Anda di halaman 1dari 60

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

RESUME TUGAS

DOSEN PENGAMPU :
Drs. H. Djaelan Husnan, M.Ag.

DISUSUN OLEH :

NUR FAIZI RAIHAN (2033001012)

KELAS SSR/305/2020

UNIVERSITAS KRINADWIPAYANA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
JAKARTA
2020
 RESUME 16 September 2020

A. Latar Belakang

Pelajaran agama wajib dalam kurikulum sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Namun, pelajaran itu sepertinya tidak berdampak pada perilaku tawuran antarpelajar,
pemakaian narkoba, dan gejala seks bebas di kalangan muda. Bahkan diperhadapkan
dengan problem nasional yang lebih luas seperti pertikaian antaretnis, pertikaian
antarumat, kekerasan horizontal, teror, dan budaya korupsi, kita patut bertanya-tanya
” Apakah efek pendidikan agama ?” Semua imoralitas itu berlangsung kian intensif
berbarengan dengan kemandulan pendidikan agama di sekolah. Fenomena pendidikan
agama itu tidak lain cerminan problem hidup keberagamaan di Tanah Air yang telah
terjebak ke dalam formalisme agama. Pemerintah merasa puas sudah mensyaratkan
agama sebagai wajib dalam kurikulum. Guru agama / dosen merasa puas sudah
mengajarkan materi pelajaran sesuai kurikulum. Peserta didik merasa sudah beragama
dengan menghafal materi pelajaran agama. Semua pihak merasa puas dengan
obyektifikasi agama dalam bentuk kurikulum dan nilai rapor atau nilai mata kuliah.

A. Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi

Pendidikan Agama Islam (PAI) di Perguruan Tinggi Umum (PTU) merupakan


kelanjutan dari pengajaran yang diterima oleh peserta didik mulai dari Tingkat Dasar,
Sekolah Menegah Pertama dan Atas. Namun berbagai persoalan muncul dalam proses
pembelajaran PAI. Materi yang diajarkan boleh dikatakan sama secara nasional.
Banyaknya materi ajar dan kurang berfariasinya pengajar dalam menyampaikannya,
ditambah lagi dengan alokasi waktu yang kurang memadai, menjadikan peserta didik
(mahasiswa) kurang bergairah dalam menyerap perkuliahan. Kesan yang sering
muncul di kalangan mahasiswa adalah mata kuliah “wajib lulus” ini seakan berubah
menjadi “wajib diluluskan” karena kalau tidak lulus akan menjadi hambatan bagi
mata kuliah di atasnya. Secara sederhana bisa juga dikatakan bahwa mahasiswa
“wajib lulus” dan sang dosen “wajib meluluskan”.Tentu ini menjadi masalah yang
cukup serius. Sepanjang yang saya ketahui, sudah sering dilakukan upaya peningkatan
mutu PAI di PTU, baik bagi staf pengajarnya, materi kurikulum dan usulan
penambahan jumlah SKS-nya. Namun selalu terkendala dilapangan oleh berbagai
faktor, misalnya staf pengajar yang belum seragam dalam pendekatan pembelajaran
PAI karena perbedaan latar belakang disiplin ilmu masing-masing dalam bidang
keagamaan. Materi kurikulum yang ditetapkan secara nasional sering kali membuat
staf pengajar tidak mampu melakukan improfisasi sehingga tidak jarang kelas menjadi
monoton. Dilihat dari jumlah tatap muka sudah jelas tidak memadai hanya dengan 2
sks. Berbagai upaya dilakukan untuk menambah jam pelajaran PAI, namun jawaban
yang sering didengar adalah “sudah begitu banyak beban mata kuliah masiswa yang
harus diselesaikan, terutama mata kuliah Jurusan, sehingga tidak perlu diberi beban
tambahan”.Melihat perubahan pola pikir mahasiswa dan berkembangnya ilmu
pengetahuan, perlu berbagai upaya untuk untuk mengoptimalkan buku IDI (Islam dan
Disiplin Ilmu), perlu pengembangan PAI melalui pendekatan ilmu yang ditekuni oleh
masing-masing program studi mahasiswa dengan melihat masing-masing sub pokok
bahasan melalui disiplin ilmu tertentu sebagai pengayaan PAI di PTU. Untuk
mahasiswa Politeknik, hal ini dirasakan masih belum memadai dan perlu
dikembangkan.Pendidikan agama merupakan upaya sadar untuk mentaati ketentuan
Allah sebagai guidance dan dasar para peserta didik agar berpengetahuan keagamaan
dan handal dalam menjalankan ketentuan-ketentuan Allah secara keseluruhan.
Sebagian dari ketentuan-ketentuan Allah itu adalah memahami hukum-hukum-Nya di
bumi ini yang disebut dengan ayat-ayat kauniyah. Ayat-ayat kauniyah itu dalam
aktualisasinya akan bermakna Sunanatullah (hukum-hukum Tuhan) yang terdapat di
alam semesta. Dalam ayat-ayat kauniyah itu terdapat ketentuan Allah yang berlaku
sepenuhnya bagi alam semesta dan melahirkan ketertiban hubungan antara benda-
benda yang ada di alam raya. (Dep. Agama, IDI EIII, 1996. Untuk memahami hukum-
hukum Tuhan itu, manusia perlu menggunakan akalnya yang dibimbing oleh tauhid
sebagai pembeda manusia dengan makhluk lain (QS. 7:199). Karena itu pula hanya
manusia yang dipersiapkan oleh Allah menjadi khalifah di muka bumi (QS. 2:30).

B. Kedudukan Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi

Peran penting agama atau nilai-nilai agama dalam bahasan ini berfokus pada
lingkungan lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Salah satu mata kuliah
dalam lembaga pendidikan di perguruan tinggi, yang sangat berkaitan dengan
perkembangan moral dan perilaku adalah Pendidikan Agama. Mata kuliah Pendidikan
Agama pada perguruan tinggi termasuk ke dalam kelompok MKU (Mata Kuliah
Umum) yaitu kelompok mata kuliah yang menunjang pembentukan kepribadian dan
sikap sebagai bekal mahasiswa memasuki kehidupan bermasyarakat. Mata kuliah ini
merupakan pendamping bagi mahasiswa agar bertumbuh dan kokoh dalam moral dan
karakter agamaisnya sehingga ia dapat berkembang menjadi cendekiawan yang tinggi
moralnya dalam mewujudkan keberadaannya di tengah masyarakat.  Tujuan mata
kuliah Pendidikan Agama pada Perguruan Tinggi ini amat sesuai dengan dasar dan
tujuan pendidikan nasional dan pembangunan nasional. GBHN 1988 menggariskan
bahwa pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila “bertujuan untuk
meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin,
bekerja keras, bertanggung jawab, mandiri, cerdas, terampil serta sehat jasmani dan
rohani…dengan demikian pendidikan nasional akan membangun dirinya sendiri serta
bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa”.  Kualitas manusia yang
ingin dicapai adalah kualitas seutuhnya yang mencakup tidak saja aspek rasio, intelek
atau akal budinya dan aspek fisik atau jasmaninya, tetapi juga aspek psikis atau
mentalnya, aspek sosial yaitu dalam hubungannya dengan sesama manusia lain dalam
masyarakat dan lingkungannya, serta aspek spiritual yaitu dalam hubungannya dengan
Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta. Pendidikan Tinggi merupakan arasy tertinggi
dalam keseluruhan usaha pendidikan nasional dengan tujuan menghasilkan sarjana-
sarjana yang profesional, yang bukan saja berpengetahuan luas dan ahli serta terampil
dalam bidangnya, serta kritis, kreatif dan inovatif, tetapi juga beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan yang Maha Esa, berkepribadian nasional yang kuat, berdedikasi tinggi,
mandiri dalam sikap hidup dan pengembangan dirinya, memiliki rasa solidaritas
sosial yang tangguh dan berwawasan lingkungan. Pendidikan nasional yang seperti
inilah yang diharapkan akan membawa bangsa kita kepada pencapaian tujuan
pembangunan nasional yakni “ masyarakat adil dan makmur yang merata material
dan spiritual ”. Paradigma Baru Pendidikan Agama Sebagai Mata Kuliah
Pengembang Kepribadian Dalam era global dan teknik informasi yang sarat dengan
masalah-masalah etis dan moral ini, masyarakat Indonesia khususnya kaum muda
memerlukan pengenalan yang benar akan nilai-nilai kemanusiaan diri. Lee Kuan Yew
mengatakan “Kita telah meninggalkan masa lalu dan selalu ada kekhawatiran bahwa
tak akan ada sesuatu yang tersisa dalam diri kita yang merupakan bagian dari warisan
masa silam”. Selain pengenalan yang benar akan kemanusiaan diri orang muda juga
membutuhkan suatu pendasaran moral yang benar untuk pembentukan tingkah laku.
Perlu ada perobahan sikap mental yang drastis dalam masyarakat Indonesia yang yang
penuh dengan pelbagai krisis moral, etis, dan spiritual. Dalam hal ini yang dibutuhkan
adalah agama. Kebudayaan nasional modern Indonesia sekarang haruslah didasarkan
kepada prinsip-prinsip dan nilai-nilai agama yang spiritual dan religious. Seperti
dikemukakan sebelumnya, jati diri dan pendasaran moral yang benar tentunya berasal
dari agama dan pendidikan agama. Pendidikan Agama di perguruan tinggi seharusnya
merupakan pendamping pada mahasiswa agar bertumbuh dan kokoh dalam karakter
agamaisnya sehingga ia dapat tumbuh sebagai cendekiawan yang tinggi moralnya
dalam mewujudkan keberadaannya di tengah masyarakat. Tetapi kenyataan sekarang
ini, lembaga-lembaga pendidikan tinggi belum sepenuhnya berhasil dalam tugas
pembentukan tenaga profesional yang spiritual. Setelah era reformasi muncul
“kesadaran baru” bahwa pendidikan secara umum dan pendidikan agama khususnya
“kurang berhasil” dalam pengembangan moral dan pembentukan perilaku mahasiswa,
dalam mengantisipasi masalah-masalah etis dan moral era global dan teknik
informasi. Tidak terlihat indikasi terjadinya perubahan yang signifikan antara
pengetahuan yang tinggi, tingkat kedewasaan menurut usianya dan pengaruhnya pada
perkembangan moralnya. Kenyataan secara faktual banyak mahasiswa memiliki
masalah-masalah moral, antara lain: VCD porno dua orang mahasiswa di Bandung,  
aksi tawuran,  perkelahian,  tindak kriminalitas yang tinggi (seperti pembunuhan yang
dilakukan mahasiswa terhadap pacarnya yang sedang hamil), Dan menurut laporan
yang dicetak oleh Kompas Cyber Media, pada tgl. 5 Februari 2001, dari dua juta
pecandu narkoba dan obat-obat berbahaya, 90% adalah generasi muda, termasuk di
antaranya 25.000 mahasiswa.

D. Paradigma Baru dalam Pendidikan Agama

Kenyataan tersebut di atas mendorong pihak-pihak yang perduli akan pendidikan


untuk mencari paradigma-paradigma baru yang sesuai dengan tuntutan jaman. Tidak
mengherankan jika salah satu topik yang ramai dibicarakan dalam bidang pendidikan
baik di Indonesia maupun dunia adalah exellent school educatioan, yang tidak saja
mengevaluasi ulang materi pembelajaran, sumber daya manusia dalam memberi
pembelajaran, tetapi juga metode pembelajaran. Bahkan komisi internasional dunia
yaitu The International Commission on Education for the Twenty First Century,
dipimpin oleh Jacques Delors, lewat laporannya yang berjudul “Learning the Treasure
Within”, merekomendasikan agar proses pembelajaran di seluruh dunia pada abad ini
ini diselenggarakan berdasarkan 4 pilar. Keempat pilar itu adalah:  learning to know,
learning to do, learning to be,  dan learning to live together. Rekomendasi ini sangat
mempengaruhi restrukturisasi kurikulum pendidikan di Indonesia yang dibutuhkan
demi terjadinya suatu pembenahan. SK Mendiknas No.232/U/2000 dan
No.045/U/2002 memperlihatkan terjadinya restrukturisasi yang dimaksud. Dalam
kurikulum ini Pendidikan Agama menjadi salah satu mata kuliah dalam kelompok
MPK (Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian). Dan dalam kurikulum yang
direstrukturisasi ini dipergunakan pendekatan baru yang dikenal dengan Kurikulum
Berbasis Kompetensi yang sangat mengedepankan kompetensi setiap mata kuliah di
perguruan tinggi.   Dalam SK No.43/DIKTI/Kep. 2006 tercantum rambu-rambu
pelaksanaan MPK ini di Perguruan Tinggi, khususnya rumusan visi, misi, standar
kompetensi, dan kompetensi dasar. Visi dan misi MPK memberi penekanan kepada
pemantapan kepribadian mahasiswa sebagai manusia Indonesia seutuhnya, yang
secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar keagamaan dan kebudayaan.
Kompetensi dasar Pendidikan Agama adalah menjadi ilmuwan :  yang professional,  
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,  berakhlak mulia,  memiliki
etos kerja, berkepribadian dewasa, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan
kehidupan.
 RESUME 23 September 2020

 SEJARAH KETUHANAN YME

Perkataan Tuhan merupakan terjemahan dari kalimat Rab (‫)رب‬dalam bahasa


Arab yang merujuk pada  interpretasi ulama terhadap S. al-Jatsiyat:23 dan al-
Qashas : 38 yang didalamnya termaktum kalimat Ilah (‫)اله‬ (Tuhan) Menurut Ibn
Taimiyah difinisi dari kalimat Ilah (‫)اله‬ dalam al-Qur’an tersebut adalahyang dipuja
dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepada-Nya, merendahkan diri dihadapanNya,
dan mengharapkanNya, kepadaNya tempat berserah ketika dalam kesusahan,
berdo’alah dan bertawakal kepadaNya untuk kemashlahatan diri, meminta
perlindungan dariNya dan menimbulkan ketenangan di saat mengingat dan terpaut
kepada Nya. Tuhan disebut Allah dan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi Yang Nyata
dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir,
dan Hakim bagi semesta alam. Islam menitik beratkan konseptualisasi Tuhan sebagai
Yang Tunggal dan Maha Kuasa (tauhid). Iman kepada Allah Swt merupakan konsep
dasar seseorang meyakini, mempercayai tentang keberadaan Tuhan sang Pencipta
alam semesta. Hal ini merupakan pondasi dasar keberagamaan seseorang sehingga itu
setiap mahasiswa perlu memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang hal
ini.Makalah ini membahas tentang hakikat Tuhan, pembuktian wujud Tuhan dengan
konsep ilmiah serta konsep keimanan dan ketaqwaan dan implementasinya dalam
kehidupan modern.
Materi ini sangat dibutuhkan oleh mahasiswa sebagai dasar pelaksaan aktivitas
sehari-hari baik dalam profesi mereka juga aktivitas lainnya sehingga keimanan ini
menjadi filter terhadap zaman globalisasi. Penyajian topik ini diawali dengan
informasi singkat tentang tujuan pembelajaran yang akan dicapai, pokok bahasan,
metode yang digunakan adalah deskriptif, tanya jawab, diskusi dilakukan secara
bervariasi dalam penyajian.
 Siapakah Tuhan itu ?

Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan oleh manusia sedemikian rupa, sehingga
manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.Perkataan dipentingkanhendaklah diartikan
secara luas. Tercakup didalamnya yang dipuja,dicintai,diagungkan,diharap-harapkan
dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan dan termasuk pula sesuatu yang
ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian. Perkataan yang selalu diterjemahkan
“Tuhan”, dalam al-Qur`an dipakai untuk menyatakan berbagai objek yang dibesarkan
atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS al-Jatsiyah ayat 23

َ َ‫ضلَّهُ هَّللا ُ َعلَى ِع ْل ٍم َو َختَ َم َعلَى َس ْم ِع ِه َوقَ ْلبِ ِه َو َج َع َل َعلَى ب‬


            ‫ص ِر ِه ِغ َشا َوةً فَ َم ْن‬ َ َ‫أَفَ َرأَيْتَ َم ِن اتَّ َخ َذ إِلَهَهُ هَ َواهُ َوأ‬
                                                                                                 َ‫يَ ْه ِدي ِه ِم ْن بَ ْع ِد هَّللا ِ أَفَال تَ َذ َّكرُون‬

Artinya :     Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya


sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[1384] dan Allah
Telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?

Dalam surat Al-Qashash ayat 38, perkataan illah dipakai oleh fir`aun untuk dirinya
sendiri :

‫ص•رْ حًا لَّ َعلِّي أَطَّلِ• ُع إِلَى إِلَ• ِه‬ ُ ‫ال فِرْ عَوْ نُ يَا أَيُّهَا ْال َمأَل ُ َما َعلِ ْم‬
َ ‫ت لَ ُكم ِّم ْن إِلَ ٍه َغي ِْري فَأَوْ قِ ْد لِي يَا هَا َم••انُ َعلَى الطِّي ِن فَاجْ َع••ل لِّي‬ َ َ‫َوق‬
‫ُمو َسى‬
•َ ِ‫﴾ َوإِنِّي أَل َظُنُّهُ ِمنَ ْال َكا ِذب‬
                                                                                    ٣٨﴿ ‫ين‬

“Dan Fir’aun berkata : wahai para pembesar aku tidak menyangka bahwa kalian
masih mempunyai ilah selain diriku“.

Contoh ayat diatas tersebut menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengundang
berbagai arti benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi) maupun benda nyata
(fira`un atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan illah juga dalam bentuk
tunggal (mufrad ilaahun, ganda (mutsanna ilaahaini) dan banyak (jama‟aalihatun).

Menurut Ibnu Taimiyah Al-Ilah adalah yang dipuja dengan penuh kecintaan hati,
tunduk kepada-Nya merendahkan diri dihadapannya, takutdan mengharapkannya,
kepadanya umat tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa dan
bertawakal kepada-Nya dan menimbulkan ketenangan disaat mengingatnya dan
terpaut cinta kepadanya.

 Sejarah pemikiran manusia tentang tuhan

1. Pemikiran barat

Konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang  didasarkan


atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriyah maupun batiniyah, baik yang
bersifat pemikiran rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama,
dikenal dengan Teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari
kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna.
Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian disusul oleh EB
Taylor, Robertson Smith, Luboock dan Jevens. Proses perkembangan pemikiran
tentang Tuhan menurut evolusionisme adalah sebagai berikut:

 Dinamisme

Menurut ajaran ini manusia jaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang
berpengaruh dalam kehidupan.Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut
ditujukan pada benda.Setiap mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang
berpengaruh positif dan ada yang berpengaruh negatif. Kekuatan ada pada pengaruh
tersebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti mana (Malaysia), dan tuah
(melayu), dan sakti (india) yakni kekuatan gaib.Mana adalah kekuatan gaib yang tidak
dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera.Oleh karena itu dianggap sebagai
sesuatu yang misterius. Meskipun nama tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan
pengaruhnya.

 Animisme

Masyarakat primitif pun mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya.Setiap


benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh.Oleh masyarakat primitif, roh
dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati.Oleh karena itu,
roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak
senang apabila kebutuhannya dipenuhi.Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak
terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan
roh.Saji-sajian yang sesuai dengan saran dukun adalah salah satu usaha untuk
memenuhi kebutuhan roh.

 Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan,
karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang
lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai
dengan bidangnya. Ada dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang
membidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.

 Henoteisme

Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan.


Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin
mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat
menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut
dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain.
Kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan
Tingkat Nasional).

 Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme.Dalam
monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat
internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga
paham, yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.

Deisme adalah kepercayaan bahwa dengan pengetahuan, akal dan pikiran, seseorang


bisa menentukan bahwa Tuhan adalah nyata.Beberapa deist menanggap bahwa Tuhan
tidak mencampuri urusan manusia dan mengubah hukum-hukum alam semesta.

Panteisme atau pantheisme (Yunani: πάν ( 'pan' ) = semua dan θεός ( 'theos' ) =


Tuhan) secara harafiah artinya adalah "Tuhan adalah Semuanya" dan "Semua adalah
Tuhan".Mereka cenderung tidak percaya dengan Dewa.

Teisme agnostis adalah pandangan filosofis yang mencakup baik teisme dan


agnostisisme.Penganut teisme agnostik mempercayai keberadaan setidaknya satu
Tuhan, namun mengganggap bahwa dasar dari kepercayaan ini merupakan sesuatu
yang pada dasarnya tidak memungkinkan untuk dipahami atau diketahui secara pasti.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max
Muller dan EB.Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan
adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-
orang yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen.
Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas
terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain. Dengan
lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan evolusionisme
menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai
menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah
agama.Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi,
tetapi dengan relevansi atau wahyu.Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada
penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan
masyarakat primitif.Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul
kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah berasal
dari ajaran wahyu Tuhan (Zaglul Yusuf, 1993:26-27).
2. Pemikiran Umat Islam

Sehubungan pemikiran Umat Islam terhadap Tuhan melibatkan beberapa konsepsi


ke-esaan Tuhan, diantaranya konsepsi Aqidah dan konsepsi Tauhid.

 Konsepsi Aqidah

Dalam kamus Al-Munawir secara etimologis, aqidah berakar dari kata 'aqada-


ya'qidu-aqdan'aqidatan yang berarti simpul, ikatan perjanjian dan kokoh. Setelah
terbentuk menjadi ‘aqidah yang berarti keyakinan relevensi antara arti kata aqdan dan
aqidah adalah keyakinan itu tersimpul kokoh dalam hati, bersifat mengikat dan
mengandung perjanjian.
Secara terminologis terdapat beberapa definisi aqidah antara lain: Menurut Hasan al-
Bana dalam kitab majmu’ah ar-rasa,il ‘Aqaid (bentuk jamak dari aqidah) adalah
beberapa perkara wajib diyakini kebenarannya oleh hati dan mendatangkan
ketentraman jiwa menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikit pun dengan
keragu-raguan.

 Konsepsi Tauhid

Ajaran Islam tidak hanya memfokuskan iman kepada wujud Allah sebagai suatu
keharusan fitrah manusia, namun lebih dari itu memfokuskan aqidah tauhid yang
merupakan dasar aqidah dan jiwa keberadaan Islam.Islam datang disaat kemusyrikan
sedang merajalela disegala penjuru dunia.Tak ada yang menyembah Allah kecuali
segelintir umat manusia dari golongan Hunafa, (pengikut nabi Ibrahim as) dan sisa-
sisa penganut ahli kitab yang selamat dari pengaruh tahayul animisme maupun
paganisme yang telah menodai agama Allah. Sebagai contoh bangsa arab jahiliyah
telah tenggelam jauh kedalam paganisme, sehingga Ka’bah yang dibangun untuk
peribadatan kepada Allah telah dikelilingi oleh 360 berhala dan bahkan setiap rumah
penduduk makkah ditemukan berhala sesembahan penghuninya. Tauhid sebagai
intisari Islam adalah esensi peradaban Islam dan esensi tersebut adalah pengesaan
Tuhan, tindakan yang mengesakan Allah sebagai yang Esa, pencipta yang mutlak dan
penguasa segala yang ada.Keterangan ini merupakan bukti, tak dapat diragukan lagi
bahwa Islam, kebudayaan dan peradaban memiliki suatu esensi pengetahuan yaitu
tauhid. Surat Al-Ikhlas adalah surat ke-112 dalam Al-Qur’an, diturunkan setelahsurat
An Naas. Surat ini dinamakan Al Ikhlas karena di dalamnya berisi pengajaran tentang
tauhid. Surat ini tergolong surat Makkiyah, terdiri atas 4 ayat. Meski tergolong surat
pendek dan hanya 4 ayat, namun surat ini memiliki keistimewaan yang begitu besar
hingga mampu mengguncang langit dan bumi. Al-Ikhlas berarti “Memurnikan
Keesaan Allah”.Dan bahasan pokok isinya adalah menegaskan keesaan Allah dan
menolak segalabentuk penyekutuan terhadap-Nya.

 Ayat pertama/menjelaskan bahwa Allah merupakan Tuhan Yang Maha Esa.


Maknanya bahwa Allah itu Esa dalam keagungan dan kebesarannya, tidak ada yang
serupa dengan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Karena hanya Allah-lah Tuhan
pencipta alam semesta.

 Ayat kedua/: Allah adalah /khalik/ (pencipta) alam semesta ini. Manusia adalah
makhluk ciptaan Allah. Selain manusia yang termasuk makhluk seperti malaikat, jin,
hewan dan tumbuhan. Di hadapan Allah, semua makhluk itu lemah. Oleh karena itu
hanya kepada Allah semua makhluk meminta perlindungan. Allah sebagai pencipta
tidak membutuhkan siapapun. Allah justru sebagai tempat meminta segala sesuatu.
Dia-lah tempat bersandar dan bergantung dalam segala kebutuhan. Dia-lah yang
paling tinggi kekuasaan-Nya. Allah tidak butuh makan dan minum. Dia tetap kekal
setelah para makhluk-Nya binasa.

 Ayat ketiga/: Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan atau dilahirkan. Mengakui
bahwa Allah mempunyai anak dan diperanakkan adalah musyrik dan merupakan dosa
besar. Semua makhluk yang diciptakan Allah akan mati. Allah bukanlah makhluk,
jadi Allah tidak akan pernah mati.Allah akan tetap hidup selama-lamanya. Kalimat (
‫ ) َولَ ْم يُولَ• ْد‬maksudnya adalah tidak disekutui. Demikian karena orang-orang musyrik
Arab mengatakan bahwa Malaikat adalah anak perempuan Allah . Kaum Yahudi
mengatakan bahwa ’Uzair adalah anak Allah. Sedangkan Nashoro mengatakan bahwa
Al Masih (Isa, pen) adalah anak Allah. Dalam ayat ini, Allah meniadakan itu semua.”
(Zadul Masiir)

 Ayat keempat/: Manusia merupakan makhluk hebat, yang telah dianugrahi akal
pikiran. Dengan akal pikirannya manusia dapat membuat pesawat, kapal selam,
telepon, komputer, laptop dan lainnya. Manusia juga dapat menjelajahi ruang
angkasa, mengolah tanah menjadi sumber kehidupan, dan menjinakkan binatang buas.
Tetapi, sepandai-pandainya manusia dia tidak dapat menciptakan matahari, bumi,
bintang, bulan bahkan dirinya sendiri. Allah yang menciptakan seluruh alam semesta
ini. Allah juga menciptakan manusia, tidak ada satu pun makhluk yang dapat
menyamai-Nya. Maksudnya adalah tidak ada seorang pun sama dalam setiap sifat-
sifat Allah. Jadi Allah meniadakan dari diri-Nya memiliki anak atau dilahirkan hingga
memiliki orang tua. Juga Allah meniadakan adanya yang semisal dengan-Nya. Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan makna ayat ini : ”dan tidak ada
seorangpun yang setara dengan Dia” yaitu tidak ada yang serupa (setara) dengan
Allah dalam nama, sifat, dan perbuatan. Tauhid mempunyai beberapa macam, ada
tauhid uluhiyah, tauhid ubudiyah, dan tauhid rububiyah. Macam-Macam Tauhid
menurut pembagiannya:
 Tauhid Rububiyah

Rububiyah berasal dari kata Rabb, dari sisi bahasa berarti tuan dan pemilik.
Dikatakan Rabb ad-Dar berarti tuan rumah Secara etimologi yaitu menumbuhkan,
mengembangkan, sedangkan secara terminology berarti keyakinan bahwa Allah swt.
Adalah Tuhan Pencipta semua makhluk dan alam semesta.
 Tauhid Uluhiyah

Tauhid Uluhiyah artinya mengesakan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang


wajib disembah dan tidak ada tuhan lain selain Dia. Pengakuan dan keyakinan bahwa
Allah swt adalah satu-satunya Dzat yang berhak disembah yang direalisasikan dalam
bentuk ibadah.

 Tauhid Asma’ Wa sifat


Tauhid Asma’ Wa Sifat yaitu beriman kepada nama-nama Allah dan sifat-sifat-
Nya, sebagaimana yang diterangkan dalam Al Qur’an dan Sunah Rasul-Nya. Maka
barang siapa yang mengingkari nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya atau menamai
Allah dan menyifati-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat makhluk-Nya atau
menakwilkan dari maknanya yang benar, maka dia telah berbicara tentang Allah tanpa
ilmu dan berdusta terhadap Allah dan Rasulnya.
Allah Ta’ala berfirman

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar
lagi Maha Melihat” (Q.S. Asy-Syuura : 11)

Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Allah tabaraka wa ta’ala turun ke
langit dunia pada setiap malam” (Mutafaqqun ‘Alaih). Di sini turunnya Allah tidak
sama dengan turunnya makhluk-Nya, namun turunnya Allah sesuai dengan kebesaran
dan keagungan dzat Allah.

 Sifat-sifat Allah dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

 Sifat Dzatiyah
Sifat Dzatiyah yaitu sifat yang senantiasa melekat dengan-Nya.Sifat ini berpisah
dengan dzat-Nya.Seperti berilmu, kuasa atau mampu, mendengar, bijaksana, melihat,
dll.

 Sifat Fi’liyah
Sifat Fi’liyah adalah sifat yang Dia perbuat jika berkehendak.Seperti bersemayam
di atas ‘Arasy, turun ke langit dunia ketika tinggal sepertiga akhir malam, dan dating
pada Hari Kiamat.
Tauhid asma’ wa sifat ini juga berpengaruh dalam bermuamalah dengan Allah. Di
bawah ini contoh-contohnya :

Jika seseorang mengetahui asma’ dan sifat-Nya, juga mengetahui arti dan maksudnya
secara benar maka yang demikian itu akan memperkenalkannya dengan Rabbnya
beserta keagungan-Nya. Sehingga ia tunduk, patuh, dan khusyu’ kepada-Nya, takut
dan mengharapkan-Nya, serta bertawassul kepada-Nya.Jika ia mengetahui jika
Rabbnya sangat dahsyat azab-Nya maka hal itu akan membuatnya merasa diawasi
Allah, takut, dan menjauhi maksiat terhadap-Nya. Jika ia mengetahui bahwa Allah
Maha Pengampun, Penyayang, dan Bijaksana maka hal itu akan membawanya kepada
taubat dan istighfar, juga membuatnya bersangka baik kepada Rabbnya dan tidak akan
berputus asa dari rahmat-Nya. Manusia akan mencari apa yang ada di sisi-Nya dan
akan berbuat baik kepada sesamanya.

3. Tauhid Ubudiyah

Suatu keyakinan bahwa Allah swt, merupakan Yuhan yang patut disembah,
ditaati, dipuja dan diagungkan. menghambakan diri dengan keikhlasan tanpa
disertai penyimpangan dan penyesatan. Sehingga beliau juga menyebutkan
mengenai perincian dari hakikat tauhid bahwa, “ tidaklah disebut bertauhid hingga
mengakui bahwa tiada tuhan selain allah. Dan juga mengakui bahwa dialah ilah
yang sesungguhnya bagi hamba. Lalu menyerukan peribadatan hanya kepada allah
tanpa disertai penyelewengan. Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu
Tauhid, Ilmu Kalam, atau Ilmu Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul sejak
wafatnya Nabi Muhammad SAW. Secara garis besar, ada aliran yang bersifat
liberal, tradisional, dan ada pula yang bersifat di antara keduanya.Sebab timbulnya
aliran tersebut adalah karena adanya perbedaan metodologi dalam memahami Al-
Quran dan Hadis dengan pendekatan kontekstual sehingga lahir aliran yang
bersifat tradisional. Sedang sebagian umat Islam yang lain memahami dengan
pendekatan antara kontektual dengan tektual sehingga lahir aliran yang bersifat
antara liberal dengan tradisional. Ketiga corak pemikiran ini telah mewarnai
sejarah pemikiran ilmu ketuhanan dalam Islam. Aliran tersebut yaitu:
 Mu’tazilah yang merupakan kaum rasionalis di kalangan muslim, serta
menekankan pemakaian akal pikiran dalam memahami semua ajaran dan
keimanan dalam Islam. Orang islam yang berbuat dosa besar, tidak kafir dan
tidak mukmin. Ia berada di antara posisi mukmin dan kafir (manzilah bainal
manzilatain). Dalam menganalisis ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu
logika Yunani, satu sistem teologi untuk mempertahankan kedudukan
keimanan.Hasil dari paham Mu’tazilah yang bercorak rasional ialah muncul
abad kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam.Namun kemajuan ilmu
pengetahuan akhirnya menurun dengan kalahnya mereka dalam perselisihan
dengan kaum Islam ortodoks.Mu’tazilah lahir sebagai pecahan dari
kelompok Qadariah, sedang Qadariah adalah pecahan dari Khawarij.
 Qodariah yang berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam
berkehendak dan berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia akan
kafir atau mukmin dan hal itu yang menyebabkan manusia harus bertanggung
jawab atas perbuatannya.
 Jabariah yang merupakan pecahan dari Murji’ah berteori bahwa manusia
tidak mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat. Semua
tingkah laku manusia ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan.
 Asy’ariyah dan Maturidiyah yang pendapatnya berada di
antara Qadariah dan Jabariah.

Semua aliran itu mewarnai kehidupan pemikiran ketuhanan dalam kalangan


umat islam periode masa lalu. Pada prinsipnya aliran-aliran tersebut di atas tidak
bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Oleh karena itu umat Islam yang memilih
aliran mana saja diantara aliran-aliran tersebut sebagai teologi mana yang dianutnya,
tidak menyebabkan ia keluar dari islam. Menghadapi situasi dan perkembangan ilmu
pengetahuan sekarang ini, umat Islam perlu mengadakan koreksi ilmu berlandaskan
al-Quran dan Sunnah Rasul, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu.Di
antara aliran tersebut yang nampaknya lebih dapat menunjang perkembangan ilmu
pengetahuan dan meningkatkan etos kerja adalah aliran Mu’tazilah dan Qadariah.
 RESUME 30 September 2020

 KEIMANAN DAN KETAKWAAN

A. Pengartian Iman dan takwa

Kebanyakan orang menyatakan bahwa kata iman berasal dari kata kerja
amina-ya’manu-amanan yang berarti percaya. Oleh karena itu, iman yang berarti
percaya menunjuk sikap batin yang terletak dalam hati. Akibatnya, orang yang
percaya kepada Allah dan selainnya seperti yang ada dalam rukun iman, walaupun
dalam sikap kesehariannya tidak mencerminkan ketaatan atau kepatuhan (taqwa)
kepada yang telah dipercayainya, masih disebut orang yang beriman. Hal itu
disebabkan karena adanya keyakinan mereka bahwa yang tahu tentang urusan hati
manusia adalah Allah dan dengan membaca dua kalimah syahadat telah menjadi
Islam.

Dalam surat al-Baqarah 165 dikatakan bahwa orang yang beriman adalah
orang yang amat sangat cinta kepada Allah (asyaddu hubban lillah). Oleh karena itu
beriman kepada Allah berarti amat sangat rindu terhadap ajaran Allah, yaitu al-Qur’an
dan Sunnah Rasul. Hal itu karena apa yang dikehendaki Allah, menjadi kehendak
orang yang beriman, sehingga dapat menimbulkan tekad untuk mengorbankan
segalanya dan kalau perlu mempertaruhkan nyawa.

Dalam hadits diriwayatkan Ibnu Majah Atthabrani, iman didefinisikan dengan


keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan amal
perbuatan (Al-Iimaanu ‘aqdun bil qalbi waiqraarun billisaani wa’amalun bil arkaan).
Dengan demikian, iman merupakan kesatuan atau keselarasan antara hati, ucapan, dan
laku perbuatan, serta dapat juga dikatakan sebagai pandangan dan sikap hidup atau
gaya hidup.
Istilah iman dalam al-Qur’an selalu dirangkaikan dengan kata lain yang
memberikan corak dan warna tentang sesuatu yang diimani, seperti dalam surat an-
Nisa’: 51 yang dikaitkan dengan jibti (kebatinan/idealisme) dan thaghut
(realita/naturalisme). Sedangkan dalam surat al-Ankabut: 52 dikaitkan dengan kata
bathil, yaitu walladziina aamanuu bil baathili. Bhatil berarti tidak benar menurut
Allah. Dalam surat lain iman dirangkaikan dengan kata kaafir atau dengan kata Allah.
Sementara dalam al-Baqarah: 4, iman dirangkaikan dengan kata ajaran yang
diturunkan Allah (yu’minuuna bimaa unzila ilaika wamaa unzila min qablika). Kata
iman yang tidak dirangkaikan dengan kata lain dalam al-Qur’an, mengandung arti
positif. Dengan demikian, kata iman yang tidak dikaitkan dengan kata Allah atau
dengan ajarannya, dikatakan sebagai iman haq. Sedangkan yang dikaitkan dengan
selainnya, disebut iman bathil.

B. Wujud Iman

Akidah Islam dalam al-Qur’an disebut iman. Iman bukan hanya berarti percaya,
melainkan keyakinan yang mendorong seorang muslim untuk berbuat. Oleh karena itu
lapangan iman sangat luas, bahkan mencakup segala sesuatu yang dilakukan seorang
muslim yang disebut amal saleh. Seseorang dinyatakan iman bukan hanya percaya
terhadap sesuatu, melainkan kepercayaan itu mendorongnya untuk mengucapkan dan
melakukan sesuatu sesuai dengan keyakinan. Karena itu iman bukan hanya dipercayai
atau diucapkan, melainkan menyatu secara utuh dalam diri seseorang yang dibuktikan
dalam perbuatannya.

Akidah Islam adalah bagian yang paling pokok dalam agama Islam. Ia merupakan
keyakinan yang menjadi dasar dari segala sesuatu tindakan atau amal. Seseorang
dipandang sebagai muslim atau bukan muslim tergantung pada akidahnya. Apabila ia
berakidah Islam, maka segala sesuatu yang dilakukannya akan bernilai sebagai
amaliah seorang muslim atau amal saleh. Apabila tidak berakidah, maka segala
amalnya tidak memiliki arti apa-apa, kendatipun perbuatan yang dilakukan bernilai
dalam pendengaran manusia. Akidah Islam atau iman mengikat seorang muslim,
sehingga ia terikat dengan segala aturan hukum yang datang dari Islam. Oleh karena
itu menjadi seorang muslim berarti meyakini dan melaksanakan segala sesuatu yang
diatur dalam ajaran Islam. Seluruh hidupnya didasarkan pada ajaran Islam.

C. Proses Terbentuknya Iman


Spermatozoa dan ovum yang diproduksi dan dipertemukan atas dasar
ketentuan yang digariskan ajaran Allah, merupakan benih yang baik. Allah
menginginkan agar makanan yang dimakan berasal dari rezeki yang halalan
thayyiban. Pandangan dan sikap hidup seorang ibu yang sedang hamil mempengaruhi
psikis yang dikandungnya. Ibu yang mengandung tidak lepas dari pengaruh suami,
maka secara tidak langsung pandangan dan sikap hidup suami juga berpengaruh
secara psikologis terhadap bayi yang sedang dikandung. Oleh karena itu jika
seseorang menginginkan anaknya kelak menjadi mukmin yang muttaqin, maka suami
isteri hendaknya berpandangan dan bersikap sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Benih iman yang dibawa sejak dalam kandungan memerlukan pemupukan yang
berkesinambungan. Benih yang unggul apabila tidak disertai pemeliharaan yang
intensif, besar kemungkinan menjadi punah. Demikian pula halnya dengan benih
iman. Berbagai pengaruh terhadap seseorang akan mengarahkan iman/kepribadian
seseorang, baik yang datang dari lingkungan keluarga, masyarakat, pendidikan,
maupun lingkungan termasuk benda-benda mati seperti cuaca, tanah, air, dan
lingkungan flora serta fauna. Pengaruh pendidikan keluarga secara langsung maupun
tidak langsung, baik yang disengaja maupun tidak disengaja amat berpengaruh
terhadap iman seseorang. Tingkah laku orang tua dalam rumah tangga senantiasa
merupakan contoh dan teladan bagi anak-anak. Tingkah laku yang baik maupun yang
buruk akan ditiru anak-anaknya. Jangan diharapkan anak berperilaku baik, apabila
orang tuanya selalu melakukan perbuatan yang tercela. Dalam hal ini Nabi SAW
bersabda, "Setiap anak, lahir membawa fitrah. Orang tuanya yang berperan
menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi". Pada dasarnya,
proses pembentukan iman juga demikian. Diawali dengan proses perkenalan,
kemudian meningkat menjadi senang atau benci. Mengenal ajaran Allah adalah
langkah awal dalam mencapai iman kepada Allah. Jika seseorang tidak mengenal
ajaran Allah, maka orang tersebut tidak mungkin beriman kepada Allah. Seseorang
yang menghendaki anaknya menjadi mukmin kepada Allah, maka ajaran Allah harus
diperkenalkan sedini mungkin sesuai dengan kemampuan anak itu dari tingkat verbal
sampai tingkat pemahaman. Bagaimana seorang anak menjadi mukmin, jika kepada
mereka tidak diperkenalkan al-Qur’an. Di samping proses pengenalan, proses
pembiasaan juga perlu diperhatikan, karena tanpa pembiasaan, seseorang bisa saja
semula benci berubah menjadi senang. Seorang anak harus dibiasakan untuk
melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi hal-hal yang dilarang-Nya,
agar kelak setelah dewasa menjadi senang dan terampil dalam melaksanakan ajaran-
ajaran Allah. Berbuat sesuatu secara fisik adalah satu bentuk tingkah laku yang
mudah dilihat dan diukur. Tetapi tingkah laku tidak terdiri atas perbuatan yang
menampak saja. Di dalamnya tercakup juga sikap-sikap mental yang tidak selalu
mudah ditanggapi kecuali secara tidak langsung (misalnya, melalui ucapan atau
perbuatan yang diduga dapat menggambarkan sikap mental tersebut); bahkan secara
tidak langsung itu adakalanya cukup sulit menarik kesimpulan yang teliti. Di dalam
tulisan ini dipergunakan istilah tingkah laku dalam arti luas dan dikaitkan dengan
nilai-nilai hidup, yakni seperangkat nilai yang diterima oleh manusia sebagai nilai
yang penting dalam kehidupan yaitu iman. Yang dituju adalah tingkah laku yang
merupakan perwujudan nilai-nilai hidup tertentu, yang disebut tingkah laku terpola.
Dalam keadaan tertentu sifat, arah, dan intensitas tingkah laku dapat dipengaruhi
melalui satu campur tangan secara langsung, yakni dalam bentuk intervensi terhadap
interaksi yang terjadi. Dalam hal ini dijelaskan beberapa prinsip dengan
mengemukakan implikasi metodologiknya :

1. Prinsip pembinaan berkesinambungan

Proses pembentukan iman adalah suatu proses yang panjang, terus menerus,
dan tidak berkesudahan. Belajar adalah suatu proses yang memungkinkan orang
semakin lama semakin mampu bersikap selektif. Implikasinya ialah diperlukan
motivasi sejak kecil dan berlangsung seumur hidup. Oleh karena itu penting
mengarahkan proses motivasi, agar dapat membuat tingkah laku lebih terarah dan
selektif dalam menghadapi nilai-nilai hidup yang patut diterima atau yang seharusnya
ditolak.

2. Prinsip internalisasi dan individuasi

Sesuatu nilai hidup antara lain iman dapat lebih mantap terjelma dalam bentuk
tingkah laku tertentu, apabila anak didik diberi kesempatan untuk menghayatinya
melalui satu peristiwa internalisasi (yakni usaha menerima nilai sebagai bagian dari
sikap mentalnya) dan individuasi (yakni usaha menempatkan nilai serasi dengan sifat
kepribadiannya). Melalui pengalaman penghayatan pribadi, ia bergerak menuju satu
penjelmaan dan perwujudan nilai dalam diri manusia secara lebih wajar dan
"alamiah", dibandingkan bilamana nilai itu langsung diperkenalkan dalam bentuk
"utuh", yakni bilamana nilai tersebut langsung ditanamkan kepada anak didik sebagai
satu produk akhir semata-mata. Prinsip ini menekankan pentingnya mempelajari iman
sebagai proses (internalisasi dan indidivuasi). Implikasi metodologiknya ialah bahwa
pendekatan untuk membentuk tingkah laku yang mewujudkan nilai-nilai iman tidak
dapat hanya mengutamakan nilai-nilai itu dalam bentuk jadi, tetapi juga harus
mementingkan proses dan cara pengenalan nilai hidup tersebut. Dari sudut anak didik,
hal ini berarti bahwa seyogianya anak didik mendapat kesempatan sebaik-baiknya
mengalami proses tersebut sebagai peristiwa pengalaman pribadi, agar melalui
pengalaman-pengalaman itu terjadi kristalisasi nilai iman.

3. Prinsip sosialisasi

Pada umumnya nilai-nilai hidup baru benar-benar mempunyai arti, bila telah
memperoleh dimensi sosial. Oleh karena itu satu bentuk tingkah laku terpola baru
teruji secara tuntas bilamana sudah diterima secara sosial. Implikasi metodologiknya
ialah bahwa usaha pembentukan tingkah laku mewujudkan nilai iman hendaknya
tidak diukur keberhasilannya terbatas pada tingkat individual (yaitu dengan hanya
memperhatikan kemampuan-kemampuan seseorang dalam kedudukannya sebagai
individu), tetapi perlu mengutamakan penilaian dalam kaitan kehidupan interaksi
sosial (proses sosialisasi) orang tersebut. Pada tingkat akhir harus terjadi proses
sosialisasi tingkah laku, sebagai kelengkapan proses individuasi, karena nilai iman
yang diwujudkan ke dalam tingkah laku selalu mempunyai dimensi sosial.

4. Prinsip konsistensi dan koherensi

Nilai iman lebih mudah tumbuh terakselerasi, apabila sejak semula ditangani
secara konsisten yaitu secara tetap dan konsekwen, serta secara koheren, yaitu tanpa
mengandung pertentangan antara nilai yang satu dengan nilai lainnya. Implikasi
metodologiknya adalah bahwa usaha yang dikembangkan untuk mempercepat
tumbuhnya tingkah laku yang mewujudkan nilai iman hendaknya selalu konsisten dan
koheren. Alasannya, caranya, dan konsekwensinya dapat dihayati dalam sifat dan
bentuk yang jelas dan terpola serta tidak berubah-ubah tanpa arah. Pendekatan
demikian berarti bahwa setiap langkah yang terdahulu akan mendukung serta
memperkuat langkah-langkah berikutnya. Apabila pendekatan yang konsisten dan
koheren sudah nampak, maka dapat diharapkan bahwa proses pembentukan tingkah
laku dapat berlangsung lebih lancar dan lebih cepat, karena kerangka pola tingkah
laku sudah tercipta.
5. Prinsip integrasi

Hakekat kehidupan sebagai totalitas, senantiasa menghadapkan setiap orang


pada problematik kehidupan yang menuntut pendekatan yang luas dan menyeluruh.
Jarang sekali fenomena kehidupan yang berdiri sendiri. Begitu pula dengan setiap
bentuk nilai hidup yang berdimensi sosial. Oleh karena itu tingkah laku yang
dihubungkan dengan nilai iman tidak dapat dibentuk terpisah-pisah. Makin integral
pendekatan seseorang terhadap kehidupan, makin fungsional pula hubungan setiap
bentuk tingkah laku yang berhubungan dengan nilai iman yang dipelajari. Implikasi
metodologiknya ialah agar nilai iman hendaknya dapat dipelajari seseorang tidak
sebagai ilmu dan ketrampilan tingkah laku yang terpisah-pisah, tetapi melalui
pendekatan yang integratif, dalam kaitan problematik kehidupan yang nyata.

D. Tanda-tanda Orang Beriman

Al-Qur’an menjelaskan tanda-tanda orang yang beriman sebagai berikut:

 Jika disebut nama Allah, maka hatinya bergetar dan berusaha agar ilmu Allah tidak
lepas dari syaraf memorinya, serta jika dibacakan ayat al-Qur’an, maka bergejolak
hatinya untuk segera melaksanakannya (al-Anfal: 2). Dia akan berusaha memahami
ayat yang tidak dia pahami sebelumnya.
 Senantiasa tawakkal, yaitu bekerja keras berdasarkan kerangka ilmu Allah, diiringi
dengan doa, yaitu harapan untuk tetap hidup dengan ajaran Allah menurut Sunnah
Rasul (Ali Imran: 120, al-Maidah: 12, al-Anfal: 2, at-Taubah: 52, Ibrahim: 11,
Mujadalah: 10, dan at-Taghabun: 13).
 Tertib dalam melaksanakan shalat dan selalu menjaga pelaksanaannya (al-Anfal: 3
dan al-Mu’minun: 2, 7). Bagaimanapun sibuknya, kalau sudah masuk waktu shalat,
dia segera shalat untuk membina kualitas imannya.
 Menafkahkan rezki yang diterimanya (al-Anfal: 3 dan al-Mukminun: 4). Hal ini
dilakukan sebagai suatu kesadaran bahwa harta yang dinafkahkan di jalan Allah
merupakan upaya pemerataan ekonomi, agar tidak terjadi ketimpangan antara yang
kaya dengan yang miskin.
 Menghindari perkataan yang tidak bermanfaat dan menjaga kehormatan (al-
Mukminun: 3, 5). Perkataan yang bermanfaat atau yang baik adalah yang berstandar
ilmu Allah, yaitu al-Qur’an menurut Sunnah Rasulullah.
 Memelihara amanah dan menempati janji (al-Mukminun: 6). Seorang mu’min tidak
akan berkhianat dan dia akan selalu memegang amanah dan menepati janji.
 Berjihad di jalan Allah dan suka menolong (al-Anfal: 74). Berjihad di jalan Allah
adalah bersungguh-sungguh dalam menegakkan ajaran Allah, baik dengan harta
benda yang dimiliki maupun dengan nyawa.
 Tidak meninggalkan pertemuan sebelum meminta izin (an-Nur: 62). Sikap seperti itu
merupakan salah satu sikap hidup seorang mukmin, orang yang berpandangan
dengan ajaran Allah dan Sunnah Rasul.

Akidah Islam sebagai keyakinan membentuk perilaku bahkan mempengaruhi


kehidupan seorang muslim. Abu A’la Maududi menyebutkan tanda orang beriman
sebagai berikut:

1. Menjauhkan diri dari pandangan yang sempit dan picik.

2. Mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri dan tahu harga diri.

3. Mempunyai sifat rendah hati dan khidmat.

4. Senantiasa jujur dan adil.

5. Tidak bersifat murung dan putus asa dalam menghadapi setiap persoalan dan situasi.

6. Mempunyai pendirian yang teguh, kesabaran, ketabahan, dan optimisme.

7. Mempunyai sifat ksatria, semangat dan berani, tidak gentar menghadapi resiko,
bahkan

tidak takut kepada maut.

8. Mempunyai sikap hidup damai dan ridha.

9. Patuh, taat, dan disiplin menjalankan peraturan Ilahi.

(A. Toto Suryana AF, et.al, 1996 : 69).

E. Korelasi Keimanan dan Ketakwaan

Keimanan pada keesaan Allah yang dikenal dengan istilah tauhid dibagi
menjadi dua, yaitu tauhid teoritis (tauhid rububiyyah) dan tauhid praktis (tauhid
uluhiyyah). Tauhid teoritis adalah tauhid yang membahas tentang keesaan Zat,
keesaan Sifat, dan keesaan Perbuatan Tuhan. Pembahasan keesaan Zat, Sifat, dan
Perbuatan Tuhan berkaitan dengan kepercayaan, pengetahuan, persepsi, dan
pemikiran atau konsep tentang Tuhan. Konsekuensi logis tauhid teoritis adalah
pengakuan yang ikhlas bahwa Allah adalah satu-satunya Wujud Mutlak, yang
menjadi sumber semua wujud. Adapun tauhid praktis yang disebut juga tauhid ibadah,
berhubungan dengan amal ibadah manusia. Tauhid praktis merupakan terapan dari
tauhid teoritis. Kalimat Laa ilaaha illallah (Tidak ada Tuhan selain Allah) lebih
menekankan pengartian tauhid praktis (tauhid ibadah). Tauhid ibadah adalah ketaatan
hanya kepada Allah. Dengan kata lain, tidak ada yang disembah selain Allah, atau
yang berhak disembah hanyalah Allah semata dan menjadikan-Nya tempat tumpuan
hati dan tujuan segala gerak dan langkah. Selama ini pemahaman tentang tauhid
hanyalah dalam pengartian beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Mempercayai saja keesaan Zat, Sifat, dan Perbuatan Tuhan, tanpa mengucapkan
dengan lisan serta tanpa mengamalkan dengan perbuatan, tidak dapat dikatakan
seorang yang sudah bertauhid secara sampurna. Dalam pandangan Islam, yang
dimaksud dengan tauhid yang sempurna adalah tauhid yang tercermin dalam ibadah
dan dalam perbuatan praktis kehidupan manusia sehari-hari. Dengan kata lain, harus
ada kesatuan dan keharmonisan tauhid teoritis dan tauhid praktis dalam diri dan dalam
kehidupan sehari-hari secara murni dan konsekuen.

Dalam menegakkan tauhid, seseorang harus menyatukan iman dan amal,


konsep dan pelaksanaan, fikiran dan perbuatan, serta teks dan konteks. Dengan
demikian bertauhid adalah mengesakan Tuhan dalam pengartian yakin dan percaya
kepada Allah melalui fikiran, membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan,
dan mengamalkan dengan perbuatan. Oleh karena itu seseorang baru dinyatakan
beriman dan bertakwa, apabila sudah mengucapkan kalimat tauhid dalam syahadat
asyhadu allaa ilaaha illa Alah, (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah),
kemudian diikuti dengan mengamalkan semua perintah Allah dan meninggalkan
segala larangan-Nya.

F. Implementasi Iman dan Takwa


 Problematika, Tantangan, dan Resiko dalam Kehidupan Modern

Di antara problematika dalam kehidupan modern adalah masalah sosial-budaya yang


sudah established, sehingga sulit sekali memperbaikinya. Berbicara tentang masalah
sosial budaya berarti berbicara tentang masalah alam pikiran dan realitas hidup
masyarakat. Alam pikiran bangsa Indonesia adalah majemuk (pluralistik), sehingga
pergaulan hidupnya selalu dipenuhi oleh konflik baik sesama orang Islam maupun
orang Islam dengan non-Islam. Pada millenium ketiga, bangsa Indonesia
dimungkinkan sebagai masyarakat yang antara satu dengan lainnya saling
bermusuhan. Hal itu digambarkan oleh Ali Imran: 103, sebagai kehidupan yang
terlibat dalam wujud saling bermusuhan (idz kuntum a’daa’an), yaitu suatu wujud
kehidupan yang berada pada ancaman kehancuran. Adopsi modernisme
(westernisme), kendatipun tidak secara total, yang dilakukan bangsa Indonesia selama
ini, telah menempatkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang semi naturalis. Di sisi
lain, diadopsinya idealisme juga telah menjadikan bangsa Indonesia menjadi
pengkhayal. Adanya tarik menarik antara kekuatan idealisme dan naturalisme
menjadikan bangsa Indonesia bersikap tidak menentu. Oleh karena itu, kehidupannya
selalu terombang-ambing oleh isme-isme tersebut. Secara ekonomi bangsa Indonesia
semakin tambah terpuruk. Hal ini karena diadopsinya sistem kapitalisme dan
melahirkan korupsi besar-besaran. Sedangkan di bidang politik, selalu muncul konflik
di antara partai dan semakin jauhnya anggota parlemen dengan nilai-nilai qur’ani,
karena pragmatis dan oportunis. Di bidang sosial banyak muncul masalah. Berbagai
tindakan kriminal sering terjadi dan pelanggaran terhadap norma-norma bisa
dilakukan oleh anggota masyarakat. Lebih memprihatinkan lagi adalah tindakan
penyalahgunaan NARKOBA oleh anak-anak sekolah, mahasiswa, serta masyarakat.
Di samping itu masih terdapat bermacam-macam masalah yang dihadapi bangsa
Indonesia dalam kehidupan modern. Persoalan itu muncul, karena wawasan ilmunya
salah, sedang ilmu merupakan roh yang menggerakkan dan mewarnai budaya. Hal itu
menjadi tantangan yang amat berat dan dapat menimbulkan tekanan kejiwaan, karena
kalau masuk dalam kehidupan seperti itu, maka akan melahirkan risiko yang besar.
Untuk membebaskan bangsa Indonesia dari berbagai persoalan di atas, perlu diadakan
revolusi pandangan. Dalam kaitan ini, iman dan taqwa yang dapat berperan
menyelesaikan problema dan tantangan kehidupan modern tersebut.

 Peran Iman dan Takwa dalam Menjawab Problema dan Tantangan Kehidupan
Modern

Pengaruh iman terhadap kehidupan manusia sangat besar. Berikut ini dikemukakan
beberapa pokok manfaat dan pengaruh iman pada kehidupan manusia.
 Iman melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda

Orang yang beriman hanya percaya pada kekuatan dan kekuasaan Allah. Kalau Allah
hendak memberikan pertolongan, maka tidak ada satu kekuatanpun yang dapat
mencegahnya. Sebaliknya, jika Allah hendak menimpakan bencana, maka tidak ada
satu kekuatanpun yang sanggup menahan dan mencegahnya. Kepercayaan dan
keyakinan demikian menghilangkan sifat mendewa-dewakan manusia yang kebetulan
sedang memegang kekuasaan, menghilangkan kepercayaan pada kesaktian benda-
benda kramat, mengikis kepercayaan pada khurafat, takhyul, jampi-jampi dan
sebagainya. Pegangan orang yang beriman adalah firman Allah surat al-Fatihah ayat
1-7.

 Iman menanamkan semangat berani menghadapi maut

Takut menghadapi maut menyebabkan manusia menjadi pengecut. Banyak di antara


manusia yang tidak berani mengemukakan kebenaran, karena takut menghadapi
resiko. Orang yang beriman yakin sepenuhnya bahwa kematian di tangan Allah.
Pegangan orang beriman mengenai soal hidup dan mati adalah firman Allah:

Di mana saja kamu berada, kematian akan datang mendapatkan kamu kendatipun
kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh (an-Nisa’ 4: 78).

 Iman menanamkan sikap self help dalam kehidupan.

Rezeki atau mata pencaharian memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.
Banyak orang yang melepaskan pendiriannya, karena kepentingan penghidupannya.
Kadang-kadang manusia tidak segan-segan melepaskan prinsip, menjual kehormatan,
bermuka dua, menjilat, dan memperbudak diri, karena kepentingan materi. Pegangan
orang beriman dalam hal ini ialah firman Allah:

Dan tidak ada satu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi
rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang dan tempat
penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata. (lauh mahfud). (Hud, 11:
6).

 Iman memberikan ketentraman jiwa

Acapkali manusia dilanda resah dan duka cita, serta digoncang oleh keraguan dan
kebimbangan. Orang yang beriman mempunyai keseimbangan, hatinya tentram
(mutmainnah), dan jiwanya tenang (sakinah), seperti dijelaskan firman Allah: (yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah.
Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram. (ar-Ra’d, 13: 28).
Seorang yang beriman tidak pernah ragu pada keyakinannya terhadap Qadla dan
Qadar. Dia mengetahui dan meyakini seyakin-yakinnya bahwa Qadla dan Qadar
Allah telah tertulis di dalam kitab.

Qadar adalah apa yang dapat dijangkau oleh kemauan dan iradah manusia.
Allah telah menciptakan manusia serta dilengkapi dengan nikmat berupa akal dan
perasaan. Melalui akal dan iradahnya, manusia dapat berbuat berbagai hal dalam batas
iradah yang dianugerahkan Allah kepadanya. Di luar batas kemampuan iradah
manusia, Qadla dan Qadar Allahlah yang berlaku. Orang-orang yang selalu hidup
dalam lingkungan keimanan, hatinya selalu tenang dan pribadinya selalu terang dan
mantap. Allah memberi ketenangan dalam jiwanya dan ia selalu mendapat
pertolongan dan kemenangan. Inilah nikmat yang dianugerahkan Allah kepada
hambaNya yang mukmin dan anugerah Allah berupa nur Ilahi ini diberikan kepada
siapa yang dikehendaki nya. Orang mukmin mengetahui bahwa mati adalah satu
kepastian. Oleh sebab itu dia tidak takut menghadapi kematian, bahkan dia menunggu
kematian. Hal ini diyakini sepenuhnya selama hayat dikandung badan. Keberanian
selalu mendampingi hati seorang mukmin. Seorang mukmin yang dalam hidupnya
mengalami atau menghadapi masalah, baik materi, kejiwaan, atau kemasyarakatan,
mungkin masalah itu terasa berat untuk ditanggulangi. Tetapi dekatnya dengan Allah
dan rasa tawakkal atau penyerahan diri yang bulat kepada Allah, serta iman dengan
Qadla dan Qadar dapat meringankan pengaruh tekanan yang berat. Dalam keadaan
yang seperti ini, kalau seorang beriman ditimpa malapetaka, ia akan bersabar dan
memohon rahmat kepada yang memiliki segala rahmat. Dengan demikian ketenangan
akan meliputi hati mukmin. Dia yakin bahwa Allah akan mengabulkan do’anya,
meneguhkan hatinya, serta memberikan kemenangan. (ar-Ra’ad 28, al-Fath 4). Kalau
Allah telah menurunkan ketenangan dalam hati, maka hati menjadi mantap, segala
krisis dapat dilalui, keseimbangan hormon tetap mantap, dan keserasian kimiawi
tubuh berjalan dengan wajar. Dalam keadaan demikian segala penderitaan dan
tekanan jiwa akan berganti dengan perasaan bahagia dan ketenangan.

 Iman mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan tayyibah)


Kehidupan manusia yang baik adalah kehidupan orang yang selalu melakukan
kebaikan dan mengerjakan perbuatan yang baik. Hal ini dijelaskan dalam firman
Allah : Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya, akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. (an-Nahl, 16: 97).

 Iman melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen

Iman memberi pengaruh pada seseorang untuk selalu berbuat dengan ikhlas, tanpa
pamrih, kecuali keridaan Allah. Orang yang beriman senantiasa konsekuen dengan
apa yang telah diikrarkannya, baik dengan lidahnya maupun dengan hatinya. Ia
senantiasa berpedoman pada firman Allah: Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam". (al-
An’aam, 6: 162)

 Iman memberikan keberuntungan

Orang yang beriman selalu berjalan pada arah yang benar, karena Allah membimbing
dan mengarahkan pada tujuan hidup yang hakiki. Dengan demikian orang yang
beriman adalah orang yang beruntung dalam hidupnya. Hal ini sesuai dengan firman
Allah: Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan
merekalah orang-orang yang beruntung. (al-Baqarah, 2: 5).

 Iman mencegah penyakit

Akhlak, tingkah laku, perbuatan fisik seorang mukmin, atau fungsi biologis tubuh
manusia mukmin dipengaruhi oleh iman.

Hal itu karena semua gerak dan kegiatan manusia, baik yang dipengaruhi oleh
kemauan seperti makan, minum, berdiri, melihat dan berfikir, maupun yang tidak
dipengaruhi kemauan seperti gerak jantung, proses pencernaan, dan pembuatan darah
tidak lebih dari serangkaian proses atau reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh.
Organ-organ tubuh yang melaksanakan proses bio-kimia ini bekerja di bawah perintah
hormon. Kerja bermacam-macam hormon diatur oleh hormon yang diproduksi oleh
kelenjar hipofise, yang terletak di samping bawah otak. Pengaruh dan keberhasilan
kelenjar hipofise ditentukan oleh gen (pembawa sifat) yang dibawa manusia semenjak
ia masih berbentuk zygot dalam rahim ibu. Dalam hal ini iman mampu mengatur
hormon dan selanjutnya membentuk gerak, tingkah laku, dan akhlak manusia. Jika
karena pengaruh tanggapan, baik indera maupun akal, terjadi perobahan fisiologis
tubuh (keseimbangan hormon terganggu), seperti takut, marah, putus asa, dan lemah,
maka keadaan ini dapat dinormalisir kembali oleh iman. Oleh karena itu orang-orang
yang dikontrol oleh iman tidak akan mudah terkena penyakit modern, seperti darah
tinggi, diabetes, dan kanker. Sebaliknya jika seseorang jauh dari prinsip-prinsip iman,
tidak mengacuhkan azas moral dan akhlak, merobek-robek nilai kemanusiaan dalam
setiap perbuatannya, tidak pernah ingat kepada Allah, maka orang yang seperti ini
hidupnya akan dikuasai oleh kepanikan dan ketakutan. Hal itu akan menyebabkan
tingginya produksi adrenalin dan persenyawaan kimia lainnya. Selanjutnya akan
menimbulkan pengaruh yang negatif terhadap biologi tubuh serta lapisan otak bagian
atas. Hilangnya keseimbangan hormon dan kimiawi akan mengakibatkan
terganggunya kelancaran proses metabolisme zat dalam tubuh manusia. Pada waktu
itu timbullah gejala penyakit, rasa sedih, dan ketegangan psikologis, serta hidupnya
selalu dibayangi oleh kematian. Demikianlah pengaruh dan manfaat iman pada
kehidupan manusia, ia bukan hanya sekedar kepercayaan yang berada dalam hati,
tetapi menjadi kekuatan yang mendorong dan membentuk sikap dan perilaku hidup.
Apabila suatu masyarakat terdiri dari orang-orang yang beriman, maka akan terbentuk
masyarakat yang aman, tentram, damai, dan sejahtera.
 RESUME 07 Oktober 2020

 Hakikat manusia
1. Asal-usul manusia

adalah makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Individu yang memiliki sifat rasional yang
bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial. Manusia adalah makhluk
paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Kesempurnaan yang dimiliki
manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah di muka
dumi ini. Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal dari tanah. Membicarakan
tentang manusia dalam pandangan ilmu pengetahuan sangat bergantung metodologi yang
digunakan dan terhadap filosofis yang mendasari. Para penganut teori psikoanalisis
menyebut manusia sebagai homo volens . Menurut aliran ini, manusia adalah makhluk
yang memiliki perilaku interaksi antara komponen biologis , psikologis , dan social . Di
dalam diri manusia terdapat unsur animal , rasional , dan moral . Para penganut teori
behaviorisme menyebut manusia sebagai homo mehanibcus . Behavior lahir sebagai
reaksi terhadap introspeksionisme aliran yang menganalisa jiwa manusia berdasarkan
laporan subjektif dan psikoanalisis . Behavior yang menganalisis perilaku yang nampak
saja. Menurut aliran ini segala tingkah laku manusia terbentuk sebagai hasil proses
pembelajaran terhadap lingkungannya, tidak disebabkan aspek. Para penganut teori
kognitif menyebut manusia sebagai homo sapiens . Menurut aliran ini manusia tidak di
pandang lagi sebagai makhluk yang bereaksi secara pasif pada lingkungannya, makhluk
yang selalu berfikir. Penganut teori kognitif mengecam pendapat yang cenderung
menganggap pikiran itu tidak nyata karena tampak tidak mempengaruhi peristiwa.
Sebenarnya manusia itu terdiri dari 3 unsur yaitu: Jasmani. Terdiri dari air, kapur, angin,
api dan tanah. Ruh. Terbuat dari cahaya . Fungsinya hanya untuk menghidupkan jasmani
saja.Jiwa. Manusia memiliki fitrah dalam arti potensi yaitu kelengkapan yang diberikan
pada saat dilahirkan ke dunia. Potensi yang dimiliki manusia dapat di kelompokkan pada
dua hal yaitu potensi fisik dan potensi rohania.

 Menurut IP ( teori darwin ) : Manusia merupakan hasil perkembangan evolusi


organik.
Teori Darwin yang menyatakan bahwa keragaman jenis mahluk berasal dari satu sel
organisme yang sederhana kemudian berkembang menjadi berbagi jenis mahluk
sampai manusia karena seleksi alam, nyata-nyata teori itu bertentangan dengan
agama islam.
 Menurut Al-Qur’an:
Manusia mempunyai dua komponen:
Proses penciptaan manusia menurut al-Qur’an tidak terlepas dari kata ja’ala, khalaqa
dan ansya’a. Kata ja’ala yang berarti menjadikan, artinya Allah menciptakan manusia
dari tidak ada menjadi ada, seperti Allah menciptakan Adam dari tanah. Kata khalaqa,
yang berarti
mencipta, Allah mencipta dari yang sudah ada seperti nutfah berproses menjadi
‘alaqah, mudghah, ‘idham, dan lahm. Kata ansya’a yang berarti menjadikan sesuatu
yang berproses dalam bentuk baru, seperti Allah menjadikan proses yang ada pada
kata khalaqa menjadi makhluk dalam bentuk lain yitu embrio. Hal-hal yang telah
dijelaskan al-Qur’an diperkuat oleh al-hadis, bahkan al-Hadis menjelaskan setelah
janin berumur 4 bulan Allah meniupkan ruh, menetapkan jodoh, nasib dan matinya.
Proses penciptaan manusia seperti yang telah dijelaskan alQur’an dan al-Hadis
dibuktikan oleh para ahli termasuk ahli kedokteran atau medis, yaitu percampuran
sperma dengan ovum akan terjadi pembuahan yang kemudian akan berproses seperti
yang dijelaskan al-Qur’an. Keberadaan jasmani sangat penting bagi rohani manusia,
sebab tanpa adanya jasmani manusia tidak dikatakan hidup tapi mati. Dengan
demikian pemeliharaan jasmani manusia sangat diharapkan jika rohani manusia akan
nyaman. Agar supaya jasmani manusia dapat berkembang dengan baik diperlukan
pemeliharaan yang baik.
 Menurut al-Qur’an

Al-Qur’an menguraikan tentang kejadian manusia dalam dua tahap. Tahap pertama
adalah tentang kejadian manusia pertama. Dan tahap kedua tentang kejadian manusia
keturunan dari manusia pertama tadi.Tentang kejadian manusia

1. pertama al-Qur’an menjelaskan, pertama, permulaannya dijadikan Allah seorang


manusia , setelah itu baru dijadikan Allah istrinya dari bahan yangsama. Dari kedua
manusia inilah dikembangbiakkan keturunannya yang amat banyak.
2. yang mula-mula di jadikan Allah ini adalah jasadnya, yang dijadikannya daripada
tanah.
3. setelah kejadian jasad ini sempurna barulah ditiupkan oleh Allah ke dalamnya ruh
ciptaaan-Nya. Tempat ini merupakan tempat yang aman, yaitu tempat yang stabil dan
serasi. Qarar yang disebut al-Qur’an, sudah barang tentu menunjukkan tempat dimana
anak manusia bisa berkembang, yaitu kandungan.Dalam kandungan ini anak akan
berkembang dengan baik dan sempurna sampai nanti lahir ke dunia.
4. perkembangan di dalam rahim ibunya berlangsung secara bertahap, yaitu air mani
menjadi segumpal darah, darah ini menjadi sekerat daging, daging itu oleh Allah
SWT dijadikan tulang, tulang itu dibalut dengan daging lagi, sesudah itu terbentuklah
makhluk yang lain sifatnya dari yang diproses tadi, yaitu manusia. Menjadi tulang
belulang, Menjadi tulang belulang yang dibungkus dengan daging dan ruh ditiupkan. .
Menjadi makhluk hidup . . Menanti saat kelahiran. Mencermati proses kejadian
jasmani manusia menurut alQur’an, memunculkan penolakan terhadap teori Darwin,
yang menyatakan bahwa manusia bukan saja dekat kepada binatang mengenai
bangunan fisiknya, melainkan juga berasal dari binatang. Teori Darwin ini tertolak
dengan pernyataan al-Qur’an mengenai proses penciptaan manusia pertama, yaitu
Adam yang jasmaninya diciptakan dari tanah.
Penyebutan manusia dalam Al-Qur’an: Menurut al-Qur’an manusia dikenal
dalam tiga kata yang biasa diartikan sebagai manusia, yaitu al-basyar, al-ins atau al
insaan, dan an-nas. Namun, jika ditinjau dari segi bahasa serta penjelasan Al Qur’an
sendiri pengertian ketiga kata tersebut saling berbeda.

 Al Basyar
Al-Basyar adalah gambaran manusia secara materi, yang dapat dilihat, memakan
sesuatu, berjalan, dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya.
Manusia dalam pengertian ini terdapat dalam Al-Qur’an sebanyak sekitar 35 kali
di berbagai surah.
Menurut M. Quraish Shihab, kata basyar terambil dari akar kata yang bermakna
penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata
basyarah yang berarti kulit.
Allah berfirman :
«Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan kamu dari
tanah, kemudian tiba-tiba kamu manusia yang berkembang biak.» selain itu,
kata basyar juga dikaitkan dengan kedewasaan manusia yang menjadikannya
mampu memikul tanggung jawab.
 Al Insaan

Kata al-ins atau al-insan disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 65 kali, kata al-ins
senantiasa dipertentangkan dengan al-jinn , yakni sejenis makhluk halus yang tidak
bersifat materi yang hidup diluar alam manusia, dan tidak tunduk kepada hukum
alam kehidupan manusia sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an
sebagai makhluk diciptakan dari api. Makhluk yang membangkang tatkala
diperintahkan untuk bersujud kepada Adam. Al-insan sebagaimana disebutkan dalam
surat Al-Alaq adalah mengandung pengertian sebagai makhluk yang diciptakan dari
segumpal darah, makhluk yang mulia sebab memiliki ilmu, dan makhluk yang
melampaui batas karena telah merasa puas dengan apa yang ia miliki. Dengan
demikian manusia dapat menjadikan dirinya makhluk yang berbudaya dan
berperadaban.

 An Nas

Dalam konsep an-naas pada umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia


sebagai makhluk sosial (Jalaluddin, 2003: 24). Tentunya sebagai makhluk sosial
manusia harus mengutamakan keharmonisan bermasyarakat. Manusia harus hidup
sosial artinya tidak boleh sendiri-sendiri Karena manusia tidak bisa hidup sendiri
tanpa bantuan orang lain di sekitarnya. Jika kita kembali ke asal mula terjadinya
manusia yang bermula dari pasangan laki-laki dan wanita (Adam dan Hawa), dan
berkembang menjadi masyarakat dengan kata lain adanya pengakuan terhadap
spesis di dunia ini, menunjukkan bahwa manusia harus hidup bersaudara dan tidak
boleh saling menjatuhkan. Secara sederhana, inilah sebenarnya fungsi manusia
dalam konsep an-naas.Sementara itu, kata insan terambil dari kata ins yang berarti
jinak, harmonis, dan tampak. Menurut M. Quraish Shihab, makna jinak, harmonis,
dan tampak lebih tepat daripada pendapat yang mengatakan bahwa kata insan
terambil dari kata nasiya dan kata naasa-yanuusu . Bahkan, lebih jauh Bintusy
Syathi’ menegaskan bahwa makna kata insaan inilah yang membawa manusia
sampai pada derajat yang membuatnya pantas menjadi khalifah di muka bumi,
menerima beban takliif dan amanat kekuasaan.

1. Fitrah manusia

Bicara tentang manusia, tak bisa lepas dari dua aspek, yaitu jasmani dan rohani.
Dua aspek inilah yang membentuk manusia, aspek jasmani membentuk fisik manusia
agar tetap sehat. Sedang aspek rohani akan membentuk pribadi dan sifat manusia
tersebut. Kedua aspek ini mempunyai potensi-potensi yang berbeda namun harus
tetap seimbang. Dalam makalah ini materi yang akan dibahas adalah tentang potensi
ruhaniah yang dimiliki oleh manusia. Potensi ruhaniah yang dimiliki oleh manusia
meliputi: qalbu nafs, akal, dan ruh. Disini akan dijelaskan definisi tentang qalbu, nafs,
akal, dan ruh yang merupakan potensi ruhaniah yang ada pada tiap manusia. Makna
qalbu itu sendri yang bersifat kondisional dan tidak memiliki pengertian yang statis .
Qalbu tidak mungkin diukur dengan batasan-batasan atau dibatasi dengan batasan
ukuran ukuran-ukuran yang pasti. Meminjamkan ungkapan dari pasal,"Le Coeur a ses
rations que la raison neconnait pas" hati mempunyai akalnya sendiri yang tidak biasa
dimengerti oleh akal budinya". Pascal melanjutkan bahwa kebenaran hanya dapat
diketahui jika kita mau mendengar suara hati . Walaupun seharusnya lebih ditegaskan
bahwa kebenaran hanya mungkin diketahui dan dirasakan nyata, apabila kita ,mau
melaksanakan kata hati, bukan hanya mendengar. Qalbu adalah hati nurani yang
menerima limpahan cahaya kebenaran ilhaih, yaitu ruh. Sebagaimana sejak alam ruh,
kita telah melakukan kesaksisan kebenaran. ‘’Dan , ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap
diri mereka ,’Bukanlah Aku ini Tuhanmu?’ mereka menjawab,’ Betul , kami menjadi
saksi.”Pengertian qalbu dari qalbu yang artinya ‘berubah-ubah,berbolak-balik, tidak
konsisten,berganti-ganti’. Pokok qalbu merepukan lokus atau tempat didalam wahana
jiwa manusia yang merupakan titik sentral atau awal dari segala awal yang
menggerakan perbuatan manusia yang cenderung kepada kebaikan dan keburukan.
Dengan Nafas itulah manusia menampakkan dirinya di hadapan dunia. Ali r.a.
berkata,’Tidak ada sesorang pun mampu menyembuyikan sesuatu, kecuali akan
tampak dari ucapan dan air mukanya.’’ Apabila nafs mendapatkan pencerahan dari
cahaya qalbu, maka dinding biliknya benderang memantulkan binar-binar kemulian.
Jiwa nafs yang melangit, merindu, dan menemukan wajah tuhan akan stabil
merasakan kehangatan cinta ilahi. Pantaslah bahwa orang yang berhak mendapatkan
cinta Allah hayalah mereka yang jiwanya tenang . "Hai yang jiwa yang
tenang.kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi dhiridhai-
Nya.maka,masuklah kedalam jamaah hamba-hamba-ku, dan masuklah ke dalam
surga-ku." Nafsul muthmainah adalah gelora batin yang menampakan fu’ad dan
shadar dalam bentuk nya yang yata,membumi ,dan memberikan pantulan kepada
lingkungan diri dan orang lain. Nafs berhak mendapatkan gelar"mutmainah",selama
cara dirinya mempresentasikan perilaku ilahi dalam bentuk satu garis lurus ,qalbuya
salim penuh peyerahan diri kepada Allah,fu’ad-nya tajm untuk memilih yang baik dan
yang buruk dan shadr-nya bermuatan keinginan cinta yang merindu. Nafs adalah
penampakan wajah batin dan lahir yang penuh dengan pengharapan untuk
mendapatkan rahmat Allah. Sebaliknys, nafs yang gelisah penuh api membakar hanya
akan mendapatkan gelar ammarotum bis suu’ ‘jiwa angkara’ apabila dia menjadi
muara kejahatan karena menampung fu’ad dan shadr yang cacat, rusak dan busuk .
"Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, Sesungguhnya Tuhanku
maha pengampun dan maha penyayang .

Pertama, aql adalah potensi yang siap menerima pengetahuan teoritis. Kedua,
aql adalah pengetahuan tentang kemungkinan sesuatu yang mungkin dan kemuhalan
sesuatu yang mustahil yang muncul pada anak usia tamyiz, seperti pengetahuan
bahwa dua itu lebih banyak dari pada satu dan kemustahilan seseorang dalam waktu
yang bersamaan berada di dua tempat. Ketiga, aql adalah pengetahuan yang diperoleh
melalui pengalaman empirik dalam berbagai kondisi. Keempat ,aql adalah potensi
untuk mengetahui akibat sesuatu dan memukul syahwat yang mendorong pada
kelezatan sesaat. Dengan demikian orang yang berakal adalah orang yang didalam
melalukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan didasarkan pada akibat yang
akan muncul bukan didasarkan pada syahwat yang mendatangkan kelezatan sesaat.
Aql yang pertama dan kedua merupakan bawaan sedangkan aql yang ketiga dan
keempat merupakan usaha. Di dalam al-Qur`an, kata aql dalam bentuk kata benda
tidak ditemukan yang ditemukan di dalam al-Qur`an adalah kata kerjanya yakni
ya’qilun, ta’qilun dan seterusnya. Aqala berarti menahan atau mengikat. Dengan
demikian al-A’qil berarti orang yang menahan atau mengikat hawa nafsunya sehingga
nafsunya terkendali karena diikat atau ditahan. Sedangkan orang yang tidak
mempunyai aql tidak mengikat nafsunya sehingga nafsunya liar tak terkendali.

Ruh adalah pusat yang didalamnya manusia tertarik dan kembali pada sumbernya.
Ruh ini tidak bisa dilihat kecuali oleh orang yang telah melepaskan "kedua dunia" ini.
Ruh tidak ada di dalam maupun di luar tubuh, tidak terikat maupun terlepas. Ia ada di
dalam sekaligus di luar, terikat dan terlepas.

2. Alqur’an sebagai sumber hukum islam.


Allah menurunkan Al-Quran kepada umat manusia melalui nabi Muhammad
SAW sebagai kitab suci terakhir untuk dijadikan pedoman hidup. Sebagai sumber
hukum Islam pertama dan utama, Al-Quran berperan penting dalam rangka
penetapan hukum Islam terutama setelah meninggalnya Rasulullah SAW. Hukum
pokok yang terkandung di dalam al-Quran sangat penting untuk diketahui oleh
umat Islam, karena terkait dengan dasar dalam melaksanakan segala syariat Islam.
Sebagai sumber pertama dalam hukum Islam, al-Quran memiliki kedudukan yang
sangat tinggi seperti halnya konstitusi negara yang menjadi supreme dan acuan
dalam menciptakan peraturan dan perundang-undangan. Al-Quran menjadi
sumber pokok dan dasar dalam menentukan huku-hukum Islam selain hadis
Rasulullah saw. Sebagai sumber dokrin dalam Islam, Al-Quran merupakan kitab
yang keberadaannya mutlak berasal dari Allah. Manusia sangat memerlukan
petunjuk, untuk mengatur segala kehidupan di bumi ini, maka al-Quran
diturunkan sebagai petunjuk. Kalangan Mu'tazilah berpandangan bahwa Tuhan
sebagai pencipta manusia, memiliki kewajiban untuk menuruknak al-Quran
kepada makhluknya, karena manusia memiliki keterbatasan dalam memecahkan
persoalan-persoalan hidup yang diahadapinya. Selanjutnya kaum Mu'tazilah
berpandangan bahwa al-Quran berperan sebagai konfirmasi, yaitu memiliki fungsi
untuk memperkuat pandangan-pandangan akal dan pikiran, sebagai sumber
informasi bagi manusia terhadap segala sesuatu yang tidak dapat diketahui oleh
akal manusia.
Al-Quran sebagai kitab yang diturunkan Allah dalam bahasa Arab ada
sebagian ayatnya bersifat umum sehingga memiliki makna yang multi tafsir.
Petunjuk-petunjuk yang ada di dalamnya menghendaki penjabaran dan perincinan
yang jelas dari ayat lain atau melalui hadis Rasulullah saw. Petunjuk yang ada di
dalam Al-Qur’an terkadang mempunyai sifat global sehingga untuk
menerapkannnya butuh penafsiran dan penalaran akal manusia, dan oleh karena
al-Quran sebagai kitab yang multi tafsir (sesuai kaidah) maka Al-Qur’an
diturunkan untuk manusia berakal. Umat Islam misalnya diwajibkan untuk
berpuasa, menjalankan ibadah haji dan sebagainya. Tetapi cara-cara melaksanakan
ibadah-ibadah itu sebagian tidak kita jumpai dalam Al-Qur’an, tetapi
penjelasannya ada di dalam hadis Nabi, yang selanjutnya diulas oleh semua ulama
sebagaimana dapat kita jumpai dalam kitab-kitab fiqih. Dengan demikian jelas
bahwa kehujjahan (argumentasi) Al-Qur’an sebagai wahyu tidak seorangpun
dapat membantahnya di samping seluruh kandungan isinya tak satupun yang
berlawanan dengan akal kita sebagai manusia, sejak pertama kali diturunkan
sampai sekarang dan seterusnya. Terlebih di abad saat ini yang yang memiliki
teknologi mutakhir, di mana pertumbuhan sains canggih sudah hingga pada
puncaknya dan kebenaran Al-Qur’an semakin terungkap serta dapat diperlihatkan
secara ilmiah.
Al-Qur’an sebagai tuntunan hidup secara umum berisi 3 hukum pokok yaitu
sebagai berikut:
 Hukum Aqidah
jaran-ajaran yang bersangkutan dengan aqidah (keimanan) yang merundingkan
tentang hal-hal yang mesti diyakini, laksana masalah tauhid, masalah kenabian,
tentang kitab-Nya, Malaikat, hari Kemudian dan sebagainya yang bersangkutan
dengan ajaran akidah.
 Hukum Akhlak
Ajaran-ajaran yang bersangkutan dengan akhlak, yakni hal-hal yang mesti
dijadikan
perhiasan diri oleh masing-masing mukallaf berupa sifat-sifat keutamaan dan
menghindarkan diri dari hal-hal yang membawa untuk kehinaan.
 Hukum Amal
Hukum-hukum amaliyah, yakni ketentuan-ketentuan yang bersangkutan dengan
amal
tindakan mukalaf. Dari hukum-hukum amaliyah berikut timbul dan berkembangnya
ilmu fikih, hukum-hukum amaliyah dalam Al-Qur’an terdiri dari dua cabang, yakni
hukum-hukum badah yang menata hubungan insan dengan Allah, dan hokum-
hukum
mu’amalat yang menata hubungan insan dengan sesamanya.
Hukum-hukum amaliah dalam penjelasannya berdasarkan Al-Quran dibagi
menjadi 2 bagian yaitu hukum ibadah dan hukum muamalah.
1. Pertama Hukum-hukum ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji,
nadzar, sumpah dan ibadah-ibadah lain yang berkaitan dengan
hubungan manusia dengan tuhan atau biasa disebut sebagai ibadah
Mahdah.

2. Hukum-hukum muamalah, seperti masalah belanja, bisnis, akad,


hukuman, jinayat dan sebagainya selain hukum ibadah. Hukum
muamalah ini mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik
secara perorangan, kelompok, bangsa atau jama’ah yang disebut juga
sebagai ibadah ghairu ma

3. Cara penunjukan Alqur’an pada hukum:

Al-Qur’an adalah kitabullah yang dijamin kemurniannya oleh Allah Dan tidak
ada keraguan di dalamnya.3 Bila dilihat dari datangnya, ketetapan serta kenukilan-
nya dari Rasulullah kepada umat Islam, maka nash-nash dalam al-Qur’an
semuanya bersifat qath`i.4 Artinya, bisa dipastikan bahwa tiap nash al-Qur’an
yang kita baca sekarang, pada hakekatnya adalah nash al-Qur’an yang diturunkan
oleh Allah kepada Rasul-Nya, dan Rasulullah menyampaikan kepada umatnya
tanpa perubahan atau pergantian. Ketika turunnya surat atau ayat al-Qur’an,
Rasulullah langsung menyampaikan kepada sahabat untuk dibaca, ditulis dan
dihafal. Dalam kajian terhadap al-Qur’an, ada dua hal penting yang mutlak
diperhatikan, yaitu al-tsubut (kebenaran sumber) dan al-dalalah (kandungan
makna). Dari sisi al-subut al-Qur’an, tidak ada perbedaan pandangan di kalangan
umat Islam tentang kebenaran sumbernya (qath’i tsubut) berasal dari Allah karena
sampai kepada umat Islam secara mutawatir sehingga menimbulkan keyakinan.
Sementara dari sisi alalah atau kandungan redaksi ayat-ayat al-Qur’an yang
berkaitan dengan hukum, dapat dibedakan atas ayat-ayat yang qath’i dan zhonni.
Kajian mendalam terhadap ayat-ayat al-Qur’an menunjukan bahwa adanya ayat-
ayat yang qathi’i dan zhonni merupakan ciri al-Qur’an tersendiri dalam
menjelaskan hukum (ahkam). Atas dasar ini, yang menjadi pertimbangan dalam
pengkajiannya adalah tabi’at ayat itu sendiri. Dalam hal ini, Allah memang secara
sengaja menempatkan suatu ayat qathi’i dan yang lain zhonni dengan maksud dan
makna tertentu.

1. Subhan adalah Dosen STAIN Samarinda


2. Q.,s. al-Hijr ayat 9.
3. Q.,s. al-Baqarah ayat 2
4 . Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada
5 . Abdul Karin Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Baghdad:Matba’at al’Any, t.t.
hal.
Subhan, Klasifikasi Ayat-ayat Hukum.

Pembahasan qath’i dan zhonni hanya dapat ditemukan di kalangan ahli ushul
fiqh ketika mereka menganalisis kebenaran sumber suatu dalil serta kandungan
makna dalil itu sendiri. Para ahli usul fiqh membagi dalil atas tiga bentuk, yaitu
nas, zhahir, dan mujmal. Dalil dalam kategori nas diartikan oleh
jumhur ushul fiqh sebagai dalil yang tidak memiliki kemungkinan makna lain.
Sedangkan dalil dalam kategori zhahir dan mujmal termasuk dalil yang bersifat
zhonni, karena makna dalil dalam kategori ini masih mengandung kemungkinan
makna lain.
Ulama Ushul al-Fiqh ada yang menegaskan bahwa sifat dalil itu adalah
menunjukkan kepada hukum syar'i secara konklusif (qath'i), kalau tidak
menunjukkan kepada hukum syar'i secara konklusif (qath'i), melainkan hanya
dugaan kuat (zhanni) maka disebut dengan amarah (tanda-tanda hukum). Akan
tetapi pengertian yang umum di kalangan ulama Ushul al-Fiqh adalah bahwa
dalildalil itu meliputi semua sumber hukum (mashadir al-ahkam) yang
menunjukkan kepada hukum syar’i, baik secara qath’i maupun secara zhonni.

 DALALAH AL-QUR`AN

1. Qath`i al-Dalalah

Al-Qur’an dari sisi al-tsubut-nya adalah qath’i. Pengingkaran qathi’ altsubut-nya


al-Qur’an akan membawa sejumlah konsekuensi teologis. Namun demikian, dari sisi
al-dalalah, ayat al-Qu’an ada yang qath’i dan ada pula yang zhanni. Berkenaan
dengan hal ini, Abdul Wahhab Khallaf berpendapat bahwa nash al-Qur’an dan Hadis
yang bersifat qath’i al-dalalah adalah nash yang menunjuk pada makna tertentu yang
tidak mengandung kemungkinan untuk dita’wil (dipalingkan dari makna asalnya) dan
tidak ada celah atau peluang untuk memahaminya selain makna tersebut. Asy-
Syathibi dalam kitabnya al-muwafaqat menyatakan bahwa dalil qath`i adalah suatu
dalil yang asal-usul historisnya (al-wurud), penunjukkan kepada makna (al-dalalah)
atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) bersifat pasti dan
meyakinkan. Lebih lanjut Asy-Syathibi menyatakan dalam kitabnya al-muwafaqat,
sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab, tidak ada atau jarang sekali ditemukan
sesuatu yang bersifat qath`i dalam dalil-dalil syara`, jika pandangan hanya ditujukan
kepada teks secara berdiri sendiri. Ini karena untuk menarik kesimpulan yang pasti
dibutuhkan premis-premis (muqaddimat) yang tentunya harus bersifatpasti pula,
sedangkan hal yang demikian tidak mudah ditemukan. Kenyataan menunjukkan
bahwa muqaddimat itu kesemuanya atau sebagian besar darinya, tidak bersifat pasti,
sedangkan sesuatu yang bersandar pada yang tidak bersifat pasti, tentulah tidak pasti
pula.

2. Zhanni al-Dalalah
Berbeda dengan qath`i al-dalalah, sesuatu yang pasti dan meyakinkan sehingga
tidak ada lagi kemungkinan lain, zhanni al-dalalah adalah yang masih mengandung
dua atau lebih kemungkinan. Asy-Syathibi mendefinisakn zhanni al-dalalah adalah
suatu dalil yang asalusul historisnya (al-wurud), penunjukkan kepada maknanya (al-
dalalah), atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) diduga kuat
sebagai benar, seperti keputusan hakim yang didasarkan atas keterangan para saksi
yang tidak mustahil melakukan kekeliruan. Selanjutnya asy-Syathibi membagi zhanni
al-dalalah menjadi tiga, yaitu;

1. zhanni al-dalalah yang dinaungi oleh suatu prinsip universal yang qath'i
(ashl qath'i). Dalil ini tidak diragukan lagi keabsahannya.
2. zhanni aldalalah yang bertentangan dengan suatu prinsip yang qath’i. Dalil ini
secara umum ditolak, karena segala yang bertentangan dengan dasar-dasar
syari’ah
adalah tidak sah dan tidak dapat dipegangi.
3. zhanni al-dalalah yang Sebagai contoh hadis; ‫ ضرار وال ضرر ال‬Hadits ini adalah
dzanni karena keshahihan asalusul historisnya (al-wurud) tidak mencapai derajat
mutawatir, akan tetapi hadits ini dinaungi oleh prinsip universal (syari’ah), yaitu
segala yang merugikan (madharat) dihindari.
Prinsip ini didukung dalil sejumlah dalil juz’i atau kasus-kasus detail, seperti
larangan bertindak merugikan dan berbuat madharat terhadap istri (Q.,s. at-
Thalaq, (65): 6), terhadap mantan istri yang dirujuk (Q.,s. al-Baqarah (20: 233),
larangan bertindak merugikan dalam penulisan dan pemberian saksi hutang-
piutang (Q.,s. al-Baqarah (2): 282), dan larangan agar ibu dan ayah jangan sampai
menderita karena anaknya (Q.,s. al-Baqarah (20: 233). Dalili-dalil tersebut
memperkuat dan menaungu hadis dzanni tersebut. Lihat asy-Syathibi, al-
Muwafaqat. Sebagai contoh adalah pertimbangan mashlahah oleh beberapa ulama
untuk memberi fatwa seorang raja yang menggauli istrinya di siang hari pada
bulan Ramadlan, bahwa hukumnya adalah membayar kifarat berupa puasa 2 (dua)
bulan berturut-turut. Sebenarnya menurut hadis
Rasulullah, hukuman tersebut bersifat fakultatif, yaitu orang yang menggauli
istrinya di siang hari,di bulan Ramadlan harus membayar kifarat berupa;
membebaskan budak, jika tidak ada budak, maka berpuasa 2 (dua) bulan berturut-
turut, dan jika tidak mampu maka memberi makan 60 (enam puluh) orang miskin.
Para ulama mempertimbangkan kemashlahatan, yaitu tujuan hukuman yang
dimaksud adalah untuk mencegah seseorang agar jangan mengulangi
perbuatannya. Menurut para ulama tersebut, apabila seorang raja dihukum dengan
kifarat membebaskan budak, hal itu tidak memenuhi tujuan hukuman, yaitu
mencegah pengulangan perbuatan, sebab raja itu kaya dan berapapun harga budak
dapat dibelinya, untuk kemudian dibebaskannya. Oleh karena itu, demi
kemashlahatan raja tersebut diberi hukuman kifarat puasa 2 (dua) bulan berturut-
turut agar dia merasa jera dan tidak mengulangi perbuatannya karena puasa 2
(dua) bulan berturut-turut adalah berat. Cara berargumentasi (istidlal) demikian,
menurut al-Ghazali, adalah bathal, karena Subhan, Klasifikasi Ayat-ayat Hukum
tidak bertentangan dengan suatu prinsip yang qath’i, tetapi tidak pula dinaungi
oleh suatu prinsip yang qath’i. Menurut ay-Syatibi, dalil ini dapat diterima atas
dasar bahwa pada dasamya segala yang berada pada tingkat zhanni dalam syari’ah
dapat diterima.

 CONTOH AYAT-AYAT QATH`I DAN ZHANNI

1. Contoh Ayat-ayat Qath`i

 Ayat tentang perintah mendirikan shalat;

‫ق ْي ُموا ال َّصلَوةَ أ‬
ِ
Artinya; Laksanakanlah shalat Ayat ini belum pasti menunjuk kewajiban shalat
dan belum pasti juga yang dimaksud dengan shalat adalah kegiatan yang dimulai
dengan takbir dan diakhiri dengan salam, karena shalat menurut bahasa adalah
do’a. Namun demikian, menurut M. Quraish Shihab, melalui beberapa
argumentasi lain, dapat dipastikan bahwa yang dimaksud dengan perintah shalat
di sini adalah wajib dan bahwa ia adalah shalat lima kali sehari. Argumentasi itu
antara lain, dikuatkan oleh sikap Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau yang tidak
pernah meninggalkannya, walaupun dalam keadaan kritis atau perang. Beliau juga
menegaskan bahwa ‘perbedaan antara muslim dan kafir adalah shalat’, dan masih
banyak lagi dalil-dalil lainnya. Setelah adanya berbagai argumentasi yang
menguatkan itu, barulah dinyatakan bahwa makna ayat tersebut adalah qathi.

 Q.,s. al-Nisa (4): 12;


َ‫ي ْز َوا ُج ُكم اِن لر َك أ و َل ُ ْكم ِن ْص ُف َما ت‬
َ ‫هُ َّن َو َل د كن ل م‬
Artinya; “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh istri-istri kamu jika mereka tidak mempunyai anak”.
Penunjukkan makna (al-dalalah) ayat tersebut adalah qath’i, yaitu jelas dan
pasti, sehingga tidak boleh dita’wil dan dipahami selain yang ditunjukkan
oleh ayat tersebut. Dengan demikian, bagian seorang suami dalam mewarisi
harta peninggalan istrinya yang meninggal dengan tanpa ada anak adalah
setengah dari harta peninggalannya.

 Q.,s. an-Nur (24): 2;


ُ‫ال َ ٍدة َّزانِ َي جلئَةَ َما ِما دوا ُك َّل َوا ٍِحد ِم ْنهُ وال َّزنِى فَا ْجلِة‬
Artinya; “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap orang dari keduannya seratus kali dera”. bertentangan dengan nash yang
menegaskan bahwa hukumannya adalah membebaskan budak, baru kalau tidak
ada, kifarat puasa 2 (dua) bulan berturut-turut diterapkan.
Asy-Syathibi, al-Muwafaqat, M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Subhan,
Klasifikasi, Ayat-ayat Hukum Kata “seratus kali” tidak mengandung
kemungkinan ta’wil atau pemahaman lain. Dengan demikian ayat ini bersifat
qath’i al-dalalah maksudnya bahwa had zina itu seratus kali dera, tidak lebih, dan
tidak kurang.

2. Contoh Ayat-ayat Zhanni

 Q.,s. al-Baqarah (2): 228;


َُ‫رقَا ُت يَتَلمطَوالس ِه َّن ثَفُ ْنأبَّ ْص َن ب ُر ْو ٍء ِلَثَةَ ق‬
Artinya; “Wanita-wanita yang ditalak, hendaknya menunggu (tidak boleh
menikah) dengan menahan diri mereka, tiga kali quru”. Ayat tersebut tidak
bersifat qath’i, tetapi zhanni, karena kata quru` pada ayat tersebut dapat berarti
suci dan dapat juga berarti haid. Tidak dapat dipastikan yang mana yang
dimaksud, karena tidak terhimpun argumentasi yang cukup yang mendukung
salah satu ulama.
 Q.,s. al-Maidah (5): 3;
َ‫وال َّ ُد َم ْميتَةُي ُ ُكم الر َم ْت َعلَح‬
Artinya; “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah…” Lafadz al-maitah
pada ayat tersebut bersifat ‘Am, yang mempunyai kemungkinan mengharamkan
setiap bangkai atau keharaman itu dikecualikan selain bangkai binatang laut/air.
Karenanya nash yang dimaksud ganda atau lafadz ‘Am seperti itu maka disebut
zhanni dalalahnya. Hal ini disebabkan karena lafadz tersebut mempunyai suatu
arti tetapi juga mungkin berarti lain.
 Q.,s. al-Maidah (5): 38;
ْ ‫ال َوهلالُ ال َّسا َما َك َسبَا نَكاَالًما َج َزا ًء بعوا ْأيِديَهُفَا ْقطَرقَةُوال‬
ِ‫َّسازي ُ ز َحع ِ ْكي م‬ ِ ‫ر ُقِم َن َو هل‬
Artinya; “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan”. Kata tangan
dalam ayat ini mengandung beberapa kemungkinan yang dimaksudkan yaitu
tangan kanan atau kiri, disamping juga mengandung kemungkinan tangan itu
hanya sampai pergelangan saja atau sampai siku. Kekuatan hukum kata-kata yang
seperti ini menurut para ulama usul fiqh bersifat zhanni, oleh sebab itu para
mujtahid boleh memilih pengertian yang terkuat menurut pandangannya serta
didukung oleh dalil lain.
 RESUMER 14 Oktober 2020

 Hukum Islam dalam Dinamika Kehidupan Sosial.


1. Tujuan Hukum Islam

 Pada dasarnya, Hukum Islam adalah peraturan-peraturan dan


ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan berdasarkan
sumber hukum tersebut, yaitu Al-Qur’an dan AL-Hadis. Fungsi hukum
itu sendiri ialah menegakan keadilan dalam kehidupan manusia.
 Hukum Islam di dalam kehidupan manusia sering kali mengalami
masalah mengenai pengertiannya, proses pemanfaatannya dalam
kehidupan. Padahal kita harus mengetahui dengan jelas apa yang di
maksud dengan Hukum Islam, manfaatnya, sumber dan fungsinya
dalam kehidupan sosial manusia. Dengan begitu kita dapat mengetahui
kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum di
Indonesia. Masalah yang sering terjadi adalah bagaimana cara sesuatu
yang wajib menurut hukum Islam menjadi wajib pula menurut
perundang-undangan Nasional untuk mengatur kehidupan
bermasyarakat. Kontribusi umat Islam sudah di nilai cukup banyak,
seperti adanya perundang-undangan yang berhubungan dengan hukum
Islam, tapi kembali ke masalah tersebut. Ini semua butuh proses dan
waktu untuk merealisasikannya.
 Oleh karena itu, dalam makalah ini kami mencoba untuk
menyampaikan apa itu Hukum Islam, sumber-sumber hukum Islam,
pemanfaatan hukum Islam, dan Kontribusi umat Islam dalam
penegakan hukum di Indonesia.
 Definisi
1. Hukum Islam adalah peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan
yang
berkenaan dengan kehidupan berdasarkan AL-Qur’an dan Al-
Hadis.
2. Sumber-sumber hukum Islam ialah Kitabullah dan Sunnah Rasul
(al-
Qur’an dan Hadis).
3. Fungsi Hukum adalah untuk menegakan keadilan.
2. Pengertian Hukum Islam

Secara etimologi, kata hukum berarti ”menetapkan sesuatu pada yang lain”, seperti
menetapkan mana yang diperintahkan dan mana yang dilarang. Sedangkan secara
istilah, seperti yang dikemukakan oleh Abu Zahrah, hukum adalah titah Allah yang
berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Hukum adalah hal yang mengatur tingkah laku
manusia dalam lingkungan masyarakat. Baik peraturan yang berupa tingkah laku
maupun kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Atau peraturan
yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.Oleh karena itu,
hukum dalam Islam berarti adanya batasan-batasan yang harus dipatuhi dalam
kehidupan. Karena tidak bisa dibayangkan jika tidak ada hukum Islam, maka
seseorang akan semaunya melakukan hal yang dia inginkan termasuk perbuatan
maksiat.

3. Konsep Hukum Islam

Hukum Islam disyariatkan Allah kepada manusia menyangkut berbagai macam


persoalan. Mereka diharapkan mengikuti hukum Islam tersebut agar mendapat
kebahagiaan dalam hidupnya. Tata kehidupan manusia diatur dengan hukum Allah.
Tujuan disyariatkannya hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan hasanah
bagi manusia, baik hasanah di dunia maupun di akhirat. Upaya untuk mewujudkan
kebaikan bagi umat manusia adalah melalui ketentuan-ketentuan yang dharuri
(primer), haji (sekunder), dan tahsini (tertier).

Ketentuan-ketentuan yang dhrui adalah ketentuan-ketentuan hukum yang dapat


memelihara kepentingan hidup manusia dengan menjaga dan memelihara
kemaslahatan[2] mereka. Jika norma-norma tersebut tidak dipatuhi, maka manusia
akan dihadapkan pada kesulitan. Secara umum, ketentuan-ketentuan dharuri berupaya
untuk memelihara lima hal, yaitu agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Sementara
ketentuan-ketentuan haji adalah ketentuan-ketentuan yang memberi peluang bagi
manusia untuk memperoleh kemudahan-kemudahan dalam keadaan ketika mereka
mengalami kesulitan, untuk mewujudkan tujuan-tujuan dharuri. Sedangkan ketentuan-
ketentuan tahsini adalah berbagai ketentuan yang menuntut manusia untuk
melaksanakan ketentuan dharuri dengan cara yang lebih baik. Oleh karena itu,
ketentuan tahsini berkaitan erat dengan pembinaan akhlak yang baik dan
melaksanakan berbagai ketentuan dhrui dengan cara yang paling sempurna.

Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan Allah melalui wahyu-Nya, yang
terdapat dalam al-Quran dan dijelaskan Nabi Muhammad Saw melalui Sunnah beliau
yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis. Dalam masyarakat Indonesia berkembang
berbagai macam istilah, di mana istilah satu dengan yang lainnya mempunyai
persamaan dan sekaligus juga mempunyai perbedaan. Istilah-istilah yang dimaksud
adalah syariat Islam dan fikih Islam. Oleh karena itu, seorang yang akan memahami
hukum Islam dengan baik dan benar, mampu membedakan syariat Islam dengan fikih
Islam. Hukum Islam baik dalam pengertian syariat maupun fikih dibagi menjadi dua
bagian yang besar, yakni ibadah dan muamalah. Hukum Islam sangat luas, bahkan
luasnya hukum Islam masih dapat dikembangkan lagi sesuai dengan aspek yang
berkembang di masyarakat yang belum dirumuskan (oleh para yuridis Islam) di masa
lampau, seperti hukum bedah mayat, bayi tabung, keluarga berencana, dan bunga
bank.

Konsep hukum Islam adalah menegakan keadilan kebersamaan dalam


kebaikan. Keadilan dan persamaan merupakan inti membangun hukum itu sendiri.
Artinya bahwa penerapan hukum tak pandang bulu, semua sama di dalam hukum.
Hukum merupakan ”panglima” yang menjaga hak dan kewajiban antara warga negara
dengan negara yang sebenarnya telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad Saw dalam
perjalanan hidupnya.

 Sumber Hukum Islam

Secara etimologis hukum (Arab) adalah Itsbatu syai’in ‘ala syai’in


(memutuskan suatu perkara berdasarkan suatu aturan. Secara terminologis adalah
peraturan yang dietetapkan (Khitab) Allah untuk hamba-Nya yang mukallaf. Kata
hukum Islam adalah kata yang sepadan dengan kata “syariah”, yang kemudian
disambung dengan kata Islam sehingga menjadi “syariah Islam”, yaitu hukum Islam.

Syariat Islam secara garis besar mencakup 3 hal:


1. Ahkam Syar’iyyah I’tiqadiyah yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan
‘aqida atau keimanan. Petunjuk dan bimbingan untuk mengenal Allah SWT
dan alam ghaib yang tidak bisa di jangau indra manusia.
2. Ahkam Syar’iyyah Khuluqiyah yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan
akhlak. Potensi kebaikan yang ada di dalam diri manusia agar menjadi
makhluk terhormat yang sesungguhnya.
3. Ahkam Syar’iyyah ‘Amaliyah, yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan
pelaksanaan (amaliyah) syariah dalam pengertian khusus. Petunjuk yang
mengatur tata cara beribadah kepada Allah Swt. Hubungan manusia dengan
Allah dan sejenisnya atau lingkungannya.

Pada umumnya ulama mengajarkan bahwa sumber hukum Islam adalah


empat, yaitu al-Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas. Sementara sebagian ahli berpendapat
hanya tiga, yaitu al-Qur’an, hadis dan ijtihad. Bahkan Sayid Qutub berpendapat
bahwa sumber pokok hanya satu yaitu al-Qur’an. Walaupun berbeda pendapat, dalam
kenyataan dapat titik temu, jika ijma’ dan qiyas dikategorikan sebagai ijtihad.

Perlu diketahui bahwa urutan penyebutan sumber hukum Islam, menunjukan


urutan, kedudukan dan jenjang pengaplikasiannya. Karena itu, apabila ada masalah
pertama di cari dahulu di al-Qur’an, lalu Sunnah(Hadis) dan Ijtihad. Dengan demikian
dapat dikatakan tidak ada perbedaan prinsip dalam urutan sumber hukum Islam yaitu,
al-Qur’an, Sunnah (Hadis) dan Ijtihad.

1. Al-Qur’an

Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang
berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an
adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya
membaca.

2. As-Sunnah atau Al-Hadist

Kata sunnah, secara etimologi bermakna jalan, tata laku, atau cara bertindak.
Jadi Sunnah Rasul adalah jalan yang lurus dan prilaku Nabi sepanjang
hidupnya. Oleh karena itu perkataan, perbuatan, dan diamnya Nabi disebut
sunnah rasul. Selain istilah sunnah dikenal juga dengan istilah hadis yang
berarti berita atau catatan tentang suatu perkataan, perbuatan, dan perizinan
Nabi. Sebagian ulama membedakan kalau hadis ialah peristiwa yang
disadarkan kepada Nabi. Walaupun hanya mengerjakannya hanya sekali.
Sedangkan sunnah adalah suatu yang dilakukan Nabi secara terus-menerus.

 Macam-macam sunnah/hadis

1. Ditinjau dari segi bentuknya

 ·Sunnah Qauliyah, yakni perkataan Nabi yang beliau sampaikan dalam berbagai
kesempatan
 Sunnah Fi’liyah, yakni perbuatan yang dilakukan Nabi
 Sunnah Taqririyah, yakni sikap Rasulullah membiarkan perbuatan sahabat yang
menunjukkan bahwa beliau menyetujui atau mengizinkannya.

2. Ditinjau dari segi kualitasnya


 Shaih, ialah hadis yang diriwayatkan oleh parawi (orang) yang adil, sempurna
hafalannya, sanadnya bersambung sampai kepada Rasul, dan tidak terdapat
keganjilan
 Hasan, ialah hadis yang diriwayatkan oleh parawi yang adil, kurang sempurna
hafalannya, sanadnya bersambung, tidak terdapat keganjilan.
 Dha’if, ialah hadis yang diriwayatkan parawi yang lemah (tidak adil), terputus
sanadnya, mempunyai cacat atau kehilangan salah satu syarat hadis hasan.

3. Ditinjau dari segi diterima atau ditolak


 Maqbul, ialah hadis yang diterima dan dapat dijadikan hujjah atau atau dalil.
 Mardud, ialah hadis yang ditolak dan tidak boleh dijadikan hujjah atau dalil.

4. Ditinjau dari segi siapa yang berperan terdiri dari


 Marfu, ialah hadis yang disadarkan kepada Nabi
 Mauquf, ialah hadis yang disadarkan kepada para sahabat
 Maqtu, ialah hadis yang disampaikan kepada tabi’in
5. Ditinjau dari segi jumlah orang yang meriwayatkan:
 Mutawatir, ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang banyak yang tidak
terhitung.
 Masyur, ialah hadis yang diriwayatkan orang banyak, tetapi tidak sebanyak derajat
mutawatir.
 Ahad, ialah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang atau lebih tetapi tidak cukup
terdapat padanya sebab-sebab yang menjadikannya ke derajat masyur.

6. Fungsi dan Kedudukan hadis sebagai sumber hukum

 Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ada di al-Quran


 Memberi penjelasan terhadap ayat-ayat al-Quran dalam kaitan ini berfungsi sebagai
penafsir, membatasi atau mengecualikan.
 Menetapkan hukum yang tidak ada penjelasannya yang ada di dalam al-Quran
3. Ijtihad

Kata ijtihad dan jihad mempunyai akar kata yang sama yaitu jahada yang
artinya berusaha sekuat tenaga, bersungguh-sungguh, berusaha keras.. Jihad diartikan
sebagai pengerahan kemampuan maksimal secara fisik sedangkan ijtihad lebih
cenderung pada segi ilimiah.

Secara terminologi ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan secara maksimal


dalam mengungkap kejelasan dan memahami ayat al-Quran dan sunnah.

 Perlunya ijtihad

Ijtihad sebagai sumber hukum ketiga, diakui keberadaannya dalam Islam sebagai hasil
akal pikiran merupakan sumber pengembangan nilai-nilai Islam yang berlandaskan al-
Quran dan sunnah. Perlunya ijtihad disepakati para ulama, karena tak dapat tidak
perkembangan pemikiran manusia yang berkembang sesuai dengantuntutan zaman

 Ruang lingkup ijtihad

Ijtihad diperlukan untuk menetapkan suatu ajaran dalam menghadapi masalah-


masalah dalam masyarakat yang belum pernah terjadi sebelum zaman Nabi
Muhammad Saw. Dan belum ada ketetapan hukumnya seperti masalah inseminasi,
penggantian kelamin, donor mata, dan bayi tabung. Semua hal tersebut memerlukan
ijtihad untuk menetapkan hukumnya.

 Metode-metode ijtihad
 Ijma

Menurut bahasa artinya, menghimpun, berkumpul, dan menyusun. Menurut istilah ,


ijma yaitu kesepakatan pendapat mujtahid pada suatu masa tentang hukum sesuatu.

 Istihsan

Menurut bahasa menganggap baik suatu hal (mengutamakan kebaikan atau keadilan).
Menurut istilah yaitu menjalankan keputusan berdasarkan kebaikan untuk
kepentingan umum.

 Qiyas

Menurut bahasa artinya adalah mengukur atau mempersamakan sesuatu dengan yang
lain. Menurut istilah yaitu mempersamakan suatu kejadian/hukum yang belum ada
nash mengenai hukumnya.

 Mashlahah Mursalah

Secara bahasa bermakna mendatangkan kebaikan bersama. Menurut istilah yaitu


menetapkan hukum hukum berdasarkan suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan
dengan syara.

 Istishab

Yaitu menetapkan hukum sesuatu menurut keadaan sebelumnya, sampai ada dalil
yang mampu mengubahnya.

 Saddudz Dzari’ah

Melarang sesuatu yang mubah dengan maksud untuk menghindarkan kemudaratan


yang mungkin akan timbul.
 Urf, yaitu menetapkan hukum sesuatu berdasarkan adat kebiasaan, selama kebiasaan
itu tidak bertentangan dengan Islam.
 Syarat-syarat mujtahid

Menjadi seorang mujtahid bukanlah perkara yang mudah, ada persyaratan-persyaratan


tertentu yang harus dimiliki dan dikuasai. Berikut ini dikemukakan beberapa syarat
antara lain:

1. Mengatahui dan memahami al-Quran dan hadis dengan baik.


2. Mengatahui bahasa Arab dari segala segi.
3. Mengatahui dan memahami ilmu usul fiqh.
4. Mengatahui dan memahami ilmu nasikh dan mansukh.
5. Mengatahui hukum-hukum yang ditetapkan dengan ijma.
 Kebenaran hasil ijtihad

Ijtihad adalah penggunaan akal pikiran untuk memahami nash yang penunjukan
zanny, serta memecahkan masalah persolan yang tumbuh di masyarakat berdasarkan
prinsip dan nilai Islam. Oleh karena itu hasil ijtihad kebenarannya relatif, karena
mencangkup kemampuan nalar mujtahid.

 Fungsi Hukum Islam Dalam Kehidupan Bermasyarakat

Sebagaimana sudah dikemukakan dalam pembahasan ruang lingkup hukum Islam,


bahwa ruang lingkup hukum Islam sangat luas. Yang diatur dalam hukum Islam
bukan hanya hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antara manusia
dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, manusia
dengan benda, dan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Dalam Al Qur’an
cukup banyak ayat-ayat yang terkait dengan masalah pemenuhan dan perlindungan
terhadap hak asasi manusia serta larangan bagi seorang muslim untuk melakukan
pelanggaran hak asasi manusia. Bagi tiap orang ada kewajiban untuk mentaati hukum
yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits. Peranan hukum Islam dalam kehidupan
bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, tetapi dalam pembahasan ini hanya akan
dikemukakan peranan utamanya saja, yaitu :

 Fungsi Ibadah
Fungsi utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Hukum Islam
adalah ajaran Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan kepatuhannya merupakan
ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan seseorang.
 Fungsi Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Hukum Islam sebagai hukum yang ditunjukkan untuk mengatur hidup dan kehidupan
umat manusia, jelas dalam praktik akan selalu bersentuhan dengan masyarakat.
Sebagai contoh, proses pengharaman riba dan khamar, jelas menunjukkan adanya
keterkaitan penetapan hukum (Allah) dengan subyek dan obyek hukum (perbuatan
mukallaf). Penetap hokum tidak pernah mengubah atau memberikan toleransi dalam
hal proses pengharamannya. Riba atau khamar tidak diharamkan sekaligus, tetapi
secara bertahap. Ketika suatu hukum lahir, yang terpenting adalah bagaimana agar
hokum tersebut dipatuhi dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh. Penetap hukum
sangat mengetahui bahwa cukup riskan kalau riba dan khamar diharamkan sekaligus
bagi masyarakat pecandu riba dan khamar. Berkaca dari episode dari pengharaman
riba dan khamar, akan tampak bahwa hukum Islam berfungsi sebagai salah satu
sarana pengendali sosial. Hukum Islam juga memperhatikan kondisi masyarakat agar
hukum tidak dilecehkan dan tali kendali terlepas. Secara langsung, akibat buruk riba
dan khamar memang hanya menimpa pelakunya. Namun secara tidak langsung,
lingkungannya ikut terancam bahaya tersebut. Oleh karena itu, kita dapat memahami,
fungsi kontrol yang dilakukan lewat tahapan pengharaman riba dan khamar. Fungsi
ini dapat disebut amar ma’ruf nahi munkar. Dari fungsi inilah dapat dicapai tujuan
hukum Islam, yakni mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan kemudharatan,
baik di dunia maupun di akhirat kelak.

 Fungsi Zawajir

Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang disertai dengan
ancaman hokum atau sanksi hukum. Qishash, Diyat, ditetapkan untuk tindak pidana
terhadap jiwa/ badan, hudud untuk tindak pidana tertentu (pencurian , perzinaan,
qadhaf, hirabah, dan riddah), dan ta’zir untuk tindak pidana selain kedua macam
tindak pidana tersebut. Adanya sanksi hukum mencerminkan fungsi hukum Islam
sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari segala bentuk
ancaman serta perbuatan yang membahayakan. Fungsi hukum Islam ini dapat
dinamakan dengan Zawajir.
 Fungsi Tandhim wa Islah al-Ummah

Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur sebaik
mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah masyarakat
yang harmonis, aman, dan sejahtera. Dalam hal-hal tertentu, hukum Islam
menetapkan aturan yang cukup rinci dan mendetail sebagaimana terlihat dalam
hukum yang berkenaan dengan masalah yang lain, yakni masalah muamalah, yang
pada umumnya hukum Islam dalam masalah ini hanya menetapkan aturan pokok dan
nilai-nilai dasarnya.

Perinciannya diserahkan kepada para ahli dan pihak-pihak yang berkompeten pada
bidang masing-masing, dengan tetap memperhatikan dan berpegang teguh pada aturan
pokok dan nilai dasar tersebut. Fungsi ini disebut dengan Tanzim wa ishlah al-
ummah. Ke empat fungsi hukum Islam tersebut tidak dapat dipilah-pilah begitu saja
untuk bidang hukum tertentu, tetapi satu dengan yang lain saling terkait. (Ibrahim
Hosen, 1996 : 90).

 Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan dan Penegakan


Hukum

Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia tampak
jelas setelah Indonesia merdeka. Sebagai hukum yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat, hukum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia yang
mayoritas beragama Islam. Penelitian yang dilakukan secara nasional oleh Universitas
Indonesia dan BPHN (1977/1978) menunjukkan dengan jelas kecenderungan umat
Islam Indonesia untuk kembali ke identitas dirinya sebagai muslim dengan mentaati
dan melaksanakan hukum Islam. Kecenderungan ini setelah tahun enam puluhan
diwujudkan dalam bentuk kewajiban menyelenggarakan Pendidikan Agama Islam di
sekolah-sekolah dibawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(sekarang Departemen Pendidikan Nasional). Realitas kehidupan beragama di
Indonesia lainnya adalah maraknya kehidupan beragama Islam setelah tahun 1966 dan
perkembangan global kebangkitan umat Islam di seluruh dunia. Selain dari itu,
perkembangan hukum Islam di Indonesia ditunjang pola oleh sikap pemerintah
terhadap hukum agama (hukum Islam) yang dipergunakan sebagai sarana atau alat
untuk memperlancar pelaksanaan kebijakan pemerintah, misalnya dalam Program
Keluarga Berencana dan program-program lainnya. Setelah Indonesia merdeka,
muncul pemikir hukum Islam terkemuka di Indonesia, seperti Hazairin dan TM.Hasbi
ash-Shiddieqy, mereka berbicara tentang pengembangan dan pembaharuan hukum
Islam bidang muamalah di Indonesia. Hasbi misalnya menghendaki fiqih Islam
dengan pembentukan fiqih Indonesia (1962), Syafrudin Prawiranegara (1967)
mengemukakan idenya pengembangan sistem ekonomi Islam yang diatur menurut
hukum Islam.

Gagasan ini kemudian melahirkan bank Islam dalam bentuk Bank Muamalat
Indonesia (BMI) tahun 1992 yang beroperasi menurut prinsip-prinsip hokum Islam
dalam pinjam meminjam, jual beli, sewa menyewa dan sebagainya dengan
mengindahkan hukum dan peraturan perbankan yang berlaku di Indonesia.

Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum pada akhir-akhir ini
semakin tampak jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan hukum Islam, seperti Undang-undang Republik
Indonesia Nomor I Tahun 1974 tentang perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 28
tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik , Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Instruksi Presuden Nomor I tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Republik Indonesia Nomor
38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan Undang-undang Republik Indonesia
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji.

Dari pembahasan yang sudah dikemukakan , jelas makin lama makin besar kontribusi
umat Islam di Indonesia dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia.
Adapun upaya yang harus dilakukan untuk menegakkan hukum Islam dalam praktik
bermasyarakat dan bernegara, memang harus melalui proses, yakni proses kultural
dan dakwah. Apabila Islam sudah bermasyarakat, maka sebagai konsekuensinya
hukum harus ditegakkan. Bila perlu, Law Enforcement dalam penegakan hukum
Islam dengan hokum positif, yaitu melalui perjuangan legislasi. Di dalam Negara
yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kebebasan mengeluarkan pendapat
atau kebebasan berfikir wajib ada. Kebebasan mengeluarkan pendapat ini diperlukan
untuk mengembangkan pemikiran hukum Islam yang betul-betul teruji, baik dari segi
pemahaman maupun dari segi pengembangannya. Dalam ajaran Islam ditetapkan
bahwa, umat Islam mempunyai kewajiban untuk mentaati hukum yang ditetapkan
Allah. Masalahnya kemudian, bagaimanakah sesuatu yang wajib menurut hukum
Islam menjadi wajib pula menurut perundang-undangan. Hal ini jelas diperlukan
proses dan waktu untuk merealisasikannya.

Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an
sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya: “Sesungguhnya
mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada
lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya,
hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(75:17 -75:18 ).Dr. Subhi Al Salih
mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut: “Kalam Allah SWT yang merupakan
mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta
diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasukibadah”. Adapun Muhammad
Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut: "Al-Qur'an adalah firman
Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup
para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-
mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca
dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan
ditutup dengan surat An-Nas"Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai
Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW,
tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi
Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula
firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya
tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan, bahwa Al-Qur’an itu mempunyai kriteria-
kriteria, antara lain:

 Al-Qur’an adalah firman Allah atau Kalamullah


 Al-Qur’an adalah mukjizat (sesuatu yang tidak dapat ditandingi)
 Al-Qur’an disampakan kepada Nabi Muhammad Saw. Melalui perantara malaikat
Jibril. Sementara kita menerima Al-Qur’an melalui jalan Mutawatir ( wahyu yang
diterima Nabi Muhammad Saw. Disampaikan dan di ajarkan kepada sahabat-
sahabatnya dan jaminan keaslian isinya)
 Al-Qur’an di awali dengan surah al-Fatihah dan di akhiri dengan surat an-Nas.
 Al-Qur’an diperintahkan untuk di baca (selain diperlajari dan diamalkan) karena,
membaca al-Qur’an merupakan ibadah.
 Fungsi al-Qur’an, antara lain :
 Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk (hudan)
 Al-Qur’an berfungsi sebagai penjelas (tibyan)
 Al-Qur’an berfungsi sebagai pembela (furqon)

Oleh karena al-Qur’an adalah wahyu Allah Swt dan merupakan landasan syari’at
Islam, maka ada beberapa prinsip mendasar dalam menetapkan hukum yang terdapat
dalam al-Qur’an, yaitu:

 Umum

Maksudnya syari’at Islam mencakup segala aspek kehidupan manusia dan berlaku
bagi segenap umat manusia diseluruh penjuru dunia.

 Orisinil dan Abadi

Maksudnya syari’at Islam benar-benar diturunkan oleh Allah Swt dan tidak tercemar
oleh usaha pemalsuan sampai akhir zaman.

 Mudah dan tidak memberatkan

Hal ini sesuai firman Allah dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah: 286, “Allah tidak
membebani seseorang melainkan menurut kemampuannya”.

 Keselarasan dan keseimbangan

“Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan) duniawi”.

 Berproses dan bertahap

Yakni secara beragsur-angsur dan bertahap tidak secara mendadak. Artinya Al-Qur’an
dalam menetapkan hukum melalui proses dan tahapan untuk mempersiapkan manusia
menuju pelaksanaanya sesuai dengan yang diharapkan dari hukum itu.

Ditinjau dari sumber hukum, posisi al-Qur’an adalah sumber hukum utama.
Sebagai landasan hukum, kedudukan al-Qur’an sebagai sumber pertama berarti bahwa
al-Qur’an merupakan sumber dari segala sumber ajaran Islam. Di samping sebagai
sumber hukum, al-Qur’an juga sebagai penegas di bidang aqidah, ibadah dan
memberi motivasi bagi manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi. 2. As-Sunnah atau Al-Hadist Kata sunnah, secara etimologi bermakna
jalan, tata laku, atau cara bertindak. Jadi Sunnah Rasul adalah jalan yang lurus dan
prilaku Nabi sepanjang hidupnya. Oleh karena itu perkataan, perbuatan, dan diamnya
Nabi disebut sunnah rasul. Selain istilah sunnah dikenal juga dengan istilah hadis
yang berarti berita atau catatan tentang suatu perkataan, perbuatan, dan perizinan
Nabi. Sebagian ulama membedakan kalau hadis ialah peristiwa yang disadarkan
kepada Nabi. Walaupun hanya mengerjakannya hanya sekali. Sedangkan sunnah
adalah suatu yang dilakukan Nabi secara terus-menerus.

 Macam-macam sunnah/hadis

1. Ditinjau dari segi bentuknya


 Sunnah Qauliyah, yakni perkataan Nabi yang beliau sampaikan dalam berbagai
kesempatan
 Sunnah Fi’liyah, yakni perbuatan yang dilakukan Nabi
 Sunnah Taqririyah, yakni sikap Rasulullah membiarkan perbuatan sahabat yang
menunjukkan bahwa beliau menyetujui atau mengizinkannya.
2. Ditinjau dari segi kualitasnya
 Shaih, ialah hadis yang diriwayatkan oleh parawi (orang) yang adil, sempurna
hafalannya, sanadnya bersambung sampai kepada Rasul, dan tidak terdapat keganjilan
 Hasan, ialah hadis yang diriwayatkan oleh parawi yang adil, kurang sempurna
hafalannya , sanadnya bersambung, tidak terdapat keganjilan.
 Dha’if, ialah hadis yang diriwayatkan parawi yang lemah (tidak adil), terputus
sanadnya, mempunyai cacat atau kehilangan salah satu syarat hadis hasan.
3. Ditinjau dari segi diterima atau ditolak
 Maqbul, ialah hadis yang diterima dan dapat dijadikan hujjah atau atau dalil.
 Mardud, ialah hadis yang ditolak dan tidak boleh dijadikan hujjah atau dalil.
4. Ditinjau dari segi siapa yang berperan terdiri dari
 Marfu, ialah hadis yang disadarkan kepada Nabi
 Mauquf, ialah hadis yang disadarkan kepada para sahabat
 Maqtu, ialah hadis yang disampaikan kepada tabi’in
5. Ditinjau dari segi jumlah orang yang meriwayatkan
 Mutawatir, ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang banyak yang tidak
terhitung.
 Masyur, ialah hadis yang diriwayatkan orang banyak, tetapi tidak sebanyak derajat
mutawatir.
 Ahad, ialah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang atau lebih tetapi tidak cukup
terdapat padanya sebab-sebab yang menjadikannya ke derajat masyur.
6. Fungsi dan Kedudukan hadis sebagai sumber hukum
 Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ada di al-Quran
 Memberi penjelasan terhadap ayat-ayat al-Quran dalam kaitan ini berfungsi sebagai
penafsir, membatasi atau mengecualikan.
 Menetapkan hukum yang tidak ada penjelasannya yang ada di dalam al-Quran

Anda mungkin juga menyukai