanya tindak pidana terhadap pemegang hak atau
penerima lisensi Rahasia Dagang, dan
c. Melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa
dengan melaksanakan perjanjian yang berkaitan dengan Rahasia Dagang.
Pentingnya undang-undang rahasia dagang ini untuk di perbaiki atau di revisi lagi
karena perkembangan dunia perdagangan khususnya perkembangan dunia niaga di dunia
internasional serta dalam rangka memasuki era pasar bebas, pastinya nanti akan banyak lagi
masalah-masalah yang belum di atur dalam undang-undang ini akan menjadi sengketa
hukum.
Perlunya pemahaman yang lebih komperhensif dari aparat penegak hukum, seperti
polisi, kejaksaan dan kehakiman, untuk lebih mengerti masalah rahasia dagang, sehingga
nantinya jika ada sengketa para aparat penegak hukum bisa menguasai masalah
perlindungan rahasia dagang.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Cita Citrawinda Priapantja, 1999, Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi
Perdagangan Atau Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi, Penerbit
Chandra Pratama.
Imam Sjahputra Tunggal, 2000, Seluk-Beluk Tanya Jawab Teori dan Praktik, Harvarindo
Komar Kantaatmadja, 1995, Undang-Undang Perseroan Terbatas 1995 dan Implikasinya
Terhadap Penanaman Modal Asing, Bandung.
Ramli. Ahmad M, 2001, Hak Atas Kepemilikan Intelektual Teori Dasar Perlindungan
Rahasia Dagang, Mandar Maju, Bandung.
INTERNET
Wikipedia, 2008, Rahasia Dagang, http://id.wikepeda.org/wiki/rahasia_dagang, diakses
pada 10 Januari 2012.
112
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang
Trade Related Aspects Of Intelectual Property (TRIPs)
113
Abstract:
Principle point to one Pancasila is even greater than principle fourth another so deep principle to one
that gets to be made by utilised main footing creates reconciliation to get religion and settles SARA's
conflict at Indonesian. So acquired result is state disability in apply Pancasila's principles because of
still plural it views to Pancasila's realities.
Key words: Pancasila,ontologi and reconciliation religion.
Pendahuluan
Di dalam berbagai Undang-undang, terdapat berbagai definisi mengenai Indonesia,
antara lain:
1.
2.
3.
114
Dari sebagian definisi di atas maka diketahui bahwa Indonesia merupakan negara
yang berciri nusantara, dalam hal ini menunjuk pada artian positif yaitu negara yang
tujuannya adalah memberi kenyamanan hidup bagi rakyatnya. Hal ini juga diperkuat dalam
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial dijelaskan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya
kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Namun kenyamanan
yang diharapkan tidak dapat terjadi dalam segala bidang khususnya dalam keagamaan.
Muncul berbagai kejadian bermotif Suku, Agama, Ras dan Adat-istiadat (SARA) di
Indonesia semenjak era penjajahan Belanda, salah satunya adanya penggolongan pasal-pasal
tertentu seperti dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang
pada mulanya terdapat 1993 pasal yang keberlakuannya dibatasi dengan mereka yang
termasuk golongan Eropa, mereka yang termasuk golongan Tionghoa serta mereka yang
termasuk golongan Timur Asing lain daripada Tionghoa. Hingga di era reformasi pun masih
muncul kejahatan yang mengatasnamakan agama.
Namun
saat
ini,
keberadaan
agama
menjadi
diduakan
akibat
semakin
138
Ahkam Jayadi, Aspek Politik Hukum UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik, Jurnal
Konstitusi, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Volume II, Nomor: 1, 2009, hal. 56.
115
Panditipata Virati, artinya jangan mencabut nyawa makhluk hidup atau dilarang
membunuh.
Adinnadana Virati, artinya janganlah mengambil barang yang tidak diberikan atau
dilarang mencuri.
Kamesu Micchacara Virati, artinya janganlah berhubungan kelamin, atau dilarang
berzina.
Musavada Virati, artinya janganlah berkata palsu atau dilarang berdusta.
Surapana Virati, artinya jangan meminum-minuman yang menghilangkan akal
pikiran, hati dan jiwa atau dilarang minum-minuman keras yang memabukkan.
Pancasila secara historis dipandang sebagai suatu proses perumusan Pancasila yang
139
Pandji Setijo, 2009, Pendidikan Pancasila Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa: Dilengkapi
dengan Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen, Grasindo, Jakarta, hal. 16-17.
116
1945.140 Adapun UUD NRI 1945 terdiri dari dua bagian yaitu Pembukaan UUD NRI
1945dan Pasal-pasal UUD NRI 1945 berisi 37 pasal, 1 Aturan Peralihan yang terdiri atas 4
pasal dan 1 aturan tambahan terdiri atas 2 ayat, serta Penjelasan otentik UUD NRI 1945.
Dari sejarahnya, Pancasila benar-benar berlandaskan suatu ajaran-ajaran positif. Hal
ini juga diperkuat dengan argumen Soeharto yang menyatakan bahwa Pancasila adalah
kepribadian kita, adalah pandangan hidup seluruh Bangsa Indonesia, pandangan hidup yang
disetujui oleh wakil-wakil rakyat, menjelang dan sesudah Proklamasi kemerdekaan kita;
oleh karena itu, Pancasila adalah satu-satunya pandangan hidup yang dapat pula
mempersatukan kita. Pancasila adalah perjanjian luhur seluruh rakyat Indonesia yang harus
selalu kita junjung tinggi bersama dan kita bela selama-lamanya.141
Landasan Yuridis Pancasila
Landasan yuridis Pancasila sebagai dasar negara termuat sebagaimana dalam
pembukaan UUD NRI 1945 pada alinea ke empat, yakni:
Kemudian daripada itu, untuk membentuk, maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dalam mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila sebagai dasar negara juga pada hakikatnya tercermin dalam berbagai asasasas, di antaranya:
a. Asas ketuhanan Yang Maha Esa: tercermin dalam tiga bidang ketatanegaraan Indonesia
(Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif),
b. Asas perikemanusiaan: asas yang mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan
harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa,
c. Asas kebangsaan: setiap warga negara mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang
sama,
d. Asas kedaulatan rakyat: menghendaki bahwa setiap tindakan negara harus berdasarkan
keinginan rakyat,
e. Asas keadilan sosial: menghendaki bahwa tujuan negara adalah mewujudkan keadilan
sosial secara adil dan makmur.
140
Saefroedin, dkk, 1992, Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, Sekretariat Negara Republik Indonesia,
Jakarta, hal. 137-290 dan hal. 293-324.
141
Centre For Strategic And International Studies (CSIS), 1976, Pandangan Presiden Soeharto
Tentang Pancasila, Sekretariat Negara RI, Jakarta, hal. 10-11.
117
Pancasila sebagai dasar negara juga dimaknai sebagai hukum dasar negara Indonesia
yang secara objektif merupakan suatu pandangan hidup, kesadaran, cita-cita hukum dan
cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan serta watak bangsa Indonesia.142
Penerapan Sila Kesatu Pancasila
Kekuatan sila-sila dalam Pancasila tidaklah sama dalam hal ini bahwa sila kesatu
kedudukannya lebih besar dari keempat sila lainnya dan membawahi keempat sila tersebut.
Tersirat bahwa Pancasila terutama sila kesatu mampu menjadikan landasan agar terciptanya
kerukunan beragama. Di dalam tulisan ini, penulis juga meitikberatkan bahwa keberadaan
Pancasila seharusnya melindungi keberadaan ateis (tidak mengakui adanya Tuhan),
penghayat (mengaku Tuhan namun tidak menyandarkan seluruh kepecayaannya kepada
Than itu sendiri), agnostik (Tuhan dianalogikan sebagai pribadi yang bersifat kebendaan),
dan animisme (kepercayaan yang mendiami roh-roh atau benda). Hal ini terjadi karena
sumber Pancasila adalah kebaikan. Dimana apabila kita mengacu pada sila kedua
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab jelaslah bahwa keadilan adalah milik semua orang.
Tetapi keadilan demikian akan terpatahkan apabila kita mengacu pada definisi Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dijelaskan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia. Sedangkan mengacu pada Article 1 Universal Declaration of Human Rights
disebutkan bahwa All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are
endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of
brotherhood.
Terpatahkannya bukan karena definisi dalam Hak Asasi Manusia (HAM) itu sendiri
melainkan disebabkan masih adanya variasi dalam menterjemahkan HAM itu sendiri.
Mustafa Lutfi menjelaskan bahwa HAM merupakan derivasi dari istilah asing yaitu human
rights (bahasa Inggris) dan Mensen Rechten (bahasa Belanda). Selain kata HAM, juga
terdapat kata Hak Dasar Manusia (HDM) sebagai terjemahan dari istilah fundamental rights
(bahasa Inggris) dan grund rechten (bahasa Belanda). Sedangkan terminologi HAM dalam
literatur ilmu politik dan hukum tata negara dapat ditelusuri dari terjemahan droits
142
Soekarno, 2006, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, Media Presindo, Yogyakarta, hal. 47.
118
yang
menentukan
kebijakan
suatu
pemimpin
dalam
menjalankan
roda
b.
c.
Jazim Hamidi, 2010, Civic Education Antara Realitas Politik dan Implementasi Hukumnya, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 210-211.
144
Imam Anshori Saleh dan Jazim Hamidi, 2004, Memerdekakan Indonesia Kembali (Perjalanan
Bangsa dari Soekarno ke Megawati), IRCiSoD, Yogyakarta, hal. xvi.
119
mana bangsa Indonesia sejak permulaan hidup terdiri dari multi etnis, multi religius dan
multi ideologis. Berbagai unsur-unsur tersebut dapat memperkaya budaya untuk
membangun bangsa yang kuat namun sisi berlawanan dapat memperlemah kekuatan dengan
berbagai perselisihan dan pertentangan. Maka, problematika yang timbul yaitu
bagaimanakah agar sila kesatu
sepanjang waktu.
Penulis menjadikan Pancasila ke dalam tiga landasan yaitu:
a.
b.
c.
est Potestas Super Terram Quae Compraturei (tiada kekuasaan yang dapat menandingi
kekuasaan negara), Pancasila tetap dapat membawa pengaruh positif bagi keberlangsungan
beragama di Indonesia. Hal ini tercermin dalam sudut pandang sejarah Pancasila yaitu causa
145
Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 1995, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 211.
146
Notonagoro, 1975, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pantjuran Tudjuh, Jakarta, hal. 52-57.
120
materialis formalis,147 sebagai sambungan dari causa formalis148 dan causa finalis,149 serta
causa efisien.150
Bersandar dari Pancasila, seharusnya kerukunan umat beragama merupakan sesuatu
yang mutlak dijaga keutuhannya. Kerukunan umat beragama apabila dikaitkan dengan
pendapat Friedrich von Savigny bahwa hukum hanya bisa dideskripsikan sebagaimana apa
adanya dalam faktanya yang nyata dalam masyarakat.151 Apabila fakta adanya ruang selisih
antara substansi hukum undang-undang negara dan hukum rakyat yang informal dan tidak
tertulis itu dipandang sebagai suatu masalah kompetisi yang berpotensi konflik antara
sentral dan lokal maka perkembangan dalam pergaulan politik dan hukum antar bangsa
tersebut dapat dikatakan sebagai proses terolahnya kebijakan yang mengarah pada solusi
kompromistis. Perhatian selanjutnya bahwa sejak masa pergerakan maupun bahwa sejak
masa pergerakan maupun pada saat menyusun UUD Proklamasi, semua berpendapat agar
demokrasi atau paham kedaulatan rakyat menjadi salah satu sendi Indonesia merdeka.
Diakui memang, ada beberapa visi di antara para anggota pergerakan dan tim penyusun
UUD. Ada yang membangun paham demokrasi bagi Indonesia merdeka dari prinsip-prinsip
ajaran agama Islam seperti prinsip permusyawaratan (yang direpresentasikan oleh Yamin
dan Agus salim). Ada yang menggali prinsip-prinsip demokrasi dari adat-istiadat Indonesia
yang dipadukan dengan paham demokrasi modern (oleh Hatta dan Soekarno). Ada juga
yang semata-mata melihat dari budaya asli Indonesia seperti halnya Soepomo.152
Pancasila bagi bangsa Indonesia pada hakikatnya berfungsi sebagai dasar negara dan
ideologi bangsa dan negara. Pancasila sampai detik ini telah diterima dan masih perlu
pemahaman mendalam lagi oleh seluruh rakyat Indonesia, serta menjadi dasar dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan, termasuk penegakan hukum di Indonesia. Nilai-nilai yang
147
Causa materialis formalis adalah asal mula bahan. Sebelum terbentuk dan dirumuskan, unsurunsur Pancasila telah ada yaitu berupa adat istiadat, kebudayaan dan agama-agama.
148
Causa formalis adalah asal mula bentuk. Artinya bagaimana Pancasila tersebut dirumuskan.
Pembentukan Pancasila dibentuk berdasarkan atas pembentukan negara dalam suatu sidang yaitu
BPUPKI.
149
Causa finalis adalah asal mula tujuan. Hal ini dimaksudkan asal mula dalam hubungannya
dengan tujuan dirumuskannya Pancasila.
150
Causa efisien adalah asal mula karya. Hal ini dimaksudkan dalam proses perumusan Pancasila
dalam sidang BPUPKI, Piagam Jakarta 1945 hingga disahkannya pada tanggal 18 Agustus 1945.
151
Agung Yuriandi, 2008, Perbandingan Teori Hukum Roscoe Pound Dan Carl Von Savigny
Dipandang Dari Perspektif Politik Hukum, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,
Medan, hal. 1.
152
Jazim Hamidi, 2005, Makna Dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945
Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran, Bandung, hal. 223.
121
153
Muhammad Naufal Arifiyanto, 2011, Teori Pancasila dan Kewarganegaraan, Gre Publishing,
Yogyakarta, hal. 102.
154
Agung Kesna Mahatmaharti, Menyikapi Multikulturalisme dalam Konteks Pluralitas Budaya.
Majalah Ilmiah Media, Kampus STKIP Jombang, Edisi Maret-April 2010, hal. 59-60.
122
123
L. Berkowitz, 1977, Advances in Experimental Social Psychology, Academic Press, New York,
hal. 173-220.
157
Sam Harri, 2004, The End of Faith: Religion: Terror and the Future of Reason, Norton, New
York, hal. 26.
158
Beverly Milton-Edwards, 2006, Violence in the Modern Era, Palgrave, New York, hal. 22-23.
124
yang telah berbuat jahat apabila orang tersebut bertobat maka dalam kehidupan berikutnya
akan memperoleh kebahagiaan kekal. Diskriminasi terhadap agama tidak perlu terjadi
apabila setiap individu memiliki pemahaman terhadap keberadaan suatu agama dan
bagaimana keberlakuan agama tersebut bagi seseorang yang bertindak agnostik.
Bersumber pada St. Tomas Aquinas dalam sebuah refleksinya mengatakan bahwa
Makhluk ciptaan keluar dari tangan Allah yang dibuka dengan kunci cinta. Tangan Allah
mencipta dan membuka setiap kehidupan manusia dengan kunci cinta. Kekuatan cinta Allah
itulah yang memampukan manusia untuk saling mencinta.159 Senada juga Plato mengatakan
bahwa keadilan dapat tercipta tanpa hukum, karena yang menjadi penguasa adalah kaum
cerdik pandai, kaum arif bijaksana yang mewujudkan theoria (pengetahuan dan pengertian
terbaiknya) dalam bertindak. Pemerintahan dijalankan dengan berpedoman pada keadilan
sesuai ide keadilan orang arif tersebut dan kaum bijak bertindak sebagai guru sekaligus
pelayan kepentingan umum berbasis keadilan. Pada akhirnya sila kesatu Pancasila akan
menciptakan kerukunan di antara masyarakat.
Penutup
Negara masih kurang dalam menerapkan sila-sila Pancasila khususnya sila kesatu bagi
masyarakat dikarenakan masih adanya berbagai sudut pandang mengenai hakikat Pancasila
itu sendiri. Sehingga wujud nyata tersebut tidak dapat terlaksana secara optimal. Sebagai
negara yang berdasarkan hukum, pemerintah berdaulat di Indonesia wajib melakukan:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
159
Sosialisasi Pancasila khususnya esensi sila kesatu bagi seluruh masyarakat tanpa
terkecuali
Menambah beban studi mata pelajaran atau mata kuliah pendidikan kewarganegaraan
dengan tujuan mendidik generasi muda menjadi warga negara yang paham akan nilainilai kerukunan beragama dan pada akhirnya terciptanya kebijakan yang demokratis
dan memiliki kebijaksanaan sebagai hasil akhirnya
Menggiatkan seminar-seminar khususnya bagi Warga Negara indonesia (WNI) yang
sedang melakukan studi atau bekerja di luar negeri dengan tujuan agar nilai-nilai
Pancasila tersebut mampu bertransformasi pada perkembangan jaman
Menjadikan Pancasila sebagai tumpuan dasar dalam menyelesaikan permasalahan
konflik yang terkait SARA
Membentuk peraturan perundang-undangan yang selalu berfilosofi pada Pancasila
Memberlakukan ilmu hermeneutika dan ilmu filsafat ke setiap jenjang pendidikan
khususnya tingkat Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Internasional yang berada di
Indonesia, Sekolah berbasis keagamaan dan Sekolah Menengah Atas
Menjadikan ilmu hukum tata negara sebagai mata kuliah wajib dalam setiap jenjang
ilmu-ilmu sosial karena dengan demikian akan menumbuhkan rasa ingin tahu terhadap
keberadaan dan keberlansungan suatu negara.
Institut Karmel Indonesia (IKI), 2011, Cafe Rohani, Carmel Vision, Malang, hal. 6.
125
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Agung Yuriandi, 2008, Perbandingan Teori Hukum Roscoe Pound Dan Carl Von Savigny
Dipandang Dari Perspektif Politik Hukum, Tesis, Program Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara, Medan.
Berkowitz, L., 1977, Advances in Experimental Social Psychology, Academic Press, New
York.
Beverly Milton-Edwards, 2006, Violence in the Modern Era, Palgrave, New York.
Centre For Strategic And International Studies (CSIS), 1976, Pandangan Presiden Soeharto
Tentang Pancasila, Sekretariat Negara RI, Jakarta.
Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 1995, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Imam Anshori Saleh dan Jazim Hamidi, 2004, Memerdekakan Indonesia Kembali
(Perjalanan Bangsa dari Soekarno ke Megawati), IRCiSoD, Yogyakarta.
Institut Karmel Indonesia (IKI), 2011, Cafe Rohani, Carmel Vision, Malang.
Jazim Hamidi, 2005, Makna Dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945
Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana
Universitas Padjadjaran, Bandung.
___________, 2010, Civic Education Antara Realitas Politik dan Implementasi Hukumnya,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Muhammad Naufal Arifiyanto, 2011, Teori Pancasila dan Kewarganegaraan, Gre
Publishing, Yogyakarta.
Notonagoro, 1975, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pantjuran Tudjuh, Jakarta.
Pandji Setijo, 2009, Pendidikan Pancasila Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa:
Dilengkapi dengan Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen, Grasindo,
Jakarta.
Saefroedin, dkk, 1992, Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, Sekretariat Negara Republik
Indonesia, Jakarta.
Sam Harri, 2004, The End of Faith: Religion: Terror and the Future of Reason, Norton,
New York.
Soekarno, 2006, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, Media Presindo, Yogyakarta.
SURAT KABAR
Fer, Akhiri Keprihatinan, Harian Kompas, Tanggal 19 Oktober 2011.
JURNAL
Agung Kesna Mahatmaharti, Menyikapi Multikulturalisme dalam Konteks Pluralitas
Budaya. Majalah Ilmiah Media, Kampus STKIP Jombang, Edisi Maret-April 2010.
Ahkam Jayadi, Aspek Politik Hukum UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik, Jurnal
Konstitusi, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Volume II, Nomor: 1, 2009.
126
160
Badung district as a regional center of tourism in Bali get a very high income from tourism.
The Regent of Badung District, AA Gde Agung said, amounting to 76.19 percent of revenue
comes from tourism. Of the amount of revenue Badung 2011 of Rp 1.1 trillion or 76.19
percent obtained from the tourism sector of hotels and restaurant taxes. 161 Revenues from
the tourism sector is capital in the development.
Bali is known as a tourist destination because it has a unique culture. Tourists visiting
Bali always want to watch the performing arts. Arts on the Balinese are so loved by the
160
Oka A. Yoeti, 2006, Pariwisata Budaya: Masalah dan Solusinya, Pradnya Paramita,
Jakarta, p. 2.
161
Antara News, 2011, 76,19 Persen PAD Berasal Dari Pariwisata Serial Online Sunday,
August 7 2011 16:16 WIB, available from: URL: http://bali.antaranews.com/berita/13076/7619persen-pad-berasal-dari-pariwisata, Cited 21th February 2012.
127
people of Bali so as if seen to dominate the whole life of the Balinese people. On the basis
of such functions, art is the focus of Balinese culture. 162 Bali has a wide range of regional
arts. Art has become an important tool in the development of cultural tourism.
Since Bali opened one tourist destination in Indonesia in the late 1960s, the growing
number of Balinese arts developed into a tourist performing arts presented to the tourists.
Interesting to note that the growth of tourism in the area of performing arts in general have
the support of the Balinese itself. 163 Performing arts are performed in the hotels, restaurants,
or in the art stages. This show is in great demand by tourists.
This art shows provide a large share of national income through tourism. They are the
main actor in determining the progress of tourism in Bali. In addition, they also play a role
in preserving the local culture, but the legal protection of remuneration of artists in Bali is
not maximized. They paid no more than Rp 10.000,00 per hour per each person.
Remuneration is still cut support costs such as clothing and make-up. Organizers can also
play standard price if they know that the organization employs an artist who does not have
the license by Governor represented by Head of Culture Office. This condition leads to
lower economic standard of the artists whereas they are the principal actor in the
development of tourism in Bali. Therefore necessary legal protection for remuneration of
artists in Bali.
The Regulations of Remuneration of Artist in Bali
The tourism industry has developed rapidly. At the beginning of the 20th century,
tourism is an activity that is only done by a handful of relatively wealthy people. Today,
tourism is becoming an integral part of human life, especially social and economic life. 164
Tourism activities are seen as a human right that needs to be fought for. In the government's
tourism development (Government of the Republic of Indonesia and Bali Provincial
Government) has made a series of policies in developing the tourism activities.
The idea of tourism policy is based on the notion that tourism is an integral part of
national development is done in a systematic, planned, integrated, sustainable and
responsible manner while providing protection toward religious values, cultures living in the
community, sustainability, and environmental life quality, as well as national concern.
162
Dinas Pariwisata Provinsi Bali (Bali Government Tourism Office, Informasi Objek dan
Daya Tarik Wisata di Bali, Denpasar, p. 9.
163
Ni Made Ruastiti, 2005. Seni Pertunjukan Bali Dalam Kemasan Pariwisata. Bali Mangsi
Press, Denpasar, p. 1.
164
I Gde Pitana dan Putu G. Gayatri, 2005, Sosiologi Pariwisata, Andi, Yogyakarta, p. 40.
128
Tourism development is needed to encourage equal opportunities and benefits as well able
to face the challenges of changes in local, national, and global.
Tourism development is directed at the distribution of welfare, therefore the protection
toward the remuneration of artists need to be regulated in various laws. In Article 27
paragraph (2) of the Constitution of the Republic of Indonesia of 1945 stated that Every
citizen has the right to work and live in human dignity. Provision in the Constitution is a
mandate that must be spelled out at a lower regulatory.165
The level of the Act, the provisions regarding the protection of remuneration of these
artists set out in Article 3 of The Act No. 10 of 2009 concerning Tourism which states:
Tourism function of physical needs, spiritual, and intellectual recreation and every tourist
with travel and increase revenues for the welfare of the people.
Furthermore, in Article 4 of The Act No. 10 of 2009 concerning Tourism, tourism aims to:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
activity itself that is on one hand to developing countries that carry out the existence of a
tourism activity (advancing a culture, a sense of patriotism, and imagery of the state in
international relations) and the others also provide welfare and increase economic growth.
Bali tourism development focused on cultural tourism, so the artists become the
principal actors who have protected the country. In Article 8 of The Decision of the
Governor of Bali No. 394 of 1997 concerning The Regulation of Regional Arts in Bali
165
129
Province is mentioned about the things that should be considered in implementing the legal
protection for the artists, that is where the performance artist who adapted to the type of
activities performed, dress room with adequate facilities, remunerations are adjusted to the
rules of the remunerations rate, provision of social security for sekaa / performing art
organizations such as insurances and health services and catering for the sekaa / performing
art organizations. In Article 12 The Decision of the Governor of Bali No. 394 of 1997
concerning The Regulation of Regional Arts in Bali Province is determined that:
(1) Acceptance of remunerations for sekaa / art organizations that will implement the
performing arts of the region for tourism area with a maximum 1-hour long show:
a.
For the types of dance off / legong with accompaniment of Gong Kebyar or Gong
Suling by the number of members of at least 35 (thirty five) minimum wage of Rp
700,000.00 plus the cost of transportation from home to the venue round-trip.
b. For the types of fragmen new creations by the number of members of at least 45
people receive a minimum wage of Rp. 900,000.00 plus the cost of transportation
from home to the venue round-trip.
c. For the type of Godogan Dance (Frog Dance) by the number of members of the
35 people receive a minimum wage of Rp 700,000.00 plus the cost of
transportation from home to the venue round-trip.
d. For the type of Janger Dance by the number of members of at least 30 people
receive a wage of Rp 600,000.00 plus the cost of transportation from home to the
venue round-trip.
e. For the type of Joged Bumbung by the number of members of at least 20 people
receive a minimum wage of Rp 400,000.00 plus the cost of transportation from
home to the venue round-trip.
f. For the type of Okokan/Grumbyungan by the number of members of the 60
people receiving minimum wage of Rp 600,000.00 plus the cost of transportation
from home to the venue round-trip.
g. For the type of Jegog by the number of members of at least 35 people receive a
wage of Rp 700,000.00 plus the cost of transportation from home to the venue
round-trip.
h. Tabuh iringan/ percussion accompaniment to receive a wage of Rp Rp
300.000,00 plus the cost of transportation from home to the venue round-trip.
i. For Penyambutan dance with any personnel receive a wage of Rp 20000.00 plus
the cost of transportation from home to the venue round-trip.
(2) Remunerations as stated in paragraph (1), can be reviewed, modified and adapted to
the situation that developed the condition.
(3) Changes in the remunerations as paragraph (2), established by Decision of the
Governor of Bali.
Guidance and supervision of the owner / manager / sekaa / organization as the
organizer of the region performing arts are conducted by the Regional Arts Technical Team
established by the Decision of the Governor of Bali.
130
166
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, p. 204.
131
167
Weak
implementation of the provisions of the remuneration due to the absence of the parties to
supervise the wage. Although the topic of the low remuneration of these artists are often
covered in the media, but the supervision and the imposition of sanctions toward the
organizers of the show did not exist.
Weak implementation of the provisions of remuneration for performing artists is also
due sekaa / organization does not have the performing license. Article 4 paragraph (1) The
decision of The Decision of the Governor of Bali No. 394 of 1997 concerning The Regulation
of Regional Arts in Bali Province says In carrying out activities in the performing arts of the
region, especially for tourism in the area of each Sekaa / art organization should have a
performing license by the show Governor represented by the Head of Culture Office.
From research conducted in Bali Provincial Cultural Office in mind that 166 sekaa / art
organizations registered in Bali Provincial Cultural Office recorded only 18 sekaa / art
organizations have license and which do not have as many as 148 licenses sekaa / art
organizations. Show the absence of consent is causing the organizers to suppress their wages.
The legal culture of the performing artists who are less fight for their rights as well be
the cause of the weakness of the implementation of the remuneration. Artists do not have
bargaining position in remunerations because he feels that they are more in need than the
organizers. The artist also did not try to fight for his remuneration. For them, not a problem if
they have low remuneration. The most important for them had come in hotel and enjoy the
hotel facilities, restaurant, or stage performances. For them it becomes a pride.
Development of tourism in Bali is inseparable from the role of the five pillars of tourism
development which consists of community, stakeholders in tourism, government, academia,
and the press. Balinese people as perpetrators of Balis culture. They have important role in
the development of tourism in Bali based on culture tourism.168 Legal protection of
remuneration requires that the role of community to determine the nominal in accordance to
the situation and conditions. The organizer of tourism have the role to obey the rules of the
remuneration of performing artists. The government in shaping the rules and regulations
overseeing the remuneration provisions. Academics as the experts who helped the government
167
Regional Regulation of Bali Province No. 9 of 2009 concerning the Bali Province Medium
Term Regional Development Plan of 2008-2013.
132
to formulate the rules of remuneration and conduct scientific studies in the implementation of
the remuneration. The press that oversees the implementation of remunerations for performing
artist.
Appropriate remuneration for performing artists is an important part of sustainable
tourism development. Bali sustainable tourism development is development in dimension of
economic, social and cultural environment that has justice not only for the present generation
but also generations to come. In this construction, tourism is seen as a system that includes
various components of each system that includes various components that interact and
influence each other. Therefore we need a synergy with multi-sectoral and multidisciplinary
approach.169
Conclusion
Remuneration arrangements for the performing artists provided
in Article 27
paragraph (3) of the Constitution of the Republic of Indonesia of 1945, Articles 3 and 4 of
The Act No. 10 of 2009 concerning Tourism and specifically for performing artists in Bali
can be seen in the provisions of Article The Decision of the Governor of Bali No. 394 of
1997 concerning The Regulation of Regional Arts in Bali Province. In the article is
determined that the acceptance of remuneration for art organizations that will implement the
performing arts of the region for tourism in the region with a maximum of an hour long
show is Rp 10000.00 - Rp 20000.00 per person.
In practice, this performing artists are paid less than specified. This condition is
happened because of the legal substance of the provision of such remuneration is not in
accordance with the conditions, circumstances and the times and also the absence of
penalties for the infraction. Weak implementation of remuneration was also caused by
factors that do not have the legal structure of government that oversees the implementation
of the remunerations so that the organizers are looking for maximum profit and legal
cultural factors that the weak position of workers in the art of determining the remuneration.
To improve the welfare of these artists, we need a legal protection toward
remuneration for artists. Legal protection of remuneration requires that the bargaining
position of community to determine the nominal in accordance to the situation and
conditions. The organizers of tourism have the role to obey the rules corncerning the
remuneration. The government have authority in shaping the rules and regulations
169
133
overseeing the remuneration provisions. Academics as the experts can help the government
to formulate the rules of remuneration and conduct scientific researches in the
implementation of the remuneration. The press oversees the implementation of
remunerations for performing artist.
REFERENCES
BOOKS
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana
Prenada Media Group, Jakarta.
Dinas Pariwisata Provinsi Bali (Bali Government Tourism Office, Informasi Objek dan
Daya Tarik Wisata di Bali, Denpasar.
Oka A. Yoeti, 2006, Pariwisata Budaya: Masalah dan Solusinya, Pradnya Paramita,
Jakarta.
Parikesit Widiatedja,2011, Kebijakan Liberalisasi Pariwisata Konstruksi Konsep Ragam
Masalah dan Alternatif, Udayana University Press, Denpasar.
Pitana, I Gde dan Putu G. Gayatri, 2005, Sosiologi Pariwisata, Andi, Yogyakarta.
Ruastiti, Ni Made, 2005, Seni Pertunjukan Bali Dalam Kemasan Pariwisata, Bali Mangsi
Press, Denpasar.
ARTICLES
Antara News 2011, 76,19 Persen PAD Berasal Dari Pariwisata Serial Online Sunday,
August
7
2011
16:16
WIB,
available
from:
URL:
http://bali.antaranews.com/berita/13076/7619-persen-pad-berasal-dari-pariwisata,
Cited 21th February 2012.
Subadra, I Nengah, 2007, Peran Pemerintah dalam Pembangunan Pariwisata available
from: URL: http://subadra.wordpress.com/2007/08/26/89/, Cited 21th February 2012.
LAW MATERIALS
Constitution of the Republic of Indonesia of 1945.
Act of Republic of Indonesia No. 10 of 2009 concerning Tourism.
Act of Republic of Indonesia No. 12 of 2011 concerning Formating Legislation.
Regional Regulation of the Bali Province No. 3 of 1991 concerning Cultural Tourism.
Regional Regulation of Bali Province No. 9 of 2009 concerning the Bali Province Medium
Term Regional Development Plan of 2008-2013.
Decision of the Governor of Bali No. 394 of 1997 concerning The Regulation of Regional
Arts in Bali Province.
134
135
136
kuliah hukum internasional, hukum laut internasional, hukum diplomatik dan perjanjian
internasional dan saat ini sebagai pembimbing GMCC (Ganesha Mort Court Competion),
yang dapat mengikuti lomba peradilan semu di Universitas Soedirman, Purwokerto, Jawa
tengah pada tahun 2011.
Tomy M Saragih, S.H., M.H.
Lahir di Surabaya,12 Januari 1987. Menyelesaikan Strata 1 di Fakultas Hukum Universitas
17 Agustus 1945 Surabaya (2004-2008) dan Strata 2 di Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya Malang (2009-2011). Saat ini bekerja sebagai editor buku di Penerbit Titah Surga
Yogyakarta. Penulis memiliki karya buku diantaranya Nikmatnya Bus Ekonomi-2009,
Optik Hukum Peraturan Daerah Bermasalah-2010, Pemahaman Teori Dalam Ilmu Hukum2010, Pengantar Hukum Persaingan Usaha-2011, 101 Lirik Lagu Yang Menghebohkan
Dunia-2011, Status Komisi Pengawas Persaingan Usaha Dalam Hukum Tata Negara-2011
dan Kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha di Indonesia-2011. Dapat dihubungi
melalui No. Telepon 081333330187/0819671079 atau dengan surat elektronik
melalui
a_los_tesalonicenses@yahoo.com
Tjok Istri Sri Harwathy, S.H., M.M.
Dilahirkan di Bima, 11 September 1957. Menamatkan pendidikan S1 di Fakultas Hukum
Universitas Udayana pada tahun 1984 dan pendidikan S2 Magister Manajemen tahun 2002
di IMNI Jakarta. Saat ini menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas
Mahasaraswati Denpasar. Aktif dalam bidang penelitian dan pengabdian masyarakat. Dapat
dihubungi melalui 08123806751.
Made Emy Andayani Citra, S.H., M.H.
Dilahirkan di Singaraja, 28 Agustus 1964. Menamatkan pendidikan S1 di Fakultas Hukum
Universitas Mahasaraswati Denpasar dan S2 pada Program Magister Hukum Universitas
Udayana konsentrasi Hukum Bisnis. Saat ini bekerja sebagai dosen pada Fakultas Hukum
Universitas Mahasaraswati Denpasar dan menjabat sebagai Wakil Dekan II. Aktif pada
bidang penelitian dan pengabdian masyarakat. Pernah mendapatkan penghargaan sebagai
dosen berprestasi baik di lingkungan civitas akademika maupun di tingkat Kopertis Wilayah
VIII. Dapat dihubungi melalui 08123829184.
Ni Luh Gede Yogi Arthani, S.H., M.H.
Dilahirkan di Denpasar, 22 Desember 1980. Menamatkan pendidikan S1 di Fakultas Hukum
Universitas Udayana dan S2 pada Program Magister Hukum Universitas Udayana. Saat ini
bekerja sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar. Aktif dalam
bidang pengabdian masyarakat. Dapat dihubungi melalui 087862712727 atau
yogi_arthani@yahoo.com.
Dewi Bunga, S.H., M.H.
Dilahirkan di Denpasar, 8 Februari 1987. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum
Universitas Udayana dan S2 di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana dengan
predikat cumlaude. Saat ini bekerja sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas
Mahasaraswati Denpasar. Aktif pula sebagai narasumber hukum di pelbagai acara TV dan
Radio. Berbagai tulisannya telah dimuat dalam media cetak, jurnal ilmiah serta
diseminarkan baik dalam skala regional, nasional dan internasional. Dapat dihubungi
melalui bunga8287@yahoo.com atau 081916151963.
137
Jurnal Advokasi Hukum merupakan jurnal yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas
Mahasaraswati Denpasar. Sebagaimana tulisan ilmiah, maka terdapat ketentuan-ketentuan terkait
dengan penulisan pada jurnal ini. Adapun ketentuan-ketentuan yang dimaksud adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Tulisan yang diterima adalah menyangkut masalah advokasi baik dalam kajian pidana, perdata,
tata negara dan tata usaha negara.
Tulisan belum pernah dimuat atau tidak sedang diajukan pada jurnal atau penerbit lain.
Judul ditulis dengan huruf kapital dan maksimal terdiri atas 12 kata.
Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris maksimal 200 kata dan memuat kata kunci 3-5 kata.
Naskah diketik di atas kertas HVS A4, 2 spasi, margin atas dan kiri 4 cm dan margin kanan dan
bawah 3 cm dengan jumlah halaman antara 14-20 halaman.
Pada bagian akhir tulisan disertai dengan daftar riwayat hidup singkat yang sekurang-kurangnya
melampirkan nama, tempat dan tanggal lahir, riwayat pendidikan, afiliasi serta alamat kontak
yang dapat dihubungi (alamat/ email/ HP/ blog).
Penulisan catatan kaki adalah sebagai berikut:
Buku:
nama pengarang, tahun terbit, judul buku (cetak miring), penerbit, kota, halaman.
contoh: Abdul Ghofur Anshori, 2009, Filfasat Hukum, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, hal. 25.
Makalah:
Nama pengarang, judul makalah (dalam tanda kutip), tema seminar/ lokakarya, penyelenggara,
tempat, waktu, halaman.
Contoh:
Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana di Dalam kejahatan yang Dilakukan oleh Korporasi,
Makalah pada seminar nasional kejahatan korporasi, FH UNDIP, Semarang, 23-24 November
1989, hal. 2.
Internet:
Nama pengarang, edisi, judul (dalam tanda kutip), alamat web, tanggal akses.
Agus Raharjo, 2006, Kebijakan Kriminalisasi dan Penanganan Cybercrime di Indonesia,
http://www.unsoed.ac.id/newcmsfak/UserFiles/File/HUKUM/kriminalisasi_cybercrime.htm,
diakses pada 9 Juni 2011.
Jurnal:
Nama penulis, judul (dicetak miring), nama jurnal, penerbit, edisi, halaman.
Tjok Istri Sri Harwathy, Pengaruh Kebudayaan Terhadap Penegakan Hukum di Masyarakat,
Maha Yustika, Fakultas Hukum Mahasaraswati Denpasar, Vol. 7 No. 7 September 2010, hal. 5.
Penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut:
Buku:
nama pengarang, tahun terbit, judul buku (cetak miring), penerbit, kota.
contoh: Abdul Ghofur Anshori, 2009, Filfasat Hukum, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
138
Makalah:
Nama pengarang, judul makalah (dalam tanda kutip), tema seminar/ lokakarya, penyelenggara,
tempat, waktu.
Contoh:
Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana di Dalam kejahatan yang Dilakukan oleh Korporasi,
Makalah pada seminar nasional kejahatan korporasi, FH UNDIP, Semarang, 23-24 November
1989.
Internet:
Nama pengarang, edisi, judul (dalam tanda kutip), alamat web, tanggal akses.
Agus Raharjo, 2006, Kebijakan Kriminalisasi dan Penanganan Cybercrime di Indonesia,
http://www.unsoed.ac.id/newcmsfak/UserFiles/File/HUKUM/kriminalisasi_cybercrime.htm,
diakses pada 9 Juni 2011.
Jurnal:
Nama penulis, judul (dicetak miring), nama jurnal, penerbit, edisi.
Tjok Istri Sri Harwathy, Pengaruh Kebudayaan Terhadap Penegakan Hukum di Masyarakat,
Maha Yustika, Fakultas Hukum Mahasaraswati Denpasar, Vol. 7 No. 7 September 2010.
Sumber Hukum:
Nama sumber hukum, lembaran negara dan lembaran tambahan negara.
contoh:
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843.
9.
Pengiriman naskah dilakukan dengan menyertakan hard copy dan soft copy yang dikirim ke
alamat redaksi Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jalan Kamboja,
Denpasar, contact person: Bunga (081916151963/ bunga8287@yahoo.com).
10. Naskah yang diterima oleh redaksi akan di review dan apabila diterbitkan maka redaksi akan
menghubungi penulis.
11. Redaksi berhak atas naskah yang dikirimkan oleh penulis.
Salam Redaksi