Anda di halaman 1dari 3

PAI di PT memiliki landasan psikologis, sosial-budaya, historis, dan yuridis yang sangat kokoh.

Terutama
secara psikologis, manusia adalah makhluk teogenetis (makhluk ber-Tuhan). Semua manusia tanpa
kecuali membutuhkan Tuhan. Hanya saja penghalang utama kebutuhan ber-Tuhan ini adalah keinginan-
keinginan duniawi. Jika keinginan-keinginan duniawi ini dikurangi, lantas diperbesar keinginan-keinginan
ukhrawi, maka kebutuhan ber-Tuhan akan sangat terasa.

Mata kuliah PAI di PT memiliki landasan psikologis, sosial-budaya, historis, filosofis-ideologis, dan yuridis
formal yang sangat kuat. Landasan psikologis penyelenggaraan PAI di PT adalah bahwa manusia itu
makhluk teogenetis atau teis (bukan ateis) dan butuh kepada Tuhan, terutama ketika dirinya diuji
dengan himpitan hidup yang sangat berat. PAI berperan menyadarkan mahasiswa agar selalu butuh
dengan Tuhan. Terjadinya korversi agama mengindikasikan bahwa manusia selalu kembali kepada
Tuhan dan selalu mencari agama, mazhab, dan ajaran yang benar. PAI berperan menyajikan informasi
yang jelas dan benar tentang agama.

Tidak adanya pembelajaran PAI di PT akan mengakibatkan larinya para mahasiswa kepada organisasi-
organisasi atau kelompok-kelompok 18 keagamaan yang menyuguhkan kebahagiaan semu, yang justru
bertentangan dengan agama, masyarakat, dan pemerintah. Secara filosofis-ideologis dan yuridis formal,
PAI di PT memiliki landasan yang sangat kokoh. Dasar negara dan ideologi bangsa Pancasila, khususnya
sila pertama Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa) memayungi agama dan kehidupan bangsa yang
religius. UU Sistem Pendidikan Nasional (No. 20 Tahun 2003) bab II pasal 3 menegaskan, tujuan
pendidikan untuk berkembangnya potensi peserta didik (termasuk mahasiswa) agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan seterusnya. UU No. 12
Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menegaskan bahwa Pendidikan Agama di PT merupakan mata
kuliah mandiri yang wajib diajarkan pada program Diploma dan Sarjana.

Bagaimanakah PAI diajarkan di PT? Ada dua pandangan, pertama, menekankan pentingnya substansi
materi; dan kedua, menekankan pentingnya proses pembelajaran. Pendapat pertama menyatakan,
pembelajaran PAI di PT perlu kaya dengan substansi. Mahasiswa harus dibekali dengan sebanyak-
banyaknya materi PAI. Dosen PAI harus menyuguhkan materi pembelajaran agama secara luas dan
mendalam. Pendapat kedua menyatakan, pembelajaran PAI di PT perlu kaya dengan proses. Mahasiswa
tidak perlu dibekali materi keagamaan yang banyak. Dosen PAI cukup menyuguhkan substansi materi
yang paling dasar dan inti saja. Adapun pengembangannya diserahkan untuk digali oleh mahasiswa.
Oleh karena itu, yang terpenting bagi dosen PAI adalah memberikan keterampilan kepada mahasiswa
tentang cara-cara atau pendekatan yang paling tepat untuk memahami dan mengimplementasikan
ajaran agama

Jika PAI lebih menekankan kepada pendekatan substansi, maka mahasiswa akan menerima ajaran Islam
secara instan d/;

an relatif lebih aman (karena diajarkan oleh ahlinya), tetapi mahasiswa tidak akan terbiasa menelaah
ajaran Islam secara mandiri. Sebaliknya, jika PAI menekankan kepada proses pembelajaran, mahasiswa
akan terbiasa menggali / mencari sendiri ajaran Islam. Tetapi untuk dapat memahami ajaran Islam
secara benar akan lebih sulit, oleh karena itu tetap memerlukan pendampingan.
Pendapat pertama menyatakan, pembelajaran PAI di PT perlu kaya dengan substansi. Mahasiswa harus
dibekali dengan sebanyak-banyaknya materi PAI. Dosen PAI harus 19 menyuguhkan materi
pembelajaran agama secara luas dan mendalam. Pendapat kedua menyatakan, pembelajaran PAI di PT
perlu kaya dengan proses. Dosen PAI cukup menyuguhkan substansi materi yang paling dasar dan inti
saja. Adapun pengembangannya diserahkan untuk digali oleh mahasiswa. Oleh karena itu, yang
terpenting bagi dosen PAI adalah memberikan keterampilan kepada mahasiswa tentang cara-cara atau
pendekatan yang paling tepat untuk memahami dan mengimplementasikan ajaran agama, sedangkan
mahasiswa secara aktif menggali dan membangun kemungkinan metodologik yang dapat mereka
gunakan agar pemahaman dan pengamalan keislaman mereka semakin baik.

Beberapa landasan perundang-undangan di atas sangat jelas bahwa pendidikan tentang nilai-nilai
agama dan menciptakan budaya agama merupakan hal yang wajib dilaksanakan di semua jenjang dan
jalur pendidikan. Eksistensinya sangat strategis dalam usaha mencapai tujuan pendidikan nasional
secara umum. Kesadaran akan pengamalan nilai-nilai agama dalam suatu pembiasaan justru semakin
dibutuhkan untuk mendorong transformasi pekerjaan yang memperkuat mekanisme respon terhadap
berbagai tantangan yang semakin kompleks. Bahkan beberapa perusahaan yang menjabarkan kesadaran
beragama ini ke dalam praktik-praktik bisnis mereka ternyata menunjukkan kinerja bisnis yang lebih
bagus.

Penanaman nilai-nilai agama agar menjadi sebuah tradisi atau budaya, harus dijadikan salah satu dari
strategi pendekatan dan metode dalam mengelola sekolah. Penanaman nilai-nilai agama sebagai suatu
budaya agama, tidak hanya dipahami sebagai ukuran halal haram, surga dan neraka yang lepas dari
keuniversalan atau pemahaman yang kaffah terhadap agama itu sendiri. Pemahaman yang tidak
universal atau tidak kaffah terhadap agama, dapat mengakibatkan pengelola lembaga pendidikan
kehilangan fungsi dan peran sebagai manajerial edukatif, pada akhirnya akan menjadi distorsi, oleh
karenanya religious culture di lembaga pendidikan, harus menjadi kenyataan, agar semua sadar bahwa
pekerjaannya adalah ibadah”pembudayaan agama tidak bersifat eksklusif, tetapi benar-benar artikulatif,
dengan efek yang muncul sebagai hasil yang sama sekali di luar tujuan yang diekspresikan.

idikan Islam dihadapkan pada persoalan yang cukup dilematis. Masalahnya saat ini pendidikan Islam
masih terus berbenah untuk mengejar berbagai ketertinggalan dan keterkungkungan dalam 40 FORUM
TARBIYAH Vol. 11, No. 1, Juni 2013 rendahnya peradaban. Di lain pihak kemajuan iptek terus berjalan
dengan menghasilkan kemajuan-kemajuan yang dicapainya. Ketika berhadapan dengan ide-ide
modernisasi dan menyebarnya ideologi dunia, terutama didorong oleh kemajuan iptek modern,
pendidikan Islam tidak terlepas dari tantangan yang menuntut jawaban segera. Secara garis besar
tantangan-tantangan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Terdapat kecenderungan perubahan
sistem nilai meninggalkan sistem nilai yang telah ada (agama). Standar-standar kehidupan dilaksanakan
oleh kekuatan-kekuatan yang berpijak pada materialisme dan sekulerisme (Gauhar, 1982: 340). Inilah
yang kemudian menjadi titik sentral problem modernisasi yang menjadi akar timbulnya problem-
problem di semua aspek kehidupan manusia, baik aspek sosial, ekonomi, budaya maupun politik. 2.
Adanya dimensi besar dari kehidupan masyarakat modern yang berupa pemusatan pengetahuan
teoritis. Ini berarti bertambahnya ketergantungan manusia pada ilmu pengetahuan dan informasi
sebagai sumber strategis pembaruan. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan menimbulkan
depersonalisasi dan keterasingan dalam dunia modern. Pemahaman sebagaimana di atas menuntut
kepekaan terhadap gejolak perubahan dengan segala implikasinya serta kemampuan baru untuk
menerjemahkan setiap perubahan ke dalam proses pendidikan.

Dengan cara seperti itu akan membuka kemungkinan untuk melahirkan pribadi-pribadi muslim yang
memiliki kelenturan dalam berpikir, daya intelektual serta keterbukaan dalam menghadapi perubahan
cara hidup.

Pesatnya perkembangan IPTEK di era globalisasi, pendidikan Islam harus bisa menyiapkan generasi
bangsa yang siap bersaing dan memiliki cara berpikir secara komprehensif yang senantiasa dijiwai nilai-
nilai agama yang konsisten (teologishumanistik). Hal ini dalam rangka mengantisipasi pengaruh
perkembangan IPTEK yang berdampak kurang baik terhadap moralitas dan kemunduran peradaban
bangsa.

pertama, anak didik harus diberikan pelajaran Al-Qur’an melalui metodemetode yang memungkinkan
kitab suci bukan hanya dijadikan 39 Ibid., hlm. 110. 36 | sebagai sumber inspirasi moral tetapi juga dapat
dijadikan sebagai rujukan tertinggi untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari
yang semakin kompleks dan menentang. Dalam kaitannya dengan hal ini, Fazlur Rahman menawarkan
metode sistematisnya dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an. Metode itu terdiri dari dua gerakan
ganda yaitu dari situasi sekarang ke masa Al-Qur’an diturunkan dan kembali lagi ke masa kini. Kedua,
memberikan materi disiplin ilmu-ilmu Islam secara historis, kritis dan holistik, yang meliputi: Teologi,
hukum etika, ilmu-ilmu sosial dan filsafat.40

Anda mungkin juga menyukai