3
E Mulyadi, “Strategi Pengembangan Budaya Religius Di Madrasah Sanawiyah Assalafiyah
Sitanggal Larangan Brebes,” 2019, 1–140, http://repository.iainpurwokerto.ac.id/id/eprint/6276.
Dalam pendidikan agama, Mochtar Buchori menekankan
pentingnya pembentukan nilai-nilai moral. Hanya fokus pada aspek
kognitif dari kesadaran nilai-nilai agama akan mengabaikan aspek
afektif dan konatif-volitif, seperti kemauan dan tekad untuk
mengamalkan nilai-nilai agama. Pengajaran agama yang hanya
berorientasi pada aspek kognitif hanya akan mengalihkan pengetahuan
tentang agama. Meskipun ini dapat meningkatkan pengetahuan
seseorang, tidak menjamin bahwa mereka akan hidup sesuai dengan
pengetahuan tersebut. Solusinya adalah mengembangkan nilai-nilai
religius di lembaga pendidikan, dengan peran guru agama yang
optimal. Pembiasaan nilai-nilai religius di sekolah diharapkan dapat
meningkatkan nilai ketauhidan, pengetahuan agama, dan praktek
keagamaan seseorang, sehingga pengetahuan agama tidak hanya
dipahami sebagai pengetahuan semata, tetapi juga dapat diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari, menciptakan keseragaman antara
pengetahuan dan praktek agama yang diperoleh di sekolah.
2. Memahami Peran Guru
Peran dalam konteks ini adalah pola perilaku khusus dari
petugas dalam pekerjaan atau jabatan tertentu. Peran merupakan
bagian dari kepemimpinan utama dan aspek dinamis dari kedudukan.
Perbedaan antara kedudukan dan peran adalah untuk kepentingan ilmu
pengetahuan. Dalam hal ini, peran seorang guru dalam membangun
generasi baru yang berakhlak mulia dan jujur, serta berwibawa untuk
masa depan bangsa dan negara melalui proses pendidikan, tidak
terlepas dari suasana religius yang diciptakan di lembaga pendidikan.
Penciptaan suasana religius di sekolah dimulai dengan mengadakan
kegiatan keagamaan, ketenangan batin, persaudaraan, serta silaturahmi
di antara warga sekolah, yang tidak terlepas dari peran seorang guru
dalam memberikan pencerahan jiwa, pembinaan akhlak mulia, dan
membimbing perilaku yang baik bagi para siswanya.
Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan dalam membangun
lingkungan religius di sekolah meliputi iklim sekolah yang kondusif,
partisipasi para guru, dukungan saran dan fasilitas sekolah, hubungan
antar murid, serta tingkat kesadaran para guru. Kemampuan individu
seperti motivasi, kreativitas, dan kepemimpinan juga berperan dalam
menyampaikan konsep budaya religius kepada siswa. Budaya sekolah
mencakup pengalaman psikologis siswa dalam aspek sosial,
emosional, dan intelektual yang mereka alami di lingkungan sekolah.
Respon psikologis siswa terhadap guru dan staf sekolah, implementasi
kebijakan sekolah, kondisi kantin sekolah, dan penataan lingkungan
sekolah membentuk budaya sekolah. Semua ini mempengaruhi
pemahaman psikologis siswa dan membentuk pola nilai, sikap,
kebiasaan, dan perilaku mereka. Pendidikan agama melibatkan aspek
kognitif, afektif, dan psikomotorik, yang mengajarkan anak-anak untuk
patuh dan taat dalam menjalankan ibadah serta berperilaku sesuai
dengan norma-norma agama.
Keberagamaan dapat diterapkan dalam berbagai aspek
kehidupan manusia, tidak hanya saat beribadah, tetapi juga dalam
aktivitas lain yang dipengaruhi oleh kekuatan supranatural. Aktivitas
tersebut tidak hanya terlihat secara fisik, tetapi juga terjadi di dalam
hati seseorang.
Untuk meningkatkan religiusitas siswa, langkah-langkah dalam
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt diperlukan
dengan dukungan dari keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan
Agama Islam di sekolah bertujuan untuk menumbuhkan keimanan
siswa agar menjadi muslim yang berkembang dalam keimanan,
ketakwaan, kebangsaan, dan siap untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi. Proses internalisasi nilai-nilai agama ini
dapat tercapai melalui pembiasaan yang tepat di sekolah.
3. Pendidikan Agama Menjadi Budaya
Sekolah memiliki peran yang penting dalam pembentukan
karakter anak-anak karena mereka menghabiskan sebagian besar
waktunya di sana. Pendidikan karakter yang efektif di sekolah dapat
membantu menciptakan bangsa Indonesia yang berkarakter. Mata
pelajaran seperti agama, kewarganegaraan, dan pancasila dapat
menjadi sarana untuk menyampaikan pesan-pesan moral kepada siswa.
Ada beberapa alasan mengenai perlunya Pendidikan Agama
Islam dikembangkan menjadi budaya sekolah, yaitu :
a. Orang tua memiliki hak progresif dalam memilih sekolah untuk
anak-anak mereka. Sekolah yang berkualitas semakin dicari,
sementara sekolah yang mutunya rendah akan ditinggalkan.
Fenomena ini terjadi hampir di setiap kota di Indonesia. Di era
globalisasi ini, sekolah-sekolah yang memiliki mutu yang baik dan
memberikan pendidikan agama yang lebih banyak menjadi pilihan
utama bagi orang tua di berbagai kota. Pendidikan keagamaan
tersebut bertujuan untuk melawan pengaruh negatif yang ada di era
globalisasi.
b. Pendidikan di sekolah, baik negeri maupun swasta, sangat
dipengaruhi oleh nilai-nilai, norma perilaku, keyakinan, dan
budaya. Terutama sekolah yang dikelola oleh yayasan Islam.
c. Selama ini, banyak orang menilai prestasi sekolah berdasarkan hal-
hal yang terlihat, dapat diukur, dan dikualifikasi, terutama nilai
UNAS dan kondisi fisik sekolah. Namun, ada dimensi lain yang tak
kalah penting, yaitu dimensi "soft" yang mencakup nilai-nilai,
keyakinan, budaya, dan norma perilaku yang merupakan sisi
manusiawi dari organisasi yang justru memiliki pengaruh besar
terhadap kinerja individu dan organisasi (sekolah), sehingga
menjadi unggul.
d. Budaya sekolah memiliki dampak yang signifikan terhadap prestasi
kerja. Budaya sekolah menjadi faktor kunci dalam menentukan
keberhasilan atau kegagalan sekolah. Jika prestasi kerja didorong
oleh budaya sekolah yang berakar pada ajaran dan nilai-nilai agama
Islam, maka sekolah akan memiliki keunggulan kompetitif dan
komparatif sambil tetap mempertahankan nilai-nilai agama sebagai
landasan budaya bangsa. Para pelaku sekolah, seperti kepala
sekolah, guru, tenaga kependidikan, orang tua murid, dan peserta
didik, yang menerapkan nilai-nilai Ilahiyah, ubudiyah, dan
muamalah, akan mendapatkan pahala berlipat ganda dan
berdampak pada kehidupan mereka di masa depan.
4
Heru Siswanto, “Pentingnya Pengembangan Budaya Religius Di Sekolah,”
Madinah: Jurnal Studi Islam 5, no. 1 (2018): 73–84,
http://ejournal.iai-tabah.ac.id/index.php/madinah/article/view/1422.
tersebut. Hal ini sejalan dengan pandangan Skinner bahwa belajar
adalah proses adaptasi atau penyesuaian perilaku secara progresif.
DAFTAR PUSTAKA