Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produk penyaluran dana berbasis bagi hasil
yaitu pembiayaan mudharabah dan pembiayaan musyarakah. Pembiayaan mudhrabah
yaitu pembiayaan atau penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada
pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu yang sesuai
syariah, dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah
yang telah disepakati sebelumnya, dimana modal usaha seluruhnya berasal dari pihak
shahibul maal atau pemilik dana. Pembiayaan musyarakah adalah kerjasama antara
kedua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masingmasing pihak
memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama
sesuai dengan kesepakatan.
A. PENDAHULUAN
Prinsip pembiayaan dengan bagi hasil dibagi dua yaitu, pembiayaan
musyarakah dan pembiayaan mudharabah.1 Pembiayaan ini mempunyai
pengaruh terhadap perkembangan ekonomi, karena pembiayaan ini diperuntukan
oleh sekror riil. Produk bagi hasil, keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil
yang telah disepakati bersama oleh kedua belah pihak yang bertransaksi di awal
transaksi. Produk perbankan syariah yang termasuk ke dalam kelompok bagi
hasil adalah mudharabah dan musyarakah. Volume usaha perbankan syariah
dalam kurun waktu satu tahun terakhir, khususnya Bank Umum Syariah (BUS)
dan Unit Usaha Syariah (UUS), mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.2
Tingginya pertumbuhan aset tersebut tidak terlepas dari tingginya
pertumbuhan dana pihak ketiga pada sisi pasiva dan pertumbuhan penyaluran
dana pada sisi aktiva. Pertumbuhan aset yang tinggi tersebut terkait erat dengan
ekspansi perbankan syariah terutama pasca disahkannya Undang-undang nomor
21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (www.bi.go.id).3 Bila ditinjau dari
konsep bagi hasil, maka harus ada return yang harus dibagi, dan itu hanya bisa
terjadi apabila uang digunakan untuk usaha produktif.
Lembaga keuangan merupakan salah satu pengelola dan penghimpun
perekonomian, di indonesia lembaga keuangan syariah salah satunya yaitu
Lembaga Keuangan Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS)
Baitul Maal Wa Tamwil atau yang sering disebut dengan BMT. BMT
menerapkan prinsip syariah yang berlaku umum dalam kegiatan transaksi
syariah (muamalah) mengikat secara hukum bagi semua pelaku dan stakeholder
entitas yang melakukan transaksi syariah. Banyak lembaga keuangan syariah di
Indonesia, baik dalam bentuk Bank Syariah, Koperasi Syariah atau Baitul Maal
wa Tamwil (BMT) dan lain– lain. BMT sama seperti halnya lembaga keuangan
syariah yang memiliki peran sebagai lembaga intermediasi antara lembaga
keuangan dengan masyarakat, artinya BMT menghimpun dana dari masyarakat
1
Nofinawati, N. (2014). Akad dan produk perbankan syariah. Fitrah: Jurnal Kajian Ilmu-
ilmu Keislaman, 8(2), 219-234
2
ibid
3
www.bi.go.id
berupa simpanan kemudian disalurkan ke masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan perekonomian atau taraf hidup.4
Pembiayaan mudharabah dan musyarakah termasuk ke dalam
pembiayaan dengan prinsip bagi hasil. Dalam prinsip bagi hasil, penentuan
besarnya nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada
kemungkinan untung rugi, besarnya nisbah tergantung dari untung yang
diperoleh dimana jumlah keuntungannya akan meningkat sesuai dengan
peningkatan keuntungan, dan bila usaha merugi kerugian ditanggung bersama
oleh kedua belah pihak (Antonio, 2001).5 Pembiayaan mudharabah dan
musyarakah lebih menyentuh pada sektor riil dan menggerakkan perekonomian.
Bank syariah terbukti efektif memainkan perannya sebagai lembaga intermediasi
dan mengembangkan sektor riil melalui pembiayaan mudharabah dan
musyarakah serta instrumen profit and loss sharing, secara alamiah memiliki
andil dalam menahan laju inflasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Lalu berdasarkan prisip-prinsip pembiayaan diatas, maka penulis
berupaya memperdayakan ekonomi umat dengan adanya Baitul Mal Wa Tamwil
(BMT). BMT adalah mediator alternatif yang menghimpun dana langsung dari
masyarakat dan penyalurannya dalam bentuk bentuk pembiayaan pada usaha
bersekala kecil dan menengah. Belakangan ini Baitul Mal wa tamwil (BMT)
mulai popular di perbincangkan oleh insan perekonomian terutama dalam
perekonomian Islam. Sejak krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia tahun
1997, BMT telah mulai tumbuh menjadi alternatif pemulihan kondisi
perekonomian di Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil, tingkat keuntungan
bank ditentukan dari besarnya keuntungan usaha sesuai dengan prinsip bagi
hasil.
4
Nawawi, A., Nurdiansyah, D. H., & Al Qodliyah, D. S. A. (2018). Pengaruh Pembiayaan
Mudharabah dan Musyarakah Terhadap Profitabilitas (ROA) Pada BPRS HIK Bekasi Kantor
Cabang Karawang. Falah: Jurnal Ekonomi Syariah, 3(2), 96-105
5
Amalia, T. (2017). Implementasi Sistem Bagi Hasil Pada Produk Pembiayaan Mudharabah
(Study Kasus Di Bprs Bumi Artha Sampang Kantor Cabang Purwokerto) (Doctoral Dissertation,
Iain Purwokerto)
Dari uraian di atas, maka penulis akan membahas lebih dalam mengenai
Akad Dan Produk Penyaluran Dana Berbasis Bagi Hasil (Mudharabah Dan
Musyarakah).
B. METODOLOGI PENELITIAN
Peneliti menggunakan metodologi pendekatan ekonomi Islam yang
dipadukan dengan aspek normative pada pendekatan fiqih, ushul fiqih dan tafsir
dalam sebuah kajian epistemologi dan fenomenologi untuk mengungkap dan
menjawab permasalahan tentang pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil.
Peneliti menggunakan jenis penelitian literature atau (library research) yang
dilakukan dalam bentuk penelitian kualitatif deskriptif yang nantinya akan
menghasilkan gambaran obyek. Dimana sumber data penelitian didapatkan dari
observasi dan dokumentasi yang dilakukan dengan cara pengumpulan beberapa
informasi dari buku-buku, jurnal, karya ilmiah dan website yang berkaitan
dengan penelitian.
C. PEMBAHASAN
1. Gambaran Umum Akad di Lembaga Keuangan Syariah
Dalam bank syariah akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi
dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Sering kali
nasabah berani melanggar kesepakatan atau perjanjian yang telah dialkukan
apabila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian
bila perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban sampai yaumil qiyamah
nanti. Fiqh muamalah membedakan antara wa’ad dengan akad. 6 Wa’ad adalah
janji (promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya, sementara akad adalah
kontrak antara dua belah pihak. Wa’ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak
yang memberi janji berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya.
Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap
6
Maruta, H. (2016). Akad Mudharabah, Musyarakah, Dan Murabahah Serta Aplikasinya
Dalam Masyarakat. IQTISHADUNA: Jurnal Ilmiah Ekonomi Kita, 5(2), 80-106
pihak lainnya. Dalam wa’ad, terms and condition-nya belum ditetapkan secara
rinci dan spesifik (belum well defined).
Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi
yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral. Di lain pihak, akad mengikat
kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat
untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati
terlebih dahulu. Dalam akad, bila salah satu atau kedua belah pihak yang
terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia
/mereka menerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad.
Selanjutnya dari segi ada atau tidak adanya kompensasi, akad dibagi menjadi
dua bagian, yakni7 :
1. Akad Tabarru’
Tabarru’ berasal dari bahasa Arab yaitu kata birr, yang artinya
kebaikan. Akad tabarru’ (gratuitous contract) adalah segala macam
perjanjian yang menyangkut not for profit transaction (transaksi nirlaba).
Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari
keuntungan komersil. Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong-
menolong dalam rangka berbuat kebaikan. Dalam akad tabarru’ pihak yang
berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun
kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah SWT,
bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan
tersebut boleh meminta kepada counter part-nya untuk sekedar menutupi
biaya (cover the cost) yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad
tabarru’ tersebut. Tapi ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari akad
tabarru’ itu.
Pada hakikatnya akad tabarru’ adalah akad yang melakukan kebaikan
dengan mengharapkan imbalan dari Allah SWT semata. Itu sebabnya akad
ini tidak bertujuan untuk mencari keuntungan komersil. Konsekuensi
logisnya bila akad tabarru’ dilakukan dengan mengambil keuntungan
7
Nofinawati, N. (2014). Akad dan produk perbankan syariah. Fitrah: Jurnal Kajian
Ilmu-ilmu Keislaman, 8(2), 219-234
komersil, maka ia bukan lagi tergolong akad tabarru’, namun ia akan
tergolong akad tijarah. Bila ia ingin tetap menjadi akad tabarru’, maka ia
tidak boleh mengambil manfaat (keuntungan komersil) dari akad tabarru’
tersebut. Tentu saja ia tidak berkewajiban menanggung biaya yang timbul
dari pelaksanaan akad tabarru’. Artinya ia boleh meminta pengganti biaya
yang dikeluarkan dalam melaksanakan akad tabarru’. Akad tabarru’ terbagi
dalam tiga jenis transaksi, yaitu8 :
a) Transaksi Meminjamkan uang (lending)
1. Qardh yakni transaksi pinjam meminjam uang. Di dalam Islam
transaksi ini tidak bileh dikenakan tambahan atas pokok pinjaman
atau yang umum dikenal sebagai bunga pinjaman. Hukum
pengenaan bunga atas pinjaman adalah riba, suati hal yang harus
dihindari karena haram. Di bank syariah akad qardh digunakan
untuk pembiayaan talangan haji dan pembiayaan qardhul hasan.
2. Rahn yakni pemberian pinjaman uang dengan penyerahan barang
sebagai agunan, contohnya transaksi gadai emas.
3. Hiwalah yakni pemberian peminjaman uang bertujuan untuk
menutup pinjaman di tempat/pihak lain, contohnya transaksi
pengalihan hutang.
b) Meminjamkan jasa (lending yourself)
1. Wakalah yakni transaksi perwakilan, dimana satu pihak bertindak
atas nama/mewakili pihak lain. Contohnya transaksi jasa transfer
uang, inkaso, kliring warkat cek dan bilyet giro.
2. Kafalah yaknu transaksi penjaminan satu pihak kepada pihak lain.
Contohnya penerbitan L/C, bank garansi dan lain-lain
3. Wadiah yakni transaksi titipan, dimana satu pihak menitipkan
barang kepada pihak lain. Contohnya tabungan wadi’ah, giro
wadi’ah dan safe deposit box.
c) Memberikan sesuatu (giving something)
8
ibid
Yang termasuk kedalam golongan ini adalah akad-akad sebagai
bertikut: seperti akad Hibah, Waqf, Shadaqah dan Hadiyah. Akad
tabarru’ ini adalah berupa akad untuk mencari keuntungan akhirat
bukan akad bisnis. Jadi akad seperti ini tidak bisa digunakan untuk akad
komersil. Bank syariah sebagai lembaga keuangan yang bertujuan
untuk mendapatkan laba tidak dapat mengandalkan akad tabarru’ untuk
mendapatkan laba. Bila tujuannya untuk mendapatkan laba, maka bank
syariah menggunakan akad-akad yang bersifat komersil, yakni akad
tijarah. Namun demikian bukan berarti akad tabarru’ sama sekali tidak
sapat digunakan dalam kegiatan komersil. Bahkan pada kenyataanya
penggunaan akad tabarru’ sangat fital dalam transaksi komersil, karena
akad tabarru’ ini dapat digunakan untuk menjembatani atau
memperlancar akad-akad tijarah. Seperti produk talangan haji pada
bank syariah mandiri.
2. Akad Tijarah
Akad tijarah/muawadah (compensational contract) adalah segala macam
perjanjian yang menyangkut for pofit transaction. Akad ini digunakan
mencari keuntungan, karena itu akad ini bersifat komersil. Berdasarkan
tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya, akad tijarah dibagi menjadi
dua kelompok yaitu9:
a. Natural Certainty Contracts (NCC)
NCC adalah suatu jenis kontrak atau transaksi dalam bisnis yang
memiliki kepastian keuntungan dan pendapatannya baik dari segi
jumlah dan waktu penyerahannya. Dalam NCC kedua belah pihak
saling mempertukarkan aset yang dimilikinya, karena objek
pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal
akad dengan pasti, baik jumlahnya (quantity), mutunya (quality),
harganya (price), dan waktu penyerahannya (time of delivery). Jadi,
kontrak-kontrak ini secara “sunnatullah” (by their of nature)
9
Nofinawati, N. (2014). Akad dan produk perbankan syariah. Fitrah: Jurnal Kajian
Ilmu-ilmu Keislaman, 8(2), 219-234
menawarkan return yang tetap dan pasti. Yang termasuk dalam kategori
ini adalah akad jual beli dan sewa.
b. Natural Uncertainty contracts (NUC)
Dalam NUC, pihak-pihak yang bertransaksi saling
mencampurkan assetnya (baik real assets maupun financial assets)
menjadi satu kesatuan dan kemudian menanggung resiko bersama-sama
untuk mendapatkan keuntungan. Keuntungan dan kerugianditanggung
bersama oleh masing-masing pihak. Karena itu kontrak ini tidak
memberikan kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah
(amount) maupun waktu (timing)-nya. Yang termasuk dalam kontrak
ini adalah kontrak-kontrak investasi. Kontrak investasi ini secara
“sunnatullah” (by their nature) tidak menawarkan return yang tetap dan
pasti. Jadi sifatnya tidak “fixed and predetermined” seperti akad
musyarakah, mudharabah, musaqah dan mukhabarah.
10
Nurbiaty, N., Putro, T. S., & Mayes, A. (2017). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyaluran
Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil pada Bank Syariah Mandiri Indonesia Periode 2003-2015 (Doctoral
dissertation, Riau University).
11
Pratama, D. N., Martika, L. D., & Rahmawati, T. (2017). Pengaruh Pembiayaan Mudharabah,
Pembiayaan Musyarakah dan Sewa Ijarah Terhadap Profitabilitas. Jurnal Riset Keuangan Dan
Akuntansi, 3(1)
melakukan kegiatan usaha tertentu yang sesuai syariah, dengan pembagian
hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah
disepakati sebelumnya, dimana modal usaha seluruhnya berasal dari pihak
shahibul maal atau pemilik dana (Giannini, 2013). Keuntungan usaha
secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama
kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian ini
diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola
harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Akad mudharabah secara
umum terbagi menjadi dua jenis12:
a. Mudharabah Muthlaqah Adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal
dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh
spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.
b. Mudharabah Muqayyadah Adalah bentuk kerjasama antara shahibul
maal dan mudharib dimana mudharib memberikan batasan kepada
shahibul maal mengenai tempat, cara, dan obyek investasi.
c. Mudharabah Musytarakah
Mudharabah Musytrarakah adalah mudharabah di mana pengelola
dana menyertakan modal atau danaya dalam kerjasama investasi.
Diawal kerjasama, akad yang disepakati adalah akad mudharabah
dengan modal 100% dari pemilik dana, setelah berjalannya operasi
usaha dengan pertimbangan tertentu dan kesepakatan dengan pemilik
dana. Pengelola dana ikut menanamkan modalnya dalam usaha
tersebut. Jenis mudharabah ini disebut mudharabah ini disebut
mudharabah mustytarakah merupakan perpaduan antara akad
mudharabah dan akad musyarakah
Rukun dan Syarat Mudharabah13 :
1. Rukun mudharabah
12
Maruta, H. (2016). Akad Mudharabah, Musyarakah, Dan Murabahah Serta
Aplikasinya Dalam Masyarakat. IQTISHADUNA: Jurnal Ilmiah Ekonomi Kita, 5(2),
80-106
13
ibid
a. Shahibul maal (pemilik modal)
b. Mudharib (pengelola)
c. Maal (harta)
d. Kerja/usaha
e. Nisbah (keuntungan)
f. Ijab kabul
2. Syarat Mudharabah
a. Pemodal dan pengelola.
Dalam mudharabah ada dua pihak yang berkontrak yaitu penyedia
dana (shahibul maal) dan pengelola (mudharib). Adapun syarat
mudharib dan shahibul maal adalah :
Pemodal dan pengelola harus mampu melakukan transaksi dan
sahsecara hukum.
Keduanya harus mampu bertindak sebagai wakil dan kafil dari
masing-masing pihak
b. Sighat (ijab dan qabul).
Ucapan (sighat) yaitu penawaran dan penerimaan(ijab dan qabul)
harus diucapkan oleh kedua belah pihak guna menunjukkan
kemauan mereka untuk menyempurnakan kontrak. Sighat tersebut
sesuai dengan hal-hal berikut:
Secara eksplisit dan implicit menunjukkan tujuan kontrak.
Sighat, dianggap tidak sah jika salah satu pihak menolak
syaratsyaratyang diajukan dalam penawaran. Atau, salah satu
pihak meninggalkantempat berlangsungnya negoisasi kontrak
tersebut, sebelum kesepakatan disempurnakan.
Kontrak boleh dilakukan secara lisan atau verbal, bisa juga
secaratertulis dan ditandatangani.
c. Modal (maal).
Modal adalah sejumlah uang yang diberikan oleh penyedia dana
kepada pengelola untuk tujuan menginvestasikannya dalam aktivitas
mudharabah. Untuk itu, modal harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya (yaitu mata uang)
Modal harus tunai
d. Nisbah (keuntungan). Keuntungan adalah jumlah yang didapat
sebagaikelebihan dari modal. Keuntungan adalah tujuan akhir dari
mudharabah.
Manfaat Mudharabah pada Lembaga Keuangan Syariah 14:
1. Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan
usaha nasabah meningkat
2. Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah
pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil
usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative
spread.
3. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus
kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.
4. Bank akan lebih selektif dan hati-hati mencari usaha yang benar-benar
aman, halal dan menguntungkan karena keuntungan yang konkrit dan
benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
5. Prinsip bagi hasil dalam mudharabah ini berbeda dengan prinsip
bunga tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan satu
jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah,
sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
2) Musyarakah
Musyarakah berarti kemitraan dalam suatu usaha dan dapat
diartikan sebagai bentuk kemitraan antara dua orang atau lebih yang
menggabungkan modal atau kerja mereka untuk berbagi keuntungan, serta
menikmati hak dan tanggung jawab yang sama. Dengan kata lain
15
Maruta, H. (2016). Akad Mudharabah, Musyarakah, Dan Murabahah Serta Aplikasinya Dalam
Masyarakat. IQTISHADUNA: Jurnal Ilmiah Ekonomi Kita, 5(2), 80-106
16
Nawawi, A., Nurdiansyah, D. H., & Al Qodliyah, D. S. A. (2018). Pengaruh Pembiayaan Mudharabah dan
Musyarakah Terhadap Profitabilitas (ROA) Pada BPRS HIK Bekasi Kantor Cabang Karawang. Falah: Jurnal
Ekonomi Syariah, 3(2), 96-105
17
Pratama, D. N., Martika, L. D., & Rahmawati, T. (2017). Pengaruh Pembiayaan
Mudharabah, Pembiayaan Musyarakah dan Sewa Ijarah Terhadap Profitabilitas. Jurnal
Riset Keuangan Dan Akuntansi, 3(1)
18
Fatwa DSN MUI No.08/DSN MUI/IV/2000
a. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad),
dengan memperhatikan halhal berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan
tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau
dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
b. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan
hal-hal berikut:
a. Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan
perwakilan.
b. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap
mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.
c. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam
proses bisnis normal.
d. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk
mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi
wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan
memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian
dan kesalahan yang disengaja.
e. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau
menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
f. Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)
a. Modal
Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang
nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti
barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk
aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati
oleh para mitra.
Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan,
menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada
pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada
jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan,
LKS dapat meminta jaminan.
b. Kerja
Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar
pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja
bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan
kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh
menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama
pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing
dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.
c. Keuntungan
Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk
menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi
keuntungan atau penghentian musyarakah.
Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas
dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di
awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan
melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan
kepadanya.
Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam
akad.
d. Kerugian Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara
proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.
e. Biaya Operasional dan Persengketaan
a. Biaya operasional dibebankan pada modal bersama.
b. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari‟ah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
Dengan sistem musyarakah, Terdapat banyak manfaat dari
pembiayaan secara musyarakah, di antaranya adalah sebagai berikut19 :
1. Bank bisa menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat
profit dari bisnis nasabah juga meningkat
2. Bank tidak memiliki kewajiban dalam hal membayar sejumlah uang
tertentu kepada nasabah pendanaan secara tetap, namun akan
disesuaikan bersama dengan pendapatan atau hasil usaha dari bank,
sehingga bank tidak mengalami negative spread
3. Mekanisme pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan
cash flow dari usaha nasabah tersebut, sehingga tidak memberatkan
nasabah sendiri
4. Bank akan lebih selekif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang
benar-benar halal, aman, dan menguntungkan
5. Hal ini karena keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi itulah
yang akan dibagikan
6. Adapun prinsip bagi hasil dalam ketentuan mudharabah atau
musyarakah berbeda dengan prinsip bunga pada bank konvensional,
yang mana bank akan menagih penerima pembiayaan (dalam hal ini
nasabah) satu jumlah bunga tetap berapa pun profit yang dihasilkan
oleh nasabah, bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi
Riyanto, H. (2016). Optimalisasi Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil pada Bank Devisa
19
20
Fatwa DSN-MUI No. 14/DSNMUI/IX/2000
21
PSAK No. 105 tentang Mudharabah
yang diberikan atau investasi yang sedang dilakukan oleh pihak bank
(Muhammad, 2005 dalam Firmansyah, 2014). Salah satu risiko yang
dihadapi oleh bank adalah adanya ketidakmampuan nasabah untuk
memenuhi perjanjian dengan bank syariah. Ketidakmampuan nasabah
untuk memenuhi kewajibannya kepada bank mengakibatkan adanya
pembiayaan bermasalah atau Non Performing Financing (NPF).
NPF sebagai indikator risiko bank menunjukkan kondisi dimana
nasabah sebagai debitur sudah tidak sanggup memenuhi sebagian atau
seluruh kewajibannya kepada pihak bank sebagaimana yang telah tertuang
dalam kontrak perjanjian. Tingkat NPF suatu bank dapat diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu:
1. pembiayaan kurang lancar (substandard),
2. diragukan (doubtful) dan
3. macet (loss).
Menurut Bank Indonesia dalam Sari dkk (2012), dalam
pembiayaan mudharabah dan musyarakah, pembiayaan dikategorikan
kurang lancar apabila tunggakan sampai dengan 90 hari, realisasi bagi
hasil di atas 30% hingga 90% dari proyeksi pendapatan. Pembiayaan
dikategorikan diragukan apabila tunggakan lebih dari 90 hari sampai
dengan 180 hari, realisasi bagi hasil kurang dari 30% dari proyeksi
pendapatan. Kemudian dikategorikan macet apabila tunggakan lebih dari
180 hari, realisasi bagi hasil kurang dari 30% dari proyeksi pendapatan
lebih dari tiga periode pembayaran. NPF sangat berpengaruh terhadap
pengendalian biaya dan sekaligus berpengaruh juga terhadap kebijakan
pembiayaan yang akan dilakukan oleh bank. Semakin tinggi NPF maka
semakin kecil pembiayaan yang disalurkan. NPF yang rendah
menyebabkan bank akan menaikan pembiayaan (Antonio, 2001).22
23
ibid
Amalia, T. (2017). Implementasi Sistem Bagi Hasil Pada Produk Pembiayaan
24
Mudharabah (Study Kasus Di Bprs Bumi Artha Sampang Kantor Cabang Purwokerto)
(Doctoral Dissertation, Iain Purwokerto)
b. Revenue sharing
Jawab:
a. Profit Sharing
Bank Syariah = 30% x Rp 200.000 (Laba bersih) = Rp 60.000
Irfa = 70% x Rp 200.000 = Rp 140.000
b. Revenue Sharing
Bank Syariah = 30% x Rp 300.000 (Laba Kotor) = Rp 90.000
Irfa = 70% x Rp 300.000 = Rp 210.000
25
Maruta, H. (2016). Akad Mudharabah, Musyarakah, Dan Murabahah Serta
Aplikasinya Dalam Masyarakat. IQTISHADUNA: Jurnal Ilmiah Ekonomi Kita, 5(2),
80-106
perbedaan dengan perhitungan bunga yang dihitung setiap bulan sesuai
dana bank yg digunakan oleh nasabah?
Jawab:
1. pembiayaan yang dapat diberikan oleh Bank ABC adalah senilai Rp
1.744.947.500 x 70% = Rp 1.221.463.250,- atau dibulatkan ke bawah
menjadi Rp 1.220.000.000,00
2. Menghitung nisbah bagi hasil didasarkan atas pendapatan nett nasabah
setelah mengeluarkan PPN, sehingga pendapatan nett nasabah adalah
sebesar Rp2.700.000.000,00 Proyeksi pembayaran bagi hasil dihitung
berdasarkan ekspekatasi return yang diinginkan oleh Bank setara 14,5%
pa dengan model dropping pembiayaan secara bertahap sesuai tabel dan
juga schedule pembayaran dari Bouwheer secara bertahap sesuai
dengan progress penyelesaian proyek.
Proyeksi pencairan pembiayaan secara bertahap ini diperoleh dari
proyeksi cashflow proyek nasabah sehingga besaran pembiayan yang
diberikan benar-benar langsung secara produktif dugunakan atas proyek
yang dibiayai secara musyarakah ini. Setiap pencairan pembiayaan,
nasabah pun memasukkan share atau dana syirkah bagian nasabah
untuk kemudian digunakan oleh nasabah guna membiayai proyek
tersebut, dalam hal ini sekitar 70% share bank dan 30% share nasabah.
Penurunan pokok pembiayaan dilakukan secara proporsional sesuai
dengan progress pembayaran dengan memperhitungkan prosentase
Modal Kerja atas Pendapatan yang diperoleh nasabah dalam proyek ini
(sebesar rata-rata 65%)
Dengan perhitungan = MK/NP (nilai Proyek) = 1.744.947.500/
2.700.000.000 =64,63% atau dibulatkan menjadi 65%. Pada
pembayaran tahap 1 sebesar Rp 540 juta (20% dari nett nilai kontrak),
maka pokok turun sebesar Rp 540 juta x 70% x 65% = Rp245.700.000,-
Sisa dana yang masuk sebagian menjadi bagian keuntungan Bank dan
Nasabah dan sebagian sebagai pengembalian share pokok nasabah,
sehingga nasabah dapat memanfaatkan dana tersebut untuk proyek
lainnya. Berdasarkan schedule proyeksi penyelesaian proyek, return
yang diharapkan oleh Bank ABC atas pembiayaan ini sampai dengan
akhir adalah sebesar Rp 75.885.750,-, sehingga nisbah bagi hasil antara
Bank ABC dengan nasabah berdasarkan revenue sharing adalah 2,81%
untuk Bank dan 97,19% untuk nasabah. Prosentase pembayaran nisbah
pada pembayaran tahap selanjutnya tetap sama mengingat jumlah porsi
pembiayaan sama-sama turun secara proporsional. Terlihat perbedaan
jumlah pembayaran nisbah dengan perhitungan bunga bulanan setara
14,5% meskipun secara total pembayaran yg diterima memiliki
nilai/jumlah yang sama.
Rahayu, Y. S., Husaini, A., & Azizah, D. F. (2016). Pengaruh Pembiayaan Bagi Hasil
26
Mudharabah Dan Musyarakah Terhadap Profitabilitas (Studi pada Bank Umum Syariah
yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia periode 2011-2014). Jurnal Administrasi
Bisnis, 33(1), 61-68
commercial banking. Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang
disalurkan lembaga keuangan syariah kepada pihak lain untuk usaha
yang produktif. Dalam kegiatan penyaluran dana oleh bank syariah
melakukan investasi dan pembiayaan, disebut investasi karena prinsip
yang digunakan adalah prinsip penanaman dana atau penyertaan dan
keuntungan yang diperoleh bergantung kinerja Entrepreniur dan usaha
yang menjadi objek penyertaan tersebut sesuai dengan nisbah bagi hasil
yang telah disepakati sebelumnya.
Menurut Fatwa DSN MUI Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000
mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha antara dua pihak di
mana pidak pertama (shohibul-mal/LKS) menyediakan seluruh
modal,sedangkan pihak kedua (mudharib/nasabah) bertindak selaku
pengelola, dan keuntungan usaha di bagi diantara mereka sesuai
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak dilakukan sesuai dengan
syariat islam. Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang
disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.
Dalam pembiayaan ini LKS sebagai pemilik dana membiayai kebutuhan
suatu proyek (usaha), sedangkan, pengusaha (nasabah) bertindak sebagai
pengelola usaha akan tetapi biaya operasional dibebankan kepada
mudharib atau nasabah. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian
dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan
kedua belah pihak.27
LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian kecuali
jika nasabah melakukan kesalahan yang disengaja,lalai, atau menyalahi
perjanjian. Namun, apabila LKS yang melakukan kesalahan atau
pelanggaran terhadap kesepakatan, nasabah berhak mendapatkan ganti
rugi atau biaya yang telah dikeluarkan. LKS dapat meminta jaminan dari
nasabah untuk menghindari penyimpangan, dan jaminan hanya dapat
dicairan apabila nasabah terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-
27
Fatwa DSN MUI Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000
hal yang telah disepakati bersama dalam akad, meskipun pada prinsipnya
dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000
menimbah bahwa dalam rangka meningkatkan dana lembaga keuangan
syariah (LKS), pihak LKS dapat menyalurkan dananya kepada pihak lain
dengan cara mudharabah. Bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai
dengan syariat islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang
mudharabah untuk dijadikan pedoman oleh LKS, mengingat28 :
Firman Allah Surat Al- Muzammil (73) ayat 2029 :
Q يQِ فQنQَ Q وQُ لQِتQ اQَ قQُ يQنQَ Q وQرQُ QخQَ Q آQوQَ Qۙ Qِ هَّللاQلQِ Qض ِ QرQْ Qَ أْلQ اQ يQِ فQنQَ Q وQُ بQ ِرQض
Qْ Qَ فQنQْ Q ِمQنQَ Q وQ ُغQَ تQ ْبQَ يQض Qْ Qَ يQنQَ Q وQ ُرQخQَ Q آQوQَ
Qِ هَّللاQ ِلQ يQِ بQَس
“... dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah; dan orangorang yang lain yang berperang di jalan
Allah...”
Surat Al Jumu‟ah (62) ayat 1030 :
Qَ هَّللاQاQ وQرQُ Q ُكQ ْذQ اQ َوQِ هَّللاQلQِ Qض ِ QرQْ Qَ أْلQ اQ يQِ فQاQ وQ ُرQ ِشQَ تQ ْنQ اQَ فQُ اَل ةQَّصQلQ اQت
Qْ Qَ فQنQْ Q ِمQاQ وQ ُغQَ تQ ْبQ اQ َوQض Qِ Qُ قQ اQ َذQِ إQَف
ِ Qَ يQض
Q َنQ وQ ُحQِ لQ ْفQُ تQ ْمQَّ ُكQ لQ َعQَ لQ اQ ًرQ يQِ ثQَك
“apabila Sholat telah dilaksanakan,maka bertebarlah kamu di bumi ;
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu
beruntung.”
Hadist tentang Mudharabah
Dari Abdurrahman bi Dawud, dari Shalih bin Shuhaib dari bapaknya ia
berkata : Rasulullah saw bersabda : “ Tiga hal yang di dalamnya
terdapat berkah : jual beli yang memberi tempo,pinjaman (mudhrabah) ,
dan campuran gandung jelai utuk dikonsumsi orang-orang rumah bukan
untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah no 2280).
Ada beberapa ketentuan hukum pembiayaan mudahrabah dalam
Fatwa DSN-MUI, yaitu31 :
28
ibid
29
Surat Al- Muzammil (73) ayat 20
30
Surat Al Jumu‟ah (62) ayat 10
31
Fatwa DSN MUI Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000
a. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.
b. Kontrak tidak boleh dikaitkan dengan sebuah kejadian di masa depan
yang belum terjadi.
c. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi,karena pada
dasarnya akad ini bersifat amanah, kecuali dari akibat dari
kesalahansengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
d. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka
penyelesaiannya di lakukan melalui Badan Arbitase Syariah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Pembiayaan Musyarakah
Pembiayaan Musyarakah merupakan salah satu produk lembaga
keuangan syariah seperti Koperasi, Baitul Maal (BMT), atau Bank
Syariah. Musyarakah adalah akad kerjasama yang terjadi di antara para
pemilik modal (mitra musyarakah) untuk menggabungkan modal dan
melakukan usaha secara bersama dalam suatu kemitraan,dengan nisbah
pembagian hasil sesuai dengan kesepakatan,sedangkan kerugian
ditanggung secara proposional sesuai dengan kontribusi modal.
Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk
memberikan suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana(atau amal/expertise) dengan kesepakatan
bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan32.
Dalam sebuah musyarakah, pihak pengusaha (pelaksana)
menambahkan sebagian modalnya sendiri pada modal yang dipasok oleh
para investor, dengan begitu ia membuka diri terhadap risiko kehilangan
modal. Dalam hal ini kontribusi financial pengusaha memerlukan
perbedaan antara dua pemodalan Frofit and loss sharing system (PLS)
Pratama, D. N., Martika, L. D., & Rahmawati, T. (2017). Pengaruh Pembiayaan
32
Rahayu, Y. S., Husaini, A., & Azizah, D. F. (2016). Pengaruh Pembiayaan Bagi Hasil
33
Mudharabah Dan Musyarakah Terhadap Profitabilitas (Studi pada Bank Umum Syariah
yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia periode 2011-2014). Jurnal Administrasi
Bisnis, 33(1), 61-68
usaha, dan partisipasi ini di jalankan berdasarkan sistem bagi hasil baik
dalam keuntungan maupun kerugian. Syarat-syarat yang berkenaan
dengan kontrak musyarakah berdasarkan kesepakatan yang telah
dibicarakan antara kedua belah pihak (Bank dan partner) umumnya pihak
bank memberikan modal dan manajemen usahanya kepada partner, Al-
Musyarakah boleh dilakukan antara individu. Individu dengan
lembaga,dan antara lembaga berbadan hukum Dalam prakteknya,
Musyarakah sebagai bagian dari prinsip ekonomi syariah mempunyai
landasan hukum yang tertera pada Al Qur‟an, Al Hadist dan Ijma, serta
Fatwa DSN yaitu34 :
Al-Qur‟an QS. Shaad 23-2435
َ Qَ لQ ُخQ ْلQ اQنQَ Q ِمQ اQ ًرQ يQِ ثQ َكQن
Q يQغQِ Q ْبQَ يQَ لQ ِءQ اQط َّ Qِ إQوQَ Qۖ Q ِهQ ِجQ اQ َعQِ نQىQٰ Qَ لQِ إQك َ Q ْدQَ قQَ لQلQَ Q اQَق
َ Q َمQَ لQظ
َ Qِ تQ َجQ ْعQَ نQلQِ Q اQؤQَ Q ُسQِ بQك
Qَّ نQظ ِ Q اQحQَ QِلQ اQَّصQلQ اQاQ وQُ لQ ِمQ َعQ َوQاQ وQُ نQ َمQ آQنQَ Q يQَّ ِذQلQ اَّل اQِ إQض
َ Q َوQۗ Q ْمQُ هQ اQ َمQ ٌلQ يQِ لQَ قQوQَ Qت ٍ Q ْعQَ بQىQٰ Qَ لQ َعQ ْمQُ هQض
ُ Q ْعQَب
Qَ Q اQَ نQَ أQوQَ Q اQ ًعQ ِكQ اQرQَ Qَّ رQ َخQوQَ Qَُّ هQ بQ َرQ َرQَ فQ ْغQَ تQ ْسQ اQَ فQُهQَّ اQ نQَ تQَ فQ اQَّ َمQ نQَ أQ ُدQ وQ ُوQ اQَد
Q۩ Qب
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat
Al-Hadits
فارا خا ًو, ً مالم يخه أح ٌذما صاحب, أ وا ثالث الشركيه: ان هلال يقُل: رف ًع قال,عه أبي ٌريرة
خرجت مه بيىٍما ) َراي أبُا داَد َالحاكم عه أبي ٌريرة
34
ibid
35
QS. Shaad 23-24
keduanya tidak mengkhianati yang lain,seandainya berkhianat maka
saya keluar dari penyertaan tersebut. (HR.Abu Daud).
37
Destiana, R. (2016). Analisis Dana Pihak Ketiga dan Risiko Terhadap Pembiayaan
Mudharabah dan Musyarakah Pada Bank Syariah di Indonesia. LOGIKA Jurnal Ilmiah
Lemlit Unswagati Cirebon, 17(2), 42-54
38
Mahmudah, S., Jatim, A. P. U., & Trisnaningsih, S. Implementasi Dana Mudharabah
Pada Koperasi Jasa Keuangan Syariah
3. Simpanan sukarela
Simpanan anggota yang merupakan bentuk investasi dari anggota
atau calon anggota yang memiliki kelebihan dana kemudian
menyimpannya di Koperasi Syariah. Bentuk simpanan sukarela
memiliki 2 jenis karakter antara lain :
a. Bersifat akad Titipan yang disebut (wadi’ah) yang berarti
transaksi penitipan dana anggota kepada Koperasi Syariah dengan
kewajiban bagi Koperasi Syariah untuk dapat mengembalikan
pada saat diambil sewaktu-waktu oleh anggota.
b. Bersifat investasi
Dana tersebut ditujukan untuk kepantingan usaha dengan
mekanisme bagi hasil (Mudharabah) baik Revenue Sharing
maupun Profit and Loss Sharing. Konsep simpanan yang
diberlakukan dapat berupa simpanan berjangka Mudharabah
Mutlaqoh maupun simpanan berjangka Mudharabah
Muqoyyadoh. Simpanan sukarela anggota Koperasi Syariah
merujuk pada Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 02/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Tabungan.
4. Investasi pihak lain
Koperasi Syariah dibenarkan untuk bekerja sama dengan pihak-pihak
lain seperti bank Syariah maupun program-program Pemerintah.
Investasi pihak lain adalah pembiayaan yang diterima yang berasal
bukan dari anggota dengan menggunakan akad Mudharabah atau
Musyarakah yang pengembalian dana tersebut dilakukan pada waktu
tertentu berdasarkan perjanjian bersama dengan Koperasi Syariah.
Investasi pihak lain merujuk pada Fatwa Dewan Syariah Nasional
Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah.
D. KESIMPULAN
Pembiayaan mudharabah dan musyarakah termasuk ke dalam pembiayaan
dengan prinsip bagi hasil. Dalam prinsip bagi hasil, penentuan besarnya nisbah
bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan
untung rugi, besarnya nisbah tergantung dari untung yang diperoleh dimana
jumlah keuntungannya akan meningkat sesuai dengan peningkatan keuntungan,
dan bila usaha merugi kerugian ditanggung bersama oleh kedua belah pihak
Prinsip pembiayaan dengan bagi hasil dibagi dua yaitu, pembiayaan musyarakah
dan pembiayaan mudharabah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akad
dan produk penyaluran dana berbasis bagi hasil yaitu pembiayaan mudharabah
dan pembiayaan musyarakah. Pembiayaan mudhrabah yaitu pembiayaan atau
penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana
(mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu yang sesuai syariah,
dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah
yang telah disepakati sebelumnya, dimana modal usaha seluruhnya berasal dari
pihak shahibul maal atau pemilik dana. Pembiayaan musyarakah adalah
kerjasama antara kedua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana
masingmasing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan risiko
akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, T. (2017). Implementasi Sistem Bagi Hasil Pada Produk Pembiayaan
Mudharabah (Study Kasus Di Bprs Bumi Artha Sampang Kantor Cabang
Purwokerto) (Doctoral Dissertation, Iain Purwokerto).
Destiana, R. (2016). Analisis Dana Pihak Ketiga dan Risiko Terhadap Pembiayaan
Mudharabah dan Musyarakah Pada Bank Syariah di Indonesia. LOGIKA
Jurnal Ilmiah Lemlit Unswagati Cirebon, 17(2), 42-54.
Rahayu, Y. S., Husaini, A., & Azizah, D. F. (2016). Pengaruh Pembiayaan Bagi Hasil
Mudharabah Dan Musyarakah Terhadap Profitabilitas (Studi pada Bank
Umum Syariah yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia periode 2011-
2014). Jurnal Administrasi Bisnis, 33(1), 61-68.
Riyanto, H. (2016). Optimalisasi Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil pada Bank Devisa
Syariah di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, 17(1), 54-65.
www.bi.go.id