Anda di halaman 1dari 10

HUKUM KONTRAK SYARIAH TERHADAP PERJANJIAN BAKU AKAD

MUDHARABAH

Oleh: Dian Fahrinda Razaq, NIM. 22912015, Email: 22912015@students.uii.ac.id

A. Pendahuluan

Pesatnya perkembangan ekonomi syariah di Indonesia mendorong lembaga-lembaga


keuangan syariah, seperti bank dan lembaga pasar modal untuk mengembangkan instrument-
instrumen yang mendukung kemajuan tersebut. Bank-bank konvensional yang telah ada
sebelumnya dianggap tidak mampu untuk memenuhi tuntutan perubahan sistem yang diinginkan
oleh umat islam. Selain masih menggunakan sistem ribawi, bank konvensional juga dianggap
kurang peduli terhadap penggunaan dana nasabah apakah untuk investasi dalam bisnis yang halal
atau haram menurut prinsip syariah islam. Umat islam mulai menyadari perlunya perbankan
syariah yang berusaha mengharmoniskan praktik perbankan dengan ajaran islam serta
meninggalkan kegiatan-kegiatan yang umum dilakukan oleh bank-bank ribawi (Konvensional),
seperti praktek riba dan investasi pada objek yang diharamkan agama.1

Dengan kemajuan perbankan syariah, telah di lakukan inovasi baru dalam pengembangan
usaha. Inovasi-inovasi tersebut bertujuan untuk mengembangkan usaha dan menghasilkan
berbagai bentuk produk baru. Dampak dari inovasi tersebut pada pranata hukum menuntut
adanya perlu regulasi yang memadai untuk mengatur hal tersebut, dengan tujuan menciptakan
kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak yang terlibat. Untuk memastikan kepastian
dan perlindungan hukum dalam pembiayaan perbankan syariah, diperlukan adanya suatu
perjanjian, seusai dengan pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian dapat di artikan sebagai suatu
tindakan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Dalam upaya meningkatkan efektivitas operasional dan melindungi kepentingan bank sebagai
penyalur dana untuk masyarakat, bank syariah menggunakan perjanjian baku sebagai alat untuk
mengatur kegiatan dalam proses penyaluran dana tersebut.

1
Norsain, “Tinjauan Kritis Pembiayaan Mudharabah Pada Bank Syariah Mandiri Sumenep,” Jurnal
“Performance” Bisnis & Akuntansi, Vol.III, No.2, Fakultas Ekonomi Universitas Wiraraja Sumenep -Madura 2013,
hlm. 2-3
Perjanjian baku sering kali dianggap tidak memenuhi aspek keadilan karena cenderung
memberikan keuntungan kepada salah satu pihak. Draft perjanjian umunya sudah disiapkan
sebelumnya oleh satu pihak dengan tujuan melindungi kepentingan dan mengurangi potensi
kerugian bagi pihak tersebut. Di sisi lain, pihak lain hanya diberikan pilihan untuk menerima
atau menolak perjanjian tersebut, juga dikenal sebagai “Take it or leave it contract”. Perjanjian
ini tidak memberikan kebebasan antara satu pihak untuk menentukan isi perjanjian, karena isi
perjanjian sudah menjadi format utuh yang dibuat oleh salah satu pihak saja.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut
secara mendalam dan terperinci. Adapun rumusan masalah yang digunakan oleh penulis dalam
mengkaji penulisan ini adalah bagaimana perjanjian baku Akad Mudharabah ditinjau dari
Hukum Kontrak Syariah dan apa saja kelebihan serta kekurangan kontrak syariah dalam akad
Mudharabah.

C. Pembahasan

Akad bank syariah yang utama dan paling disepakati oleh para ulama adalah akad dengan
pola bagi hasil dengan prinsip mudharabah dan musyarakah. 2 Mudharabah dapat diartikan
sebagai akad kerja sama usaha antara dua belah pihak. Kedua pihak tersebut yaitu pihak pemilik
dana sebagai pihak pertama yang menyediakan seluruh dana (100%) dan pihak pengelola dana
sebagai pihak kedua yang bertindak sebagai pengelola. Dalam Mudharabah, keuntungan usaha
dibagi sesuai kesepakatan semua pihak yang ditulis di dalam kontrak perjanjian. Lalu, jika
mengalami kerugian finansial maka pihak pertama akan menanggungnya, tetapi jika karena
kelalaian pengelola maka akan ditanggung oleh pengelola dana. Akad mudharabah merupakan
suatu transaksi investasi berdasarkan kepercayaan. Kepercayaan merupakan unsur terpenting
dalam akad mudharabah, yaitu kepercayaan dari pemilik dana kepada pengelola dana.
Kepercayaan ini penting dalam akad mudharabah karena pemilik dana tidak boleh ikut campur di
dalam manajemen perusahaan atau proyek yang dibiayai dengan dana dari pemilik dana tersebut,
kecuali sebatas memberikan saran-saran dan melakukan pengawasan pada pengelola dana. 3

2
Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah (Jakarta: PT. Raja Grafindo, hlm. 102)
3
Dwi Suwiknyo. Pengantar Akuntansi Syariah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 78.
Secara umum, landasan dasar syariah mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk
melakukan usaha. Hal ini terdapat dalam ayat-ayat dan hadits berikut ini.

1. Al-Qur‟an ‫ر‬A‫ َيْبَتُغ وَ نِ مْ ن َف ْ ضِ لَّ لِال ْ رِضْْ َل ُبوَ ن ِفي اِ َ و آَ خُ روَ ن َي ْ ض‬Artinya: “... dan dari orang-
orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT. (Al-Muzzammil:
20)4Yang menjadi wajhud-dilalah atau argumen dari surah al-Muzammil: 20 adalah adanya kata
“yadhribun” yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarati melakukan suatu perjalanan
usaha.

2. Al-Hadits Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthal jika
memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah maka mensyaratkan agar dananya tidak
dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli temak. Jika
menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut.
Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah Saw. dan Rasulullah pun
membolehkannya.” (HR. Thabrani)5

3. Ijma‟ Imam Zailai telah menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap
legitimasi pengolahan harta yatim secara mudharabah. Kesepakatan para sahabat ini sejalan
dengan spirit hadits yang dikutip Abu Ubaid”.

Perjanjian Baku Akad Mudharabah Ditinjau dari Hukum Kontrak syariah

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang yang lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Perjanjian seringkali
dipergunakan dalam transaksi ekonomi di perbankan, termasuk juga perbankan syariah.6

Kontrak mudharabah diterbitkan oleh lembaga perbankan syariah sebagai salah satu
bentuk kontrak kemitraan keuangan dalam islam. Akad mudharabah dapat ditemukan dalam
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, khususnya dalam pasal 19
huruf (b) dan huruf (c). dalam ketentuan tersebut, akad mudharabah digunakan oleh bank syariah
dan unit usaha syariah untuk menghimpun dana dalam bentuk investasi seperti deposito,
tabungan, atau bentuk lain yang sejenis. Selain sebagai mekanisme penghimpuna dana, akad

4
Al-Qur‟anul Karim dan terjemahannya. Tafsir
5
Ibid, hlm.132
6
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Bandung: Intermasa, 1987), hlm. 19
mudharabah juga berfungsi sebagai sarana untuk menyalurkan pembiayaan berdasarkan bagi
hasil.7

Kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat dalam pembiayaan diwujudkan dalam


bentuk perjanjian atau akad. Definisi akad di jelaskan dalam pasal 1 angka (13) Undang-Undang
Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah atau Unit Usaha Syariah (UUS) dengan pihak
lain, yang memuat hak dan kewajiban bagi setiap pihak sesuai dengan prinsip syariah. Dengan
adanya pengaturan mengenai penggunaan prinsip syariah sebagai dasar dalam pembuatan
perjanjian, diharapkan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah dapat
memberikan landasan hukum sehingga perjanjian tersebut tidak melanggar aturan syariah.
Prinsip syariah tersebut kemudian dijelaskan dalam pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Nomor 21
tahun 2008 tentang perbankan syariah, yang menyatakan bahwa prinsip syariah adalah prinsip
hukum islam yang di terapkan dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan
oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah.

Adapun asas-asas hukum kontrak dalam hukum islam, yaitu antara lain:8

a. Asas Ibahah (Mabda’ alIbahah) yaitu asas umum hukum Islam dalam bidang
muammalat secara umum. Asas ini dirumuskan dalam adagium “Pada asasnya
segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya.” Bila
dikaitkan dengan tindakan hukum, khusus perjanjian, maka ini berarti bahwa
tindakan hukum dan perjanjian apapun dapat dibuat sejauh tidak ada larangan
khusus mengenai perjanjian.
b. Asas Kebebasan Berakad (Mabda’ Hurriyah at-Ta’aqud), hukum Islam mengakui
kebebasan berakad, yaitu suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap
orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat kepada nama-nama yang
telah ditentukan dalam Undang-Undang Syariah dan memasukkan klausal apa
saja ke dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentinganya sejauh tidak
berakibat makan harta sesama dengan jalan batil.

7
Ibrahim, “Penerapan Prinsip Mudharabah Dalam Perbankan Syariah”, Jurnal Ius, Vol II, No. 4, April 2014,
hlm. 50
8
Muhammad Ardi, “Asas-Asas Perjanjian (Akad), Hukum Kontrak Syariah dalam Penerapan Salam dan
Istisna”, Jurnal Hukum Diktum, Vol.14, No.2, Desember 2016, hlm. 267-270.
c. Asas Konsesualisme (Mabda’ ar-Radha’iyyah) Asas konsensualisme menyatakan
bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat
antara para pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Dalam
hukum Islam pada umumnya perjanjian-perjanjian itu bersifat konsensual.
d. Asas Janji itu Mengikat. Dalam Al-Quran dan Hadis terdapat banyak perintah
agar memenuhi janji. Dalam kaidah usul fikih, “Perintah itu pada asasnya
menunjukkan wajib”. Ini berarti bahwa janji itu mengikat dan wajib dipenuhi.
e. Asas Keseimbangan (Mabda’ atTawazun fi al-Mu’ awdhah) Meskipun secara
factual jarang terjadi keseimbangan antara para pihak dalam bertransaksi, namun
hukum perjanjian Islam tetap menerapkan keseimbangan dalam memikul risiko.
Asas keseimbangan dalam transaksi (antara apa yang diberikan dengan apa yang
diterima) tercermin pada dibatalkannya suatu akad yang mengalami
ketidakseimbangan prestasi yang mencolok. Asas keseimbangan dalam memikul
risiko tercermin dalam larangan terhadap transaksi riba, dimana dalam konsep
riba itu hanya debitur yang memikul segala risiko atas kerugian usaha, sementara
kreditor bebas sama sekali dan harus mendapat prosentase tertentu sekalipun pada
saat dananya mengalami kembalian negatif.
f. Asas Kemaslahatan (Tidak Memberatkan) Asas kemaslahatan ini dimaksudkan
bahwa akad yang dibuat oleh para pihak bertujuan mewujudkan kemaslahatan
bagi mereka dan tidak menimbulkan kerugian (mudharat) atau memberatkan
(masyaqqah). Apabila dalam pelaksanaan akad terjadi suatu perubahan keadaan
yang tidak dapat diketahui sebelumnya serta membawa kerugian yang fatal bagi
pihak bersangkutan dan memberatkan, maka kewajibannya dapat diubahdan
disesuaikan kepada batas yang masuk akal
g. Asas Amanah, dimaksudkan masing-masing pihak haruslah beritikad baik
dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan salah satu pihak
mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam kehidupan masa kini banyak
sekali obyek transaksi yang dihasilkan oleh satu pihak melalui suatu keahlian
yang spesialis dan profesionalisme yang tinggi sehingga ketika ditransaksikan,
pihak lain yang menjadi mitra transaksi tidak banyak mengetahui seluk beluknya.
Oleh karena itu, ia sangat bergantung kepada pihak yang menguasainya, dalam
kaitannya dalam hukum perjanjian Islam dituntut adanya sikap amanah pada
pihak yang menguasainya untuk memberiinformasi yang sejujurnya kepada pihak
lain yang tidak banyak mengetahuinya.
h. Asas Keadilan, adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua hukum.
Keadilan merupakan sendi setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sering
kali pada zaman modern ini, akad ditutup oleh suatu pihak lain tanpa memiliki
kesempatan untuk melakukan negosiasi mengenai klausal akad tersebut, karena
klausal akad telah di bakukan oleh pihak lain.

Pembiayaan mudharabah merupakan sebuah perjanjian kemitraan dimana pihak pertama


(shahibul maal) menyediakan dana, sedangkan pihak kedua (mudharib) bertanggung jawab atas
pengelolaan usaha. Keuntungan yang di hasilkan dari usaha tersebut kemudian di bagi sesuai
dengan nisbah porsi bagi hasil yang telah di sepakati sejak awal. Namun, jika terjadi kerugian,
pihak shahibul maal akan kehilangan sebagian imbalan dari hasil kerja keras dan keterampilan
manajerial yang telah di lakukan oleh mudharib selama proyek berlangsung. Mudharabah juga
dikenal dengan sebutan qiradh, yang berarti “memutuskan”. Dalam konteks ini, pemilik modal
telah memutuskan untuk menyediakan sejumlah uang kepada pihak mudharib. Meskipun dalam
pembagian hasil dilakukan melalui musyawarah antara kedua belah pihak, namun dalam
kenyataanya seringkali hal tersebut tidak terjadi. Kinerja perbankan syariah sendiri cenderung
baik, terlihat dari pertumbuhan yang tinggi pada sejumlah indikator utama perbankan syariah. 9

Berdasarkan temuan, kontrak akad pembiayaan mudharabah dari beberapa bank syariah
umumnya disusun dalam format baku dan sering kali dibuat dalam bentuk otentik oleh notaris.
Bank syariah telah menyiapkan akad tersebut sejak awal, sehingga nasabah tidak memiliki
kebebasan untuk menentukan syarat-syaratnya karena terms and conditions telah disiapkan
sebelumnya oleh bank syariah dengan format standar. Secara prinsip, akad yang disusun oleh
bank syariah dalam bentuk baku tersebut tidak bertentangan dengan prinsip syariah selama
memenuhi beberapa hal yang berkaitan dengan keabsahan akad. Hal ini meliputi pemenuhan
rukun dan syarat akad, tidak melanggar unsur yang dilarang menurut syariah seperti gharar
(ketidakpastian), maysir (perjudian), riba (bunga), zalim (kesewenang-wenangan), dan objek
yang haram. Selain itu, akad tersebut juga tidak melanggar prinsip-prinsip perjanjian syariah,
9
Novi Fadhila, “Analisis Pembiayaan Mudharabah Dan Murabahah Terhadap Laba Bank Syariah Mandiri”,
Jurnal Riset Akuntansi Dan Bisnis, Vol. 15, 2015, hlm. 66-67.
antara lain prinsip kebebasan berkontrak, konsesualisme, (persetujuan bersama), kejujuran,
iktikad baik, persamaan, keseimbangan, keadilan, dan keamanahan.10

Perjanjian dengan akad mudharabah merupakan bentuk Kerjasama (syirkah) dalam


sebuah usaha, dimana salah satu pihak menjadi pemilik modal (shahibul mal) dan pihak lainnya
bertindak sebagai pengelola (mudharib). Dalam akad ini, hasil keuntungan usaha di bagi sesuai
dengan kesepakatan yang tercantum dalam kontrak. Oleh karena itu, untuk menjalankan
perbuatan hukum ini, perlu dipenuhi rukun dan syarat yang sah dalam akad mudharabah tersebut.

Dalam hukum islam, perjanjian baku tersebut dianggap sah karena memenuhi rukun-
rukun dalam perjanjian. Rukun-rukun tersebut meliputi pihak-pihak yang berakad (al-‘aqidain),
obyek akad (mahallu’aqd), tujuan pokok akad (maudhu’u ‘aqd), dan kesepakatan (sighat
al-‘aqd). Dalam perjanjian baku pembiayaan pada perbankan syariah, rukun-rukun tersebut dapat
ditemukan dalam perjanjian. Terdapat dua pihak, yaitu nasabah dan bank, obyeknya adalah
barang yang diperjualbelikan dan harga, tujuannya adalah untuk membiayai sejumlah pembelian,
dan terdapat kesepakatan antara kedua belah pihak.

Ketidakselarasan terjadi Ketika kontrak baku yang dipergunakan oleh perbankan syariah
disandingkan dengan akad mudharabah yang mengharuskan musyawarah dan melibatkan kedua
belah pihak. Dalam kontrak Kerjasama mudharabah, perbankan syariah memuat ketentuan yang
menempatkan beban kerugian hanya pada nasabah. Namun, menurut definisi akad mudharabah,
jika kerugian disebabkan oleh kelalaian yang bukan sepenuhnya disebabkan oleh pengelola dana
(mudharib), maka pemilik modal (shahibul mal) yang seharusnya menanggung kerugian.
Namun, dalam kontrak akad mudharabah yang dibuat oleh perbankan, baik melalui notaris
maupun tidak, tidak ada kesempatan bagi bank sebagai pemilik modal untuk menerima resiko
yang timbul akibat kelalaian nasabah dengan sengaja atau tidak.

Sebagaimana dalam Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang


Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) pada poin 6 menyatakan “LKS sebagai penyedia dana
menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah)
melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.”11

10
Trisadini Prasastinah Usanti, Akad Baku Pada Pembiayaan Murabahah Di Bank Syariah, PERSPEKTIF
Vol.XVIII, No.1,2013, hlm. 48.
11
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh).
Lamanya kerja sama dalam mudharabah tidak tentu dan tidak terbatas, tetapi semua pihak
berhak untuk menentukan jangka waktu kontrak kerja sama dengan memberitahukan pihak
lainnya. Namun, akad mudharabah dapat berakhir karena hal-hal sebagai berikut.12

1. Dalam hal mudharabah tersebut dibatasi waktunya, maka mudharabah berakhir pada waktu
yang telah ditentukan.

2. Salah satu pihak memutuskan mengundurkan diri.

3. Salah satu pihak meninggal dunia atau hilang akal.

4. Pengelola dana tidak menjalankan amanahnya sebagai pengelola usaha untuk mencapai tujuan
sebagaimana dituangkan dalam akad.

5. Modal sudah tidak ada

Kelebihan dan Kekurangan Kontrak Syariah dalam Akad Mudharabah

Kontrak syariah memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan antara lain:

a. Kelebihan kontrak syariah


1. Kontrak syariah menghindari praktik riba atau bunga secara tegas dalam Al-Quran surat
Al-Baqarah ayat 278-279 yang berbunyi “Wahai orang-orang yang beriman,
tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba, jika kalian adalah orang-orang yang beriman.
Maka jika kalian tidak meninggalkan, maka umumkanlah perang kepada Allah dan
Rasul-Nya. Maka jika kalian bertaubat, maka bagi kalian adalah pokok harta kalian.
Tidak berbuat dhalim lagi terdhalimi. Dan jika terdapat orang yang kesulitan, maka
tundalah sampai datang kemudahan. Dan bila kalian bersedekah, maka itu baik bagi
kalian, bila kalian mengetahui”. Dengan demikian, transaksi dalam kontrak syariah
bebas dari unsur riba/bunga.
2. Kepatuhan terhadap prinsip syariah dalam memastikan bahwa akad mudharabah
dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Hal ini memberikan kepuasan
spiritual bagi pengusaha Muslim dan memastikan bahwa bisnis tidak melanggar nilai-
nilai agama

12
Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah (Penerbit Pena, 2008), hlm. 45.
3. Kontrak syariah memiliki ketentuan yang jelas dan terperinci mengenai hak dan
kewajiban pihak-pihak yang terlibat. Hal ini membantu mencegah terjadinya sengketa
dan memastikan bahwa kontrak dijalankan dengan baik.
4. Dalam akad mudharabah sendiri, resiko bisnis dibagi antara pemilik modal dan pengelola
modal. Hal ini memberikan perlindungan bagi pemilik modal dari risiko kerugian yang
besar.
b. Kekurangan kontrak syariah
1. Kontrak mudharabah harus detail dan jelas mengenai perselisihan yang mungkin terjadi.
Jika tidak, dapat timbul perselisihan antara pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.
2. Ketergantungan pada kesepakatan terkait jangka waktu kerja sama akad mudharabah
ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Hal ini menjadi kekurangan jika
terjadi perbedaan pendapat atau ketidaksepakatan antara pihak-pihak yang terlibat.
3. Keterbatasan pemahaman terkait kontrak mudharabah membutuhkan pemahaman yang
baik tentang prinsip-prinsip syariah islam. Jika salah satu pihak tidak memahami prinsip-
prinsip tersebut, maka kontak mudharabah dapat menjadi tidak efektif.

D. Kesimpulan

Kontrak pembiayaan mudharabah dari beberapa bank syariah selalu disusun dalam
bentuk standar bersamaan dengan akad otentik yang dibuat oleh notaris. Akad tersebut telah
disiapkan sejak awal oleh bank syariah, sehingga nasabah memiliki keterbatasan untuk
menentukan syarat-syaratnya karena term dan condition telah ditetapkan oleh bank dengan
format baku. Secara prinsip, kontrak dari bank syariah dalam bentuk baku tidak bertentangan
dengan syariah selama memenuhi persyaratan keabsahan akad termasuk rukun dan syarat akad
serta tidak melanggar prinsip-prinsip yang dilarang menurut syariah. Namun, ketika melihat
kontrak akad mudharabah yang dibuat oleh perbankan baik melalui notaris maupun tidak
terdapat kelemahan dimana pihak bank selaku pemilik modal tidak menunjukkan kesempatan
kapan mereka akan menerima risiko yang mungkin timbul karena tindakan nasabah dengan
sengaja atau kelalaian. Meskipun kontrak syariah memiliki kelebihan dalam pencegahan riba
yang tegas dilarang dalam Al-Quran (Surat Al-Baqarah, ayat 278-279), ketentuan yang jelas, dan
pembagian risiko, namun juga memiliki kekurangan dalam penyelesaian perselisihan kontrak,
keterbatasan pemahaman, dan ketergantungan pada kesepakatan.

Daftar Pustaka

Al-Qur‟anul Karim dan terjemahannya. Tafsir


Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah (Jakarta: PT. Raja Grafindo,
Dwi Suwiknyo. Pengantar Akuntansi Syariah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan
Mudharabah (Qiradh).
Ibrahim, “Penerapan Prinsip Mudharabah Dalam Perbankan Syariah”, Jurnal Ius, Vol II,
No. 4, April 2014,
Muhammad Ardi, “Asas-Asas Perjanjian (Akad), Hukum Kontrak Syariah dalam
Penerapan Salam dan Istisna”, Jurnal Hukum Diktum, Vol.14, No.2, Desember 2016,
Norsain, “Tinjauan Kritis Pembiayaan Mudharabah Pada Bank Syariah Mandiri
Sumenep,” Jurnal “Performance” Bisnis & Akuntansi, Vol.III, No.2, Fakultas Ekonomi
Universitas Wiraraja Sumenep -Madura 2013,
Novi Fadhila, “Analisis Pembiayaan Mudharabah Dan Murabahah Terhadap Laba Bank
Syariah Mandiri”, Jurnal Riset Akuntansi Dan Bisnis, Vol. 15, 2015,
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Bandung: Intermasa, 1987),
Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah (Penerbit Pena, 2008),
Trisadini Prasastinah Usanti, Akad Baku Pada Pembiayaan Murabahah Di Bank Syariah,
PERSPEKTIF Vol.XVIII, No.1,2013

Anda mungkin juga menyukai