Anda di halaman 1dari 11

A.

Landasan Pengembangan Pembudayaan Agama di Sekolah


a. Landasan Yuridis
Dasar hukum dari penciptaan budaya religius termasuk dalam
landasan keberadaan PAI dalam kurikulum sekolah adalah Undang-
Undang No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab V pasal 12 ayat 1
poin a yang menyatakan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan
pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan
agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. 1
Selain itu, peningkatan iman dan takwa serta akhlak yang mulia juga
diatur dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab
X pasal 36 ayat (3), yang menyatakan bahwa kurikulum disusun sesuai
dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan memperhatikan peningkatan iman dan takwa, serta
peningkatan akhlak mulia.
Pasal 37 ayat 1 juga menyatakan bahwa kurikulum pendidikan
dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama. Selain itu,
dalam PP 19 tahun 2005 pasal 6 ayat 1 dijelaskan bahwa kurikulum
untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah terdiri atas kelompok mata pelajaran
agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan
dan kepribadian, kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan
teknologi, kelompok mata pelajaran estetika, serta kelompok mata
pelajaran jasmani olahraga dan kesehatan.2
Dari penjelasan di atas, terlihat jelas bahwa Pendidikan Agama
Islam (PAI) merupakan salah satu mata pelajaran yang harus diajarkan
di semua tingkatan dan jalur pendidikan, sehingga memiliki peran
penting dalam mencapai tujuan pendidikan nasional secara
keseluruhan. Oleh karena itu, pembentukan budaya religius di
lingkungan sekolah sebagai langkah untuk meningkatkan pembelajaran
Pendidikan Agama Islam harus dilakukan agar nilai-nilai keagamaan
dapat terinternalisasi dalam diri siswa.
b. Landasan Historis
Dasar sejarah ini diambil dari sejarah masuknya PAI ke sekolah,
karena budaya religius adalah pengembangan dan pembelajaran agama
Islam di sekolah. Ketika pemerintah Syahrir menyetujui pendirian
1
Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang sisdiknas
2
Fathurrohman Muhammad, Budaya Religius Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan …
Kementerian Agama pada 3 Januari 1946, elit Muslim menempatkan
agenda pendidikan sebagai agenda utama kementerian agama. Elit
Muslim melaksanakan dua upaya utama, pertama mengembangkan
pendidikan agama (Islam) pada sekolah-sekolah umum yang sejak
proklamasi berada di bawah pembinaan kementerian PPK. Upaya ini
meliputi; (1) memperjuangkan status pendidikan agama di sekolah-
sekolah umum dan pendidikan tinggi; (2) mengembangkan kurikulum
agama: (3) menyiapkan guru-guru agama yang berkualitas; (4)
menyiapkan buku-buku pelajaran agama.
Kedua, peningkatan kualitas atau modernitas lembaga-lembaga
pendidikan yang selama ini telah memberikan perhatian pada
pendidikan agama Islam dan pengetahuan umum modern sekaligus.
Strateginya adalah; (1) memperbaharui kurikulum yang ada dan
memperkuat porsi kurikulum pengajaran umum modern sehingga tidak
terlalu tertinggal dari sekolah-sekolah umum; (2) mengembangkan
kualitas dan kuantitas guru-guru bidang studi umum; (3) menyediakan
fasilitas belajar seperti buku-buku bidang studi umum; dan (4)
mendirikan sekolah-sekolah kementerian agama di berbagai daerah
sebagai contoh.
Dari catatan sejarah di atas, kita dapat memahami bahwa salah
satu perjuangan penting dari kaum muslim elit di Indonesia pada awal
kemerdekaan adalah untuk memperkuat pendidikan agama Islam di
sekolah-sekolah umum hingga perguruan tinggi. Oleh karena itu, di era
globalisasi saat ini, para praktisi pendidikan Islam seharusnya
meningkatkan kualitas pendidikan agama Islam dengan menciptakan
dan mengembangkan budaya keagamaan di sekolah.
c. Landasan Sosiologis
Ada dua tipe masyarakat yang menjadi dasar sosiologis dalam
penciptaan budaya religius. Masyarakat orde moral dan masyarakat
kerabat sentris. Pada masyarakat orde moral, kehidupan komunitas dan
mekanisme masih sangat terikat oleh norma-norma yang berasal dari
tradisi, sehingga banyak pantangan yang dapat menghambat
penciptaan budaya religius. Sedangkan pada masyarakat kerabat
sentris, fokusnya adalah pada kekerabatan dan adat istiadat yang secara
turun temurun diwariskan, namun terkadang adat istiadat tersebut
digantikan dengan yang lebih modern. Dengan demikian, budaya
religius diciptakan di sekolah sebagai pengganti adat istiadat lama
dengan adat istiadat modern.
Selain itu, penciptaan budaya religius di sekolah juga dapat
menyebabkan perubahan sikap sosial pada anak didik. Hal ini
dikarenakan dengan adanya budaya religius di sekolah, nilai-nilai
religius menjadi terinternalisasi dalam diri anak dan mereka berusaha
menerapkannya dengan akhlak yang baik dalam kehidupan sehari-hari,
baik di sekolah maupun di rumah.3
B. Pelaksanaan Pengembangan Pembudayaan Agama di Sekolah
1. Memahami Budaya Religius
Agama merupakan salah satu dari 18 nilai dalam pengembangan
pendidikan budaya dan karakter bangsa yang menjadi pedoman bagi
anak di semua tingkatan pendidikan formal. Nilai agama sangat
penting dalam kehidupan sehari-hari anak-anak, karena dapat
membantu mereka dalam menyaring sikap dan perilaku yang negatif.
Pengembangan budaya agama di madrasah/sekolah berarti
bagaimana mengintegrasikan agama Islam sebagai landasan nilai,
semangat, sikap, dan perilaku bagi semua pihak yang terlibat, termasuk
aktor madrasah, guru, tenaga kependidikan, orang tua murid, dan
peserta didik. Implementasi budaya religius di sekolah didasari oleh
norma agama dan konstitusi, sehingga tidak ada alasan bagi sekolah
untuk menghindari hal tersebut. Oleh karena itu, pendidikan agama
yang membangun budaya religius di berbagai tingkatan pendidikan
seharusnya dilakukan. Dengan menanamkan nilai-nilai budaya religius
pada siswa, iman mereka akan semakin kuat, dan nilai-nilai keislaman
dapat tercermin dalam lingkungan sekolah. Membangun budaya
religius sangat penting dan akan berdampak pada sikap, sifat, dan
tindakan siswa secara tidak langsung.
Pendidikan agama memainkan peran yang sangat penting dalam
membentuk dan mengembangkan kepribadian peserta didik, tidak
hanya di madrasah yang berbasis Islami, tetapi juga di sekolah-sekolah
umum. Melalui pendidikan agama, peserta didik dilatih untuk
menjalankan ibadah yang diajarkan dalam agama, seperti praktik-
praktik agama yang menghubungkan manusia dengan Tuhan. Praktik
ibadah ini akan membantu anak-anak merasa lebih dekat dengan
Tuhan. Semakin sering mereka menjalankan ibadah, semakin kuat
kepercayaan mereka dan semakin dekat hubungan jiwa mereka dengan
Tuhan. Selain praktik ibadah, peserta didik juga harus diajarkan untuk
mengatur perilaku dan bersikap sopan santun terhadap orang tua dan
teman sebaya. Kepercayaan kepada Tuhan tidak akan lengkap jika
peserta didik tidak memahami ajaran-Nya dengan baik. Oleh karena
itu, peserta didik perlu diberitahu tentang perintah dan larangan Tuhan.

3
E Mulyadi, “Strategi Pengembangan Budaya Religius Di Madrasah Sanawiyah Assalafiyah
Sitanggal Larangan Brebes,” 2019, 1–140, http://repository.iainpurwokerto.ac.id/id/eprint/6276.
Dalam pendidikan agama, Mochtar Buchori menekankan
pentingnya pembentukan nilai-nilai moral. Hanya fokus pada aspek
kognitif dari kesadaran nilai-nilai agama akan mengabaikan aspek
afektif dan konatif-volitif, seperti kemauan dan tekad untuk
mengamalkan nilai-nilai agama. Pengajaran agama yang hanya
berorientasi pada aspek kognitif hanya akan mengalihkan pengetahuan
tentang agama. Meskipun ini dapat meningkatkan pengetahuan
seseorang, tidak menjamin bahwa mereka akan hidup sesuai dengan
pengetahuan tersebut. Solusinya adalah mengembangkan nilai-nilai
religius di lembaga pendidikan, dengan peran guru agama yang
optimal. Pembiasaan nilai-nilai religius di sekolah diharapkan dapat
meningkatkan nilai ketauhidan, pengetahuan agama, dan praktek
keagamaan seseorang, sehingga pengetahuan agama tidak hanya
dipahami sebagai pengetahuan semata, tetapi juga dapat diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari, menciptakan keseragaman antara
pengetahuan dan praktek agama yang diperoleh di sekolah.
2. Memahami Peran Guru
Peran dalam konteks ini adalah pola perilaku khusus dari
petugas dalam pekerjaan atau jabatan tertentu. Peran merupakan
bagian dari kepemimpinan utama dan aspek dinamis dari kedudukan.
Perbedaan antara kedudukan dan peran adalah untuk kepentingan ilmu
pengetahuan. Dalam hal ini, peran seorang guru dalam membangun
generasi baru yang berakhlak mulia dan jujur, serta berwibawa untuk
masa depan bangsa dan negara melalui proses pendidikan, tidak
terlepas dari suasana religius yang diciptakan di lembaga pendidikan.
Penciptaan suasana religius di sekolah dimulai dengan mengadakan
kegiatan keagamaan, ketenangan batin, persaudaraan, serta silaturahmi
di antara warga sekolah, yang tidak terlepas dari peran seorang guru
dalam memberikan pencerahan jiwa, pembinaan akhlak mulia, dan
membimbing perilaku yang baik bagi para siswanya.
Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan dalam membangun
lingkungan religius di sekolah meliputi iklim sekolah yang kondusif,
partisipasi para guru, dukungan saran dan fasilitas sekolah, hubungan
antar murid, serta tingkat kesadaran para guru. Kemampuan individu
seperti motivasi, kreativitas, dan kepemimpinan juga berperan dalam
menyampaikan konsep budaya religius kepada siswa. Budaya sekolah
mencakup pengalaman psikologis siswa dalam aspek sosial,
emosional, dan intelektual yang mereka alami di lingkungan sekolah.
Respon psikologis siswa terhadap guru dan staf sekolah, implementasi
kebijakan sekolah, kondisi kantin sekolah, dan penataan lingkungan
sekolah membentuk budaya sekolah. Semua ini mempengaruhi
pemahaman psikologis siswa dan membentuk pola nilai, sikap,
kebiasaan, dan perilaku mereka. Pendidikan agama melibatkan aspek
kognitif, afektif, dan psikomotorik, yang mengajarkan anak-anak untuk
patuh dan taat dalam menjalankan ibadah serta berperilaku sesuai
dengan norma-norma agama.
Keberagamaan dapat diterapkan dalam berbagai aspek
kehidupan manusia, tidak hanya saat beribadah, tetapi juga dalam
aktivitas lain yang dipengaruhi oleh kekuatan supranatural. Aktivitas
tersebut tidak hanya terlihat secara fisik, tetapi juga terjadi di dalam
hati seseorang.
Untuk meningkatkan religiusitas siswa, langkah-langkah dalam
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt diperlukan
dengan dukungan dari keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan
Agama Islam di sekolah bertujuan untuk menumbuhkan keimanan
siswa agar menjadi muslim yang berkembang dalam keimanan,
ketakwaan, kebangsaan, dan siap untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi. Proses internalisasi nilai-nilai agama ini
dapat tercapai melalui pembiasaan yang tepat di sekolah.
3. Pendidikan Agama Menjadi Budaya
Sekolah memiliki peran yang penting dalam pembentukan
karakter anak-anak karena mereka menghabiskan sebagian besar
waktunya di sana. Pendidikan karakter yang efektif di sekolah dapat
membantu menciptakan bangsa Indonesia yang berkarakter. Mata
pelajaran seperti agama, kewarganegaraan, dan pancasila dapat
menjadi sarana untuk menyampaikan pesan-pesan moral kepada siswa.
Ada beberapa alasan mengenai perlunya Pendidikan Agama
Islam dikembangkan menjadi budaya sekolah, yaitu :
a. Orang tua memiliki hak progresif dalam memilih sekolah untuk
anak-anak mereka. Sekolah yang berkualitas semakin dicari,
sementara sekolah yang mutunya rendah akan ditinggalkan.
Fenomena ini terjadi hampir di setiap kota di Indonesia. Di era
globalisasi ini, sekolah-sekolah yang memiliki mutu yang baik dan
memberikan pendidikan agama yang lebih banyak menjadi pilihan
utama bagi orang tua di berbagai kota. Pendidikan keagamaan
tersebut bertujuan untuk melawan pengaruh negatif yang ada di era
globalisasi.
b. Pendidikan di sekolah, baik negeri maupun swasta, sangat
dipengaruhi oleh nilai-nilai, norma perilaku, keyakinan, dan
budaya. Terutama sekolah yang dikelola oleh yayasan Islam.
c. Selama ini, banyak orang menilai prestasi sekolah berdasarkan hal-
hal yang terlihat, dapat diukur, dan dikualifikasi, terutama nilai
UNAS dan kondisi fisik sekolah. Namun, ada dimensi lain yang tak
kalah penting, yaitu dimensi "soft" yang mencakup nilai-nilai,
keyakinan, budaya, dan norma perilaku yang merupakan sisi
manusiawi dari organisasi yang justru memiliki pengaruh besar
terhadap kinerja individu dan organisasi (sekolah), sehingga
menjadi unggul.
d. Budaya sekolah memiliki dampak yang signifikan terhadap prestasi
kerja. Budaya sekolah menjadi faktor kunci dalam menentukan
keberhasilan atau kegagalan sekolah. Jika prestasi kerja didorong
oleh budaya sekolah yang berakar pada ajaran dan nilai-nilai agama
Islam, maka sekolah akan memiliki keunggulan kompetitif dan
komparatif sambil tetap mempertahankan nilai-nilai agama sebagai
landasan budaya bangsa. Para pelaku sekolah, seperti kepala
sekolah, guru, tenaga kependidikan, orang tua murid, dan peserta
didik, yang menerapkan nilai-nilai Ilahiyah, ubudiyah, dan
muamalah, akan mendapatkan pahala berlipat ganda dan
berdampak pada kehidupan mereka di masa depan.

Metode pembiasaan, yang sering disebut sebagai pengkondisian,


adalah cara untuk membentuk perilaku tertentu dengan
mengulanginya secara berulang-ulang. Menurut Gagne, metode ini
disebut metode langsung karena digunakan secara sengaja dan
langsung untuk mengubah perilaku. Metode pembelajaran
conditioning termasuk dalam pendekatan behaviorisme dan
merupakan kelanjutan dari teori belajar koneksionisme. Prinsip belajar
yang dipegang adalah bahwa belajar adalah hasil dari hubungan antara
stimulus dan respons. Dalam teori koneksionisme atau teori stimulus-
respons dijelaskan bahwa belajar adalah modifikasi perilaku
organisme/individu sebagai hasil dari kematangan dan pengalaman.
Kematangan dan pengalaman merupakan hasil dari proses latihan
yang berkelanjutan atau pembiasaan.4

Dalam proses pembiasaan ini, proses belajar terjadi karena


individu yang dikondisikan untuk membiasakan diri melakukan
perilaku tertentu berusaha untuk menyesuaikan diri dengan perilaku

4
Heru Siswanto, “Pentingnya Pengembangan Budaya Religius Di Sekolah,”
Madinah: Jurnal Studi Islam 5, no. 1 (2018): 73–84,
http://ejournal.iai-tabah.ac.id/index.php/madinah/article/view/1422.
tersebut. Hal ini sejalan dengan pandangan Skinner bahwa belajar
adalah proses adaptasi atau penyesuaian perilaku secara progresif.

Secara praktis, metode ini menyarankan agar proses


pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih
langsung atau menggunakan pengalaman tidak langsung. Siswa
diberikan pengalaman langsung dengan membiasakan mereka untuk
bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di
sekolah maupun masyarakat.

Praktek langsung membaca Al-Qur'an, bersalaman dengan guru,


dan melaksanakan shalat berjamaah adalah contoh-contoh pengalaman
langsung yang diberikan. Menurut teori conditioning, perubahan
perilaku yang terjadi akibat pembiasaan dapat dicapai secara optimal
dengan memberikan penguatan. Penguatan adalah segala hal yang
dapat memperkuat timbulnya respons. Dengan adanya penguatan,
respons akan semakin kuat.

Pengembangan budaya religius di sekolah merupakan bagian


dari pembiasaan penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan di
sekolah dan masyarakat. Tujuan dari pembiasaan ini adalah untuk
menanamkan nilai-nilai agama Islam yang telah dipelajari oleh siswa
di sekolah agar dapat diterapkan dalam perilaku sehari-hari. Terdapat
banyak bentuk pengamalan nilai-nilai religius yang dapat dilakukan di
sekolah, seperti saling mengucapkan salam, menjaga hijab antara laki-
laki dan perempuan, berdoa, melaksanakan sholat dhuha dan dhuhur
berjamaah, menutup aurat, menghafal surat-surat pendek, dan lain
sebagainya.

Menurut Muhaimin, strategi pengembangan budaya agama


dalam komunitas madrasah dilakukan melalui tiga tataran, yaitu
tataran nilai yang dianut, tataran praktik keseharian, dan tataran
simbol-simbol budaya. Pada tataran nilai yang dianut, perlu ada
kesepakatan bersama dalam merumuskan nilai-nilai agama yang akan
dikembangkan di sekolah. Hal ini bertujuan untuk membangun
komitmen dan loyalitas bersama antara semua anggota sekolah
terhadap nilai-nilai yang bersifat vertikal (hubungan dengan Allah)
dan horizontal (hubungan antar sesama manusia), serta hubungan
dengan alam sekitar.

Dalam kehidupan sehari-hari, nilai-nilai keagamaan yang telah


disepakati tersebut diwujudkan melalui sikap dan perilaku sehari-hari
oleh semua anggota sekolah. Dalam hal simbol-simbol budaya, perlu
dilakukan pengembangan dengan mengganti simbol-simbol budaya
yang tidak sejalan dengan ajaran dan nilai-nilai agama dengan simbol
budaya yang berlandaskan agama. Perubahan simbol dapat dilakukan
dengan mengubah model berpakaian agar menutup aurat, memajang
karya-karya peserta didik, foto-foto, serta motto yang mengandung
pesan-pesan nilai keagamaan dan lain-lain.

Selanjutnya, Muhaimin menjelaskan bahwa strategi untuk


menanamkan nilai-nilai agama di madrasah dapat dilakukan melalui:
(1) Strategi kekuasaan, yaitu strategi pembudayaan agama di
madrasah dengan menggunakan kekuasaan atau melalui kekuatan
rakyat, di mana peran kepala madrasah dengan segala kekuasaannya
sangat dominan dalam melakukan perubahan; (2) Strategi persuasif,
yang dilakukan melalui pembentukan opini dan pandangan
masyarakat madrasah; dan (3) Strategi normatif re-edukatif. Artinya,
norma-norma yang berlaku di masyarakat diterapkan melalui
pendidikan, dan mengganti paradigma berpikir masyarakat madrasah
yang lama dengan yang baru. Strategi pertama dikembangkan melalui
pendekatan perintah dan larangan, serta pemberian hadiah dan
hukuman. Sedangkan strategi kedua dan ketiga dikembangkan melalui
pembiasaan, keteladanan, dan pendekatan persuasif atau mengajak
warga madrasah dengan cara yang halus, dengan memberikan alasan
dan prospek yang baik yang dapat meyakinkan mereka.

Strategi-strategi tersebut dapat berhasil dengan baik jika ada


kerjasama yang baik antara semua pihak di sekolah, termasuk kepala
sekolah sebagai manajer, guru, karyawan, dan siswa. Dengan
demikian, lingkungan religius dapat lebih mudah tercipta. Nuansa
religius di sekolah akan sulit tercipta jika kewajiban untuk
melaksanakan nilai-nilai agama hanya diberlakukan pada semua
siswa. Hal ini akan berdampak pada pembiasaan siswa, di mana nilai-
nilai religius dijalankan hanya sebagai kewajiban semata, bukan
sebagai proses kesadaran. Akibatnya, nilai-nilai agama yang
seharusnya menjadi pembiasaan di sekolah tidak mampu membentuk
karakter siswa di luar sekolah.

4. Upaya dan Strategi Penerapan Budaya


Mengabaikan pentingnya suasana keagamaan di lingkungan
sekolah dalam penanaman nilai agama pada siswa tidaklah tepat.
Untuk meningkatkan proses penanaman nilai agama Islam pada siswa,
penting untuk menciptakan suasana kehidupan sekolah yang Islami.
Hal ini dapat dilihat melalui kegiatan, sikap, perilaku, kebiasaan,
pemahaman, dan pengajaran yang dilakukan di sekolah.
Budaya sekolah mencakup semua aspek psikologis peserta
didik, baik yang bersifat sosial, emosional, maupun intelektual yang
mereka serap selama berada di lingkungan sekolah. Respon psikologis
sehari-hari peserta didik terhadap hal-hal seperti perilaku guru dan staf
sekolah lainnya, implementasi kebijakan sekolah, kondisi dan layanan
kantin sekolah, serta penataan keindahan, kebersihan, dan kenyamanan
lingkungan sekolah, semuanya berkontribusi dalam membentuk
budaya sekolah. Semua ini akan mempengaruhi pemahaman psikologis
warga sekolah, termasuk peserta didik, yang pada akhirnya
membentuk pola nilai, sikap, kebiasaan, dan perilaku.
Pelaksanaan pengembangan budaya religius di sekolah tidak
akan berhasil tanpa dukungan dan komitmen dari berbagai pihak,
seperti pemerintah (Departemen Agama atau Pemerintah Daerah),
kebijakan kepala sekolah, guru pendidikan agama Islam, guru mata
pelajaran umum, pegawai sekolah, komite sekolah, dukungan siswa
(OSIS), lembaga dan organisasi keagamaan, serta partisipasi
masyarakat luas. Jika semua elemen ini dapat bersama-sama
mendukung dan terlibat dalam pelaksanaan pengamalan budaya agama
di sekolah, maka hal ini akan menjadi kenyataan dan sukses.
Sebagai langkah sistematis dalam menerapkan budaya agama
(Islam) di sekolah, diperlukan fasilitas pendukung untuk pelaksanaan
budaya agama (Islam) di sekolah, seperti: musholla atau masjid,
fasilitas ibadah (seperti tempat wudhu, kamar mandi, sarung, mukena,
mimbar, dll.), alat peraga praktik ibadah, perpustakaan yang memadai,
aula atau ruang pertemuan, ruang kelas yang nyaman dan memadai,
alat seni Islami, ruang multimedia, laboratorium komputer, internet,
dan laboratorium PAI.
Untuk mendorong budaya agama di sekolah, menurut Tafsir, ada
beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh praktisi pendidikan,
seperti: (1) memberikan teladan; (2) membiasakan hal-hal positif; (3)
menegakkan disiplin; (4) memberikan motivasi dan dorongan; (5)
memberikan penghargaan, terutama secara psikologis; (6)
memberlakukan hukuman (mungkin untuk tujuan disiplin); (7)
memperkuat budaya agama yang berdampak pada pertumbuhan anak.
Menurut Muhaimin, dalam pendidikan agama Islam di sekolah,
proses pembelajarannya harus mencakup tiga aspek yang terpadu agar
peserta didik memiliki iman, takwa, dan akhlak mulia. Tiga aspek
tersebut adalah: (1) mengetahui dan memahami ajaran dan nilai-nilai
agama, (2) mempraktikkan ajaran dan nilai-nilai agama, dan (3)
menjalani hidup sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai agama. Proses ini
tidak hanya terjadi di dalam atau di luar kelas selama dua jam
pelajaran per pekannya, tetapi juga melalui pembinaan perilaku dan
mentalitas keagamaan dalam komunitas sekolah, keluarga, dan
lingkungan masyarakat di mana para siswa tinggal dan berinteraksi.
Keberagamaan atau religiusitas seseorang dapat tercermin dalam
berbagai aspek kehidupannya. Aktivitas beragama tidak hanya terbatas
pada ritual ibadah, tetapi juga melibatkan aktivitas yang didorong oleh
kekuatan supranatural. Hal ini melibatkan aktivitas yang terlihat dan
tidak terlihat yang terjadi dalam hati seseorang.
Menurut Nurcholis Madjid, agama tidak hanya terkait dengan
tindakan ritual seperti shalat dan membaca doa. Agama melibatkan
seluruh perilaku manusia yang terpuji, yang dilakukan untuk
mendapatkan ridha atau persetujuan Allah. Agama mencakup seluruh
perilaku manusia dalam kehidupan ini, yang akan membentuk
integritas manusia yang berbudi luhur berdasarkan iman kepada Allah
dan tanggung jawab pribadi di masa depan.
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa pengembangan budaya
religius di sekolah harus didasarkan pada norma agama dan konstitusi
yang kuat. Hal ini bertujuan agar semua lembaga pendidikan memiliki
tujuan yang sama dalam mengembangkan budaya religius di
komunitasnya. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan dan strategi
yang baik untuk mengembangkan budaya religius sambil tetap
memperhatikan pendidikan multikultural.

DAFTAR PUSTAKA

Mulyadi, E. “Strategi Pengembangan Budaya Religius Di Madrasah Sanawiyah


Assalafiyah Sitanggal Larangan Brebes,” 2019, 1–140.
http://repository.iainpurwokerto.ac.id/id/eprint/6276.
Siswanto, Heru. “Pentingnya Pengembangan Budaya Religius Di Sekolah.”
Madinah: Jurnal Studi Islam 5, no. 1 (2018): 73–84. http://ejournal.iai-
tabah.ac.id/index.php/madinah/article/view/1422.
Fathurrohman, Muhammad. Implementasi Manajemen Peningkatan Mutu
Pendidikan Islam; Peningkatan Lembaga Pendidikan Islam Secara Holistik;
Praktik dan Teoritik. Yogyakarta: Teras, 2012.

Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang sisdiknas

Anda mungkin juga menyukai