Anda di halaman 1dari 39

REFERAT

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Oleh :
PUTRI RARA IMAS BALERNA PRATIWI / FAA 110 030
STOYARENSKI ASHMIRBEYCA / FAA 110 003

Pembimbing :
dr. Ricka Brillianty Zaluchu Sp. KF

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN/SMF KEDOKTERAN FORENSIK


RSUD dr. DORIS SYLVANUS/PSPD-UNPAR
PALANGKARAYA
APRIL
2015

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...... ... ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang..
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..
2.1. Sejarah UU KDRT dan UU no 23 Tahun 2004.
2.2. Penjelasan UU no 23 Tahun 2004..
2.3. Aspek Hukum KDRT.
2.4. Macam KDRT.
2.4.1. Kekerasan terhadap Istri.
2.4.1.1. Pendahuluan.
2.4.1.2. Insidensi..
2.4.1.3. Bentuk Kekerasan terhadap Istri.
2.4.1.4. Dampak KDRT terhadap Istr......
2.4.2. Kekerasan terhadap Anak.......
2.4.2.1. Pendahuluan
2.4.2.2. Insidensi
2.4.2.3. Hak Anak dan Instrumen Hukum serta Pasal Konvensi Hak
Anak..
2.4.2.4.. Dampak Kekerasan terhadap Anak..
2.4.2.5. Prinsip Penanganan Kasus Kekerasan Anak
2.4.3. Kekerasan terhadap Pembantu Rumah Tangga..
2.4.3.1. Pendahuluan
2.4.3.2. Bentuk Kekerasan..
2.5. Anamnesis, Catatan Medis dan Pelaporan
2.5.1. Anamnesis dan Catatan Medis
2.5.1.1. Anamnesis
2.5.1.2. Catatan Medis..
2.5.2. Pencatatan dan Pelaporan..
BAB III KESIMPULAN.
DAFTAR PUSTAKA.

BAB I
PENDAHULUAN
Keluarga merupakan bagian dalam masyarakat yang mempunyai peranan yang
berpengaruh terhadap perkembangan sosial dan perkembangan tiap pribadi dalam keluarga
tersebut. Sebuah keluarga bisa dikatakan harmonis apabila tiap anggota keluarga tersebut
merasa bahagia yang ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan terhadap
anggota keluarga.1
Ketegangan dan konflik yang terjadi dalam keluarga merupakan hal wajar terjadi dalam
keluarga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa konflik dan hampir semua keluarga
pernah mengalami konflik. Yang menjadi berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan
menyelesaikan hal tersebut. Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya
masing masing. Apabila masalah diselesaikan secara baik maka kehidupan setiap anggota
keluarga akan menjadi baik. Di sisi lain, apabila konflik diselesaikan secara tidak sehat maka
konflik akan semakin sering terjadi dalam keluarga. Biasanya penyelesaian masalah secara
tidak sehat dilakukan dengan marah-marah, teriakan dan makian maupun ekspresi wajah
menyeramkan. Terkadang muncul perilaku kasar seperti menyerang, memaksa, mengancam
atau melakukan kekerasan fisik. Perilaku seperti ini dapat dikatakan pada tindakan kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT).
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan
kejahatan terhadap martabat manusia serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. Korban
kekerasan dalam rumah tangga kebanyakan adalah perempuan yang harusnya mendapatkan
perlindungan Negara dan masyarakat agar terhindar dari kekerasan atau perlakuan yang
merendahkan derajat, martabat kemanusiaan.
Beberapa contoh kasus mengenai kekerasan dalam rumah tangga misalnya kasus yang
dialami oleh Ibu Heni Supriana yang di Surabaya yang dihajar sampai babak belur oleh
suaminya, pemicu dari kasus ini merupakan faktor ekonomi.2 Kemudian kasus yang dialami
oleh artis Manohara yang dianiaya oleh suaminya sendiri yang merupakan seorang
bangsawan dari negara tetangga. Pada kasus Manohara ini, dikabarkan bahwa korban diberi
semacam obat perangsang, agar dapat terus melayani suami meskipun korban sedang tidak
ingin berhubungan. Hubungan suami istri ini didominasi oleh kekuasaan suami yang
berlindung di balik waham suami akan cinta terhadap istri atau korban. ]rasan dalam rumah

tangga di Indonesia rata-rata terjadi 311 kasus setiap hari. Pada tahun 2011 angka kasus
KDRT adalah 113.878 kasus atau 95,71%, biasanya bentuk KDRT yang terjadi berupa
pemukulan, penganiayaan, penyekapan, penelantaran, penyiksaan, dan bahkan tak jarang
menyebabkan kematian.5 Kekerasan dalam rumah tangga kurang mendapat tanggapan serius
dari pihak korban, disebabkan karena beberapa alasan: 6
1. Kekerasan dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup yang relatif tertutup dan
terjaga ketat privasinya, karena persoalannya terjadi di dalam area keluarga;
2. Kekerasan dalam rumah tangga seringkali dianggap wajar karena diyakini bahwa
memperlakukan sekehendak suami merupakan hak suami sebagai pemimpin dan
kepala rumah tangga;
3. Adanya harapan bahwa tindak kekerasan akan berhenti. Tindakan kekerasan
mempunyai siklus kekerasan yang menipu;
4. Karena terjadinya ketergantungan ekonomi yang menyebabkan perempuan akan
menerima saja jika kekerasan itu terjadi padanya.;

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Sejarah UU PKDRT No.23 Tahun 2004


Kekerasan rumah tangga telah menjadi wacana tersendiri, perempuan dan juga anak-

anak merupakan korban utama dari kekerasan rumah tangga yang seharusnya memperoleh
perlindungan hukum. Salah satu persoalan yang mendapat perhatian serius dari gerakan hak
perempuan pada 5 tahun pertama dari era reformasi adalah kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) khususnya kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri dan oleh orang tua
terhadap anak. Pada masa itu, kasus-kasus KDRT sulit untuk diselesaikan secara hukum.
Hukum pidana Indonesia tidak mengenla KDRT, bahkan kata-kata kekerasan pun tidak
ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kasus-kasus pemukulan
suami terhadap istri atau orang tua terhadap anak diselesaikan dengan menggunaka pasal
tentang penganiayaan, yang kemudian sulit sekali dipenuhi unsure-unsur pembuktiannya,
sehingga kasus yang diadukan, tidak lagi ditindak lanjuti.1
Penanganan kasus KDRT ini memberikan inisiatif kepada LBH advokasi untuk
perempuan Indonesia dan keadilan (APIK) bersama dengan lembaga swadaya masyarakat
lainnya yang terganbung dalam Jaringan Kerja Advokasi Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan (Jangka PKTP) untuk menyiapkan RUU anti KDRT. RUU anti KDRT ini telah

disiapkan oleh LBH APIK dan Jangka PKTP sejak tahun 1998 melalui dialog public.
Persiapan ini termasuk lama mengingat isu KDRT masih kurang dikenal oleh masyarakat. 1
Tujuan adanya RUU ini diharapkan mampu menghilangkan atau meminimalisasi
tindak pidana KDRT. Dari data dan fakta dilapangan yang ditemukan, pihak yang sering
menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak. Jumlah korban KDRT mengalami
peningkatan dari hari ke hari. Akan tetapi penegak hukum dalam pencapaian keadilan bagi
korban KDRT berbanding menunjukkan angka yang terbalik dengan jumlah korban. Selain
itu dengan adanya UU KDRT diharapkan anggota keluarga mampu menghargai hak dan
kewajiban masing-masing dan tidak bertindak yang semena-mena. 1
Persoalan KDRT merupakan fenomena gunung es yang hanya kelihatan puncaknya
sedikit tetapi tidak menunjukkan data yang valid. Padahal dalam kehidupan sehari-hari kasus
KDRT ini sering ditemukan. Dalam menangani kasus KDRT maka Negara kita telah
memiliki undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga yang disahkan tanggal 22 September 2004. Dengan undang-undang ini diharapkan
terjadi penurunan kasus KDRT dan terlindunginya hak dan kewajiban anggota keluarga. 1
Catatan tahunan komnas perempuan sejak tahun 2001 sampai dengan 2007
menunjukkan peningkatan laporan adalah sebanyak 5 kali lipat. Sebelum UUPKDRT, yaitu
dalam rentang 2001-2004, jumlah yang dilaporkan adalah atau sebanyak 9.662 kasus. Sejak
diberlakukannya UUPKDRT, 2005-2007, terhimpun sebanyak 53.704 kasus KDRT yang
dilaporkan. 1
2.2.

Penjelasan UU PKDRT
Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis, dan ataau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melaporkan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Ps 1 angka 1). 2
Lingkup Rumah Tangga
Yang termasuk cakupan rumah tangga menurut pasal 2 UU-PKDRT adalah:
1. Suami, istri dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri)
2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebgaimana
disebutkan diatas karena hubungan darah, perkawinan (misalnya mertua, menantu,
ipar, dan besan), persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam
rumah tangga dan atau

3. Prang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut, dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang
bersangkutan (Ps 2 (2)).2
Asas Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Ps 3)
1. Penghormatan hak asasi manusia
2. Keadilan dan kesejahteraan gender, yakni suatu keadaan dimana perempuan dan
laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk
mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi keutuhan dan
kelangsungan rumah tangga secara proporsional.
Tujuan Penghapuan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Ps 4)
1. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
2. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
3. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
4. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. 2
Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
1. Kekerasan fisik, yakni perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau
luka berat (Ps 5 jo 6)
2. Kekerasan psikis, yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau
penderitaan psikis berat pada seseorang (Ps 5 jo 7)
3. Kekerasan seksual, yakni setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan
seksuak, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak
disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan dan atau tujuan tertentu (Ps 5 jo 8), yang meliputi:
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu
4. Penelantaran rumah tangga, yakni perbuatan penelantaran orang dalam lingkup
rumah tangga, padahal menurut hukum yang berlaku bagi yang bersangkutan atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan
atau pemeliharaan terhadap orang tersebut. Penelantaran juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan
atau melarang untuk bekerja yang layak didalam atau diluar rumah sehingga
korban berada dibawah kendali orang tersebut (ps 5 jo 9).2
Hak-Hak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Ps 10)

1. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,


lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan
pemerintah perlindungan dari pengadilan.
2. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis
3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
4. Pendampingan oleh pekerja social dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
5. Pelayanan bimbingan rohani.2
Kewajiban Pemerintah
Pemerintah (cq. Menteri Pemberdayaan Perempuan) bertanggung jawab dalam
upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (Ps11). Oleh karenanya, sebagai
pelaksanaan tanggung jawab tersebut, pemerintah (Ps 12):
1. Merumuskan kebijakan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
2. Menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang kekerasan dalam
rumah tangga
3. Menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah
tangga.
4. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitive gender dan isu kekerasan
dalam rumah tangga serta menetapkan standard dan akreditasi pelayanan yang
sensitive gender.2
Selanjutnya menurut pasal 13, untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban
kekerasan dalam rumah tangga, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan
fungsi dan tugasnya masing-masing dapat melakukan upaya:
1. Penyediaan ruang pelayanan khusus (RPK) di kantor kepolisian
2. Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial dan pembimbing rohani
3. Pembuatan dan pegembangan sistem dan mekanisme kerja sama program
pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban
4. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.
Dalam penyelenggaraan upaya-upaya tersebut, pemerintah dan pemerintah daerah
dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya (ps 14).
Kewajiban Masyarakat (Ps 15)
Sesuai batas kemampuannya,setiap orang yang mendengar, melihat, atau
mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya untuk :
1. mencegah berlangsungnya tindak pidana
2. memberikan perlindungan pada korban
3. memberikan pertolongan darurat
4. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan
Pelaporan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Ps 26)
Korban berhak melaporkan secara langsung atau memberikan kuasa pada keluarga
atau orang lain tentang kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya kepada

kepolisian, baik ditenpat korban berada atau ditempat kejadian perkara. Dalam hal
korban adalah seoranv anak,laporan dapat dilakukan oleh orang tua,wali, pengasuh
atau anak yang bersangkutan (ps 27)
Bentuk Perlindungan/Pelayanan Bagi Korban KDRT
KEPOLISIAN
1. Dalam waktu 1x24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan KDRT,
polisi wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban (ps 16 (1)).
2. Dalam waktu 1x24 jam terhitung sejak pemberian perlindungan sementara
kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan
(ps (16 (3)).
3. Kepolisian wajib memberikan keterangan pada korban tentang hak korban untuk
mendapat pelayanan dan pendampingan (ps 18)
4. Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau
5.
1.
2.
3.

menerima laporan tentang terjadinya KDRT (Ps 19)


Kepolisian segera menyampaikan pada korban tentang:
identitas petugas untuk pengenalan pada korban
KDRT adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan
kewajiban kepolisian untuk melindungi korban (ps 20)

TENAGA KESEHATAN (ps 21(1)):


1. Memeriksa kesehatan korban sesuai standar profesi
2. Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum
atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki
kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti. pelayanan kesehatan dilakukan
disarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat (ps 21 (2)).
PEKERJA SOSIAL (ps 22 (2)):
Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban.
1. Memberikan

informasi

mengenai

hak-hak

korban

untuk

mendapatkan

perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan


2. Mengantarkan kotban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif
3. Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban
dengan pibak kepolisian,dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban.
Pelayanan pekerja sosial dilakukan di rumah milik pemerintah,pemerintah daerah
atau masyarakat (ps 22(2)).
RELAWAN PENDAMPING (Ps 23):

Relawan pendamping aalah orang yang mempunyai keahlian untuk melakukan


konseling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban kekerasan.
Bentuk pelayanannya adalah:
1 Menginformasikan pada korban akan haknya untuk mendapat seorang atau
1

beberapa orang pendamping


Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan
pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap

memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya.


Mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa

aman didampingi oleh pendamping.


Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik pada korban.

PEMBIMBING ROHANI (ps 24):


Memberikan penjelasan mengenai hak,kewajiban,dan memberikan penguatan iman
dan taqwa pada korban.
ADVOKAT (Ps 25):
1. Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak
korban dan proses peradilan
2. Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dalam
sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan
kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya
3. Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan
pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya
PENGADILAN
1
Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 hari sejak diterimanya permohonan
wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban
dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut (ps 28).
2
permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk
(ps 31 (1)):
a. menetapkan suatu kondisi khusus, yakni pembatasan gerak pelaku, larangan
memasuki tempat tinggal bersama, larangan membuntuti, mengawasi atau
mengintimidasi korban.
b. atau membatalkan suatu.kondisi khusus dari perintah perlindungan.
Pertimbangan pengadilan dimaksud dapat diajukan bersama dengan proses pengajuan
perkara kekerasan dalam rumah tangga (ps 31 (2)).
3. Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan perintah perlindungan (ps

33 (1)). Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan,pengadilan wajib


mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan
pendamping dan atau pembimbing rohani (ps 33 (2)).
4. Pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat menyatakan satu atau
lebih

tambahan

kondisi

dalam

perintah

perlindungan

dengan

kewajiban

mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan


pendamping, dan atau pembimbing rohani (ps 34).
Pelanggaran Perintah Perlindungan
1. Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat
perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlundungan,
walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan ditempat polisi itu bertugas (ps 35 (1)).
2. Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap pelaku
dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah perlibdungan (ps
36 (1)).
3. Penangkapan dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat perintah penahanan
dalam waktu 1x24 jam (ps 36 (2)).
4. Korban, kepolisian, atau relawan pendamping dapat mengajukan laporan secara tertulis
tentang adanya dugaaan pelanggaran erhadap perintah perlindungan (ps 37 (1)).
Bilamana pengadilan mendapat laporan tertulis tentang danya dugaan pelanggaran
erhadap perintah perlindungan ini, pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3x24
jam guna dilakukan pemerikaaan,ditempat pelaku pernah tinggal bersama dengan korban
paa waktu pelanggaran diduga terjadi (ps 37 (2) (3)).
5. Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindungan.
dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka Pengadilan dapat
mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya bwrupa kesanggupan
untuk mematuhi perintah perlindungan (ps 38 (1)). Bilamana tap tidak mengindahkan
surat pernyataan ertulis tersebut, pengadilan dapat menahan (dengan surat pwrintah
penahanan) pelaku paling lama 30 hari (ps 38 (2)).
Pemulihan Korban
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
1 Tenaga kesehatan; Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar
profesi dan dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib
2
3
4

memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban


Pekerja sosial
Relawan pendamping
Pembimbing rohani

Pekerja sosial, relawan pendamping dan atau pembimbing rohani wajib memberikan
pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan atau
memberikan rasa aman bagi korban.
2.3. Aspek Hukum KDRT
Ketentuan Pidana
KEKERASAN FISIK DELIK ANCAMAN SANKSI
a. Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yaitu penjara paling lama 5 (lima)
tahun; atau denda paling banyak Rp 15 juta.
b. Kekerasan fisik yang mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat
yaitu penjara paling lambat 10 (sepuluh tahun)
c. Kekerasan fisik yang mengakibatkan matinya korban yaitu penjara paling lama15
(lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45 juta
d. Kekerasan fisik yang dilakukan suammi terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari yaitu penjara paling lama 4 (empat)
bulan atau denda paling banyak Rp 3 juta.
KEKERASAN SEKSUAL DELIK ANCAMAN SAKSI
a. Kekerasan seksual yaitu penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak
Rp 36 juta
b. Memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan
seksual yaitu penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun atau denda
paling sedikit Rp 12 juta dan paling banyak Rp 300 juta
c. Mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiawaan sekurang-kurangnya
selama 4 minggu terus menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau
matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat
reproduksi yaitu penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun atau
denda paling sedikit 25 juta dan paling banyak 500 juta.
PENELANTARAN RUMAH TANGGA DELIK ANCAMAN SAKSI
Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangga; atau menelantarkan orang lain
yang berada dibawah kendali yaitu penjara paling lama 3 tahun atau denda paling
banyak 15 juta.
Pidana Tambahan
Selain ancaman pidana penjara dan/atau denda tersebut diatas, hakim dapat
menjatuhkan pidana tambahan berupa:

a. Pembatasan Gerak perilaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari
korban dalam jarak dan waktu tertentu maupun pembatasan hak-hak tertentu dari
pelaku
b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan lembaga
tertentu.
2.4.

Macam-Macam Kekerasan Dalam Rumah Tangga


2.4.1. Kekerasan Terhadap Istri
2.4.1.1.

Pendahuluan
Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence)
merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan
hukum. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan
pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga,
sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan
verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan di dalam
rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial,
tingkat pendidikan, dan suku bangsa.4
Pelaporan Kasus KDRT Pasca Undang-Undang PKDRT
2004
2005
2006
2007
Istri
1.782
4.886
1.348
17.772
Pacar
251
421
552
469
Anak
321
635
816
776
Pembantu
71
87
73
236
Dari tabel di atas, diketahui bahwa korban terbanyak dalam kasus
KDRT adalah istri, atau mencapai 85% dari total korban. Anak perempuan
adalah korban terbanyak ketiga terbanyak setelah pacar. Pada kasus kekerasan
dengan korban anak, ada juga kasus dimana pelakunya adalah perempuan
dalam statusnya sebagai ibu. Menurut pengamatan Komnas Perlindungan
Anak, sebagian besar ibu yang menjadi pelaku KDRT adalah sudah terlebih
dahulu menjadi korban kekerasan oleh suaminya, atau berada dalam tekanan
ekonomi yang luar biasa akibat pemiskinan yang dialami oleh kebanyakan
anggota masyarakat tempat ia tinggal.4
Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah
sosial yang serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat
dan para penegak hukum karena beberapa alasan, pertama : ketiadaaan
statistik kriminal yang akurat, kedua : tindak kekerasan pada istri dalam rumah

Jumlah
25.788
1.693
2.548
467

tangga memiliki ruang lingkup sangat pribadi dan terjaga privacynya berkaitan
dengan kesucian dan keharmonisan rumah tangga (sanctitive of the home),
ketiga : tindak kekerasan pada istri dianggap wajar karena hak suami sebagai
pemimpin dan kepala keluarga, keempat : tindak kekerasan pada istri dalam
rumah tangga terjadi dalam lembaga legal yaitu perkawinan.4
Sebagian besar perempuan sering bereaksi pasif dan apatis terhadap
tindak kekerasan yang dihadapi. Ini memantapkan kondisi tersembunyi
terjadinya tindak kekerasan pada istri yang diperbuat oleh suami. Kenyataan
ini menyebabkan minimnya respon masyarakat terhadap tindakan yang
dilakukan suami dalam ikatan pernikahan. Istri memendam sendiri persoalan
tersebut, tidak tahu bagaimana menyelesaikan dan semakin yakin pada
anggapan yang keliru, suami dominan terhadap istri. Rumah tangga, keluarga
merupakan suatu institusi sosial paling kecil dan bersifat otonom, sehingga
menjadi wilayah domestik yang tertutup dari jangkauan kekuasaan publik.4

2.4.1.2.

Insidensi
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rifka Annisa Womsis Crisis
Centre (RAWCC, 1995) tentang kekerasan dalam rumah tangga terhadap 262
responden (istri) menunjukkan 48% perempuan (istri) mengalami kekerasan
verbal, dan 2% mengalami kekerasan fisik. Tingkat pendidikan dan pekerjaan
suami (pelaku) menyebar dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi (S2);
pekerjaan dari wiraswasta, PNS, BUMN, ABRI. Korban (istri) yang bekerja
dan tidak bekerja mengalami kekerasan termasuk penghasilan istri yang lebih
besar dari suami.5
Hasil penelittian kekerasan pada istri di Aceh yang dilakukan oleh
Flower (1998) mengidentifikasi dari 100 responden tersebut ada 76 orang
merespon dan hasilnya 37 orang mengatakan pernah mengalami tindak
kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan berupa psikologis (32 orang),
kekerasan seksual (11 orang), kekerasan ekonomi (19 orang), kekerasan fisik
(11 orang). Temuan lain sebagian responden tidak hanya mengalami satu
kekerasan saja. Dari 37 responden, 20 responden mengalami lebih dari satu
kekerasan, biasanya dimulai dengan perbedaan pendapat antara istri (korban)

dengan suami lalu muncul pernyataan-pernyataan yang menyakitkan korban,


bila situasi semakin panas maka suami melakukan kekerasan fisik.5
Dari penelitian ini terungkap bahwa sebagai suami yang melakukan
tindak kekerasan kepada istri meyakini kebenaran tindakannya itu, karena
perilaku istri dianggap tidak menurut kepada suami, melalaikan pekerjaan
rumah tangga, cemburu, pergi tanpa pamit. Hal ini diyakini oleh pihak istri,
sehingga mereka mengalami kekerasan dari suaminya dan cenderung diam
tidak membantah.5
2.4.1.3.

Bentuk kekerasan terhadap istri


Adapun faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam
rumah tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri sebagai
berikut:5
1. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami
dan istri.
Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah
terkonstruk sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta
struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena
harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki.
Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya
bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya. Jika sudah demikian
halnya maka ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan
istri akan selalu menjadi akar dari perilaku keras dalam rumah
tangga.
2. Ketergantungan ekonomi
Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami
memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia
merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan
kepada ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan
pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan
anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak
sewenang-wenang kepada istrinya.
3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik

Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan


dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai
pelampiasan dari ketersinggungan atau kekecewaan karena tidak
dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan
dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak
melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika
perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia
menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami
sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan
problem rumah tangganya.
4. Persaingan
Jika di muka telah diterangkan mengenai fakor pertama kekerasan
dalam rumah tangga adalah ketimpangan hubungan kekuasaan
antara suami dan istri. Maka disisi lain, perimbangan antara suami
dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan, penguasaan
ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, dilingkungan
kerja, dan lingkungan masyarakat dimana mereka tinggal dapat
menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di
satu sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga
tidak mau terbelakang dan dikekang.
5. Frustasi
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya
karena merasa frustasi tidak bisa melakukan sesuatu yang
semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasanya terjadi
pada pasangan yang belum siap kawin, suami belum memiliki
pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah
tangga dan masih serba terbatas dalam kebebasan karena masih
menumpang pada orang tua atau mertua.Dalam kasus ini biasanya
suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukkan dan perbuatan
negatif lain yang berujung pada pelampiasan terhadap istrinya
dengan memarahinya, memukulnya, membentaknya dan tindakan
lain yang semacamnya.
6. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum

Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam


rumah tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban
suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada
aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya
kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari
minimalnya KUHAP membicarakan mengenai hak dn kewajiban
istri sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor
atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim
kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami.
Banyak pihak yang masih belum mau mengakui adanya praktek
pemaksaan hubungan seksual dalam perkawinan. Memang kasus ini tidak
banyak terangkap karena korban lebih sering menyembunyikan penderitaan
yang dialaminya. Menganggap apa yang dialaminya adalah hal yang tabu
untuk diketahui orang lain.6
Sebagian masyarakat masih berpendapat bahwa tidak ada yang
namanya perkosaan dalam perkawinan. Menurut mereka, setiap hubungan
seksual yang berlangsung antara suami istri, terlebih dalam ikatan yang sah
secara hukum dan agama adalah suatu kewajaran dan rutinitas yang memang
sudah seharusnya dilakukan. Anggapan lain di masyarakat yang tidak tepat
adalah istri tidak boleh menolak ajakan suami untuk berhubungan seksual.
Kuatnya anggapan tersebut menyebabkan ketika suami melakukan pemaksaan
dan kekerasan seksual terhadap istri, kecenderungan masyarakat adalah justru
menyalahkan istri. Apalagi jika istri menolak, mereka akan dipandang sebagai
istri yang melawan suami. Bagi mereka, istri harus selalu siap melayani
kapanpun suami menginginkan hubungan seksual. Padahal, adakalanya istri
sedang tidak bergairah, sedang menstruasi atau tertidur karena kelelahan
sesudah beraktivitas seharian, baik itu di luar ataupun di dalam rumah.6
Tidak jarang pula ada suami yang memaksa melakukan variasi
hubungan seksual dengan gaya atau cara yang tidak ingin dilakukan oleh si
istri karena istri menganggapnya di luar kewajaran. Sebagai perempuan yang
memiliki tubuhnya sendiri, istri tentu memiliki hak untuk mengatakan tidak
dan menolak setiap bentuk hubungan seksual yang tidak diinginkannya.
Dengan demikian, penting untuk dicamkan bahwa perkosaan dalam
perkawinan adalah setiap hubungan seksual dalam ikatan perkawinan yang

berlangsung tanpa persetujuan bersama, dilakukan dengan paksaan, dibawah


ancaman atau dengan kekerasan.6
Sehingga, jika ada suami yang memaksa istrinya untuk melakukan
hubungan seksual padahal istri tidak menginginkannya, maka itu termasuk
tindak perkosaan.7
Berikut adalah beberapa variasi kasus pemaksaan hubungan seksual
yang kerap terjadi maupun kasus-kasus yang pernah ditangani oleh LBH APIK
Jakarta:7
1. Pemaksaan hubungan seksual sesuai selera seksual suami. Istri
dipaksa melakukan anal seks (memasukkan penis ke dalam anus),
oral seks (memasukkan penis ke dalam mulut) dan bentuk-bentuk
hubungan seksual lainnya yang tidak dikehendaki istri.
2. Pemaksaan hubungan seksual saat istri tertidur
3. Pemaksaan hubungan seksual berkali-kali dalam satu waktu yang
sama sementara istri tidak menyanggupinya
4. Pemaksaan hubungan seksual oleh suami yang sedang mabuk atau
menggunakan obat perangsang untuk memperpanjang hubungan
intim tanpa persetujuan bersama dan istri tidak menginginkannya
5. Memaksa istri mengeluarkan suara rintihan untuk menabah gairah
seksual.

Pemaksaan

hubungan

seksual

saat

istri

sedang

haid/menstruasi.
6. Pemaksaan hubungan seksual dengan menggunakan kekerasan
psikis seperti mengeluarkan ancaman serta caci maki
7. Melakukan kekerasan fisik atau hal-hal yang menyakiti fisik istri
seperti

memasukkan

benda-benda

ke

dalam

vagina

istri,

mengoleskan balsem ke vagina istri, menggunting rambut


kemaluan istri dan bentuk kekerasan fisik lainnya.
Mengenai hukuman bagi pelaku, ditegaskan dalam pasal 46 UU
PKDRT ini yang menyatakan para pelaku pemaksaan hubungan seksual dalam
rumah tangga diancam hukuman pidana penjara paling lama 12 (dua belas)
tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah).7
2.4.1.4.

KDRT terhadap istri

Karena kekerasan sebagaimana tersebut di atas terjadi dalam rumah


tangga, maka penderitaan akibat kekerasan ini tidak hanya dialami oleh istri
saja tetapi juga anak-anaknya. Adapun dampak kekerasan dalam rumah tangga
yang menimpa istri adalah :8
-

Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan


istri menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat
tindakan kekerasan tersebut.

Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan


hilangnya gairah seks, karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa
merespon secara normal ajakan berhubungan seks.

Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan,


shock, trauma, rasa takut, marah, emosi tinggi dan meledak-ledak,
kuper, serta depresi yang mendalam.

Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya pemenuhan


kebutuhan sehari-hari yang diperlukan istri dan anak-anaknya.

Kekerasan terhadap istri juga d menimbulkan dampak jangka panjang,


terutama pada kekerasan yang berulang dan berlangsung lama seperti pada
kekerasan

dalam

rumah

ketidakharmonisan

keluarga

tangga.
yang

Dampak
berakibat

tersebut
kepada

dapat

berupa

terganggunya

pertumbuhan dan perkembangan anak, child abuse, cycle of violence,


gangguan perkembangan mental dan perilaku seksual dll.9
2.4.2. Kekerasan Terhadap Anak
2.4.2.1. Pendahuluan
Secara umum kekerasan didefinisikan sebagai suatu tindakan yang
dilakukan satu individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan
fisik dan atau mental. Yang dimaksud dengan anak ialah individu yang belum
mencapai usia 18 tahun. Oleh karena itu, kekerasan pada anak adalah tindakan
yang dilakukan seseorang/individu pada mereka yang belum genap berusia 18
tahun yang menyebabkan kondisi fisik dan atau mentalnya terganggu.
Seringkali istilah kekerasan pada anak ini dikaitkan dalam arti sempit dengan
tidak terpenuhinya hak anak untuk mendapat perlindungan dari tindak
kekerasan dan eksploitasi. Kekerasan pada anak juga seringkali dihubungkan
dengan lapis pertama dan kedua pemberi atau penanggung jawab pemenuhan

hak anak, yaitu orang tua (ayah dan ibu) dan keluarga. Kekerasan yang disebut
terakhir ini dikenal dengan perlakuan salah terhadap anak atau child abuse
yang merupakan bagian dari kekerasan dalam rumah tangga (domestic
violence). 10,11
Bentuk kekerasan terhadap anak tentunya tidak hanya berupa
kekerasan fisik saja, seperti penganiayaan, pembunuhan, maupun perkosaan,
melainkan juga kekerasan nonfisik seperti, kekerasan ekonomi, psikis.
1. Fisik (dianiaya di luar batas: dipukul, dijambak, ditendang, diinjak,
dicubit, dicekik, dicakar, dijewer, disetrika, disiram air panas, dsb)
2. Psikis (dihina, dicaci maki, diejek, dipaksa melakukan sesuatu yang tidak
dikehendaki, dibentak, dimarahi, dihardik, diancam, dsb)
3. Seksual (diperkosa, disodomi, diraba-raba alat kelaminnya, diremas-remas
payudaranya, dicolek pantatnya, diraba-raba pahanya, dipaksa melakukan
oral seks, dijual pada mucikari, dipaksa menjadi pelacur, dipaksa bekerja
di warung remang-remang dan pelecehan seksual lainnya.
4. Ekonomi (dipaksa bekerja menjadi pemulung, dipaksa mengamen, dipaksa
menjadi pembantu rumah tangga, dipaksa mengemis, dsb)
Kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu
tindakan semena-mena yang dilakukan oleh seseorang yang seharusnya
menjaga dan melindungi anak (caretaker) pada seorang anak baik secara fisik,
seksual, maupun emosi. Pelaku kekerasan disini karena bertindak sebagai
caretaker, maka mereka umumnya merupakan orang terdekat di sekitar anak.
Ibu dan bapak kandung, ibu dan bapak tiri, kakek, nenek, paman, supir
pribadi, guru, tukang ojek pengantar ke sekolah, tukang kebon, dan
seterusnya.12
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, Unicef, Indonesia. Banyak teori yang berusaha
menerangkan bagaimana kekerasan ini terjadi, salah satu diantaranya teori
yang berhubungan dengan stres dalam keluarga (family stress). Stres dalam
keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua, atau situasi tertentu.12
Stres berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik, mental,
perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia
balita, serta anak dengan penyakit kronis atau menahun juga merupakan salah
satu penyebab stress.

1. Stres yang berasal dari orang tua misalnya orang tua dengan gangguan
jiwa (psikosis atau neurosa), orang tua sebagai korban kekerasan di masa
lalu, orang tua terlampau perfek dengan harapan pada anak terlampau
tinggi, orang tua terbiasa dengan sikap disiplin.
2. Stres berasal dari situasi tertentu, misalnya terkena PHK (pemutusan
hubungan kerja) atau pengangguran, pindah lingkungan, dnakeluarga
sering bertengkar.12
Dengan adanya stres dalam keluarga dan faktor sosial budaya yang
kental dengan ketidaksetaraan dalam hak dan kesempatan, sikap permisif
terhadap hukuman badan sebagai bagian dari mendidik anak, maka para
pelaku makin merasa sah untuk mendera anak. Dengan sedikit faktor pemicu,
biasanya berkaitan dengan tangisan tanpa henti dan ketidakpatuhan para
pelaku, terjadilah penganiayaan pada anak yang tidak jarang membawa
malapetaka bagi anak dan keluarganya.12
2.4.2.2.

Insidensi
Pada saat ini di Indonesia berbagai masalah seakan tidak pernah

berhenti, mulai dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, krisis politik yang
berkelanjutan, kerusuhan hingga perseteruan di antara kelompok, golongan
maupun aparat negara yang saat ini sedang marak. Masalah sosial sudah
menjadi topik yang hangat dibicarakan, misalnya masalah kemiskinan,
kejahatan, dan juga kesenjangan sosial, begitu pula dengan berbagai kasus
kekerasan yang kerap terjadi belakangan ini. Setiap bulannya terdapat 30
kasus kekerasan yang diadukan oleh korbannya kepada lembaga konseling
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia. Sebanyak 60% merupakan korban
kekerasan ringan, berupa kekerasan verbal atau caci maki, sedangkan 40%
sisanya mengalami kekerasan fisik hingga seksual. Kasus kekerasan terhadap
pria, wanita, maupun anakpun sering menjadi headline di berbagai media.
Namun, banyak kasus yang belum terungkap karena kasus kekerasan ini
dianggap sebagai suatu hal yang tidak penting, terutama masalah kekerasan
yang terjadi pada anak-anak. Begitu banyak kasus kekerasan yang terjadi pada
anak tetapi hanya sedikit kasus yang ditindaklanjuti. Padahal, seorang anak
merupakan generasi penerus bangsa. Kehidupan masa kecil anak sangat
berpengaruh terhadap sikap mental dan moral anak ketika dewasa nanti.13

Kenyataannya, masih banyak anak Indonesia yang belum memperoleh


jaminan terpenuhinya hak-haknya, antara lain banyak yang menjadi korban
kekerasan, penelataran, eksploitasi, perlakuan salah, diskriminasi, dan
perlakuan tidak manusiawi. Semua tindakan kekerasan kepada anak-anak
direkam dalam bawah sadar mereka dan dibawa sampai kepada masa dewasa,
dan terus sepanjang hidupnya. Tindakan-tindakan di atas dapat dikatagorikan
sebagai child abuse atau perlakuan kejam terhadap anak-anak. Child abuse itu
sendiri berkisar sejak pengabaian anak sampai kepada pemerkosaan dan
pembunuhan. Terry E. Lawson, psikiater anak membagi child abuse menjadi
empat macam, yaitu emosional abuse, terjadi ketika si ibu setelah mengetahui
anaknya memeinta perhatian, mengabaikan anak itu. Si ibu membiarkan anak
basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu
itu. Si ibu boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau
dilindungi.13
Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan
emosional itu berlangsung konsisten. Verbal abuse terjadi ketika si ibu setelah
mengetahui anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk diam atau
jangan menangis. Jika si anak mulai berbicara, ibu terus-menerus
menggunakan kekerasan verbal, seperti ,kamu bodoh, kamu cerewet,
kamu kurang ajar, dan seterusnya. Physical abuse terjadi ketika si ibu
memukul anak dengan tangan atau kayu, kulit, atau logam akan diingat anak
itu. Sexual abuse, biasanya tidak terjadi selama delapan belas bulan pertama
dalam kehidupan anak. Walaupun ada beberapa kasus ketika anak perempuan
menderita kekerasan seksual dalam usia enam bulan.13
Bedasarkan data yang didapat dari Yayasan Kesejahteraan Anak
Indonesia melalui Center for Tourism Research and Development Universitas
Gajah Mada, mengenai berita tentang child abuse yang terjadi dari tahun
1992-2002 di 7 kota besar, yaitu Medan, palembang, Jakarta, Semarang,
Surabaya, Ujung Pandang, dan Kupang, ditemukan bahwa ada 3969 kasus
dengan rincian sexual abuse 65.8%, physical abuse 19.6%, emotional abuse
6.3%, dan child neglect 8.3%.14

Berdasarkan kategori usia korban:

1. Kasus sexual abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan
terendah 0-5 tahun (7,7%)
2. Kasus physical abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan
terendah usia 13-15 tahun (16.2%)
3. Kasus emotional abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (28.8) dan
terendah

usia

16-18 tahun

(0.9%).

Jurnal

pendidikan

Penabur-

No.03/Th.III/ Desember 2004 131 Tindakan Kekerasan pada Anak dalam


Keluarga.
4. Kasus child neglect: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (74.7%) dan
terendah usia 16-18 tahun (6.0%)
Berdasarkan tempat terjadinya kekerasan:
1. Kasus sexual abuse:

rumah (48.7%), sekolah(4.6%), tempat umum

(6.1%), tempat kerja (3.0%), dan tempat lainnya-diantaranya motel, hotel,


dll (37.6%)
2. Kasus physical abuse: rumah (25.5%), sekolah(10.0%), tempat umum
(22.0%), tempat kerja (5.8%), dan tempat lainnya (36.6%)
3. Kasus emotional abuse: rumah (30.1%), sekolah (13.0%), tempat umum
(16.1%), tempat kerja (2.1), dan tempat lainnya (38.9%)
4. Kasus child neglect:

rumah (18.8%), sekolah (1.9%), tempat umum

(33.8%), tempat kerja (1.9%), dan tempat lainnya (43.5%)


Tindakan kekerasan adalah salah satu problem sosisal yang besar pada
masyarakat modern. Problem sosial adalah pola perilaku masyarakat atau
sejumlah besar anggota masyarakat yang secara meluas tidak dikehendaki
masyarakat tetapi disebabkan oleh faktor-faktor sosial dan diperlukan tindakan
soisal untuk menghadapinya. Tanpa kita sadari, child abuse sering terjadi di
sekitar kita, seperti anak-anak kecil yang bekerja di jalan raya, pantai, pabrik,
atau tempat berbahaya lainnya juga perkelahian antar pelajar, atau mungkin
hal tersebut terjadi pada salah seorang anggota keluarga kita. Ada satu
jawaban atas semua pertanyaan di atas yaitu bahwa kekerasan pada anak-anak
memang sudah menjadi problem sosial di negeri ini. Karena itulah tulisan ini
mencoba untuk lebih menyadarkan masyarakat terhadap kekerasan pada anakanak.14

2.4.2.3.

Hak Anak dan Instrumen Hukum serta Pasal Konvensi


Hak Anak
Telah terdapat banyak hukum yang tujuan utamanya untuk melindungi

anak-anak. Pada tahun 1224 melapisi anggaran dasar dari Winchester


membatasi wanita untuk membawa balita di tempat tidur bersamanya.
Pembunuhan

balita

masih

dianggap

kejahatan

kecil

dibandingkan

pembunuhan, namun pembunuhan pada tahun pertama kehidupan masih 5-10


kali lebih tinggi daripada tingkat usia lainnya dengan rata-rata 66 per
1.000.000.000 penduduk.14
Undang-undang nomor 23 tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak,
pasal 4 menyebutkan bahwa: setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Kebanyakan negara memiliki hukum yang melarang incest. Incest
menjadi kejahatan kriminal di Inggris pada tahun 1908, walaupun ini sudah
jelas merupakan kejahatan kriminal dari tahun 1650 sampai 1660. Terutama
pada tahun 1909 kejahatan ini dihukum dengan pengadilan Gereja Kristen.14
Umur legal yang diperhitungkan bervariasi dari negara satu dengan
negara yang lain dan antara negara bagian di Amerika. Di Inggris berlaku
umur 16 tahun dan secara teori ditujukan untuk mengurangi penganiayaan
seksual dan eksploitasi. Mrazek (1982) mencatat bahwa ahli antropologi sudah
mendokumentasikan bahwa semua golongan masyarakat memiliki pandangan
yang serupa tentang tabu terhadap incest dengan atau tanpa saksi atau
hukuman kriminal yang formal. Ini memberikan gambaran bahwa semua
golongan masyarakat memiliki kecenderungan unutk menghadapi masalah
incest.14
Lebih banyak hukum dan hukum gabungan yang baru dalam the
Children Act (1989) saat ini adalah berdasarkan berbagai pengalaman dalam
praktek perawatan anak pada tengah abad terakhir ini. Beberapa cara
pemeriksaan untuk memeriksa kasus kematian Maria Colwell (DHSS 1974)
telah menyebabkan perubahan dalam praktek dan perundang-undangan

Hak setiap anak adalah:


1. Untuk dilahirkan, untuk memiliki nama dan kewarganegaraan
2. Untuk memiliki keluarga yang menyayangi dan mengasihi
3. Untuk hidup dalam komunitas yang aman, damai, dan lingkungan yang
sehat
4. Untuk mendapatkan makanan yang cukup dan tubuh yang sehat dan aktif
5. Untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan mengembangkan
potensinya
6. Untuk diberikan kesempatan bermainan waktu santai
7. Untuk dilindungi dari penyiksaan, eksploitasi, penyia-siaan, kekerasan,
dan dari marabahaya
8. Untuk dipertahankan dan diberikan bantuan oleh pemerintah.
Konvensi Hak Anak
Pasal 2
Negara-negara peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang
ditetapkan dalam konvensi ini dan setiap anak dalam wilayah hukum mereka
tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, atau pandangan lain, asal
usul bangsa, asal-usul etnik, atau sosial, kekayaan, ketidakmampuan,
kelahiran, atau status lain atau anak, atau dan orang tua anak atau walinya
yang sah menurut hukum.
Pasal 3
1. Dalam semua tindakan yang menyangkut anak-anak, baik yang dilakukan
oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta,
lembaga peradilan, lembaga pemerintahan, maupun badan legislatif,
kepentingan terbaik dan anak-anak harus menjadi pertimbangan utama
2. Negara-negara peserta berupaya untuk menjamin adanya perlindungan dan
perawatan sedemikian rupa yang diperlukan untuk kesejahteraan anak.
Pasal 6
1. Negara-negara Peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak kodrati
atas kehidupan.

2. Negara-negara Peserta semaksimal mungkin akan menjamin kelangsungan


hidup dan tumbuh kembang anak
Pasal13
Anak mempunyai hak atas kebebasan untuk menyatajan pendapat; hak
ini mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan memberi segala
macam informasi dan gagasan terlepas dari batas wilayah, baik secara lisan,
tertulis atau cetakan, dalam bentuk karya seni maupun melalui media lain
sesuai dengan pilihan anak yang bersangkutan.
Pasal 19
Negara-Negara

Peserta

akan

mengambil

langkah

legislatif,

administratif, sosial, dan pendidikan yang layak guna melindungi anak dan
semua bentuk kekerasan fisik atau mental, cedera atau penyalahgunaan,
pengabaian atau tindakan penelantaran, perlakuan salah, atau eksploitasi,
termasuk

penyalahgunaan

seksual,

sementara

mereka

berada

dalam

pengasuhan orang tua, wali yang sah atau setiap orang lain yang merawat
anak.
Pasal 23
Negara-negara Peserta mengakui bahwa anak-anak yang cacat fisik
atau mental hendaknya menikmati kehidupan penuh dan layak, dalam kondisikondisi

yang

menjamin

martabat,

meningkatkan

percaya

diri

dan

mempermudah peran aktif anak dalam masyarakat.


Pasal 28
Negara-negara Peserta mengakui hak atasw anak pendidikan, dan
untuk mewujudkan hak ini secara bertahap dan berdasarkan kesempatan yang
sama, Negara-negara Peserta secara khusus akan:
a. Membuat pendidikan dasar suatu kewajiban dan tersedia secara CumaCuma untuk semua anak;
b. Mendorong pengembangan bentuk-bentuk pendidikan menengah yang
berbeda, termasuk pendidikan umum dan kejuruan, menyediakan
pendidikan tersebut untuk setiap anak, dan mengambil langkah langkah
yang tepat seperti penerapan pendidikan cuma-cuma dan menawarkan
bantuan keuangan bila diperlukan;

Pasal 29
a. Negara-negara Peserta sependapat bahwa pendidikan anak akan diarahkan
pada;
b. Pengembangan kepribadian anak, bakat dan kemampuan mental dan fisik
hingga mencapai potensi mereka sepenuhnya;
c. Pengembangan

penghormatan

atas

hak-hak

azasi

manusia

dan

kemerdekaan hakiki, serta terhadap prinsip-prinsip yang diabadikan dalam


Piagam PBB.
d. Pengembangan rasa hormat kepada orangtua, identitas budaya, bahasa dan
nilai-nilainya, nilai-nilai kebangsaan dan negara tempat anak tersebut
bertempat tinggal, berasal, dan kepada peradaban-peradaban yang berbeda
dan peradabannya sendiri.
e. Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab dalam suatu
masyarakat yang bebas, dalam semangat saling pengertian, perdamaian,
toleransi, persamaan jenis kelamin, dan persahabatan antara sesama,
kelompok-kelompok etnik, bangsa dan agama dan orang-orang pribumi.
f. Pengembangan rasa hormat kepada lingkungan alam
Pasal 30
Di negara-negara dimana terdapat kelompok-kelompok minoritas suku
bangsa, agama atau pribumi seperti itu tidak akan disangkal haknya dalam
bermasyarakat dengan anggota-anggota lain dan kelompoknya, untuk
menikmati budayanya sendiri, untuk melaksanakan ajaran agamanya sendiri,
atau menggunakan bahasanya sendiri.
Pasal 32
Negara-negara Peserta mengakui hak anak untuk dilindungi dan
eksploitasi ekonomi dan dari pelaksanaan setiap pekerjaan yang mungkin
berbahaya atau mengganggu pendidikan anak, atau membahayakan kesehatan
atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral atau sosial anak.
Pasal 34
Negara-negara Peserta berusaha untuk melindungi anak dan semua
bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual. Untuk tujuan ini,
Negara-negara Peserta secara khusus akan mengambil langkah-lamgkah
nasional, bilateral dan multilateral untuk mencegah :

a. Bujukan atau pemaksaan terhadap anak untuk melakukan kegiatan seksual


yang tidak sah;
b. Penggunaan anak secara eksploitstif dalam pelacuran atau praktek-praktek
seksual lain yang tidak sah;
c. Penggunaan anak secara eksploitatif dalam pertunjukkan-pertunjukkan dan
bahan-bahan pornografis.
2.4.2.4.

Dampak kekerasan terhadap anak

1. Dampak jangka pendek


Umumnya dampak jangka pendek kekerasan adalah cedera fisik yang
diderita oleh korban (luka-luka, patah tulang, kehilangan fungsi alat tubuh atau
indera, dll), gejala sisa di bidang kesehatan dan psikologis, serta dampak
terhadap pendidikan dan pertumbuhan anak terutama bila dalam kasus
kekerasan rumah tangga.
2. Dampak jangka panjang
Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa anak-anak yang
tumbuh dari keluarga yang biasa dengan kekerasan terhadap perempuan atau
juga terhadap anak, akan melakukan perbuatan yang sama pada saat mereka
menjadi dewasa dan berumahtangga sendiri. Anak laki-laki belajar dari
ayahnya dalam melakukan kekerasan terhadap istrinya, sedangkan anak
perempuan belajar dari ibunya untuk menjadi korban kekerasan. Masyarakat
luas telah menerima teori bahwa kekerasan adalah perilaku yang diperoleh
dari belajar dan bersifat siklik.
Jaffe dkk mengatakan bahwa anak laki-laki yang tumbuh dari keluarga
dengan kekerasan akan lebih mungkin mengalami kesulitan penyesuaian dan
manifestasi menjadi masalah perilaku. Bahkan Fischer yang melakukan studi
longitudinal selama 30 tahun mengatakan bahwa adanya pertengkaran dan
kekerasan yang dilakukan orang tuanya selama ia kanak-kanak merupakan
prediksi yang bermakna untuk timbulnya kejahatan terhadap orang pada saat
ia dewasa kelak, seperti penyerangan, percobaan perkosaan, perkosaan,
percobaan pembunuhan, penculikan dan pembunuhan, tetapi tidak prediktif
untuk kejahatan terhadap barang.
2.4.2.5.

Pola Penanganan Kasus Kekerasan Anak

Prinsip penanganan kasus kekerasan anak sesuai KHA yaitu non


diskriminasi, kepentingan terbaik anak, menghormati pendapat anak, dan
mengutamakan hak anak demi kelangsungan hidup dan tumbuh kembang.
Indikator keberhasilan penanganan kekerasan bagi anak:
1. Sembuhnya trauma anak, baik fisik maupun psikis
2. Penempatan anak dalam keluarga sendiri, keluarga asuh, keluarga angkat
atau panti sosial asuhan anak berdasar pada kepentingan yang terbaik
untuk anak
3. Terpenuhinya semua kebutuhan fisik, mental dan sosial secara optimal
4. Semakin meningkatnya kemampuan anak untuk berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya.
Seperti halnya dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga pada
umumnya, dokter dan paramedis berperan dalam penanganan korban yang
mengalami trauma baik fisik, seksual ataupun psikis yang memerlukan
bantuan baik secara medis maupun konseling. Selain sebagai penyedia layanan
medis, dan menghadirkan bukti medis melalui pembuatan visum et repertum.
Rumah sakit merupakan bagian penting dalam proses penyidikan kekerasan
yang terjadi.
2.4.3. Kekerasan terhadap Pembantu Rumah Tangga
2.4.3.1. Pendahuluan
Jika terjadi kekerasan emosional/psikologikal atau kekerasan akibat
finansial dan peristiwa tersebut belum mempunyai tanda seperti kekerasan
fisik. Di samping itu juga korban belum memperoleh advokasi. Laju biduk
perkawinan merupakan hasil kerja sama antara suami dan istri serta anakanak. Pada akhirnya ketergantungan merupakan sikap umum perempuan.
Suatu sikap yang ingin dilindungi dan dipelihara.15
Perlu diketahui bahwa batasan pengertian Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdapat di dalam Undang-Undang
No.23 tahun 2004 adalah ; setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berak

ibat timbulnya kesengsaraan, atau penderitaan

secara fisik, seksual psikologis, dan/ atau penelantaran rumah tangga,


termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan

kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkungan rumah tangga (pasal


1 ayat 1).15
Mengingat UU tentang KDRT merupakan hukum publik yang di
dalamnya ada ancaman pidana penjara atau denda bagi yang melanggarnya,
maka masyarakat luas khususnya kaum lelaki, dalam kedudukan sebagai
kepala keluarga sebaiknya mengetahui apa itu kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT).
Adapun tentang siapa saja yang termasuk dalam lingkup rumah tangga
adalah :
1. Suami, istri, dan anak, termasuk anak angkat dan anak tiri
2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, istri
yang tinggal menetap dalam rumah tangga, seperti : mertua, menantu, ipar,
dan besan
3. Orang yang bekerja membantu di rumah tangga dan menetap tinggal
dalam rumah tangga tersebut, seperti pembantu rumah tangga16
2.4.3.2. Bentuk-bentuk Kekerasan
Kekerasan Fisik
a. Kekerasan Fisik Berat, berupa penganiyaan berat seperti menendang,
memukul,

menyudut,

melakukan

percubaan

pembunuhan

atau

pembunuhan dan semua perbuatan lain dengan mengakibatkan :


Cedera berat
Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari
Pingsan
Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit
disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati
Kehilangan salah satu panca indra
Mendapat cacat
Menderita sakit lumpuh
Terganggu daya pikir selama 4 minggu lebih
Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan
Kematian korban

b. Kekerasan Fisik Ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong, dan


perbuatan lainya yang mengakibatkan :
Cedera ringan
Rasa sakit dan luka fisik yang tidak termasuk kategori berat
Melakukan repetisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan ke dalam
jenis kekerasan fisik berat.
Kekerasan Psikis
a. Kekerasan Psikis Berat, berupa tindakan pengendalian, manipulasi,
eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk
pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan atau ucapan yang
merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan dan atau ancaman
kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masing bisa
mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa
hal berikut :
Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat
atau disfungsi seksual yang salah satu atau dua
Kesemuanya berat dan atau menahun
Gangguan stress paska trauma
Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta
tanpa indikasi medis)
Deperesi berat atau destruksi diri
Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas
seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya
Bunuh diri
b. Kekerasan Psikis Ringan, berupa tindakan pengendalian, manipulasi,
eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk
pelanggaran, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang
merendahkan atau menghina; penguntitan; ancaman kekerasan fisik,
seksual

dan

ekonomis

yang

masing-masing

bisa

mengakibatkan

penderitaan psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa hal di bawah ini
:
Ketakutan dan perasaan terteror

Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya


kemampuan untuk bertindak
Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual
Ganggan fungsi tubuh ringan (misalnya sakit kepala, gangguan
pencernaan tanpa indikasi medis)
Fobia atau depresi temporer
Kekerasan Seksual
a. Kekerasan Seksual Berat, berupa :
Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh
organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan
lain yang menimbulkan rasa muak/ jijik, terteror, terhina dan
merasa

dikendalikan.

Pemaksaan

hubungan

seksual

tanpa

persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki.


Pemaksaan

hubungan seksual

dengan

cara

tidak

disukai,

merendahkan, dan atau menyakitkan


Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
pelacuran dan atau tujuan tertentu
Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi
ketergantungan korban yang seharusnya
Dilindungi
Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa
bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka, atau cedera
b. Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti
komentas verbal, gurauan, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan
atau secara nonverbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun
perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yan tidak dikehendaki
oleh korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban
Kekerasan Ekonomi
a. Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan
pengendalian lewat sarana ekonomi berupa :

a) Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk


pelacuran
b) Melarang korban bekerja tapi menelantarkannya
c) Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban,
merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.
b. Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang
menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau
tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya16
2.5. Anamnesa, Catatan Medis dan Pelaporan
2.5.1. Anamnesa dan Catatan Medis
Sebelum memeriksa korban, dokter atau perawat, bidan atau tenaga
medis lain yang telah berpengalaman dengan banyak mengenal kasus KtP dan
KtA harus menjelaskan kepada korban tentang prinsip dan tujuan
pemeriksaan, tatalaksana dan interpretasi hasil pemeriksaan; serta kemudian
meminta persetujuan dalam berkas rekam medis.
Korban yang telah berusia 21 tahun ke atas atau telah pernah menikah,
sadar diri tidak mempunyai gangguan jiwa (psikosis atau retardasi mental)
harus menandatangani sendiri lembar persetujuan. Korban yang tidak
memenuhi kriteria di atas harus didampingi oleh orang tua/ wali/ keluarga
terdekatnya (ditanda tangani bersama).
Di bawah ini ditunjukkan serangkaian model prosedur pemeriksaan
yang dapat dijadikan acua, yang dapat disesuaikan model proedur pemeriksaan
yang dapat dijadikan acuan, yang dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi
setempat, serta kemampuan dan tenaga medis setempat. Namun demikian,
alangkah

baiknya

apabila

setiap

sarana

kesehatan

berupaya

untuk

melaksanakannya.
2.5.1.1. Anamnesis
a. Upayakan anamnesis diperoleh secara cermat, baik dari pengantar maupun
dari korban sendiri.
b. Nilai kejanggalan sikap istri, suami atau pengantar lain.
c. Nilai kejanggalan keterangan yang diberikan.
d. Lengkapi rekam medis dengan menanyakan kembali tentang identitasnya.

e. Tanyakan tentang proses terjadinya kekerasan secara rinci, termasuk :


1) Urutan kejadiannya
2) Apa yang menjadi pemicu (penyebab)
3) Penderaan apa yang telah terjadi
4) Oleh siapa
5) Kapan
6) Dimana
7) Dengan menggunakan apa atau bagaimana terjadinya
8) Berapa kali
9) Apa akibatnya pada si korban
10) Orang-orang yang ada di sekitar pada saat kejadian
11) Waktu jeda (time lag) antara saat kejadian dan saat menerima
pertolongan medis
12) Apa yang dilakukan korban setelah kejadian
13) Apa yang dilakukan pelaku setelah kejadian
f. Peroleh pula informasi tentang :
1) Keadaan kesehatannya sebelum trauma
2) Pernahkah trauma seperti ini sebelumnya
3) Adakah riwayat penyakit dan perilaku sebelumnya
4) Adakah faktor-faktor sosial, budaya, ekonomi yang berpengaruh
pada perilaku dalam keluarga
5) Bagaimanakah pertumbuhan fisik, perkembangan (terutama
motorik) dan psikis anak-anaknya
6) Apakah anaknya juga mengalami kekerasan
g. Keterangan pasien atau korban untuk setiap kelainan fisik yang ditemukan
harus dicatat.
j. Anamnesis seharusnya dilakukan secara terpisah dari suami atau
pengantanya(private setting), setelah itu dibandingkan dengan keterangan
versi pengantar atau suami.
2.5.1.2 Rekam Medis
a. Lengkapi rekam medis dengan identitas dokter pemeriksa, pengantar
korban, tanggal, tempat dan waktu pemeriksaan serta jati diri korban, terutama
umur dan perkembangan seksnya (menarche dan seks sekunder) serta kegiatan

seksual terakhir, siklus haid, haid terakhir dan apakah masih haid saat
kejadian.
b. Selanjutnya rekonfirmasi tentang kekerasan sebelum kejadian, rincian
kejadian, waktunya, lokasinya, terjadi atau tidaknya penetrasi dan apa yang
telah dilakukan setelah terjadinya kekerasan seksual tersebut (mencuci diri,
ganti baju, mandi, dll).
2.5.2. Pencatatan dan Pelaporan
Meliputi beberapa hal :
1. Desentralisasi/Otonomi
2. Demokrasi
3. Kualitas data
4. Sederhana
5.Pengembangan jejaring
6. Bermanfaat dan dapat dipercaya
7. Dapat dimonitor perkembangannya
Pencatatan dan pelaporan tindak kekerasan terhadap perempuan dan
anak menghimpun keterangan-keterangan yang sangat terkait dan bermanfaat
untuk melakukan pemantauan dan evaluasi kebijakan perlindungan terhadap
tindak kekerasan perempuan dan anak, serta upaya pengembangannya.
Keterangan yang dikumpulkan meliputi :
1. Identitas korban
a. Nama
b. Alamat
c. Umur
d. Pendidikan
e. Agama
f. Status perkawinan
g. Pekerjaan
h. Jenis kelamin
i. Kebangsaan
2. Identitas Pelaku
3. Jenis Kekerasan
a. Fisik

b. Psikis
c. Perkosaan
d. Pencabulan
e. Penelantaran
4. Tempat kejadian
5. Jenis Pelayanan
a. Pendampingan
b. Pelayanan kesehatan
c. Konseling
d. Pelayanan hukum
e. Rehabilitasi
f. Penempatan korban di Rumah Aman
6. Potensi Unit Pelayanan
a. Nama dan alamat unit pelayanan
b. Jumlah dan kualifikasi SDM
c. Jenis pelayanan yang tersedia pada unit pelayanan tersebut
Hambatan
Meskipun telah ada perkembangan yang baik dalam jumlah kebijakan
dan lembaga yang menangani korban dan koordinasi lintas instansi, tidak serta
merta kualitas pelayanan dan penanganan sudah memenuhi kebutuhan korban
KDRT atas kebenaran, keadilan dan pemulihan baik yang dialami korban
dan/atau pelapor. Hamabatannya muncul dalam berbagai lapisan, termasuk di
antara adalah kapasitas dari lembaga-lembaga layanan.
a. Kendala Budaya
Sekalipun sudah dijamin di dalam UU PKDRT, tidak semua
permpuan merasa yakin untuk melaporkan kasusnya karena masih
merasa malu, bersalah atas kekerasan yang menimpa dan juga kuatir
akana dipersalahkan oleh keluarga dan masyarakat sekelilingnya.
Adanya pula keraguan korban untuk melanjutkan proses hukum karena
takut akan kehancuran keluarga Pertimbangan serupa juga mendasari
korban

yang

telah

melaporkan

kasusnya

kemudian

menarik

pengaduannya. Catatan RPK UUP sejak tahun 2005 menunjukkan


bahwa sekitar 50 % dari total kasus yang dilaporkan dicabut kembali
oleh korban dan berarti proses hukum tidak diteruskan.

b. Kendala Hukum
Dari

segi

substansi

hukum,

UU

PKDRT

bukan

merupakanproduk hukum yang sempurna, meski UU PKDRT


merupakan terobosanyang progresif dalam sistem hukum dan
perundang-undangan kita terkait dengan upaya perlindungan hukum
terhadapa koban KDRT. Berikut hambatan yang terkait dengan
substansi hukum yang ada.
1) Payung kebijakan di bawah undang-undang, seperti
peraturan-peraturan pelaksanaan dan alokasi anggaran negara,
masih jauh dari memadai sehingga mempersulit penanganan
yang sesuai dengan apa yang dimandatkan dalam Undangundang no 23 tahun 2004. Hal ini terutama terjadi pada tahap
awal penanganan yang melibatkan polisi, lembaga layanan
kesehatan dan pendamping korban.
2) Ancaman hukum alternatif berupa kurungan atau denda,
ancaman

hukuman

terlalu

ringan

untuk

kasus

tindak

kejahatan/kekerasan yang terencan dan kasus yang korbannya


meninggal, kekerasan seksual dan psikis yang dilakukan suami
terhadapa istri, merupakan delik aduan.
3) UU PKDRT lebih menitikberatkan proses penanganan
hukum pidana dan penghukuman dari korban. Di satu sisi UU
ini dapat terjadi alat untuk menjerakan pelaku dan represi
terhadap siaa yang akan melakukan tindakan KDRT. Di sisi
lain, penghukuman suami masih dianggap bukan jalan yang
utama bagi korban, khususnya istri, yang mangalami KDRT.

BAB III
KESIMPULAN
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terutama terhadap
seorang perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atas penderitaan secara fisik,
seksual, psikologi dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan dan perampasan kemerdekaan seseorang melawan hukum dalam
lingkungan rumah tangga.
Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga antara lain hidup dalam
kemiskinan/himpitan ekonomi, sejak kecil terbiasa melihat dan mengalami kekerasan dalam
rumah tangga, pemabuk, frustasi, kelainan jiwa, tidak adanya pengertian antara suami isteri
mengenai hak dan kewajiban dalam membina keluarga.
Macam kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa kekerasan terhadap isteri,
kekerasan terhadap anak, dan kekerasan terhadap pembantu rumah tangga. Bentuk KDRT
dapat dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual (pemaksaan
hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga
tersebut dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan tujuan tertentu), dan penelantaran
rumah tangga.

DAFTAR PUSTAKA
1. Bittner S, Newberger EH: Pediatric understanding of child abuse and neglect. Pediatr
Rev 2:198, 1981.
2. Ginott H. Between parents and child 2001. Jakarta : P.T. Gramedia pustaka utama.
3. Gunarsa SD et al. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: P.T. BPK Gunung
Mulia.
4. Farouk U. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga 2006.
5. Hamzah A. Tinjauan Sosial dan Hukum Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(Menuju Formalisaasi Hukum Isklam Tentang Penyelesaian KDRT) 2007.
6. Hasbianto EN. Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Potret Muram Kehidupan 1996
7. Hobbs CJ et al. Child Abuse and Neglect A Clinicians Handbook. Ed ke-2. Churchill
Livingstone, London 1999.
8. Keumalahayati. Kekrasan Pada Istri Dalam Rumah Tangga Berdampak terhadap
Kesehatan Reproduksi 2007.
9. LBH APIK. Pemaksaan Hubungan Seksual dalam Perkawinan adalah Kejahatan
Perkosaan. 2007.
10. Lubis S. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). 2002
11. Materi TOT bagi petugas kesehatan dalam pelayanan korban tindak kekerasan terhadap
perempuan dan anak di Jawa Tengah, Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. 2005
12. Refleksi reformasi Undang-Undang KDRT.
13. Sampurna B. Peranan Ilmu Forensik dalam Penegakan Hukum. Jakarta 2003
14. Sunusi M. Tatalaksana Komprehensif dan Dampak Kekerasan Pada Anak. 2003
15. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Unicef, Indonesia.
16. Veny R. Kekerasan Dalam Rumah Tangga. LBH APIK Jakarta 2003.

Anda mungkin juga menyukai