Anda di halaman 1dari 9

LEGISLASI HUKUM EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA

TENTANG GADAI SYARIAH (PERIODE PASCA KEMERDEKAAN)


Reka Sakhinatur Rochma
UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
(Jl. Mayor Sujadi No.46, Kudusan, Plosokandang, Kec. Kedungwaru, Kabupaten
Tulungagung, Jawa Timur 66221)

Abstrak

Perkembangan ekonomi syariah saat ini mengalami peningkatan sifat dan kuantitas
transaksi atau akad dengan sistem syariah, namun belum diatur dengan baik. Oleh
karena itu, dalam menerima, menyelidiki dan mengatur sengketa ekonomi syariah,
sangat diperlukan adanya aturan baku yang dapat dijadikan pedoman bagi para
pihak, khususnya para hakim Inkuisisi. Risalah ini percaya bahwa perjanjian
komitmen Syariah ini harus dibuat. Metode yang digunakan dalam penulisan ini
adalah metode kepustakaan, yang didukung oleh beberapa penelitian yang ada
tentang keterlibatan Syariah. Surat ini memberikan dukungan signifikan dari
hukum politik yang membentuk kewajiban Syariah melalui pengenalan Undang-
Undang Komitmen Syariah. Sifat dan kuantitas transaksi dan akad yang
menggunakan sistem Syariah terus berkembang, namun pemberlakuan UU Bisnis
Syariah tidak diatur dengan baik. Oleh karena itu, perlu dibuat aturan-aturan tetap
yang dapat menjadi pedoman bagi masing-masing pihak, khususnya hakim
Inkuisisi, dalam menerima, menyelidiki, dan menengahi perselisihan yang
berkaitan dengan hukum niaga Syariah. Dalam tulisan ini ini mengkaji apa saja
peraturan yang dalam dalam mengatur pegadaian syariah di Indonesia.

Kata Kunci: Legislasi, Gadai, Syariah


PENDAHULUAN
Tujuan dari disyariatkannya transaksi pegadaian (al-rahn) adalah untukmenolong
orang yang membutuhkan dengan memberikan pinjaman plus adanya jaminan.
Pertanyaaanya Kenapa harus ada jaminan bila seseorang ingin menolong orang lain
karena dikhawatirkan dengan pertolongannya disalahgunakan atau karena kekhawatiran penolong
tidak akan kembali lagi materi yang diberikan sementara. Dalam Islam (ekonomi Islam) bentuk
pertolongan tidak harus berbentuk materi saja namun pemberian kesempatan juga dikatagorikan
kepada pertolongan. Al-rahn adalah satu satu bentuk pertolongan pemberian kesempatan dengan
diberikannya materi berupa hutang dengan adanya jaminan.
Regulasi tentang pegadaian syariah yang masih bernaung pada peraturan pemerintah
Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahan Umum (PERUM) pegadaian. Pertauran ini dari
tema pokoknya saja berorientasi bisnis jadi tidak cocok menggunakan istilah-istilah dalam al-
rahn yang tujuan disyariatkannya al-rahn adalah untuk menolong sesama. Aspek legalitas yang
bernaung pada pegadaian yang bersifat bisnis (mekanisme ekonomi) tentu diberlakukan untuk
kegiatan bisnis pula, padahal dalam Islam disyariatkanya al-rahn bukan untuk kegiatan bisnis
namun sebaliknya yaitu kegiatan sosial atau tolong menolong.
Dalam Islam, pertolongan timbul bukan didorong untuk kegiatan bisnis namun didorong
untuk kegiatan konsumtif (kebutuhan mendesak),1 Karena dalam Islam, kegiatan bisnis atau
investasi ada jalurnya mislanya mudharabah atau musyarakah. Pencatutan nama kegiatan sosial
(tabarru‘) demi kegiatan bisnis adalah perbuatan yang melanggar tujuan (al-maqasid)
disyariatkannya akad akad dalam syariah. Hal ini dilarang karena memanipulasi (gharar) niat
dan tujuan, di samping akan menimbulkan masalah sosial yang dijelaskan nanti.
Pengadaian emas misalnya, yang telah mendapat legalitas fatwa DSN-MUI Nomor
26/DSN-MUI/III/2002, sisi yang tercedrai dari disyartakannya gadai emas akan berakibat
pada kegiatan transaksi ini akan berkutat dikalangan menengah ke atas saja. Karena orang-
orang golongan miskin (al-mahru>m) tidak akan merasakan transkasi ini, karena harus ada jaminan
barang beraharga sebagai simbol orang kaya dan atau harta yang dimiliki untuk membayar fee
(ujrah), sementara orang miskin tidak mempunyai sesuatu untuk dibayarkan. Ini berakibat pula
kepada keterasingan sosial orang- orang miskin dengan orang-orang yang memberi pinjaman
(orang kaya).
Tujuan disyariatkanya al-rahn bisa dilihat dari pertimbangan fatwa DSN- MUI Nomor
25/DSN-MUI/2002 tentang rahn, dimana disebutkan bahwa inti dibutuhkan akad al-rahn adalah
untuk menolong orang (kebutuhan mendesak plus jaminan). Pergeseran tujuan yang semula
untuk menolong sesama laludialihkan menjadi kegiatan bisnis berakibat pada perputaran harta
hanya berkutat di segelintir orang (markantalisme) yang ditentang keras oleh al-Qur’an.3
Penentangan al-Qur’an inidisebabkan karena Kegiatan markantalisme ini bertentangan dengan
disyariatkannya al-rahn. Apalagi transaksi gadai emas, yang mengkhusukan barang mewah
yang hanyadimiliki oleh kalangan kelas tertentu.
Misi pegadaian yaitu mengatasi masalah tanpa masalah, dilihat dalam prakteknya,
dalam pandangan Islam adalah keliru bahkan berdampaknya sebaliknya yaitu
mengatasi masalah dengan menimbulkan masalah baru baik dari sisi hukum, etika,
taupun tahuid. Kenapa demikian? Karena akad ini sebenarnya diperuntukan bukan
untuk bisnis namun untuk tolong-menolong.
METODE

Metode penulisan yang digunakan oleh penulis adalah pustaka (library research).
Riset pustaka memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitian,
membatasi kegiatannya hanya pada bahan-bahan koleksi perpustakaan tanpa melakukan
riset lapangan.1 Dalam hal ini penulis memperoleh sumber literature melalui kepustakaan
seperti buku-buku, jurnal, dan ensiklopedi yang berkaitan dengan tema yang di kaji.
Penelitian ini dioerientasikan membahas tentang urgensi atau pentingnya asas dalam akad
(kontrak) syariah, sehingga penulis mencari dan memperoleh data serta literatur dari
berbagai sumber baik jurnal, buku-buku, kamus dan yang lainnya yang berhubungan
dengan legislasi tentang gadai syariah di Indonesia.

HASIL

Pada dasarnya, sistem perekonomian pada periode 1945-1952 masih merupakan


ekonomi dualistik; antara Indonesia dan warisan kolonial namun didominasi oleh
ekonomi penjajah, yaitu ekonomi yang bertumpu pada sektor perkebunan yang berpusat
di Jawa dan Sumatera. Kabinet pertama setelah pengakuan kemerdekaan dipimpin oleh
Perdana Menteri (Moh. Hatta) lebih banyak mengkonsentrasikan programnya untuk
mengubah ekonomi Belanda menjadi ekonomi Indonesia. Karakter ekonomi pada periode
ini dapat juga disebut sebagai ekonomi perang yang menyerupaiekonomi depresi. Oleh
sebab itu, agenda nasionalisasi menjadi langkah utama mengubah corak “liberalisasi”
yang merupakan warisan pemerintah Hindia-Belanda. Tujuannya agar Indonesia
memiliki kedaulatan secara ekonomi, sehingga bisa menata aspek lain dengan baik ke
depannya.

Sebagaimana dijelaskan oleh Dahlan Siamat, setelah Indonesia merdeka, status


pegadaian diubah menjadi Perusahaan Negara Pegadaian, berdasarkan UU No. 19 Prp.
1960jo. PP RI No. 178 1961 tanggal 3 Mei 1961 tentang pendirian PN Pegadaian. Status
badan hukum pegadaian ini, kembali diubah menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan)
melalui PP RINo. 7 tahun 1969 tanggal 11 Maret 1969.

UU No. 9 tahun 1969 tanggal 1 Agustus 1969yang menjelaskan bentuk- bentuk


badan usaha negara dalam Perjan, Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Perseroan

1
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004),hal. 1-2.
(Perseroan).Perubahan bentuk badan hukum pegadaian dapat dipahami sebagai upaya
untuk meningkatkan produktifitas dan efisiensinya. Hal ini disebabkan oleh latar historis
bahwa keberadaan pegadaian dimaksudkan untuk: 1)mencegah ijon, rentenir, dan
pinjaman tidak wajar lainnya; meningkatkan kesejahteraanrakyat kecil; 3) mendukung
program pemer- intah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional. Oleh sebab itu,
badan hukum pegadaian kembali dipekuat dengan diubah menjadi Perusahaan Umum
(Perum) berdasarkan PP No. 10 tahun 1990 tanggal 10 April 1990 yang kemudian diubah
dengan PP No. 103 ta-hun 2000 tentang Perusahaan Umum (Perum)Pegadaian. Pada
pasal 6 dan 7 PP No. 103 tahun 2000 tersebut disebutkan bahwa “sifat usaha dari
perusahaan adalah menyediakankemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan
berdasarkan prinsip pengurusan perusahan. (Pasal 6)” Adapun maksud dan tu-juannya
adalah (Pasal 7):
a. Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengahke bawah
melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai, dan jasa di bidang keuangan lainnya
berdasarkan ketentuanperaturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, praktik riba, dan pinjaman tidak wajar
lainnya.
Semakin kuatnya status hukum lembaga pegadaian dan dengan semakin
berkembangnya lembaga keuangan syari’ah, maka PerumPegadaian membuka unit usaha
syari’ah berupa Pegadaian Syari’ah. Pada awalnya, model gadai syari’ah ini dilaksanakan
melalui kerjasama antara Bank Muamalat Indonesia dengan Perum Pegadaian, sehingga
melahirkan Unit Layanan Gadai Syari’ah pada Mei 2002. Sebelumnya, jasa layanan gadai
syari’ah juga dibukan oleh Bank Syari’ah Mandiri dengan produk Gadai Emas BSM pada
tanggal 1 November 2001. Adapun landasan hukum operasional gadai syari’ah ini
mengacu pada Fatwa DSN No. 25 tahun 2002 tentang rahn, dan Fatwa DSN No. 26 tahun
2002tentang gadai emas.
Pada 13 Desember 2011 Pemerintah mengeluarkan PP nomor 51 tahun 2011 yang
menandakan perubahan status badan hu-kum Pegadaian menjadi Perusahaan Persero
(Persero). Berdasarkan Akta Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pegadaian atau
disingkat PT Pegadaian (Persero) nomor 1 tanggal 1 April 2012 yang dibuat di hada- pan
Notaris Nanda Fauziwan, SH, M.Kn yang berkedudukan di Jakarta, dan kemudian disah-
kan berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor AHU-17525.AH.01.01 tahun 2014 tanggal 4 April 2012 tentang Pengesahan
Badan Hukum Perseroan, telah disahkan Badan Hukum Perusahaan Perseroan (Persero)
PT Pegadaian (Persero). Terjadi perubahan Ang-garan Dasar dengan Akta No. 05 tanggal
15 agustus 2012, yang dibuat dihadapan Notaris Nanda Fauziwan, SH, M.Kn yang
berkedudukan di Jakarta Selatan dan diterima pemberitahuannya oleh Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia berdasarkan Surat AHU-AH.01.10-32516
tahun 2012 tanggal 06 September 2012.
Sekalipun telah ditetapkan sebagai Perusahaan Perseroan, layanan gadai syari’ah
masih tetap berada dalam atap PT. Pegadaian. Itu artinya bahwa layanan gadai syari’ah
hanya menjadi bagian dari produk yang disediakan PT. Pegadaian dalam rangka
menjawab kebutuhan masyarakat terhadap sistem keuangan syari’ah, khususnya di
lembaga pegadaian.
Pelegalan merupakan salah satu aspek penting dalam upaya penerapan pegadaian
yang berbasis syariah. Atas dasar itulah terhadap beberapa landasan operasional
pegadaian syariah di Indonesia, diantaranya diambil dari Al-Quran, Hadis, Regulasi,
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN- MUI), dan Kaidah Fiqh,
adapun pemaparan singkat sebagai berikut:
1. Al-Quran2
Q.S. Al-Baqarah: 283
َ َْ ً ْ ُ ُ ْ َ ْ َ ٌ َ ْ ٰ َ ً َ ُ َ َ َ ٰ َ ُْ ُ ْ
‫۞ َواِ ن كنت ْم على َسف ٍر َّول ْم ِتجد ْوا كا ِتبا ف ِره ٌن َّمق ُب ْوضةۗف ِان ا ِم َن َبعضك ْم َبعضا فل ُيؤ ِد‬
ٰ ْ ْ َ ْ َ َّ
ُ ‫الش َه َاد َة َو َم ْن َّيك ُت ْم َها َفاَّن ٗ ٓٗه اث ٌم َق ْل ُب ٗهۗ َوا ه‬
‫ّٰلل‬
َّ
‫وا‬‫م‬ َ ‫اؤ ُتم َن ا َم َان َت ٗه َول َيَّتق ه‬
ُ ‫اّٰلل َرَّب ٗهۗ َولا َتك ُت‬ ْ
‫ى‬ ‫ذ‬
ِ ِ ۗ ِ ِ ِ ‫ال‬
َ َ ُ َْ َ
٢٨٣ ࣖ ‫ِبما تع َمل ْون ع ِل ْي ٌم‬
Artinya: ”Jika kamu dalam perjalanan, sedangkan kamu tidak mendapatkan seorang
pencatat, hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Akan tetapi, jika sebagian
kamu memercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya.
Janganlah kamu menyembunyikan kesaksian karena siapa yang
menyembunyikannya, sesungguhnya hatinya berdosa. Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan”.
2. Hadis
Artinya: Sesungguhnya Nabi saw, pernah mengagunkan baju besinya di Madinah
kepada orang Yahudi, sementara Beliau mengambil gandum dari orang tersebut
untuk memenuhi kebutuhan keluarga Beliau. (HR Bukhari)

3. Peraturan Perundang-Undangan

2
Al Qur’an Word, Terjemah Kemenag 2019
a. UU No.10 Tahun 1998 tentang perbankan
b. UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
c. POJK Nomor 31/POJK.05/2016

4. Fatwa Majelis Ulama Indonesia


a. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-MUI/2002
b. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 26/DSN-MUI/III/2002tentang Rahn
Emas
c. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 68/DSN-MUI/III/2008tentang Rahn
Tasjily
5. Kaidah Fikih
Artinya: Pada dasarnya segala bentuk Mumalat boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang melarang.

Fatwa DSN-MUI No. 25/DSN- MUI/III/2002 tentang Rahn masih bersifat umum untuk
barang-barang yang digadaikan maka untuk memperjelas posisi barang berharga yaitu emas maka
keluar fatwa DSN-MUI No. 26/DSN-MUI/2002 tentang Rahn Emas. Urgennya fatwa Rahn emas
ini karena pada dasarnya emas tidak bisa digadaikan. Emas adalah barang yang berharga dimana
dahulu emas adalah sebagai alat tukar yaitu dinar, sehingga untuk menghindari kesalahpahaman
dari uang menjadi barang jaminan (marhun) maka keluar Fatwa ini. Di samping itu pula emas
sebenarnya tidak begitu membutuhkan biaya pemelihraan. Sementara keluarnya Fatwa DSN-MUI
No. 68/DSN-MUI/III/2008 tentang rahn tasjily (fidusia) Adalah dimana pihak rahin masih
menguasai dan memanfaatkan barang jaminan yang dikuasasi oleh pihak murtahin hanyalah
dokumennya saja. Namun pihak murtahin bisa mengeksekusi kapan saja bila adanya wanprestasi
dari pihak rahin.
Semua fatwa yang terkait dengan pegadaian baik fatwa No. 25, no. 26, dan
No. 68. Yang dipraktekan oleh lembaga keuangan atau lembaga keuangan lainnya Tidak
mencerminkan dari tujuan awal dari disyraiatkannya transkasi al-rahn yaitu sebagai
trnasaksi yang mengedepankan sikap pertolongan dan empaty antar manusia. Sehingga
penerapan ranskasi al-rahn yang dipraktekan oleh lembaga keuangan hanya mengedapkan
sikap komersil saja dengan hutang piutang, sehingga lagi-lagi penyimpanagan tujuan ini
mengakibatkan kesenjangan sosial dan ekonomi.
Menurut Kazarian, ada dua tujuan perbankan syariah yaitu tujuan dasar dan tujuan
utama, tujuan dasar menurutnya adalah menyediakan fasilitas keuangan dengan cara
mengupayakan intrumen- instrumen keuangan sesuai dengan ketentuan dan norma-
norma syariah. Tujuan Kedua adalah berpartisipasi dalam proses pembangunan dan
pengembangan sosio-ekonomi di negara muslim, dengan kata lain perbankan syariah
bukan saja memaksimalkan dalam keuntungannya semata, tetapi lebih dari itu harus
memberikan keuntungan sosio-ekonomi bagi semua orang terutama bagi orang- orang
muslim.3
Menurut Chapra, perbankan syariah bagaimanapun jangan menciptakan
ketimpangan pendapatan dan kekeyaaan dalam suatu masyarakat, namun harus ada usaha
sungguh-sungguh untuk memastikan tidak ada konsentarsi kekayaan di segelintir orang
saja.18Kalau tidak ada usaha ke arah sana, maka tidak salah kalau ada sebagian ahli
mengatakan lembaga keuangan syariah dan lembaga keuangan konvensional sama saja,
yaitu peranannya semata-mata komersial yang mendasarkan pada intrumen-intrumen
yang menghasilkan finansial.4
Dalam lembaga keuangan Islam, sumber dana, alokasi investasi, dan jasa- jasa
lembaga keuangan harus sesuai dengan nilai-nilai Islam atau prinsip- prinsip syariah.
Sesuai prinsip syariah bukan saja berorientasi pada hukum atau etika. Perbankan
syariah tidak semata- mata mencari keuntungan saja dalam opersionalnya tetapi harus
mengandung nilai-nilai sosial kemasyarakatan dan nilai spiritualisme yang ingin digapai.5
Menurut Jhon Rawls, Untuk menciptakan keadilan di masyarakat baik dalam
ekonomi, sosial dan politik bahkan berbuat kebaikan dalam setiap aspek, harus
dilembagakan semacam lembaga sosial atau lembaga komersil semacam lembaga
keuangan tidak melulu berorientasi kepada keuntungan semata, ini bisa dimbangi
dengan transaksi- transaksi non-profit (sosial) sebagaimana tujuan awal dari syariah dan
perintah al- Qur’an.6 Menurutnya karena menciptakan keadilan sosial ekonomi itu adalah
mendistribusikan nilai-nilai sosial dan ekonomi melalui prosedur yang adil, karenanya
adanya keadilan itu tidak timbul dengan sendirinya namun harus ada struktur dan
prosedur.
Biasanya ketidakadilan timbul karena ada dominasi dari satu pihak pada pihak

3
Kazarian, Islamic Versus Traditional Banking, Financial Innovation in Egypt (Boulder, Westview, 1993),
4
Ibid,.. 55
5
Mustafa Edwin Nasution, “Islamic Spirit And Morale In Economic”, Journal Of International Developmnet and
Coorperation, Vol. 15, no 1-2, 2009, 118-120
6
Jhon Rawl, Justice As Fairnes: Political Not Metafisical” (New York, Routledge, 1997), 216-7
yang lain dalam mendistribusikan nilai-nilai tersebut. Oleh karena itu diperlukan aturan-
aturan tentang bagaimana mewujudkan keadilan sosial dan ekonomi di masyarakat.
Diharapkan dengan adanya aturan tersebut nilai-nilai keadilan sosial dalam masyarakat
dapat dilaksanakan dengan adil. Sebab kalau keadilan dan kebajikan hanya bentuk
himbauan tanpa adanya daya paksa (law Inforcment) dari pemerintah, keadilan dan
kebaikan susah terwujud, dia hanya ada dalam teroi dan angan-angan saja.
Cita-cita sosial Islam atau kesejateraan sosial tidak tewujud kecuali ditegakkan
melalui keinginan hati masyarakat yang kuat dan keinginan politik negara atau
pemerintah yang dijewantahkan melalui undang-undang. Dan tidak lain pijakannya adalah
syara’ atau syariat Islam.
Sistem hukum ini perlu dibuat sesuai dengan naluri manusia yang cenderung
pula untuk mensejahterakan sosial, sebagaimana pandangan Belkaoui bahwa manusia
pada dasarnya ada naluri untuk mensejahterakan manusia lainnya (sosial).7 Apalagi sifat
manusia walaupunada potensi mempunyai sifat kebaikan seperti homo soscius, homo
etichus, homo religius, dan homo humanis, dimana sifat-sifat ini yang mengedapankan
etika, moralitas, rukun sentosa, empati, dan suka tolong- menolong dalam kebaikan,
namun sifat homo economicus menjadi dominan dalam diri manusia, di mana sifat ini
cenderung saling tipu, dan bertarung dalam persaingan yang sering melanggar sifat-
sifat kebaikannya demimeminimalkan biaya dan memaksimalkan pendapatan.
Dengan adanya peran negara ini, melalui Undang-Undang, diharapkan adanya
kesejahteraan sosial, peraudaraan, persamaan, dan keadilan terwujud melalui civil
Society atas bantuan dan dukungan negara karena keikutsertaan negara dalam menyuruh
rakyatnya dalam partisipasi dalam kebaikan dan kesejahteraan. Negara bukan saja
berkewajiban untuk mensejahterakan rakyatnya secara materi, namun negara juga
berkewajiban untuk membentuk karakter (character building) seperti empaty terhadap
sesamanya dan membentuk karakter yang penuh persaudaraan dan persamaan yang
sederajat, tidak ada lagi si kaya atau yang punya modal merasa paling partisipasi
dalam pembangunan dan kesejateraan sosial, namun dengan adanya kebajikan dan
keadilan melalui materi atau non materi akan terwujud persaudaran dan persamaan di
antara sesama rakyatnya.

7
Ahmed Riahi Belkaoi, Teori Akuntansi (Jakarta; Salemba Empat), 5-8
Referensi:
Iskandar dan Addiarrahman. 2017. Sejarah Sosial Perkembangan HukumGadai dan
Rahn (Gadai Syariah) di Indonesia. Ar-Risalah. Vol.17, No.2.
Tarantang Jefry, dkk. 2019, Regulasi dan Implementasi Pegadaian Syariah di
Indonesia, Yogyakarta: K-Media.
Zed Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta. Yayasan Obor
Indonesia.
Al Qur’an Word. 2019. Terjemah Kemenag.
Kazarian. 1993. Islamic Versus Traditional Banking Finansial Innovation. In Egypt.
Boulder Westview.
Nasution Mustafa Edwin. 2009. Islamic Spirit and Morale In Economic. Journal Of
Internasional Development and Coorperation. Vol. 15.No 1-2.
Rawl Jhon. 1997. Justice As Fairnes: Political Not Metafisical. New York.
Routledge.
Belkaoi Ahmed Riahi. Tt. Teori Akuntansi. Jakarta. Salemba Empat.

Anda mungkin juga menyukai