Anda di halaman 1dari 16

KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Gender, Keluarga dan Intimasi
Dosen Pengampu : Rohayati

DISUSUN OLEH :
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................................2
BAB I PENDAHUAN.......................................................................................................3
2.1 Latar Belakang...................................................................................................3
2.2 Rumusan Masalah..............................................................................................4
BAB I PEMBAHASAN....................................................................................................5
2.1 Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga.......................................................5
2.2 Pola Penganiayaan.............................................................................................5
2.3 Dampak KDRT..................................................................................................6
2.4 Manifestasi klinis..............................................................................................7
2.5 Faktor-faktor yang mendukung terjadinya perilaku Kekerasan........................9
2.6 Landasan Hukum KDRT.................................................................................10
2.7 Penatalaksanaan...............................................................................................11
BAB III KESIMPULAN...................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................15

2
BAB I
PENDAHUAN

2.1 Latar Belakang


KDRT merupakan permasalahan yang telah mengakar sangat dalam dan terjadi di
seluruh negara dunia. Dalam hal ini, masyarakat internasional telah menciptakan standar
hukum yang efektif dan khusus memberikan perhatian terhadap KDRT. Tindakan untuk
memukul perempuan, misalnya, telah dimasukan di dalam konvensi HAM internasional
maupun regional yang mempunyai sifat hukum mengikat terhadap negara yang telah
meratifikasinya. Dokumen HAM Internasional tersebut meliputi, Universal Declaration of
Human Rights (“UDHR”), the International Covenant on Civil and Political Rights
(“ICCPR”), dan the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
(“ICESCR”) yang menjadi standar umum mengenai Hak Asasi Manusia, di mana para
korban dari KDRT dapat menggugat negaranya masing-masing.
Berbagai pertistiwa kekerasan dalam rumah tangga telah menunjukkan bahwa negara
telah gagal untuk memberi perhatian terhadap keluhan para korban. Maka negara dapat
dikenakan sanksi jika negara tersebut merupakan anggota dari instrumen internasional
sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Hal yang sama dapat pula dilakukan di bawah
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women
(“CEDAW”) beserta dengan Protokolnya, dan juga melalui Convention Against Torture
and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment (“CAT”). Demikian
juga, instrumen regional dapat memberikan perlindungan terhadap perempuan yang
menjadi korban. The European Convention for the Protection of Human Rights and
Fundamental Freedoms (“ECHR”), the American Convention on Human Rights
(“ACHR”), bersama dengan the Inter-American Convention on the Prevention,
Punishment and Eradication of Violence Against Women (“Inter-American Convention on
Violence Against Women”), dan the African Charter on Human and Peoples' Rights
(“African Charter”) merupakan dokumen utama HAM regional yang dapat dijadikan
landasan bagi korban KDRT.
Pemerkosaan sebagai suatu tindakan kekerasaan yang dinilai sangat merugikan dan
menggangu ketentraman dan ketertiban hidup, terutama bagi korbannya. Saat ini tindak
pidana perkosaan merupakan kejahatan yang mendapat perhatian di kalangan masyarakat,
karena tindak pidana perkosaan tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih

3
maju kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan
yang relatif masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat.
Korban pemerkosaan akan mengalami penderitaan fisik dan psikis paska
pemerkosaan yang terjadi pada dirinya seperti: Penderitaan fisik yang mengalami pada
korban paska perkosaan seperti sakit secara fisik, luka, cacat, rasa bersalah, takut, cemas,
malu, marah, dan tidak berdaya. Penderitaan psikis merupakan gejala tertentu yang
dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan korban memiliki rasa kurang
percaya diri, trauma, konsep diri yang negatif, menutup diri dari pergaulan, dan juga reaksi
somatik seperti jantung berdebar dan keringat berlebihan. Apabila setelah terjadinya
peristiwa pemerkosaan tersebut tidak ada dukungan yang diberikan kepada korban, maka
korban dapat mengalami post traumatic stress disorder (PTSD), yaitu gangguan secara
emosi yang berupa mimpi buruk, sulit tidur, kehilangan nafsu makan.
2.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan-permasalahan yang muncul adalah
sebagai berikut :
1. Apa yang di maksud dengan KDRT ?
2. Apa saja faktor penyebab KDRT ?
3. Apa dampak dari KDRT bagi para korban ?
4. Bagaimana pencegahan dan penanganan KDRT ?
5. Apa peran gereja dalam mencegah KDRT ?

4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Secara Umum, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat diartikan sebagai
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh, orangtua, atau pasangan.
KDRT merupakan masalah rumah tangga sehingga merupakan aib apabila permasalahan
rumah tangganya diketahui oleh lingkungan sekitar. Kadangkala lingkungan kurang
tanggap terhadap kejadian KDRT di sekitarnya dengan alasan KDRT merupakan masalah
domestik sehingga apabila ada kejadian KDRT orang lain tidak perlu campur tangan.
Padahal dampak KDRT sangat besar baik bagi si korban maupun keluarganya.
KDRT dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, di antaranya: Kekerasan fisik,
penggunaan kekuatan fisik; kekerasan seksual, setiap aktivitas seksual yang dipaksakan;
kekerasan emosional, tindakan yang mencakup ancaman, kritik dan menjatuhkan yang
terjadi terus menerus; dan mengendalikan untuk memperoleh uang dan menggunakannya.
Berdasarkan Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang PKDRT pada pasal 1
butir 1 menyebutkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.  Demikian juga pada
pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini
meliputi (a) Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);  (b)  Orang-
orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam
huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang
menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau (c) Orang yang
bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja
Rumah Tangga).
2.2 Pola Penganiayaan
Gambaran bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh penyintas
menunjukkan bahwa bentuk kekerasan tidak hanya tunggal, tetapi penyintas dapat
mengalami beberapa bentuk kekerasan dari perlakuan yang diterimanya. Kekerasan dalam
rumah tangga memiliki implikasi yang cukup besar dalam sebuah keluarga. Kekerasan
dalam rumah tangga dapat memberikan efek buruk bagi proses kehamilan, kesehatan balita
dan jaminan pendidikan anak-anak. Tindak kekerasan inilah yang dianggap menjadi
5
pemantik bagi meningkatkanya kasus gugat cerai karena adanya perlakukan pelaku
terutama suami terhadap isterinya yang sudah berada di luar batas kewajaran.
Menurut pasal 5 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004, dinyatakan bahwa pola
penganiayaan KDRT adalah sebagai berikut :
a.       Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka
berat.
b.      Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan / atau
penderitaan psikis berat pada seseorang
c.       Kekerasan seksual, yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang
dalam lingkup rumah tangga tersebut
d.      Penelantaran rumah tangga, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketergantuangan
ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang orang bekerja yang layak di dalam
atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut

2.3 Dampak KDRT


a. Dampak KDRT Terhadap Perempuan
Mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertindak, rasa tidak berdaya, trauma berkepanjangan.
b. Dampak KDRT terhadap Anak
Adapun dampak KDRT secara rinci akan dibahas berdasarkan tahapan
perkembangannya sebagai berikut:
1)      Dampak terhadap Anak berusia  bayi 
Bayi yang menjadi korban KDRT akan mengalami ketidaknormalan dalam
pertumbuhan dan perkembangannya yang sering kali diwujudkan dalam
problem emosinya, bahkan sangat terkait dengan persoalan kelancaran dalam
berkomunikasi.
2)      Dampak terhadap anak kecil
Dampak KDRT terhadap anak usia muda (anak kecil) sering digambarkan
dengan problem perilaku, seperti seringnya sakit, memiliki rasa malu yang
serius, memiliki self-esteem yang rendah, dan memiliki masalah selama dalam
pengasuhan, terutama masalah sosial, misalnya : memukul, menggigit, dan suka
mendebat.
3)      Dampak terhadap Anak usia pra sekolah

6
KDRT berdampak terhadap kompetensi perkembangan sosial-kognitif anak usia
prasekolah.
4)      Dampak terhadap Anak usia SD
Kelompok  anak-anak yang secara historis mengalami kekerasan dalam rumah
tangganya cenderung  mengalami problem perilaku pada tinggi batas ambang
sampai tingkat berat, memiliki kecakapan adaptif di bawah rata-rata, memiliki
kemampuan membaca di bawah usia kronologisnya, dan memiliki kecemasan
pada tingkat menengah sampai dengan tingkattinggi. 
5)      DampakTerhadapRemaja
kekerasan yang ada dalam rumah tangga, tidak sepenuhnya kekerasan itu
berdampak kepada semua anak remaja, tergantung ketahanan mental dan
kekuatan pribadi anak remaja tersebut.  Dari banyak penelitian menunjukkan
bahwa konflik antar kedua orangtua yang disaksikan oleh anak-anaknya yang
sudah remaja cenderung berdampak yang sangat berarti, terutama anak remaja
pria cenderung lebih agresif, sebaliknya anak remaja wanita cenderung lebih
dipresif.
 
2.4 Manifestasi klinis
a. Penanganan Korban KDRT
Pada hakekatnya secara psikologis dan pedagogis ada dua pendekatan yang dapat
dilakukan untuk menangani KDRT, yaitu pendekatan kuratif dan preventif.
1)      Pendekatan kuratif
a)      Menyelenggarakan pendidikan orangtua untuk dapat menerapkan cara
mendidik dan memperlakukan anak-anaknya secara humanis.
b)      Memberikan keterampilan tertentu kepada anggota keluarga untuk secepatnya
melaporkan ke pihak lain yang diyakini sanggup memberikan pertolongan,
jika sewaktu-waktu terjadi KDRT.
c)      Mendidik anggota keluarga untuk menjaga diri dari perbuatan yang
mengundang terjadinya KDRT.
d)     Membangun kesadaran kepada semua anggota keluarga untuk takut kepada
akibat yang ditimbulkan dari KDRT.
e)      Membekali calon suami istri atau orangtua baru untuk menjamin kehidupan
yang harmoni, damai, dan saling pengertian, sehingga dapat terhindar dari
perilaku KDRT.

7
f)       Melakukan filter terhadap media massa, baik cetak maupun elektronik, yang
menampilkan informasi kekerasan.
g)      Mendidik, mengasuh, dan memperlakukan anak sesuai dengan jenis kelamin,
kondisi, dan potensinya.
h)      Menunjukkan rasa empati dan rasa peduli terhadap siapapun yang terkena
KDRT, tanpa sedikitpun melemparkan kesalahan terhadap korban KDRT.
i)        Mendorong dan menfasilitasi pengembangan masyarakat untuk lebih peduli
dan responsif terhadap kasus-kasus KDRT yang ada di lingkungannya.
2)      Pendekatan Preventif
a)      Memberikan sanksi secara edukatif kepada pelaku KDRT sesuai dengan jenis
dan tingkat berat atau ringannya pelanggaran yang dilakukan, sehingga tidak
hanya berarti  bagi pelaku KDRT saja, tetapi juga bagi korban dan anggota
masyarakat lainnya.
b)      Memberikan incentive bagi setiap orang yang berjasa dalam
mengurangi,  mengeliminir, dan menghilangkan salah satu bentuk KDRT
secara berarti, sehingga terjadi proses kehidupan yang tenang dan
membahagiakan.
c)      Menentukan pilihan model penanganan KDRT sesuai dengan kondisi korban
KDRT dan nilai-nilai yang ditetapkan dalam keluarga, sehingga
penyelesaiannya memiliki efektivitas yang tinggi.
d)     Membawa korban KDRT ke dokter atau konselor untuk segera mendapatkan
penanganan sejak dini, sehingga tidak terjadi luka dan trauma psikis sampai
serius.
e)      Menyelesaikan kasus-kasus KDRT yang dilandasi dengan kasih sayang dan
keselamatan korban untuk masa depannya, sehingga tidak menimbulkan rasa
dendam bagi pelakunya.
f)       Mendorong pelaku KDRT untuk sesegera mungkin melakukan pertaubatan
diri kepada Allah swt, akan kekeliruan dan kesalahan dalam berbuat kekerasan
dalam rumah tangga, sehingga dapat menjamin rasa aman bagi semua anggota
keluarga.
g)      Pemerintah perlu terus bertindak cepat dan tegas terhadap setiap praktek
KDRT dengan mengacu pada UU tentang PKDRT, sehingga tidak berdampak
jelek bagi kehidupan masyarakat.  Pilihan tindakan preventif dan kuratif yang
tepat sangat tergantung pada kondisi riil KDRT, kemampuan dan

8
kesanggupan anggota keluarga untuk keluar dari praketk KDRT, kepedulian
masyarakat sekitarnya, serta ketegasan pemerintah menindak praktek KDRT
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
b. Pemulihan Korban
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari Tenaga
Kesehatan; Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesi,
dan dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan dan
merehabilitasi kesehatan korban.
1)      Pekerja Sosial;
2)      Relawan Pendamping; dan/atau
3)      Pembimbing Rohani.  Pekerja Sosial, Relawan Pendamping, dan/ atau Pembimbing
Rohani wajib memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian
konseling untuk menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban

2.5 Faktor-faktor yang mendukung terjadinya perilaku Kekerasan


a. Menurut Pakar Bidang Penelaah Kekerasan
Zastrow & Browker (2015) menyatakan bahwa ada tiga teori utama yang
mampu menjelaskan terjadinya kekerasan, yaitu teori biologis, teori frustasi- agresi,
dan teori kontrol.
Pertama, teori biologis menjelaskan bahwa manusia, seperti juga hewan,
memiliki suatu instink agressif yang sudah dibawa sejak lahir.
1)      Sigmund Freud menteorikan bahwa manusia mempunyai suatu keinginan akan
kematian yang mengarahkan manusia-manusia itu untuk menikmati tindakan
melukai dan membunuh orang lain dan dirinya sendiri.
2)      Robert Ardery yang menyarankan bahwa manusia memiliki instink untuk
menaklukkan dan mengontrol wilayah, yang sering mengarahkan pada perilaku
konflik antar pribadi yang penuh kekerasan.
3)      Konrad Lorenz menegaskan bahwa agresi dan kekerasan adalah sangat berguna
untuk survive. Manusia dan hewan yang agresif lebih cocok untuk membuat
keturunan dan survive, sementara itu manusia atau hewan yang kurang sagresif
memungkinkan untuk mati satu demi satu
Kedua, teori frustasi-agresi menyatakan bahwa kekerasan sebagai suatu cara
untuk mengurangi ketegangan yang dihasilkan situasi frustasi. Teori ini berasal dari
suatu pendapat yang masuk akal bahwa sesorang yang frustasi sering menjadi terlibat

9
dalam tindakan agresif. Orang frustasi sering menyerang sumber frustasinya atau
memindahkan frustasinya ke orang lain. Diakui bahwa sebagian besar tindakan agresif
dan kekerasan nampak tidka berkaitan dengan frustasi. Misalnya, seorang pembunuh
yang pofesional tidak harus menjadi frustasi untuk melakukan penyerangan. Teori ini
menjelaskan bahwa orang-orang yang hubungannya dengan orang lain tidak
memuaskan dan tidak tepat adalah mudah untuk terpaksa berbuat kekerasan ketika
usaha-usahnya untuk berhubungan dengan orang lain menghadapi situasi frusstasi.
Teori ini berpegang bahwa orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan orang
lain yang sangat berarti cenderung lebih mampu dengan baik mengontrol dan
mengendalikan perilakunya yang impulsif.  Travis Hirschi memberikan dukungan
kepada teori ini melalu temuannya bahwa remaja putera yang memiliki sejarah prilaku
agresif secara fisik cenderung tidak memiliki hubungan yang dekat dengan orang lain.
b. Secara Umum
Dalam lingkup keluarga, KDRT umumnya terjadi karena :
1)      Kurang komunikasi, Ketidakharmonisan.
2)      Alasan Ekonomi.
3)      Ketidakmampuan mengendalikan emosi.
4)      Ketidakmampuan mencari solusi masalah rumah tangga apapun.
5)      Kondisi mabuk karena minuman keras dan narkoba.
6)      Latar budaya patriarki dan ideologi gender yang berpengaruh

2.6 Landasan Hukum KDRT


Berikut ini adalah “Dasar Hukum” untuk KDRT :
a.       Nasional
1)      Undang - undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 27
2)      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.b c. Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan segala
bentuk Deskriminasi  Terhadap Wanita  (Lembaran Negara Th. 1984 No. 29,
Tambahan Lembaran Negara 3277)
3)      UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (Lembaran Negara Th 1999 No 165,
Tambahan Lembaran Negara No. 3886)
4)      UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak f. UU Nomor 23 tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga g. UU Nomor 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah h. UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang

10
Perlindungan Saksi dan Korban. UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan j.
Peraturan Pemerintah No. 4 tahu2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama
Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
5)      Peraturan Pemerintah N. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah
Daerah Kabupaten Kota
6)      Keputusan Presiden RI No. 65 tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan
7)      Pedoman Pengendalian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
8)      Instruksi Presiden RI N0.9 tahun 2000 tentang Pengarus utama Gender dalam
Pembangunan Nasional
9)      Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan N0. 1 tahun 2007
tentang Forum Koordinasi Penyelenggaraan Kerjasama Pencegahan
dan Penanganan KDRT
10)  Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
No. 1 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Layanan
Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
11)  Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No.
6 Tahun 2011 tentang Pencegahan dan pencegahan kekerasan terhadap anak di
lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah.
b.      Internasional
1)      Convention on the Elimination of All Forms of Discriminations Against Women
(CEDAW) yang diratifikasi dengan Undang Undang No. 7 tahun 1984
2)      Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan tahun 1989
(Rekomendasi Umum 12 Bidang ke-8)
3)      Rekomendasi Umum No. 19 Sidang II tahun 1992 tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskrimina i terhadap Perempuan
4)      Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia tahun 1993, yang dirapatkan oleh
Sidang Umum PBB dengan Resolusi No. 45/155, Desember 1990
5)      Resolusi Mejelis Umum PBBNP 48/104 Th. 1993 yang mengutuk setiap bentuk
kekerasan terhadap perempuan baik dalam keluarga maupun masyarakat atau
oleh Negara.

2.7 Penatalaksanaan

11
Berikut ini adalah peran mereka dalam melindungi dan melayani korban, yang
diatur dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam rumah Tangga:
a.       Peran Kepolisian (Pasal 16-20)
Saat kepolisian menerima laporan mengenai kasus kekerasan dalam rumah
tangga, mereka harus segera menerangkan mengenai hak-hak korban untuk
mendapatkan pelayanan dan pendampingan. Selain itu, sangat penting pula bagi
pihak kepolisian untuk memperkenalkan identitas mereka serta menegaskan bahwa
kekerasan dalam rumah tangga adalah sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan
sehingga sudah menjadi kewajiban dari kepolisian untuk melindungi korban.
Setelah menerima laporan tersebut, langkah-langkah yang harus diambil
kepolisian adalah:
1)      memberikan perlindungan sementara pada korban,
2)      meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan, dan melakukan
penyidikan.
b.      Peran Advokat (Pasal 25)
Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan bagi korban maka
advokat wajib:
1)      memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak
korban dan proses peradilan,
2)      mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam
sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan
kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya, dan
3)      melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping,
dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.
c.       Peran Pengadilan
Sementara itu, undang-undang juga mengatur tentang peran pengadilan dalam
memberikan perlindungan terhadap korban, khususnya mengenai pelaksanaan
mekanisme perintah perlindungan. Kepolisian  harus meminta surat penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan. Setelah menerima permohonan itu,
pengadilan harus:
1)      mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban
dan anggota keluarga lain.

12
2)      atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan
untuk menetapkan suatu kondisi khusus yakni pembatasan gerak pelaku,
larangan memasuki tempat tinggal bersama, larangan membuntuti, mengawasi
atau mengintimidasi korban.
d.      Peran Tenaga Kesehatan
Setelah mengetahui adanya kasus kekerasan dalam rumah tangga maka
petugas kesehatan berkewajiban untuk memeriksa kesehatan korban, kemudian
membuat laporan tertulis mengenai hash pemeriksaan serta membuat visum et
repertum atau surat keterangan medis lain yang memiliki kekuatan hukum untuk
dijadikan alat bukti.
e.       Peran Pekerja Sosial
Dalam melayani korban kasus kekerasan dalam rumah tangga, ada beberapa
hal yang harus dilakukan oleh pekerja sosial:
1)      melakukan konseling untuk menguatkan korban,
2)      menginformasikan mengenai hak-hak korban,
3)      mengantarkan korban ke rumah aman, dan
4)      berkoordinasi dengan pihak kepolisian, dinas sosial dan lembaga lain demi
kepentingan korban.
f      Peran Relawan Pendamping
Sementara itu, salah satu terobosan hukum lain dari Undang-undang
Penghapusan Kekerasan Dalam rumah Tangga adalah togas dari relawan
pendamping, yakni:
1)      menginformasikan mengenai hak korban untuk mendapatkan seorang atau lebih
pendamping,
2)      mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat
pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban agar dapat memaparkan
kekerasan yang dialaminya secara objektif dan lengkap;
3)      mendengarkan segala penuturan korban, dan
4)      memberikan penguatan kepada korban secara psikologis maupun fisik.

13
BAB III
KESIMPULAN
KDRT merupakan masalah rumah tangga sehingga merupakan aib apabila permasalahan
rumah tangganya diketahui oleh lingkungan sekitar. Kadangkala lingkungan kurang tanggap
terhadap kejadian KDRT di sekitarnya dengan alasan KDRT merupakan masalah domestik
sehingga apabila ada kejadian KDRT orang lain tidak perlu campur tangan. Padahal dampak
KDRT sangat besar baik bagi si korban maupun keluarganya.
KDRT dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, di antaranya: Kekerasan fisik,
penggunaan kekuatan fisik, kekerasan seksual, setiap aktivitas seksual yang dipaksakan;
kekerasan emosional, tindakan yang mencakup ancaman, kritik dan menjatuhkan yang terjadi
terus menerus dan mengendalikan untuk memperoleh uang dan menggunakannya

14
DAFTAR PUSTAKA
Agaid, N. 2002. “Penyerangan Seksual Terhadap Anak atau Perlakuan Salah Secara Seksual
Terhadap Anak” dalam Training Workshop on Protective Behavior Against Child
Sexual Abuse Among Street and Sexually Exploited Children, Jakarta, ICWF-
Childhope Asia Philippines, 3-7 Maret 2002. Jakarta.
Blume, L. and Bennie M.S. 2017. Attacking Violence: Prevention and Intevervention.
Michigan Family Review, Vol. 2, No. 1.
Delville. 2017. Development of Agression.Biology of Agression. Edited by RandyJ.
Nelson.USA: Oxford University Press. p.327-350.
Hayati, E. N. 2000. Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan Konseling
Berwawasan Gender. Yogyakarta: Rifka Annisa.
Kodir Faqihuddin Abdul. 2008. Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan
dalam Rumah Tangga.  Jakarta : Komnas Perempuan
Nutt, David. 2000. Post Traumatic Stress Disorder : Diagnosis, Management and Treatment,
London: Martin Dunitz Ltd.
Rifka Annisa Women’s Crisis Center. 2000a. Press Release : Hasil Lokakarya Nasional
Menggagas Model-Model Women’s Crisis Center di Indonesia. Yogyakarta: Hotel
Jayakarta, 6 Juli.
Suryabrata, S. 1995. Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Umar Farok Peri. 2008. Tindak Pidana Kekerasan  Dalam  Rumah Tangga. Jakarta : Literacy &
Publication Solutions
Warshaw, R. 1994. I Never Called It Rape. New York: Ms. Foundation for Education and
Communication, Inc.

15
16

Anda mungkin juga menyukai