Anda di halaman 1dari 24

TUGAS MAKALAH

“TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)”

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Pidana Khusus

Dengan Dosen Pengampu Ibuk. Syamsuriyana.SH.,MH

Disusun oleh:

Lestari Aisyah

Novita Sapitri

Nani Sari Yani

HUKUM PIDANA ISLAM (HPI) JINAYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) NATUNA

2021-2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat tuhan yang maha esa karena atas berkat karunianya

makalah yang berjudul “tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga

(KDRT)” dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Tak lupa pula kita panjatkan

shalawat serta salam kepada junjungan kita nabi Muhammad saw yang telah

memebawa kita dari kehidupan yang gelap gulita ke kehidupan yang terang

benderang seperti saat ini.

Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada teman yang

telah memeberi dukungan, serta memberi semangat dalam penyusunan makalah

ini terutama dosen pembimbing yaitu ibuk, SYAMSURIYANA.SH.,MH yang

telah membimbing dalam penyususnan makalah ini

Semoga dengan selesainya makalah ini dapat memepermudah pembaca

untuk memperoleh penambahan pengetahuan dan berharap agar pembaca dapat

mudah memahami materi yang telah kami buat dalam makalah ini.

Ranai, 07 oktober 2021

Kelompok

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................iii

BAB I : PENDAHULUAN..............................................................................1

A. Latar belakang...........................................................................................1

B. Rumusan masalah......................................................................................3

BAB II : PEMBAHASAN................................................................................4

A. Pengertian kekerasan dalam rumah tangga.............................................4

B. Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga......................................5

1. Kekerasan fisik...................................................................................5

2. Kekerasan psikologi/emosional..........................................................6

3. Kekerasan seksual...............................................................................6

4. Ekonomi..............................................................................................7

C. Factor-faktor penyebab terjadinya KDRT...............................................8

1. Factor kekuasaan laki-laki..................................................................8

2. Diskriminasi dan pembatasan dalam hal pekerjaan............................8

3. Beban pengasuhan anak......................................................................8

4. Wanita sebagai anak-anak..................................................................9

5. Orientasi peradilan terhadap laki-laki.................................................9

ii
D. Cara atau bentuk-bentuk penanggulangan KDRT..................................10

BAB III CONTOH KASUS DAN PERLINDUNGAN HUKUM...................13

A. Perlindungan hukum terhadap korban.....................................................13

B. Contoh kasus KDRT...............................................................................17

1. Kronolgis kasus..................................................................................17

2. Penyelesaian.......................................................................................18

BAB IV ANALISIS..........................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan dan

berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan

kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga memerlukan organisasi tersendiri

dan perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting yang memimpin keluarga di

samping beberapa anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga terdiri dari ayah,

ibu, dan anak merupakan sebuah satu kesatuan yang memiliki hubungan yang

sangat baik. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian dalam

hubungan timbal balik antar semua anggota/individu dalam keluarga.

Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa

bahagia yang ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan

kepuasan terhadap keadaan (fisik, mental, emosi, dan sosial) seluruh anggota

keluarga. Keluarga disebut disharmoni apabila terjadi sebaliknya. Ketegangan

maupun konflik antara suami dan istri maupun orang tua dengan anak merupakan

hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak ada rumah

tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam rumah tangga bukanlah

sesuatu yang menakutkan. Hampir semua keluarga pernah mengalaminya. Yang

menjadi berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikan hal

tersebut.

1
Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya masing-

masing. Apabila masalah diselesaikan secara baik dan sehat maka setiap anggota

keluarga akan mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu menyadari dan

mengerti perasaan, kepribadian dan pengendalian emosi tiap anggota keluarga

sehingga terwujudlah kebahagiaan dalam keluarga. Penyelesaian konflik secara

sehat terjadi bila masing-masing anggota keluarga tidak mengedepankan

kepentingan pribadi, mencari akar permasalahan dan membuat solusi yang sama-

sama menguntungkan anggota keluarga melalui komunikasi yang baik dan lancar.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga dalam

tindak pidana khusus, dan Apa saja bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah

tangga?

2. Apakah faktor-faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga, dan

Bagaimana cara penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga seperti yang tertuang dalam Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,

yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,

psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk

melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan

hukum dalam lingkup rumah tangga.

Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan

hukum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang antara lain

menegaskan bahwa:

 Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari

segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-

Undang Republik Indonesia Tahun 1945.

 Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga

merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap

martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.

 Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah

perempuan, hal itu harus mendapatkan perlindungan dari negara dan/atau

masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman

3
kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan

martabat kemanusiaan.

 Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf

b, huruf c, dan huruf d perlu dibentuk undang-undang tentang

penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri sebenarnya merupakan

unsur yang berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab

undang-undang hukum pidana) pasal 356 yang secara garis besar isi pasal yang

berbunyi: “barang siapa yang melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, istri

atau anak diancam hukuman pidana”.

B. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap

istri dalam rumah tangga dibedakan ke dalam 4 (empat) macam:

1. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit

atau luka berat. Perilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain

adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak),

menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan

sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan tampak seperti bilur-bilur, muka lebam,

gigi patah atau bekas luka lainnya.

4
2. Kekerasan psikologis/emosional

Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan

ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,

rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Perilaku

kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan,

komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir

istri dari dunia luar, mengancam atau, menakut-nakuti sebagai sarana

memaksakan kehendak.

3. Kekerasan seksual

Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari

kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera

seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri. Kekerasan seksual

berat, berupa:

 Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ

seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang

menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.

 Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat

korban tidak menghendaki.

 Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan

atau menyakitkan.

 Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan prostitusi

dan atau tujuan tertentu.

5
Terjadinya hubungan seksual di mana pelaku memanfaatkan posisi

ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi. Tindakan seksual dengan

kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka, atau

cedera.

Kekerasan seksual ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti

komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non

verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang

meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan

dan atau menghina korban. Melakukan repetisi kekerasan seksual ringan dapat

dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat.

4. Factor ekonomi

Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,

padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau

perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada

orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri,

bahkan menghabiskan uang istri.

Kekerasan ekonomi berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan

pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:

 Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitasi termasuk pelacuran.

 Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.

 Mengambi harta tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban,

merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.

6
Kekerasan ekonomi ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang

menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak

terpenuhi kebutuhan dasarnya.

C. Faktor-faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga

Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks

struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan

dalam rumah tangga (marital violence) sebagai berikut:

1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki

Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan

wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.

2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi

Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja

mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami

kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.

3. Beban pengasuhan anak

Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai

pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka

suami akan menyalah-kan istri sehingga terjadi kekerasan dalam rumah tangga.

7
4. Wanita sebagai anak-anak

Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum,

mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala

hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan

kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar

menjadi tertib.

5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki

Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami

kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga

penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim

dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami

melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.

D. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Untuk menghindari terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, diperlukan

cara-cara penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga, antara lain:

 Perlunya keimanan yang kuat dan akhlak yang baik dan berpegang teguh

pada agamanya sehingga kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan

dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.

 Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena

di dalam agama itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak,

saudara, dan orang lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling

menghargai setiap pendapat yang ada.

8
 Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta

sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah

rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan di antara kedua

belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam

rumah tangga.

 Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya

antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa

saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita

untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang

timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang

kadang juga berlebih-lebihan.

 Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapa pun keuangan yang ada

dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi

pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam keluarga

dapat diatasi dengan baik.

9
BAB III

CONTOH KASUS DAN PERLINDUNGAN KORBAN

A. Perlindungan bagi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dulu dianggap mitos dan

persoalan pribadi (private), kini menjadi fakta dan realitas dalam kehidupan

rumah tangga. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) maka

persoalan KDRT ini menjadi domain publik. Sebagian besar korban KDRT adalah

kaum perempuan dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru

sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu.

Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah,

perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan

pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini.

Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut

dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal

perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman

terhadap korban serta menindak pelakunya. Undang-undang PKDRT secara

substantif memperluas institusi dan lembaga pemberi perlindungan agar mudah

diakses oleh korban KDRT, yaitu pihak keluarga, advokat, lembaga sosial,

kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya, baik perlindungan sementara

maupun berdasarkan penetapan pengadilan.

10
Peran pihak lainnya lebih bersifat individual. Peran itu diperlukan karena

luasnya ruang dan gerak tindak KDRT, sementara institusi dan lembaga resmi

yang menangani perlindungan korban KDRT sangatlah terbatas. Pihak lainnya itu

adalah setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya tindak

KDRT. Mereka diwajibkan mengupayakan pencegahan, perlindungan,

pertolongan darurat serta membantu pengajuan permohonan penetapan

perlindungan baik langsung maupun melalui institusi dan lembaga resmi yang

ada. Dilihat dari hukum pidana, tindak KDRT ini adalah tindak kekerasan

sebagaimana diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) yakni

tindak pidana penganiayaan, kesusilaan, serta penelantaran orang yang perlu

diberi nafkah dan kehidupan.

Memang, tindak kekerasan yang diatur dalam PKDRT ini mempunyai sifat

khas/spesifik, misalnya peristiwa itu terjadi di dalam rumah tangga, korban dan

pelakunya terikat hubungan kekerasan atau hubungan hukum tertentu lainnya,

serta berpotensi dilakukan secara berulang (pengulangan) dengan penyebab

(causa) yang lebih kompleks dari tindak kekerasan pada umumnya. Itu sebabnya,

tindak kekerasan ini lebih merupakan persoalan sosial yang tidak hanya dilihat.

Dari perspektif hukum. Penyelesaiannya harus dilakukan secara

komprehensif, melalui proses sosial, hukum, psikologi, kesehatan, dan agama,

dengan melibatkan berbagai disiplin, lintas institusi dan lembaga. Yang lebih

penting lagi adalah bagaimana persoalan itu dipahami oleh masyarakat luas

sehingga cita-cita yang hendak dicapai oleh legislator yang terkandung dalam

undang-undang PKDRT dapat terwujud sesuai harapan.

11
Bentuk perlindungan korban KDRT atau bahkan lembaga pemberi

perlindungan itu sendiri belum tentu memahami bagaimana perlindungan itu

didapatkan dan bagaimana diberikan. Bagi korban yang status soseknya lebih

tinggi atau institusi dan lembaga yang tugas dan fungsinya selaku penegak

hukum, tentu persoalan mendapatkan dan atau memberikan perlindungan itu

bukanlah masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu, perlu

mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang cukup serta akreditasi selaku

institusi dan lembaga pemberi perlindungan terhadap korban KDRT.

Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan

paling lama 7 (tujuh) hari, dan dalam waktu 1 x 24 jam sejak memberikan

perlindungan, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan

dari pengadilan. Perlindungan sementara oleh kepolisian ini dapat dilakukan

bekerja sama dengan tenaga kesehatan, sosial, relawan pendamping dan

pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Pelayanan terhadap korban

KDRT ini harus menggunakan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian

dengan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang mudah diakses

oleh korban. Pemerintah dan masyarakat perlu segera membangun rumah aman

(shelter) untuk menampung, melayani dan mengisolasi korban dari pelaku KDRT.

Sejalan dengan itu, kepolisian sesuai tugas dan kewenangannya dapat melakukan

penyelidikan, penangkapan dan penahanan dengan bukti permulaan yang cukup

dan disertai dengan perintah penahanan terhadap pelaku KDRT. Bahkan

kepolisian dapat melakukan penangkapan dan penahanan tanpa surat perintah

12
terhadap pelanggaran perintah perlindungan, artinya surat penangkapan dan

penahanan itu dapat diberikan setelah 1 x 24 jam.

Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum,

melakukan mediasi dan negosiasi di antara pihak termasuk keluarga korban dan

keluarga pelaku (mediasi), dan mendampingi korban di tingkat penyidikan,

penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan (ligitasi), melakukan

koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja

sosial(kerja sama dan kemitraan).

Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk

perintah perlindungan yang diberikan selama 1 (satu) tahun dan dapat

diperpanjang. Pengadilan dapat melakukan penahanan dengan surat perintah

penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 (tiga puluh) hari apabila pelaku

tersebut melakukan pelanggaran atas pernyataan yang ditandatanganinya

mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah perlindungan dari pengadilan.

Pengadilan juga dapat memberikan perlindungan tambahan atas pertimbangan

bahaya yang mungkin timbul terhadap korban. Pelayanan yang harus di lakukan:

 Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya

pemberian sanksi terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai

profesinya wajib memberikan laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan

membuat visum etrepertum atas permintaan penyidik kepolisian atau

membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan

hukum sebagai alat bukti.

13
 Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk

menguatkan dan memberi rasa aman bagi korban, memberikan informasi

mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan, serta

mengantarkan koordinasi dengan institusi dan lembaga terkait.

 Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-

hak korban untuk mendapatkan seorang atau beberapa relawan

pendamping, mendampingi korban memaparkan secara objektif tindak

KDRT yang dialaminya pada tingkat penyidikan, penuntutan dan

pemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan

secara psikologis dan fisik kepada korban.

 Pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan

penjelasan mengenai hak, kewajiban dan memberikan penguatan iman dan

takwa kepada korban.

Bentuk perlindungan dan pelayanan ini masih bersifat normatif, belum

implementasi dan teknis operasional yang mudah dipahami, mampu dijalankan

dan diakses oleh korban KDRT. Adalah tugas pemerintah untuk merumuskan

kembali pola dan strategi pelaksanaan perlindungan dan pelayanan dan

mensosialisasikan kebijakan itu di lapangan. Tanpa upaya sungguh-sungguh dari

pemerintah dan semua pihak, maka akan sangat sulit dan mustahil dapat

mencegah apalagi menghapus tindak KDRT di muka bumi Indonesia ini, karena

berbagai faktor pemicu terjadinya KDRT di negeri ini amatlah subur.

Bahwa anggapan orang terjadinya KDRT merupakan akibat dari suatu sebab

konvensional seperti diharmonisasi dari tekanan sosial ekonomi yang rendah,

14
perangai dan tabiat pelaku yang kasar, serta gagal dalam karier dan pekerjaan

ternyata tidaklah sepenuhnya benar, karena KDRT justru acapkali dilakukan oleh

mereka yang kondisi sosial ekonominya baik, sukses karier dan pekerjaannya,

bahkan berpendidikan tinggi.

B. Contoh Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kasus Ibu Umi Retnowati ini tercatat dilaporkan pada posko bantuan hukum

masyarakat Desa Marga Agung Kecamatan Jati Mulyo Lampung Selatan pada

bulan Oktober 2009, dokumentasi kasus (melalui form p.2 dilakukan oleh Ibu

Sumiyati selaku paralegal Desa Marga Agung).

1. Kronologis kasus

Berdasarkan buku nikah, diketahui bahwa Ibu Umi dan suaminya (Bapak

Imam Wardiyono) menikah pada tanggal 24 Juli 1988. Dari pernikahan ini,

lahirlah 5 orang anak yang semuanya berjenis kelamin laki-laki dengan usia

masing-masing (20 tahun, 18 tahun, 14 tahun, 11 tahun, dan 4 tahun) selain anak-

anak tersebut, Ibu Umi dan suaminya memiliki seorang anak perempuan yang

bernama Siti Munawaroh (usia tidak diketahui). Pada tahun 2005, suami Ibu Umi

menikah lagi dengan anak angkatnya (Siti Munawaroh) secara diam-diam.

Sejak suaminya menikah lagi, Ibu Umi sering mengalami kekerasan fisik

dari suaminya (sering dipukul, dijambak rambutnya bahkan ditendang). Namun

Ibu Umi membiarkan saja perbuatan suaminya dan lebih memilih untuk

memaafkan suaminya tersebut. Puncak kejadiannya terjadi pada tanggal 27

September 2009. Saat itu Ibu Umi dan anaknya mendatangi rumah istri muda

15
suaminya dengan maksud untuk menangkap basah suaminya bersama istri

barunya, sesampainya di sana suami Ibu Umi marah-marah dan mengusir Ibu Umi

dan anaknya.

Dalam perjalanan pulang, di tengah jalan suami Ibu Umi menyerempet

motor yang dikendarai Ibu Umi bersama anaknya. Akibatnya, kaki kanan terluka

dan siku tangan kanan Ibu Umi terkilir. Sedangkan anaknya (Rauf Hanafi)

mengalami luka di bagian kaki kanan dan pinggang sebelah kanan. Setelah

kejadian, Ibu Umi mendatangi Bapak Muhtarom (kepala desa) untuk

berkonsultasi mengenai penyelesaian kasus tersebut. Saat itu kepala desa

menyarankan agar Ibu Umi ke Pengadilan Agama untuk menggugat cerai

suaminya.

2. Penyelesaian

Pada tanggal 28 September 2009, Ibu Umi mendatangi Pengadilan Agama

Kalianda untuk mendaftarkan gugatan cerai. Namun dari pihak Pengadilan Agama

Kalianda disarankan untuk ke Polres Lampung Selatan untuk melaporkan tindak

kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi. Pada jam 10 pada hari yang sama

(tanggal 28 September 2009), Ibu Umi melapor ke Polres Lampung Selatan. Dari

polres disarankan untuk melakukan visum.

Setelah hampir sebulan, kasus KDRT yang dialami oleh Ibu Umi terkesan

tidak ditindak lanjuti dengan serius oleh pihak polres. Hal ini dapat terlihat dari

tidak ditahannya suami Ibu Umi oleh pihak polres tanpa alasan yang jelas.

Sehingga menimbulkan sangkaan kepada pihak polres bahwa kemungkinan besar

16
suami Ibu Umi tidak ditahan karena terkait posisi suami Ibu Umi yang merupakan

tokoh masyarakat dan memiliki keluarga yang memiliki posisi berpengaruh di

masyarakat. Kondisi ini membuat Ibu Umi melaporkan kasusnya dan meminta.

17
BAB IV

ANALISIS

Seharusnya seorang suami dan istri harus banyak bertanya dan belajar,

seperti membaca buku yang memang isi bukunya itu bercerita tentang bagaimana

cara menerapkan sebuah keluarga yang sakinah, mawadah, dan warahmah. Di

dalam sebuah rumah tangga butuh komunikasi yang baik antara suami dan istri,

agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah

rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan di antara kedua belah pihak,

itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.

Seharusnya seorang suami dan istri bisa mengimbangi kebutuhan psikis, di mana

kebutuhan itu sangat mempengaruhi keinginan kedua belah pihak yang

bertentangan.

Seorang suami atau istri harus bisa saling menghargai pendapat

pasangannya masing-masing. Seperti halnya dalam berpacaran. Untuk

mempertahankan sebuah hubungan, butuh rasa saling percaya, pengertian, saling

menghargai dan sebagainya. Begitu juga halnya dalam rumah tangga harus

dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka

mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka

yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang

kadang juga berlebih-lebihan.

18
Tidak sedikit seorang suami yang sifat seperti itu, terkadang suami juga

melarang istrinya untuk beraktivitas di luar rumah. Karena mungkin takut istrinya

diambil orang atau yang lainnya. Jika sudah begitu kegiatan seorang istri jadi

terbatas. Kurang bergaul dan berbaur dengan orang lain. Ini adalah dampak dari

sikap seorang suami yang memiliki sifat cemburu yang terlalu tinggi. Banyak

contoh yang kita lihat dilingkungan kita, kejadian seperti itu. Sifat rasa cemburu

bisa menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga.

Maka dari itu, di dalam sebuah rumah tangga kedua belah pihak harus sama-

sama menjaga agar tidak terjadi konflik yang bisa menimbulkan kekerasan. Tidak

hanya satu pihak yang bisa memicu konflik di dalam rumah tangga, bisa suami

maupun istri. Sebelum kita melihat kesalahan orang lain, marilah kita berkaca

pada diri kita sendiri. Sebenarnya apa yang terjadi pada diri kita, sehingga

menimbulkan perubahan sifat yang terjadi pada pasangan kita masing-masing.

Demikian yang dapat kami jelaskan semoga bermanfaat bagi pembaca dan

dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan-kekurangan, oleh karena itu

kami senantiasa menerima saran dan kritik yang sifatnya membangun.

19
DAFTAR PUSTAKA

Warassih, Esmi. 2010. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang:

Suryandaru Utama.

Fakih, Mansour. 1998. Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif

Gender. Yogyakarta: CIDESINDO.

Hartono, C.F.G. Sunaryati. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum

Nasional. Bandung: Alumni.

Otje, Salman. Anton F. Susanto. 2013. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum.

Bandung: Alumni.

Kekerasan dalam Rumah Tangga – Wikipedia Bahasa Indonesia.

20

Anda mungkin juga menyukai