Anda di halaman 1dari 13

TUGAS

UJIAN AKHIR SEMESTER 2019/2020

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah islam dan ham sebagai tugas akhir
ujian akhir semester 2019/2020 dengan dosen pengampu RENI
TRIANASARI.,SH.

Disusun oleh;
Nama : DEDI SAPUTRA
Nimko : 1215.18.2961
Prodi : HPI
Semester : IV

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) NATUNA


2019/2020
SOAL DAN JAWABAN
UAS
ISLAM DAN HAM

1. PEMBATASAN HAK KEBEBASAN BERAGAMA DALAM MASA

PANDEMIC COVID-19

Hak kebebasan beragama/berkeyakinan adalah salah satu rumpun dalam

hak asasi manusia bersama dengan hak kebebasan berpendapat dan

berekspresi, kebebasan berpikir, sesuai dengan hati nurani. Konstitusi

Indonesia menjaminnya dalam Pasal 29 Ayat 2, Pasal 28 E Ayat 1, dan Pasal

28 I Ayat 1. Untuk memahami hak kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB)

ini, kita dapat merujuk pada konsep hak KBB itu sendiri.

Hak kebebasan beragama/berkeyakinan dibagi dalam dua wilayah

kebebasan internal (forum internum) bisa juga disebut freedom to be dan

kebebasan eksternal (forum externum) atau freedom to act yaitu

mengekpresikan forum internumnya. Dalam forum internum terdapat tiga hak

utama yaitu menganut agama atau keyakinan tertentu berdasarkan pilihannya

sendiri, memiliki atau melakukan penafsiran keagamaan dan hak untuk

berpindah agama. Hak dalam kategori forum internum ini berlaku absolut,

tak dapat dibatasi bahkan pada saat darurat public atau perang sekalipun atau

kerap disebut dengan non-derogable right

Sedangkan dalam forum eksternum terdapat 4 hak diantaranya:


(1) Hak untuk melakukan kegiatan ritual seperti ibadah/ sembahyang atau

upacara keagamaan, baik secara pribadi maupun bersama-sama, baik

secara tertutup maupun terbuka;

(2) Hak untuk merayakan hari besar agama;

(3) Hak untuk menyebarkan ajaran agama; dan

(4) Hak berkomunikasi dengan individu atau kelompok tingkat nasional dan

internasional mengenai hal-hal keagamaan. Hak-hak dalam forum

eksternum dalam kondisi-kondisi tertentu dan untuk tujuan-tujuan yang

spesifik, dapat dibatasi.

Dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik pembatasan hak KBB harus

berdasarkan hukum dan sepanjang diperlukan untuk melindungi:

1) keselamatan masyarakat;
2) ketertiban masyarakat;
3) kesehatan masyarakat;
4) moral masyarakat;
5) hak dan kebebasan mendasar orang lain.

Dengan demikian pada dasarnya hak kebebasan beragama/berkeyakinan di

ranah forum eksternum dapat dibatasi berdasarkan hukum dan sepanjang

diperlukan. Dalam konteks penanganan Covid 19 ini, maka pembatasan forum

eksternum ditujukan untuk melindungi kesehatan masyarakat.


2. KOMNAS HAM

Contoh Kasus Pelanggaran Ham Saat Pandemi Covid 19

Komnas HAM menyatakan bahwa, peristiwa tersebut terkait kekerasan,

pembatasan hak, penahanan sewenang-wenang hingga dugaan kriminalisasi.

Terkait dengan penggunaan kekuatan berlebih oleh oknum anggota Polri,

tindak kekerasan, pembatasan hak dengan ancaman, penahanan yang diduga

sewenang-wenang, dugaan kriminalisasi dan penangkapan terhadap sejumlah

orang saat penerapan PSBB. Peristiwa tersebut antara lain,

1) penggunaan kekerasan saat melakukan pengamanan di Manggarai


Barat, NTT,
2) pembubaran rapat solidaritas korban terdampak Covid-19 WALHI di
Yogyakarta,
3) pendataan aktivis kemanusiaan Jogja. Kemudian,
4) penahanan tiga aktivis Kamisan Malang dengan alasan aksi melawan
kapitalisme, serta dugaan
5) kriminalisasi dan penangkapan terhadap peneliti kebijakan publik
Ravio Patra dengan alasan menyebarkan pesan yang mengajak orang
lain melakukan tindak kekerasan.

Atas temuan tersebut, Komnas HAM meminta Kapolri Jenderal (Pol)

Idham Azis serta anggotanya melindungi hak asasi masyarakat saat bertugas.

Contoh PSBB (pembatasan sosial berskala besar)

Beberapa kegiatan akan dibatasi selama daerah menjalankan PSBB.

Berikut kegiatan yang dibatasi saat PSBB:

1. Sekolah
Selama PSBB, dilarang melaksanakan kegiatan sekolah. Penghentian

proses belajar-mengajar di sekolah dan menggantinya dengan proses

belajar-mengajar di rumah dengan media yang paling efektif.

2. Bekerja di Kantor

Tempat kerja juga diliburkan saat PSBB. Proses bekerja di kantor akan

dibatasi dan diganti dengan proses bekerja di rumah/tempat tinggal atau

work from home, sehingga produktivitas pekerja tetap terjaga. Namun ada

sejumlah tempat kerja yang dikecualikan, dengan tetap memperhatikan

jumlah minimum karyawan. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat

3 yang berbunyi:

"Peliburan sekolah dan tempat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf a dikecualikan bagi kantor atau instansi strategis yang memberikan

pelayanan terkait pertahanan dan keamanan, ketertiban umum, kebutuhan

pangan, bahan bakar minyak dan gas, pelayanan kesehatan, perekonomian,

keuangan, komunikasi, industri, ekspor dan impor, distribusi, logistik, dan

kebutuhan dasar lainnya."

Tempat kerja yang kecualikan di antaranya adalah kepolisian, dan TNI.

Kemudian, terkait dunia usaha, ada 8 sektor yang dikecualikan, yakni sektor

kesehatan, sektor pangan makanan dan minuman, sektor energi seperti air,

gas, listrik, dan pompa bensin, sektor komunikasi, sektor keuangan dan

perbankan serta pasar modal, sektor logistik dan distribusi barang, sektor

kebutuhan keseharian retail seperti warung dan toko kelontong yang


memberikan kebutuhan warga. Terakhir, sektor industri strategis. Selain itu,

kegiatan organisasi sosial yang terkait penanganan COVID-19 juga

diperbolehkan beroperasi. Misalnya pengelola zakat, pengelola bantuan

sosial, dan NGO kesehatan. Diharapkan sektor-sektor ini tetap menjalankan

prosedur penanganan COVID-19 selama menjalankan usahanya.

3. Keagamaan

Selama PSBB, kegiatan keagamaan juga dibatasi. Semua tempat ibadah

akan ditutup untuk umum. Warga diminta melakukan kegiatan keagamaan di

rumah dan dihadiri keluarga terbatas, dengan menjaga jarak setiap orang.

Selain itu, tak boleh lebih dari 20 warga yang diperbolehkan menghadiri

pemakaman orang yang meninggal bukan karena COVID-19.

4. Fasilitas Umum

Dalam Permenkes No 9 Tahun 2020, ada sejumlah fasilitas umum yang

dikecualikan. Pengecualian tersebut dilaksanakan dengan tetap memperhatikan

pembatasan kerumunan orang serta berpedoman pada protokol dan peraturan

perundang-undangan.

a) Berikut yang dikecualikan:Supermarket, minimarket, pasar, toko, atau

tempat penjualan obat-obatan kebutuhan pangan, dan barang peralatan

medis kebutuhan pokok, barang penting, bahan bakar minyak, gas, dan

energi.

b) Fasilitas layanan kesehatan, seperti rumah sakit dan semua instansi medis

terkait, termasuk unit produksi dan distribusi, baik di sektor publik


maupun swasta, seperti apotek, unit transfusi darah, toko obat, toko bahan

kimia dan peralatan medis, laboratorium, klinik, ambulans, dan

laboratorium penelitian farmasi termasuk fasilitas kesehatan untuk hewan

akan tetap berfungsi. Transportasi untuk semua tenaga medis, perawat, staf

medis, layanan dukungan rumah sakit lainnya tetap diizinkan untuk

beroperasi.

c) Hotel, tempat penginapan (homestay), pondokan dan motel, yang

menampung wisatawan dan orang-orang yang terdampak akibat COVID-

19, staf medis dan darurat, awak udara dan laut.

5. Sosial Budaya

Saat PSBB diterapkan, warga juga dilarang melakukan kegiatan sosial dan

budaya yang berpotensi menimbulkan kerumunan. Pembatasan itu berpedoman

pada pandangan lembaga adat resmi yang diakui pemerintah dan peraturan

perundang-undangan.

Pasal 30 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM

Manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang

mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh

ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh

penciptaNya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan

martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya. Hak asasi

manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia,

bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh

siapapun. Bahwa selain hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar

antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara

keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

3. PENCEGAHAN COVID 19 VERSUS HAM


Konvensi internasional mengenai hak-hak sipil dan politik ini secara detail

dan jelas mengatur jenis-jenis non-derogable rights itu: hak untuk hidup, hak

untuk tidak dijadikan budak ataupun diperbudak, tidak boleh ada penyiksaan

atau diperlakukan secara tidak manusiawi, tiap orang harus diakui sebagai

subyek hukum di mana pun ia berada, tidak dibolehkannya menghukum

seseorang dengan hukum berlaku surut, tidak melarang ataupun membatasi

kebebasan berpikir, hati nurani, serta agama.

Lantas ada yang menganggap bahwa non-derogable rights, khususnya

kebebasan beragama, telah dilanggar oleh negara karena rakyat dilarang atau

dibatasi secara ketat untuk berkumpul di masjid, gereja, pura, dan wihara.

Kebijakan pembatasan atau larangan tersebut sama sekali tidak ada kaitannya

dengan kebebasan beragama.

Negara hanya membatasi, atau melarang warga negara untuk sementara

waktu, beribadah di masjid, gereja, pura, dan wihara karena di tempat-tempat

itulah penularan Covid-19 secara masif terjadi dan sangat membahayakan

hidup warga negara juga.


Sanksi, Yang patut kita beri kekhawatiran adalah pemberian sanksi yang

berlebihan terhadap warga negara yang tidak mematuhi PSBB. Sebagaimana

yang kita saksikan melalui layar televisi, ada aparat negara di daerah yang

mengancam warganya yang melanggar PSBB dengan pukulan rotan. Tindakan

berlebihan (excessive) itu bisa jatuh dalam kategori penyiksaan atau

penganiayaan yang dilarang keras oleh konvensi (non-derogable rights).

Ikhtiar untuk menaklukkan virus ini tampaknya seragam secara global:

melakukan pembatasan interaksi sosial. Kebebasan bergerak dan berkumpul

sangat dibatasi. Indonesia menyebut ikhtiar ini dengan terminologi

pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Di tengah ikhtiar kita semua membendung penyebaran virus dan

menghentikan laju angka kematian manusia, tiba-tiba ada saja yang

mempersoalkan ikhtiar kita itu atas nama hak asasi manusia (HAM). Mereka

menganggap bahwa pembatasan bergerak adalah bentuk pelanggaran HAM

karena mengangkangi kebebasan individu untuk leluasa bergerak kian

kemari, dan memereteli kebebasan berkumpul yang dijamin dalam instrumen

hukum HAM.

Pembatasan berkumpul dan bergerak dalam konteks Covid- 19 bukan

hanya tidak melanggar segala ketentuan yuridis yang berkaitan dengan HAM,

melainkan justru mutlak dilakukan oleh negara untuk melindungi warga

negara.
Covid-19 adalah bencana dunia yang nyata-nyata hadir dan mengancam

keselamatan manusia. Dalam konteks ini, Konvensi Internasional tentang

Hak-hak Sipil dan Politik 1966, dengan Indonesia menjadi salah satu negara

penanda tangan konvensi, dengan jelas dan tegas menyatakan pada Pasal 4,

dalam keadaan bencana umum, atau darurat umum yang mengancam

kehidupan bangsa, negara peserta konvensi bisa mengambil kebijakan yang

mengesampingkan kewajiban mereka yang diatur dalam konvensi.

Yang dimaksud dengan kewajiban di sini ialah menjamin dilaksanakan

atau diimplementasikannya hak-hak warga negara. Definisi bencana umum

atau darurat umum harus memenuhi dua unsur utama, yaitu memengaruhi

seluruh penduduk dan mengancam integritas fisik penduduk. Kedua unsur

tersebut telah dipenuhi oleh penyebaran Covid-19.

4. APAKAH LOCK DOWN MERUPAKAN PELANGGARAN HAM UU

NO.6 TAHUN 2018 TENTANG KEKARANTINAAN

Istilah lockdown tidak dikenal di dalam peraturan perundang-undangan di

Indonesia. Namun demikian, penggunaan istilah karantina wilayah dan

pembatasan sosial berskala besar sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor

6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Nomor 6 Tahun 2018).

Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2018, karantina wilayah adalah

pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk

beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi

sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau


kontaminasi. Selain karantina wilayah, istilah pembatasan sosial berskala

besar merupakan pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu

wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian

rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi .

Dalam hal pendapat yang Bpk. Dadan Dania sampaikan, Pemerintah telah

menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat yang ditimbulkan oleh

Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) . Selanjutnya, Pemerintah

mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan

pertimbangan faktor resiko yang ditimbulkan akibat penyebaran COVID-19 .

Terkait dengan penjelasan yang sudah disampaikan tersebut, Tim JDIH

BSSN beranggapan bahwa keputusan pemerintah untuk menerapkan PSBB

dan meminta seluruh masyarakat melakukan pembatasan kegiatan seperti

pembelajaran dirumah, bekerja dirumah, penutupan tempat wisata, telah

didasarkan pd pertimbangan yang matang, baik secara filosofis, sosiologis,

maupun yuridis.

Secara praktek di beberapa negara, pembatasan sosial berskala besar telah

diterapkan dengan berbagai bentuk pengaturan. Pengaturan di masing-masing

negara berbeda-beda dengan kondisi negara dan kesehatan wilayah masing-

masing. Demikian pula dengan Indonesia yang melakukan pembatasan yang

disesuaikan dengan kerangka yuridis yang ada di sini.

Secara yuridis, Pemerintah telah menyusun PP Nomor 21 Tahun 2020

tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan


Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dengan mendasarkan

pada UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan maupun

pengaturan yang lain. Secara yuridis, ketentuan tersebut dapat terlihat dari

beberapa hal:

• ketentuan (UU Nomor 6 Tahun 2018) yang mendelegasikan kewenangan

pelaksanaan karantina kesehatan dilakukan dengan PP.

• (PP Nomor 21 Tahun 2020) disusun dengan dasar hukum yaitu UUD 1945,

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular,

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,

dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan

sebagaimana tercantum dalam konsiderans mengingat (PP Nomor 21 Tahun

2020).

Dengan pembentukan PP PSBB salah satunya didasarkan pada UU

Kekarantinaan Kesehatan maka pendapat Bpk. Dadan Dania sejalan dengan

yang pemerintah laksanakan. UU Kekarantinaan Kesehatan hanya mengatur

ketentuan pokok mengenai karantina secara umum sedangkan

pelaksanaannya secara lebih rinci diatur dalam PP PSBB sesuai dengan

kondisi kesehatan masyarakat/wabah yang sedang dihadapi pada saat ini atau

disesuaikan dengan kasus per kasus.

5. PELANGGARAN HAM MASALAH BARU SELAMA MUSIM COVID

19
Forum Asia untuk Hak Asasi Manusia dan Pembangunan, bersama dengan

35 organisasi masyarakat sipil, sangat prihatin dengan kurangnya penghargaan

atas hak asasi manusia (HAM) saat merespons pandemi COVID-19.

Mereka menyerukan kepada negara-negara anggota ASEAN untuk

menjamin HAM dan martabat manusia, sebagai prinsip inti dalam menangani

pandemi. Khususnya dengan memastikan, setiap tindakan kesehatan

masyarakat diambil sejalan dengan hukum dan standar HAM internasional

yang sejalan dengan akuntabilitas dan transparansi dalam penanganan situasi.

Asia Times melaporkan, sangat mengkhawatirkan melihat banyak negara

anggota ASEAN belum mengadopsi strategi komunikasi yang jelas untuk

memberi tahu publik tentang wabah, selama tiga bulan terakhir. Negara-

negara yang dimaksud termasuk Indonesia, Myanmar, Laos, dan Filipina,

dicurigai telah menunda atau membatasi rilis informasi, untuk menjaga citra

mereka.

Lebih mengkhawatirkan lagi, lanjut Asia Times, belum ada kasus yang

dilaporkan dari Laos dan Myanmar, yang menimbulkan keprihatinan serius

tentang kurangnya pengujian atau pelaporan, dan ketidaksiapan. Karena

beberapa negara termasuk Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina dan

Indonesia telah memperketat kontrol perbatasan dan memberlakukan bentuk-

bentuk penguncian, maka kekhawatiran bahwa negara akan bertindak represif

jadi niscaya. Pemerintah mungkin menggunakan kekuatan yang berlebihan.

Anda mungkin juga menyukai