Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam merupakan agama universal yang memiliki ajaran lengkap

sebagai tuntutan dan panduan bagi kehidupan umat manusia. Ajaran Islam

bukan hanya tentang ibadah belaka, tetapi suatu sistem kehidupan yang

seharusnya dijalankan oleh manusia selaku khalifah Allah SWT di muka bumi.

Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa syariah yang berada dalam ajaran

Islam mencakup berbagai aspek kehidupan umat manusia, baik dalam hal

ibadah maupun sosial, politik, dan ekonomi.1

Adapun syariah dalam bidang muamalah berfungsi sebagai suatu aturan

main bagi umat manusia dalam rangka menjalankan fungsi sosialnya di muka

bumi ini. Termasuk dalam hal ini adalah peranan manusia dalam menjalankan

sektor muamalah yang berkaitan dengan harta dan ekonomi. Usaha manusia

dalam rangka mewujudkan kesejahteraan hidup umat di muka bumi ini sangat

berkaitan dengan kegiatan ekonomi. Islam, memiliki tujuan untuk mewujudkan

tingkat pertumbuhan ekonomi umat manusia dan juga dalam rangka

memaksimalkan tingkat kesejahteraan dengan muamalah.2

Perkembangan Bank dan Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia

mengalami peningkatan baik dari segi kuantitas maupun jenisnya. Perbankan

syariah telah beroperasi di Indonesia pada tahun 1992 dengan berdirinya Bank

1
Nurul Huda, Lembaga Keuangan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 1-2
2
Ibid, h. 2-3

1
Muamalat dan disusul dengan Asuransi Syariah Takaful yang didirikan pada

tahun 1994. Kedua lembaga keuangan syariah tersebut bisa katakan menjadi

pionir tumbuhnya bisnis syariah di Indonesia. Pada awal berdirinya, bukan hal

yang mudah untuk memperkenalkan bisnis syariah di Indonesia, walaupun

mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Mulai dari istilah yang cukup

sulit dihafalkan, sampai dengan konsep operasional yang dirasakan berbelit-

belit.

Saat itu, bisnis syariah harus bersaing dengan lembaga keuangan

konvensional yang lebih besar, serta memiliki konsep operasional yang lebih

sederhana dan masyarakat telah memahami dengan baik. Masyarakat telah

sangat familiar dengan istilah bunga, kredit, dan terminologi lain yang sangat

melekat dibenak mereka. Belum lagi penguasaan pasar yang lebih kuat

membuat para pionir tersebut sempat ragu dengan kelangsungan bisnis berbasis

syariah ini. Namun, krisis moneter tahu 1997 telah membawa hikmah yang

besar bagi perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia. Pada saat

bank-bank konvensional lainnya sekarat, Bank Muamalat dan bisnis bank

syariah lainnya membuktikan, bahwa sistem perekonomian berbasis bunga

akan menimbulkan ketergantungan dan kesengsaraan jangka panjang. Lembaga

keuangan syariah yang tidak tegantung dengan peran bunga, akhirnya selamat

dari krisis dan bahkan sekarang menjadi sebuah potensi kekuatan yang suatu

saat akan mampu membuktikan, bahwa sistem ekonomi Islam memberikan

kesejahteraan dan keadilan.

2
Kemudian mulai bermunculan Lembaga Keuangan Syariah di

Indonesia. Lembaga Keuangan Syariah memiliki perkembangan yang sangat

pesat di Indonesia. Lembaga ini merupakan lembaga keuangan non bank.

Lembaga ini sama-sama memiliki misi keumatan yang jelas. Sistem

operasionalnya menggunakan syariah Islam, hanya produk dan manajemennya

sedikit berbeda dengan industri perbankan. Lembaga tersebut meliputi asuransi

syariah, reksadana syariah, serta Baitul Maal wa Tamwil. Di antara lembaga

tersebut yang terkait langsung dengan upaya pengentasan kemiskinan adalah

Baitul Maal wa Tamwil.3

BMT merupakan salah satu LKS yang berperan sebagai penghimpun

dan penyalur dana. BMT menjadi lembaga pendukung kegiatan ekonomi

masyarakat kecil yang berlandaskan Islam. Lembaga ini didirikan dengan

maksud untuk memfasilitasi masyarakat bawah yang tidak terjangkau oleh

pelayanan Bank Islam. BMT memiliki pangsa pasar tersendiri, yaitu

masyarakat kecil yang mengalami hambatan psikologis bila berhubungan

dengan pihak Bank.4

Sistem pembiayaan berdasarkan prinsip syariah menurut sudut pandang

yuridis adalah sebagai berikut:

1. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip mudharabah dan prinsip

musyarakah

2. Pembiayaan jual beli berdasarkan prinsip murabahah, prinsip istishna dan

prinsip as-salam
3
Muhammad Riwan, Manajemen Baitul Maal wa Tamwil, (Yogyakarta: UII press, 2014),
h. 72
4
Nurul Huda, Lembaga Keuangan, h. 363

3
3. Pembiayaan sewa-menyewa berdasarkan prinsip ijarah (sewa murni) dan

ijarah al-muntahia bit-tamlik (sewa beli atau sewa dengan hak opsi)

Fatwa DSN-MUI NO. 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan

Mudharabah (Qiradh), yaitu:

1. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu

2. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa

depan yang belum tentu terjadi

3. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada

dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari

kesalahan yang disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakaatan

4. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi

perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan

melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui

musyawarah

Namun, adanya penyimpangan dalam praktek yang terjadi di BMT ini,

terdapat salah satu ketentuan pembiayaan yang diduga tidak sesuai dengan

ketentuan yang tertera di Fatwa DSN-MUI NO. 07/DSN-MUI/IV/2000

Tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), yang mana dalam aturan BMT

tersebut, kontrak yang dilakukan masih mengaitkan dengan kejadian di masa

depan yang belum tentu terjadi.

Kontrak yang tercantum pada ketentuan pembiayaan di dalam Fatwa,

yang berarti tidak ada perjanjian yang mengaitkan dengan kejadian dimasa

depan yang belum tentu terjadi, maksudnya ialah agar tidak ada sesuatu yang

4
belum jelas atau belum tentu dialami oleh masing-masing pihak di dalam

kontrak tersebut.

Sedangkan, pihak BMT masih mengaitkan dalam kontrak, yaitu jika

anggota dalam pembiayaan masih kurang lancar atau macet, bangkrut dan atau

jika ada anggota yang meninggal dunia. Kontrak itu dilakukan, agar pihak

BMT tidak mengalami kerugian yang cukup besar. Padahal sudah dijelaskan

dalam Fatwa DSN-MUI NO. 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan

Mudharabah (Qiradh), yaitu kontrak tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan

sebuah kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi.

Dari uraian di atas, timbul pertanyaan yang membuat peniliti tertarik

untuk meneliti masalah tersebut dengan judul penelitian “PENDAPATAN

AKAD PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA KOPERASI SIMPAN

PINJAM PEMBIAYAAN SYARIAH (KSPPS) BMT NGIRING TUNAS

PAICE DESA BAREJULAT”

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas, maka permasalahan yang

terjadi pada pembiayaan mudharabah adalah sebagai berikut:

a. Pelaksanaan akad mudharabah yang tidak sesuai dengan dengan

FATWA DSN-MUI NO. 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan

Akad Mudharabah (Qiradh)

5
b. Adanya kontrak yang dilakukan oleh KSPPS BMT Ngiring Tunas Paice

Desa Barejulat yang masih mengaitkan dengan kejadian di masa depan

yang belum tentu terjadi

2. Pembatasan Masalah

Penelitian ini memfokuskan untuk membahas mengenai penerapan akad

mudharabah, yang disesuaikan dengan ketentuan Fatwa DSN-MUI

No.07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Akad Mudharabah

(Qiradh) yang dilakukan oleh KSPPS BMT Ngiring Tunas Paice Desa

Barejulat

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan, maka peneliti merumuskan

masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana pembiayaan mudharabah menurut Fatwa DSN?

b. Bagaimana pelaksanaan akad mudharabah di BMT Ngiring Tunas Paice

Desa Barejulat?

c. Apakah yang dilakukan BMT sudah sesuai dengan ketentuan- ketentuan

dalam Fatwa DSN-MUI No.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan

mudharabah?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan, tujuan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis pendapatan Akad Mudharabah di KSPPS BMT Ngiring

Tunas Paice Desa Barejulat

6
2. Untuk menganalisis kesesuaian pendapatan Akad Mudharabah dengan

Fatwa DSN-MUI No.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan

mudharabah (Qiradh)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu kajian dan

menambah ilmu pengetahuan di bidang lembaga keuangan syariah, serta

sebagai tambahan tentang produk pembiayaan, khususnya mudharabah.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan bagi peneliti

khususnya, dan masyarakat paada umumnya. Untuk dapat mengetahui

penerapan Akad Mudharabah di KSPPS BMT Ngiring Tunas Paice Desa

Barejulat menurut Fatwa DSN-MUI No.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang

Pembiayaan Mudharabah.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif

empiris, yang bertujuan untuk membuat deskripsi untuk mengungkapkan

suatu masalah atau suatu keadaan tertentu, sehingga dapat memberikan

gambaran secara faktual tentang keadaan sebenarnya yang terjadi dari objek

yang sedang diamati mengenai masalah yang ada, dengan cara memberikan

kuesioner dan wawancara kepada pihak KSPPS BMT Ngiring Tunas Paice

7
Desa Barejulat kemudian dianalisis dengan Fatwa DSN-MUI tentang Akad

Mudharabah.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

metode penelitian deskriptif kualitatif. Bogdan dan Taylor (1975) dalam

(Moleong, 2012:4) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai proses

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau

lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Berdasarkan

pengertian tersebut maka dalam penelitian ini, peneliti bermaksud untuk

menjelaskan dan menggambarkan secara komprehensif dengan

menggunakan berbagai sumber data literatur, baik sumber primer maupun

sekunder yang berkaitan fatwa DSN-MUI tentang mudharabah.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menyesuaikan dengan Fatwa yang berkaitan dengan

Akad Mudharabah (Qiradh).

3. Sumber/Badan Hukum

Untuk melakukan data dan informasi yang diperoleh dalam penelitian

ini, penulis akan menggunakan data sebagai berikut:

a. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diambil dari sumber

yang pertama, berupa hasil wawancara dengan pihak KSPPS BMT

Ngiring Tunas Paice Desa Barejulat terkait pembiayaan menggunakan

Akad Mudharabah.

8
b. Data Sekunder

Data sekunder yang dilakukan oleh penulis dalam penelitian ini,

misalnya berupa dokumen atau data-data yang ada pada KSPPS BMT

Ngiring Tunas Paice Desa Barejulat, perpustakaan, buku-buku, literature,

dokumentasi penelitian sebelumnya, arsip, majalah, dan lain sebagainya.

4. Teknik Pengumpulan Badan Hukum

Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka

teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a. Wawancara

Adapun teknik wawancara yang dilakukan oleh peneliti dalam hal ini

adalah, teknik wawancara tidak terstuktur, bersifat luwes, susunan

pertanyaan dan susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah-

ubah pada saat wawancara, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang

dihadapi. Peneliti mewawancarai langsung kepada salah satu pihak yang

ada di KSPPS BMT Ngiring Tunas Paice Desa Barejulat, yaitu Ibu

Sumirah Almisanni sebagai Manager Accounting.

b. Studi Dokumen

Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan dokumen atau data-data

sebagai referensi untuk mengetahui informasi yang ada pada KSPPS

BMT Ngiring Tunas Paice Desa Barejulat, perpustakaan, buku-buku,

literature, dokumentasi penelitian sebelumnya, arsip, majalah, dan lain

sebagainya.

9
c. Studi Kepustakaan

Untuk mendapatkan materi tentang judul ini, peneliti menggunakan

teknik studi kepustakaan. Adapun buku atau jurnal yang menjadi sumber

kepustakaaan adalah tentang Akad, Pembiayaan, Mudharabah, Baitul

Maal wa Tamwil, dan Fatwa DSN-MUI.

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Hukum

Data yang terkumpul dalam tahap pengumpulan data perlu adanya

pengolahan data terlebih dahulu. Tujuannya adalah untuk menyederhanakan

seluruh data yang terkumpul, menyajikan data dengan rapi, dan setelah itu

di analisis. Teknik pengolahan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara

melengkapi data-data yang telah didapatkan dari lapangan.

Data-data tersebut kemudian dipaparkan dan dikelompokkan dengan

tujuan agar mempermudah proses pemilahan infornasi yang sesuai dengan

ketentuan BMT dalam menerapkan akad mudharabah, dan keterkaitan

antara permasalahan peneliti dengan teori.

Kemudian peneliti memilah data-data apa saja yang dibutuhkan sesuai

dengan pembahasan penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menyeleksi

hasil wawancara dan data kepustakaan yang akan dikutip dalam penulisan.

Setelah diolah, lalu melakukan analisis dengan cara menganalisis materi

tertentu dari data yang telah dipaparkan secara deskriptif sesuai dengan

rumusan masalah.

10
F. Sistematika Penelitian

Skripsi ini akan disusun dalam beberapa bab, dengan tujuan untuk

mempermudah penulisan dan memperjelas pembacanya. Adapun sistematika

penulisan laporan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab pertama, dalam bab ini berisikan pengantar yang menjelaskan

secara singkat mengenai latar belakang permasalahan yang mendasari dalam

pengambilan topik, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penulisan,

review penelitian terdahulu, metodelogi penelitian, dan sistematika penulisan

yang digunakan dalam menyusun skripsi.

Bab kedua, bab ini memuat landasan teori tentang akad pembiayaan

mudharabah, dan fatwa tentang mudharabah.

Bab ketiga, bab ini menjelaskan terkait penjelasan BMT secara umum

dan BMT Ngiring Tunas Paice Desa Barejulat secara spesifik, seperti

pengertian, produk-produk, dan pelaksanaan produk menggunakan akad

mudharabah.

Bab keempat, pada bab ini, berisi hal tentang penerapan akad yang

dilakukan oleh KSPPS BMT Ngiring Tunas Paice Desa Barejulat dengan

menyesuaikan dengan Fatwa DSN-MUI NO. 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang

Pembiayaan Mudharabah (Qiradh). Terdapat salah satu ketentuan yang tidak

sesuai dengan Fatwa, dalam melakukan pembiayaan menggunakan akad

mudharabah di BMT ini.

11
Bab kelima, bab ini berisi kesimpulan, dan saran oleh penulis dalam

melakukan penelitian.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Akad Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)

1. Pengertian Mudharabah (Qiradh)

Secara etimologis, mudharabah berasal dari kata ‫ الضرب‬yang

berarti bepergian atau berjalan. Selain ‫ الضرب‬disebut juga ‫ القراض‬dari

‫رض‬NN‫ الق‬berarti ‫ع‬NN‫ القط‬yang artinya potongan, (Hendi, 2008:135). Menurut

penduduk hijaz mudharabah disebut juga dengan muqaradah (qiradh).

Seperti dikemukakan oleh Muhammad bin Ismail “Qirad dengan kasroh qof

adalah kerja sama pemilik modal dengan amil dengan pembagian laba,

dalam istilah ahli hijaz disebut mudharabah diambil dari kata (berjalan di

muka bumi) karena menurut kebiasaan laba itu diperoleh dengan berjalan-

jalan atau mendistribusikan harta” (Hendi, 2008:135).

Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, mudharabah juga disebut qiradh,

yang mana kata qiradh berasal dari kata alqardh yang artinya a-qat’u yakni

pemotongan, hal ini karena orang yang memiliki harta memotong

(mengambil) sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan mengambil

sebagian untuk keuntungannya. Selain itu mudharabah juga disebut

muamalah, yang maksudnya adalah akad antara dua belah pihak yang

12
mengharuskan salah satu dari keduanya untuk menyerahkan sejumlah uang

kepada pihak lain untuk diperniagakan, dengan ketentuan keuntungannya

dibagi sesuai dengan kesepakatan di antara keduanya (Sabiq, 2009: 276).

a. Menurut Fiqih

Al-Qur’an tidak secara langsung menunjuk istilah mudharabah,

melainkan melalui akar kata d-r-b yang diungkapkan sebanyak 58 kali.

Dari beberapa kata inilah yang kemudian mengilhami konsep

mudharabah, meskipun tidak dapat disangkal bahwa mudharabah

merupakan sebuah perjalanan jauh yang bertujuan bisnis. Nabi dan para

sahabat juga pernah menjalankan usaha kerjasama berdasarkan prinsip

ini.5 Menurut Ibnu Tamiyah, para fiquha menyatakan kehalalan

mudharabah, berdasarkan riwayat-riwayat tertentu yang dinisbatkan

kepada beberapa sahabat, tetapi tidakada hadits sahih mengenai

mudharabah yang dinisbatkan kepada Nabi. Menurut ahli fiqih dari

Mazhab Hanafi, Sarakhsi (w.483/1090), mudharabah diizinkan Karena

orang memerlukan kontrak ini”. Sementara faqih dari Mazhab Maliki,

Ibn Rusyd (w.595/1198), menganggap kebolehannya sebagai suatu

kelonggarannya sebagai suatu kelonggaran yang khusus. Meskipun

mudharabah tidak secara langsung disebutkan oleh Al-Qur’an atau

Sunnah, ia adalah sebuah kebiasaan yang diakui dan dipraktikkan oleh

umat Islam, dan bentuk kongsi dagang semacam ini tampaknya terus

5
Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga Studi Kritis dan Interpretasi Kontemporer
Tentang Riba dan Bunga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), Cetakan II, h. 91

13
hidup sepanjang periode awal era Islam sebagai tulang punggung

perdagangan caravan dan perdagangan jarak jauh.6

b. Menurut Fatwa

Secara teknis mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara 2 pihak,

dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%)

modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha

secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam

kontrak, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal selama

kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola, maka pengelola harus

bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Secara lebih spesifik,

pengertian Mudharabah dapat diperinci sebagai berikut:

1) Mudharabah adalah akad kerja sama antara pemilik dana (shaibul

maal), yang menyediakan seluruh kebutuhan modal dan pihak

pengelola usaha (mudharib) untuk melakukan suatu kegiatan usaha

bersama. Keuntungan yang diperoleh dibagi menurut perbandingan

(nisbah) yang disepakati.

2) Dalam hal terjadi kerugian, maka ditanggung oleh pemilik modal

selama bukan diakibatkan kelalaian pengelola akan menjadi tanggung

jawab pengelola itu sendiri.

3) Pemilik modal tidak turut campur dalam pengelolaan usaha, tetapi

mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.


6
Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah, (Paramadina: 2004) Cetakan I, h. 77

14
Spesifikasi produk ini dapat diterapkan untuk proyek baik jangka pendek

maupun jangka panjang. Konsep Mudharabah juga dapat dilakukan untuk

pembiayaan modal kerja seperti modal kerja perdagangan dan jasa.

Dari beberapa pengertian Mudharabah yang telah dikemukakan, maka

penulis dapat menarik pengertian, bahwa akad mudharabah adalah bentuk

kontrak kerja sama antara dua pihak, dimana satu pihak berperan sebagai

pemilik modal dan mempercayakan jumlah modalnya untuk dikelola oleh

pihak kedua yang melaksanakan usaha dengan tujuan mendapatkan untung.

Singkatnya, akad Mudharabah yaitu persetujuan antara harta dari salah satu

pihak dan kerja dari pihak lain.

2. Landasan Hukum (Dalil)

a) Al-Qur’an

 Q.S Al-Muzzammil ayat 20:

Artinya: “…dan yang lain berjalan di bumi mencari sebagian karunia

Allah..”

Dalam ayat diatas, dasar dilakukannya akad mudharabah adalah kata

“yadhribun” (َ‫)ن ْ وِ رُب َيض‬ yang sama dengan akar kata

mudharabah, yang memiliki makna melakukan suatu perjalanan

usaha.7

 Q.S Al-Jumu’ah ayat 10:

7
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008,
h. 225

15
Artinya: “Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu

di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak- banyak

agar kamu beruntung.”

 Q.S Al-Baqarah ayat 198:

Artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil

perniagaan) dari Tuhanmu....

Kedua ayat diatas, secara umum mengandung kebolehan akad

mudharabah, yang menjelaskan bahwa mudharib (pengelola) adalah

orang berpergian di bumi untuk mencari karunia Allah.8

b) Hadits

Hadits Nabi Riwayat Ibnu Majah:

“Dari Shalih bin Shuhaib r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda, “tiga hal

yang didalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh,

muqaradah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk

keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah No. 2280, Kitab

At-Tijarah)9

Pada hadits diatas, mengandung tentang kebolehan mudharabah, seperti

yang sudah disabdakan oleh nabi, bahwa memberikan modal kepada

orang lain termasuk salah satu perbuatan yang berkah.

 Hadits Nabi Riwayat Ad-Darulquthni:

8
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 5, Jakarta : Gema Insani, 2011, h.
477
9
Hafidz Abi Abdillah Muhammad ibn Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah Jilid 2, Darul Fikri, 207-
275 M, h. 768

16
Artinya :

“Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai

mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak

mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli

hewan ternak, jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus

menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu

didengar Rasulullah, beliau membenarkannya”. (HR. Ad-

Darulquthni)10

Hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Darulquthni menjelaskan bahwa

seorang shahibul maal boleh memberikan syarat-syarat tertentu yang

harus dipatuhi oleh mudharib.

c) Ijma

Imam Zailai telah menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsekuensi

terhadap legitimasi pengelolaan harta yatim secara mudharabah.

Kesepakatan para sahabat ini sejalan dengan spirit hadits yang dikutip

Abu Ubaid.11

d) Qiyas

Mudharabah dapat diqiyaskan sebagai bentuk interaksi antara sesame

manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, kebutuhan akan

kerjasama antara satu pihak dengan pihak lain guna meningkatkan taraf

perekonomian dan kebutuhan hidup, atau keperluan-keperluan lain, tidak

bisa diabaikan. Kenyataan menunjukkan bahwa diantara sebagian


10
Al Imam Al Hafizh Ali bin Umar, Sunan Ad-Daraquthni, Jakarta : Pustaka
Azzam, 2008, h. 204
11
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah, (Gema Insani: 2001), h. 96

17
manusia memiliki modal, tetapi tidak bisa menjalankan usaha-usaha

produktif, tetapi berkeinginan membantu orang lain yang kurang mampu

dengan jalan mengalihkan sebagian modal kepada pihak yang

memerlukan. Disisi lain, tidak jarang pula ditemui orang-orang yang

memiliki keahlian dan kemampuan berusaha secara produktif, tetapi tidak

memiliki atau keterangan modal usaha. Berdasrkan kenyataan itu, sangat

diperlukan adanya kerjasama pemilik modal dengan orang-orang yang

tidak mempunyai atau kekurangan modal. Pada bentuk kerjasama seperti

ini, pihak miskin yang kekurangan modal itu akan sangat terbantu, dan

para pihak pemodal pun tidak pula dirugikan karena pemindahan

modalnya kepada pihak lain tersebut.12

3. Jenis-Jenis Akad Mudharabah

Akad Mudharabah merupakan akad kerjasama antara pemilik dan (shahibul

maal) dengan pengelola dana (mudharib). Dalam prinsipnya akad

mudharabah dibagi menjadi 2 akad, yaitu mudharabah muthlaqah dan

mudharabah muqayyadah, serta satu akad gabungan antara mudharabah

dengan musyarakah yaitu mudharabah musyarakah.

Adapun penjelasan berbagai jenis akad mudharabah sebagai berikut:

a) Mudharabah Muthlaqah

Mudharabah Muthlaqah ini adalah kontrak yang didalamnya penyedia

modal mengizinkan mudharib mengurus dana mudharabah tanpa

batasan-batasan tentang tipe pekerjaan yang harus diselesaikan, lokasi,

Mahmudatus Sa‟diyah, Meuthiya Athifa Arifin, Mudharabah dalam Fiqih dan


12

Perbankan Syariah, Jurnal, Volume 1, No.2, Desember 2013. 309

18
waktu, metode pembayaran dan lain-lain. Walaupun jenis mudharabah

ini tanpa batasan-batasan, tidak serta merta mudharib bebas

menggunakan dana tersebut untuk modal usaha, tetapi harus sesuai

dengan ketentuan syariah Islam. Jenis mudharabah ini juga sering

disebut investasi tidak terikat, ketika shahibul maal menyimpan dananya

di bank syariah tidak memberikan batasan kepada bank terhadap

penggunaan dana yang telah disimpannya, maka dari itu bank berhak

menggunakan dana tersebut untuk pembiayaan proyek atau

diinvestasikan sebagai modal usaha apapun, dengan tetap berdasarkan

prinsip syariah Islam. Jadi, akad mudharabah jenis ini lebih

mmemberikan keleluasaan bagi shahibul maal dalam mengalokasikan

dana.

b) Mudharabah Muqayyadah

Mudharabah Muqayyadah adalah mudharabah dimana pemilik dana

memberikan batasan kepada pengelola antara lain mengenai dana, lokasi,

cara dan atau objek investasi atau sektor usaha. Mudharabah ini juga

disebut investasi yang terikat, ketika pemilik dana atau shahibul maal

menyimpan dana di bank syariah memberi batasan tentang

pengalokasiannya, maka pihak bank tidak boeh menggunakan dana

tersebut diluar perjanjian.

c) Mudharabah Musyarakah

Mudharabah Musyarakah adalah jenis mudharabah dimana pengelola

dana menyertakan modal dananya dalam kerjasama investasi. Di awal

19
kerjasama akad yang disepakati adalah akad mudharabah dengan modal

100% dari pemilik dana, setelah berjalannya operasi usaha dengan

pertimbangan tertentu dan kesepakatan dengan pemilik dana, pengelola

dana ikut mengelola modalnya dalam usaha tersebut. Dalam akad

mudharabah ini, bank lebih sebagai perantara antara nasabah pemilik

dana atau investor (shahibul maal) dan nasabah pengelola dana atau

pemilk proyek (mudharib), investor menyimpan dananya untuk di

investasikan melalui bank syariah, pada saat yang sama bank menjalin

kerjasama untuk membiayai pembangunan proyek yang dikerjakan

pemilik proyek, dengan kesepakatan bersama bank melibatkan investor

lain untuk mendanai proyek tersebut. Pendapatan bagi hasilnya sesuai

nisbah yang telah disepakati bersama, bank dan investor mendapat bagi

hasil sesuai dengan kepemilikan dananya, sedangkan nasabah bank atau

investor utama memperoleh bagi hasil yang didapatkan bank

sebelumnya.

4. Rukun dan Syarat Akad Mudharabah

Rukun dan syarat akad mudharabah ada 4, yaitu:

a. Pelaku, terdiri atas pemilik dana da pengelola dana

b. Objek mudharabah, berupa modal dan kerja

c. Ijab qabul atau serah terima

d. Nisbah keuntungan

20
Berikut beberapa penjelasan rukun dan syarat akad mudharabah

dalam ketentuan syariat Islam:13

1) Pelaku

a) Pelaku harus cakap hukum dan baligh

b) Pelaku akad mudharabah dapat dilakukan sesama atau dengan non-

muslim

c) Pemilik dana tidak boleh ikut campur dalam pengelolaan usaha,

tetapi ia boleh mengawasi

2) Objek Mudharabah (Modal dan Kerja)

Objek mudharabah merupakan konsekuensi logis dengan dilakukannya

akad mudharabah:

a) Modal

(1) Modal yang diserahkan dapat berbentuk uang atau aset lainnya

(dinilai sebesar nilai wajar), harus jelas jumlah dan jenisnya.

(2) Modal harus tunai dan tidak hutang. Tanpa adanya setoran

modal, berarti pemilik dana tidak memberikan kontribusi apapun,

padahal pengelola dana harus bekerja

(3) Modal harus diketahui dengan jelas jumlahnya sehingga dapat

dibedakan dari keuntungan

(4) Pengelola dana tidak diperkenankan untuk memudharabahkan

kembali modal mudharabah, dan apabila terjadi maka dianggap

terjadi pelanggaran, kecuali atas seizing pemilik dana

Sri Nurhayati, Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, Jakarta, Salemba


13

Empatt, 2014, Edisi 3, h. 124

21
(5) Pengelola dana tidak diperbolehkan untuk meminjam modal

kepada orang lain, dan apabila terjadi maka dianggap terjadi

pelanggaran, kecuali atas seizin pemilik dana

(6) Pengelola dana memiliki keabsahan untuk mengatur modal

menurut kebijaksanaan dan pemikirannya sendiri

b) Kerja

(1) Kontribusi pengelola dana dapat berbentuk keahlian,

keterampilan, selling skill, management skill, dan lainnya

(2) Kerjaadalah hak pengelola dana dan tidak boleh

diintervensi oleh pemilik dana

(3) Pengelola dana haus menjalankan usaha dengan syariah

(4) Pengelola dana harus mematuhi semua ketepatan yang ada dalam

kontrak

(5) Dalam hal pemilik dana tidak melakukan kewajiban atau

melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, pengelola dana

sudah menerima modal dan sudahbekerja, maka pengelola dana

berhak mendapatkan imbalan, ganti rugi, atau upah

c) Ijab Qabul14

Merupakan pernyataan dan ekspresi saling ridho atau rela diantara

pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal, tertulis,

14
Kautsar Riza Salman, Akuntansi Perbankan Syariah Berbasis PSAK Syariah,
Jakarta, Akademia Permata, 2012, Cetakan 1, h. 224

22
melakukan korespondensi atau menggunakan cara-cara komunikasi

modern.

d) Nisbah Keuntungan

Beberapa penjelasan terkait dengan nisbah keuntungan adalah:

(1) Nisbah adalah besaran yang digunakan untuk pembagian

keuntungan, mencerminkan imbalan yangberhak diterima oleh

kedua belah pihak yang ber-mudharabah atas keuntungan yang

diperoleh

(2) Perubahan nisbah harus berdasrkan kesepakatan kedua belah

pihak

(3) Pemilik dana tidak boleh meminta pembagian keuntungan

dengan menyatakan nilai nominal tertentu, karena dapat

menimbulkan riba.

5. Berakhirnya Akad Mudharabah

Sebelum memulai pekerjaan mudharabah, kontraknya dianggap sebagai

‘aqd ghayr lazim (kontrak yang tidak mengikat), dan karena itu, dapat

diakhiri oleh salah satu dari dua pihak dengan menyampaikan

pemberitahuan kepada pihak yang lain.1715

Namun, segera sesudah pekerjaan mudharabah dimulai, para ulama

memiliki pandangan-pandangan berlainan tentang apakah kontrak tersebut

dapat diakhiri oleh salah satu pihak tanpa persetujuan pihak yang lain.

Mayoritas ulama memilki opini bahwa kontrak tersebut ‘aqd ghayr lazim.

Asyraf Wajdi Dusuki, Sistem Keuangan Islam: Prinsip dan Operasi, Jakarta, PT
15

Raja Grafindo Persada, 2015, Cetakan ke-1, h. 302

23
Disisi lain, Imam Malik memilki opini bahwa kontrak tersebut dapat

diakhiri hanya bila disertai persetujun bersama dari para pihak yang

berkontrak.

Lamanya kerjasama dalam mudharabah tidak tentu dan tidak terbatas, tetapi

semua pihak berhak untuk menentukan jangka waktu kontrak kerjasama

dengan memberitahukan pihak lainnya. Namun, akad mudharabah dapat

berakhir karena hal-hal sebagai berikut (Sabbiq, 2008):16

a. Dalam hal, mudharabah tersebut dibatasi waktunya, maka

mudharabah berakhir pada waktu yang telah ditentukan

b. Salah satu pihak memutuskan mengundurkan diri

c. Salah satu pihak meninggal dunia atau hilang akal

d. Pengelola dana tidak menjalankan amanahnya sebagai pengelola usaha

untuk mencapai tujuan sebagaimana dituangkan dalam akad. Sebagai

pihak yang mengemban amanah, ia harus beritikad baik dab hati-hati.

B. Fatwa Tentang Mudharabah

1. Pengertian Fatwa

Fatwa menurut bahasa berarti jawaban mengenai suatu kejadian

atau peristiwa (memberikan jawaban yang tegas terhadap segala peristiwa

yang terjadi dalam masyarakat).17 Menurut Imam Zamakhsyari dalam

16
Sri Nurhayati, Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, Jakarta, Salemba
Empatt, 2014, Edisi 3, h. 125.
17
Yusuf Qardhawi, Fatwa antara Ketelitian dan Kecerobohan, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1997), h. 5

24
bukunya al-Kasyaf, pengertian fatwa adalah suatu jalan yang lempeng atau

lurus.18

Dalam ilmu Ushul Fiqh, fatwa berarti pendapat yang dikemukakan

seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa

dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. 19 Fatwa juga dapat

diterjemahkan sebagai petuah, nasihat, jawaban atas pertanyaan yang

berkaitan dengan hukum.

Adapula yang mengartikan kata fatwa dalam 2 versi, yaitu:

a. Fatwa: (keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang suatu

masalah

b. Fatwa: nasihat orang alim, pelajaran baik, petuah20

Sedangkan fatwa menurut arti syariat adalah suatu penjelasan

hukum syariat dalam menjawab suatu perkara yang diajukan oleh

seseorang yang bertanya, baik penjelasan itu jelas atau ragu-ragu dan

penjelasan itu mengarah pada 2 kepentingan, yakni kepentingan pribadi

atau kepentingan masyarakat banyak.

Namun ada sebagian fiquha yang menyatakan bahwa “fatwa”

adalah bahasa arab yang berarti “jawaban pertanyaan” atau “hasil ijtihad”

atau “ketetapan hukum”, maksudnya ialah ketetapan atau keputusan

18
Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan dalam Fiqih Islam, (Jakarta:
PT. Bumi Aksara, 2006), h. 7
19
Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 1996), Jilid I, h. 326
20
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h.
275

25
hukum tentang suatu masalah atau peristiwa yang dinyatakan oleh

seseorang ijtihad sebagai hasil ijtihadnya.

Dilihat dari produk hukum, terdapat perbedaan antara mujtahid dan

mufti. Para mujtahid mengistinbathkan (menyimpulkan) hukum dari al-

Qur’an dan sunnah dalam berbagai kasus, baik diminta oleh pihak lain,

maupun tidak. Adapun mufti tidak mengeluarkan fatwanya, kecuali

apabila diminta dan persoalan yang diajukan kepadanya adalah persoalan

yang bisa dijawab sesuai dengan pengetahuannya. Oleh sebab itu, mufti

dalam menghadapi suatu persoalan hukum harus benar-benar mengetahui

secara rinci kasus yang dipertanyakan, mempertimbangkan kemashlahatan

peminta fatwa, lingkungan yang mengitarinya, serta tujuan yang ingin

dicapai dari fatwa tersebut.

2. Kedudukan Fatwa Dalam Hukum Islam

Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum Islam untuk

memberikan jawaban dan solusi terhadap masalah yang dihadapi umat.

Bahkan umat Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di

dalam bersikap dan bertingkah laku. Sebab posisi fatwa di kalangan

masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para mujtahid (al-Fatwa fi

Haqqil ‘Ami kal Abdillah fi Haqqil Mujtahid), artinya kedudukan fatwa

bagi kebanyakan, seperti dalil bagi mujtahid.21

Fatwa merupakan sebuah upaya ulama untuk merespon masalah

yang dihadapi masyarakat yang memerlukan keputusan hukum. Dasar

hukum fatwa adalah al-Qur’an, Hadits, dan Ijtihad. Kecenderungan


21
Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, h. 127

26
penalaran yang dilakukan oleh para ulama dalam menjawab suatu

permasalahan terkait erat dengan ijtihad atau pendapat hukum (legal

opinion). Oleh karena itu, ada 3 (tiga) hal yang penting terkait fatwa,

yaitu:

a. Pihak-pihak yang berkepntingan terhadap fatwa, seperti pemerintah.

Bank Indonesia, lembaga keuangan syariah (lembaga perbankan

syariah), dan masyarakat sebagai pengguna jasa lembaga keungan

syariah

b. Masalah atau persoalan yang diperlukan ketetapan hukumnya

dikarenakan belum jelas hukumnya

c. Para ulama yang mengerti hukum syariat, mempunyai otoritas

mengeluarkan fatwa, dalam hal ini adalah Majelis Ulama Indonesia

yang pada praktiknya, dalam masalah ekonomi syariah, kewenangan

ini di delegeasikan kepada Dewan Syariah Nasional sebagai lembaga

bentukan Majelis Ulama Indonesia dalam membuat fatwa yang terkait

dengan masalah ekonomi syariah.22

3. Dalil

Q.S An-Nisa ayat 29

Artinya: “Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan

(mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan

jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”.

Q.S Al-Ma’idah ayat 1

Artinya: “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”


22
Akhyar Ari Gayo, dkk, Kedudukan Fatwa MUI, h. 75-76

27
Q.S Al-Baqarah ayat 283

Artinya: “…Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,

hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia

bertakwa kepada Allah Tuhannya…”.

C. FATWA DSN-MUI NO: 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan

Mudharabah (Qiradh)

MEMUTUSKAN

Menetapkan :FATWA TENTANG PEMBIAYAAN MUDHARABAH

(QIRADH)

Pertama : Ketentuan Pembiayaan:

1. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS

kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.

2. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana)

membiayai 100% kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha

(nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha.

3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian

keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS

dengan pengusaha).

4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati

bersama dan sesuai dengan syari’ah; dan LKS tidak ikut serta dalam

28
managemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak untuk

melakukan pembinaan dan pengawasan.

5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk

tunai dan bukan piutang.

6. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari

mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang

disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.

7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan,

namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat

meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya

dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran

terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.

8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian

keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.

9. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.

10. Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau

melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat

ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan.

Kedua : Rukun dan Syarat Pembiayaan:

1. Penyedia dana (shahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap

hukum.

29
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk

menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad),

dengan memperhatikan hal-hal berikut:

a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan

kontrak (akad).

b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.

c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan

menggunakan cara-cara komunikasi modern.

3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia

dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:

a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.

b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal

diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada

waktu akad.

c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada

mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai engan

kesepakatan dalam akad.

4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan

dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:

a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan

hanya untuk satu pihak.

b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan

dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk

30
prosentasi (nisbah) dari keun-tungan sesuai kesepakatan. Perubahan

nisbah harus berdasarkan kesepakatan.

c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah,

dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali

diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran

kesepakatan.

5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan

(muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus

memperhatikan hal-hal berikut:

a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan

penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan

pengawasan.

b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola

sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan

mudharabah, yaitu keuntungan.

c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam

tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah, dan harus

mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.

Ketiga : Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan:

1. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.

2. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa

depan yang belum tentu terjadi.

31
3. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada

dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari

kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.

4. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi

perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan

melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan

melalui musyawarah.

32
BAB III
GAMBARAN UMUM KSPPS NGIRING TUNAS PAICE

DESA BAREJULAT

A. PROFIL LEMBAGA KSPPS NGIRING TUNAS PAICE

KSPPS Ngiring Tunas Paice merupakan satu koperasi yang didirikan

pada awal tahun 2002 yang awal mulanya lembaga ini bernama Kopwan

Tunas Paice .Dan semakin lama seiring dengan kemajuan koperasi tersebut

sehingga koperasi yang dulunya konvensional namun hijrah ke syariah di

tahun 2019 dan namanya pun ikut berubah menjadi KSPPS NGIRING

TUNAS PAICE. Dan kemudian lembaga ini dikukuhkan secara hukum

melalui surat keputusan Mentri Agama RI Nomer 818.00/232/BH/XII/2002.

B. SEJARAH PENDIRIAN KSPPS NGIRING TUNAS PAICE

KSPPS Ngiring Tunas Paice awalnyaa berdiri dari koprasi keluarga.

Sehingga koperasi ini dulu di kenal dengan nama koperasi keluarga atau

koperasi saling tolong.

KSPPS Ngiring Tunas Paice ini dulu hanyalah koperasi kecil namun

semakin lama menjadi koperasi besar dan memiliki beberapa cabang mulai

dari koperasi simpan pinjam,titip jaminan dan koperasi harian.Koperasi ini

termasuk ke dalam koperasi terbesar yang pusatnya adalah koperasi itu

sendiri.

33
C. VISI, MISI DAN TUJUAN LEMBAGA KSPPS NGIRING TUNAS

PAICE

1. Visi

Terwujudnya koperasi syariah "Ngiring Tunas Paice"barejulat yang

mandiri,merakyat dan bermartabat.

2. Misi

a. Mewujudkan tertib Adminstrasi.

b. Mewujudkan kelembagaan yang kuat.

c. Mewujudkan usaha yang sehat.

3. Tujuan Lembaga

Untuk membantu masyarakat dalam urusan ekonomi keuangan guna untuk

memajukan perekonomian masyarakat.

D. PROGRAM KERJA KSPPS NGIRING TUNAS PAICE

1. Simpan pinjam

Merupakan program yang disediakan oleh kspps ngiring tunas paice untuk

membantu masyarakat yang mengalami masalah ekonomi.Program ini

juga tetap menggunakan akad akad didalam ekonomi guna untuk mencapai

keuntungan bersama.

2. Titip Jaminan

Merupakan program yang menyediakan jasa penitipan barang yang

disediakan kspps ngiring tunas paice guna memudahkan masyarakat yang

34
membutuhkan uang dengan cara cepat.Program ini menyediakan jasa

penitipan barang baik itu dalam bentuk kendaraan,elektronik maupun

emas dengan bayar jasa penitipan 1 kali dalam 2 minggu.

E. Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Mengenai tempat pelasanaan dalam kegiatan Praktik Kerja Lapangan yaitu

bertemat di Desa Barejulat , Kec jonggat ,Nusa Tenggara Barat. Pelaksanaan

dimulai dari tanggal 01 September – 30 September 2022. Sedangkan jadwal

masuk kerja dalam satu minggu 6 hari kerja yang dimulai pada pukul 07:00-

17:00 (hari senin-sabtu).

F. Struktur Organisasi Kepengurusan KSPPS NGIRING TUNAS PAICE

Pelindung Penasehat 1: DR.H.M.Suhardi SH.MM

2: Ardian Anggawa PP.S.STP

3: H.Akup S.Sp

Pengurus Harian

Ketua : Cherly Duwi Sapitri S.STp

Sekertaris :Supardi

Bendahara : Guntur Ilwan Putra SH

Penanggungjawab Program : - Koordinator Administrasi

Nama : Kartini Eka S.Sp

- Koordinator 1

Nama : Hirpan

- Koordinator II

35
Nama : Igb Nakstara SH

- Koordinator III

Nama : Gunawan

- Koordinator IV

Nama : Martha A.A.Md

- Koordinator V

Nama : Agum Jayadi S.SP

Kepala Bagian Opu : Faeruz Zabadi

G. Sistem Manajemen KSPPS NGIRING TUNAS PAICE

Kpps ngiring tunas laice sebagai lembaga pengelolaan keuangan untuk

membantu pemberdayaan keuangan masyarakat menengah yang berstandar

terhadap kepercayaaan Al Quran dan Hadis dengan menggunakan akad

kafalah,wakalah ,murabahah dan mudrabah..

36
DAFTAR PUSTAKA

Al Imam Al Hafizh Ali bin Umar, Sunan Ad-Daraquthni, Jakarta : Pustaka


Azzam, 2008
Ali, Zainuddin, Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Amalia, Euis, Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2009
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah, Gema Insani: 2001
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 5, Jakarta : Gema Insani,
2011
Dahlan, Abdul Aziz, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 1996, Jilid I
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997
Djuwaini, Dimyauddin, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2008
Dusuki, Asyraf Wajdi, Sistem Keuangan Islam: Prinsip dan Operasi, Jakarta, PT
Raja Grafindo Persada, 2015, Cetakan ke-1
Dr. Jamal Lulail Yunus, S.E., M.M., Managemen Bank Syariah “ mikro”, Malang:
UIN Malang Press (anggota IKAPI), 2009
Fatah, Rohadi Abdul, Analisis Fatwa Keagamaan dalam Fiqih Islam, Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 2006
Fatwa DSN Indonesia No. 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang
Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
Gayo, Akhyar Ari Gayo, dkk, Kedudukan Fatwa MUI
Hafidz Abi Abdillah, Muhammad ibn Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah Jilid
2, Darul Fikri, 207-275 M
Huda, Nurul, Lembaga Keuangan Islam, Jakarta: Kencana, 2010
Huda, Nurul, Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis dan
Praktis, Jakarta: PT. Fajar Interpratama Mandiri, 2013
Qardhawi, Yusuf, Fatwa antara Ketelitian dan Kecerobohan, Jakarta: Gema Insani
Press, 1997

37
Ridwan, Muhammad, Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta, UPP AMP YKPN,
2003
Ridwan, Muhammad, Manajemen Baitul Maal Wa Tanwil, Yogyakarta: UII
Press, 2005
Risky, Awalil, BMT Fakta dan Prospek Baitul Maal Wa Tamwil,Yogyakarta,
Kreasi Wacana,2007
Riwan, Muhammad, Manajemen Baitul Maal wa Tamwil, Yogyakarta: UII press,
2014
Saeed, Abdullah, Bank Islam dan Bunga Studi Kritis dan Interpretasi
Kontemporer Tentang Riba dan Bunga, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004, Cetakan II
Saeed, Abdullah, Menyoal Bank Syariah, Paramadina: 2004 Cetakan I
Salman, Kautsar Riza, Akuntansi Perbankan Syariah Berbasis PSAK Syariah,
Jakarta, Akademia Permata, 2012, Cetakan 1
Sa’diyah, Mahmudatus, Meuthiya Athifa Arifin, Mudharabah dalam Fiqih dan
Perbankan Syariah, Jurnal, Volume 1, No.2, Desember 2013
Sri Nurhayati, Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, Jakarta, Salemba Empatt,
2014, Edisi 3
Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi,
Yogyakarta: Ekonisia
Yusuf, Sri Dewi, Peran Strategis BMT dalam Peningkatan Ekonomi Rakyat,
Volume 10 No.1 Edisi Juni 2014

38

Anda mungkin juga menyukai