Anda di halaman 1dari 20

COVER

KDRT LINGKUP KEKERASAN SEKSUAL


(Studi Putusan Nomor 1578/Pid.Sus/2017/PN Bks)

Dosen:
Dr.Siswantari Pratiwi, S.H., M.M., M.H.
Louisa Yesami Krisnalita, S.H., M.H.

Disusun Oleh:
Kelompok 2 - Kelas 305/SSR
- Putri Nur Kesuma (AK223325)
- Nur Faizi Raihan Wardhana (2033001012)
- Baresy Hitler (2033001089)
- Annisa Yulistian (1833001160)
- M. Syahrul Aprianto ()

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KRISNADWIPAYANA
JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materi.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI

COVER....................................................................................................................I
KATA PENGANTAR...........................................................................................II
DAFTAR ISI........................................................................................................III
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. LATAR BELAKANG.......................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH....................................................................................2
C. MANFAAT DAN TUJUAN...............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA........................................................3
B. PUTUSAN NOMOR 1578/PID.SUS/2017/PN BKS...........................................9
C. ANALISIS PUTUSAN NOMOR 1578/PID.SUS/2017/PN BKS.........................12
BAB III PENUTUP..............................................................................................16
A. KESIMPULAN..............................................................................................16
B. SARAN........................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengertian perkawinan telah dirumuskan Bab I Pasal 1 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagai
berikut: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Tujuan dari perkawinan
adalah: (1) menyatukan dua pribadi yang berbeda untuk mencapai satu tujuan
sebagai keluarga yang bahagia, me lanjutkan keturunan yang merupakan
sambungan hidup dan menyambung cita-cita, (3) menjaga diri dari perbuatan-
perbuatan yang dilarang oleh Tuhan, dan (4) menimbulkan rasa cinta antara
suami dan isteri.1
Dalam rumah tangga tak jarang terjadi ketidak harmonisan yang dapat
berujung pada suatu tindakan yang melampaui batas bahkan dapat masuk
dalam unsur tindak pidana. Tindakann kekerasan fisik, psikis, seksualitas
bahkan penelantaran.2 Pelaku tindak kekerasan bisa dilakukan dan menimpa
siapa saja tanpa memandang korban. Walaupun kecenderungannya perempuan
yang leih banyak menjadi korban. KDRT ini berpotensi kuat menggoyahkan
sendi-sendi kehidupan rumah tangga dengan sederetan akibat di belakangnya,
termasuk yang terburuk seperti tercerai-berainya suatu rumah tangga.3
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah: ... perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
1
Novita Lestari, Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia, MIZANI: Wacana Hukum,
Ekonomi dan Keagamaan, Volume 4, No. 1, (2017). Hlm. 44
2
Guse Prayudi, Bebagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Yogyakarta:
Merkid Press, 2008), hlm 15.
3
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukumdi Indonesia (Jakarta: The
Habibie Center, 2002), hlm.21-23

1
Hadirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 sebagai upaya negara
dalam memberikan jaminan supaya tidak terjadi kekerasan dalam rumah
tangga. Perlindungan diberikan agar dapat memberikan rasa aman bagi
korban.
Pasal 5 UU KDRT jelas mengatur mengenai larangan bagi setiap orang
untuk melakukan kekerasan baik a. Kekerasan fisik; b. Kekerasan psikis; c.
Kekerasan seksual; maupun d. penelantaran rumah tangga terhadap orang
dalam lingkup rumah tangganya. Dampak dari kekerasan fisik yang dimaksud
pasal tersebut adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,
atau luka berat termasuk pula kekerasan fisik yang terjadi pada korban.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan KDRT?
2. Bagaimana Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor
1578/Pid.Sus/2017/PN Bks?

C. Manfaat dan Tujuan


Untuk mengetahui terkait dengan pertimbangan hukum pada putusan
pengadilan negeri Bekasi Nomor 1578/Pid.Sus/2017/PN Bks.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga sebagai fenomena sosial adalah masalah
serius. Kekerasan dalam rumah tangga dapat menghancurkan keselarasan
dalam serta keutuhan rumah tangga. Rumah Tangga bukan lagi tempat
berlindung (sanctum; sanctuary) atau berteduh yang aman dari dunia luar,
namun justru menjadi neraka bagi anggota keluarga. Pada tataran pribadi,
kekerasan menimbulkan dampak psikologis permanen pada korban. Korban
ketika membentuk keluarga sendiri, karena telah menginternalisasi nilai
kekerasan sebagai hal yang biasa, cenderung melakukan hal serupa. Bahkan
sekalipun ia memiliki pengetahuan dan mengerti perbuatan itu tercelah. Selain
itu, akibat kekerasan yang dialami, korban bisa terpicu melakukan kejahatan
lain di dalam masyarakat, dengan kecenderungan satu kekerasan akan
melestarikan dan memicu kekerasan lainnya.
Kekerasan dalam rumah tangga adalah fenomena lintas budaya universal
dan bukan merupakan hal baru dalam masyarakat dimana pun. Bentuk
kekerasan ini, bukan suatu bentuk penyimpangan perilaku yang dapat
dikaitkan dengan nilai budaya masyarakat yang berlaku di tempat atau waktu
tertentu.Oleh karna itu kekerasan dalam rumah tangga tidak layak dibenarkan
sebagai bagian lumrah dari budaya masyarakat, sehingga dipandang wajar.
disamping itu, dengan penyimpangan perilaku ini, harus diatur sejauh mana
Negara dan masyarakat mesti campur tangan terkait urusan bagimana anggota
keluarga harus bersikap dalam membangun hubungan di dalamnya. Keduanya
sudah selayaknya menjadi perhatian baik dari masyarakat (society) maupun
Negara (state).
Pengertian kekerasan secara yuridis dapat dilihat pada pasal 89 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, yaitu Yang disamakan melakukan kekerasan
itu, membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah). Pingsan
diartikan hilang ingatan atau tidak sadar akan dirinya. Kemudian, tidak

3
berdaya dapat diartikan tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali
sehingga tidak mampu mengadakan perlawanan sama sekali, tetapi seseorang
tiada berdaya masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya.
Pengertian kekerasan tersebut di atas dapat dikatakan penganiayaan.
Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut pasal 1 Undang-
undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga adalah : “Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa undang-undang tersebut
bukan hanya semata-mata diberlakukan untuk kepentingan perempuan saja,
melainkan semua orang dan mereka yang mengalami subordinasi khusus
dalam lingkup rumah tangga. Undang-Undang di atas menyebutkan bahwa
kasus kekerasan dalam rumah tangga adalah segala jenis kekerasan (baik fisik
maupun psikis) yang dilakukan oleh anggota keluarga kepada anggota
keluarga yang lain (yang dilakukan oleh suami kepada istri dan anaknya, atau
oleh ibu kepada anaknya, atau sebaliknya).
Kekerasan Dalam Rumah Tangga bisa menimpa siapa saja termasuk ibu,
bapak, anak, atau pembantu rumah tangga. Namun secara umum pengertian
Kekerasan Dalam Rumah Tangga lebih dipersempit artinya sebagai
penganiayaan oleh suami terhadap istri. Meskipun demikian tidak tertutup
kemungkinan suami‖ dapat pula sebagai korban Kekerasan Dalam Rumah
Tangga oleh istrinya ataupun orang yang masih satu rumah dengannya.
Berdasarkan beberapa difinisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
segala tindakan kekerasan dalam rumah tangga merupakan perbuatan
melanggar hak asasi manusia yang dapat dikenakan sanksi hukum pidana
maupun perdata.
Dari beberapa definisi diatas dan menurut Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 kekerasan dalam rumah tangga dapat dibagi menjadi empat, yaitu

4
kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan
penelantaran rumah tangga.
1. Kekerasan dalam rumah tangga yang berbentuk kekerasan fisik, kekerasan
ini memiliki arti perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, atau luka
berat,seperti : memukul,menampar, mencekik dan sebagainya.
2. Kekerasan rumah tangga yang berbentuk kekerasan psikis adalah
perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan ini mencakup
penyiksaan secara emosional dan verbal terhadap korban, sehingga
melukai kesehatan mental dan konsep diri perempuan, kekerasan ini dapat
berupa hinaan pada istri,celaan, makian, ancaman akan melukai atau
membunuh istri dan anank-anak,melarang istri mengunjungi keluarga atau
teman, rasa cemburuh atau memiliki yang berlebihan,termaksud
barangbarang milik pribadi,mengancam untuk bunuh diri,melakukan
pengawasan dan menipulasi perempuan dari kebutuhan dasarnya (nafkah
lahir dan batin) dan menanamkan rasa takut sedemikian rupa terhadap istri.
3. Kekerasan rumah tangga yang berbentuk kekerasan seksual, meliputi :
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seseorang dalam
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu, sebagai contoh melakukan
tindakan yang mengarah ke ajakan/desakan seksual, seperti
menyentuh, mencium, memaksa berhubungan seks tanpa
persetujuan korban dan lain sebagainya.
4. Kekerasan rumah tangga yang berbentuk kekerasan finalsial atau
penelantaran-penelantaran. Setiap orang dilarang menelantarkan orang
dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karna persetujuan atau perjanjian yang wajib memberikan
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.pengertian

5
tersebut juga berlaku bagi setia orang yang mengakibatkan ketergantunan
ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang
layak di dalam atau diluar rumah sehingga korban
Selanjutnya menurut Dedy Fauzi Elhakim, kekerasan dalam rumah tangga
berdasarkan sebab terjadinya dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu
sebagai berikut :4
1. . Kekerasan dalam rumah tangga sebagai perwujudan ekspresi ledakan
emosional bertahap. Kekerasan jenis ini pertama. Berawal dari kekerasan
nonfisik, mulai dari sikap dan perilaku yang tidak dikehendaki, maupun
lontaran-lontaran ucapan yang menyakitkan dan ditujukan pada anggota
keluarga terhadap anggota keluarga yang lain. Proses yang terjadi
berlanjut dari waktu ke waktu, sehingga terjadi penimbunan kekecewaan,
kekesalan dan kemarahan yang pada akhirnya menjurus pada kekerasan
fisik. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat ledakan timbunan emosional
yang sudah tidak dapat dikendalikan lagi. Perwujudan tindakan kekerasan
tersebut bisa berupa penganiayaan ringan, penganiayaan berat dan
pembunuhan.
2. Kekerasan dalam rumah tangga sebagai perwujudan ekspresi ledakan
emosional spontan adalah bentuk kekerasan yang dilakukan tanpa ada
perencanaan terlebih dahulu, terjadi secara seketika (spontan) tanpa
didukung oleh latar belakang peristiwa yang lengkap. Namun fakta di
depan mata dirasa menyinggung harga diri dan martabat si pelaku, berupa
suatu situasi yang tidak diinginkan oleh pelaku. Ledakan emosi yang
timbul begitu cepat, sehingga kekuatan akal pikiran untuk mengendalikan
diri dikalahkan oleh nafsu/emosi yang memuncak. Kemudian yang
bersangkutan memberikan reaksi keras dengan melakukan perbuatan
dalam bentuk tindak pidana lain berupa penganiayaan atau pembunuhan
terhadap anggota keluarga lainnya.

4
Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga: Dalam Perspektif
YuridisViktimologis (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 76-77.

6
Masalah utama yang berkaitan dengan hukum berpusat pada tidak adanya
hukum yang secara khusus memberikan perlindungan bagi perempuan yang
menjadi korban kekerasan tersebut. Bahkan istilah kekerasan perempuan tidak
dikenal dalam hukum Indonesia,meskipun fakta ini muncul semakin marak
diberbagai penjuru Indonesia.
Persoalan ini yang menyebabkan tidak terlihatnya perlindungan hukum
ketika kita menghadapi kasu-kasus seperti kekerasan domestic atau kekerasan
seksual, karena tidak ada peraturan perundang-undangan yang khususnya
memberikan perlindungan kepada mereka yang menjadi korban kekerasan.
Sampai saat ini hukum Indonesia belum secara khusus mendefinisikan dan
membuat prosedur hukum tertentu yang merespon hukum kekerasan
domestik. Hukum positif yang berlaku harus digunakan oleh perempuan untuk
menuntut atas ketidak adilan yang dihadapinya, misalnya dalam pasal–pasal
dalam hukum pidana (KUHP). Namun, keentuan yang ada ini tidak hanya
inadequate, juga tidak memperhatikan dampak dari penyiksaan dan kekerasan
yang telah dialami.
Perempuan yang bermaksud menuntut sebuah kasus penyiksaan dan
kekerasan biasanya perlu datang kepada sistem penegak hukum. Disini polisi
atau petugas hukum bertindak sebagai pencari solusi (penengah) antara kedua
pasangan (pelaku dan korban). Dalam upaya penyelesaian masalah banyak
petugas yang tidak peduli pada bentukbentuk kekerasan domestik. Proses ini
akan memberi dampak negatif terhadap perempuan yang berusaha mencari
bantuan tersebut. Dalam situasi ini seharusnya petugas–petugas hukum atau
orang lain dapat menolong atau memberi tanggapan (respon) kepada
kebutuhan yang mendesak perempuan untuk keamanan diri sendiri atau
pemulihan diri.
Konsekuensi logis dari perumusan kekerasan dalam rumah tangga sebagai
tindak pidana aduan di dalam undang-undang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga ini adalah, pihak aparat penegak hukum hanya dapat bersifat
pasif, dan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi atau
campur tangan dalam suatu urusan warga masyarakat yang secara yuridis

7
dinyatakan sebagai masalah domestik. Dalam hal ini demikian, dari sudut
pandang hukum pidana pada kemandirian dari setiap orang yang menjadi
sasaran perlindungan hukum undang-undang ini.
Berdasarkan dengan kasus kekerasan terhadap perempuan, hukum yang
diberlakukan bagi pelaku kekerasan masih mengacu pada KUHP dengan
ancaman hukuman yang terdapat dalam tindak pidana penganiayaan (Pasal
351 sampai Pasal 356 KUHP) tergantung jenis penganiayaan yang dilakukan
oleh suami/istri, ayah/ibu atau majikan.
Dalam KUHP Yang ada saat ini, sebagian kasus-kasus yang tergolong
kekerasan terhadap perempuan memang dapat dijaring dengan pasal-pasal
kejahatan. Namun, terbatas pada tindak pidana umum (korban laki-laki atau
perempuan) seperti: kesusilaan, perkosaan, penganiayaan, pembunuhan dll.
Tindak pidana ini merumuskan dalam pengertian sempit (terbatas sekali),
meskipun ada pemberatan pidana (sanksi hukum) bila perbuatan tersebut
dilakukan dalam hubungan keluarga seperti terhadap ibu,istri, anak. Khusu
mengenai rumusan perkosaan juga masih terlalu sempit
pengertiannya ,sementara kekerasan seksual (perkosaan suami terhadap istri
masih belum termasuk kejahatan perkosaan yang dapat di hukum. Atau
kekerasan seksual terhadap anak masih dikategorikan sebagai perbuatan cabul
(bukan perkosaan) yang sanksi hukumannya lebih ringan dari perkosaan.
Dari penelusuran sebagai pasal dalam KUHP, diperoleh data bahwa
ancaman pidana dapat dikenakan kepada pelaku, baik tindak pidana tersebut
dilakukan dengan sengaja ataupun karena kealpaan. Perbedaan ancaman
pidana antara kesengajaan dan kealpaan hanya terdapat pada berat ringannya
pidana yang diancamkan. Untuk lebih jelasnya, penulis kutibkan pasal dalam
KUHP yang memuat tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja atau alpa
dengan berat atau ringannya ancaman pidananya.
“sebagaimana tersebut dalam pasal 354 KUHP tentang penganiayaan,
disebutkan: “Barang siapa sengaja melukai berat orang lain diancam, karena
melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan
tahun”. Sedangkan dalam pasal 360 KUHP disebutkan: “Barang siapa karena

8
kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu
tahun”.
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga memuat ketentuan pidana
berupa sanksi antara lain:
Pasal 44 : 1)Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam
lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). 2)Dalam hal ini perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)mengakibatkan korban mendapat jatuh
sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun atau denda paling banyak Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah)
3)Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan
matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,00 (empat puluh lima juta
rupiah). 4)Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari,dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta
rupiah).
Sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga
dalam Undang- Undang ini terbilang berat disbanding dengan KUHP yang
menjatuhkan sanksi pidana rata-rata dibawah 5 (lima) tahun untuk tindak
penganiayaan . pasal 44 ayat (4) diatas merupakan tindak pidana aduan. Jadi
penyidik tidak dapat menahan pelaku kekerasan dalam rumah tangga tanpa
adanya pengaduan.

B. Putusan Nomor 1578/Pid.Sus/2017/PN Bks


Pada awal duduk perkara tersebut adalah Terdakwa WILDAN Bin Alm
HERMAN sejak bulan Juni 2017 sampai dengan hari Selasa tanggal 03

9
Oktober 2017 sekira jam 10.00 Wib atau setidak- tidaknya pada waktu lain
yang masih termasuk dalam bulan Juli sampai dengan Oktober tahun 2017
atau setidak-tidaknya pada waktu lain masih dalam tahun 2017, bertempat di
rumah saksi LIMIH dengan alamat Kampung Siluman Rt. 005/Rw. 005 Desa
Mangunjaya Kecamatan Tambun Selatan Kabupaten Bekasi yang berwenang
mengadili perkara tersebut, telah “melakukan perbuatan kekerasan seksual
terhadap LIMIH yang menetap dalam lingkup rumah tangga, jika antara
beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau
pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang
sebagai satu perbuatan berlanjut, perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa
dengan cara sebagai berikut :
Pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut diatas, berawal sekitar bulan
Juni tahun 2017 (saat bulan puasa) di rumah LIMIH pada saat LIMIH sedang
mandi sekira pukul 04.30 Wib, Terdakwa tiba-tiba masuk ke dalam kamar
mandi saat LIMIH dalam keadaan telanjang bulat, lalu LIMIH yang terkejut
kemudian berkata kepada Terdakwa, “ YA ALLAH KAKAK NGAPAIN
DISINI, JANGAN...JANGAN” lalu Terdakwa berkata “ UDAH DIEM AJA
MIH, NUNGGING AJA LANGS UNG, KALAU MAMIH GAK MAU
AKAN SA YA BUNUH! ”, sehingga akhirnya LIMIH merasa ketakutan atas
ancaman Terdakwa dan melakukan perintah Terdakwa. Selanjutnya Terdakwa
membuka celananya dan langsung memasukan dengan paksa alat kelaminnya
ke dalam alat kelamin LIMIH sekitar 1 (satu) menit, walaupun LIMIH
berusaha untuk memberontak, selanjutnya Terdakwa mengeluarkan sperma di
dalam alat kemaluan LIMIH kemudian setelah selesai Terdakwa keluar dari
kamar mandi tersebut.
Perbuatan Terdakwa tersebut dilakukan lebih dari sekali dengan cara yang
sama dan dilakukan saat suasana rumah sedang sepi tepatnya di dalam kamar
mandi, di dapur dan di dalam kamar tidur dengan cara menarik LIMIH secara
paksa kemudian memerintahkan LIMIH untuk berdiri dan membelakangi
Terdakwa, apabila LIMIH tidak menuruti perintah LIMIH maka Terdakwa

10
mengancam akan membunuh LIMIH dan karena LIMIH merasa ketakutan
sehingga LIMIH kembali mengikuti kemauan Terdakwa.
Perbuatan Terdakwa yang terakhir kali terjadi pada hari Selasa tanggal 03
Oktober 2017 pada pukul 10.00 wib di ruang tamu, dan kembali LIMIH
berusaha menolak perintah Terdakwa dan tiba-tiba Terdakwa membanting
botol plastik air mineral (aqua), selanjutnya Terdakwa menunjukan 1 (satu)
bilah GOLOK, dan mengancam LIMIH dengan berkata, “AWAS KALAU
MAMIH GAK MAU INI GOLOKNYA, MAMIH AKAN KU BUNUH!”
selanjutnya Terdakwa juga mengancam akan membunuh istri Terdakwa yaitu
SUSI yang merupakan anak kandung dari LIMIH dan suami LIMIH yaitu
IPING yang merupakan bapak mertua Terdakwa sehingga LIMIH saat itu
dibawah ancaman dan paksaan kembali melakukan perintah Terdakwa.
Selanjutnya karena LIMIH sudah tidak kuat menahan rasa takut atas perbuatan
Terdakwa, lalu melaporkan perbuatan Terdakwa ke petugas Polsek Tambun
untuk diproses lebih lanjut.
Berdasarkan hasil Visum et Repertum dari Rumah Sakit Umum Daerah
Pemerintah Kabupaten Bekasi Nomor. 01/VER/RSUD/X/2017 tanggal 04
Oktober 2017 yang ditandatangani oleh dr. NANDI NURHADI, Sp.OG
dengan kesimpulan “LIANG SENGGAMA DARI SEORANG PEREMPUAN
YANG SUDAH SERING MELAHIRKAN ANAK. ”
Bahwa LIMIH dan Terdakwa memiliki hubungan keluarga yaitu
Terdakwa sebagai menantu dan LIMIH sebagai ibu mertua yang menetap
dalam satu tempat tinggal dengan alamat Kampung Siluman Rt. 005/Rw. 005
Desa Mangunjaya Kecamatan Tambun Selatan Kabupaten Bekasi.
Berdasarkan dengan kronologi tersenut terdakwa didakwa dengan Pasal 46
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP
dan juga Pasal 285 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pada putusan Pengadilan Bekasi nomor Nomor 1578/Pid.Sus/2017/PN
Bks memutus dan mengadili:

11
1. Menyatakan Terdakwa Wildan Bin Herman bersalah melakukan tindak
pidana “melakukan kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga yang
dilakukan secara berlanjut”
2. Menjatuhkan pidana kepada Wildan Bin Herman dengan pidana penjara
selama 7 (tujuh) tahun;
3. Menetapkan lamanya masa penangkapan dan penahanan yang telah
dijalani sebelum putusan ini berkekuatan hokum tetap dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Menetapkan Terdakwa tetap dalam tahanan;
5. Menetapkan barang bukti:
 1 (satu) bila senjata tajam jenis golok bergagang kayu warna
coklat;
 1 (satu) helai baju kaos tanpa lengan warna merah merk JIMBOSS;
 1 (satu) helai celana pendek warna hijau Lis Hitam merk NIKE;
 1 (satu) potong baju kaos lengan panjang warna merah;
 1 (satu) potong rok corak warna kombinasi;
 1 (satu) potong celana dalam warna Pink;
 1 (satu) potong kerudung warna merah;
Dirampas untuk dimusnahkan;
6. Membebankan biaya perkara ini kepada Terdakwa sejumlah Rp2.500,00
(dua ribu lima ratus rupiah);
C. Analisis Putusan Nomor 1578/Pid.Sus/2017/PN Bks
Pertimbangan hakim merupakan suatu aspek terpenting dalam menentukan
terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex
aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga
mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga
pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila
pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang
berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh pengadilan

12
tinggi/Mahkamah Agung.5 Hakim menjadi penentu akhir dalam proses
peradilan, karena dari mereka akan lahir putusan yang menentukan dan
menyatakan terdakwa bersalah atau tidak, sehingga layak dijatuhkan vonis
atau dibebaskan.6
Hakim dalam mengkontruksikan suatu putusan, tidak berangkat dari titi
nol (tabularasa), akan tetapi dikondisikan oleh konteks tertentu, yakni
dipengaruhi oleh tradisi (budaya) yang bermuatan nilai-nilai,
wawasan,pengertian, asas-asas, arti, kaidah, pola perilaku,dan sebagainya,
yang terbentuk dan berkembang oleh dan dalam perjalanan sejarah.7
Menurut Yahya Harahap, ada beberapa faktor yang mempengaruhi hakim
dalam membuat putusannya, dibagi menjadi faktor subjektif dan faktor
objektif. Faktor subjektif meliputi: (i) sikap prilaku apriori, yakni adanya sikap
hakim yang sejak semula sudah menganggap bahwa terdakwa yang diperiksa
dan diadili adalah orang yang memang bersalah dan harus dipidana; (ii) sikap
perilaku emosional, yakni putusan pegadilan akan dipengaruhi oleh perangai
hakim. Hakim yang mempunyai perangai mudah tersinggung akan berbeda
dengan perangai hakim yang tidak mudah tersinggung. Dengan demikian pula
putusan hakim yang mudah marah dan pendendam akan berbeda dengan
putusan hakin yang sabar; (iv) sikap arrogence power, yakni sikap lain yang
mempengaruhi suatu putusan adalah “kecongkakan kekuasaan”, di sini hakim
merasa dirinya berkuasa dan pintar, melebihi orang lain (jaksa, pembelaan
apalagi terdakwa); (iv) moral, yakni moral seorang hakim karena
bagaimanapun juga seorang hakim diliputi oleh tingkah laku yang didasari
oleh moral pribadi hakim tersebut terlebih dalam memeriksa serta
memutuskan suatu perkara.
Beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh hakim dalam proses
pengambilan putusan meliputi: (i) tahap analisis pidana, yaitu menganalisis
perbuatan yang dilarang dan diancam pidana yang diatur dalam hukum
5
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2004, hlm. 140
6
M.Syamsudin, Kontruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Edisi Kedua,
Jakarta, KENCANA, 2012, hlm.181
7
Ibid, hlm. 162

13
(criminal art); (ii) tahap analisis tanggungjawab pidana, yakni analisis
terhadpa kesalahan terdakwa apakah perbuatan terdakwa dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum atau tidak; dan (iii) tahap penjatuhan
putusan, yakni vonis pengadilan dapat berupa putusan pemidanaan, putusan
lepas dari segala tuntutan hukum, dan putusan bebas dari dakwaan.8
Berdasarkan analisis perkara putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor
1578/Pid.Sus/2017/PN Bks dalam pertimbangan hakim, hakim pengadilan
negeri Bekasi Menimbang, bahwa berdasarkan alat bukti dan barang bukti
yang diajukan diperoleh fakta-fakta hukum. Menimbang, bahwa selanjutnya
Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah berdasarkan fakta-fakta
hukum tersebut diatas, Terdakwa dapat dinyatakan telah melakukan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya. Menimbang, bahwa Terdakwa oleh
Penuntut Umum didakwa dengan surat dakwaan Pertama sebagaimana diatur
dan diancam Pasal 46 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam rumah Tangga Jo. Pasal 64
Ayat (1) KUHP atau dakwaan Kedua sebagaimana diatur dan diancam Pasal
285 KUHP Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan kekerasan seksual berdasarkan
Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap
perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan
seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan
seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas
seluruh unsure dakwaan Pertama sebagaimana diatur dan diancam Pasal 46
Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam rumah Tangga Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP
telah terpenuhi. Menimbang, bahwa oleh karenanya Terdakwa haruslah
dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
sebagaimana didakwakan dalam dakwaan alternatif Pertama. Menimbang,

8
Ibid, hlm. 181

14
bahwa selama pemeriksaan berlangsung tidak ditemukan alas an pemaaf atau
pembenar terhadap sifat melawan hukumnya perbuatan Terdakwa maka
Terdakwa harus dinyatakan bersalah tentang hal itu dan dijatuhi pidana yang
setimpal dengan perbuatannya.
Berdasarkan pertimbangan hakim pengadilan negeri Bekasi menggunakan
dakwaan alternatif yaitu dengan menjatuhkan Pasal 46 Undang- Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam rumah Tangga Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP dengan ancaman 10 tahun
penjara. Akan tetapi dalam pertimbangan hakim juga terdapat beberapa alas an
meringankan sengingga dalam putusan pengadilan negeri Bekasi dengan
nomor putusan 1578/Pid.Sus/2017/PN Bks menjatuhkan hukuman penjara 7
(tujuh) tahun.

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu dari berbagai
macam bentuk tindak pidana kekerasan yang telah teridentifikasi dalam
masyarakat internasional. Menurut Hasbianto, kekerasan dalam rumah tangga
adalah suatu bentuk penganiayaan secara fisik maupun emosional/psikologis,
yang merupakan suatu cara pengontrolan dalam kehidupan rumah tangga.
Berdasarkan pertimbangan hakim pengadilan negeri Bekasi menggunakan
dakwaan alternatif yaitu dengan menjatuhkan Pasal 46 Undang- Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam rumah Tangga Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP dengan ancaman 10 tahun
penjara. Akan tetapi dalam pertimbangan hakim juga terdapat beberapa alas an
meringankan sengingga dalam putusan pengadilan negeri Bekasi dengan
nomor putusan 1578/Pid.Sus/2017/PN Bks menjatuhkan hukuman penjara 7
(tujuh) tahun.
B. Saran
Penulis snagat sadar terkait dengan kepenulisan tersebut jauh dikatakan
sempurnah, sehingga penulis menyarankan kepada penulis selanjutnya untuk
menggunakan teroi yang berkaitan dengan kasus tersebut sehingga dapat
menganalsisi lebih mendalam.

16
DAFTAR PUSTAKA
Guse Prayudi, Bebagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
Yogyakarta: Merkid Press, 2008.

M.Syamsudin, Kontruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif,


Edisi Kedua, Jakarta, KENCANA, 2012.

Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga: Dalam Perspektif


YuridisViktimologis, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta,


Pustaka Pelajar, 2004.

Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukumdi Indonesia,


Jakarta: The Habibie Center, 2002.

Novita Lestari, Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia, MIZANI: Wacana


Hukum, Ekonomi dan Keagamaan, Volume 4, No. 1, (2017).

17

Anda mungkin juga menyukai