Anda di halaman 1dari 5

KDRT secara umum adalah berbagai bentuk tindakan yang dilakukan dengan sengaja yang

tujuannya menyakiti, melukai, secara lahir atau bathin yang dilakukan suami kepada istrinya,
bukan keluarga lainnya, perbuatan itu bukanlah untuk mendidik sebagaimana yang diajarkan
agama atau peraturan perundang-undangan yang berlaku

Kekerasan dalam rumah tangga diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
seseorang terhadap perempuan yang berakibat timbulnya penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, kesengsaraan dan penelantaran rumah tangga. Secara khusus Islam tidak
mengenal istilah kekerasan dalam rumah tangga. Namun bagaimana jika kekerasan itu
dilakukan dalam rangka untuk mendidik/memberikan pengajaran sebagaimana yang
dibenarkan oleh ajaran Islam dan dilindungi peraturan perundang-undangan, seperti suami
dibolehkan memukul istri mereka yang nusyuz. Islam adalah agama rahmatan lil’alamin yang
menganut prinsip kesetaraan partnership (kerjasama) dan keadilan. Tujuan perkawinan adalah
tercapainya keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Oleh karena itu segala perbuatan
yang mengakibatkan timbulnya mafsadat yang terdapat dalam kekerasan dalam rumah tangga
dapat dikategorikan kepada perbuatan melawan hukum. Islam mengajarkan mendidik dengan
moral dan etika dan dibenarkan oleh syar’i.

Akibatnya tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga tidak dianggap sebagai peristiwa
hukum, melainkan sebagai dinamika perkawinan, dengan demikian orang yang mengalami
tindak kekerasan oleh sesama anggota keluarganya tidak berhak atas perlindungan dari negara
dan masyarakat. Tiadanya perlindungan hukum ini secara sistematis menyebabkan kekerasan
dalam rumah tangga dianggap sebagai perilaku wajar. Sebab dari tahun ke tahun jumlah
kekerasan dalam rumah tangga selalu meningkat dan bentuknya semakin kompleks. Hal ini
disebabkan budaya yang memandang bahwa laki-laki lebih kuat daripada perempuan atau
dengan kata lain laki-laki superior dan perempuan inferior. Hal ini dapat dibuktikan dari data
yang dilansir oleh Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk pengaduan
terhadap kekerasan dalam rumah tangga sepanjang tahun 2008 di Jakarta telah menerima
pengaduan sebanyak 254 kasus dari 497 kasus. Angka ini mengalami peningkatan dari 216
kasus pada tahun 2007.11 Pada tanggal 22 September 2004 Pemerintah RI memberlakukan
Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(UU PKDRT). Meskipun undang-undang ini telah berumur sepuluh (10) tahun, namun demikian
masih banyak yang belum memahaminya. Undang-undang ini diberlakukan dalam rangka untuk
memenuhi tuntutan masyarakat khususnya perempuan untuk menjadikan tindak KDRT sebagai
bagian dari tindak pidana yang memungkinkan pelakunya dihukum, serta menyelamatkan
korban sekaligus sebagai upaya mencegah agar tidak terjadi lagi KDRT dalam keluarga
Indonesia.

Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga pada  survivor adalah
perselingkuhan, masalah ekonomi, budaya patriarki, campur tangan pihak ketiga, bermain judi,
dan perbedaan prinsip. Faktor utama yang menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga
adalah perselingkuhan yang dilakukan suami dengan perempuan lain. Bentuk-bentuk
kekerasan yang dialami oleh  survivor adalah kekerasan fisik (ditampar, dijambak, ditempeleng,
diinjak-injak), kekerasan psikis (caci maki, ancaman), dan penelantaran rumah tangga.
Beberapa survivor mengambil sikap diam atas kekerasan yang dialaminya.

Hal ini dikarenakan mereka tidak mau terjadi peristiwa yang lebih parah lagi dan tidak
menghendaki permasalahan semakin berlarut-larut. Selain bersikap diam, beberapa survivor
bersikap melawan terhadap suami atas kekerasan yang menimpanya. Perlawanan tersebut
sebagai upaya perlindungan atas serangan suami yang mengakibatkan luka fisik maupun
nonfisik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masih relevannya teori konflik, teori
fungsionalisme struktural dan teori feminisme dengan kenyataan yang ada di masyarakat, yakni
dalam mengkaji kekerasan dalam rumah tangga

Berikut ini berbagai penyebab KDRT di antaranya: 1. Kekuasaan yang tidak seimbang
Kekuasaan suami sebagai kepala rumah tangga terbentuk karena adanya unsur-unsur kultural
di mana ada norma-norma dalam kebudayaan tertentu yang menguntungkan suami. Misalnya,
terdapat gagasan bahwa suami memiliki kuasa dari pada istri. Pandangan ini terbangun karena
kaum lekaki memandang istri adalah pelayan suami, objek seks, atau apa pun yang diinginkan
suami harus dituruti. 2. Ketergantungan finansial istri pada suami Finansial istri biasanya
bergantung pada suami dengan alasan istri yang tidak bekerja menjadi salah satu faktor yang
memicu suami bertindak seenaknya, bahkan melakukan kekerasan pada istri. Terkadang
kemandirian finansial istri juga dapat menjadi penyebab KDRT karena munculnya kecemburuan
dan curiga dari suami pada istri. Suami merasa curiga terhadap perselingkuhan ketika istri
bekerja atau suami merasa tersaingi yang mengakibatkan hilangnya anggapan bahwa suami
tulang punggung keluarga. 3. Pasangan muda Pengasuhan yang tidak terduga atau di usia
muda sering kali mengarah pada bagaimana mendidik dan membesarkan anak. Hal tersebut
dapat menyebabkan orang tua stres, agresi, kemarahan, kecemasan, frustrasi, dan depresi
dengan banyak dari tindakan ini dilampiaskan pada pasangan atau anak. Penelitian juga
menunjukkan bahwa sebagian besar orang tua muda berisiko lebih tinggi untuk ketidakstabilan
keuangan dan pendidikan yang lebih rendah. Akibatnya, hal ini mempersulit situasi stres yang
sudah ada sebelumnya. 4. Metode penyelesaian masalah Contoh kasus utama bagaimana
dinamika kekuasaan bertindak dalam KDRT adalah proses berpikir bahwa kekerasan dan
pelecehan bisa membantu menyelamatkan suatu hubungan. Meskipun sangat keliru, pelaku
KDRT berpikir bahwa kekerasan adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan
pasangannya. Ini adalah faktor penyebab KDRT yang mungkin sering terjadi. 5. Pendidikan
rendah Umumnya, semakin tinggi pendidikan yang dimiliki wanita, semakin siap ia untuk
melawan hal-hal yang tidak diinginkan dan bujukan seksual berbahaya. Penelitian telah
menunjukkan bahwa perempuan dengan pendidikan menengah memiliki risiko lebih rendah
mengalami KDRT, hal itu karena ia mampu melarikan diri dari situasi yang kejam dan bertahan
dengan kemandiriannya. 6. Rasa percaya diri yang rendah Terdapat faktor internal dan
eksternal penyebab KDRT. Ini mungkin ada hubungan antara harga diri yang rendah dan risiko
menjadi pelaku KDRT atau seseorang yang terkena dampak perilaku ini. Seseorang yang
mengalami pelecehan biasanya percaya bahwa dirinya tidak pantas untuk dicintai. Oleh karena
itu, korban lebih cenderung mencoba menanggung pelecehan dengan harapan pelaku KDRT
akan berubah. Pelaku kekerasan, di sisi lain, biasanya berusaha menutupi harga dirinya yang
rendah dengan merendahkan orang lain. 7. Penyakit mental Peran penyakit mental dalam
siklus kekerasan dalam rumah tangga adalah hal yang lazim. Seseorang yang telah didiagnosis
dengan penyakit mental, seperti gangguan bipolar atau skizofrenia, mungkin mengalami
ketidakmampuan mengendalikan kemarahannya. Kondisi ini membuatnya mungkin menjadi
pelaku KDRT. Sementara, seseorang mengalami depresi atau gangguan mood lainnya sering
kali menjadi korban. Bagaimana Cara Mencegah KDRT? Menurut Survei Pengalaman Hidup
Perempuan Nasional (SPHPN), sebanyak 18,3% perempuan yang telah menikah dengan
jenjang usia antara 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik atau seksual. Setelah mengenali
penyebab terjadinya KDRT, penting bagi Anda untuk mengambil langkah pencegahan. Berikut
ini cara mencegah KDRT: Mempelajari dan mengembangkan keterampilan hubungan yang
sehat dengan program pembelajaran sosial-emosional untuk remaja dan program hubungan
yang sehat untuk orang dewasa. Melibatkan orang dewasa dan teman sebaya yang
berpengaruh untuk mengajar dalam program dan pendidikan keluarga. Mengikuti program
keterampilan mengasuh anak dan perawatan untuk anak-anak. Membentuk lingkungan yang
protektif dengan memperbaiki suasana sekolah, suasana tempat kerja, dan lingkungan sosial.
Memperkuat dukungan ekonomi bagi keluarga melalui program ketenagakerjaan dan program
keamanan finansial. Dukung para penyintas untuk meningkatkan keselamatan dan mengurangi
bahaya dengan membangun layanan dukungan korban, program perumahan, dan perlindungan
hukum perdata dan responden pertama. Banyak dari langkah pencegahan tersebut
dimaksudkan untuk bekerja dengan populasi berisiko untuk mengubah dan mendukung
lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat guna mendorong rangkaian keterampilan keluarga
yang sehat dan protektif. Faktor penting dalam masyarakat yang membentuk pencegahan
KDRT, berikut di antaranya: Koordinasi sumber daya dan layanan di antara lembaga-lembaga
lokal. Akses ke bantuan ekonomi dan keuangan. Akses ke perawatan medis dan bantuan
kesehatan mental. Akses ke perumahan yang aman dan stabil Rasa keterhubungan antar
anggota masyarakat. Pada akhirnya, mengenalkan hubungan yang sehat dan tanpa kekerasan
adalah hal penting untuk mengurangi kasus KDRT.
Langkah-langkah timbulnya KDRT sebagai berikut:

a. Komunikasi Komunikasi dalam keluarga merupakan faktor terpenting dalam


menentukan keharmonisan suatu rumah tangga. Dengan adanya komunikasi akan
tercipta hubungan yang lebih terbuka di antara anggota keluarga dalam menyampaikan
keluhan, uneg-uneg, ataupun hal-hal lain yang berkaitan dengan masalah keluarga.
Bilamana komunikasi dalam suatu keluarga tidak baik maka dapat dipastikan akan
memperbesar kemungkinan timbulnya konflik yang berujung pada kekerasan dalam
rumah tangga dan hal ini sangat mungkin menimbulkan korban
b. Penyelewengan Hadirnya pihak ketiga dalam hubungan suami istri merupakan masalah
besar yang dihadapi oleh pasangan tersebut.Tak jarang hal tersebut menimbulkan
perceraian ataupun menimbulkan suatu tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT). Seperti seorang suami mempunyai wanita selingkuhan, disaat sedang
berkencan tiba-tiba kepergok sang istri. Saat berada di rumah sang istri menanyakan
kebenaran hal tersebut, tetapi sang suami tidak terima dan pada akhirnya terjadi
pertengkaran yang berujung pada kekerasan fisik yang dilakukan oleh sang suami
kepada istri. Pada bebberapa kasus seperti ini yang menjadi tersangka adalah sang
suami dan yang menjadi korban adalah sang istri ataupun sang anak yang menjadi
pelampiasan dari penyelewengan ini.
c. Citra diri rendah yang rendah dan frustasi Faktor ini biasanya muncul jika sang suami
sedang merasa putus asa dengan masalah dalam pekerjaan yang sedang dia kerjakan,
di sisi lain sang istri terus menekan sang suami untuk melaksanakan tanggung
jawabnya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Dengan keadaan yang seperti
ini kemudian menyebabkan tingkat frustasi semakin besar pada sang suami yang
kemudian membuat tingkat emosinya meledak. Maka pada akhirnya akan memicu
munculnya tindakan KDRT akibat rasa frustasi
d. Perubahan status sosial Faktor penyebab timbulnya Kekerasan Dalam Rumah Tangga
pada keluarga masyarakat perkotaan dengan tingkat kehidupan ekonomi menengah ke
atas. Adalah masalah gaya hidup dengan gengsi yang tinggi pada keluarga tersebut.
Masalah akan muncul jika terjadi berkurangnya sumber pendapatan, berakhirnya masa
jabatan, dengan munculnya kasus seperti itu kemudian membuat masing- masing
anggota keluarga merasa malu dengan orang sekitar dan kemudian memberikan
tekanan yang berlebihan kepada pihak yang berperan sebagai mencari nafkah,
biasanya sang ayah. Akibatnya akan memicu munculnya potensi KDRT dalam keluarga
tersebut.
e. Kekerasan sebagai sumber penyelesaian masalah Budaya kekerasan dalam
rumahtangga berkaitan erat dengan masalah kekerasan yang pernah dialami dari sejak
lahir sudah berada pada lingkungan yang keras dan terus dididik dengan nilai-nilai yang
berhubungan dengan unsur kekerasan maka saat ia berkeluarga akan menggunakan
kekerasan sebagai sarana yang paling tepat dan cepat untuk menyelesaikan suatu
masalah. Kekerasan sudah mendarah dagingsehingga suatu masalah tidak akan
mantap apabila tidak diselingi dengan tindak kekerasan.
Dengan kasus tersebut, yang akan diberikan konseling antar individu dikarenakan layanan
konseling yang diselenggarakan oleh seorang konselor terhadap seorang klien dalam rangka
pengentasan masalah pribadi klien. Dalam suasana tatap muka dilaksanakan interaksi
langsung antara klien dan Konselor, membahas berbagai hal tentang masalah yang dialami
klien. Pembahasan tersebut bersifat mendalam menyentuh hal-hal penting tentang diri klien
(bahkan sangat penting yang boleh jadi penyangkut rahasia pribadi klien); bersifat meluas
meliputi berbagai sisi yang menyangkut permasalahan klien; namun juga bersifat spesifik
menuju ke arah pengentasan masalah. Dalam Konseling Individu konselor memberikan ruang
dan suasana yang memungkinkan klien membuka diri setransparan mungkin. Dalam suasana
seperti itu, ibaratnya klien sedang berkaca. Melalui “kaca” itu klien memahami kondisi diri
sendiri (dan lingkungannya) dan permasalahan yang dialami, kekuatan dan kelemahan yang
dimiliki, serta kemungkinan upaya untuk mengatasi masalahnya itu. Hasil “berkaca” itu
mengarahkan dan menggerakkan klien untuk segera dan secermat mungkin melakukan
tindakan pengentasan atas kekurangan dan kelemahan yang ada pada dirinya. Dari kasus
KDRT yang dialami dengan klien membuat klien trauma serta kekerasan fisik (ditampar,
dijambak, ditempeleng, diinjak-injak), kekerasan psikis (caci maki, ancaman), dan penelantaran
rumah tangga. Beberapa klien mengambil sikap diam atas kekerasan yang dialaminya. Hal ini
dikarenakan mereka tidak mau terjadi peristiwa yang lebih parah lagi dan tidak menghendaki
permasalahan semakin berlarut-larut. Selain bersikap diam, beberapa klien bersikap melawan
terhadap suami atas kekerasan yang menimpanya. Perlawanan tersebut sebagai upaya
perlindungan atas serangan suami yang mengakibatkan luka fisik maupun nonfisik. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa masih relevannya teori konflik, teori fungsionalisme struktural
dan teori feminisme dengan kenyataan yang ada di masyarakat, yakni dalam mengkaji
kekerasan dalam rumah tangga.

Anda mungkin juga menyukai