Anda di halaman 1dari 12

FATWA MENGENAI PEGADAIAN SYARIAH

Farhan Mumtaz, Indah Alfiyyah N S 12030200782, Intan Triani Mirajul Hasanah


12030200793, Ismi Anisa Nugraha 12030200824
Hukum Ekonomi Syariah1
Fakultas Syariah dan Hukum2
UIN Sunan Gunung Djati Bandung3
indahalfiyyah4@gmail.com2, trianiintan10@gmail.com3, ismianisa9@gmail.com4

Abstract :

This article will explain ebout sharia pawnshops and their legal basis in the DSN-MUI
Fatwa. Pawn in Islam is also called rahn, which means pawning an item as collateral for
debt transactions carried out with sharia principles. This pawn is a solution for the
community to meet their urgent financial needs. The practice of pawning in Indonesia is
growing very fast along with the increasing need of the community for fast funds to meet their
basic needs. This factor has inspired several Islamic banks and pawnshops to open pawn
services in their place.

Keyword : DSN-MUI Fatwa, Sharia Pawnshop

Abstrak :

Dalam artikel ini akan dijelaskan mengenai seputar pegadaian syariah dan dasar hukumnya
dalam Fatwa DSN-MUI. Gadai dalam Islam disebut juga dengan rahn, yang artinya adalah
menggadaikan suatu barang sebagai jaminan atas transaksi hutang yang dilakukan dengan
prinsip syariah. Gadai ini menjadi solusi bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
keuangan yang mendesak. Praktik gadai di Indonesia tumbuh sangat cepat seiring dengan
meningkatnya kebutuhan masyarakat akan dana cepat untuk memenuhi kebutuhan dasar
mereka. Factor ini menginspirasi beberapa bank syariah dan lembaga pegadaian untuk
membuka layanan jasa gadai di tempat mereka.

Kata Kunci : Fatwa DSN-MUI, Pegadaian Syariah

PENDAHULUAN
Kegiatan gadai pada sejarah peradaban manusia sudah terjadi di Negara Cina pada
tahun 3000 yang lalu. Pegadaian dikenal mulai dari Eropa, yaitu Negara Italia, Inggris, dan
Belanda. Pengenalan di Indonesia pada awal masuknya Kolonial Hindia Belanda, yaitu
sekitar akhir abad –XIX, oleh sebuah bank yang bernama Van Learning.1 Gadai dapat
diartikan sebagai kegiatan menjamin barang yang memiliki nilai ekonomis kepada pihak
tertentu guna memperoleh sejumlah uang, barang yang dijaminkan akan ditebus kembali
sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga gadai. 2 Pegadaian merupakan
lembaga pembiayaan atau perkreditan dengan sistem gadai, PT Pegadaian merupakan salah
satu perusahaan dibawah naungan Kementrian BUMN. Tugas pokok PT Pegadaian adalah
menjembatani kebutuhan dana masyarakat dengan pemberian uang pinjaman berdasarkan
hokum gadai. Bersamaan dengan berkembangnya produk syariah di Indonesia, pada tahun
2003 sektor pegadaian juga mendirikan pegadaian syariah dengan berbentuk Unit Layanan
Gadai Syariah (ULGS), yang dalam pelaksanaanya berpegang kepada prinsip syariah. Hingga
kini Pegadaian Syariah masih menginduk pada PT Pegadaian dan direncanakan spin off pada
tahun 2019.

Konsep operasi pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern dengan
asas rasionalitas, efisiensi, dan efektivitas dengan nilai islam. Fungsi operasi pegadaian
syariah dijalankan di kantor-kantor cabang pegadaian syariah atau ULGS sebagai satu unit
organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain PT Pegadaian, dan merupakan unit bisnis
mandiri yang secara structural terpisah dari usaha gadai konvensional.3 Tujuan pokok
berdirinya pegadaian syariah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat dan saling
tolong-menolong. Dengan adanya pegadaian syariah maka dapat memberantas rentenir,
praktek gadai gelap yang sangat memberatkan dan membebani masyrakat kecil. Alasan yang
melatar belakangi diperbolehkannya pegadaian syariah itu karena sifat social, dapat
membantu meringankan beban masyarakat menengah kebawah yang dalam kesehariannya
masih bersifat konsumtif, dan tujuannya pula untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat.
Namun dalam kegiatan operasionalnya pegadaian syariah masih lebih banyak dimanfaatkan
oleh masyarakat berpendapatan golongan menengah keatas, yang bersifat komersil produktif.

1
Lukman Jensen dan Yuliawati, Pegadaian Dalam Lingkup Fiqih Muamalah, Jurnal Al-Iqtishady No. 1, 2021,
61.
2
Naida Nur Alfisyahri dan Dodik Siswanto, Praktik dan Karakteristik Gadai Syariah di Indonesia, Jurnal Share
No.2, 2012, 120.
3
Luluk Wahyu Roficoh dan Mohammad Ghozali, Aplikasi Akad Rahn Pada Pegadaian Syariah, Jurnal
Masharif al-Syariah no. 2, 2018. 33.
Hal ini dapat dilihat dari besarnya marhun berupa emas dan berlian yang banyak diterima
gadai.4

PEMBAHASAN

1. Pengertian Pegadaian Syariah

Gadai dalam perspektif islam disebut dengan istilah Ar-Rahn, menurut bahasa berarti
al-tsubut dan al-habs yaitu suatu perjanjian untuk menahan sesuatu barang sebagai jaminan
atau tanggungan utang.5 Dinas pegadaian yang merupakan kelanjutan dari pemerintahan
Hindia Belanda merubah status pegadaian menjadi Perusahaan Negara (PN) Pegadaian
berdasarkan Undang-Undang No. 19 Prp 1960 jo dan Peraturan Pemerintah RI No. 178 tahun
1960 tentang Pendirian Perusahaan Pegadaian (PN Pegadaian). Kemudian peraturan
pemerintah RI No. 7 tahun 1969 Tanggal 11 Maret 1969 tentang perubahan kedudukan PN
Pegadaian menjadi Jawatan Pegadaian jo UU No. 9 tahun 1969 tanggal 1 Agustus 1969 dan
penjelasannya mengenai bentuk bentuk usaha Negara dalam perusahaan Jawatan (Perjan),
Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Perseroan (Persero). Untuk meningkatkan
efektivitas dan produktivitas, bentuk Perjan Pegadaian tersebut kemudian dialihkan menjadi
Perum Pegadaian berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 51 Tahun 2011 tanggal 13
Desember 2011. Pada waktu pegadaian berbentuk Perusahaan Jawatan misi social dari
pegadaian merupakan satu-satunya acuan yang digunakan oleh managemen dalam mengelola
pegadaian.

Pegadaian merupakan lembaga pembiayaan atau perkreditan dengan sistem gadai, PT


Pegadaian merupakan salah satu perusahaan dibawah naungan Kementrian BUMN. Tugas
pokok PT Pegadaian adalah menjembatani kebutuhan dana masyarakat dengan pemberian
uang pinjaman berdasarkan hokum gadai. Bersamaan dengan berkembangnya produk syariah
di Indonesia, pada tahun 2003 sektor pegadaian juga mendirikan pegadaian syariah dengan
berbentuk Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS), yang dalam pelaksanaanya berpegang
kepada prinsip syariah. Hingga kini Pegadaian Syariah masih menginduk pada PT Pegadaian
dan direncanakan spin off pada tahun 2019. Konsep operasi pegadaian syariah mengacu pada
sistem administrasi modern dengan asas rasionalitas, efisiensi, dan efektivitas dengan nilai

4
Nuroh Yuniwati, Emilia Dwi Lestari, dan Anis Alfiqoh, Pegadaian Syariah : Penerapan Akad Rahn pada
Pegadaian Syariah, Jurnal An-Nisbah No. 2,2021, 195.
5
Lukman Jensen dan Yuliawati, Pegadaian Dalam Lingkup Fiqih Muamalah, Jurnal Al-Iqtishady No. 1, 2021,
58.
islam. Fungsi operasi pegadaian syariah dijalankan di kantor-kantor cabang pegadaian syariah
atau ULGS sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain PT Pegadaian,
dan merupakan unit bisnis mandiri yang secara structural terpisah dari usaha gadai
konvensional.6

Tujuan pokok berdirinya pegadaian syariah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan


umat dan saling tolong-menolong. Dengan adanya pegadaian syariah maka dapat
memberantas rentenir, praktek gadai gelap yang sangat memberatkan dan membebani
masyrakat kecil. Alasan yang melatar belakangi diperbolehkannya pegadaian syariah itu
karena sifat social, dapat membantu meringankan beban masyarakat menengah kebawah
yang dalam kesehariannya masih bersifat konsumtif, dan tujuannya pula untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi umat. Namun dalam kegiatan operasionalnya pegadaian syariah masih
lebih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat berpendapatan golongan menengah keatas, yang
bersifat komersil produktif. Hal ini dapat dilihat dari besarnya marhun berupa emas dan
berlian yang banyak diterima gadai.7

Dalam Praktiknya, gadai secara syariah ini memiliki empat unsur, yaitu :

a. Ar-Rahin, yaitu orang yang menggadaikan barang atau meminjam uang dengan
jaminan barang.
b. Al-Murtahin, yaitu orang yang menerima barang yang digadaikan atau yang
meminjamkan uangnya.
c. Al-Marhun/ Ar-Rahn, yaitu barang yang digadaikan atau dipinjamkan.
d. Al-Marhun bihi, yaitu uang dipinjamkan lantaran ada barang yang digadaikan.

Dalam praktiknya, gadai secara syariah memiliki tiga rukun yaitu :


a. Shighat (ijab qabul).
b. Al-‘Aqidain (dua orang yang melakukan akad rahn), yaitu pihak yang menggadaikan
(ar-rahin) dan yang menerima gadai/ agunan (al-murtahin).
c. Al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi objek akad), yaitu barang yang digadaikan/
diagunkan (al-marhun) dan utang (al-marhun bih). Selain ketiga ketentuan dasar
tersebut, ada ketentuan tambahan yang disebut syarat, yaitu harus ada qabdh (serah
terima).
6
Luluk Wahyu Roficoh dan Mohammad Ghozali, Aplikasi Akad Rahn Pada Pegadaian Syariah, Jurnal
Masharif al-Syariah no. 2, 2018. 32-33.
7
Nuroh Yuniwati, Emilia Dwi Lestari, dan Anis Alfiqoh, Pegadaian Syariah : Penerapan Akad Rahn pada
Pegadaian Syariah, Jurnal An-Nisbah No. 2,2021, 195.
Jika semua ketentuan tadi terpenuhi, sesuai dengan ketentuan syariah, dan dilakukan
oleh orang yang layak melakukan tasharuf (tindakan), maka akad gadai (ar-rahn) tersebut sah.

2. Prinsip Pegadaian Syariah

Secara substantif, Pegadaian Syariah memiliki 3 (tiga) prinsip yang bersumber pada
kajian ekonomi Islam. Prinsip pengembangan ekonomi tidak saja mengacu pada proses di
mana masyarakat dari suatu negara memanfaatkan sumber daya yang tersedia untuk
menghasilkan kenaikan produksi barang dan jasa secara terus-menerus. Akan tetapi, Islam
memiliki prinsip-prinsip pengembangan yang dibingkai dengan kerangka hubungan dengan
Allah dan menyeimbangkan antar-kehidupan di dunia dan di akhirat. Di antara prinsip-prinsip
tersebut adalah sebagai berikut:8

a. Prinsp Tauhid (Keimanan)


Tauhid merupakan pondasi ajaran Islam. Dalam pokok ajaran ini, menyatakan bahwa Allah
adalah pencipta alam semesta dan segala isinya dan sekaligus pemiliknya termausk manusia
dan seluruh sunber daya yang ada. Karena itu Allah adalah pemilik hakiki, sedangkan
manusia hanya diberi amanah untuk “memiliki” untuk sementara waktu, sebagai ujian bagi
mereka.9 Dalam Islam, segala sesuatu yang ada tidak diciptakan dengan sia-sia, tetapi
memiliki tujuan. Salah satu tujuan diciptakan manusia adalah untuk beibadah kepada-Nya.
Karena itu segala aktivitas manusia dalam hubungannya dengan sumber daya alam dan
manusia (muamalah) dibingkai dengan kerangka hubungan dengan Allah.10 Tauhid itu
membentuk 3 (tiga) pokok filsafat ekonomi Islam.
Pertama, dunia dengan segala isinya adalah milik Allah dan berjalan menurut
kehendak-Nya. Manusia sebagai khalifah-Nya hanya mempunyai hak khilafat dan tidak
bersifat absolut, serta harus tunduk melaksanakan hukum-Nya, sehingga mereka yang
menganggap kepemilikan secara tidak terbatas, berarti ingkar kepada kekuasaan Allah Swt.
Implikasi dari status kepemilikan menurut Islam adalah hak manusia atas barang-barang atau
jasa-jasa itu terbarbatas. Hal ini jelas berbeda dengan kepemilikan mutlak oleh individu pada
sistem kapitalis dan kaum ploteral pada sistem Maexisme.11
Kedua, Allah Saw adalah pencipta semua makhluk, dan semua makhluk tunduk
kepada-Nya. Dalam Islam, kehidupan dunia hanya dipandang sebagai ujian, yang akan
8
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2016, hlm. 198
9
Abdul Gahofur Anshori, Gadai Syariah Di Indonesia: Konsep, Implementasi dan Institusionalisasi, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 2011, hlm. 102.
10
ibid
11
Sasli Rais, Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian Kontemporer), UI Press,
Jakarta, 2008, hlm. 23.
diberikan ganjaran dengan surga yang abadi. Menurut Tarek El-Diwany, ganjaran atas usaha-
usaha dunia yang terbatas dan non moneter hal inilah yang sulit untuk dimasukkan ke dalam
analisis ekonomi konvensional.12 Sedangkan ketidakmerataan karunia nikmat dan kekayaan
yang diberikan Allah Swt kepada setiap makhluk-Nya, merupakan kekuasaan Allah Swt
semata. Tujuannya adalah agar mereka yang diberi kelebihan sadar menegakan persamaan
masyarakat (egalitarian) dan bersyukur kepada-Nya, persamaan dan persaudaraan dalam
kegiatan ekonomi, yakni syirkah dan qiradh atau bagi hasil.
Ketiga, iman kepada hari kiamat akan mempengaruhi tingkah laku ekonomi manusia menurut
horizon waktu. Sedangkan muslim yang melakukan aksi ekonomi tertentu, akan mempertimbangkan
akibatnya pada hari kemudian. Menurut dalil ekonomi, hal ini mengandung maksud bahwa
dalam memilih kegiatan ekonomi haruslah mempertimbangkan baik menghitung nilai
sekarang maupun hal yang akan dicapai di masa yang akan datang. Hasil kegiatan mendatang
ialah semua yang diperoleh, baik sebelum maupun sesudah mati (extended time horizon),
Prinsip tauhid dapat mengukuhkan konsep non-materialistik dan dipahami sebagai triangle,
dimana ketaatan kepada Tuhan diletakan pada posisi puncak, sedangkan manusia dan alam
diletakan pada posisi sejajar yang saling membutuhkan. Manusia diberikan amanat untuk
memanfaatkan alam (sebagai resources) dan di dorong untuk menghasilkan output yang
dapat bermanfaat bagi semua pelaku ekonomi. Output itu sensiei tidak mutlak dimilikinua
karena pada harta yang dimilikinya ada hak orang lain yang membutuhkannya. 13 Hal ini
menunjukan bahwa Islam menghdendaki terjadinya perputaran kepemilikan harta secara
lebih mereta.
b. Prinsip Ta’âwun (Tolong-Menolong)

Abu Yusuf (w. 182 H) dalam al-Kharaj menyebutkan bahwa prinsip yang harus
diletakan dalam transaksi gadai adalah ta’awun (tolong-menolong), yaitu prinsip saling
membantu antar sesama dalam meningkatkan taraf hidup melalui mekanisme kerja sama
ekonomi dan bisnis. Hal ini sesuai dengan Al-Quran “Dan tolong-menolonglah kamu dalam
berbuat kebajikan dan takwa serta janganlah bertolong-menolong dalam berbuat keji dan
permusuhan.” (QS. Al-Maaidah (4): 2). Menurut Sa’id Sa’ad Martan, prinsip ini berorientasi
pada sosial adalah usaha seseorang untuk membantu meringankan beban saudaranya yang
ditimpah kesulitan melalui gadai syariah.14

12
Tarek El-Diwany, The Problem With Interest, diterjemahkan Amdiar Amir, Cetakan I, Akbar Media, Jakarta,
2003, hlm. 160.
13
Ade Sofyan Mulazid, Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2016
14
Sa’id Sa’ad Martan, Madkhal li al-fikri al-Iqtisadi al-Islami, Beirut, Mu’assasah al-Risalah, 1999, hlm.76.
c. Prinsip Bisnis (Tijârah)

Afzalur Rahman menyatakan bahwa bisnis (perdagangan) adalah suatu kegiatan yang
dianjurkan dalam Islam. Nabi sering kali menekankan pentingnya bisnis dalam kehidupan
manusia. Namun demikian, dalam mencari laba harus dengan cara yang dibenarkan oleh
syariah. Hal ini bertujuan agar kesejahteraan tercapai. Umar Chapra menyebutnya dengan
istilah al-Falah. Kacamata Islam tidak ada dikotomi antara usaha-usaha untuk pembangunan
ekonomi maupun sektor-sektor lainnya dengan persiapan untuk kehidupan di akhirat nanti.
Karena itu, kegiatan bisnis gadai syarikah, tanpa mengikuti aturan-aturan syariah, maka akan
membawa kehancuran.Prinsip-prinsip bisnis di atas, menjadi pedoman dalam usaha
pegadaian sepanjang masa. Karena itu, prinsip-prinsip usaha pegadaian ialah:

1) harus didasari sikap saling ridha di antara kedua belah pihak, sehingga para
pihak tidak merasa diruagikan atau dizalimi;
2) menegakkan prinsip keadilan dalam proporsi keuntungan;
3) kegiatan bisnis tidak melakukan investasi pada usaha yang diharamkan seperti
usaha-usaha yang merusak mental dan moral
4) bisnis harus terhindar dari praktik gharar (ketidakpastian), tadlis (penipuan)
dan masyir (judi); serta
5) dalam kegiatan bisnis, baik utang-piutang maupun bukan, hendaklah
dilakukan pencatatan (akuntansi).

Dengan demikian, ketiga prinsip di atas menjadi acuan dasar dalam pengembangan
Pegadaian Syariah, serta penerapannya dalam kehidupan so sio-ekonomi. Kurang kuatnya
salah satu dasar tersebut, maka akan menyebabkan lambatnya gerak pengembangan lembaga
bisnis itu sendiri, serta tidak akan mampu mencapai kesejahteraan hidup. Oleh karena itu,
perlu dijelaskan mengenai perbedaan antara Pegadaian Syariah dengan pegadaian
konvensional.

3. Mekanisme Pegadaian Syariah

Secara teknis, mekanisme operasional gadai syariah dapat dilakukan melalui


perbankan syariah dan pegadaian syariah. Mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat
digambarkan sebagai berikut: melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan
kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh
Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang
meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses
kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada
nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak. Pegadaian Syariah akan
memperoleh keutungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa
bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman. Sehingga di sini dapat
dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya sebagai penarik minat konsumen untuk
menyimpan barangnya di Pegadaian. 15

4. Penetapan Fatwa DSN-MUI tentang Pegadaian Syariah

Pegadaian Syari’ah memiliki dasar dan acuan sebagai pedoman dalam menjalankan
usaha gadai Syari’ah yaitu Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor 25/DSN-MUI/III/2002
dan Fatwa Nomor 26/DSN-MUI/III/2002. Kedua Fatwa ini sangat mendukung dalam
pelaksanaan operasional pegadaian Syari’ah karena fatwa tersebut pada isinya diambil dari
aturan syariat Islam, demikian halnya dengan pegadaian Syari’ah yang pada prinsipnya usaha
gadai berdasarkan pada aturan ekonomi yang dibenarkan menurut syariat Islam. 16 Adapun isi
Fatwa No 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn dan Fatwa Nomor 26/DSN-MUI/III/2002
tentang rahn emas yaitu :

FATWA TENTANG RAHN

Pertama : Hukum Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang
dalam bentuk Rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut.

Kedua : Ketentuan Umum :

1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai
semua utang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak
boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi
nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan
perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin,
namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan
penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin.

15
Rokhmat Subagiyo, Tinjauan Syariah Tentang Pegadaian Syariah (Rahn), IAIN Tulungagung, Jl. Mayor
Sujadi Timur 46
16
Sodriyatun, Penerapan Fatwa DSN-MUI No 25 Dan 26 Tahun 2002 Di Pegadaian Syari’ah Kusumanegara
Yogyakarta, Pengadilan Agama Wates Kulonprogo Yogyakarta
4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualan Marhun
a. Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera
melunasi utangnya.
b. Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun dijual
paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
c. Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan
dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi
kewajiban Rahin.

Ketiga : Ketentuan Penutup

1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase
Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan 25 Rahn Dewan Syari'ah Nasional MUI 4
melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana
mestinya.17

FATWA TENTANG RAHN EMAS

Pertama :

1. Rahn Emas dibolehkan berdasarkan prinsip Rahn (lihat Fatwa DSN nomor: 25/DSN-
MUI/III/2002 tentang Rahn).
2. Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin).
3. Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran yang
nyata-nyata diperlukan.
4. Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad Ijarah.

Kedua : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. 18

17
Fatwa DSN MUI No 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn
18
Fatwa Nomor 26/DSN-MUI/III/2002
KESIMPULAN
Gadai dapat diartikan sebagai kegiatan menjamin barang yang memiliki nilai
ekonomis kepada pihak tertentu guna memperoleh sejumlah uang, barang yang dijaminkan
akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga gadai. Gadai
dalam perspektif islam disebut dengan istilah Ar-Rahn, menurut bahasa berarti al-tsubut dan
al-habs yaitu suatu perjanjian untuk menahan sesuatu barang sebagai jaminan atau
tanggungan utang. Tujuan pokok berdirinya pegadaian syariah adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan umat dan saling tolong-menolong. Dengan adanya pegadaian syariah maka
dapat memberantas rentenir, praktek gadai gelap yang sangat memberatkan dan membebani
masyrakat kecil. Munculnya praktek gadai syariah dikarenakan atas koreksi sistem gadai
yang telah berlaku lama sejak jaman Belanda.
Secara substantif, Pegadaian Syariah memiliki 3 (tiga) prinsip yang bersumber pada
kajian ekonomi Islam. Prinsip pengembangan ekonomi tidak saja mengacu pada proses di
mana masyarakat dari suatu negara memanfaatkan sumber daya yang tersedia untuk
menghasilkan kenaikan produksi barang dan jasa secara terus-menerus. Akan tetapi, Islam
memiliki prinsip-prinsip pengembangan yang dibingkai dengan kerangka hubungan dengan
Allah dan menyeimbangkan antar-kehidupan di dunia dan di akhirat. Di antara prinsip-prinsip
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Prinsp Tauhid (Keimanan)
b. Prinsip Ta’âwun (Tolong-Menolong)
c. Prinsip Bisnis (Tijârah)
Secara teknis, mekanisme operasional gadai syariah dapat dilakukan melalui
perbankan syariah dan pegadaian syariah. Mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat
digambarkan sebagai berikut: melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan
kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh
Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang
meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses
kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada
nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak. Pegadaian Syariah akan
memperoleh keutungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa
bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman. Sehingga di sini dapat
dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya sebagai penarik minat konsumen untuk
menyimpan barangnya di Pegadaian.
Landasan dalam operasionalisasi gadai syariah adalah Fatwa Dewan Syariah Nasional
nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 tentang rahn. Bahwa salah satu bentuk
jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah pinjaman dengan
menggadaikan barang sesuai jaminan utang, Lembaga Keuangan Syariah perlu merespon
kebutuhan masyarakat tersebut dalam produknya, agar dilakukan sesuai dengan prinsip-
prinsip syariah. Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa untuk
dijadikan pedoman tentang Rahn, yaitu menahan barang sebagai jaminan atas utang. Fatwa
nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn emas. Bahwa salah satu bentuk jasa pelayanan
yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah Rahn, yaitu menahan barang sebagai jaminan
atas utang.
DAFTAR PUSTAKA

Lukman Jensen dan Yuliawati, Pegadaian Dalam Lingkup Fiqih Muamalah, Jurnal Al-
Iqtishady No. 1, 2021, 61.
Naida Nur Alfisyahri dan Dodik Siswanto, Praktik dan Karakteristik Gadai Syariah di
Indonesia, Jurnal Share No.2, 2012, 120.
Luluk Wahyu Roficoh dan Mohammad Ghozali, Aplikasi Akad Rahn Pada Pegadaian
Syariah, Jurnal Masharif al-Syariah no. 2, 2018. 33.
Nuroh Yuniwati, Emilia Dwi Lestari, dan Anis Alfiqoh, Pegadaian Syariah : Penerapan
Akad Rahn pada Pegadaian Syariah, Jurnal An-Nisbah No. 2,2021, 195.
Lukman Jensen dan Yuliawati, Pegadaian Dalam Lingkup Fiqih Muamalah, Jurnal Al-
Iqtishady No. 1, 2021, 58.
Luluk Wahyu Roficoh dan Mohammad Ghozali, Aplikasi Akad Rahn Pada Pegadaian
Syariah, Jurnal Masharif al-Syariah no. 2, 2018. 32-33.
Nuroh Yuniwati, Emilia Dwi Lestari, dan Anis Alfiqoh, Pegadaian Syariah : Penerapan
Akad Rahn pada Pegadaian Syariah, Jurnal An-Nisbah No. 2,2021, 195.
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2016, hlm.
198
Abdul Gahofur Anshori, Gadai Syariah Di Indonesia: Konsep, Implementasi dan
Institusionalisasi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2011, hlm. 102.
Sasli Rais, Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian Kontemporer),
UI Press, Jakarta, 2008, hlm. 23.
Tarek El-Diwany, The Problem With Interest, diterjemahkan Amdiar Amir, Cetakan I, Akbar
Media, Jakarta, 2003, hlm. 160.
Ade Sofyan Mulazid, Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2016
Sa’id Sa’ad Martan, Madkhal li al-fikri al-Iqtisadi al-Islami, Beirut, Mu’assasah al-Risalah,
1999, hlm.76.
Rokhmat Subagiyo, Tinjauan Syariah Tentang Pegadaian Syariah (Rahn), IAIN
Tulungagung, Jl. Mayor Sujadi Timur 46
Sodriyatun, Penerapan Fatwa DSN-MUI No 25 Dan 26 Tahun 2002 Di Pegadaian Syari’ah
Kusumanegara Yogyakarta, Pengadilan Agama Wates Kulonprogo Yogyakarta

Peraturan
Fatwa DSN MUI No 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn
Fatwa Nomor 26/DSN-MUI/III/2002

Anda mungkin juga menyukai