Anda di halaman 1dari 12

AKAD (PERIKATAN & PERJANJIAN) dan KHIYAR

Oleh :
Amelia Kartika,1 Dewi Murtasimah,,2 dan Rangga Dwi Saputra3
Program Studi Akuntansi Syariah
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon

e-mail: ameliakartika192@gmail.com,1 dewimurtasimah21@gmail.com,2 dan


rangga.dwisaputra3@gmail.com 3

ABSTRACT
This paper will explore the meaning of contract and khiyar, some of the pillars and
conditions that exist in a contract and khiyar. An explanation of the making of a condition in the
contract. Explaining the law of handing over an object and why a contract can end. The existence
of the contract has a crucial role in Islamic financial transactions with many implications.
One of them is that in Islam there is freedom to enter into a contract by determining all
the terms and forms of the contract desired by the parties, as long as the contract is carried out
voluntarily and is not included in the prohibition of the Shari'a. On this basis, the essence of the
contract carried out in Islam is to create benefits for the parties who enter into an agreement for a
sharia financial transaction.
Keywords : Akad, Khiyar, Transaction, Sharia Finance
ABSTRAK
Tulisan ini akan mengupas tentang pengertian akad dan khiyar, beberapa rukun dan
syarat yang ada dalam suatu akad dan khiyar. Penjelasan tentang pembuatan suatu syarat dalam
akad. Menjelaskan tentang hukum serah terima suatu objek dan sebab suatu akad bisa berakhir.
keberadaan akad memiliki peranan yang krusial dalam transaksi keuangan syariah dengan
banyaknya implikasi yang ditimbulkan.
Salah satunya adalah bahwa dalam Islam terdapat kebebasan untuk melakukan akad
dengan menentukan segenap syarat dan bentuk akad yang diinginkan oleh para pihak, asalkan
akad tersebut dilakukan secara sukarela serta tidak termasuk dalam larangan syariat. Atas dasar
tersebut, inti akad yang dilakukan dalam Islam adalah untuk terciptanya kemaslahatan bagi para
pihak yang melakukan perjanjian untuk sebuah transaksi keuangan syariah
Kata Kunci : Akad, Khiyar, Transaksi, Keuangan Syariah
PENDAHULUAN
Menurut keyakinan umat Muslim, Islam adalah agama sempurna. Karena merupakan agama
yang universal, bukan hanya mengatur hubungan antara manusia dan Tuhannya, tetapi juga
berbicara tentang bagaimana manusia berhubungan satu sama lain (Mu’amalah). Manusia adalah
makhluk sosial. Oleh karena itu, bisa dipahami bahwa manusia melakukan aktivitas kehidupan di
seluruh dunia ini untuk mendorong hubungan satu sama lain sehingga mereka dapat memenuhi
kebutuhannya. Dengan adanya hubungan satu sama lain, maka diperlu hukum yang dapat
mengatur hubungan tersebut, karena jika tidak ada hukum yang mengaturnya, akan ada
kekacauan dan ketidakstabilan dalam kehidupan manusia.
Dalam hal muamalah, hukum Syariah terkait dengan hubungan satu dengan lainnya, Islam
memberikan informasi tentang bagaimana manusia saling tolong menolong yang didasarkan
pada Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk menghasilkan Muamalah yang halal, ridho, jujur dan
barokah. Praktik muamalah meliputi akad yang mengikat, yaitu transaksi (penjualan), sewa
menyewa, pertukaran mata uang dan akad yang tidak mengikat, seperti perwakilan, Mudharabah
dan serikat dagang.1 Perjanjian dalam hukum Islam disebut “Akad”. Akad adalah hubungan
antara ijab dan qabul dengan cara yang diizinkan oleh hukum yang memiliki dampak langsung.
Ini berarti bahwa kontrak termasuk dalam pandangan syara, jenis hubungan antara dua orang
karena kesepakatan antara keduanya, kemudian keinginan itu disebut ijab dan qabul.2
Perjanjian akad sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Ini merupakan “dasar dari sekian
banyak kegiatan kita sehari-hari”.3 Akad membantu semua orang memenuhi kebutuhan dan
minat mereka tanpa bantuan dan pelayanan orang lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
akad merupakan sarana sosial diciptakan oleh peradaban manusia untuk mendukung kehidupan
sebagai orang sosial. Akad akan mengikat kedua pihak yang telah bersepakat dengan masing-
masing pihak harus menjalankan kewajiban yang telah disepakati. Dalam akad terms and
condition-nya ditetapkan secara rinci yang mana jika ada yang melanggar maka pihak tersebut
dapat menerima sanksi yang telah disepakati dalam akad atau berakhirnya akad

Hak untuk membatalkan akad (khiyar) ditetapkan dan ditetapkan dalam fiqih transaksi
yang sesuai dengan hukum Syariah. Khiyar dalam hadits Nabi Muhammad Shallallahu’Alaihi
Wasallam adalah perdagangan muamalah dalam bentuk berikut: hak pembeli dan penjual untuk
memilih, apakah akan tetap memenuhi akad atau membatalkan. Kategori khiyar yang ada yaitu
khiyar majlis, khiyar persyaratan, khiyar stigma/cacat, khiyar pemalsuan dan Khiyar penipuan.
Khiyar adalah bukti sempurna dari hukum Islam perdagangan, perlindungan pembeli dan
penjual, dan pelaksanaan akad. Dalam perspektif fiqih terdapat empat unsur akad, pertama pihak
yang bertransaksi. Kedua, objek akad. ketiga, materi akad. keempat, rukun akad. setiap
melaksanakan akad terdapat persyaratan yang harus dipenuhi agar akad tersebut sah.

Harta yang dimiliki secara sah oleh seseorang tetapi belum dimiliki dapat digunakan untuk
transaksi ekonomi hukum, jika pemilik properti tidak menandatangani kontrak dengan pihak
kedua (mitra akad), ini dicapai melalui kesepakatan. Dalam kajian fiqh muamalat, akad memiliki
aturan dan ketentuannya. Maka bahasan singkat kali ini akan membahas tentang pengertian akad,
hukum akad, syarat akad, teori dan hukum khiyar, hukum sebab akad berakhir. Berdasarkan

1
Badri, MA. 2020. Panduan Praktis Fikih Perniagaan Islam : Berbisis dan Berdagang
Sesuai Sunnah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Jakarta:Darul Haq
2
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih
Muamalat...68
3
Henry R. Cheeseman, Contemporay Busines Law, cet. Ke‐3 (New jersey: Prentice
Hall,2000),187.
sunnah Rasulullah saw khiyar hukumnya boleh, diperjelas dengan adanya hadis tentang anjuran
khiyar.
PENELITIAN TERDAHULU
Berikut ini merupakan beberapa hasil penelitian terdahulu, yang dijadikan sebagai landasan
bagi penelitian dalam melakukan penelitian selanjutnya :
1. Herwanto (2009) Penelitian “Implementasi Akad Murabahah di Indonesia Pembiayaan
Kepemilikan Subsidi Syariah Surakarta, Bank Tabungan Nasional Cabang Syariah".
Hasil Penelitian melalui penggunaan metode deskriptif, hasil penelitian dalam
pelaksanaan kontrak pembiayaan yang dilakukan oleh Bank Tabungan Nasional cabang
Syariah Surakarta sering mengalami masalah pembiayaan keamanan perumahan,
permasalahan dalam pelaksanaan umumnya ada dua jenis yaitu: pembayaran tertunda
secara mencicil dan tidak mampu membayar angsuran yang telah disepakati sebelumnya.
2. Rosyidha (2012) penelitian “Analisis Perbandingan Pembiayaan Perumahan Syariah dan
Akad Murabahah dan Musyarakah Bank Muamalat Surabaya” tertera masyarakat
membutuhkan lebih banyak pembiayaan melalui akad murabahah orang yang
menginginkan pembiayaan jangka pendek atau kurang dari lima tahun, dan pembiayaan
akad dengan Musyarakah banyak kebutuhan masyarakat yang menginginkan pembiayaan
jangka panjang atau lebih dari lima tahun.
3. Rejeki, F.Y.S (2013) penelitian “Akad Pembiayaan Murabahah dan Praktiknya pada PT
Bank Syariah Mandiri Cabang Manado” Metode penelitian hukum normatif dan
penelitian lapangan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa prosedur serta persyaratan
dalam penyaluran dana yang berupa akad pembiayaan murabahah tidak hanya dilakukan
berdasarkan ketentuan Hukum Islam, tetapi juga harus berdasarkan ketentuan Hukum
Perbankan Syariah serta ketentuan khusus yang diterapkan di PT. Bank Syariah Mandiri.
4. Zainuddin (2017) penelitian “Jual Beli Online secara dropshipping Dalam Perspektif
Hukum Islam ” (Analisis Bā'i Garar) menjelaskan bahwa jual beli melalui dropshipping
adalah mengunggah foto-foto menarik di media sosial kemudian menulis kalimat promosi
dan sertakan informasi kontak jadi jika ada yang tertarik dengan barang anda. Tinjauan
Hukum Transaksi Islam jual beli online melalui direct selling ini telah ditegaskan dalam
Al Quran dan hadits tentang izin dan larangan berdagang dalam segala bentuk transaksi
jual beli yang meliputi unsur-unsur berikut: garar (komoditas yang diperdagangkan tidak
jelas). Fokus penelitian ini untuk menghindari jual beli yang mengandung ambiguitas dan
penelitian baru ini tidak hanya mencakup menjelaskan tetapi juga membahas hak dan
kewajiban konsumen menurut pandangan hukum Islam agar terhindar dari kerugian
dikemudian hari.
5. Dwi Sakti Muhamad Huda (2013). ‘’Tinjauan Hukum Islam terhadap Penerapan Khiyar
Dalam Jual Beli Barang Elektronik Secara Online’’ (Studi Kasus di Toko Online Kamera
Mbantul). Studi ini adalah metode Penelitian kualitatif dengan menggunakan Penelitian
lapangan. Teknologi akuisisi penggunaan data wawancara (pemilik toko online elektronik
dan beberapa pembeli) dan dokumentasi. Membeli dan menjual melalui toko online
Kamera Bantul sama seperti jual beli secara umum. Yang membuatnya berbeda adalah
transaksi yang dilakukan tidak dalam majelis tapi melalui internet. Praktek khiyar
membeli dan menjual produk elektronik secara online, dilihat dari akadnya, termasuk
dalam khiyar syarat.
METODOLOGI

Metode adalah cara untuk merumuskan, membahas, menemukan, menganalisis, dan


mengolah data dari suatu permasalahan yang dikaji untuk menerangkan suatu kebenaran.4
Metode berguna sebagai penuntun dalam menulis artikel guna mendapatkan hasil yang benar,
penulis menggunakan beberapa metode dalam penulisan artikel ini, yaitu:

1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian dengan metode kualitatif yang mempunyai
tujuan untuk membahas suatu fenomena dengan cara mengumpulkan data.5 Metode 
kualitatif dapat memahami situasi sampai mendapatkan kesimpulan yang tepat,
namun tidak selalu membahas tentang sebab akibat. Adapun yang dimaksud dengan
metode  kualitatif yaitu cara penelitian yang menghasilkan suatu data deskripsi. Data
deskripsi tersebut berupa kata-kata baik secara lisan maupun tulisan.6 Untuk itu
penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) yang
mengkaji permasalahan dengan cara menelaah dan mencari bahan yang berkaitan
dengan judul penelitian, berupa buku-buku, jurnal, atau artikel yang berkaitan.7
2. Sifat Penelitian
Dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat penelitian deskriptif-analitik yang digunakan
untuk menggambarkan, menjelaskan,dan mengungkapkan suatu fenomena secara
objektif. Penelitian deskriptif-analitik bertujuan guna mendapatkan informasi
fenomena yang sedang dikaji dengan menghubungkan kaitannya bersama variabel-
variabel.
3. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah menggunakan pendekatan normatif dengan cara mendekati
masalah dan menghubungkannya dengan hukum islam, apakah masalah tersebut
benar atau salah dan sesuai tidaknya dengan norma islam.
4. Sumber Data
Penulis membuat penelitian ini berdasarkan kategori penelitian kepustakaan, sehingga
sumber informasi yang didapat berupa buku-buku, artikel, atau jurnal. Sumber data
primer yang penulis dapatkan dari kitab-kitab fiqih yang berkaitan dengan
pembahasan. Sedangkan sumber data sekunder merupakan sumber data yang sudah
tersedia sehingga penulis dapat mencari dan mengumpulkannya, sebagai penunjang
buku-buku.8
5. Analisis Data
Dalam penelitian analis merupakan bagian penting dari suatu penelitian sebab data
akan terlihat manfaatnya terutama dalam proses memecahkan masalah penelitian
sampai akhir penelitian. Setelah semua data terkumpul, langkah selanjutnya
mengumpulkan analisis data secara kualitatif dengan menggunakan teknik penalaran

4
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Teori Dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, h. 194.
5
Kriyantono, Rachmat, Teknik Praktis Riset Komunikasi : Disertai Contoh Praktis Riset Media, Public Relations,
Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran, (Jakarta : Kencana, 2006), h. 56
6
Margono, Metode Penelitian Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1997), h. 36
7
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet ke-24, 2007,
h. 9.
8
Muhammad, Metodologi Penelitian Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008, h. 103.
induktif. Teknik penalaran induktif adalah suatu analisis yang menjelaskan hal-hal
yang bersifat khusus menjadi hal-hal yang bersifat umum.9
KONSEP DASAR
A. Akad
Akad adalah kegiatan ijab dan qobul atau pertalian melakukan ikatan (akad) dan
pernyataan menerima ikatan (qobul) yang sesuai dengan hukum islam sesuai dengan objek
perikatan.10 Dalam akad rukun yang paling penting itu ijab-kabul yang merupakan ucapan yang
dilakukan oleh satu pihak dan pihak lain menerima ucapan tersebut. Ijab-kabul harus
disetujui, disukai, atau saling ridho antara kedua pihak. Unsur disetujui,  disukai, atau saling
ridho antara kedua pihak merupakan perasaan yang ada pada diri manusia, yang sulit diketahui
oleh orang lain. Oleh karena itu unsur disetujui,disukai, atau saling ridho antara kedua pihak
menjadikan indikasi yang jelas dalam mendefinisikan terjadinya ijab-qabul.11

Dalam Al-Qur’an terdapat dua istilah yang berhubungan dengan perjanjian yaitu al-'aqdu
(akad) dan al-'ahdu (janji). Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy akad adalah perikatan yang
mempertemukan dua ujung tali yang dapat diikatkan.12 Akad akan mengikat kedua pihak yang
telah bersepakat dengan masing-masing pihak harus menjalankan kewajiban yang telah
disepakati. Dalam akad terms and condition-nya ditetapkan secara rinci yang mana jika ada yang
melanggar maka pihak tersebut dapat menerima sanksi yang telah disepakati dalam akad atau
berakhirnya akad,13 seperti  tercantum dalam pasall 1233 KUH Perdata, bahwa perjanjian
merupakan salah satu sumber perikatan.14 Dalam perspektif fiqih terdapat empat unsur akad,
pertama pihak yang bertransaksi. Kedua, objek akad. ketiga, materi akad. keempat, rukun akad.
setiap melaksanakan akad terdapat persyaratan yang harus dipenuhi agar akad tersebut sah.

Ahli fiqih membahas rukun akad mempunyai berbagai macam pendapat, madzhab Hanafi
mengatakan bahwa rukun akad sighat ighat al- 'aqd , yaitu ijab dan Qabul, sedangkan syaratnya 
ighat al- 'aqd, yaitu ijab dan kabul. Dalam mazhab tersebut memberikan alas an bahwa
al-'aqidain dan mahallul 'aqd bukan merupakan bagian dari tasharruf aqad (perbuatan hukum
akad).15 Berdasarkan sunnah Rasulullah saw khiyar hukumnya boleh, diperjelas dengan adanya
hadis tentang anjuran khiyar. Syariat islam telah menetapkan hak khiyar bagi pihak yang
melakukan perikatan, agar kemaslahatan berakad tercapai.

Sumber hukum akad yang pertama adalah Al-Qur’an yang merupakan sumber hukum
pertama umat islam. Ayat yang menjelaskan tentang akad Qs. al-Baqarah (2): 188, Qs. al-
Baqarah (2): 188, Qs. al-Maidah (5): , dan Qs. al-Maidah (5): 1. Kedua, hadist yang menjelaskan
ketentuan mengenai muamalah yang dijelaskan lebih rinci pada Al-Qur’an, tetapi rencana
tersebut tidak mengatur hal-hal yang lebih detail, seperti hadist : “Dari Abdi rahman Bin
9
P. Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta: PT. Rineka Cipta, Cet. Ke-2, 1997, h. 104.
10
Mustafa Ahmad Zarqa’, al-Madhal al-Fiqh al’am, Beirut: Darul al-Fikr, 1968, hlm. 247-
11
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2003, hlm. 195
12
TM Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Ed. 2 (Semarang: Pustaka Rizki Putra, (1997), h.19.
13
terms and condition-nya
14
1233 KUH Perdata, bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan.
15
Mas'adi, op. cit., hlm. 79
Syimasah sesungguhnya dia mendengar ‘Uqbah bin ‘Amir berkata, Rasulullah Saw., bersabda:
orang mukmin satu dengan lainnya bersaudara, tidak boleh membeli barang yang sedang dibeli
saudaranya, dan meminang pinangan saudaranya sebelum ia tinggalkan. Rasulullah Saw.,
bersabda orang muslim itu berserikat dalam tiga hal: yaitu rumput, air, dan api.” Ketiga, ijtihad
yang menjadi faktor penting dalam muamalah karena penjelasan atau ketentuan yang terdapat
dalam Al-Qur’an dan hadits bersifat umum. Namun pada prakteknya kegiatan muamalah selalu
berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

B. Khiyar

Khiyar atau pembatalan akad berasal dari kata khara-yachiru-khairan-wa kyaratan yang
artinya memilih, menyisihkan, menyaring, memberikan sesuatu yang lebih baik. Pengertian
Khiyar menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 20 ayat (8) adalah hak pilih
bagi penjual dan pembeli untuk melanjutkan atau membatalkan akad jual beli yang
dilakukannya. Dalam akad jika ada pihak yang dirugikan dapat melakukan khiyar atau hak pilih.
Menurut al-Zuhaily khiyar adalah hak yang dapat dilakukan oleh salah satu pihak atau keduanya
yang melaksanakan akad untuk meneruskan atau membatalkan akad.16 Terdapat beberapa macam
khiyar yaitu : Khiyar Majlis, khiyar asy- Syarat, khiyar at- Ta’yin, khiyar ar- Ru’yah, khiyar
al-‘Aib (Cacat), khiyar Sifat, Khiyar an-naqd, Khiyar ghabn ma’a at-taghrir, Khiyar Kammiyah,
Khiyar istihqa, Khiyar taghrir fi’li, Khiyar taghrir fi’li, Khiyar khiyanah murabahah, Khiyar
khiyanah murabahah, Khiyar tafriq ash-shafaqah, Khiyar tafriq ash-shafaqah, Persetujuan aqad
fudhuli, dan Khiyar berkaitan dengan hak orang lain dalam objek jual beli.

Berdasarkan sunnah Rasulullah saw khiyar hukumnya boleh, diperjelas dengan adanya
hadis tentang anjuran khiyar. Syariat islam telah menetapkan hak khiyar bagi pihak yang
melakukan perikatan, agar kemaslahatan berakad tercapai. Dalam islam kejujuran dalam berakad
harus dijadikan sebagai pondasi agar tidak merugikan. Tujuan dari khiyar untuk menjamin atau
membebaskan pihak yang sedang berakad atau yang membutuhkan khiyar. 

PEMBAHASAN
A. Konsep Akad
1. Pengertian Akad

Kata akad aqada berasal dari bahasa Arab yang berarti mengikat atau mempertemukan
dua ujung tali lalu diikat sehingga terhubung dan menjadi tali yang utuh.17 Adanya ikatan
tersebut untuk mencapai persetujuan saat dua individu, kelompok, atau perusahaan
melaksanakan perjanjian, disebut akad. Kata aqada juga berarti mengeras atau membeku18.
Pengertian akad menurut Kompilasi Ekonomi Syariah Bab I pasal 20 yang menyebutkan : “ akad
adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan/atau
tidak melakukan perbuatan hukum tertentu”. Sedangkan pengertian akad menurut Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Pasal 1 angka 13 mendefinisikan

16
Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh al Islami wa Adillatuhu, Dar al Fikr al Mu’ashir, Damaskus, Jilid 4, 1997, hal: 3086-
3095 dalam Abdul Manan, Hukum ekonomi Syariah Dalam Perspektif kewenangan Peradilan Agama,
(Jakarta:Kencana, 2012), hal: 98
17
Ibnu Manzhur, Lisan al’Arab (Beirut: Dar Shadir, cet. III tahun 1414 H), jilid 3, h. 296
18
Ibrahim Mushtafa, dkk., al-Mu’jam al-Wasith (t.tp: Dar adDa’wah, t.th.) jilid 2, h. 613
akad sebagai suatu kesepakatan tertulis antara dua pihak, yaitu Bank Syariah atau Unit Usaha
Syariah atau pihak lain yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua pihak berdasarkan
prinsip syariah.

Dalam istilah ilmu fiqih menurut ulama akad terdiri dari dua definisi yaitu definisi akad
secara umum dan khusus. Pengertian akad secara umum merupakan akad sebagai perjanjian
yang dilakukan oleh seseorang dengan adanya kewajiban untuk memenuhi dan dapat
mengakibatkan hukum syar’i19 secara satu arah maupun dua arah. Contoh akad satu arah seperti
sumpah, talak, nazar, hibah, hadiah, shadaqah, dan lain-lain, sedangkan contoh akad dua arah
seperti akad jual-beli, sewa-menyewa, akad nikah, dan lain-lain.20

Pengertian akad secara umum dapat diketahui pada literatur fiqih klasik, seperti yang
ditulis oleh Imam as-Suyuthi dalam kitab al-Asybah wa an-Nazhair yang menjelaskan
pengelompokan akad berdasarkan kebutuhan terhadap adanya ijab kabul, yang dibagi menjadi
lima: (1) akad yang tidak membutuhkan adanya ijab qobul dalam bentuk ucapan seperti hadiah,
hibah, dan shadaqah. (2) akad yang membutuhkan ijab qobul dalam bentuk ucapan seperti jual-
beli, sharf dan salam. (3) akad yang membutuhkan ijab tanpa kabul dalam bentuk ucapan seperti 
wakalah, wadi’ah dan ‘ariyah. (4) akad yang benar-benar  tidak membutuhkan ijab qobul, namun
tidak ada penolakan dari pihak kedua  seperti wakaf. (5) akad yang benar-benar  tidak
membutuhkan ijab qobul dan tidak bisa ditolak dari pihak kedua seperti dhaman dan ibra.21
Pengertian akad secara khusus dijelaskan oleh para ulama seperti dalam tesis Hannan
yang berjudul Aqsam al-‘Uqud fi alFiqh al-Islami (Klasifikasi Akad dalam Fikih Islam) yaitu
menurut Wahbah Zuhaili, akad adalah persetujuan antara dua pihak yang mengakibatkan hukum,
kewajiban, memindahkan, mengalihkan, maupun menghentikannya.22 Akibat dari persetujuan
tersebut harus dilaksanakan oleh kedua pihak. Sedangkan menurut Ibnu Abidin menjelaskan
akad sebagai pertalian antara ijab dan qabul yang sesuai dengan prinsip syariah.23
2. Syarat, Rukun, dan Asas-Asas Akad
Para ulama menjelaskan beberapa persyaratan sahnya akad,24 akad menimbulkan adanya
konsekuensi untuk melaksanakan kewajiban atau mengingkari kewajiban, sebagai dampak dari
akibat logis dari hubungan kontraktual. Untuk sahnya suatu akad harus memenuhi rukun akad,
rukun akad adalah unsur yang mutlak untuk membentuk suatu akad.25 Syarat sah suatu akad
menurut Hasbi Ash-Shiddieqy yaitu :

 Ahliyatu ‘aqdiyaini, merupakan kerjasama yang cakap antara kedua belah pihak dan
dianggap mampu mempertanggungjawabkan.
 Qabiliyyatul mahallil ‘aqdili hukmihi, objek dalam suatu akad akan menerima hukum
yang berlaku.

19
Hannan binti Muhammad Husain, “Aqsam al-‘Uqud fi al-Fiqh al-Islami,” Tesis, Universitas Ummul Qura’ Mekkah,
1998. Tidak diterbitkan (t.d)
20
Abu Bakar al-Jashshash, Ahkam al-Quran (Beirut: Dar Ihya atTurats al-‘Arabi, 1405 H), jilid 3, h. 28
21
Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair (Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, cet. I tahun 1990), h. 278
22
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz IV, (Damaskus: Dar al-Fikr), h. 81
23
Ibnu Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar, Jilid II (Mesir: Amiriyah, tt), h. 255
24
Hasanudin, Bentuk-bentuk Perikatan (Akad) dalam Ekonomi Syariah, Kapita Selekta Perbankan Syariah, (Jakarta:
Pusdiklat Mahkamah Agung RI, 2006), h. 15
25
Marilang, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Makassar: Indonesia Prime, 2017), h. 174
 Qabiliyyatul mahallil ‘aqdili hukmihi, akad dilakukan oleh seseorang yang memiliki hak.
 Anlayakunal ‘aqdu au mauu’uhu mamnu’an bi al-nash al-syar’iyin, merupakan bentuk
akad yang tidak dilarang oleh  syara’.
 Kegiatan akad yang dilakukan dapat memberikan dampak positif dan tidak
meninggalkan dampak negative
 Ijab yang dilaksanakan berjalan terus menerus dan tidak terputus sebelum terjadinya
qobul.
 Mazhab Syafi’iyah yang mengisyaratkan orang yang berijab qabul harus satu majelis,
dan dianggap batal apabila mujib dan muqbil tidak bertemu dalam satu majelis.

Menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy terdapat empat rukun akad, yaitu :

 Subjek akad (al-‘aqidain), kedua pihak yang melakukan akad harus memiliki kelayakan
untuk melakukan akad agar akad tersebut sah. Kelayakan tersebut dapat dianggap sah
jika dapat membedakan baik dan buruk, bebas memilih dengan tidak ada unsur membaca,
dan tidak terdapat khiyar (hak pilih). Seperti khiyar syarath (hak pilih menetapkan
persyaratan), khiyar arru’yah (hak pilih dalam melihat) dan sejenisnya.26
 Obyek Akad (Mahallul ‘Aqd), objek akad yang dimaksud adalah sesuatu yang dijadikan
akad maka akan dikenakan akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk objek akad dapat
berupa benda berwujud, seperti mobil dan rumah, maupun benda tak berwujud, seperti
manfaat.
 Ijab dan Kabul (Sighat al-‘Aqd)
 Tujuan Akad (Maudhu’ul ‘Aqd)

Dalam pandangan fiqih terdapat asas-asas akad yang menjadi sebuah landasan terjadinya
akad. Pertama asas ibadah yang dirumuskan dalam kaidah fiqih, “Pada asasnya segala sesuatu itu
boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya”, dapat diartikan bahwa segala sesuatu yang
yang dilakukan sesuai dengan prinsip syariah maka sah hukumnya selagi tidak ada larangan
tegas. Kedua , asas kebebasan (mabda hurriyah al-’aqd) yang menjelaskan bahwa setiap orang
memiliki kebebasan untuk berakad, dengan catatan akad yang dilakukan tidak bertentangan
dengan prinsip syariah. Ketiga, asas Konsensualisme (mabda’ ar-radha’iyyah), dapat diartikan
ketika berakad untuk mencapai suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat tanpa ada
formalitas tertentu. Keempat, asas janji yang harus ditepati oleh kedua pihak. Kelima, asas
keseimbangan (mabda’ at-tawazun fi al-mu’awdhah) dapat diartikan dengan tercapainya
keseimbangan dalam pelaksanaan akad antara kedua pihak. Keenam, asas kemaslahatan (tidak
memberatkan) dapat diartikan bahwa akad tidak boleh memberikan kerugian (mudharat) atau
memberatkan (masyaqqah). Ketujuh, asas amanah dapat diartikan kedua pihak harus beritikad
baik dalam berakad. Delapan, asas keadilan dapat diartikan bahwa perjanjian yang ada dalam
pelaksanaan akad harus adil atau sama rata antara hak dan kewajiban dari kedua pihak.27

3. Macam-Macam Akad dan Serah Terima Akad


Macam-maxam Akad :
26
Shalah ash-Shawi &Abdullah al-Mushlih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam (Terjemahan), (Jakarta: Darul Haq, 2008),
hal: 27-2
27
Yayid Affandi, Fiqh Muamalah dan Diemplementasikan ke dalam Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2009), 46-50.
a. Akad Kerjasama Bagi Hasil
 Musyarakah, akad kerjamasa antar dua pihak atau lebih untuk suatu usaha
tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau
amal dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung
bersama.
 Mudharabah, akad kerjasama antar dua pihak dimana pihak pertama (shohibul
mal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola. Keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang di tuang
dalam kontrak, apabila rugi ditanggung si pemilik modal jika bukan karena
kelalaian si pengelola.
 Muzara'ah, akad kerjasama pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan
penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si
penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian dari hasil
panen tertentu.
 Musaqah. bentuk sederhana dari muzara'ah dimana si penggarap hanya
bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si
penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
b. Akad Amanah
Pinjaman (‘Ariyah) merupakan pembolehan manfaat sesuatu tanpa ada imbalan.
Titipan (Wadi'ah) merupakan barang yang diserahkan kepada seseorang dengan
maksud untuk dipelihara. Barang Temuan (Luqathah) setiap barang yang
seharusnya dipelihara tetapi tidak diketahui siapa yang punya.
c. Akad Jasa
Ijarah (Sewa Menyewa) pemilikan terhadap sesuatu yang diperbolehkan sampai
waktu tertentu dengan adanya ganti.Wakalah (Perwakilan) tindakan seseorang
mewakilkan dirinya kepada orang lain untuk melakukan suatu tindakan yang
merupakan haknya. Ji'alah (Saimabara) hadiah yang diberikan kepada seseorang
atas apa yang telah dikerjakannya.
Serah terima objek akad (Muslam Fih) objek transaksi adalah komoditas atau layanan
yang keberadaannya harus diterima dan diserahkan kepada pembeli sesuai kesepakatan kedua
belah pihak, sebelum pembayaran terjadi, para pihak telah mencapai kesepakatan tentang
pembayaran kuantitas, bentuk, ukuran, biaya, metode pengiriman, waktu pengiriman barang dan
metode pembayaran yang digunakan. Kondisi barang yang dianlogikan di atas menunjukkan
bahwa barang itu sudah ada selama transaksi. Syarat-syarat Mauqud ‘Alaih atau objek transaksi:
28

1. Objek transaksi harus ada ketika akad adalah sedang dilakukan. Tidak diperbolehkan
berurusan dengan objek yang tidak jelas dan tidak ada waktu akad. Karena hal ini dapat
menimbulkan masalah ketika serah terima. Banyaknya hadits para nabi yang melarang
menjual hal-hal yang tidak ada kepemilikan atau kuasa untuk menjual sesuatu yang
belum jelas adanya. Berdasarkan Ibnu Taimiyah, tidak apa-apa objek transaksi saat ini
tidak ada akad, tapi objeknya harus dipastikan adanya dikemudian hari, sehingga bisa
diserahkan.

28
Ahmad Ramadhani, Lalu. Implementasi Harta Dalam Akad. (UIN Mataram: FEBI, Des 2018) Jurnal Ekonomi dan
Keuangan Islam, h. 119-120
2. Objek transaksi harus berupa Mal mutaqawwim (harta yang diperbolehkan syara’ untuk
transaksi) dan sepenuhnya dimiliki pemilik (hak milik yang sempurna). Tidak boleh
bertransaksi atas bangkai, anjing, babi, darah dan lain sebagainya. Begitu pula barang
yang belum berada dalam genggaman pemilik, Seperti ikan yang masih berada di lautan.
3. Objek transaksi bisa dapat berupa serah terima saat terjadinya akad atau dimungkinkan
di kemudian hari. Meskipun barang itu ada dan dimiliki oleh akid, namun tidak bisa
berikan, maka batal akadnya.
4. Adanya kejelasan dalam objek transaksi. Dalam arti, barang itu diketahui secara jelas
oleh kedua pihak, ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinyaperselisihan di
kemudian hari. Objek transaksi bersifat majhul (tidak diketahu) dan mengandung unsur
riba.
5. Objek transaksi harus suci, tidak dikenai najis dan bukan barang najis. Syarat ini
diusulkan oleh ulama’ selain Madzhab Hanafiyah.

B. Konsep Khiyar

C. Hukum Sebab Akad Berakhir

Terminasi akad merupakan segala bentuk atau tindakan yang menyebabkan suatu akad
berakhir baik telah terlaksana akad atau belum terlaksana. Dalam istilah fiqih pembatalan akad
disebut faskah (pemutusan), pemutusan akad dapat terjadi jika: 29

1. Pemutusan terhadap akad fasid.


2. Pemutusan akad yang tidak mengikat baik disebabkan adanya hak khair atau sifat
akadnya yang tidak mengikat.
3. Pemutusan terhadap akad dengan adanya persetujuan kedua pihak,
4. Pemutusan akad yang disebabkan karena tidak memungkinkan terlaksananya akad
tersebut

Pemutusan akad yang disebabkan oleh fasid sudah menjadi hal yang wajar sebab akad
tersebut tidak memenuhi rukun dan syarat-syaratnya, hal tersebut dapat merugikan salah satu
pihak ataupun kedua pihak. Sedangkan pemutusan akad yang disebabkan oleh hak khiyar atau
sifat akad yang tidak mengikat, maka kedua pihak mempunyai kewenangan untuk
membatalkannya.

Dalam memutuskan akad antara kedua belah pihak yang telah memenuhi rukun dan
syarat, maka pemutusan akad tidak bisa dilakukan secara sepihak. Hal tersebut didasari pada
pembuatan akad atau perjanjian akad yang telah disetujui oleh kedua pihak dengan adanya ijab
dan qobul. Dalam hukum islam tindakan yang tepat untuk mengakhiri suatu akad disebut dengan
al-Iqalah. Al-iqalah dapat menghapus akibat dari hukum akad serta mengembalikan kedua pihak
pada kondisi semula yaitu kondisi sebelum melakukan akad.

Sedangkan pemutusan akad yang dilakukan oleh satu pihak dikarenakan pihak lain tidak
memenuhi kewajiban dan memberikan kerugian pada pihak lain serta maka pihak yang dirugikan
dapat meminta ganti rugi tetapi tidak dapat dilakukan fasakh. Contohnya akad jual-beli, gadai,
29
Az Zarqa, hlm. 577 dan lihat juga Syamsul Anwar
dan akad perdamain. Akad jual-beli tidak dapat di faskah karena salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya, namun menurut KUH Perdata mengijinkan salah satu pihak untuk
menuntut pihak yang tergugat untuk menuntaskan kewajiban atau membatalkan perjanjian serta
menebus kerugian.30

Perbedaan yang timbul dalam pemutusan (fasakh) yang dilakukan satu pihak atas
kelalaian pihak lain, antara antara hukum Islam dan KUH Perdata lebih disebabkan asas
perjanjian yang digunakan. Dalam hukum Islam kaidah keberlangsungan akad, yang telah dibuat
kedua belah pihak lebih diutamakan dalam mengambil keputusan suatu perjanjian sehingga
pihak yang tidak melaksanakan kewajiban diwajibkan melaksanakannya agar tidak menimbulkan
kerugian pihak lain. Sedangkan pada KUH Perdata, lebih mendahulukan kepentingan kedua
belah pihak untuk tidak mengalami kerugian atas tindakan pihak lain. Putusnya akad disebabkan
oleh mustahilnya akad untuk dilakukan karena musnah atau hilangnya objek perjanjian yang
disebabkan oleh sebab luar. Seperti keadaan memaksa yang tidak dapat diantisipasi, dan bukan
diakibatkan kelalaian para pihak. Mengakibatkan akad tersebut terfasih demi hukum dan para
pihak dikembalikan kepada keadaan awal sebelum terjadinya akad.31 Dalam hal ini antara
hukum Islam dan KUH Perdata memberikan ketetapan yang sama bahwa perjanjian putus demi
hukum dan para pihak dikembalikan statusnya seperti semula sebagaimana belum terjadinya
perjanjian.

KESIMPULAN
Akad adalah kegiatan ijab dan qobul atau pertalian melakukan ikatan (akad) dan
pernyataan menerima ikatan (qobul) yang sesuai dengan hukum islam sesuai dengan objek
perikatan. Dalam akad rukun yang paling penting itu ijab-kabul yang merupakan ucapan yang
dilakukan oleh satu pihak dan pihak lain menerima ucapan tersebut. Ijab-kabul harus disetujui, 
disukai, atau saling ridho antara kedua pihak.
Khiyar atau pembatalan akad berasal dari kata khara-yachiru-khairan-wa kyaratan yang
artinya memilih, menyisihkan, menyaring, memberikan sesuatu yang lebih baik. Pengertian
Khiyar menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 20 ayat (8) adalah hak pilih
bagi penjual dan pembeli untuk melanjutkan atau membatalkan akad jual beli yang
dilakukannya. Dalam akad jika ada pihak yang dirugikan dapat melakukan khiyar atau hak pilih.
Menurut al-Zuhaily khiyar adalah hak yang dapat dilakukan oleh salah satu pihak atau keduanya
yang melaksanakan akad untuk meneruskan atau membatalkan akad.
Terminasi akad merupakan segala bentuk atau tindakan yang menyebabkan suatu akad
berakhir baik telah terlaksana akad atau belum terlaksana. Dalam istilah fiqih pembatalan akad
disebut faskah (pemutusan). Perbedaan yang timbul dalam pemutusan (fasakh) yang dilakukan
satu pihak atas kelalaian pihak lain, antara antara hukum Islam dan KUH Perdata lebih
disebabkan asas perjanjian yang digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Wahab. Teori Akad dalam Fiqih Muamalah, Cet. I, Jakarta Selatan: Kuningan, Rumah
Fiqih Publishing, 2019.
30
Lihat pada pasal 1480 tetang kewajiban-kewajiban si penjual, pasal 1517 tentang kewajiban si pembeli dan pasal
1266-1267
Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah, (Studi Tentang Teori Akad dalam Fiqh Muamalah),
Jakarta: Rajawali Pers, 2007
Darmawati, H. (2018). Akad dalam trasaksi Ekonomi Syariah. Tersedia dalam http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/sls/article/view/7578
Febriyanti, T.(2020). HAK PEMBATALAN AKAD (KHIYAR) DALAM FIKIH MUAMALAH
PERDAGANGAN PRINSIP SYARIAH. Tersedia dalam
http://jurnal.umika.ac.id/index.php/almisbah/article/view/130
Kusari, Ahmad. Nikah Sebagai Perikatan, Cet. I; Jakarta, Raja Grafindo, 1995.
Putri, P.(2014). HUKUM KHIYAR DALAM AKAD YANG MENGANDUNG PENIPUAN
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. Tersedia dalam
https://media.neliti.com/media/publications/13976-ID-hukum-khiyar-dalam-akad-yang-
mengandung-penipuan-dalam-perspektif-hukum-islam.pdf
Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, Bogor: Ghalia Indonesia. 2011
Yayid Affandi, Fiqh Muamalah dan Diemplementasikan ke dalam Lembaga Keuangan Syariah
(Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), 46-50.

Anda mungkin juga menyukai