Oleh :
PUTRI RARA IMAS BALERNA PRATIWI / FAA 110 030
STOYARENSKI ASHMIRBEYCA / FAA 110 003
Pembimbing :
dr. Ricka Brillianty Zaluchu Sp. KF
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...... ... ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang..
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..
2.1. Sejarah UU KDRT dan UU no 23 Tahun 2004.
2.2. Penjelasan UU no 23 Tahun 2004..
2.3. Aspek Hukum KDRT.
2.4. Macam KDRT.
2.4.1. Kekerasan terhadap Istri.
2.4.1.1. Pendahuluan.
2.4.1.2. Insidensi..
2.4.1.3. Bentuk Kekerasan terhadap Istri.
2.4.1.4. Dampak KDRT terhadap Istr......
2.4.2. Kekerasan terhadap Anak.......
2.4.2.1. Pendahuluan
2.4.2.2. Insidensi
2.4.2.3. Hak Anak dan Instrumen Hukum serta Pasal Konvensi Hak
Anak..
2.4.2.4.. Dampak Kekerasan terhadap Anak..
2.4.2.5. Prinsip Penanganan Kasus Kekerasan Anak
2.4.3. Kekerasan terhadap Pembantu Rumah Tangga..
2.4.3.1. Pendahuluan
2.4.3.2. Bentuk Kekerasan..
2.5. Anamnesis, Catatan Medis dan Pelaporan
2.5.1. Anamnesis dan Catatan Medis
2.5.1.1. Anamnesis
2.5.1.2. Catatan Medis..
2.5.2. Pencatatan dan Pelaporan..
BAB III KESIMPULAN.
DAFTAR PUSTAKA.
BAB I
PENDAHULUAN
Keluarga merupakan bagian dalam masyarakat yang mempunyai peranan yang
berpengaruh terhadap perkembangan sosial dan perkembangan tiap pribadi dalam keluarga
tersebut. Sebuah keluarga bisa dikatakan harmonis apabila tiap anggota keluarga tersebut
merasa bahagia yang ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan terhadap
anggota keluarga.1
Ketegangan dan konflik yang terjadi dalam keluarga merupakan hal wajar terjadi dalam
keluarga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa konflik dan hampir semua keluarga
pernah mengalami konflik. Yang menjadi berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan
menyelesaikan hal tersebut. Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya
masing masing. Apabila masalah diselesaikan secara baik maka kehidupan setiap anggota
keluarga akan menjadi baik. Di sisi lain, apabila konflik diselesaikan secara tidak sehat maka
konflik akan semakin sering terjadi dalam keluarga. Biasanya penyelesaian masalah secara
tidak sehat dilakukan dengan marah-marah, teriakan dan makian maupun ekspresi wajah
menyeramkan. Terkadang muncul perilaku kasar seperti menyerang, memaksa, mengancam
atau melakukan kekerasan fisik. Perilaku seperti ini dapat dikatakan pada tindakan kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT).
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan
kejahatan terhadap martabat manusia serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. Korban
kekerasan dalam rumah tangga kebanyakan adalah perempuan yang harusnya mendapatkan
perlindungan Negara dan masyarakat agar terhindar dari kekerasan atau perlakuan yang
merendahkan derajat, martabat kemanusiaan.
Beberapa contoh kasus mengenai kekerasan dalam rumah tangga misalnya kasus yang
dialami oleh Ibu Heni Supriana yang di Surabaya yang dihajar sampai babak belur oleh
suaminya, pemicu dari kasus ini merupakan faktor ekonomi.2 Kemudian kasus yang dialami
oleh artis Manohara yang dianiaya oleh suaminya sendiri yang merupakan seorang
bangsawan dari negara tetangga. Pada kasus Manohara ini, dikabarkan bahwa korban diberi
semacam obat perangsang, agar dapat terus melayani suami meskipun korban sedang tidak
ingin berhubungan. Hubungan suami istri ini didominasi oleh kekuasaan suami yang
berlindung di balik waham suami akan cinta terhadap istri atau korban. ]rasan dalam rumah
tangga di Indonesia rata-rata terjadi 311 kasus setiap hari. Pada tahun 2011 angka kasus
KDRT adalah 113.878 kasus atau 95,71%, biasanya bentuk KDRT yang terjadi berupa
pemukulan, penganiayaan, penyekapan, penelantaran, penyiksaan, dan bahkan tak jarang
menyebabkan kematian.5 Kekerasan dalam rumah tangga kurang mendapat tanggapan serius
dari pihak korban, disebabkan karena beberapa alasan: 6
1. Kekerasan dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup yang relatif tertutup dan
terjaga ketat privasinya, karena persoalannya terjadi di dalam area keluarga;
2. Kekerasan dalam rumah tangga seringkali dianggap wajar karena diyakini bahwa
memperlakukan sekehendak suami merupakan hak suami sebagai pemimpin dan
kepala rumah tangga;
3. Adanya harapan bahwa tindak kekerasan akan berhenti. Tindakan kekerasan
mempunyai siklus kekerasan yang menipu;
4. Karena terjadinya ketergantungan ekonomi yang menyebabkan perempuan akan
menerima saja jika kekerasan itu terjadi padanya.;
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
anak merupakan korban utama dari kekerasan rumah tangga yang seharusnya memperoleh
perlindungan hukum. Salah satu persoalan yang mendapat perhatian serius dari gerakan hak
perempuan pada 5 tahun pertama dari era reformasi adalah kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) khususnya kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri dan oleh orang tua
terhadap anak. Pada masa itu, kasus-kasus KDRT sulit untuk diselesaikan secara hukum.
Hukum pidana Indonesia tidak mengenla KDRT, bahkan kata-kata kekerasan pun tidak
ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kasus-kasus pemukulan
suami terhadap istri atau orang tua terhadap anak diselesaikan dengan menggunaka pasal
tentang penganiayaan, yang kemudian sulit sekali dipenuhi unsure-unsur pembuktiannya,
sehingga kasus yang diadukan, tidak lagi ditindak lanjuti.1
Penanganan kasus KDRT ini memberikan inisiatif kepada LBH advokasi untuk
perempuan Indonesia dan keadilan (APIK) bersama dengan lembaga swadaya masyarakat
lainnya yang terganbung dalam Jaringan Kerja Advokasi Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan (Jangka PKTP) untuk menyiapkan RUU anti KDRT. RUU anti KDRT ini telah
disiapkan oleh LBH APIK dan Jangka PKTP sejak tahun 1998 melalui dialog public.
Persiapan ini termasuk lama mengingat isu KDRT masih kurang dikenal oleh masyarakat. 1
Tujuan adanya RUU ini diharapkan mampu menghilangkan atau meminimalisasi
tindak pidana KDRT. Dari data dan fakta dilapangan yang ditemukan, pihak yang sering
menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak. Jumlah korban KDRT mengalami
peningkatan dari hari ke hari. Akan tetapi penegak hukum dalam pencapaian keadilan bagi
korban KDRT berbanding menunjukkan angka yang terbalik dengan jumlah korban. Selain
itu dengan adanya UU KDRT diharapkan anggota keluarga mampu menghargai hak dan
kewajiban masing-masing dan tidak bertindak yang semena-mena. 1
Persoalan KDRT merupakan fenomena gunung es yang hanya kelihatan puncaknya
sedikit tetapi tidak menunjukkan data yang valid. Padahal dalam kehidupan sehari-hari kasus
KDRT ini sering ditemukan. Dalam menangani kasus KDRT maka Negara kita telah
memiliki undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga yang disahkan tanggal 22 September 2004. Dengan undang-undang ini diharapkan
terjadi penurunan kasus KDRT dan terlindunginya hak dan kewajiban anggota keluarga. 1
Catatan tahunan komnas perempuan sejak tahun 2001 sampai dengan 2007
menunjukkan peningkatan laporan adalah sebanyak 5 kali lipat. Sebelum UUPKDRT, yaitu
dalam rentang 2001-2004, jumlah yang dilaporkan adalah atau sebanyak 9.662 kasus. Sejak
diberlakukannya UUPKDRT, 2005-2007, terhimpun sebanyak 53.704 kasus KDRT yang
dilaporkan. 1
2.2.
Penjelasan UU PKDRT
Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis, dan ataau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melaporkan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Ps 1 angka 1). 2
Lingkup Rumah Tangga
Yang termasuk cakupan rumah tangga menurut pasal 2 UU-PKDRT adalah:
1. Suami, istri dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri)
2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebgaimana
disebutkan diatas karena hubungan darah, perkawinan (misalnya mertua, menantu,
ipar, dan besan), persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam
rumah tangga dan atau
3. Prang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut, dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang
bersangkutan (Ps 2 (2)).2
Asas Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Ps 3)
1. Penghormatan hak asasi manusia
2. Keadilan dan kesejahteraan gender, yakni suatu keadaan dimana perempuan dan
laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk
mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi keutuhan dan
kelangsungan rumah tangga secara proporsional.
Tujuan Penghapuan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Ps 4)
1. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
2. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
3. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
4. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. 2
Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
1. Kekerasan fisik, yakni perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau
luka berat (Ps 5 jo 6)
2. Kekerasan psikis, yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau
penderitaan psikis berat pada seseorang (Ps 5 jo 7)
3. Kekerasan seksual, yakni setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan
seksuak, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak
disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan dan atau tujuan tertentu (Ps 5 jo 8), yang meliputi:
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu
4. Penelantaran rumah tangga, yakni perbuatan penelantaran orang dalam lingkup
rumah tangga, padahal menurut hukum yang berlaku bagi yang bersangkutan atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan
atau pemeliharaan terhadap orang tersebut. Penelantaran juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan
atau melarang untuk bekerja yang layak didalam atau diluar rumah sehingga
korban berada dibawah kendali orang tersebut (ps 5 jo 9).2
Hak-Hak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Ps 10)
kepolisian, baik ditenpat korban berada atau ditempat kejadian perkara. Dalam hal
korban adalah seoranv anak,laporan dapat dilakukan oleh orang tua,wali, pengasuh
atau anak yang bersangkutan (ps 27)
Bentuk Perlindungan/Pelayanan Bagi Korban KDRT
KEPOLISIAN
1. Dalam waktu 1x24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan KDRT,
polisi wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban (ps 16 (1)).
2. Dalam waktu 1x24 jam terhitung sejak pemberian perlindungan sementara
kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan
(ps (16 (3)).
3. Kepolisian wajib memberikan keterangan pada korban tentang hak korban untuk
mendapat pelayanan dan pendampingan (ps 18)
4. Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau
5.
1.
2.
3.
informasi
mengenai
hak-hak
korban
untuk
mendapatkan
tambahan
kondisi
dalam
perintah
perlindungan
dengan
kewajiban
Pekerja sosial, relawan pendamping dan atau pembimbing rohani wajib memberikan
pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan atau
memberikan rasa aman bagi korban.
2.3. Aspek Hukum KDRT
Ketentuan Pidana
KEKERASAN FISIK DELIK ANCAMAN SANKSI
a. Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yaitu penjara paling lama 5 (lima)
tahun; atau denda paling banyak Rp 15 juta.
b. Kekerasan fisik yang mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat
yaitu penjara paling lambat 10 (sepuluh tahun)
c. Kekerasan fisik yang mengakibatkan matinya korban yaitu penjara paling lama15
(lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45 juta
d. Kekerasan fisik yang dilakukan suammi terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari yaitu penjara paling lama 4 (empat)
bulan atau denda paling banyak Rp 3 juta.
KEKERASAN SEKSUAL DELIK ANCAMAN SAKSI
a. Kekerasan seksual yaitu penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak
Rp 36 juta
b. Memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan
seksual yaitu penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun atau denda
paling sedikit Rp 12 juta dan paling banyak Rp 300 juta
c. Mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiawaan sekurang-kurangnya
selama 4 minggu terus menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau
matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat
reproduksi yaitu penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun atau
denda paling sedikit 25 juta dan paling banyak 500 juta.
PENELANTARAN RUMAH TANGGA DELIK ANCAMAN SAKSI
Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangga; atau menelantarkan orang lain
yang berada dibawah kendali yaitu penjara paling lama 3 tahun atau denda paling
banyak 15 juta.
Pidana Tambahan
Selain ancaman pidana penjara dan/atau denda tersebut diatas, hakim dapat
menjatuhkan pidana tambahan berupa:
a. Pembatasan Gerak perilaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari
korban dalam jarak dan waktu tertentu maupun pembatasan hak-hak tertentu dari
pelaku
b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan lembaga
tertentu.
2.4.
Pendahuluan
Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence)
merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan
hukum. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan
pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga,
sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan
verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan di dalam
rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial,
tingkat pendidikan, dan suku bangsa.4
Pelaporan Kasus KDRT Pasca Undang-Undang PKDRT
2004
2005
2006
2007
Istri
1.782
4.886
1.348
17.772
Pacar
251
421
552
469
Anak
321
635
816
776
Pembantu
71
87
73
236
Dari tabel di atas, diketahui bahwa korban terbanyak dalam kasus
KDRT adalah istri, atau mencapai 85% dari total korban. Anak perempuan
adalah korban terbanyak ketiga terbanyak setelah pacar. Pada kasus kekerasan
dengan korban anak, ada juga kasus dimana pelakunya adalah perempuan
dalam statusnya sebagai ibu. Menurut pengamatan Komnas Perlindungan
Anak, sebagian besar ibu yang menjadi pelaku KDRT adalah sudah terlebih
dahulu menjadi korban kekerasan oleh suaminya, atau berada dalam tekanan
ekonomi yang luar biasa akibat pemiskinan yang dialami oleh kebanyakan
anggota masyarakat tempat ia tinggal.4
Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah
sosial yang serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat
dan para penegak hukum karena beberapa alasan, pertama : ketiadaaan
statistik kriminal yang akurat, kedua : tindak kekerasan pada istri dalam rumah
Jumlah
25.788
1.693
2.548
467
tangga memiliki ruang lingkup sangat pribadi dan terjaga privacynya berkaitan
dengan kesucian dan keharmonisan rumah tangga (sanctitive of the home),
ketiga : tindak kekerasan pada istri dianggap wajar karena hak suami sebagai
pemimpin dan kepala keluarga, keempat : tindak kekerasan pada istri dalam
rumah tangga terjadi dalam lembaga legal yaitu perkawinan.4
Sebagian besar perempuan sering bereaksi pasif dan apatis terhadap
tindak kekerasan yang dihadapi. Ini memantapkan kondisi tersembunyi
terjadinya tindak kekerasan pada istri yang diperbuat oleh suami. Kenyataan
ini menyebabkan minimnya respon masyarakat terhadap tindakan yang
dilakukan suami dalam ikatan pernikahan. Istri memendam sendiri persoalan
tersebut, tidak tahu bagaimana menyelesaikan dan semakin yakin pada
anggapan yang keliru, suami dominan terhadap istri. Rumah tangga, keluarga
merupakan suatu institusi sosial paling kecil dan bersifat otonom, sehingga
menjadi wilayah domestik yang tertutup dari jangkauan kekuasaan publik.4
2.4.1.2.
Insidensi
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rifka Annisa Womsis Crisis
Centre (RAWCC, 1995) tentang kekerasan dalam rumah tangga terhadap 262
responden (istri) menunjukkan 48% perempuan (istri) mengalami kekerasan
verbal, dan 2% mengalami kekerasan fisik. Tingkat pendidikan dan pekerjaan
suami (pelaku) menyebar dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi (S2);
pekerjaan dari wiraswasta, PNS, BUMN, ABRI. Korban (istri) yang bekerja
dan tidak bekerja mengalami kekerasan termasuk penghasilan istri yang lebih
besar dari suami.5
Hasil penelittian kekerasan pada istri di Aceh yang dilakukan oleh
Flower (1998) mengidentifikasi dari 100 responden tersebut ada 76 orang
merespon dan hasilnya 37 orang mengatakan pernah mengalami tindak
kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan berupa psikologis (32 orang),
kekerasan seksual (11 orang), kekerasan ekonomi (19 orang), kekerasan fisik
(11 orang). Temuan lain sebagian responden tidak hanya mengalami satu
kekerasan saja. Dari 37 responden, 20 responden mengalami lebih dari satu
kekerasan, biasanya dimulai dengan perbedaan pendapat antara istri (korban)
Pemaksaan
hubungan
seksual
saat
istri
sedang
haid/menstruasi.
6. Pemaksaan hubungan seksual dengan menggunakan kekerasan
psikis seperti mengeluarkan ancaman serta caci maki
7. Melakukan kekerasan fisik atau hal-hal yang menyakiti fisik istri
seperti
memasukkan
benda-benda
ke
dalam
vagina
istri,
dalam
rumah
ketidakharmonisan
keluarga
tangga.
yang
Dampak
berakibat
tersebut
kepada
dapat
berupa
terganggunya
hak anak, yaitu orang tua (ayah dan ibu) dan keluarga. Kekerasan yang disebut
terakhir ini dikenal dengan perlakuan salah terhadap anak atau child abuse
yang merupakan bagian dari kekerasan dalam rumah tangga (domestic
violence). 10,11
Bentuk kekerasan terhadap anak tentunya tidak hanya berupa
kekerasan fisik saja, seperti penganiayaan, pembunuhan, maupun perkosaan,
melainkan juga kekerasan nonfisik seperti, kekerasan ekonomi, psikis.
1. Fisik (dianiaya di luar batas: dipukul, dijambak, ditendang, diinjak,
dicubit, dicekik, dicakar, dijewer, disetrika, disiram air panas, dsb)
2. Psikis (dihina, dicaci maki, diejek, dipaksa melakukan sesuatu yang tidak
dikehendaki, dibentak, dimarahi, dihardik, diancam, dsb)
3. Seksual (diperkosa, disodomi, diraba-raba alat kelaminnya, diremas-remas
payudaranya, dicolek pantatnya, diraba-raba pahanya, dipaksa melakukan
oral seks, dijual pada mucikari, dipaksa menjadi pelacur, dipaksa bekerja
di warung remang-remang dan pelecehan seksual lainnya.
4. Ekonomi (dipaksa bekerja menjadi pemulung, dipaksa mengamen, dipaksa
menjadi pembantu rumah tangga, dipaksa mengemis, dsb)
Kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu
tindakan semena-mena yang dilakukan oleh seseorang yang seharusnya
menjaga dan melindungi anak (caretaker) pada seorang anak baik secara fisik,
seksual, maupun emosi. Pelaku kekerasan disini karena bertindak sebagai
caretaker, maka mereka umumnya merupakan orang terdekat di sekitar anak.
Ibu dan bapak kandung, ibu dan bapak tiri, kakek, nenek, paman, supir
pribadi, guru, tukang ojek pengantar ke sekolah, tukang kebon, dan
seterusnya.12
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, Unicef, Indonesia. Banyak teori yang berusaha
menerangkan bagaimana kekerasan ini terjadi, salah satu diantaranya teori
yang berhubungan dengan stres dalam keluarga (family stress). Stres dalam
keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua, atau situasi tertentu.12
Stres berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik, mental,
perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia
balita, serta anak dengan penyakit kronis atau menahun juga merupakan salah
satu penyebab stress.
1. Stres yang berasal dari orang tua misalnya orang tua dengan gangguan
jiwa (psikosis atau neurosa), orang tua sebagai korban kekerasan di masa
lalu, orang tua terlampau perfek dengan harapan pada anak terlampau
tinggi, orang tua terbiasa dengan sikap disiplin.
2. Stres berasal dari situasi tertentu, misalnya terkena PHK (pemutusan
hubungan kerja) atau pengangguran, pindah lingkungan, dnakeluarga
sering bertengkar.12
Dengan adanya stres dalam keluarga dan faktor sosial budaya yang
kental dengan ketidaksetaraan dalam hak dan kesempatan, sikap permisif
terhadap hukuman badan sebagai bagian dari mendidik anak, maka para
pelaku makin merasa sah untuk mendera anak. Dengan sedikit faktor pemicu,
biasanya berkaitan dengan tangisan tanpa henti dan ketidakpatuhan para
pelaku, terjadilah penganiayaan pada anak yang tidak jarang membawa
malapetaka bagi anak dan keluarganya.12
2.4.2.2.
Insidensi
Pada saat ini di Indonesia berbagai masalah seakan tidak pernah
berhenti, mulai dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, krisis politik yang
berkelanjutan, kerusuhan hingga perseteruan di antara kelompok, golongan
maupun aparat negara yang saat ini sedang marak. Masalah sosial sudah
menjadi topik yang hangat dibicarakan, misalnya masalah kemiskinan,
kejahatan, dan juga kesenjangan sosial, begitu pula dengan berbagai kasus
kekerasan yang kerap terjadi belakangan ini. Setiap bulannya terdapat 30
kasus kekerasan yang diadukan oleh korbannya kepada lembaga konseling
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia. Sebanyak 60% merupakan korban
kekerasan ringan, berupa kekerasan verbal atau caci maki, sedangkan 40%
sisanya mengalami kekerasan fisik hingga seksual. Kasus kekerasan terhadap
pria, wanita, maupun anakpun sering menjadi headline di berbagai media.
Namun, banyak kasus yang belum terungkap karena kasus kekerasan ini
dianggap sebagai suatu hal yang tidak penting, terutama masalah kekerasan
yang terjadi pada anak-anak. Begitu banyak kasus kekerasan yang terjadi pada
anak tetapi hanya sedikit kasus yang ditindaklanjuti. Padahal, seorang anak
merupakan generasi penerus bangsa. Kehidupan masa kecil anak sangat
berpengaruh terhadap sikap mental dan moral anak ketika dewasa nanti.13
1. Kasus sexual abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan
terendah 0-5 tahun (7,7%)
2. Kasus physical abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan
terendah usia 13-15 tahun (16.2%)
3. Kasus emotional abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (28.8) dan
terendah
usia
16-18 tahun
(0.9%).
Jurnal
pendidikan
Penabur-
2.4.2.3.
balita
masih
dianggap
kejahatan
kecil
dibandingkan
Peserta
akan
mengambil
langkah
legislatif,
administratif, sosial, dan pendidikan yang layak guna melindungi anak dan
semua bentuk kekerasan fisik atau mental, cedera atau penyalahgunaan,
pengabaian atau tindakan penelantaran, perlakuan salah, atau eksploitasi,
termasuk
penyalahgunaan
seksual,
sementara
mereka
berada
dalam
pengasuhan orang tua, wali yang sah atau setiap orang lain yang merawat
anak.
Pasal 23
Negara-negara Peserta mengakui bahwa anak-anak yang cacat fisik
atau mental hendaknya menikmati kehidupan penuh dan layak, dalam kondisikondisi
yang
menjamin
martabat,
meningkatkan
percaya
diri
dan
Pasal 29
a. Negara-negara Peserta sependapat bahwa pendidikan anak akan diarahkan
pada;
b. Pengembangan kepribadian anak, bakat dan kemampuan mental dan fisik
hingga mencapai potensi mereka sepenuhnya;
c. Pengembangan
penghormatan
atas
hak-hak
azasi
manusia
dan
menyudut,
melakukan
percubaan
pembunuhan
atau
dan
ekonomis
yang
masing-masing
bisa
mengakibatkan
penderitaan psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa hal di bawah ini
:
Ketakutan dan perasaan terteror
dikendalikan.
Pemaksaan
hubungan
seksual
tanpa
hubungan seksual
dengan
cara
tidak
disukai,
baiknya
apabila
setiap
sarana
kesehatan
berupaya
untuk
melaksanakannya.
2.5.1.1. Anamnesis
a. Upayakan anamnesis diperoleh secara cermat, baik dari pengantar maupun
dari korban sendiri.
b. Nilai kejanggalan sikap istri, suami atau pengantar lain.
c. Nilai kejanggalan keterangan yang diberikan.
d. Lengkapi rekam medis dengan menanyakan kembali tentang identitasnya.
seksual terakhir, siklus haid, haid terakhir dan apakah masih haid saat
kejadian.
b. Selanjutnya rekonfirmasi tentang kekerasan sebelum kejadian, rincian
kejadian, waktunya, lokasinya, terjadi atau tidaknya penetrasi dan apa yang
telah dilakukan setelah terjadinya kekerasan seksual tersebut (mencuci diri,
ganti baju, mandi, dll).
2.5.2. Pencatatan dan Pelaporan
Meliputi beberapa hal :
1. Desentralisasi/Otonomi
2. Demokrasi
3. Kualitas data
4. Sederhana
5.Pengembangan jejaring
6. Bermanfaat dan dapat dipercaya
7. Dapat dimonitor perkembangannya
Pencatatan dan pelaporan tindak kekerasan terhadap perempuan dan
anak menghimpun keterangan-keterangan yang sangat terkait dan bermanfaat
untuk melakukan pemantauan dan evaluasi kebijakan perlindungan terhadap
tindak kekerasan perempuan dan anak, serta upaya pengembangannya.
Keterangan yang dikumpulkan meliputi :
1. Identitas korban
a. Nama
b. Alamat
c. Umur
d. Pendidikan
e. Agama
f. Status perkawinan
g. Pekerjaan
h. Jenis kelamin
i. Kebangsaan
2. Identitas Pelaku
3. Jenis Kekerasan
a. Fisik
b. Psikis
c. Perkosaan
d. Pencabulan
e. Penelantaran
4. Tempat kejadian
5. Jenis Pelayanan
a. Pendampingan
b. Pelayanan kesehatan
c. Konseling
d. Pelayanan hukum
e. Rehabilitasi
f. Penempatan korban di Rumah Aman
6. Potensi Unit Pelayanan
a. Nama dan alamat unit pelayanan
b. Jumlah dan kualifikasi SDM
c. Jenis pelayanan yang tersedia pada unit pelayanan tersebut
Hambatan
Meskipun telah ada perkembangan yang baik dalam jumlah kebijakan
dan lembaga yang menangani korban dan koordinasi lintas instansi, tidak serta
merta kualitas pelayanan dan penanganan sudah memenuhi kebutuhan korban
KDRT atas kebenaran, keadilan dan pemulihan baik yang dialami korban
dan/atau pelapor. Hamabatannya muncul dalam berbagai lapisan, termasuk di
antara adalah kapasitas dari lembaga-lembaga layanan.
a. Kendala Budaya
Sekalipun sudah dijamin di dalam UU PKDRT, tidak semua
permpuan merasa yakin untuk melaporkan kasusnya karena masih
merasa malu, bersalah atas kekerasan yang menimpa dan juga kuatir
akana dipersalahkan oleh keluarga dan masyarakat sekelilingnya.
Adanya pula keraguan korban untuk melanjutkan proses hukum karena
takut akan kehancuran keluarga Pertimbangan serupa juga mendasari
korban
yang
telah
melaporkan
kasusnya
kemudian
menarik
b. Kendala Hukum
Dari
segi
substansi
hukum,
UU
PKDRT
bukan
hukuman
terlalu
ringan
untuk
kasus
tindak
BAB III
KESIMPULAN
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terutama terhadap
seorang perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atas penderitaan secara fisik,
seksual, psikologi dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan dan perampasan kemerdekaan seseorang melawan hukum dalam
lingkungan rumah tangga.
Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga antara lain hidup dalam
kemiskinan/himpitan ekonomi, sejak kecil terbiasa melihat dan mengalami kekerasan dalam
rumah tangga, pemabuk, frustasi, kelainan jiwa, tidak adanya pengertian antara suami isteri
mengenai hak dan kewajiban dalam membina keluarga.
Macam kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa kekerasan terhadap isteri,
kekerasan terhadap anak, dan kekerasan terhadap pembantu rumah tangga. Bentuk KDRT
dapat dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual (pemaksaan
hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga
tersebut dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan tujuan tertentu), dan penelantaran
rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bittner S, Newberger EH: Pediatric understanding of child abuse and neglect. Pediatr
Rev 2:198, 1981.
2. Ginott H. Between parents and child 2001. Jakarta : P.T. Gramedia pustaka utama.
3. Gunarsa SD et al. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: P.T. BPK Gunung
Mulia.
4. Farouk U. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga 2006.
5. Hamzah A. Tinjauan Sosial dan Hukum Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(Menuju Formalisaasi Hukum Isklam Tentang Penyelesaian KDRT) 2007.
6. Hasbianto EN. Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Potret Muram Kehidupan 1996
7. Hobbs CJ et al. Child Abuse and Neglect A Clinicians Handbook. Ed ke-2. Churchill
Livingstone, London 1999.
8. Keumalahayati. Kekrasan Pada Istri Dalam Rumah Tangga Berdampak terhadap
Kesehatan Reproduksi 2007.
9. LBH APIK. Pemaksaan Hubungan Seksual dalam Perkawinan adalah Kejahatan
Perkosaan. 2007.
10. Lubis S. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). 2002
11. Materi TOT bagi petugas kesehatan dalam pelayanan korban tindak kekerasan terhadap
perempuan dan anak di Jawa Tengah, Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. 2005
12. Refleksi reformasi Undang-Undang KDRT.
13. Sampurna B. Peranan Ilmu Forensik dalam Penegakan Hukum. Jakarta 2003
14. Sunusi M. Tatalaksana Komprehensif dan Dampak Kekerasan Pada Anak. 2003
15. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Unicef, Indonesia.
16. Veny R. Kekerasan Dalam Rumah Tangga. LBH APIK Jakarta 2003.