Anda di halaman 1dari 3

BAB II (KDRT)

A. KDRT
1. Pengertian KDRT

Indonesia sebagai negara hukum yang wajib menjunjung tinggi hak asasi manusia terutama hak
hidup atau mempertahankan hidupnya, hak mendapatkan keamanan (terbebas dari tekanan) dan
hak untuk memiliki keturunan. Oleh karenanya Negara mensyahkan Undang – Undang Nomor 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang Undang ini
memberi ruang kepada Negara untuk melakukan intervensi terhadap kejahatan yang terjadi di
dalam rumah sehingga negara dapat melakukan perlindungan lebih optimal terhadap warga
negara yang membutuhkan perlindungan khusus perempuan dan anak dari tindak kekerasan.(1)
Meskipun telah diundangkan dan masuk dalam lembar negara namun tidak semua warga negara
memahami isi dari undang -undang tersebut oleh karenanya sangat perlu dilakukan penyuluhan
hukum terkait hal ini kepada seluruh lapisan masyarakat mengingat kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) sering kita temui dalam lingkungan kita bahkan mungkin dapat kita alami.
Dalam pasal 12 huruf b Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban
menyelenggarakan komunikasi , informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga.
Namun tentu kewajiban tersebut tidak secara penuh menjadi tanggung jawab pemerintah, peran
serta dukungan masyarakat sangat diperlukan.1

Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT bukanlah sesuatu yang asing yang kita dengar
akhir-akhir ini. Pemberitaan mengenai KDRT hampur setiap hari selalu menjadi pembahasan
berita yang menarik di tanah air. Secara hukum yang dimaksud dengan KDRT adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelataran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hokum dalam lingkup rumah tangga.
Sejauh pengamatan penulis, penmyebab utama terjadinya KDRT bertitik pada tidak adanya
kesetaraan dalam keluarga. Pelaku KDRT pun, tidak dapat dipukul rata karena jenjang
pendidikan yang tinggi maupun rendah. Usia berapapun dalam pernikahan dapat menjadi pelaku
utama KDRT. Status ekonomi maupun social tidak berpengaruh untuk tidak melakukan KDRT.
Dari pejabat sampai rakyat semua berpotensi untuk dapat melakukan KDRT. Juga agama,
maupun ras. Sehingga dapat kita ambil kesimpulan bahwa kejahatan ini terjadi akibat tidak
adanya kesetaraan dalam rumah tangga.
Pada intinya perbuatan KDRT itu adalah sebuah usaha yang dilakukan oleh pasangan, baik laki-
laki maupun perempuan, untuk mengambil alih posisi dominan dalam sebuah keluarga. Pelaku
berupayah untuk mengambil kontrol dalam rumah tangga baik itu berbentuk hak, kebebasan, atau
lain-lainnya. Ini tentunya tidak hanya dalam bentuk fisik saja melainkan bias juga dengan cara
lain. Cara lain misalnya ketika suami melarang istri dalam bekerja atau sebaliknya. Hal ini
menyebabkan istri memiliki ketergantungan secara ekonomi pada pasangan. Itu sudah masuk

1
Risky Dwi Pradana, R.A Diah Irianti Permana Sari, Chandra Nur Hidayat, Fikri Jamal, Dea Mahara Saputri, 2022,
“Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Antara Mempertahankan Keluarga Dengan Sanksi Tindak Pidana”,
Volume 1 No. 1
KDRT. Atau seorang istri dipaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan sendiri tanpa diberikan
nafkah oleh suami. Itu merupakan KDRT.
Dalam masalah keuangan uang yang sebenarnya hasil kerja sendiri dan atau uang tabungan milik
sendiri dirampas oleh pasangan. Hal ini termasuk kedalam kekerasan karena sudah mengambil
hak yang tidak semestinya. Secara mental juga bias saja terkena kekerasan apabila pasangan
berbicara dengan gaya yang terlalu berlebihan dan sehingga menyakiti hati pasangannya sendiri,
itu juga merupakan kekerasan. Apabila kalau sampai dalam beberapa aktivitas, pasangan selalu
berada dalam keadaan posisi yang disalahkan. Jelas- jelas itu termasuk dalam kekerasan.
Kekerasan lain yang umum selanjutnya adalah jika seseorang merasa dipaksa untuk berhubungan
intim. Meskipun yang dipaksa adalah seorang wanita, yang dalam hamper seluruh budaya di
indoensia, seorang istri yang harus menurut pada suami padahal keadaanya sedang sakit tetapi
tetap dipaksa untuk berhubungan intim. Maka secara hokum sudah dapat dikategorikan sebagai
kekerasan dalam rumah tangga.
Hampir kebanyakan pelaku KDRT atau korban KDRT enggan meninggalkan pasangan dan
memilih untuk tetap bersama dengan pasangannya padahal sering melakukan kekerasan atau
mengalami penderitaan yang berat. Masalahnya, pelaku kekerasan sering kali bukanlah orang
asing, justru orang yang sangat dipercaya atau yang sangat disayangi korbannya. Dan ketika
kekerasan terjadi bukan ditempat yang terisolasi, si korban akan menganggap hal ini wajar.
Seorang istri harus tunduk dengan perintah suami meskipun sangat sulit dilakukan adalah wajar.
Kemungkinan yang lain juga adalah bahwa si korban takut dengan pelaku, dan rasa takut inilah
yang akhirnya dipakai pelaku untuk mengontrol perilaku korbannya secara total.
Menurut berbagai sumber, ada beberapa hal yang membuat korban tetap memilih untuk tinggal
bersama pasangannya yang suka melakukan kekerasan, di antaranya adalah: 2
1. Korban memang mencintai pasangannya sehungga apa pun yang terjadi, korban akan
tetap menerima pelaku dengan ikhlas dan lapang dada;
2. Korban bergantung secara finansial kepada pelaku karena pelaku melarang bekerja;
3. Korban tidak punya tempat untuk dituju karena pelaku biasanya melarang korban
memiliki hubungan dekat dengan orang lain;
4. Korban khawatir atas keselamatan dirinya dan atau anak-anaknya;
5. Kepercayaan atau agamanya melarang perceraian, dan atau
6. Korban tinggal di lingkungan yang bisa disebut ‘primisif’ terhadap kekerasan terhadap
wanita.
Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam pertimbangan pembentukan
Undang-Undang ini, ditegaskan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam
rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. Dipertimbangkan pula, bahwa korban
kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat
perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau
ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat
kemanusiaan.3

2
BadriyahKhaleed, Penyelesaian Hukum KDRT Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Upayah
Pemulihannya, Pustaka Yustisia, Yogyakarta: 2015. Hlm., 1-3
3
RuslanRenggo, Hukum Pidana Khusus, Kencana, Jakarta: 2016, Hlm., 275-276
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas:
1. Penghormatan hak asasi manusia
2. Keadilan dan keseteraan gender
3. Nondiskriminasi
4. Perlindungan korban

Adapun tujuan penghapuasan kekerasan dalam rumah tangga yaitu:

1. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga


2. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
3. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
4. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera

Adapun bentuk kekerasan dalam rumah tangga, yaitu:

1. Kekerasan fisik
2. Kekerasan psikis
3. Kekerasan seksual
4. Penelantaran rumah tangga

Dalam pasal 10 Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga


tersebut, korban berhak mendapatkan:\

1. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial,
atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan
2. Pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis
3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
4. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan
sesuai dengan ketentuan peratyran perundang-undangan
5. Pelayanan bimbingan rohani

Anda mungkin juga menyukai