Anda di halaman 1dari 6

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian KDRT
Perilaku kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu keadaan dimana sesorang
melakukan tindakan yang dapat menyebabkan perasaan kesal atau marah yang tidak
konstruktif. Undang-undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah
Tangga adalah setiap perbuatan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga
(Pasal 1 ayat 1).
Kekerasan dalam keluarga mencakup penganiayaan fisik, emosional dan seksual
pada anak-anak pengabaian anak, pemukulan pasangan, pemerkosaan terhadap suami
atau istri dan penganiayaan lansia. Perilaku penganiayaan dan perilaku kekerasan yang
tidak akan dapat diterima bila dilakukan orang yang tidak dikenal sering kali di toleransi
selama bertahun-tahun dalam keluarga. Dalam kekerasan keluarga, keluarga yang
normalnya merupakan tempat yang aman dan anggotanya merasa dicintai dan
terlindungi, dapat menjadi tempat paling berbahaya bagi korban.
B. Karakteristik Kekerasan Dalam Rumah Tangga
1. Isolasi sosial
Anggota keluarga merahasiakan kekerasan dan sering kali tidak mengundang
orang lain datang ke rumah mereka atau tidak mengatakan kepada orang lain apa
yang terjadi. Anak dan wanita yang mengalami penganiayaan sering kali diancam
oleh penganiaya bahwa mereka akan lebih disakiti jika mengungkapkan rahasia
tersebut. Anak-anak mungkin diancam bahwa ibu, saudara kandung atau hewan
peliharaan mereka akan dibunuh jika orang diluar keluarga mengetahui penganiayaan
tersebut. Mereka ditakuti agar mereka menyimpan rahasia atau mencegah orang lain
mencampuri “urusan keluarga yang pribadi”.

2. Kekerasan dan kontrol


Anggota keluarga yang mengalami penganiayaan hampir selalu berada dalam
posisi berkuasa dan memiliki kendali terhadap korban, baik korban adalah anak,
pasangan, atau lansia. Penganiaya bukan hanya menggunakan kekuatan fisik terhadap
korban, tetapi juga kontrol ekonomi dan sosial. Penganiaya sering kali adalah satu-
satunya anggota keluarga yang membuat keputusan, mengeluarkan uang, atau
diijinkan untuk meluangkan waktu diluar rumah dengan orang lain. Penganiaya
melakukan penganiayaan emosional dengan meremehkan atau menyalahkan korban
dan sering mengancam korban. Setiap indikasi kemandirian atau ketidakpatuhan
anggota keluarga, baik yang nyata atau dibayangkan, biasnaya menyebabkan
peningkatan perilaku kekerasaan (Singet at al, 1995).
3. Penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan yang lain
Ada hubungan antara penyalahgunaan zat, alkohol, dengan kekerasan dalam
keluarga. Hal ini tidak menunjukkan sebab dan akibat-akibat tidak menyebabkan
individu menjadi penganiaya sebalik, penganiaya juga cenderung menggunakan
alcohol atau obat-obatan lain. 50-90% pria yang memukul pasangannya dalam rumah
tangga juga memiliki riwayat penyalahgunaan zat. Jumlah wanita yang mengalami
penganiayaan dan mencari pelarian dengan menggunakan alkohol mencapai 50%.
4. Proses transmisi antar generasi
Berarti bahwa pola perilaku kekerasan diteruskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya melalui model peran dan pembelajaran sosial. Transmisi antargenerasi
menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu pola yang
dipelajari. Misalnya, anak-anak yang menyaksikan kekerasan dalam keluarga akan
belajar dari melihat orang tua mereka bahwa kekerasan ialah cara menyelesaikan
konflik dan bagian integral dalam suatu hubungan dekat. Akan tetapi tidak semua
orang menyaksikan kekerasan dalam keluarga menjadi penganiaya tau pelaku
kekerasan ketika dewasa sehingga faktor tunggal ini saja tidak menjelaskan perilaku
kekerasan yang terus ada.

C. Faktor Presdiposisi
Faktor Psikologis
Psychoanalytical Theory : Teori ini mendukung bahwa perilaku agresif
merupakan akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku manusia di
pengaruhi oleh dua insting. Pertama insting hidup yang dapat di ekspresikan dengan
seksualitas; dan kedua, insting kematian yang diekspesikan dengan agresivitas.
Frustration aggression theory : teori yang dikembangkan oleh Freud ini berawal
dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami
hambatan makan akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi
perilaku yang dirancang untuk melukai orang lain atau objek yang menyebabkan frustasi.
Jadi hampir semua orang melakukan tindakan agresif mempunyai perilaku agresif.

Faktor Sosial Budaya


Sosial kultural dapat mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat
membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat diterima atau tidak dapat
diterima. Sehingga dapat membantu individu untuk mengekspresikan marah dengan cara
asertif.
Faktor presipitasi
Secara umum, seseorang akan berespon dengan marah apabila merasa dirinya
terancam. Ancaman tersebut dapat berupa injury secara psikis, atau lebih dikenal dengan
adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang. Ketika seseorang merasa ternacam,
mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya. Oleh
karena itu baik perawat maupun klien harus bersama-sama mengidentifikasikannya.
D. Etiologi
Menurut Stearen kemarahan adalah kombinasi dari segala sesuatu yang tidak
enak, cemas, tegang, dendam, sakit hati, dan frustasi. Beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya kemarahan yaitu frustasi, hilangnya harga diri, kebutuhan akan
status dan prestise yang tidak terpenuhi.
Frustasi, seseorang yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan / keinginan
yng diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa terancam dan cemas. Jika
ia tidak mampu menghadapi rasa frustasi itu dengan cara lain tanpa mengendalikan orang
lain dan keadaan sekiatrnya misalnya dengan kekerasan.
Hilangnya harga diri : pada dasarnya manusia itu mempeunyai kebutuhan yang
sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi akibatnya individu tersebut
mungkin akan merasa rendah diri, tidak berani bertindak, lekas tersinggung, lekas marah,
dan sebagainya.
Kebutuhan akan status dan prestise : manusia pada umumnya mempunyai
keinginan untuk mengaktualisasikan dirinya, ingin dihargai dan diakui statusnya.
Beberapa faktor penyebab lain terjadi kekerasan dalam rumah tangga, yaitu faktor
individu (seperti korban penelantaran anak, penyimpngan psikologis, penyalahgunan
alkohol, dan riwayat kekerasan di masa lalu), faktor keluarga (seperti pola pengasuhan
yang buruk, konflik dalam pernikahan, kekerasan oleh pasangan, rendahnya status sosial
ekonomi, keterlibatan orang lain dalam masalah kekerasan), faktor komunitas (seperti
kemiskinan, angka kriminalitas tinggi, mobilitas penduduk tinggi, banyaknya
pengangguran perdagangan obat terlarang lemahnya kebijakan intsitusi, kurangnya
sarana pelayanan korban, faktor situasional), dan faktor lingkungan sosial (seperti
perubahan lingkungan sosial yang cepat, kesenjangan ekonomi, kesenjangan gender,
kemiskinan, lemahnya jejaring ekonomi, lemahnya penegakan hukum, budaya yang
mendukung kekerasan, tingginya penggunaan senjata api illegal, massa konflik atau
pasca konfik)
E. Tanda dan Gejala
Kemarahan dinyatakan dalam berbagai bentuk, ada yang menimbulkan pengrusakan,
tetapi ada juga yang hanya diam seribu bahasa. Gejala-gejala atau perubahan-perubahan
yang timbul pada klien dalam keadaan marah diantaranya adalah :
1. Perubahan fisiologis
Tekanan darah meningkat, denyut nadi dan pernapasan meningkat, pupil dilatasi,
tonus otot meningkat.
2. Perubahan emosional
Muah tersinggung, tidak sabra, frustasi, ekspresi wajah tampak tegang, bila
mengamuk kehilangan control diri.
3. Perubahan perilaku
Agresif pasif, bermusuhan, sinis, curiga, mengamuk. Nada suara keras dan kasar.
4. Menyerang atau menghindar
5. Menyatakan secara asertif
6. Memberontak
7. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan.
F. Bentuk-Bentuk KDRT
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka
berat.
2. Kekerasan psikis
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan
seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai,
pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau
tujuan tertentu.
4. Penelantaran Rumah Tangga
Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangganya, padahal menurut hokum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjamjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu penelantaran juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan kergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah tangga sehingga
korban berada di bawah kebdali orang tersebut.

G. Strategi pencegahan kekerasan dalam rumah tangga


1. Pendidik
Instansi pendidikan dari jenjang SD sampai SMA memiliki andil yang
penting dalam usaha pencegahan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

2. Penegak hukum dan keamanan


Pemerintah bersama penegak hukum juga memiliki peran yang lebih kuat
melalui UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, BAB II Pasal 2 yang
menyatakan “anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan secara
wajar”. Selain itu, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga. Oleh karenanya, tidak ada alas an bagi siapapun untuk boleh
melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
3. Media massa
Media massa sebaiknya menampilkan berita kekerasan yang diimbangi
dengan artikel pencegahan dan penanggulangan dampak kekerasan yang diterima
korban jangka panjang atau pendek, sehingga masyarkat tidak menjadikan berita
kekerasan sebagai inspirasi untuk melakukan kekerasan.
4. Pelayanan kesehatan
a. Prevensi primer, yaitu promosi orang tua dan keluarga sejahtera
b. Prevensi sekunder, yaitu diagnosis dan tindakan bagi keluarga yang stress
c. Prevensi tersier, yaitu edukasi ulang dan rehabilitasi keluarga.

Anda mungkin juga menyukai