Anda di halaman 1dari 30

IMPLEMENTASI AKAD WAKALAH DALAM

LEMBAGA KEUANGAN PERBANKAN

SYARIAH

Lani Juni Priandini


Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Pasundan Bandung, Npm 191000369, Kelas H,
Mata Kuliah Hukum Ekonomi Syariah
No. Tlp 081219216391, E-mail : lani191000369@gmail.com
Link

Abstract : In Islamic banking, wakalah contracts are included in the category of


tabarru' (help each other) contracts where this contract is not profit-oriented but
simply expects a reply from Allah SWT. The purpose of this study was to determine the
concept of wakalah contracts and how to implement wakalah contracts in Islamic
banking institutions. The research was conducted in May 2021 using observation and
documentation techniques. The results showed that there were no deviations from the
akad wakalah application that violated the Al-Qur’an and Hadith.
Keywords: Implementation, Akad wakalah, Bank Syariah.

Abstrak : Dalam perbankan syariah, akad wakalah termasuk dalam kategori akad
tabarru’ (tolong-menolong) dimana akad ini tidak berorientasi pada profit melainkan
sekedar mengharapkan balasan dari Allah SWT. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui konsep akad wakalah dan bagaimana implementasi akad wakalah dalam
lembaga perbankan Syariah Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2021 dengan
menggunakan teknik observasi Dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tidak ada penyimpangan aplikasi akad wakalah yang menyalahi al-Quran dan
hadits didalam perbankan Syariah..

Kata Kunci : Implementasi, Akad wakalah, Bank Syariah.

1|Page
Pendahuluan

A. Latar belakang masalah

Pemerintah dalam usahanya terhadap perkembangan pembangunan


ekonomi negara memerlukan rencana dan membutuhkan modal serta dana yang
tidak sedikit. Upaya tersebut terus dilakukan melalui perbaikan dan peningkatan
kinerja bank sebagai Lembaga keuangan karena Lembaga keuangan bank
mempunyai peranan yang penting dalam membangun suatu perekonomian
negara. Bank merupakan Lembaga intermediasi keuangan yang menyidiakan
jasa-jasa keuangan bagi para masyarakat. Pada prinsipnya bank menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat, dengan misi meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Dari tahun ketahun Lembaga keuangan perbankan di Indonesia semakin
berkembang dilihat dari mulai munculnya bank-bank non-konvensional atau
berbasis Syariah yang baru, contohnya seperti bank Muamalahah Indonesia (BMI)
bank ini dari awal mula didirikan langsung menerapkan system Syariah,
begitupula dengan bank-bank konvensional yang sudah lama didirikan mulai ikut
membuka cabang perbankan berbasis system Syariah. Tidak bisa dipungkiri lagi
persaingan antar bank syariah atau bank konvensional akan selalu ada karena
memang tujuan dari semua bank dalam operasinya tidak lain adalah mendapatkan
profit atau keuntungan dari kegiatan transaksinya tersebut. Bank syariah dalam
upayanya untuk bisa menggait nasabah sebanyak-banyaknya maka banyak cara
yang dilakukan agar bisa menarik hati calon nasabah, seperti memperbanyak
produk yang dipasarkan atau dengan cara memperbesar presentase bagi hasil
untuk para nasabah penabung. Juga salah satu upaya untuk menarik hati para calon
nasabah adalah dengan cara memberikan pelayanan yang baik dan memuaskan,
seperti keramahan dalam pelayanan, kejelasan atau transparan dalam setiap
transaksi, serta jaminan keamanan dana nasabah yang disimpan.
Menurut Pasal 1 angka (13) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, istilah prinsip syariah diartikan sebagai aturan perjanjian berdasarkan
hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau
pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya sesuai dengan syariah, antara

2|Page
lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan
berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang
dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiyaan barang modal
berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan
pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain
(ijarah wa iqtina).
Didalam Prinsip transaksi syariah secara garis besar terdapat dua akad
yang sering terjadi dan juga kedua akad ini sudah diakui secara Syariah yaitu akad
Tabarru’ (kebaikan) dan akad Tijarah (perdagangan). Yang dimaksud dengan
Akad Tabarru’ yaitu transaksi perjanjian antara dua orang atau lebih yang tidak
berorientasi pada profit (keuntungan) atau biasa disebut bisnis non-profit oriented,
akad ini memiliki tujuan untuk membantu seseorang tanpa mengharapkan
imbalan dengan kata lain pada transaksi akad Tubarru masing-masing pihak yang
terlibat tidak dapat mengambil profit, namun salah satu pihak dapat mengenakan
biaya apabila terdapat pengeluaran pada saat terjadinya transaksi, Qard, Rahn,
Hawalah, Kafalah, Wakalah Wadi’ah.
Sedangkan akad Tijarah yaitu transaksi perjanjian antara dua orang atau
lebih yang berorientasi pada profit (keuntungan) atau biasa disebut bisnis profit
oriented berbeda dengan akad Tubarru pada akad ini mereka memiliki tujuan
untuk mencari keuntungan oleh dikarenakan hal tersebut masing masing pihak
dapat mengambil profit dari jenis transaksi ini. yang termasuk dalam kategori
akad tijarah adalah Murabahah, Salam, Istishna’, Ijarah, Sharf , Musyarakah,
Muzara’ah, Musaqah, dan Mukhabarah”
Berdasarkan penjelasan diatas penulis akan mengambil salah satu jenis
akad dari Tabarru’ yaitu menganai Akad Wakalah. Arti dari kata wakalah
(perwakilan) berasal dari bahasa Arab yang artinya pemeliharaan dan penyerahan.
Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak pertama
kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang diwakilkan (dalam hal
ini pihak kedua) hanya melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau wewenang yang
diberikan oleh pihak pertama, namun apabila kuasa itu telah dilaksanakan sesuai
yang disyaratkan, maka semua resiko dan tanggung jawab atas dilaksanakan
perintah tersebut sepenuhnya menjadi pihak pertama atau pemberi kuasa.

3|Page
Dalam pengertian ini, wakalah merupakan bentuk akad muamalah yang
digunakan untuk menyerahkan kewenangan pada orang lain dalam mengerjakan
sesuatu yaang dapat diwakilkan. Perwakilan merupakan bentuk pemberian kuasa
tehadap pihak lain untuk melakukan suatu pekerjaan yang tertentu. Contohnya
seperti mewakilkan seseorang dalam urusan pengendalian harta, pembagian harta
pusaka, jual beli, agen-agen perniagaan dan sebagainya.
Perwakilan (wakalah) merupakan bentuk akad, karena itu tidak sah
sebelum memenuhi rukun dan syarat yang telah ditetapkan syarat Menurut agama
Islam, seseorang boleh mendelegasikan suatu tindakan tertentu kepada orang lain
dimana orang lain itu bertindak atas nama pemberi kuasa atau yang mewakilkan
sepanjang hal-hal yang dikuasakan itu boleh didelegasikan oleh agama, Islam
mensyaratkan akad wakalah untuk menjadikan dasar pelimpahan kewenangan
dari suatu yang seseorang kepada orang lain, hal tersebut telah ditentukan dalam
alquran dan juga hadist yaitu ada dalam QS An-Nisa’ [4]:35 dan HR. Malik II
dalam al-Muwaththa Wakalah disyariatkan karena tidak semua manusia
mempunyai kemampuan secara langsung untuk menyelesaikan urusannya sendiri,
melainkan membutuhkan keterlibatan pihak lain sebagai wakilnya.

B. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan masalah di atas maka diperoleh tujuan dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi akad wakalah dalam
Lembaga keuangan perbankan Syariah yang ada di Indonesia.
C. Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :
1. Bagi Penulis sendiri, penulis berharap dapat menyempurnakan ilmu
pengetahuan yang saat ini sedang penulis pelajari sehingga penulis dapat lebih
memahami mengenai implementasi akad wakalah pada perbankan syariah.
2. Bagi Umum Diharapkan penelitian ini bisa menambah wawasan dan
pengetahuan bagi khalayak umum, baik itu dari kalangan pelajar maupun
masyarakat umum tentang konsep akad wakalah serta bagaimana penerapan
akad wakalah dalam Lembaga keuangan perbankan Syariah dan kemudia

4|Page
dengan adanya penilitian ini dapat memuduhkan masyarakat dalam
melakukan transaksi jenis ini.

Metode Penelitian

Metode Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada

metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari satu atau

beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Sedangkan, penelitian

adalah metode ilmiah yang dilakukan melalui penyidikan dengan seksama dan

lengkap terhadap semua bukti – bukti yang dapat diperoleh mengenai suatu

permasalahan tertentu sehingga dapat diperoleh melalui suatu permasalahan itu.

dikutip dalam bukunya menurut Khudzalifah Dimyati dan Kelik Wardiono.

1. Spesifikasi penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian Nomormatif bersifat diskriptif
analitis adapun pengertian dari metode deskriptif analitis menurut (Sugiono:
2009; 29) adalah suatu metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau
memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data atau sampel yang
telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa melakukan analisis dan membuat
kesimpulan yang berlaku untuk umum. Dengan kata lain penelitian deskriptif
analitis mengambil masalah atau memusatkan perhatian kepada masalah-masalah
sebagaimana adanya saat penelitian dilaksanakan, hasil penelitian yang kemudian
diolah dan dianalisis untuk diambil kesimpulannya. melalui pendekatan
Perundang-Undangan (Statute Approach). Didalam pendekatan Perundang-
Undangan (Statute Approach) dilakukan dengan menelaah semua Undang-
Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani.
2. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normative. Dalam
penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif dikarenakan
dalam penelitian ini penulis menggunakan konsep yang termasuk dalam disiplin
ilmu hukum yaitu konsep pertanggung jawaban pidana.

5|Page
Dengan pendekatan ini penulis mengkaji atau menganalisis data sekunder
yang berupa bahan-bahan hukum sekunder dengan memahami hukum sebagai
perangkat peraturan atau normanorma positif di dalam sistem perundang-
undangan yang mengatur mengenai kehidupan manusia. Jadi penelitian ini
dipahami sebagai penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder.
Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan ini
mencakup, diantaranya :
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum;
b. Penelitian terhadap sistematika hukum;
c. Penelitian terhadap perbandingan hukum dengan kasus/masalah dilapangan.
3. Tahap Penelitian
Tahapan penelitian adalah rangkaian kegiatan dalam penelitian yang
diuraikan secara rinci dari tahap persiapan, tahap penelitian dan tahap penyusunan
atau pembuatan tugas akhir. Tahapan penelitian yang dilakukan yaitu hanya
terdiri dari satu tahap yaitu Penelitian Kepustakaan (Library Research).
Pada tahap ini dilakukan tahapan pengumpulan data melalui studi
kepustakaan yaitu mengumpulkan data berdasarkan referensi dari buku-buku
kepustakaan berbagai peraturan perundang-undangan atau literatur-literatur yang
berhubungan dengan permasalahan penelitian guna mendapatkan bahan hukum.
4. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif. Sebagai usaha
mendapatkan data objektif, maka penelitian ini mempergunakan data yang
diperoleh melalui pengumpulan data sesuai dengan metode pendekatan yang
dipergunakan. Teknik melalui studi pengumpulan data dilakukan kepustakaan
(data sekunder). Sumber Data/ Bahan Hukum.
Data sekunder berarti data yang dikumpulkan ini berasal dari tangan kedua
atau sumber-sumber lain yang telah tersedia sebelum penelitian dilakukan. Data
sekunder diperoleh dari bahan primer: seperti Peraturan perundang-undangan
yang berkaitan topik penelitian. Sedangkan bahan sekunder diperoleh dari
bukubuku, jurnal hasil penelitian dan bahan tersier yaitu bahan-bahan informasi
tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti informasi melalui

6|Page
media media online. Data tersebut diinventarisir dan diklasifikasikan serta disusun
secara komperhensif melalui penelusuran manual maupun elektronik.

5. Alat Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data merupakan teknik yang digunakan untuk

mengumpulkan data dari salah satu atau beberapa sumber data yang telah

ditentukan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pengumpulan data

melalui dokumentasi yaitu pengumpulan data dengan cara mengambil data dari

dokumen yang merupakan suatu pencatatan formal dengan bukti yang otentik.

Hasil Penelitian Dan Analisis

A. Konsep Akad Wakalah

1. Pengertian Akad Wakalah


Dalam perbankan syariah banyak sekali akad-akad syariah yang
digunakan untuk produk-produk yang dikeluarkan, salah satunya adalah akad
wakalah. Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah
memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan
jasa tertentu. “Wakalah secara bahasa berarti perlindungan (al Hizb),
Pencukupan (al kifayah), Tanggungan (al-dhaman), atau Pendelegasian (al
tafwidh), Adapun pengertian Wakalah secara istilah Wakalah adalah
pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak pertama kepada orang
lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang diwakilkan (dalam hal ini pihak
kedua) hanya melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau wewenang yang
diberikan oleh pihak pertama, namun apabila kuasa itu telah dilaksanakan
sesuai yang disyaratkan, maka semua resiko dan tanggung jawab atas
dilaksanakan perintah tersebut sepenuhnya menjadi pihak pertama atau
pemberi kuasa.
Dalam pengertian ini, wakalah merupakan bentuk akad muamalah yang
digunakan untuk menyerahkan kewenangan pada orang lain dalam
mengerjakan sesuatu yaang dapat diwakilkan. Perwakilan merupakan bentuk

7|Page
pemberian kuasa tehadap pihak lain untuk melakukan suatu pekerjaan yang
tertentu. Selain itu juga terdapat beberapa pendapat mengenai akad wakalah
dari beberapa ulama fiqih dan ilmuan, yaitu :
a. Sabiq menyatakan bahwa wakalah adalah akad pelimpahan kekuasaan
oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.
b. Ulama Malikiyah menyatakan wakalah adalah tindakan seseorang
mewakilkan dirinya kepada orang lain untuk melakukan Tindakan-
tindakan yang merupakan haknya yang tindakan itu tidak dikaitkan
dengan pemberian kuasa setelah mati berarti sudah berbentuk wasiat.
c. Ulama syafi’iyah menyatakan bahwa wakalah adalah suatu ungkapan
yang mengandung suatu pendelegasian sesuatu oleh seseorang kepada
orang lain supaya orang lain itu melaksanakan apa yang boleh dikuasakan
atas nama pemberi kuasa.
d. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) wakalah adalah
pemberian kuasa kepada pihak lain untuk mengerjakan sesuatu.
e. Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-
MUI) NO.10/DSN-MUI/IV/2000 wakalah adalah pelimpahan kekuasaan
oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.

Dan berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa wakalah


adalah perwalian diantara seseorang dengan orang lain untuk mengerjakan
sesuatu yang disepakati oleh kedua belah pihak berdasarkan kesepakatan.

2. Dasar Hukum Wakalah


Di dalam Islam, seseorang boleh mendelegasikan suatu tindakan tertentu
kepada orang lain dimana orang lain itu bertindak atas nama pemberi kuasa
atau yang mewakilkan sepanjang hal-hal yang dikuasakan itu boleh
didelegasikan oleh agama. Dalil yang dipakai untuk menunjukkan kebolehan
itu ada didalam Al-Qur’an Dan Juga Hadist salah satu dasar hukum yang ada
didalam Al-qur’an yaitu ada dalam QS. Al-Kahfi (18:19).
Penjelasan dari ayat tersebut menjelaskan bahwa seseorang boleh
mendelegasikan suatu tindakan tertentu kepada orang lain dimana orang lain
itu bertindak atas nama pemberi kuasa atau yang mewakilkan sepanjang hal-
hal yang dikuasakan itu boleh didelegasikan oleh agama, Islam mensyaratkan

8|Page
akad wakalah untuk menjadikan dasar pelimpahan kewenangan dari suatu
yang seseorang kepada orang lain.
Selain itu terdapat Dasar hukum akad wakalah, firman Allah SWT yang
berkenaan dengan kisah Ash-habul Kahfi, Ayat tersebut diatas
menggambarkan peristiwa perginya salah satu anggota ash-habul kahfi untuk
bertindak atas nama teman- temannya sebagai perwakilan dalam melakukan
transaksi pembelian makanan.
3. Rukun dan Syarat-Syarat Wakalah
Menurut kelompok Hanafiah, rukun Wakalah itu hanya ijab qabul. Ijab
merupakan pernyataan mewakilkan sesuatu dari pihak yang memberi kuasa
dan qabul adalah penerimaan pendelegasian itu dari pihak yang diberi kuasa
tanpa harus terkait dengan menggunakan sesuatu lafaz tertentu. Akan tetapi,
jumhur ulama tidak sependirian dengan pandangan tersebut. Mereka
berpendirian bahwa rukun dan syarat Wakalah itu adalah sebagai berikut:
a. orang yang mewakilkan (Al-Muwakkil)
- Seseoarang yang mewakilkan/pemberi kuasa, disyaratkan memiliki
hak untuk bertasharruf (bertindak) pada bidang-bidang yang
didelegasikannya. Karena itu seseorang tidak akan sah jika
mewakilkan sesuatu yang bukan haknya.
- Pemberi kuasa mempunyai hak atas sesuatu yang dikuasakannya,
disisi lain juga dituntut supaya pemberi kuasa itu sudah cakap
bertindak atau mukallaf. Tidak boleh seorang pemberi kuasa itu masih
belum dewasa yang cukup akal serta pula tidak boleh seorang yang
gila. Menurut pandangan Imam Syafi’i anak-anak yang sudah
mumayyiz tidak berhak memberikan kuasa atau mewakilkan sesuatu
kepada orang lain secara mutlak. Namun madzhab Hambali
membolehkan pemberian kuasa dari seorang anak yang sudah
mumayyiz pada bidang-bidang yang akan dapat mendatangkan
manfaat baginya.
b. orang yang mewakili (Al-Wakil)

9|Page
- Penerima kuasa perlu memiliki kecakapan akan suatu aturan-aturan
yang mengatur proses akad wakalah, Sehingga cakap hukum menjadi
salah satu syarat bagi pihak yang diwakilkan.
- Seseorang yang menerima kuasa perlu memiliki kemampuan untuk
menjalankan amanahnya yang diberikan oleh pemberi kuasa.
c. objek yang diwakilkan
- Obyek haruslah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain,
seperti jual beli, pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada
dalam kekuasaan pihak yang memberikan kuasa.
- Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu yang
bersifat ibadah badaniyah, seperti shalat, dan boleh menguasakan
sesuatu yang bersifat ibadah maliyah seperti membayar zakat,
sedekah, dan sejenisnya. Selain itu hal-hal yang diwakilkan itu tidak
ada campur tangan pihak yang diwakilkan.
- Tidak semua hal dapat diwakilkan kepada orang lain. Sehingga obyek
yang akan diwakilkan pun tidak diperbolehkan bila melanggar
Syari’ah Islam.
d. shigat atau ijab Kabul
- Dirumuskannya suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan
penerima kuasa, dari mulai aturan memulai akad wakalah ini, proses
akad, serta aturan yang mengatur berakhirnya akad wakalah ini.
- Isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi kuasa kepada
penerima kuasa
- Tugas penerima kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan untuk dan
atas pemberi kuasa melakukan sesuatu tindakan tertentu

Selain dari rukun akad wakalah juga mempunya beberapa syarat-syarat


yang harus dipenuhi agar akad wakalah dapat terlaksanakan, Wakalah
Perwakilan tidak sah kecuali apabila syarat-syarat yang menjadi sahnya
wakalah terpenuhi. Diantara syarat-syarat ini ada yang berkaitan dengan
muwakil, ada yang berkaitan dengan wakil, dan ada pula yang berkaitan
dengan muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan).

10 | P a g e
1. Syarat Muwakil Disyaratkan agar muwakil adalah orang yang memiliki
kekuasaan untuk bertindak dalam apa yang diwakilkannya. Apabila
muwakil tidak memiliki otoritas untuk bertindak, seperti orang gila, dan
anak kecil yang belum mumayis, maka penunjukan wakil olehnya tidak
sah.
2. Syarat wakil yang disyaratkan adalah orang yang berakal. Apabila dia
adalah orang gila, orang idiot, atau anak kecil yang belum mumayis maka
penunjukan sebagai wakil gagal.
3. Syarat muwakkal fih Disyaratkan agar muwakkal fih adalah sesuatu yang
diketahui oleh wakil.

Selain dari pada syarat diatas terdapat syarat lainnya yang harus dipatuhi
oleh seseorang melaksakan perjanjian dalam bentuk akad wakalah. Syarat-
syarat tersebut sebagai berikut:

a. Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan


b. Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni
dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan hibah,
menerima sedekah dan sebagainya.
c. Orang yang cakap bertindak hukum dan tidak gila
d. Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya
e. Wakil adalah orang yang diberi amanat.
f. Diketahui dengan jelas orang yang mewakili dan barang yang diwakilkan,
maka batal mewakilkan sesuatu yang masih samar.
g. Tidak bertentangan dengan syariat islam sesuai dengan ijab dan qabul
diantara kedua belah pihak.
h. Dapat diwakilkan menurut syariat islam. Manfaat barang atau jasa harus
bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
4. Ketentuan Umum
wakalah Dalam akad wakalah adalah Suatu transaksi yang dilakukan oleh
seorang penerima kuasa dalam hal hibah, pinjaman, gadai, titipan,
peminjaman, kerjasama, dan kerjasama dalam modal/usaha, harus
disandarkan kepada kehendak pemberi kuasa dan apabila transaksi tersebut

11 | P a g e
tidak merujuk untuk diatasnamakan kepada pemberi kuasa, maka transaksi itu
tidak sah, Transaksi pemberian kuasa sah apabila kekuasaannya dilaksanakan
oleh penerima kuasa dan hasilnya diteruskan kepada pemberi kuasa.
Barang yang diterima pihak penerima kuasa dalam kedudukannya sebagai
penerima kuasa penjualan, pembelian, pembayaran, atau penerimaan
pembayaran utang atau barang tertentu, maka dianggap menjadi barang titipan
perlu diingat bahwa Suatu perintah yang diberikan oleh orang tertentu, hanya
berlaku untuk barang milik orang itu saja kemudian Baik penggugat maupun
tergugat boleh menguasakan kepada orang lain yang mereka pilih untuk
bertindak sebagai penerima kuasa dalam perkara gugatan. Pemberian kuasa
untuk gugatan tidak termasuk pemberian kuasa untuk menerima barang
kecuali dinyatakan lain secara khusus dalam surat kuasa.
5. Pembagian Wakalah
Ada beberapa jenis akad wakalah, antara lain:
a. Wakalah al muthlaqah, adalah akad wakalah dimana wewenang dan wakil
tidak dibatasi dengan syarat atau kaidah tertentu
b. Wakalah al muqayyadah, Adalah akad dimana wewenang dan tindakan si
wakil dibatasi dengan syarat-syarat tertentu.
c. Wakalah al ammah adalah prosesi pendelegasian wewenang bersifat
umum, tanpa adanya spesifikasi. Seperti belikanlah aku mobil apa saja
yang kamu temui

Berdasarkan pemaparan di atas dapat dipahami bahwa semua akad yang


dilakukan seseorang itu harus ada pedoman atau dasar yang menjadi landasan
dalam menentukan suatu kebenaran dalam menjalankan suatu perjanjian agar
mendapatkan suatu kesepakatan diantara kedua belah pihak yang berakad dan
memenuhi mufakad.

Dalam aplikasinya pada perbankan syariah, Wakalah biasanya diterapkan


untuk penerbitan Letter of Credit atau penerusan permintaan akan barang
dalam negri dari bank luar negri. Wakalah juga diterapkan untuk mentransfer
dana nasabah kepada pihak lain.

6. Bentuk dan Penerapan Akad Wakalah

12 | P a g e
Akad wakalah terbagi menjadi beberapa macam tergantung sudut
pandangnya, seperti ada wakalah ‘aamah dan wakalah khaashah, ada wakalah
muthlaqah dan wakalah muqayyadah (terbatas), ada wakalah munjazah dan
wakalah mu’allaqah, dan terakhir wakalah bighairi ajr (tanpa upah) dan
wakalah bi-ajr (dengan upah).
a. Reksa Dana Syariah
Akad antara pemodal dengan manajer investasi dalam investasi
menggunakan akad wakalah dengan hak dan mekanisme hubungan
sebagaimana diatur dalam Fatwa No. NO: 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang
Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana Syari’ah, yaitu:
- pemodal memberikan mandat kepada Manajer Investasi untuk
melaksanakan investasi bagi kepentingan Pemodal, sesuai dengan
ketentuan yang tercantum dalam Prospektus.
- Para pemodal secara kolektif mempunyai hak atas hasil investasi
dalam Reksa Dana Syari’ah.
- Pemodal menanggung risiko yang berkaitan dalam Reksa Dana
Syari’ah.
- Pemodal berhak untuk sewaktu-waktu menambah atau menarik
kembali penyertaannya dalam Reksa Dana Syari’ah melalui Manajer
Investasi.
- Pemodal berhak atas bagi hasil investasi sampai saat ditariknya
kembali penyertaan tersebut.
- Pemodal yang telah memberikan dananya akan mendapatkan jaminan
bahwa seluruh ananya akan disimpan, dijaga, dan diawasi oleh Bank
Kustodian.
- Pemodal akan mendapatkan bukti kepemilikan yang berupa Unit
Penyertaan Reksa Dana Syariah.
b. Pembiayaan Rekening Koran Syariah
Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS) adalah suatu bentuk
pembiayaan rekening koran yang dijalankan berdasarkan prinsip syari’ah
sebagaimana diatur dalam Fatwa No. 30/DSN-MUI/VI/2002 tentang
Pembiayaan Rekening Koran Syari’ah dengan ketentuan sebagai berikut :

13 | P a g e
1. Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS) dilakukan dengan wa’d
untuk wakalah dalam melakukan:
1.1 pembelian barang yang diperlukan oleh nasabah dan menjualnya
secara murabahah kepada nasabah tersebut; atau
1.2 menyewa (ijarah)/mengupah barang/jasa yang diperlukan oleh
nasabah dan menyewakannya lagi kepada nasabah tersebut.
2. Besar keuntungan (ribh) yang diminta oleh LKS dan besar sewa dalam
ijarah kepada nasabah sebagaimana dimaksud harus disepakati ketika
wa’d dilakukan.
3. Transaksi murabahah kepada nasabah dan ijarah kepada nasabah harus
dilakukan dengan akad
c. Letter Of Credit (L/C) Impor Syari’ah
membayar kepada Eksportir yang diterbitkan oleh Bank untuk
kepentingan Importir dengan pemenuhan persyaratan tertentu sesuai
dengan prinsip syariah. Akad untuk L/C Impor yang sesuai dengan syariah
dapat digunakan beberapa bentuk:
1. Akad Wakalah bil Ujrah dengan ketentuan:
1.1 Importir harus memiliki dana pada bank sebesar harga pembayaran
barang yang diimpor;
1.2 Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk
pengurusan dokumendokumen transaksi impor;
1.3 Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk
nominal, bukan dalam bentuk prosentase.
2. Akad wakalah bil ujrah dan qardh dengan ketentuan:
2.1 Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran
harga barang yang diimpor;
2.2 Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk
pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor;
2.3 Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk
nominal, bukan dalam bentuk prosentase;
2.4 Bank memberikan dana talangan (qardh) kepada importir untuk
pelunasan pembayaran barang impor.

14 | P a g e
3. Akad wakalah bil ujrah dan Mudharabah, dengan ketentuan:
3.1 Nasabah melakukan akad wakalah bil ujrah kepada bank untuk
melakukan pengurusan dokumen dan pembayaran
3.2 Bank dan importir melakukan akad Mudharabah, dimana bank
bertindak selaku shahibul mal menyerahkan modal kepada
importir sebesar harga barang yang diimpor.

Ketentuan lebih lengkap tentang hal ini diatur dalam Fatwa No.
34/DSN-MUI/IX/2002

d. Letter Of Credit (L/C) Ekspor Syari’ah


membayar kepada Eksportir yang diterbitkan oleh Bank untuk
memfasilitasi perdagangan ekspor dengan pemenuhan persyaratan
tertentu sesuai dengan prinsip syariah. Beberapa bentuk akad dalam L/C
Ekspor syariah diantaranya: a.
1. Akad wakalah bil ujrah dengan ketentuan:
1.1 Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor;
1.2 Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C
(issuing bank), selanjutnya dibayarkan kepada eksportir setelah
dikurangi ujrah;
1.3 Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk
nominal, bukan dalam prosentase.
2. Akad wakalah bil ujrah dan qardh dengan ketentuan:
2.1 Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor;
2.2 Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C
(issuing bank);
2.3 Bank memberikan dana talangan (qardh) kepada nasabah eksportir
sebesar harga barang ekspor;
2.4 Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk
nominal, bukan dalam bentuk prosentase.
2.5 Pembayaran ujrah dapat diambil dari dana talangan sesuai
kesepakatan dalam akad.
2.6 Antara akad wakalah bil ujrah dan akad qardh, tidak dibolehkan
adanya keterkaitan (ta’alluq).

15 | P a g e
3. Akad wakalah bil ujrah dan mudharabah dengan ketentuan:
3.1 Bank memberikan kepada eksportir seluruh dana yang dibutuhkan
dalam proses produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir;
3.2 Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor;
3.3 Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C
(issuing bank).
3.4 Pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan pada saat
dokumen diterima (at sight) atau pada saat jatuh tempo (usance);
3.5 Pembayaran dari bank penerbit L/C (issuing bank) dapat
digunakan untuk: pembayaran ujrah; pengembalian dana
mudharabah; Pembayaran bagi hasil.
3.6 Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk
nominal, bukan dalam bentuk prosentase. Ketentuan lebih lengkap
tentang hal ini diatur dalam Fatwa No. 35/DSN-MUI/IX/2002
e. Asuransi Syariah
Asuransi syariah yang menjalankan akad wakalah bil ujrah
menurut fatwa DSN No. 52/DSN-MUI/III/2006 meliputi asuransi jiwa,
asuransi kerugian dan reasuransi syariah. ketentuan dalam akad ini
diantaranya :
1. Wakalah bil Ujrah boleh dilakukan antara perusahaan asuransi dengan
peserta.
2. Wakalah bil Ujrah adalah pemberian kuasa dari peserta kepada
perusahaan asuransi untuk mengelola dana peserta dengan pemberian
ujrah (fee).
3. Wakalah bil Ujrah dapat diterapkan pada produk asuransi yang
mengandung unsur tabungan (saving) maupun unsur tabarru’ (non-
saving).

Selain beberapa hal di atas, akad wakalah juga digunakan perbankan


untuk transaksi sebagai berikut: Transfer Uang, Kliring, RTGS, Inkaso,
Pembayaran Gaji, Kartu Kredit, Transaksi sertifikat bernilai (awraaq
maaliyah) seperti saham, obligasi, sukuk dll dimana bank menjadi

16 | P a g e
perantara, pembayaran rutin lainnya seperti zakat, shodaqoh, pembayaran
tagihan dll.

B. Konsep Dasar Bank Konvesional dan Bank Syariah


1. Konsep Bank Konvensional
1.1 pengertian Bank
Dalam kehidupan sehari-hari kegiatan yang dilakukan oleh
masyarakat tidak terlepas dari kaitannya dengan uang. Sebab untuk
menjalankan perekonomian, masyarakat membutuhkan uang untuk
melakukan transaksi. Dalam melakukan transaksinya masyarakat dapat
melakukannya dengan mendapatkan bantuan dari sebuah lembaga
keuangan yang di kenal dengan nama bank. Dengan adanya bank
masyarakat menjadi terbantu untuk dapat menukarkan uangnya, transfer,
membayar rekening listrik, air, telepon ataupun pembayaran lainnya.
Definisi bank menurut UU No. 14 tahun 1967 Pasal 1 tentang
pokok-pokok Perbankan adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya
memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan
peredaran uang. Menurut undang-undang RI nomor 10 tahun 1998 tentang
perbankan, “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.
Dari pengertian di atas dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa Bank
adalah lembaga kepercayaan yang berfungsi sebagai lembaga
intermediasi, membantu kelancaran sistem pembayaran, dan tidak kalah
pentingnya adalah sebagai lembaga yang menjadi sarana dalam
pelaksanaan kebijakan pemerintah, yaitu kebijakan moneter. Karena
fungsi-fungsinya tersebut, maka keberadaan bank yang sehat, baik secara
individu maupun secara keseluruhan sebagai suatu sistem, merupakan
prasyarat bagi suatu perekonomian yang sehat. Untuk menciptakan bank
sehat tersebut antara lain diperlukan pengaturan dan pengawasan bank
secara efektif.

17 | P a g e
Sebagaimana diatur dalam undang-undang, bank adalah usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan maka
bank bertindak sebagai lembaga intermediasi atau lembaga perantara
untuk menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk tabungan, giro
ataupun deposito berjangka. Sementara itu, pihak-pihak yang kekurangan
dan membutuhkan dana akan mengajukan pinjaman atau kredit kepada
bank. Kredit tersebut dapat berupa kredit investasi, kredit modal kerja
ataupun kredit konsumsi.
Penghimpunan dana dari masyarakat perlu dilakukan dengan cara-
cara tertentu sehingga efisien dan dapat disesuaikan dengan rencana
penggunaan dana tersebut. Pada dasarnya bank mempunyai empat
alternatif untuk menghimpun dana untuk kepentingan usahanya, yaitu
dana sendiri, dana dari deposan, dana pinjaman dan sumber dana lainnya.
Dana yang telah dihimpun bukanlah dana yang semuanya murah tapi
sebagian besar adalah dana dari deposan yang menimbulkan kewajiban
bagi bank untuk membayar imbal jasa berupa bunga.
Untuk memperoleh penerimaan bank dalam rangka menutup
biaya-biaya lain serta mendapatkan keuntungan, maka bank berusaha
mengalokasikan dananya dalam berbagai bentuk aktiva dengan berbagai
macam pertimbangan. Sebelum bank memutuskan untuk memilih suatu
bentuk aktiva tertentu dalam pengalokasian dana pihak ketiga, banyak hal
yang harus dipertimbangkan. Terdapat tiga hal menjadi perhatian bank
untuk menjadi bahan pertimbangan yaitu risiko, hasil dan jangka waktu.
1.2 Jenis-Jenis Perbankan
Berdasarkan Undang-undang RI No. 7 Tahun 1992 tentang
perbankan sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Ri No. 10
Tahun 1998 tentang perbankan, maka penggolongan Bank berdsarkan
Jenisnya, kepemilikannya, bentuk hukum, kegiatan usaha, dan sistem
pembayaran jasa.
a. Menurut Jenisnya

18 | P a g e
Sesuai dengan UU No 10 Tahun1998 tentang perubahan UU No.
7 Tahun 1992 tentang Perbankan disebutkan jenis bank terdiri atas
Bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
I. Bank umum
Adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu-lintas pembayaran.
Kegiatan-kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Umum
yaitu:
▪ Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dana atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
▪ Memberikan kredit.
▪ Menerbitkan surat pengakuan utang.
▪ Menerima pembayaran atas tagihan surat berharga dan
melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga.
II. Bank Perkreditan Rakyat
Adalah bank yang tidak memberikan jasa dalam lau lintas
pembayaran, yang dalam pelaksanaan kegiatan usahanya dapat
secara konvensional atau berdasarkan prinsip Syariah. Tugas
dari Badan Perkreditan Rakyat meliputi:
▪ Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan berupa Giro, deposito berjangka, sertifikat
deposito, tabungan, dana atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu.
▪ Memberikan kredit.
▪ Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan
prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
b. Berdasarkan Kepemilikan
menurut kasmir berdasarkan kepemilikannya bank dibedakan
menjadi:

19 | P a g e
I. Bank milik Pemerintah Adalah bank dimana akte pendirian
maupun modalnya dimiliki oleh pemerintah sehingga seluruh
keuntungan bank dimiliki oleh pemerintah pula. Contoh bank,
miilik pemerintah antara lain: Bank Negara Indonesia (BNI),
Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Tabungan Negara (BTN).
III. Bank milik Pemerintah Daerah Adalah bank yang merupakan
milik pemerintah daerah tingkat I dan tingkat II masing-masing
provinsi. Yang termasuk bank Pemda adalah: BPD DKI
Jakarta, BPD JABAR, BPD JATIM, dan yang lainnya.
IV. Bank milik swasta Nasional Adalah bank yang seluruh atau
sebbagian besarnya dimiliki oleh swasta nasional serta akte
pendeririannya pun didirikan oleh swasta, begitu pula
keuntungannya untuk keuntungan swasta pula. Yang termasuk
bank swasta nasional adalah: bank Muamalat, Bank Central
Asia (BCA), Bank Bumi Putra, dan yang lainnya.
V. Bank milik Koperasi Kepemilikan saham-saham bank ini
dimiliki oleh perusahaan yang berbadan hukum koperasi.
Contoh: Bank Umum Koperasi Indonesia.
VI. Bank asing/campuran Bank jenis ini merupakan cabang dari
bank yang ada diluar negeri, baik swasta asing atau pemerintah
asing. Contoh bank asing diantaranya: ABN AMRO bank,
Bank of america, city Bank, dan yang lainnya.
c. Berdasarkan Bentuk Hukumnya
I. Bank berbentuk hukum perusahaan daerah.
II. Bank berbentuk hukum perseroan (PERSERO).
III. Bank berbentuk hukum perseroan terbatas (PT). 4. Bank
berbentuk hukum koperasi.
d. Bank Berdasarkan Kegiatan Usahanya
I. Bank Devisa Adalah bank yang dapat melaksanakan transaksi
ke luar negri atau yang berhubungan dengan mata uang asing
secara keseluruhan, misalnya transfer ke luar negeri, inkaso ke
luar negeri, traveller cheque, dan transaksi lainnya.

20 | P a g e
II. Bank Bukan devisa Adalah bank yang belum mempunyai izin
untuk melakukan transaksi sebagai bank devisa sehingga tidak
dapat melakukan transaksi seperti bank devisa. Dengan kata
lain bank bukan devisa kebalikan dari bank devisa.
e. Bank Berdasarkan Sistem Pembayaran
I. Berdasarkan Pembayaran Bunga Adalah bank yang dalam
mencari keuntungan dengan cara menerapkan suku bunga.
II. Berdasarkan Pembayaran Bagi Hasil Keuntungan (Prinsip
Syariah). adalah bank yang dalam mencari keuntungan dengan
cara bagi hasil atau dengan prinsip-prinsip syariah lainnya.
2. Konsep Perbankan Syariah
2.1 Pengertian Bank Syariah
Bank Syariah terdiri atas dua kata yaitu, bank dan syariah. Kata
bank bermakna suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara
keuangan dari dua pihak, yaitu pihak yang berkelebihan dana dan pihak
yang kekurangan dana. Sedangkan kata syariah dalam versi bank syariah
di Indonesia adalah aturan perjanjian berdasarkan yang dilakukan oleh
pihak bank dan pihak lain untuk penyimpangan dana dan/ atau
pembiayaan kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum
Islam.
Penggabungan kedua kata dimaksud, menjadi “bank syariah”.
Bank syariah adalah suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai
perantara bagi pihak yang berkelebihan dana dengan pihak yang
kekurangan dana untuk kegiatan lainnya sesuai dengan hukum Islam.
Selain itu, bank syariah juga bisa disebut Islamic banking atau interest fee
banking, yaitu suatu sistem perbankan dalam pelaksanaan operasional
tidak menggunakan sistem bunga (riba), spekulasi (maisir), dan
ketidakpastian atau ketidakjelasan (gharar).
Berdasarkan Undang-undang No. 10 Tahun 1998, pengertian
perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya (Pasal 1 angka 1).

21 | P a g e
Sedangkan yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-
bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak
(Pasal 1 angka 2). Ditinjau dari sudut pandangan hukum, ruang lingkup
pengertian perbankan itu masih bersifat umum sehingga belum sampai
pada kesimpulan apakah jenis kegiatan usaha yang dilakukan di lembaga
perbankan tersebut halal atau haram. Karena itu untuk menjamin kehalalan
kegiatan usaha perbankan, maka dalam operasionalnya harus
menggunakan prinsip-prinsip syariah.
Dengan demikian lembaga perbankan yang kegiatan usahanya
berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah maka dapat dikatakan sebagai
perbankan Syariah. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah, bahwa yang dimaksud dengan
perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank
syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha,
serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya (Pasal 1
angka 1).
Bank syariah merupakan lembaga keuangan yang berfungsi
memperlancar mekanisme ekonomi di sektor riil melalui aktivitas
kegiatan usaha (investasi, jual beli, atau lainnya) berdasarkan prinsip
syariah, yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dan
pihak lain untuk penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan usaha, atau
kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan nilai-nilai syariah yang
bersifat makro maupun mikro.
Adapun nilai-nilai makro yang dimaksud adalah keadilan,
maslahah, sistem zakat, bebas dari bunga (riba), bebas dari kegiatan
spekulatif yang nonproduktif seperti perjudian (maysir), terhindar dari hal-
hal yang tidak jelas dan meragukan (gharar), bebas dari hal-hal yang rusak
atau tidak sah (bathil), dan penggunaan uang sebagai alat tukar.
Sementara itu, nilai-nilai mikro yang harus dimiliki oleh pelaku
perbankan syariah adalah sifat-sifat mulia yang dicontohkan oleh

22 | P a g e
Rasulullah SAW. yaitu shidiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Selain itu,
dimensi keberhasilan bank syariah meliputi keberhasilan dunia dan akhirat
(long term oriented) yang sangat memperhatikan keberhasilan sumber,
kebenaran proses, dan kemanfaatan hasil. Adapun konsep yang diterapkan
oleh Bank syariah untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut meliputi.
Seperti telah disebutkan diatas, bank syariah adalah lembaga
keuangan yang berfungsi memperlancar mekanisme ekonomi di sektor riil
melalui aktivitas investasi atau jual beli, serta memberikan pelayanan jasa
simpanan/perbankan bagi para nasabah. Mekanisme kerja yang dilakukan
Bank syariah adalah dengan cara melakukan kegiatan pengumpulan dana
dari nasabah melalui deposito/investasi maupun titipan giro dan tabungan.
Dana yang terkumpul kemudian diinvestasikan pada dunia usaha melalui
investasi sendiri (non bagi hasil/trade financing) dan investasi dengan
pihak lain (bagi hasil/investment financing).
Ketika ada hasil (keuntungan), maka bagian keuntungan untuk
bank dibagi kembali antara bank dan nasabah pendanaan. Di samping itu
bank syariah dapat memberikan berbagai jasa perbankan kepada
nasabahnya. Secara teori bank syariah menggunakan konsep two tier
mudharabah (mudharabah dua tingkat), yaitu bank syariah berfungsi dan
beroperasi sebagai institusi intermediasi investasi yang menggunakan
akad mudharabah pada kegiatan pendanaan (pasiva) maupun pembiayaan
(aktiva).
Dalam pendanaan bank syariah bertindak sebagai pengusaha atau
mudharib, sedangkan dalam pembiayaan bank syariah bertindak sebagai
pemilik dana atau shahibul maal. Selain itu, bank syariah juga dapat
bertindak sebagai agen investasi yang mempertemukan pemilik dana dan
pengusaha. Dari pembiayaan dengan prinsip bagi hasil diperoleh bagi
hasil/laba sesuai kesepakatan awal (nisbah bagi hasil) dengan masing-
masing nasabah (mudharib atau mitra usaha) dari pembiayaan prinsip jual
beli diperoleh margin keuntungan. Sedangkan dari pembiayaan dengan
prinsip sewa diperoleh pendapatan sewa.

23 | P a g e
Keseluruhan pendapatan dari pooling fund ini kemudian
dibagihasilkan antara bank dengan semua nasabah yang menitipkan,
menabung, atau menginvestasikan uangnya sesuai dengan kesepakatan
awal. Bagian nasabah atau hak pihak ketiga akan didistribusikan kepada
nasabah, sedangkan bagian bank akan dimasukan kedalam laporan rugi
laba sebagai pendapatan operasi utama. Sementara itu pendapatan lain
seperti dari mudharabah muqayyadah (investasi terikat) dan jasa keuangan
dimasukan kedalam laporan rugi laba sebagai pendapatan operasi lainnya.
2.2 Akad Yang Digunakan Bank Syariah
Akad atau transaksi yang digunakan bank syariah dalam
operasinya terutama diturunkan dari kegiatan mencari keuntungan
(tijarah) dan sebagian dari keuntungan tolong menolong (tabarru’).
Turunan dari tijarah adalah perniagaan (al Bai’) yang berbentuk kontrak
pertukaran dan kontrak bagi hasil dengan segala variasinya. Secara garis
besar akad yang sering digunakan dalam perbankan syariah ada dua
macam yaitu akad Tabarru’ dan akad Tijarah. Akad Tabarru’ adalah
merupakan jenis akad transaksi perjanjian antara dua orang atau lebih yang
tidak berorientasi pada profit (keuntungan) atau biasa disebut bisnis non-
profit oriented. Sedangkan akad Tijarah adalah merupakan jenis akad
dalam transaksi perjanjian antara dua orang atau lebih yang berorientasi
pada profit (keuntungan) atau biasa disebut bisnis profit oriented.
a. Akad Tabarru’ Akad Tabarru’ digunakan untuk tujuan saling tolong
menolong (ta’awun) tanpa mengharapkan balasan kecuali dari Allah
SWT berupa pahala. Dengan demikian masing-masing pihak yang
terlibat tidak dapat mengambil keuntungan (profit) dari jenis transaksi
ini. Namun, salah satu pihak dapat mengenakan biaya untuk sekedar
menutupi biaya yang muncul akibat transaksi. Batasan biaya tersebut
adalah, biaya tersebut harus habis dibagi untuk biaya riil yang
dikeluarkan, tidak boleh ada sisa yang diakui sebagai keuntungan atau
laba.
b. Akad Tijarah Akad Tijarah digunakan dalam transaksi dengan tujuan
mencari keuntungan. Dengan demikian, masing-masing pihak yang

24 | P a g e
terlibat dapat mengambil keuntungan (profit) dari jenis transaksi ini.
Besarnya keuntungan yang diperoleh tergantung dari kesepakatan dari
masing-masing pihak. Yang termasuk dalam kategori akad tijarah
adalah.
2.3 Dasar Hukum Bank Syariah
Akomodasi peraturan perundang-undangan indonesia terhadap
ruang gerak perbankan syariah terdapat pada beberapa perundang-
undangan berikut25:
a. undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang-
undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan.
b. undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang bank sentral. Undang-
udang ini memberi peluang bagi BI untuk menerapkan kebijakan
moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
c. Surat Keputusan Direksi bank Idonesia No. 32/33/KEP/DIR tanggal
12 Mei 1999 tentang bank Umum dan surat keputusan Direksi Bank
Indonesia no. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank
Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Kedua peraturan perundang-
undangan ini mengatur kelembagaan bank syariah yang meliputi
pengaturan tata cara pendirian, kepemilikan, kepengurusan, dan
kegiatan usaha bank.
d. peraturan Bank indonesia No. 2/7/PBI/2000 tanggal 23 februari 2000
tentang Giro Wajib Minimum Peraturan Bank Indonesia No.
2/4/PBI/2000 tanggal 11 Februari tentang perubahan peraturan Bank
Indonesia No. 1/3/PBI/1999 tanggal 13 Agustus 1999 tentang
penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi
Pembayaran Antarbank atas hasil Kliring Lokal, Peraturan Bank
Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang pasar
uang Antarbank berdasarkan Prinsip Syariah, dan peraturan Bank
Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang
sertifikat wadi’ah Bank Indonesia. Peraturan perundang-undangan
tersebut mengatur tentang likuiditas dan instrumen moneter yang
sesuai dengan prinsip syariah.

25 | P a g e
e. ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh bank for International
Settlement (BIS) yang berkedudukan di Basel, Swiss yang dijadikan
acuan oleh perbankan Indonesia untuk mengatur pelaksanaan prinsip
kehati-hatian (Prudential Bannking Regulations).
2.4 Fatwa DSN-MUI Tentang Akad Wakalah Pada Perbankan Syariah
Sebagai lembaga yang mengawasi produk-produk syariah yang
dikeluarkan oleh lembaga-lembaga keuangan syariah maka DSN-MUI
telah mengeluarkan fatwanya yang berkaitan dengan akad Wakalah.
Adapun fatwa tersebut adalah. Dewan Syari’ah Nasional setelah:
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka mencapai suatu tujuan sering diperlukan pihak
lain untuk mewakilinya melalui akad wakalah, yaitu pelimpahan
kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh
diwakilkan;
b. bahwa praktek wakalah pada LKS dilakukan sebagai salah satu bentuk
pelayanan jasa perbankan kepada nasabah;
c. bahwa agar praktek wakalah tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran
Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang wakalah
untuk dijadikan pedoman oleh LKS.

Secara bahasa, wakalah bermakna ‘at tafwidl’ yakni penyerahan,


pedelegasian atau pemberian mandat, juga bisa bermakna ‘al hifdzu’ yakni
memelihara. Secara istilah, wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh
seseorang kepada oranglain dalam hal-hal yang diwakilkan.

Dalam praktek perbankan, wakalah lazim diaplikasikan untuk produk


transfer uang. Dalam hal ini, nasabah bertindak sebagai muwakil, yakni
pihak yang mewakilkan pekerjaan transfer uang kepada pihak yang dituju,
sedangkan bank bertindak sebagai pihak wakil dari nasabah. Taukilnya
berupa transfer uang. Untuk transaksi transfer tersebut, biasanya nasabah
akan membayarkan uang sebagai fee.

26 | P a g e
Dasar Hukum (Adillah Al-Ahkam) Wakalah merupakan produk
layanan pembiayaan bank syariah yang diperbolehkan, dengan mengacu
pada dalil-dalil sebagai berikut:

a. QS. Al Kahfi : 19. merujuk pada diperbolehkannya konsep wakalah.


Dalam ayat ini terdapat lafadz ‘fab’atsu ahadakum biwariqikum yang
bermakna ‘maka suruhlah salah seorang diantara kamu pergi kekota
dengan membawa uang perakmu ini’. Lafadz ini yang dijadikan
istidlal atas keabsahan praktek wakalah. Dalam ayat ini diceritakan,
salah seorang dari mereka menjadi wakil untuk membeli makanan
yang terbaik guna memenuhi kebutuhan mereka atas rasa lapar dan
dahaga.
b. QS. Yusuf : 55. merupakan dalil lain diperbolehkannya akad wakalah.
Ayat ini selain mengakui keabsahan akad wakalah, juga
mengindikasikan dua sikap mendasar yang harus ada dalam konsep
wakalah. Sikap itu adalah kemampuan menjaga, memelihara, dan
dapat dipercaya dalam menjalankan pekerjaan yang diwakilkan,
selain itu juga harus memiliki pengetahuan dan kompetensi atas
pekerjaan yag didelegasikan.
c. QS. Al-Baqarah : 283. merujuk pada posisi wakil sebagai pihak
penerima amanah atas sesuatu yang diwakilkan. Pihak wakil harus
menunaikan segala sesuatu yang diamanahkan oleh muwakkil, tanpa
ada sesuatu yang ditambahi atau dikurangi. Muwakkil sangat percaya
kepada wakil. Sehingga dengan sebaik mungkin wakil harus
menjalankan apa yang diwakilkan oleh pihak muwakkil. Misalnya,
dalam transfe uang bank merupakan wakil dari nasabah untuk
melakukan transfer atas sejumlah uang yang diwakilkan. Pihak bank
tidak bisa mengurangi jumlah itu, tetapi ia harus amanah dan
menjalankkan sesuatu sesuai dengan yang diwakilkan.
d. QS. Al Maidah : 2. merujuk pada perintah Allah kepada hambanya
untuk saling tolongmenolong dalam hal kebaikan dan meninggalkan
kemungkaran serta melarang tolongmenolong dalam kebatilan.
Relevansinya dengan akad wakalah, jika dipercaya dan memiliki

27 | P a g e
kompetensi untuk menjalankan sesuatu yang diwakilkan maka hal
tersebut harus diterima, karena hal tersebut merupakan wujud
pertolongan terhadap orang lain, sepanjang tidak mengarah pada
sesuatu yang batil.
e. Hadis riwayat imam Malik dalam kita Al Muwatta’ ini mengungkap
mengungkap praktek wakalah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah
SAW. Dalam hadis ini jelas sekali bahwa Rasulullah SAW pernah
mewakilkan kepada Abu Rafi’ untuk mengganti posisi beliau dalam
menerima perkawinan dengan Maimunah binti Harits. Dengan
demikian praktek wakalah benar adanya dan mendapatkan legalitas
dari Syara’.
f. Hadis Riwayat Tirmidzi merujuk pada kebebasan untuk melakukan
transaksi dan diperbolehkanya menetapkan bebrapa syarat dalam
transaksi. Berdasarkan hadis ini, terdapat kebebasan untuk melakukan
transaksi ataupun menetapkan beberapa syarat dalam transaksi,
sepanjang syarat tersebut tidak bertentangan dengan syar’i. seperti
syarat

Keimpulan Dan Saran

A. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah tujuan penelitian yang telah diuraikan
sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan, Wakalah berarti melimpahkan
kekuasaan kepada orang lain untuk bisa melakukan suatu urusan atau pekerjaan
atas nama pemberi kuasa. Dalam hal melaksanakan kuasa, seorang wakil hanya
boleh melakukan hal-hal yang diperintahkan oleh muwakkil tanpa boleh
menambah atau mengurangi amanah yang diberikan. Wakil sebagai pihak kedua
tidak bertanggung jawab atas apapun yang terjadi kepada pihak pertama atau
muwakkil apabila dia telah melaksanakan pekerjaan sesuai dengan wewenang
yang diberikan. Kemudian sarana dalam pelaksanaan akad wakalah dalam
perbankan Syariah nyata tidak ada penyimpangan yang menyalahi al Quran dan
al hadits.

28 | P a g e
B. Saran
Saran-Saran Untuk meningkatkan jumlah nasabah dan tingkat kepercayaan
nasabah kepada bank Syariah contohnya dengan Membuat produk-produk yang
lebih banyak dan lebih bervariasi yang menggunakan akad wakalah,
Meningkatkan kualitas SDM agar kepercayaan nasabah semakin meningkat dan
semakin percaya ketika nasabah ingin bekerjasama atau mewakilkan suatu
urusannya, Terus mengevaluasi produk-produk yang menggunakan akad wakalah
dan membandingkan dengan wakalah secara konsep fiqih mu’amalah agar tidak
terjadi penyimpangan dalam pengaplikasiannya.

29 | P a g e
Daftar Pustaka

SUDIARTI, Sri. Fiqh Muamalah Kontemporer. 2018.

Yunita, A. (2018). Problematika Penyertaan Akad Wakalah dalam Pembiayaan Murabahah pada
Bank Syariah. Varia Justicia, 14(1), 21-29.

SOBIRIN, Sobirin. KONSEP AKAD WAKALAH DAN APLIKASINYA DALAM PERBANKAN


SYARIAH (STUDI KASUS BANK BNI SYARIAH CABANG BOGOR). AL-INFAQ, 2012, 3.2.

Gumansyah, Wery, Hukum Perbankan Syariah (Prosedur & Pola Penyelesaian Sengketa
Perbankan Syariah), Bengkulu, vanda, 176, 2016.

Nuhyatia, Indah. "Penerapan dan Aplikasi Akad Wakalah pada Produk Jasa Bank
Syariah." Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam 3.2 (2013).

SOBIRIN, Sobirin. KONSEP AKAD WAKALAH DAN APLIKASINYA DALAM PERBANKAN


SYARIAH (STUDI KASUS BANK BNI SYARIAH CABANG BOGOR). AL-INFAQ, 2012, 3.2.

Widiana, Wahyu, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, Mahkamah Agung, 285 Hal. 2011

Fithriana Syarqawie, FIKIH MUAMALAH, IAIN ANTASARI PRESS, 170 hal, 2015

YUHANIDA, Ida. Aplikasi Akad Wakalah pada Produk BSM E-Money di Bank Syariah Mandiri.
2018. PhD Thesis. UIN Sunan Gunung Djati Bandung..

30 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai