Anda di halaman 1dari 6

Nama Kelompok : Muhammad Khoiril

Anwar
: Suci Wulandari
: Rahima Syahida
: Nur Karin Alia Sayda
: Nor Jannah

A. Pengertian rumah tangga


Rumah tangga merupakan unit yang terkecil dari susunan kelompok masyarakat, rumah tangga
juga merupakan sendi dasar dalam membina dan terwujudnya suatu negara. Indonesia sebagai negara
yang berlandaskan pancasila yang didukung oleh umat beragama mustahil bisa terbentuk rumah
tangga tanpa perkawinan.
Selama ini rumah tangga dianggap sebagai tempat yang aman karena seluruh anggota keluarga
merasa damai dan terlindung, terlebih bagi istri yang senantiasa berlindung di bawah pengawasan
sang suami. Namun dewasa ini kekerasan yang marak terjadi di dalam rumah tangga lebih banyak
dialami perempuan yang di sini berkedudukan sebagai seorang istri atau anak yang menjadi korban,
sedangkan pelakunya didominasi oleh laki-laki yang berkedudukan sebagai seorang suami atau anak.
Hal ini dikarenakan adanya pandangan masyarakat bahwa perempuan adalah makhluk yang lebih
rendah dibandingkan oleh laki-laki yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi.

B. Pengertian KDRT
Kekerasan dalam Rumah Tangga menurut Undang-undang nomor 23 tahun 2004 pasal 1 adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga. Sedangkan menurut Hasbianto (1999: 191) kekerasan dalam
rumah tangga adalah suatu bentuk penanganiayaan (abuse) secara fisik, maupun
emosional/psikologis, yang merupakan suatu cara pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan
rumah tangga.
Di sisi lain, Islam menegaskan bahwa tujuan berumah tangga adalah terjalinnya rasa kasih sayang
dan terpenuhinya ketentraman (sakinah) dalam rumah tangga. Oleh karena itu Islam menolak tegas
KDRT, meskipun kadang melakukan kompromi karena beberapa bentuk KDRT tidak bisa dihapuskan
seketika. Dengan penelusuran dokumen dan data-data kepustakaan, penelitian ini berusaha
memaparkan dan mengungkap fakta kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berakar pada
ideologi patriarki, dan menunjukkan bagaimana Islam menolak nilai patriarkhi yang menjadi akar
kekerasan terhadap perempuan, baik di masa pewahyuan maupun sekarang, yang bisa terjadi di ruang
publik maupun rumah tangga.

C. Bentuk – Bentuk KDRT


Adapun bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga, yakni
1. Kekerasan Fisik, yakni perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Kekerasan fisik dapat dicontohkan seperti menendang, menampar, memukul, menabrak,mengigit dan
lain sebagainya. Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit tersebut tentu harus mendapatkan
penanganan medis sesuai kekerasan yang dialaminya.
2. Kekerasan Psikis, yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada
seseorang. Dapat dicontohkan seperti perilaku mengancam, mengintimidasi, mencaci maki/
penghinaan, bullying dan lain sebagainya. Kekerasan psikis ini apabila terjadi pada anak tentu akan
berdampak pada perkembangan dan psikis anak, sehingga cenderung mengalami trauma
berkepanjangan. Hal ini juga dapat terjadi pada perempuan.

3. Kekerasan Seksual, yakni setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan
hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual
dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu,yang meliputi:
a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup
rumah tangga tersebut,
b) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan
orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Bentuk kekerasan seksual inilah
yang biasa banyak terjadi pada perempuan, karena perempuan tergolong rentan.
4. Penelantaran Rumah Tangga, yakni perbuatan menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga,
padahal menurut hukum yang berlaku bagi yang bersangkutan atau karena persetujuan atau perjanjian
ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, serta pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran
juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di
bawah kendali orang tersebut. Dilihat dari penjelasan pasal tersebut, penelantaran rumah tangga tidak
hanya disebut sebagai kekerasan ekomoni, namun juga sebagai kekerasan kompleks. Artinya bahwa
bukan hanya penelantaran secara finansial (tidak memberi nafkah, tidak mencukupi kebutuhan, dll)
melainkanpenelantaran yang sifatnya umum yang menyangkut hidup rumah tangga (pembatasan
pelayanan kesehatan dan pendidikan, tidak memberikan kasih sayang, kontrol yang berlebihan, dll).

D. Faktor – Faktor KDRT


Faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya yang
dilakukan oleh suami terhadap istri yaitu:
a. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri. Budaya patriarki
membuat laki-laki atau suami berada dalam tingkat kekuasaan yang lebih tinggi daripada perempuan
atau istri, sehingga perempuan tidak jarang ketika sudah menikah dianggap sebagai milik suaminya.
Hal tersebut menimbulkan ketimpangan dalam hubungan karena suami memiliki kuasa lebih terhadap
istrinya dibandingkan istrinya sendiri.
b. Ketergantungan ekonomi. Pendidikan dan Budaya patriarki yang sudah menjadi bagian dalam
masyarakat memberikan pandangan bahwa seorang istri memang seharusnya bergantung pada suami.
Fenomena ini tidak jarang membuat sebagian istri tidak terbiasa mandiri atau berdaya secara
ekonomi, sehingga ketika terjadi KDRT membuat istri harus bertahan. Perilaku seperti ini juga
membuat suami merasa memiliki kuasa lebih akan ketidak berdayaan istrinya.
c. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik. Kekerasan terhadap istri terjadi biasanya
dilatar belakangi oleh ketidak sesuaian harapan dengan kenyataan suami. Kekerasan dilakukan
dengan tujuan agar istri dapat memenuhi harapannya tanpa melakukan perlawanan karena ketidak
berdayaannya. Fenomena ini juga masih menjadi salah satu dasar budaya dalam masyarakat bahwa
jika perempuan atau istri tidak menurut, maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi
penurut.
d. Persaingan. Pada dasarnya manusia hidup memang penuh persaingan dan tidak pernah mau kalah,
begitupun dengan sepasang suami dan istri. Persaingan antara suami dan istri terjadi akibat ketidak
setaraan antara keduanya untuk saling memenuhi keinginan masing-masing, baik dalam pendidikan,
pergaulan, penguasaan ekonomi, keadaan lingkungan kerja dan masyarakat dapat menimbulkan
persaingan yang dapat menimbulkan terjadinya KDRT. Budaya juga membuat pandangan bahwa laki-
laki tidak boleh kalah atau lebih rendah dari perempuan, sehingga tidak heran jika terjadi kekerasan
terhadap perempuan atau istri hanya untuk memenuhi ego laki-laki atau suami.
e. Frustasi. Kekerasan juga dapat terjadi akibat lelahnya psikis yang menimbulkan frustasi diri dan
kurangnya kemampuan coping stress suami. Frustasi timbul akibat ketidak sesuaian antara harapan
dan kenyataan yang dirasakan oleh suami. Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang belum siap kawin,
suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan
masih serba terbatas dalam kebebasan. Dalam kasus ini biasanya suami mencari pelarian kepada
mabuk-mabukan dan perbuatan negatif lain yang berujung pada pelampiasan berbentuk kekerasan
terhadap istrinya, baik secara fisik, seksual, psikis, atau bahkan penelantaran keluarga.
f. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum. Dalam proses sidang
pengadilan,sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang dialaminya. Hal ini
juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban,
karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Hal ini penting karena bisa jadi
laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya
kesalahpahaman dalam keluarga (Pangemanan 1998).
Adapun faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya
yang dilakukan oleh suami terhadap istri telah diungkap dalam suatu penelitian yangdilakukan oleh
Diana Ribka, juga oleh Istiadah yang dapat diringkaskan sebagai berikut:16
1. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri.
2. Ketergantungan ekonomi.
3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik.
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustasi tidak bisa
melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan
yang:
1. Belum siap kawin.
2. Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah tangga.
3. Masih serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada orang tua atau mertua.

E. Dampak KDRT
Adapun dampak kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa istri adalah
1. Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan istri menderita rasa sakit fisik
dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan tersebut.
2. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan atau bahkan hilangnya gairah seks, karena istri menjadi
ketakutan dan tidak bisa merespon secara normal ajakan berhubungan seks.
3. Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, shock, trauma, rasa takut, marah,
emosi tinggi dan meledak-ledak, kuper, serta depresi yang mendalam.
4. Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang diperlukan
istri dan anak-anaknya.

F. Penanggulangan KDRT.
Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh isteri apabila mengalami kekerasan dalam
rumah tangga adalah sebagai berikut :
1. Curhatlah pada orang yang dipercaya. Menceritakan kondisi keluarga pada orang lain, kerabat
dekat, sahabat, atau tetangga yang biasa dipercaya pada saat tertentu ini bukan membuka aib. Namun
isteri yang mengalami kekerasan pasti mengalami tekanan, bahkan mungkin depresi dari curhat pada
orang yang dipercaya secara psikologis dapat meringankan beban.
2. Renungkan saran dan nasihatnya. Curhat berarti membuka kesempatan pada orang yang anda
percaya untuk ikut merasakan, memahami sekaligus intervensi. Artinya, jka sang teman memberikan
saran maupun alternatif, bukalah mata hati renungkan saran dan nasihatnya. Ambil segi positifnya.
3. Mintalah suami konseling. Kebiasaan suami melakukan kekerasan dalam rumah tangga tertentu
perlu diwaspadai. Secara baik-baik mintalah suami konsultasi dengan pakar dan melakukan terapi,
tentu saja harus pandai mencari waktu yang tepat untuk membiarkannya.
4. Segera ambil keputusan. Jika suami makin kerap melakukan kekerasan dalamrumah tangga
keluarga atau pakar dan segara ambil keputusan untuk kebaikan istri dan anak.
Langkah-langkah tersebut di atas pada dasarnya merupakan upaya bagi seorang istri untuk
mencari kebenaran tentang adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh suami terhadap istri guna
memperolehperlindungan dan keadilan. Untuk itu diperlukan upaya-upaya meminimalisir sejak dini
sebagai bentuk antisipasi terhadap terjadinya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga. Dalam
upaya penanggulangan dan pencegahan pelaku kekerasan dalam rumah tangga tidak cukup hanya
dengan pendekatan secara integral, tetapi pendekatan sarana penal dan nonpenal tersebut harus
didukung juga dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat.
Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa disebut dengan istilah„politik kriminal‟
dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Menurut G. Peter Hoefnagels, upaya penanggulangan
kejahatan dapat ditempuh dengan :
 Penerapan hukum pidana (criminal law application)
 Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)
 Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass
media (influencing views of society on crime and punishment/mass media)
Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu
lewat jalur„penal‟ (hukum pidana) dan lewat jalur„non penal'(bukan/diluar hukum pidana).
Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga, diperlukan cara-cara
penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain:
1. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada agamanya sehingga
Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
2. Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena didalam agama itu
mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga antara
anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap pendapat yang ada.
3. Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang
rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan
diantara kedua belah pihak, itujuga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
4. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar anggota keluarga.
Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya,
maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul
adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
5. Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam keluarga, sehingga
seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomi
dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.
pada hakekatnya secara psikologis dan pedagogis ada dua pendekatan yang dapat dilakukan
untuk menangani KDRT, yaitu:

1. Pendekatan kuratif menyelenggarakan pendidikan orangtua untuk dapat menerapkan cara


mendidik dan memperlakukan anak-anaknya secara humanis.
1. Memberikan keterampilan tertentu kepada anggota keluarga untuk secepatnya melaporkan ke
pihak lain yang diyakini sanggup memberikan pertolongan, jika sewaktu-waktu terjadi
KDRT.
2. Mendidik anggota keluarga untuk menjaga diri dari perbuatan yang mengundang terjadinya
KDRT.
3. Membangun kesadaran kepada semua anggota keluarga untuk takut kepada akibat yang
ditimbulkan dari KDRT.
4. Membekali calon suami istri atau orangtua baru untuk menjamin kehidupan yang harmoni,
damai, dan saling pengertian, sehingga dapat terhindar dari perilaku KDRT.
5. Melakukan filter terhadap media massa, baik cetak maupun elektronik, yang menampilkan
informasi kekerasan.
6. Mendidik, mengasuh, dan memperlakukan anak sesuai dengan jenis kelamin, kondisi, dan
potensinya.
7. Menunjukkan rasa empati dan rasa peduli terhadap siapapun yang terkena KDRT, tanpa
sedikitpun melemparkan kesalahan terhadap korban KDRT.
8. Mendorong dan menfasilitasi pengembangan masyarakat untuk lebih peduli dan responsif
terhadap kasus-kasus KDRT yang ada di lingkungannya.

2. Pendekatan Preventif
1. Memberikan sanksi secara edukatif kepada pelaku KDRT sesuai dengan jenis dan tingkat
berat atau ringannya pelanggaran yang dilakukan, sehingga tidak hanya berarti bagi pelaku
KDRT saja, tetapi juga bagi korban dan anggota masyarakat lainnya.
2. Memberikan incentive bagi setiap orang yang berjasa dalam mengurangi, mengeliminir, dan
menghilangkan salah satu bentukKDRT secara berarti, sehingga terjadi proses kehidupan
yang tenang dan membahagiakan.
3. Menentukan pilihan model penanganan KDRT sesuai dengan kondisi korban KDRT dan
nilai-nilai yang ditetapkan dalam keluarga, sehingga penyelesaiannya memiliki efektivitas
yang tinggi.
4. Membawa korban KDRT ke dokter atau konselor untuk segera mendapatkan penanganan
sejak dini, sehingga tidak terjadi luka dan trauma psikis sampai serius.
5. Menyelesaikan kasus-kasus KDRT yang dilandasi dengan kasih sayang dan keselamatan
korban untuk masa depannya, sehingga tidak menimbulkan rasa dendam bagi pelakunya.
6. Mendorong pelaku KDRT untuk sesegera mungkin melakukan pertaubatan diri kepada Allah
swtt, akan kekeliruan dan kesalahan dalam berbuat kekerasan dalam rumah tangga, sehingga
dapat menjamin rasa aman bagi semua anggota keluarga.
7. g. Pemerintah perlu terus bertindak cepat dan tegas terhadap setiap praktek KDRT dengan
mengacu pada UU tentang PKDRT, sehingga tidak berdampak jelek bagi kehidupan
masyarakat. Pilihan tindakan preventif dan kuratif yang tepat sangat tergantung pada kondisi
riil KDRT, kemampuan dan kesanggupan anggota keluarga untuk keluar dari praketk KDRT,
kepedulian masyarakat sekitarnya, sertaketegasan pemerintah menindak praktek KDRT yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai