Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TELAAH PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

A. Telaah Pustaka
1. Agency Theory
Jensen dan Meckling (1976), Godfrey (1977) dan Scott (2000)
dalam menggambarkan hubungan keagenan sebagai hubungan yang
timbul karena adanya kontrak yang diterapkan antara principal yang
menggunakan agen untuk melakukan jasa yang menjadi kepentingan dari
principal dalam hal ini terjadi pemisahan antara kepemilikan dan kontrol
perusahaan. Secara garis besar Jensen dan Meckling (1976)
menggambarkan dua bentuk keagenan yaitu antara manager dan
pemegang saham (shareholders) dan antara manager dengan pemberi
pinjaman yang biasa disebut bondholders (Primasari, 2018: 69).
Hubungan bank dengan nasabah dalam bank syariah adalah
hubungan kontrak (contractual agreement) atau akad antara investor
pemilik dana atau shahibul maal (principal) dengan pengelola dana atau
mudharib (agent) yang bekerjasama untuk melakukan usaha yang
produktif dan berbagai keuntungan secara adil atau disebut mutual
investment relationship (Lewaru, 2015).
Implikasi agency theory pada penelitian ini adalah Profit Sharing
Based Financing (PSBF) yang terdiri dari mudharabah dan musyarakah
serta Trading Based Financing (TBF) yang terdiri dari murabahah dan
istishna didasarkan hubungan kepercayaan antara pemilik dana (shahibul
maal) dan pengelola dana (mudharib). Pemilik dana memberikan
kepercayaan kepada pengelola dana untuk mengelola dana tersebut ke
dalam suatu usaha yang bersifat produktif demi mencapai tujuan yang
sama yaitu kesejahteraan hidup. Pengelola dana harus bersifat amanah
(dapat dipercaya) serta memiliki tanggung jawab yang tinggi dalam
mengelola dana tersebut. Kepercayaan yang diberikan oleh bank syariah
kepada nasabah, mempunyai harapan agar nasabah bertindak sesuai
dengan tujuan bersama yang dibuat diawal akad pembiayaan sehingga
bank syariah ataupun nasabah dapat memperoleh keuntungan.
Keuntungan yang diperoleh dari pembiayaan yang diberikan akan
menjadi pendapatan dan akan mempengaruhi tingkat laba bank syariah
(ROA). Selain potensi pendapatan yang diterima dari keuntungan
pembiayaan, juga muncul potensi resiko berupa pembiayaan bermasalah
yang dimungkinkan muncul dalam penyelesaian pembiayaan. Dalam
penelitian ini pembiayaan bermasalah dinyatakan oleh tingkat Non
Performing Financing (NPF).

2. Bank Umum Syariah


Berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, bank umum syariah adalah bank syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank
syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan
prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas bank umum syariah dan
bank pembiayaan rakyat syariah. Prinsip syariah adalah prinsip hukum
islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan
oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di
bidang syariah.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan
menyatakan bahwa prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan
hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan
atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan
sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi
hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal
(musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan
(murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa
murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan
kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain
(ijarah wa iqtina).

3. Profit Sharing Based Financing


Menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 pembiayaan
adalah penyediaan dana atau tagihan. Pembiayaan dengan transaksi bagi
hasil dalam penelitian ini dinyatakan dalam bentuk mudharabah dan
musyarakah. Dalam Statistik Perbankan Syariah tahun 2013-2018 yang
diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, pembiayaan mudharabah dan
pembiayaan musyarakah merupakan pembiayaan yang memiliki jumlah
tertinggi dalam kategori profit sharing based financing.
a. Pembiayaan Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata dharaba yang berarti memukul atau
berjalan, yang dapat diasumsikan bahwa bagaimana seseorang
menjalankan usahanya agar berjalan sesuai yang diharapkan. Secara
umum al-mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan
usaha (Anggadini dan Komala, 2017: 168).
Mudharabah menurut Antonio (2001) dalam Anggadini dan
Komala (2017: 169) adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak
di mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%)
modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola yang mana
keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan
dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik
modal selama kerugian itu bukan kelalaian si pengelola serta
seandainya kerugian diakibatkan karena kecurangan dan kelalaian si
pengelola, maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian
tersebut.
Mudharabah adalah perjanjian atas suatu jenis kerja sama usaha di
mana pihak pertama menyediakan dana dan pihak kedua
bertanggung jawab atas pengelolaan usaha. Pihak yang menyediakan
dana biasa disebut dengan istilah shahibul maal, sedang pihak yang
mengelola usaha biasa disebut mudharib. Keuntungan hasil usaha
dibagikan sesuai dengan nisbah bagi hasil yang disepakati bersama
sejak awal. Akan tetapi, jika terjadi kerugian, shahibul maal akan
kehilangan sebagian imbalan dari hasil kerjanya selama proyek
berlangsung (Abdurahim dkk, 2014: 57).
Menurut PSAK 105 (Ikatan Akuntan Indonesia, 2007: 2)
mudharabah didefinisikan sebagai akad kerjasama usaha antara dua
pihak dimana pihak pertama (pemilik dana) menyediakan seluruh
dana, sedangkan pihak kedua (pengelola dana) bertindak selaku
pengelola, dan keuntungan dibagi di antara mereka sesuai
kesepakatan sedangkan kerugian finansial hanya ditanggung oleh
pemilik dana.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Pasal 19 Ayat 1 huruf c
menjelaskan akad mudharabah dalam Pembiayaan sebagai akad
kerjasama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal,
atau Bank Syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak
kedua (‘amil, mudharib, atau Nasabah) yang bertindak selaku
pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan
kesepakatan yang dituangkan dalam Akad, sedangkan kerugian
ditanggung sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali jika pihak kedua
melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian
(Bank Indonesia, 2008).

b. Pembiayaan Musyarakah
PSAK 106 (Ikatan Akuntan Indonesia, 2007: 1) menjelaskan
musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk
suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi
berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian berdasarkan porsi
kontribusi dana. Dana tersebut meliputi kas atau aset nonkas yang
diperkenankan oleh syariah.
Musyarakah adalah kerja sama untuk menjalankan suatu usaha
antara dua atau lebih pihak yang terkait yang mana memberikan
kontribusi usaha dengan kapasitas dan nilai yang sama dengan
penanggungan risiko dibagi sama rata (Anggadini dan Komala,
2017: 160).
Musyarakah merupakan akad kerja sama para pemilik modal yang
mencampurkan modal mereka pada suatu usaha tertentu dengan
pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati
sebelumnya, sedangkan apabila terjadi kerugian ditanggung semua
pemilik modal berdasarkan porsi modal masing-masing. Pada skema
musyarakah, hubungan antara bank dan nasabah adalah hubungan
kemitraan sesama pemilik modal. Bank dan mitra sama-sama
menyediakan modal untuk membiayai suatu usaha tertentu baik yang
sudah berjalan ataupun baru berjalan. Selanjutnya, mitra dapat
mengembalikan modal tersebut beserta bagi hasil yang telah
disepakati nisbahnya secara bertahap ataupun sekaligus kepada bank
(Yaya, Martawireja dan Abdurahim, 2014: 61).
Musyarakah merupakan akad kerja sama di antara para pemilik
modal yang menggabungkan modal mereka dengan tujuan mencari
keuntungan. Para mitra secara bersama-sama menyediakan modal
untuk membiayai suatu usaha tertentu dan bekerja sama mengelola
usaha tersebut. Modal yang ada harus digunakan dalam rangka
mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama sehingga tidak boleh
digunakan untuk kepentingan pribadi atau dipinjamkan kepada pihak
lain tanpa seizin mitra lainnya. Dengan bergabungnya dua orang atau
lebih, hasil yang diharapkan akan jauh lebih baik dibandingkan jika
dilakukan sendiri, karena didukung oleh kemampuan akumulasi
modal yang lebih besar, relasi bisnis yang lebih luas, keahlian yang
lebih beragam, wawasan yang lebih luas dan pengendalian yang
lebih tinggi. Apabila usaha tersebut untung maka keuntungan akan
dibagikan kepada para mitra sesuai dengan nisbah yang telah
disepakati, sedangkan bila rugi akan ditanggung para mitra sesuai
dengan porsi modal masing-masing. Hal ini sesuai dengan prinsip
sistem keuangan syariah yaitu bahwa pihak-pihak yang terlibat
dalam suatu transaksi harus bersama-sama menanggung atau berbagi
resiko (Hery, 2018: 18).

4. Trading Based Financing


Bentuk pembiayaan lain dalam bank syariah adalah dengan prinsip
jual beli. Prinsip jual beli di dalamnya mengatur syarat, jaminan dan
ketentuan-ketentuan yang berlaku. Jual beli merupakan akad yang
dilakukan antara bank dengan nasabah (Anggadini dan Komala, 2017:
185). Trading Based Financing dalam penelitian ini diantaranya
dinyatakan oleh pembiayaan murabahah dan istishna. Dalam Statistik
Perbankan Syariah tahun 2013-2018 yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan, pembiayaan murabahah dan pembiayaan istishna merupakan
pembiayaan yang memiliki jumlah tertinggi dalam kategori trading based
financing.
a. Pembiayaan Murabahah
Murabahah menurut PSAK 102 (Ikatan Akuntan Indonesia, 2007:
2) adalah akad jual beli barang dengan harga jual sebesar biaya
perolehan ditambah keuntungan yang disepakati dan penjual harus
mengungkapkan biaya perolehan barang tersebut kepada pembeli.
Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan
harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh
penjual dan pembeli. Hal yang membedakan murabahah dengan
penjualan pada umumnya adalah penjual secara jelas memberi tahu
kepada pembeli berapa harga pokok barang tersebut dan berapa
beesar keuntungan yang diinginkannya. Pembeli dan penjual dapat
melakukan tawar-menawar atas besaran margin keuntungan
sehingga akhirnya diperoleh kesepakatan (Nurhayati dan Wasilah,
2017: 174).
Pembiayaan murabahah adalah transaksi jual beli di mana Bank
Syariah bertindak sebagai penjaual dan nasabah sebagai pembeli,
dengan harga jual dari bank adalah harga beli dari pemasok
ditambah keuntungan dalam persentase tertentu bagi Bank Syariah
sesuai kesepakatan. Kepemilikan barang akan berpindah kepada
nasabah segera setelah perjanjian jual beli ditandatangani dan
nasabah akan membayar barang tersebut dengan cicilan tetap yang
besarnya sesuai kesepakatan sampai dengan pelunasannya
(Anggadini dan Komala, 2017: 189).
Pembiayaan murabahah dimulai dari pengajuan pembelian barang
oleh nasabah. Nasabah menegosiasikan harga barang, margin, jangka
waktu pembayaran dan besar angsuran per bulan. Bank sebagai
penjual selanjutnya mempelajari kemampuan nasabah dalam
membayar piutang murabahah. Apabila rencana pembelian barang
tersebut disepakati oleh kedua belah pihak, maka dibuatlah akad
murabahah. Isi akad murabahah mencakup berbagai hal agar rukun
murabahah dipenuhi dalam transaksi jual-beli yang dilakukan.
Setelah akad disepakati selanjutnya bank melakukan pembelian
barang kepada pemasok. Barang yang diinginkan pembeli kemudian
diantar oleh pemasok kepada pembeli dan dokumen pembelian
diserahkan oleh pemasok kepada bank. Setelah menerima barang,
nasabah pembeli selanjutnya membayar kepada bank. Pembayaran
kepada bank biasanya dilakukan dengan cara mencicil sejumlah
uang tertentu selama jangka waktu yang telah disepakati (Abdurahim
dkk, 2014: 173).

b. Pembiayaan Istishna
PSAK 104 (Ikatan Akuntan Indonesia, 2007: 2) mendefinisikan
istishna sebagai akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan
barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang
disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual
(pembuat, shani’).
Jual beli dengan skema istishna adalah jual beli yang didasarkan
atas penugasan oleh pembeli kepada penjual yang juga produsen
untuk menyediakan barang atau suatu produk sesuai dengan
spesifikasi yang disyaratkan pembeli dan menjualnya dengan harga
yang disepakati. Barang yang diperjualbelikan pada saat transaksi
istishna dilakukna belum ada dan memerlukan waktu untuk
membuatnya terlebih dahulu. Karena bank hanya sebagai penjual
dan pembuatan produk dilakukan oleh pihak lain yaitu produsen,
bank biasanya juga melakukan kontrak istishna dengan produsen
untuk membeli produk sebagaimana diinginkan oleh nasabah
pembiayaan. Skema double istishna disebut dengan istishna paralel.
Cara pembayaran skema ini dapat berupa pembayaran di muka,
cicilan atau ditangguhka sampai jangka waktu akad (Abdurahim et
al., 2014: 60).
Istishna paralel merupakan suatu bentuk akad istishna antara
penjual dan pemesan di mana untuk memenuhi kewajibannya kepada
pemesan, penjual melakukan akad istishna dengan pihak lain
(subkontraktor) yang dapat memenuhi barang yang dipesan nasabah.
Akad antara pemesan dengan penjual dan akad antar penjual dengan
pemasok harus terpisah dan penjual tidak boleh mengakui adanya
keuntungan selama kontruksi (Hery, 2018: 67).

5. Profitabilitas
Profitabilitas merupakan rasio keuangan yang digunakan untuk
menilai kemampuan perusahaan dalam mencari keuntungan atau laba
dalam suatu periode tertentu. Rasio profitabilitas memberikan ukuran
tingkat efektivitas manajemen suatu perusahaan yang ditunjukkan oleh
laba yang dihasilkan dari penjualan dan pendapatan investasi.
Penggunaan rasio profitabilitas menunjukkan efisiensi perusahaan
(Kasmir, 2004: 198).
Rasio profitabilitas adalah gambaran umum tentang kemampuan
bank menghasilkan laba yang menunjukkan tingkat efektivitas yang
dicapai melalui usaha operasional bank (Anggadini dan Komala, 2017:
241). Rasio profitabilitas adalah perbandingan laba (setelah pajak)
dengan modal (modal inti) atau laba (sebelum pajak) dengan total aset
yang dimiliki bank pada periode tertentu (Riyadi, 2006: 155).

Penilaian kinerja keuangan perbankan bila dilihat dari sudut pandang


penilaian profitabilitasnya lebih baik menggunakan pengukuran ROA
(Return On Assets), karena bank merupakan badan intermediasi antara pihak
pemilik dana dengan pihak yang membutuhkan dana, maka yang menjadi
sebagian besar aset bank tersebut adalah dana simpanan masyarakat
(Suhendar dan Tanuatmodjo, 2014).
Menurut Anggadini dan Komala (2017: 242), Return on Asset
(ROA) adalah rasio profitabilitas yang menggambarkan kemampuan
bank dalam mengelola dana yang diinvestasikan dalam keseluruhan
aktiva yang menghasilkan keuntungan. Muhammad (2011: 281)
mendefinisikan Return on Asset (ROA) sebagai perbandingan antara net
income dengan average assets.

Return on Asset (ROA) menunjukkan seberapa besar kontribusi


aset dalam menciptakan laba bersih. Dengan kata lain, rasio ini
digunakan untuk mengukur seberapa besar jumlah laba bersih yang akan
dihasilkan dari setiap rupiah dana yang tertanam dalam total aset (Hery,
2016: 193). Analisis ROA mengukur kemampuan perusahaan
menghasilkan laba dengan menggunakan total aset (kekayaan) yang
dipunyai perusahaan setelah disesuaikan dengan biaya-biaya untuk
mendanaik aset tersebut (Halim dan Hanafi, 2007: 159).
Menurut Bank Indonesia (2012), Return on Asset (ROA) bertujuan
untuk mengukur keberhasilan manajemen dalam menghasilkan laba.
Semakin kecil rasio ini mengindikasikan kurangnya kemampuan
manajemen bank dalam hal mengelola aktiva untuk meningkatkan
pendapatan dan atau menekan biaya. Return on Asset (ROA)
diformulasikan sebagai:
Laba Sebelum Pajak
ROA=
Rata−rataTotal Aset

Tabel 3. Kriteria penilaian peringkat ROA


Peringkat Keterangan Kriteria
1 ROA > 1,5% Sangat Tinggi
2 1,25% < ROA ≤ 1,5% Tinggi
3 0,5% < ROA ≤ 1,25% Cukup Tinggi
4 0% < ROA ≤ 0,5% Rendah
5 ROA ≤ 0% Sangat Rendah
Sumber: Bank Indonesia, 2012.
Dari formula tersebut dapat diketahui bahwa semakin tinggi
tingkat ROA berarti semakin tinggi pula jumlah laba bersih yang
dihasilkan dari setiap rupiah dana yang tertanam dalam total aset.
Sebaliknya, semakin rendah tingkat ROA, semakin rendah pula jumlah
laba bersih yang dihasilkan dari setiap rupiah dana yang tertanam dalam
total aset.

6. Non Performing Financing (NPF)

Non Performing Financing (NPF) merupakan pembiayaan


bermasalah yang pada mulanya selalu diawali dengan terjadinya
wanprestasi (ingkar janji/ cedera janji), yaitu suatu keadaan dimana
debitur tidak mau dan tidak mampu memenuhi janji-janji yang telah
dibuat sebagaimana tertera dalam perjanjian pembiayaan. Penyebab
debitur wanprestasi dapat bersifat alamiah (di luar kemampuan dan
kemauan debitur) maupun itikad tidak baik debitur. Wanprestasi juga
bisa disebabkan oleh pihak bank karena membuat syarat perjanjian
pembiayaan yang memberatkan pihak debitur (Umam dan Utomo, 2016:
206).
Dalam Kodifikasi Peraturan Bank Indonesia (2012), NPF
merupakan salah satu indikator kualiatas aset yang mengukur tingkat
permasalahan Pembiayaan yang dihadapi oleh bank. Semakin tinggi rasio
ini, menunjukkan kualitas Pembiayaan bank syariah semakin buruk. NPF
diformulasikan sebagai:

Pembiayaan(KL , D , M )
NPF=
Total Pembiayaan

Keterangan:
KL = Kurang Lancar
D = Diragukan
M = Macet
Tabel 4. Kriteria Penilaian Peringkat
Peringkat Keterangan Kriteria
1 NPF < 2% Sangat Baik
2 2% ≤ NPF < 5% Baik
3 5% ≤ NPF < 8% Cukup Baik
4 8% ≤ NPF < 12% Kurang Baik
5 NPF ≥ 12% Tidak Baik
Sumber: Bank Indonesia, 2012
Cakupan komponen pembiayaan dan kolektibilitas pembiayaan
berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas
Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah yang berlaku. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia
Nomor: 9/ 9 /PBI/2007, Kualitas Pembiayaan ditetapkan menjadi 5
(lima) golongan yaitu:
a. Lancar, tidak terdapat keterlambatan atau terdapat keterlambatan
pembayaran pokok dan/atau bunga sampai dengan 30 hari.
b. Dalam Perhatian Khusus, terdapat keterlambatan pembayaran pokok
dan/atau bunga yang telah melampaui 30 hari sampai dengan 90 hari
(31 hari sampai dengan 90 hari).
c. Kurang Lancar, terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan/atau
bunga yang telah melampaui 90 hari sampai dengan 120 hari (91 hari
sampai dengan 120 hari).
d. Diragukan, terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan/atau
bunga yang telah melampaui 120 hari sampai dengan 180 hari (120
hari sampai dengan 180 hari).
e. Macet, terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan/atau bunga
yang telah melampaui 120 hari.
f. Kualitas pembiayaan yang menjadi komponen formulasi NPF
meliputi pembiayaan kurang lancar, diragukan dan macet (Bank
Indonesia, 2007).
B. Perumusan Model Penelitian dan Pengembangan Hipotesis
1. Penelitian Terdahulu
Berikut ini adalah penelitian-penelitian sebelumnya dengan topik sejenis yang telah dirangkum dan digunakan sebagai
acuan:

18
28

4. Pengembangan Hipotesis
a. Pengaruh Profit Sharing Based Financing (PSBF) terhadap Return
on Asset (ROA)
Profit Sharing Based Financing (PSBF) dalam penelitian ini
dinyatakan dalam proporsi atas pembiayaan mudharabah dan
pembiayaan musyarakah terhadap seluruh pembiayaan.
Menurut PSAK 105 (Ikatan Akuntan Indonesia, 2007: 2)
mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana
pihak pertama (pemilik dana) menyediakan seluruh dana, sedangkan
pihak kedua (pengelola dana) bertindak selaku pengelola, dan
keuntungan dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan sedangkan
kerugian finansial hanya ditanggung oleh pemilik dana. Pembiayaan
mudharabah merupakan pembiayaan yang melibatkan pengusaha
secara langsung. Dengan banyaknya pelaku usaha yang
mengajukkan pembiayaan tersebut, maka akan meningkatkan jumlah
pembiayaan mudharabah yang akan menghasilkan pendapatan bank
berupa bagi hasil. Dengan bertambahnya pendapatan maka akan
mempengaruhi tingkat keuntungan bank syariah.
PSAK 106 (Ikatan Akuntan Indonesia, 2007: 1) menjelaskan
musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk
suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi
berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian berdasarkan porsi
kontribusi dana. Pembiayaan musyarakah merupakan pembiayaan
yang dapat melibatkan beberapa pihak dalam suatu bisnis atau
proyek. Pembiayaan musyarakah menghasilkan pendapatan bank
berupa bagi hasil, dengan bertambahnya pendapatan maka akan
bertambah pula keuntungan bank.

Penelitian sebelumnya mengenai mudharabah yang dilakukan oleh


Hasibuan (2019) pada Bank Muamalat Indonesia tahun 2015-2018
menyatakan bahwa pembiayaan mudharabah berpengaruh signifikan
29

positif terhadap profitabilitas (ROA). Penelitian lain yang


mendukung adalah penelitian yang dilakukan oleh Chalifah dan
Sodiq (2015) pada Bank Syariah Mandiri tahun 2006-2014 yang
menyatakan bahwa pembiayaan mudharabah memiliki pengaruh
yang positif dan signifikan terhadap profitabilitas (ROA). Artinya,
tiap peningkatan yang terjadi pada mudharabah akan membuat ROA
meningkat pula.

Penelitian sebelumnya mengenai musyarakah yang dilakukan oleh


Pratama et al (2017) pada Bank Muamalat Indonesia tahun 2008-
2015 menyatakan bahwa Pembiayaan musyarakah berpengaruh
positif dan signifikan terhadap ROA.
Penelitian mengenai bagi hasil yang dilakukan oleh Suhendar dan
Tanuatmodjo (2014) pada Bank Muamalat Indonesia tahun 2002-
2013 menyatakan bahwa pembiayaan bagi hasil berpengaruh positif
terhadap profitabilitas bank syariah.
Berdasarkan penelitian terdahulu mengenai pengaruh pembiayaan
mudharabah dan musyarakah yang merupakan bagian dari Profit
Sharing Based Financing terhadap profitabilitas maka dapat disusun
hipotesis penelitian sebagai berikut:

H1 = Profit Sharing Based Financing berpengaruh positif


terhadap Profitabilitas (ROA)

b. Pengaruh Trading Based Financing (TBF) terhadap Return on Asset


(ROA)
Trading Based Financing (TBF) dalam penelitian ini dinyatakan
dalam proporsi atas pembiayaan murabahah dan pembiayaan
istishna terhadap seluruh pembiayaan.
Murabahah menurut PSAK 102 (Ikatan Akuntan Indonesia, 2007:
2) adalah akad jual beli barang dengan harga jual sebesar biaya
perolehan ditambah keuntungan yang disepakati dan penjual harus
30

mengungkapkan biaya perolehan barang tersebut kepada pembeli.


Pembiayaan murabahah memberikan pendapatan bagi bank syariah
melalui keuntungan yang didapatkan pada saat akad murabahah
dilakukan. Penentuan harga jual pada pembiayaan murabahah
kepada nasabah didasarkan atas biaya perolehan ditambah
keuntungan. Keuntungan penjualan akan menjadi pendapatan bagi
bank dan jumlah pendapatan akan mempengaruhi keuntungan
perbankan syariah.
PSAK 104 (Ikatan Akuntan Indonesia, 2007: 2) mendefinisikan
istishna sebagai akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan
barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang
disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual
(pembuat, shani’). Jual beli dengan skema istishna adalah jual beli
yang didasarkan atas penugasan oleh pembeli kepada penjual yang
juga produsen untuk menyediakan barang atau suatu produk sesuai
dengan spesifikasi yang disyaratkan pembeli dan menjualnya dengan
harga yang disepakati. Kesepakatan harga terdiri atas harga
perolehan barang oleh bank dan keuntungan yang telah disepakati.
Keuntungan penjualan diterima bank sebagai pendapatan.

Penelitian sebelumnya mengenai murabahah yang dilakukan oleh


Faradilla et al., (2017) pada Bank Muamalat Indonesia, Bank
Syariah Mandiri, Bank Syariah BRI, dan Bank Jabar Banten tahun
2011-2015 menyatakan bahwa pembiayaan murabahah berpengaruh
positif dan signifikan terhadap ROA. Penelitian yang dilakukan oleh
Puteri et al., (2014) pada Bank Muamalat Indonesia, Bank Mandiri
Syariah dan BRI Syariah tahun 2009-2013 menyatakan bahwa
variabel murabahah berpengaruh positif dan signifikan terhadap
ROA.
Penelitian terdahulu mengenai istishna yang dilakukan oleh Puteri
et al., (2014) pada Bank Muamalat Indonesia, Bank Mandiri Syariah
31

dan BRI Syariah tahun 2009-2013 menyatakan bahwa variabel


istishna berpengaruh positif dan signifikan terhadap ROA.
Penelitian lain mengenai trading based financing yang dilakukan
oleh Rahman dan Rochmanika (2012) pada Bank Syariah Mega
Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank Muamalat Indonesia, dan BRI
Syariah menyatakan bahwa Pembiayaan Jual beli berpengaruh positif
dan signifikan terhadap ROA

Berdasarkan penelitian terdahulu mengenai pengaruh pembiayaan


murabahah dan istishna yang merupakan bagian dari Trading Based
Financing terhadap profitabilitas maka dapat disusun hipotesis
penelitian sebagai berikut:

H2 = Trading based financing berpengaruh positif terhadap


Profitabilitas (ROA)

c. Pengaruh Profit Sharing Based Financing terhadap Return on Asset


yang dimoderasi oleh Non Performing Financing.
Profit Sharing Based Financing (PSBF) dalam penelitian ini
dinyatakan dalam jumlah atas pembiayaan mudharabah dan
pembiayaan musyarakah. Moderasi NPF dalam penelitian ini
bertujuan untuk menguji apakah NPF berpengaruh dalam
memperkuat atau memperlemah hubungan antara Profit Sharing
Based Financing (PSBF) dengan profitabilitas (ROA).

NPF memiliki hubungan signifikan yang negatif terhadap pembiayaan


baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, artinya NPF bisa
menjelaskan pergerakan pembiayaan perbankan syariah baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang. NPF merupakan pembiayaan bermasalah,
sehingga ketika NPF meningkat, dana yang ada tidak bisa diputar kepada
pembiayaan. Hal ini menyebabkan bank harus menyediakan biaya
penghapusan yang lebih besar sehingga akan menurunkan minat bank
untuk menyalurkan pembiayaan karena saat terjadi pembiayaan
32

bermasalah maka dana perbankan syariah tidak dapat diputar dari


satu nasabah ke nasabah lainnya (Adzimatinur, Hartoyo dan Wilasih,
2015).
Apabila dana perbankan syariah tidak disalurkan kepada nasabah untuk
pembiayaan, maka bank syariah tidak mendapatkan keuntungan bagi hasil
dari pembiayaan. Profit sharing based financing merupakan salah satu
skema pembiayaan pada bank syariah yang memberikan keuntungan bagi
hasil kepada bank syariah. Bagi hasil dari pembiayaan akan mempengaruhi
besar kecilnya pendapatan. Sehingga ketika NPF meningkat dan
mengakibatkan bank tidak bisa memutar dana kepada masyarakat, maka
akan mempengaruhi besar kecilnya tingkat profitabilitas. Atas uraian
tersebut maka NPF akan mempengaruhi hubungan antara Profit Sharing
Based Financing terhadap Profitabilitas (ROA).
Berdasarkan penelitian terdahulu dan uraian mengenai pengaruh Profit
Sharing Based Financing terhadap Return on Asset yang dimoderasi oleh
Non Performing Financing maka dapat disusun hipotesis penelitian sebagai
berikut:

H3 = NPF memoderasi hubungan antara Profit Sharing Based


Financing terhadap Profitabilitas (ROA)

d. Pengaruh Trading Based Financing terhadap Return on Asset yang


dimoderasi oleh Non Performing Financing.
Trading Based Financing (PSBF) dalam penelitian ini dinyatakan
dalam jumlah atas pembiayaan murabahah dan pembiayaan istishna.
Moderasi NPF dalam penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah
NPF berpengaruh dalam memperkuat atau memperlemah hubungan
antara Trading Based Financing (TBF) dengan profitabilitas (ROA).
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Zaidan (2019)
menyatakan bahwa NPF memoderasi hubungan antara pembiayaan
murabahah dengan profitabilitas (ROA). Pengaruh moderasi NPF
dalam hubungan antara istishna dengan profitabilitas belum
33

ditemukan dalam penelitian terdahulu, hal tersebut diantaranya


menjadi latar belakang penelitian ini dilakukan.

Berdasarkan penelitian terdahulu mengenai pengaruh Trading


Based Financing terhadap Return on Asset yang dimoderasi oleh
Non Performing Financing maka dapat disusun hipotesis penelitian
sebagai berikut:
H4 = NPF memoderasi hubungan antara Trading Based
Financing terhadap Profitabilitas (ROA)

5. Model Penelitian
Model penelitian yang digunakan dalam penelitian ini digambarkan
sebagai berikut:

Profit Sharing
Based Financing/
PSBF (X1)
H1

H3

ROA (Y)
NPF (Z)

H4

H2
Trading Based
Financing/TBF
(X2)

Gambar 1. Model Penelitian

Anda mungkin juga menyukai