Anda di halaman 1dari 13

TUGAS

FIQIH MUAMALAH
Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah
Dengan Dosen Pengampu: Dallah,S.E.,M.E

Di susun oleh
Nama : Eva Susanti
Nimko : 1215.20.0075
Semester : III
Prodi : Ekonomi Syariah

EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) NATUNA
2021
BAB I
INTERELASI BISNIS DALAM ISLAM
Kegiatan ekonomi ini sudah ada sejak jaman Rasulullah SAW. Oleh
karena itu banyak pro kontra ekonomi yang dihadapi manusia, maka ahli pikir
mulai memikirkan bagaimana mengubah seni ekonomi menjadi ilmu ekonomi
seperti yang ada sekarang ini (Marimin, Romadhoni, & Fitria, 2015). Ilmu
ekonoomi ini akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban
manusia. Pada masa sekarang ini banyak bermunculan perbankan syariah
dengan banyaknya perkembangan syariah. Ekonomi konvensional memang
masih lebih diatas ekonomi syariah. Para ekonom mempridiksi tahun-tahun
yang akan datang ekonomi syariah akan berkembang lebih pesat dari ekonomi
konvensional (Asmuni & Mujiatun, 2016).

Di Indonesia, pembahasan hukum tentang bisnis Islam, dilakukan oleh


Dewan Syarî’ah Nasional (DSN) yang berada di bawah naungan Mejelis Ulama
Indonesia (MUI). Dalam pedoman rumah tangga Dewan Syarî’ah Nasional–
Majelis Ulama Indonesia, bagian “Menimbang” poin (a) disebutkan bahwa
Dewan Syarî’ah Nasional, disingkat dengan nama DSN, dibentuk oleh Majelis
Ulama Indonesia dengan tugas mengawasi dan mengarahkan lembaga- lembaga
keuangan syarî’ah untuk mendorong penerapan nilai- nilai ajaran Islam dalam
kegiatan perekonomian dan keuangan.26 Jika dilihat dari kedudukan dan status
anggotanya maka Dewan Syarî’ah Nasional hanya membantu pihak terkait,
seperti Departemen Keuangan, Bank Indonesia, dan lain-lain dalam menyusun
peraturan/ketentuan untuk lembaga keuangan syariah,27 bukan untuk
memformalisasikan hukum tersebut. Pada akhirnya, untuk memformalisasikan
hukum bisnis tersebut ke dalam bentuk undang-undang atau peraturan lainnya
maka harus melalui jalur rapat anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR/
Legislatif), melalui kebijakan pemerintah (eksekutif), atau langsung melalui
keputusan Bank Indonesia.

Selanjutnya, untuk memberi kemudahan dalam memahaminya, menurut


penulis, bidang hukum bisnis Islam dilihat dari segi praktis, terdiri dari;
1. Bidang Pertukaran; yakni pertukaran terhadap barang yang sejenis
[seperti pertukaran uang dengan uang atau sharf ] dan yang tidak sejenis
[seperti jual beli atau buyû’ dan sewa menyewa atau ijârah],

2. Bidang Kerja Sama atau asy-Syirkah; yakni ikatan kerja sama antara
orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan,

3. Bidang Pemberian Kepercayaan, yakni;

 wadi’ah; menitipkan suatu harta atau barang pada orang lain yang
dapat dipercaya untuk menjaganya

 ar-rahn; barang jaminan atau agunan,

 al-wakâlah; pemberian kewenangan kepada pihak lain tentang apa


yang harus dilakukannya dan ia [penerima kuasa] secara syar’i menjadi
pengganti pemberi kuasa selama batas waktu yang ditentukan,

 kafâlah; menggabungkan tanggung jawab kepada tanggung jawab yang


lain dalam penagihan, dengan jiwa, utang atau zat benda,

 hiwâlah; pemindahan utang piutang satu pihak kepada pihak yang lain,

 al-‘âriyah; kebolehan memanfaatkan barang orang lain tanpa ganti

rugi.29

Jika dilihat dari segi kelembagaan, maka terdiri dari;

 Perbankan Syarî’ah,

 Asuransi Syarî’ah,

 Reksa Dana Syarî’ah,

 Pasar Modal Syarî’ah, dan jika terjadi permasalahannya maka terdapat


badan yang menyelesaikannya secara syarî’ah, yakni

 Badan Arbitrase Syariat Nasional [BASYARNAS].

Jika dilihat dari segi kepemilikan dan badan hukumnya, dapat berupa;

 bentuk hukum Perseroan Terbatas [PT], dapat berupa Badan Usaha


Milik Negara [BUMN/Persero], Badan Usaha Milik Swasta [BUMS],
dan Badan Usaha Milik Daerah [BUMD].

 Bentuk hukum Perusahaan Negara [BUMN].

 Bentuk hukum Koperasi.

 Bentuk hukum Perseorangan/Individu.

Kehadiran Perbankan syariah menjadi pelengkap sistem perbankan


konvensional yang telah ada sebelumnya, ditandai dengan dikeluarkannya
Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang secara eksplisit
memperbolehkan bank menjalankan usahanya berdasarkan sistem bagi hasil,
walaupun dalam UU ini tidak ada ketegasan pemberlakuan prinsip syariah.
Penggunaan istilah bagi hasil dalam perundang-undangan pada saat itu belum
mencakup secara tepat pengertan perbankan syariah yang memiliki cakupam
lebih luas. Melalui Lembaran Negara Republik Indonesia No. 182 tanggal 10
November 1998 disahkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan yang memuat perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Sofiyanurriyanti, 2017).

Perbedaan mendasar antara perbankan konvensional dan perbankan


syariah yang didasarkan pada bunga dan bagi hasil ternyata tidak cukup
mempertahankan loyalitas nasabah. Ada banyak faktor yang bisa dijadikan
alasan nasabah untuk tetap loyal pada lembaga keuangan. Salah satunya adalah
pelayanan prima (service excellence). Pelayanan ini sangat penting untuk
mempertahankan dan menarik nasabah lebih banyak.

Pertama, perbankan syariah tidak membedakan nasabah dari kelas sosial


seperti kaya atau miskin bahkan terhadap nasabah yang berbeda agama
sekalipun. Perbankan syariah harus memberikan pelayanan yang baik pada
semua nasabah baik muslim maupun non- muslim.

Kedua, penampilan yang sopan. Penampilan juga menjadi faktor penting


bagi kepuasan nasabah. Apalagi perbankan syariah merupakan industri
keuangan yang didasarkan pada prinsip Islam, maka dalam penamapilan juga
harus mencerminkan Islam. Jangan ada anggapan perbankan syariah hanya
menjual label syariah saja sedangkan perilaku atau penampilan karyawannya
tidak sesuai dengan syariah itu sendiri.

Jika dilihat dalam perspektif fiqh mu’amalah, maka akan dikenal lima
kategori hukum (ahkâm al-khamsah), yakni halâl, harâm, mubâh (boleh),
makrûh, dan syubhat. Hukum tersebut diberlakukan pada perbuatan manusia dan
terhadap objek (benda atau jasa) yang terdapat di alam ini, sehingga dalam
perspektif ekonomi syarî’ah terdapat perbuatan dan objek yang terkualifikasi
halâl, harâm, mubâh (boleh), makrûh, dan syubhat untuk dijadi- kan sebagai
objek usaha atau bisnis. Pertimbangan ini belum tampak dalam kehidupan umat
Islam Indonesia, terutama dalam menentukan sasaran usaha atau bisnis yang
masih diwarnai pola pikir “yang penting menguntungkan dan mendatangkan
hasil yang jelas meskipun status hukumnya tidak jelas”.

Mencermati teori tahapan bisnis Islami tersebut, maka secara yuridis


tahapan-tahapan tersebut merupakan sebuah kemutlakan untuk mendapatkan
status sebagai bisnis syarî’ah atau hukum bisnis Islam. Arifin Hamid
menjelaskan tahapan-tahapannya,24 yakni yang pertama adalah seorang
pengusaha sebelum menentu- kan objek, niat harus diluruskan dulu, yaitu
semata-mata limardâtillâh (mengaharapkan rida Allah Swt.), setelah itu
modal dan objek usaha harus sah dan halal, bukan sesuatu yang diharamkan.

Secara garis besar, Lembaga Bisnis yang tergabung dalam Lembaga


Keuangan di Indonesia, dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok besar,
yaitu Lembaga Keuangan Bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank, dan Lembaga
Pembiayaan,31 dan semuanya telah ada bentuk hukumnya, yakni Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian, Keputusan Presiden Nomor 61 tentang Lembaga Pembiayaan,
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian, dan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
BAB II

BISNIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Hukum Bisnis Islam sebagai satu disiplin ilmu hukum didasarkan kepada
sumber hukum yang ada di dalam Islam dan peraturan perudang-undangan yang
memiliki dimensi syariah Islam. Secara umum sumber dari Hukum Bisnis Islam
adalah seluruh syariat Islam yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selain
itu terdapat pula dalil hukum yang merupakan metode ijtihad seperti qiyas, ijma’,
mashlahah, istishab, syar’u man qablana, qaul ash-Shahabah dan ‘Urf.
Sedangkan sumber hukum bisnis Islam dalam legal formal adalah undang-
undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, Peraturan Bank Indonesia,
Peraturan OJK, fatwa dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI) serta peraturan lembaga resmi pemerintah lainnya.

Bisnis merupakan suatu istilah untuk menjelaskan segala aktivitas berbagai


institusi dari yang menghasilkan barang dan jasa yang perlu untuk kehidupan
masyarakat sehari-hari (Manullang, 2002 : 8). Secara umum bisnis diartikan
sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk memperoleh
pendapatan atau penghasilan atau rizki dalam rangka memenuhi kebutuhan dan
keinginan hidupnya dengan cara secara efektif dan efisien. Adapun sektor-
sektor ekonomi bisnis tersebut meliputi sektor pertanian, sektor lainnya.

Adapun dalam Islam bisnis dapat dipahami sebagai serangkaian aktivitas


bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah (kuantitas)
kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam
cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan haram).

Perusahaan-perusahaan besar dunia telah menyadari perlunya prinsip-


prinsip bisnis yang lebih manusiawi seperti yang diajarkan oleh ajaran Islam,
yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, yaitu:

1. Customer Oriented
Dalam bisnis, Rasulullah selalu menerapkan prinsip customer oriented,
yaitu prinsip bisnis yang selalu menjaga kepuasan pelanggan (Afzalur
Rahman, 1996 :19). Untuk melakukan prinsip tersebut Rasulullah menerapkan
kejujuran, keadilan, serta amanah dalam melaksanakan kontrak bisnis. Jika
terjadi perbedaan pandangan maka diselesaikan dengan damai dan adil tanpa
ada unsur-unsur penipuan yang dapat merugikan salah satu pihak.

Dampak dari prinsip yang diterapkan, para pelanggan Rasulullah SAW


tidak pernah merasa dirugikan. Tidak ada keluhan tentang janji-janji yang
diucapkan, karena barang-barang yang disepakati dalam kontrak tidak ada
yang dimanipulasi atau dikurangi.

2. Transparansi
Prinsip kejujuran dan keterbukaan dalam bisnis merupakan kunci
keberhasilan. Apapun bentuknya, kejujuran tetap menjadi prinsip utama
sampai saat ini. Transparansi terhadap kosumen adalah ketika seorang
produsen terbuka mengenai mutu, kuantitas, komposisi, unsur-unsur kimia
dan lain-lain agar tidak membahayakan dan merugikan konsumen.
Prinsip kejujuran dan keterbukaan ini juga berlaku terhadap mitra kerja.
Seorang yang diberi amanat untuk mengerjakan sesuatu harus membeberkan
hasil kerjanya dan tidak menyembunyikannya. Transparansi baik dalam
laporan keuangan, mapuun laporan lain yang relevan.
3. Persaingan yang Sehat
Islam melarang persaingan bebas yang menghalalkan segala cara karena
bertentangan dengan prinsip-prinsip muamalah Islam. Islam memerintahkan
umatnya untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, yang berarti bahwa
persaingan tidak lagi berarti sebagai usaha mematikan pesaing lainnya, tetapi
dilakukan untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi usahanya.
Rasululllah SAW memberikan contoh bagaimana bersaing dengan baik
dengan memberikan pelayanan sebaik-baiknya dan jujur dengan kondisi
barang dagangan serta melarang kolusi dalam persaingan bisnis karena
merupakan perbuatan dosa yang harus dijauhi. Sebagaimana disebutkan dalam
QS. Al Baqarah ayat 188 :
Daya saing harga yang diajarkan oleh Rasullullah yaitu tidak melakukan
kecurangan yang nantinya akan merugikan pihak lain seperti sistem predatory
pricing, serta tidak menjelek-jelekkan barang dagangan pesaing. Pakailah strategi
pemasaran yang sehat seperti dengan mengenali pelanggan, melakukan promosi
dengan cara baik yaitu tidak melakukan kebohongan untuk menarik minat
konsumen, memilih lokasi yang strategis, dan menjalin hubungan baik dengan
pelanggan (Widodo, 2014). Dengan cara-cara ini tiap pelaku bisnis akan mampu
meningkatkan penjualan tanpa harus merugikan pihak lain.

Perkembangan bisnis atau perusahaan, baik sebagai akibat maupun sebagai


salah satu sebab perkembangan politik, ekonomi sosial maupun teknologi serta
aspek lingkungan di sekitarnya, jika selama ia berinteraksi dan menghasilkan
barang dan jasa bagi masyarakat yang membutuhkannya, maka bisnis atau
perusahaan itu harus rnenyadari akan tanggung jawab terhadap lingkungannya,
khususnya tanggung jawab sosial dengan segala aspeknya, Agar suatu perusahaan
atau bisnis dapat mencapai tujuannya secara kontinu dengan dukungan
masyarakat luas, maka manajemen perusahaan hams menjaga efektifitas interaksi
yang berlangsung antara perusahaan dan konsumen dan stakeholdernya dengan
cara-cara yang berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma etika bisnis (Asmawi,
2012).

Pada hakikatnya etika merupakan bagian integral dalam bisnis yang


dijalankan secara professional. Dalarn jangka panjang, suaru bisnis akan tetap
berkesinambungan dan secara terus menerus benarbenar menghasilkan
keunrungan, jika dilakukan atas dasar kepercayaan dan kejujuran
(Sofiyanurriyanti, 2017). Tujuan etika bisnis yaitu, agar semua orang yang terlibat
dalam bisnis Mempunyai kesadaran tentang adanya dimensi etis dalam bisnis itu
sendiri dan agar belajar bagaimana mengadakan pertimbangan yang baik secara
eris maupun ekonomis (Baharun & Niswa, 2019).
BAB III
HUKUM KONTRAK DALAM BISINIS SYARI’AH

Kontrak bisnis merupakan instrumen hukum yang menjadi dasar dalam


penentuan dan pelaksanaan hak serta kewajiban dalam kegiatan bisnis guna
memberikan jaminan kepastian hukum. Kontrak bisnis tidak hanya digunakan
dalam kegiatan bisnis konvensional namun juga telah ditemukan dalam kegiatan
bisnis berbasis prinisip syariah. Bank syariah sebagai salah satu institusi keuangan
syariah juga banyak mengadopsi kontrak ini untuk kegiatan pembiayaan bagi para
nasabahnya. Namun pada prakteknya, perbankan syariah di Indonesia masih
mengacu pada kontrak pembiayaan yang belum sepenuhnya mengadopsi hukum
Islam. Oleh karenanya, penerapan kontrak bisnis dalam pembiayaan bank syariah
masih perlu banyak penyempurnaan sehingga dapat sepenuhnya memenuhi
ketentuan hukum syariah ekonomi Islam.
Sebagaimana diungkapkan oleh Aunur Rohim Faqih, SH, M.Hum dalam
sidang terbuka promosi doktor pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia (FH UII). Dalam sidang terbuka yang digelar di
Kampus UII, Jl. Cik Di Tiro No. 1, Yogyakarta, Jum’at (7/3), promovendus yang
juga dosen FH UII ini mengetengahkan disertasi berjudul “Kontrak Bisnis Syariah
Studi Mengenai Penerapan Prinsip-Prinsip Syariah dalam Pembiayaan pada Bank
Syariah di Indonesia
Akad atau kontrak berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan atau
simpulan baik ikatan yang nampak (hissyy) maupun tidak nampak (ma’nawy).
Kamus al-Mawrid, menterjemahkan al-‘Aqd sebagai contract and agreement atau
kontrak dan perjanjian. Sedangkan akad atau kontrak menurut istilah adalah suatu
kesepakatan atau komitmen bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua
pihak atau lebih yang memiliki implikasi hukum yang mengikat untuk
melaksanakannya.
Hukum kontrak Islam merupakan bentuk tertulis dari ketentuan-ketentuan hukum
Islam dibidang perikatan. Ketentuan- ketentuan ini diatur dalam hukum perikatan Islam
yang mengatur prilaku manusia dalam menjalankan hubungan ekonomi, perdagangan
maupun perbankan.
Asas Perjanjian (Kontrak) Dalam Hukum Islam

1. Asas Ibahah (Mabda’ al- Ibahah)


Asas ibahah adalah asas umum hukum Islam dalam bidang muammalat
secara umum. Asas ini dirumuskan dalam adagium “Pada asasnya segala
sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya.” Asas ini
merupakan kebalikan dari asas yang berlaku bahwa bentuk- bentuk ibadah
yang sah adalah bentuk-bentuk yang disebutkan dalil-dalil syariah, orang
tidak dapat membuat bentuk baru ibadah yang tidak pernah ditentukan oleh
Nabi Saw. Bentuk-bentuk ibadah yang dibuat tanpa pernah diajarkan oleh
Nabi Saw. Itu disebut bid’ah dan tidak sah hukumnya.
Dalam tindakan-tindakan muamalat berlaku asas sebaliknya, yaitu bahwa
segala sesuatu itu sah dilakukan sepanjang tidak ada larangan tegas atau
tindakan itu. Bila dikaitkan dengan tindakan hukum, khusus perjanjian, maka
ini berarti bahwa tindakan hukum dan perjanjian apapun dapat dibuat sejauh
tidak ada larangan khusus mengenai perjanjian.
2. Asas Kebebasan Berakad (Mabda’ Hurriyah at- Ta’aqud)

Hukum Islam mengakui kebebasan berakad, yaitu suatu prinsip hukum


yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa
terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang
Syariah dan memasukkan klausal apa saja ke dalam akad yang dibuatnya itu
sesuai dengan kepentinganya sejauh tidak berakibat makan harta sesama
dengan jalan batil. Namun demikian, di lingkungan mazhab-mazhab yang
berbeda terdapat perbedaan pendapat mengenai luas dan sempitnya kebebasan
tersebut. Nas-nas al- Quran dan Sunnah Nabi Saw.
Adanya asas kebebasan berakad dalam hukum Islam didasarkan kepada
beberapa dalil antara lain adalah:
a. Firman Allah, Wahai orang- orang beriman, penuhilah akad-akad
(perjanjian- perjanjian)” (QS. 5:1)
b. Sabda Nabi Saw. “Orang- orang muslim itu senantiasa serta kepada syarat-
syarat (janji-janji) mereka.”
c. Sabda Nabi Saw., “Barang siapa menjual pohan korma yang sudah
dikawinkan, maka buahnya adalah untuk penjual (tidak ikut terjual). Kecuali
apabila pembeli mensyaratkan lain.”
d. Kaidah hukum Islam, pada asasnya akad itu adalah kesepakatan para pihak
dan akibat hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan asas diri mereka
melalui janji.

3. Asas Konsesualisme (Mabda’ ar-Radha’iyyah)


Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu
perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa
perlu dipenuhinya formalitas- formalitas tertentu. Dalam hukum Islam
pada umumnya perjanjian-perjanjian itu bersifat konsensual.

Para ahli hukum Islam biasanya menyimpulkan asas konsensualisme


dari dalil-dali hukum berikut.

a. Firman Allah, “Wahai orang- orang beriman, janganlah kamu makan harta
sesamamu dengan jalan batil, kecuali (jika makan harta sesamamu
dilakukan) dengan cara tukar- tukar berdasarkan perizinan timbal-balik
(kata sepakat) diantara kamu” (QS. 4: 29).

b. Firman Allah, “Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian


dari mas kawin diatas dasar senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu sebagai suatu yang sedap lagi baik akibatnya” (QS. 4: 4)

4. Asas Janji itu Mengikat


Dalam al-Quran dan Hadis terdapat banyak perintah agar memenuhi
janji. Dalam kaidah usul fikih, “ Perintah itu pada asasnya menunjukkan
wajib”. Ini berarti bahwa janji itu mengikat dan wajib dipenuhi
5. Asas Keseimbangan (Mabda’ at- Tawazun fi al- Mu’ awdhah)
Meskipun secara faktual jarang terjadi keseimbangan antara para pihak
dalam bertransaksi, namun hukum perjanjian Islam tetap menerapkan
keseimbangan dalam memikul risiko. Asas keseimbangan dalam transaksi
(antara apa yang diberikan dengan apa yang diterima) tercermin pada
dibatalkannya suatu akad yang mengalami ketidakseimbangan prestasi yang
mencolok. Asas keseimbangan dalam memikul risiko tercermin dalam
larangan terhadap transaksi riba, dimana dalam konsep riba itu hanya
debitur yang memikul segala risiko atas kerugian usaha, sementara kreditor
bebas sama sekali dan harus mendapat prosentase tertentu sekalipun pada
saat dananya mengalami kembalian negatif.
Syarat sah kontrak
Ada hal penting yang harus diperhatikan oleh para pihak ketika membuat
perancangan kontrak yaitu syarat sahnya perjanjian atau kontrak sebagaimana
telah diatur dalam pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang
pada intinya mengatur tentang:
1. Kesepakatan para pihak
2. Kecakapan para pihak
3. Objek tertentu
4. Sebab yang halal.
Syarat 1 dan 2 disebut syarat subyektif, karena menyangkut subyek
pembuat kontrak. Akibat hukum tidak dipenuhinya syarat subyektif maka
kontrak dapat dibatalkan (vernietigbaar), artinya akan dibatalkan atau tidak,
terserah pihak yang berkepentingan.
Syarat 3 dan 4 disebut syarat obyektif, karena menyangkut obyek kontrak.
Akibat hukum jika tidak dipenuhi syarat obyektif maka kontrak itu batal demi
hukum, artinya kontrak itu sejak semula dianggap tidak pernah ada. Juga
perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum adalah batal demi hukum.
Dalam membuat suatu perjanjian atau kontrak sangat diperlukan
pemahaman akan ketentuan-ketentuan hukum perikatan, selain itu juga
diperlukan keahlian para pihak dalam pembuatan kontrak akan terhindar dari
sengketa atau perselisihan yang sulit untuk diselesaikan. Oleh karena itu
kontrak menjadi sangat penting sebagai pedoman kerja bagi para pihak yang
terkait.
Perbedaan Hukum Kontrak Syari'ah dan Hukum Kontrak Konvensional
Perjanjian dalam hukum Islam dikenal dengan istilah al-'aqd yang berarti
perikatan, permufakatan. Secara terminologi fiqh akad didefinisikan dengan
"Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan
ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan"
Sementara dalam pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa perjanjian adalah
"Suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua
orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal".[19]
Dengan demikian, setelah adanya perjanjian yang menimbulkan perikatan
maka timbulah yang dinamakan kontrak atau disebut perjanjian tertulis sebagai
media atau bukti kedua belah pihak.
Dalam pembutan kontrak syariah sangat diperlukan pemahaman akan
ketentuan-ketentuan hukum terkait dengan syarat dan rukun akad, syarat sah
suatu perjanjian dan prinsip-prinsip atau azas yang harus di terapkan dalam
penyusunan kontrak. Hal tersebut ditujukan untuk menghindari sengketa atau
perselisihan yang sulit untuk diselesaikan di kemudian hari.
Dalam hukum kontrak syari'ah terdapat beberapa asas atau prinsip perjanjian
yang menjadi dasar penegakan dan pelaksanaan suatu kontrak. Asas-asas
perjanjian tersebut terbagi menjadi dua yaitu asas-asas perjanjian yang tidak
berakibat hukum dan sifatnya umum dan asas-asas perjanjian yang berakibat
hukum dan sifatnya khusus.

Anda mungkin juga menyukai