Anda di halaman 1dari 14

DIGITALISASI JAMINAN (KAFALAH)

DALAM HUKUM ISLAM

Dosen Pengampu :

Dr. Rahmadi Indra Tektona, S.H. M.H

Disusun Oleh :

Addian Alif Firmansyah

NIM. 220710101393

Fakultas Hukum

Universitas Jember

2023
Abstrak
Operasional Asuransi pada umumnya bertumpu kepada kepentingan bisnis
untuk mendapatkan laba (maximizing profit) sedangkan kafalah adalah akad
tabarru’ yang bertumpu pada nilai kebajikan sosial. Keduanya mendasari
terbentuknya akad pada Asuransi Takaful, maka evaluasi terhadapnya perlu
dilakukan untuk memastikan kembali apakah praktik yang ada sesuai dengan
idealism Islam atau malah sebalikya. Operasional Asuransi Takafful hendaknya
tidaklah bertumpu kepada kepentingan bisnis semata tetapi sekaligus terkait
dengan misi dakwah Islamiyah. Oleh sebab itu aspek profesionalisme dan
komitmen yang kuat terhadap idealism Islam harus selalu menjadi acuan
terutama dalam kebijakan operasinalnya, mengingat asuransimemiliki potensi
besar dalam mendorong pertumbuhan dunia usaha karena ikut mendukung upaya
pengalokasian sumber-sumber ekonomi masyarakat melalui investasi yang
menguntungkan dan menyangkut kemaslahatan masyarakat banyak. Maka
diperlukan upaya yang seksama bagi penataan kembali industry asuransi dalam
satu kerangka yang Islam. Dalam sistem digitalisasi jaminan perbankan misalnya
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dan
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah semakin
memperkokoh landasan hukum ekonomi syariah di Indonesia.
Kata kunci: Digital, jaminan, islam
Abstract
Insurance operations generally rely on business interests to gain profit (maximizing
profit) while kafalah is a tabarru' contract which relies on social virtue values. Both of
them underlie the formation of Takaful Insurance contracts, so an evaluation needs to
be carried out to confirm whether existing practices are in accordance with Islamic
ideals or vice versa. Takafful Insurance operations should not rely solely on business
interests but at the same time be related to the mission of Islamic da'wah. Therefore,
the aspect of professionalism and a strong commitment to Islamic ideals must always
be a reference, especially in operational policies, considering that insurance has great
potential in encouraging the growth of the business world because it supports efforts
to allocate society's economic resources through investments that are profitable and
involve the benefit of society at large. So careful efforts are needed to reorganize the
insurance industry within an Islamic framework. In the banking guarantee digitization
system, for example, Law Number 19 of 2008 concerning State Sharia Securities and
Law Number 21 of 2008 concerning Sharia Banking further strengthens the legal
basis of sharia economics in Indonesia.
Keywords: Digital, guarantee, Islam

PENDAHULUAN

Perkembangan ekonomi Islam berlangsung dengan begitu pesat. Hal ini juga
didukung oleh sektor hukum, yakni dilandasi dengan keluarnya peraturan perundang-
undangan di bidang ekonomi syariah, antara lain adalah keluarnya Undangundang Nomor 3
Tahun 2006 yang memberikan kewenangan bagi Pengadilan Agama untuk menangani
perkara sengketa ekonomi syariah. Selain itu keluarnya Undang-undang Nomor 19 Tahun
2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah semakin memperkokoh landasan hukum ekonomi syariah di
Indonesia. Pada tataran praktis, keberadaan lembaga-lembaga keuangan syariah sekarang ini
menunjukkan adanya perkembangan yang semakin pesat.1

Sebagai konstitusi ekonomi, Undang-Undang Dasar 1945 juga mengatur bagaimana


sistem perekonomian nasional seharusnya disusun dan dikembangkan. Ketentuan utama
Undang-Undang Dasar 1945 tentang sistem perekonomian nasional dimuat dalam Bab XIV
Pasal 33. Ketentuan tentang sistem perekonomian nasional memang hanya dalam satu pasal
yang terdiri dari lima ayat. Namun ketentuan ini harus dielaborasi secara konsisten dengan
cita-cita dan dasar negara berdasarkan konsep-konsep dasar yang dikehendaki oleh pendiri
bangsa. Selain itu, sistem perekonomian nasional harus dikembangkan terkait dengan hak-
hak asasi manusia yang juga mencakup hak-hak ekonomi, serta dengan ketentuan
kesejahteraan rakyat2 Hal ini sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran sebagian
besar umat Islam untuk melaksanakan Islam secara kaffah.

METODE PENELITIAN

Adapun tujuan penelitian dari jurnal ini adalah Untuk Mengetahui perkembangaan Hukum
Ekonomi Syariah di Indonesia, dengan metode penelitian penelitian hukum normatif dengan
pendekatan konseptual yaitu mencari asas-asas, doktrindoktrin dan sumber hukum dalam arti

1
Damayanti, Nurul Farida, Pengaruh Pembiayaan Dana Baitul Maal Wat Tamwil (Bmt) Teladan Terhadap
KinerjaUsaha Mikro Di Pasar Semolowaru Surabaya, Jurnal Jestt Vol. 1 No. 3 Maret 2014
2
Jimly Asshiddiqy, Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum Nasional (Jakarta:
Mahkamah Konstitusi, 2005), 20.
filosofis yuridis. Alasan peneliti menggunakan penelitian hukum normatif karena untuk
menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai praktisi dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapi. Adapun hasil penelitian dan Pembahasan adalah Keberadaan
ekonomi syariah di Indoinesia, sesungguhnya sudah mengakar sekalipun keberlakuannya
masih bersifat normatif sosiologis.3

Penulisan ini akan menjabarkan Jaminan (Kafalah) Perbankan Syariah dari secara
historis hingga penyelesaian sengketa. Serta mengkaji Permasalahan yuridis terhadap
Kewenangan Peradilan yang menangai sengketa serca landasan yuridis berdirinya perbankan
syariah akan disampaikan secara komperhensif dan lugas.

PEMBAHASAN
1. KAFALAH
Al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga
yang memeneuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain
kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang
pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.
Al-kafalah menurut bahasa berarti al-Dhaman (jaminan), hamalah (beban), dan za‟mah
(tanggungan). Menurut Sayyid Sabiq yang di maksud dengan al-kafalah adalah proses
penggabungan tanggungan kafil menjadi beban ashil dalam tuntutan dengan benda (materi)
yang sama baik utang barang maupun pekerjaan. Menurut Iman Taqiyyudin yang dimaksud
dengan kafalah adalah mengumpulkan satu beban dengan beban lain.4
Sedangkan pihak yang ditanggung haknya adalah orang yang memberi hutang. Terkait pihak
tertanggung haknya ini disyaratkan harus diketahui oleh pihak yang menanggung, karena
manusia berbeda-beda sifatnya dalam menyampaikan tuntutan dari segi toleransi dan
ketegasan, sementara tujuan merekapun bermacam-macam dalam menyampaikan tuntutan.
Dengan demikian tidak ada tindakan kecurangan dalam penanggungan. Adapun tanggungan
adalah berupa jiwa, hutang, barang, atau pekerjaan yang harus dilaksanakan atas nama pihak
tertanggung.
Syarat-syarat Barang yang Akan Dijadikan Barang Jaminan (Makful Bih) menurut fatwa
DSN (Dewan Syariah Nasional

3
Fitrianur Syarif, “Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah Di Indonesia,” Pleno Jure Jurnal Ilmu Hukum 9,
no. 2 (2019).
4
Yusuf, Muchlis Yahya dan Edy, “Teori bagi Hasil dan Perbankan Syariah dalam Ekonomi Syariah,” dalam
Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol. 1, No.1, Juli 2011 Nisak, Badratun, “Analisis Manajemen Risiko
Pembiayaan Musyarakah Pada Baitul Qiradh Bina Insan Mandiri Banda Aceh,” dalam Jurnal of economi share.
Vol. 3, No.1, January - June 2014
1. Merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang, baik berupa uang, benda, maupun
pekerjaan
2. Bisa dilaksanakan oleh penjamin
3. Harus merupakan pitang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah
dibayar atau dibebaskan
4. Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya
5. Tidak bertentangan dengan syari‟ah (yang tidak diharamkan)

2. PEMBENTUKAN PERBANKAN SYARIAH

Perkembangan perbankan syariah diawali dengan munculnya Bank Muamalat Indonesia


sekitar tahun 1992 didasarkan pada Undang-undang No. 7 Tahun 1992 sebagai landasan
hukum bank kemudian disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam
undang-undang tersebut diatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang
dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undang- undang tersebut juga
memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau
bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah. Antusiasme masyarakat
terhadap pertumbuhan praktek ekonomi syariah sangat tinggi, terlebih dengan menjamurnya
pendirian lembaga keuangan syariah (LKS) baik dalam bentuk Bait at Tamwil, BPRS atau
perbankan syariah. Perbankan syari‟ah menjadi wadah terpercaya bagi masyarakat yang
ingin melakukan investasi dengan sistem bagi hasil secara adil sesuai prinsip syari‟ah.
Memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak dan memberikan maslahat bagi masyarakat luas
adalah merupakan prinsip utama bagi bank syari‟ah. Oleh karena itu bank syari‟ah
menerapkan ketentuan dengan menjauhkan diri dari unsur riba danmenjalankan prinsip bagi
hasil dan sistem jual beli.5

3. LANDASAN HUKUM PERBANKAN SYARIAH

Peraturan yang mengatur mengenai bank syariah di Indonesia pertama kali adalah UU No. 7
Tahun 1992. Bank syariah pada masa ini masih berbentuk bank pengkreditan rakyat. Yang
membedakan adalah, bahwa bank pengkreditan rakyat yang satu ini menjalankan asas-asas
serta prinsip-prinsip bagi hasil yang sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang ditetapkan
5
Karnaen Perwataatmaja, et al., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm 17-18
oleh pemerintah. Prinsip bagi hasil dalam hal ini disinyalir memiliki kesamaan dengan
prinsip syariah.
Enam tahun selanjutnya, melalui UU No. 10 tahun 1998, dilakukan penyempurnaan terhadap
peraturan perundang-undangan sebelumnya. Pada landasan hukum yang satu ini, diberikan
penjelasan yang terelaborasi mengenai pengertian serta prinsip-prinsip bank syariah itu
sendiri. Peraturan perundangan ini pula lah yang telah menjadi cikal-bakal landasan hukum
syariah yang cukup kuat.
Berdasarkan petunjuk QS. al- Baqarah (2):275 dan QS. al-Nisa (4):29 yang intinya. Allah
swt. telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba serta suruhan untuk menempuh
jalan perniagaan dengan suka sama suka, maka setiap transaksi kelembagaan ekonomi
syari‟ah harus selalu dilandasi atas dasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau yang
transaksinya didasari oleh adanya petukaran antara uang dengan barang/jasa.
Landasan hukum bank syariah selanjutnya yang masih juga digunakan hingga saat ini adalah
UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Peraturan perundangan yang satu ini,
berupaya memberikan penjelasan komprehensif mengenai operasional bank syariah. Di
dalamnya secara jelas diatur mengenai jenis-jenis usaha, ketentuan dalam melaksanakan
prinsip syariah, penyaluran dana, kelayakan dalam berusaha, serta beberapa hal yang harus
dihindari oleh sebuah Bank Syariah.
Selain berupa undang-undang, maka dalam rangka penguatan hukum materil ekonomi
syariah, kita telah mempunyai Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah (KHES) yang berisi 4
(empat) buku, yaitu Buku I tentang Subjek Hukum dan Amwal, Buku II tentang Akad,
BukuIII tentang Zakat dan Hibah, dan Buku IV tentang Akuntansi Syari'ah. Keberadaan
KHES ini belum dalam bentuk Undangundang, tetapi berupa Peraturan Mahkamah Agung
(PMA) No. 2 Tahun 2008 yang dalam tata urutan perundang-undangan tidak termasuk
sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Adanya undang-undang yang berkaitan dengan ekonomi syariah menunjukkan bahwa sistem
ekonomi Indonesia mulai memberi tempat dan ruang pada ekonomi syariah. Dengan undang-
undang tersebut, maka kekosongan hukum dalam bidang ekonomin syariah dapat teratasi,
sekalipun belum secara maksimal. Ke depan diharapkan ada revisi terhadap perundang-
undangan yang sudah ada menyangkut bidang ekonomi secara umum, sehingga melahirkan
duel economic system sebagai payung hukum dalam rangka merealisasikan prinsip-prinsip
ekonomi syariah dalam ekonomi Indonesia.
Dalam kaitan dengan hukum Perjanjian di Indonesia, tidak bisa dipungkiri, hukum ini masih
merupakan warisan kolonial Belanda, yang sudah seharusnya diperbarui dan disesuaikan
dengan karakter atau jadi diri masyarakat Indonesia. Wacana penggantian hukum warisan
kolonial dikaitkan dengan hukum apa yang mewarnai pembentukan hukum nasional,
melahirkan spektrum pendapat, yaitu sebagian kalangan memandang bahwa hukum Barat
peninggalan kolonial itu perlu dipertahankan dengan hanya memperbaruinya dengan berbagai
perkembangan baru dalam masyarakat. Pada sisi lain kelompok pelopor hukum adat
menghendaki diberlakukan dan diangkatnya hukum adat menjadi hukum nasional Indonesia
dan kelompok lain mengusulkan agar syari’at Islam perlu diintrodusir sebagai hukum
nasional Indonesia

4. HAL-HAL YANG DIHINDARI BERDASARKAN LANDASAN HUKUM


BANK SYARIAH

Adapun beberapa hal yang perlu dihindari dalam pelaksanaan kegiatan bank syariah menurut
UU No. 21 tahun 2008 antara lain adalah kegiatan-kegiatan dengan unsur:
1. Riba
Riba dalam kegiatan perbankan syariah menjadi suatu hal dilarang. Hal ini terjadi karena
dengan riba, terjadi peningkatan jumlah pendapatan dengan cara yang tidak sah. Sebagai
contoh, transaksi yang mengandung riba adalah transaksi dalam pinjam-meminjam dimana
nasabah dalam hal ini diminta untuk membayar pinjaman dengan jumlah yang melebihi
pinjaman pokok.
2. Maisir
Maisir atau juga disebut Qimar, adalah sebuah transaksi dalam bentuk permainan, dimana
pihak yang menang akan mengambil keuntungan dari pemain yang kalah. Transaksi ini
dihindari karena sifatnya yang tidak pasti dan cenderung untung-untungan. Praktik maisir
yang mungkin sering terdengar adalah praktik judi.
3. Gharar
Gharar adalah jenis transaksi yang dilarang, karena dalam hal ini, objek yang ditransaksikan
bersifat tidak jelas, sehingga objek tersebut tidak dapat segera diserahkan ketika proses
transaksi. Dampak yang berusaha dihindari dari transaksi ini adalah adanya tindakan zalim
yang mungkin dapat dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak lainnya.
4. Haram
Prinsip syariah dalam pelaksanaannya juga melarang transaksi haram. Transaksi yang satu ini
adalah jenis yang mentransaksikan suatu objek yang terlarang dalam syariah Islam. Alasan
pelarangan transaksi yang satu ini mungkin sudah sangat jelas, karena objek-objek terlarang
dalam hal ini hanya akan menimbulkan mudharat yang lebih besar dibandingkan manfaat.
Demikianlah penjelasan mengenai landasan hukum bank syariah yang wajib diketahui. Saat
ini, peraturan perundangan yang berlaku dan mengatur mengenai bank syariah adalah UU
No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dengan diterapkannya peraturan tersebut,
maka peraturan perundangan yang ada sebelumnya, adalah sudah tidak berlaku lagi.
Meski secara yuridis keberadaan perbankan syariáh di Indonesia sudah memiliki legitimasi
yang begitu kuat, tetapi dalam batas-batas tertentu masih menempati posisi “alternatif
pilihan”. Persoalan paling besar dalam pengembanan amanah ini adalah, stigma publik yang
masih menganggap bahwa Bank Syari’ah hanya diperuntukkan bagi umat Islam saja dalam
melakukan transaksi bisnis.
Kedua, penyelesaian sengketa transaksi Bank Syariah yang memberikan kompetensi absolut
kepada Pengadilan Agama. Padahal stigma yang berkembang Pengadilan Agama adalah
“pengadilan cerai” yang tentu tidak cakap menyelesaikan sengketa perbankan syari’ah.
Stigma di atas tidaklah lahir dari ruang kosong. Pertama, patut disadari bahwa keberadaan
Perbankan Syari’ah dalam lintasan bisnis di Indonesia relatif baru jika dibandingkan dengan
Perbankan Umum. Kedua, keberadaan Pengadilan Agama sebagai pengadilan yang memiliki
kompetensi absolut terhadap sengketa perkara bank Syari’ah senyataanya masih didominasi
perkara lainnya seperti perceraian. Sementara perkara-perkara lain masih sangat terbatas,
terlebih perkara perbankan syari’ah: sangat langka. Kelangkaan perkara perbankan syari’ah,
tentunya tidak terlepas dari momok penjelasan Pasal 52 Ayat (2) UU Nomor 21 tahun 2008

4. PENYELESAIAN SENGKETA PINJAMAN ONLINE PERBANKAN

Perkembangan bank Islam sebagai bagian dari sistem ekonomi Islam di Indonesia dapat
dikatakan terlambat dibandingkan negara-negara lain yang mayoritas penduduknya muslim.
Namun secara yuridis formal kedudukan hukum perbankan syari’ah adalah kuat dan sejajar
dengan perbankan konvesional lainnya. Jika terjadi permasalahan penyelesaian sengketa bank
syariah menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 dapat menggunakan
2 (dua) jalur yaitu litigasi dan non litigasi. Jalur litigasi penyelesaian sengketa bank syariah
menjadi kewenangan absolut peradilan agama, sedangkan jalurnon-litigasi para pihak dapat
melakukan pilihan tidak sekedar sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah tetapi dapat juga
menempuh alternatif lain sesuai dengan akad yang tekah disepakati.
Pengawasan terhadap penyelenggaraan Perbankan Syari’ah, selain dilakukan secara internal
juga dilakukan oleh lembaga pengawas independen yaitu Dewan Pengawas Syari’ah (DPS)
dan Dewan Syari’ah Nasional (DSN) yang memiliki tugas menjaga perbankan syari’ah untuk
menuju situasi yang ideal dan menjaga kaum muslimin. Selain itu sebagai wujud partispasi
publik, semua umat Islam mempunyai kewajiban untuk melakukan pengawasan baik secara
langsung maupun tidak langsung sebagai wahana amar ma’ruf nahi munkar terhadap
penyelenggaraan perbankan syari’ah sebagai urat nadi perekonomian Islam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, memberikan perluasan ruang lingkup kewenangan
terhadap Pengadilan Agama, yang semula hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus
perkara dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq dan shadaqah, kini
perkara mengenai ekonomi syariah menjadi kewenangan Pengadilan Agama, yakni
perbuatan-perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip Syariah.
Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah secara litigasi menjadi kewenangan absolut
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, karena para pihak tidak boleh
memperjanjikan lain akibat terikat dengan Undang-Undang yang telah menetapkan adanya
kewenangan mutlak bagi suatu badan peradilan untuk menyelesaikan sengketa, namun secara
non litigasi para pihak dibebaskan untuk membuat pilihan forum penyelesaian sengketa
(settlement dispute option), termasuk menyelesaikan sengketanya diluar pengadilan, seperti
melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang putusannya bersifat final dan
binding.6
Penyelesaian sengketa bank syariah dapat menggunakan jalur peradilan umum.
Namun demikian ada permasalahan hukum yang dapat muncul dalam ketentuan hukum
positif yang dipakai oleh hakim dalam mengadili sengketa tersebut. Sebagai contoh dalam
penyelesaian sengketa L/C. Penyelesaian sengketa perdata melalui badan peradilan Indonesia
pada umunya menggunakan ketentuan berdasarkan KUH Perdata. Sementara itu ketentuan
L/C syari’ah mengacu selain tunduk pada ketentuan hukum nasional juga tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan Syariah Islam.
Untuk menjembatani adanya perbedaan hukum yang berlaku dalam perjanjian antara
nasabah dan bank syariah apakah KUHPerdata sebagai hukum positif yang diakui di
6
“Hukum Perbankan Syariah ,” accessed April 23, 2022, https://sugalilawyer.com/hukum-perbankan-syariah/.
Indonesia atau hukum Islam. Sutan Remy Sjahdeini (2002: 135) dalam bukunya “Perbankan
Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia” mengemukakan: Selain
asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUHPerdata, terdapat asas lain yang harus
diperhatikan dalam hukum perjanjian. Asas tersebut menentukan bahwa apabila di dalam
perjanjian tidak diatur mengenai hal yang dipermasalahkan oleh para pihak, tetapi hal itu
telah diatur oleh hukum perjanjian dalam KUHPerdata, maka ketentuan dalam KUHPerdata
itu yang diberlakukan.
Namun jika hal tersebut telah diatur dalam perjanjian, tetapi isinya berbeda dengan
pengaturan dalam KUHPerdata, maka yang harus diberlakukan adalah ketentuan dalam
perjanjian itu dengan ketentuan sepanjang pengaturan dalam hukum perjanjian tidak
merupakan ketentuan yang tidak boleh disimpangi (ketentuan tersebut bersifat memaksa atau
dwingendrecht). Jika ketentuan dari hukum perjanjian dalam KUHPerdata tersebut
merupakan ketentuan yang tidak boleh disimpangi (bersifat memaksa), maka sesuai dengan
asas bahwa isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang ketentuan dari
hukum perjanjian itu harus diberlakukan, sedangkan ketentuan-ketentuan dari perjanjian itu
batal demi hukum. Selanjutnya Sutan Remy Sjachdeini (2002: 136) mengemukakan, bahwa
sebagian besar ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dalam KUHPerdata bersifat tidak
memaksa (aanvullend recht), artinya, boleh disimpangi oleh para pihak dengan membuat
ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat lain di dalam perjanjian yang dibuat oleh mereka.
Kebebasan untuk memilih termasuk “kebebasan untuk berkontrak” bagi setiap
individu selain bersifat kudrati dan hak paling asasi serta merupakan bagian dari pengertian
yang lebih luas dari definisi ibadah mu’amalah 7maka dalam hubungan dengan negara, juga
mendapat jaminan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 yakni, “negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dengan demikian jaminan UUD 1945
ini harus dipandang sebagai adanya kebebasan bagi kaum muslimin untuk melakukan
aktivitas keperdataan sesuai dengan konsep syariah Islam sebagai keyakinan yang dianutnya.
Menurut Harahap fungsi pengawasan dapat dilakukan melalui 2 (cara) 8, yaitu:
Pertama, melalui pendekatan struktur atau lembaga (institutional approach), yang mana
pengawasan diserahkan pada lembaga tersendiri yang bertanggungjawab untuk melakukan
pengawasan guna mengusahakan tujuan organisasi. Kedua, pendekatan sistem (system
approach), yang mana sistem menjadi elemen terpenting dalam melakukan pengawasan.
7
Mugiyati. “Aplikasi Kafalah pada Asuransi Takaful Perspektif Akad Bisnis Islam”, dalam Jurnal Hukum
Bisnis Islam Vol. 02, No. 01, (Juni 2012): hal. 347-368.
8
Harahap, M. Yahya. 1994. Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Sinar Grafika
Sistem sendiri merupakan keseluruhan urutan prosedural yang dianut dalam menyelesaikan
kegiatan rutin institusi. Sedangkan menurut Lotulung (1993: xvi-xvii), membedakan
pengawasan atas 3 (tiga) hal: Pertama, ditinjau dari kedudukan badan yang melaksnakan
kontrol dibedakan atas: (1) kontrol internal, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh
organisasi struktural yang masih dalam lingkup institusi, dan (2) kontrol eksternal, yaitu
pengawasan yang dilakukan oleh organ atau lembaga yang secara struktural berada di luar
institusi.
Kedua, ditinjau dari segi waktu pelaksanaan, meliputi: (1) kontrol a priori, yaitu pengawasan
yang dilakukan sebelum dikeluarkan keputusan/ketetapan peraturan lainnya, dan (2) kontrol a
posteriori, yaitu pengawasan yang baru dilakukan setelah dikeluarkan keputusan/ketetapan
peraturan lainnya.
Ketiga, ditinjau dari obyek yang diawasi, meliputi: (1) kontrol segi hukum, yaitu pengawasan
yang menilai segi pertimbangan yang bersifat hukum, dan (2) kontrol segi pemanfaatan.
Pengawasan terhadap penyelengaraan lembaga adalah mutlak adanya dan merupakan harga
mati yang tidak dapat ditawar lagi. Menafikan pengawasan terhadap penyenggaraan lembaga
merupakan langkah mundur dalam membangun sebuah institusi dengan prinsip clean
government dan good governance. Be9gitupun dengan pengawasan terhadap keberadaan
Perbankan Syari’ah. 10
Menurut Antonio (2007: 209), meskipun Perbankan Syari’ah berdasarkan pada ajaran
Islam, kontrol harus dilakukan. Hal ini dengan pertimbangan bahwa kegiatan bank memiliki
resiko tinggi karena berurusan dengan uang dalam jumlah yang sangat besar, sehingga dapat
menimbulkan nita orang-orang yang terlibat didalamnya untuk melakukan kecurangan yang
dapat menimbulkan kerugian bank.
Untuk itulah perlu diciptakan suatu sistem kontrol yang berlapis (multilyer audit
system). Berdasarkan gagasan tersebut, maka dalam Perbankan Sayari’ah dikenal beberapa
audit; Pertama, Self Control (Pengendalian Diri), yaitu pengendalian atas diri sendiri dari
semua unsur yang ada dalam Perbankan Syari’ah mulai dari tingkat pimpinan sampai dengan
karyawan. Dengan demikian peran bagian sumber daya insani dalam memilih karyawan yang
tepat merupakan syarat mutlak. Kedua, built in control, bahwa setiap karyawan dalam
melakukan tugas sejari-hari tidak lepas dari prosedur dan aturan yang telah ditetapkan yang

9
Tutik, Titik Triwulan. “Pengawasan Hakim Konstitusi Dalam Sistem Pengawasan Hakim Menurut Undang-
Undang Dasar Negara RI 1945”. Artikel dalam Jurnal Dinamika Hukum FH Universitas Jenderal Soedirman
Purwajerto Vol. , No. , (Agustus 2011)
10
Yaya, Rizal dkk, Akutansi Perbankan Syariah Teori dan Praktek Kontemporer, Jakarta : Salemba Empat, 2009
meliputi dual control, maker checker approval, limitation, segregation of duties, verification,
dan sejenisnya.11
Ketiga, internal auditor, yaitu sistem pengawasan yang dilakukan oleh: (1) verificator (bagian
pengawasan data) yang melakukan pemeriksaan seluruh transaksi yang terjadi dimana salah
satu produknya adalah adalah program zero defect; dan (2) auditor wilayah dan/atau
inspektur pengawasan yang berfungsi melakukan operasional audit di samping audit
keuangan. Keempat, external auditor, yaitu sistem pengawasan yang dilakukan oleh lembaga
independen di luar organisasi perbankan syari’ah, seperti BI, dan akuntan public. Dan khusus
untuk Perbankan Syari’ah terdapat external auditor yang dilakukan oleh Dewan Pengawas
Syari’ah (DPS).

PENUTUP

Perkembangan bank Islam sebagai bagian dari sistem ekonomi Islam dapat dikatakan
terlambat dibandingkan negara-negara lain yang mayoritas penduduknya muslim. Namun
secara yuridis formal kedudukan hukum perbankan syari’ah adalah kuat dan sejajar dengan
perbankan konvesioanl lainnya. Meski secara yuridis keberadaan perbankan syariáh di
Indonesia sudah memiliki legitimasi yang begitu kuat, tetapi dalam batas-batas tertentu masih
menempati posisi “alternatif pilihan”. Persoalan paling besar dalam pengembanan amanah ini
adalah, stigma publik yang masih menganggap bahwa Bank Syari’ah hanya diperuntukkan
bagi umat Islam saja dalam melakukan transaksi bisnis. Kedua, penyelesaian sengketa
transaksi Bank Syariah yang memberikan kompetensi absolut kepada Pengadilan Agama.
Padahal stigma yang berkembang Pengadilan Agama adalah “pengadilan cerai” yang tentu
tidak cakap menyelesaikan sengketa perbankan syari’ah. Maka Hal yang perlu dilakukan
adalah melakukan pembaruan hukum yang merupakan salah satu dimensi dari pembangunan
hukum nasional, selain dimensi pemeliharaan dan penciptaan.
Hutang itu harus sudah berlaku pada saat penanggungan, seperti hutang pinjaman,
harga penjualan, upah, dan mahar. Jika hutang itu belum berlaku, maka penanggungannya
tidak sah, sebab penanggungan sesuatu yang tidak wajib tidak sah. Sebagaimana jika
penanggung mengatakan “Juallah kepada fulan, dan aku yang menanggung harganya, atau
beri dia pinjaman dan aku yang menanggung pengambilannya.

11
Antonio, Muhammad Safi’i. 2001. Bank Islam: dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Agustin, H., Hariswanto, H., & Bustamam, N. (2018). the Effect of Non Performing
Financing Mudharabah and Musyarakah and Ownership of Banks on the Profitability of
Sharia Banks. Jurnal Tabarru’: Islamic Banking and Finance, 1(2), 33–45.
https://doi.org/10.25299/jtb.2018.vol1(2).2814 A
Abodunrin, O., Oloye, G., & Adesola, B. (2020). Coronavirus Pandemic and Its Implication
on Global Economy. International Journal of Arts, Languages and Business Studies, 4,
13– 23.
malia, A. N. (2018). Analisis Perbandingan Tingkat Stabilitas Keuangan Perbankan Syariah
dan Konvensional di Indonesia. Syi`ar Iqtishadi : Journal of Islamic Economics,
Finance and Banking, 2(1), 1. https://doi.org/10.35448/jiec.v2i1.3414
Antonio, Muhammad Safi’i. 2018. Bank Islam: dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani.
Jimly Asshiddiqy, Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum Nasional
(Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2005), 20.
.Harahap, M. Yahya. 2017. Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Sinar Grafika
Tresnanti, Ety Rochaety dan Ratih, Kamus Istilah Ekonomi, Jakarta : Bumi Aksara, 2019
JURNAL
Hardianti, D., & Saifi, M. (2018). Analisis Perbandingan kinerja keuangan Bank Umum
Konvensional dan Bank Umum Syariah Berdasaran Rasio Keuangan Bank (Studi
pada Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah yang Terdaftar dan Diawasi
oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Periode 2013 – 2016). Jurnal Administrasi Bisnis
(JAB), 60(2), 10–18
Nisak, Badratun, “Analisis Manajemen Risiko Pembiayaan Musyarakah Pada Baitul Qiradh
Bina Insan Mandiri Banda Aceh,” dalam Jurnal of economi share. Vol. 3, No.1,
January - June 2018
Karnaen Perwataatmaja, et al., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2005), hlm 17-18Fitrianur Syarif, “Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah Di
Indonesia,” Pleno Jure Jurnal Ilmu Hukum 9, no. 2 (2019).
Mugiyati. “Aplikasi Kafalah pada Asuransi Takaful Perspektif Akad Bisnis Islam”, dalam
Jurnal Hukum Bisnis Islam Vol. 02, No. 01, (Juni 2018): hal. 347-368.
Suryanto, Asep, “Penerapan Konsep Syirkah-Mudharabah Dalam Kegiatan Ekonomi
Masyarakat Di Tasikmalaya”, dalam Jurnal EKSYAR: Jurnal Ekonomi Syari'ahp-
ISSN: 2355-438X; e-ISSN: 2407-3709. Vol. 03, No. 01, Juni 2018
Tutik, Titik Triwulan. “Pengawasan Hakim Konstitusi Dalam Sistem Pengawasan Hakim
Menurut Undang-Undang Dasar Negara RI 1945”. Artikel dalam Jurnal Dinamika
Hukum FH Universitas Jenderal Soedirman Purwajerto Vol. , No. , (Agustus 2019)
Yusuf, Muchlis Yahya dan Edy, “Teori bagi Hasil dan Perbankan Syariah dalam Ekonomi
Syariah,” dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol. 1, No.1, Juli 2018
Yaya, Rizal dkk, Akutansi Perbankan Syariah Teori dan Praktek Kontemporer, Jakarta
: Salemba Empat, 2009
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
INTERNET
“Hukum Perbankan Syariah ,” accessed April 23, 2022, https://sugalilawyer.com/hukum-
perbankan-syariah/.

Anda mungkin juga menyukai