Anda di halaman 1dari 7

Perbandingan Perjanjian Pinjam-Meminjam dalam KUH Perdata dan Kompilasi Hukum

Ekonomi Syariah dilihat berdasarkan tinjauan hukum


Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Perjanjian pinjam-meminjam dalam syariah harus diawali dengan akad, yang mana
memiliki pengertian kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk
melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu. Yang mana akad ini sama
dengan halnya syarat sahnya perjanjian dalam perdata yaitu kata sepakat antar kedua belah
pihak. Dalam syariah pun ada istilah pinjam meminjam yaitu Qarad.
Dalam Hukum Kompilasi Ekonomi Syariah Qard mengandung pengertian, Qard adalah
penyediaan dana atau tagihan antara lembaga keuangan syariah dengan pihak peminjam yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan dalam
jangka waktu tertentu. Menurut Rahmat Syafei, secara etimologi Qarad berarti al-qath’u
(potongan), harta yang dibayarkan kepada muqtarid dan dinamakan Qarad karena merupakan
potongan dari harta muqrid. Qardh (utang-piutang) secara istilah adalah memberikan harta
kepada orang lain yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya di kemudian hari.
Dalam pengertian lain, al-Qard adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih
atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam
perjanjian qardh, pemberi pinjaman (kreditor) memberikan pinjaman kepada pihak lain dengan
ketentuan penerima pinjaman akan mengembalikan pinjaman tersebut pada waktu yang telah
diperjanjikan dengan jumlah yang sama.
Pinjam meminjam (qardh) merupakan salah satu bentuk muamalah yang tergolong ke
dalam akad tabarru (tolong-menolong). Pada dasarnya setiap akad muamalah itu ada prinsip-
prinsip yang harus ditaati dan dijalankan diantaranya adalah kegiatan muamalah harus
mendatangkan kemaslahatan serta menjauhi segala bentuk hal-hal yang dilarang dalam Islam,
seperti Riba, Gharar,dan Maysir. memberikan kesempatan seluas-luasnya dalam perkembangan
bentuk dan Al-Qur'an sejak masa awal diturunkan telah memberikan perhatian yang mendalam
terhadap sosial ekonomi dalam suatu masyarakat, berusaha melindungi masyarakat yang lemah
dengan menghilangkan upaya eksploitasi dari pihak yang kuat Islam mengajarkan manusia
dalam bertransaksi dan mengembangkan hartanya harus terbebas dari unsur riba dan harus
berdasarkan pada prinsip-prinsip hukum bermuamalah.
Menurut Ahmad Azhar Basyir, prinsip-prinsip hukum muamalat adalah sebagai berikut:
a) Pada dasamya segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang ditentang oleh al-
Quran dan sunnah Rasul. Artinya bahwa hukum Islam memberikan kesempatan seluas
luasnya dalam perkembangan bentuk dan macam-macam transaksi baru sesuai dengan
perkembangan kebutuhan hidup dan suatu masyarakat.
b) Muamalat dilakukan atas dasar sukarela, tanpa adanya unsur-unsur paksaan. Artinya
bahwa prinsip ini mengingatkan agar kebebasan kehendak para pihak yang melakukan
transaksi harus selalu diperhatikan. Pelanggaran terhadap kebebasan kehendak ini
berakibat pada tidak dapat dibenarkannya sesuatu transaksi yang dilaksanakan.
c) Muamalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindarkan
dari kemudharatan dalam hidup masyarakat. Artinya prinsip ini memperingatkan bahwa
segala sesuatu bentuk transaksi harus dilakukan berdasarkan pertimbangan mendatangkan
manfaat dan menghindari bahaya (mudharat) dalam hidup sehingga dalam Islam tidak
dibenarkan untuk melakukan transaksi yang dapat merusak kehidupan.
d) Muamalat dilaksanakan untuk memelihara nilai keadilan menghindarkan unsur-unsur
penganiayaan, unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan. Artinya bahwa prinsip
ini tidak membenarkan segala bentuk transaksi yang mengandung unsur penindasan dan
penganiayaan, seperti maisir riba, haram, gharar dan batil.
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah diperbolehkan membebankan biaya
administrasi kepada nasabah dan nasabah juga menyetujuinya asal bukan berbentuk bunga atau
uang tambahan yang bersifat memberi manfaat kepada pemberi hutang. Faktor yang
melatarbelakangi praktek pinjam-meminjam dikarenakan adanya kemudahan dalam menutupi
kebutuhan hidup untuk karyawan, prosesnya mudah, cepat, dan tidak harus meninggalkan
jaminan. Ditambah lagi minimnya pengetahuan orang akan transaksi berbasis syariah.
Qardh adalah sesuatu yang diberikan dari harta mitsil (yang memiliki perumpamaan)
untuk memenuhi kebutuhan, sedangkan riba adalah adanya suatu kelebihan harta dalam suatu
muamalah dengan tidak adanya imbalan gantinya. Salah satu bentuk transaksi yang dilarang
dalam kegiatan usaha di dalam ajaran Islam adalah transaksi yang mengandung unsur riba.
Pembicaraan mengenai riba terdapat dua kecenderungan di kalangan umat Islam. Pertama, riba
dianggap sebagai tambahan yang berasal dari adanya kelebihan nilai pokok dari pinjaman yang
diberikan oleh kreditur kepada debitur. Pendapat kedua mengatakan bahwasannya larangan riba
dipahami sebagai suatu kegiatan yang dapat menimbulkan eksploitasi dan ketidakadilan, yang
secara ekonomi dapat menimbulkan dampak yang sangat merugikan masyarakat.
Hubungan riba dalam qardh (hutang- piutang) dapat digolongkan dalam riba nasi’ah
(riba qardh). Yang dimaksud dengan riba qardh merupakan salah satu bentuk riba dalam utang
piutang dimana seseorang meminjamkan kepada orang lain sejumlah uang dengan kesepakatan
bahwa seseorang tersebut akan mengembalikan dengan tambahan tertentu. Selain itu juga bisa
diartikan dengan adanya tambahan yang diberikan secara berkala baik dibayar setiap bulan
ataupun setiap tahun selama modal hutang belum dapat dilunasi oleh pihak yang berhutang. Riba
dalam hal ini memberikan keuntungan bagi yang memberikan pinjaman dikarenakan adanya
keleluasaan untuk menekan dan memperdaya orang yang meminjam kepadanya. Sebaliknya bagi
orang yang berutang akan sangat terzalimi dan harus mengikuti semua aturan yang ditetapkan
oleh yang memberikan utang kepadanya.
Para ulama telah memberikan sebuah kaidah yang mesti kita perhatikan berkenaan
dengan qardh (hutang piutang). Kaidah yang dimaksud adalah:
1) “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah: 275)
2) “Setiap qardh (piutang) yang mendatangkan kemanfaatan (keuntungan), maka itu adalah
riba”. (As San’ani,Subulus Salam, Juz 4 (Beirut: Dar Al Kutub Al-Imamiyah : 1998)
Para ulama telah memberikan sebuah kaedah yang kita harus diperhatikan berkenaan dengan
hutang piutang. Kaedah yang dimaksud adalah:
“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan (keuntungan), maka itu adalah riba.”
(Al Majmu’ Al Fatawa, 29/533; Fathul Wahaab, 1/327; Fathul Mu’in, 3/65; Subulus
Salam, 4/97)
Ibnu Qudamah membawakan sebuah fasal:
“Setiap piutang yang mensyaratkan adanya tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini
tidak ada perselisihan di antara para ulama”.
Lalu Ibnu Qudamah kemudian membawakan perkataan Ibnul Mundzir. Beliau mengatakan:
“Para ulama sepakat bahwa jika orang yang memberikan utang mensyaratkan kepada
orang yang berutang agar memberikan tambahan, hadiah, lalu dia pun memenuhi
persyaratan tadi, maka pengambilan tambahan tersebut adalah riba.”
Alasan bentuk pengambilan keuntungan dalam utang piutang ini terlarang. Ibnu Qudamah
mengatakan,
“Karena yang namanya utang piutang adalah bentuk tolong menolong dan berbuat baik.
Jika dipersyaratkan adanya tambahan ketika pengembalian utang, maka itu sudah keluar
dari tujuan utama mengutangi (yaitu untuk tolong menolong).” (Al Mughni, 9/104).
Hal yang serupa juga dikatakan oleh Imam Asy Syairazi Asy Syafi’i. Beliau mengatakan,
“Diriwayatkan dari Abu Ka’ab, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum,
mereka semua melarang piutang yang di dalamnya terdapat keuntungan. Alasannya,
karena utang piutang adalah untuk tolong menolong (berbuat baik). Jika dipersyaratkan
adanya keuntungan, maka akad utang piutang berarti telah keluar dari tujuannya (yaitu
untuk tolong menolong).” (Al Muhadzdzab, 2/ 81).
Begitu pula mengambil keuntungan dalam utang piutang itu terlarang. Hal ini
dikarenakan ada sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak boleh ada piutang bersamaan dengan jual beli (mencari keuntungan).” (HR.
Tirmidzi, Abu Daud dan An Nasaa’i. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Dalam lafazh lain dikatakan:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang adanya piutang dan jual beli bersamaan
dalam satu akad.” (HR. Tirmidzi dan An Nasaa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini hasan shahih).
Penjelasan di atas memperkuat jika jelas dilarang memberlakukan bunga meskipun telah
ditetapkan paling rendah karena hal tesebut bertentangan dengan syariat meskipun telah
mendatangkan kemaslahatan bagi banyak orang tetaplah terdapat unsur riba di dalamnya.
Meskipun kedua belah pihak telah setuju namun suatu kedzoliman terdapat di dalam akadnnya.
Karena nasabah tidak mempunyai pilihan lain selain menyetujuinya. Denda boleh diberlakukan
untuk memberi kedisiplinan kepada nasabah yang menunda-nunda pembayarannya. Dalam
kompilasi hukum ekonomi syariah pun juga mengatur tentang denda dan memperbolehkannya.
Karena menunda-nunda membayar hutang juga merupakan suatu kezaliman.
Menurut KUH Perdata BW
Pinjam-meminjam uang termasuk ke dalam jenis perjanjian pinjam meninjam, hal ini
sudah dijelaskan dalan Pasal 1754 KUH Perdata. Perjanjian pinjam meminjam dapat terjadi
karena dilatarbelakangi oleh dua hal yaitu karena murni perjanjian pinjam meminjam dan karena
dilatarbelakangi perjanjian lain. Pinjam meminjam yang murni terjadi atas dasar perjanjian
pinjam meminjam disini tidak ada latar belakang persoalan lain, dan perjanjian itu dibuat hanya
semata- mata untuk melakukan pinjam meminjam. Pinjam meminjam yang dilatarbelakangi oleh
perjanjian lain yaitu perjanjian pinjam meminjam yang terjadi karena sebelumnya ada perjanjian
lain. Perjanjian sebelumnya dengan perjanjian berikutnya yaitu perjanjian pinjam meminjam
kedudukannya berdiri sendiri. Jika perjanjian sebelumnya telah selesai dilaksanakan maka
perjanjian pinjam meminjam yang terjadi sesudahnya tidak bersifat accessoire atau
keberadaannya bergantung dengan perjanjian sebelumnya, karena kedua perjanjian tersebut
sama-sama perjanjian pokok.
Perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam KUH Perdata kewajiban-
kewajiban kreditur tidak banyaka diatur, pada pokoknya kreditur wajib menyerahkan uang yang
dipinjamkan kepada debitur setelah terjadinya perjanjian. Selanjutnya, Pasal 1759 hingga Pasal
1761 KUH Perdata, menentukan sebagai berikut:
a) Uang yang telah diserahkan kepada debitur sebagai pinjaman. Sebelum lewat waktu yang
ditentukan dalam perjanjian tidak dapat diminta kembali oleh kreditur.
b) Apabila dalam perjanjian pinjam meminjam tidak ditentukan jangka waktu, dan kreditur
menuntut pengembalian utang, caranya dengan mengajukan gugatan perdata ke
pengadilan. Berdasarkan Pasal 1760 KUH Perdata hakim diberi kewenangan untuk
menetapkan jangka waktu pengembalian utang, dengan memepertimbangkan keadaan
debitur serta memeberi kelonggaran kepadanya untuk membayar utang.
c) Jika dalam perjanjian tersebut, ditentukan pihak debitur akan mengembalikan utang
setelah ia mampu membayarnya, kreditur juga harus menuntut pengembalian utang
melalui pengadilan, hakim setelah mempertimbangkan keadaan debitur, akan
menentukan waktu pengembalian tersebut (Pasal 1761 KUH Perdata).
Kewajiban debitur dalam perjanjian pinjam meminjam sebenarnya tidak banyak, pada
pokoknya mengembalikan utang dalam jumlah yang sama, disertai dengan pembayaran bunga
yang telah diperjanjikan, dalam jangka waktu yang telah diperjanjikan, dalam jangka waktu yang
telah ditentukan (Pasal 1763 KUH Perdata). Pembayaran utang tergantung perjanjiannya, ada
yang diperjanjikan pembayarannya cukup sekali langsung lunas, biasanya jika utangnya tidak
begitu besar seperti kredit bank, pada umumnya pembayaran utang dilakukan debitur secara
mengangsur tiap bulan selama waktu yang telah diperjanjikan disertai dengan bunganya.
Prinsip-prinsip Yuridis Atas Jaminan Utang:
a) Prinsip Teritorial
Prinsip teritorial menentukan bahwa barang jaminan yang ada di Indonesia hanya dapat
dijadikan jaminan utang sejauh perjanjian utangnya ataupun pengikatan hipoteknya
dibuat di Indonesia. Prinsip ini hanya berlaku terhadap jenis jaminan hipotek saja. Tidak
ada ketentuan yang memberlakukan prinsip teritorial tersebut untuk jenis-jenis jaminan
lain. Berlakunya prinsip tersebut didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 1173 KUH
Perdata, yang melarang pembukuan atas hipotek yang terbit berdasarkan suatu perjanjian
yang dibuat di luar negeri, kecuali ada traktat yang menentukan sebaliknya.
b) Prinsip Assesoir
Prinsip lain dari jaminan utang adalah prinsip assesoir (tambahan). Maksudnya adalah
setiap perjanjian jaminan utang merupakan tambahan atau buntutan dari perjanjian
pokok, yaitu perjanjian kredit itu sendiri.
c) Prinsip Hak Preferensi
Prinsip preferensi ini menyatakan bahwa pada umumnya pihak kreditur yang telah diberi
jaminan kredit oleh debitur akan mempunyai hak atas jaminan pelunasan utang tersebut,
artinya harus didahulukan dari pihak kreditur lainnya. Jaminan ini tidak hanya berlaku
dalam perjanjian kredit tetapi berlaku juga terhadap jaminan utang yang bukan kredit.
d) Prinsip Nondistribusi
Prinsip nondistribusi adalah sebuah prinsip yang berlaku terhadap seluruh hak
tanggungan. Maksudnya sebuah hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi kepada beberapa
orang kreditur atau beberapa utang. Demikian juga jika utang dibayar sebagian, maka
tidak berarti jaminannya pun hanya akan berlaku atas sebagian benda yang dijaminkan.
Kalau ingin dibagi-bagi, maka harus dibuat beberapa hak tanggungan dengan masing-
masing debitur memegang satu atau lebih hak tanggungan
e) Prinsip Disclosure
Dengan prinsip disclosure atau publisitas ini berarti ada keharusan bagi suatu jaminan
utang untuk dipublikasikan sehingga diketahui umum. Ketentuan perundang-undangan
hanya mengharuskan beberapa bagian saja dari suatu jaminan utang untuk dipublikasikan
seperti itu. Rationale di belakang kewajiban disclosure ini adalah agar pihak ketiga
mengetahui dengan persis keadaan objek jaminan itu, sehingga apabila seorang kreditur
ingin piutangnya terjamin pelunasannya, maka akan dipasangkan hak jaminan atas benda
tertentu. Jadi kreditur tersebut tentu harus mengetahui apakah atas benda objek jaminan
utang telah terlebih dahulu diikat dengan suatu jaminan utang lain atau tidak, sehingga
dia mengetahui dengan persis sejauh mana benda tersebut dapat mem-backup piutangnya
f) Prinsip Eksistensi
Benda salah satu prinsip yang di letakkan oleh Perundang-Undangan atas suatu hipotek
adalah eksistensi benda. Maksudnya suatu hipotek hanya dapat diletakkan di atas benda
yang sudah nyatanyata ada. Ketentaun ini tercantum dalam Pasal 1175 KUH Perdata.
g) Prinsip Eksistensi Kontrak Pokok
Prinsip ini menyatakan bahwa suatu jaminan utang hanya dapat diikat setelah adanya
perjanjian pokok, misalnya suatu perjanjian utang-piutang. Sebenanrnya hal ini
merupakan konsekuensi dari berlakunya prinsip assesoir.
h) Prinsip Larangan Eksekusi untuk Diri Sendiri
Prinsip larangan eksekusi untuk diri sendiri adalah satu prinsip yang juga berlaku
terhadap suatu jaminan utang. Dalam konteks ini, eksekusi suatu jaminan mempunyai
prosedur tersendiri yang berbeda sesuai masing-masing jenis jaminan utang tersebut.
i) Prinsip Formalisme
Prinsip formalisme merupakan salah satu prinsip yang berlaku atas suatu jaminan utang.
Prinsip formalisme terlihat dalam hal-hal seperti, keharusan pembuatan akta,keharusan
pencatatan, pelaksanaan di depan pejabat tertentu, penggunaan instrumen tertentu,
penggunaan kata-kata tertentu.
j) Prinsip Ikutan Objek
Prinsip jaminan yang mengikuti objeknya (mengikuti benda atau mengikuti orang) juga
merupakan salah satu prinsip yang berlaku terhadap suatu jaminan utang. Artinya,
jaminan utang tetap mengikuti objeknya, kemanapun objek tersebut di bawa atau kepada
siapapun objek tersebut beralih.
k) Prinsip Ikutan Piutang
Prinsip ini juga merupakan konsekuensi atas sifat assesoir jaminan utang, yang
dimaksudkan sebagai suatu prinsip agar hak jaminan selalu melekat ke piutangnya. Jadi
jika karena sesuatu sebab piutang tersebut beralih, maka demi hukum jaminan pun ikut
beralih.
DAFTAR PUSTAKA
Nabilah, Ilvi. Keabsahan Jaminan Sertifikat Tanah dalam Perjanjian Pinjam Meminjam di
Sleman. Diss. UII, 2016.
Zahro, Fatmatul Madin. PELAKSANAAN PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM UANG DI
KOPERASI KARYAWAN “MELATI” UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
DITINJAU DARI KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH (Studi Koperasi
Karyawan “Melati” Universitas Muhammadiyah Malang). Diss. Universitas
Muhammadiyah Malang, 2020.

Anda mungkin juga menyukai