Anda di halaman 1dari 9

TUGAS UAS

Eksaminasi dan Legal Opinion


Eksaminasi Terhadap Putusan PN. Jambi No.m 708/Pid.B/2019/PN.Jmb

Oleh :

Nama : Anggun Febrianti

Nim : D1A019064

Kelas : A2

Tahun Ajaran 2021/2022

Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum

Universitas Mataram
EKSAMINASI PUTUSAN PN JAMBI MASYARAKAT SIPIL VERSUS KORPORASI

A. Pendahuluan

Putusan PN. Jambi No.  708/Pid.B/2019/PN.Jmb merupakan salah satu perkara yang
menjadi perhatian nasional. Konflik agraria yang terjadi antara korporasi dan masyarakat sipil
acap kali berujung pada dibawanya perkara tersebut dalam pranata peradilan pidana. Konflik
yang berkepanjangan tidak mampu diselesaikan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah sehingga konflik tersebut berujung pada terjadinya perisitiwa pidana.  Ketika
terjadi peristiwa pidana, maka konflik agraria yang menjadi akar masalah dilupakan, dan
masyarakat sipil yang dinilai sebagai actor dari peristiwa pidana. Mejelis hakim, dalam menilai
peristiwa pidana itu, seolah-olah tidak melihat sebab-sebab timbulnya peristiwa pidana itu,
karena itu putusan yang dibuat terkadang menghilangkan salah satu segmen penting dari
timbulnya peristiwa pidana tersebut.

Konflik agraria masyarakat sipil versus korporasi, dan masyarakat sipil versus negara
yang berujung pada peristiwa pidana kerap terjadi di republik ini. Penyelesaian yang adil tanpa
melibatkan hukum pidana tidak kunjung datang. Seolah-olah negara tidak hadir secara sungguh-
sungguh dalam menyelesaikan konflik tersebut.

Kasus Muslim bin Marsudi yang merupakan ketua Serikat Mandiri Batanghari (SMB)
Jambi yang saya eksaminasi dalam tulisan ini, merupakan sekelumit konflik agraria yang
berujung pada peristiwa pidana. Konflik SMB versus PT. Wikarya Saksi (PT. WKS) sudah
berlangsung lama. Persoalannya adalah  lahan yang mereka kelola merupakan lahan yang
berkonflik. Negara dengan klaim kawasan hutan memberikan konsesi Hutan Tanaman Industri
pada PT. WKS. Tetapi tidak pernah jelas sampai dimana sesungguhnya batas-batas izin
perusahaan dan PT. WKS diduga telah menguasai lahan hingga keluar konsesi sejak tahun 2007.
Putusan kasus ini seolah-olah melupakan konflik yang belum usai. Hukum pidana digunakan
untuk menyelesaikan perisitwa pidana tetapi bukan untuk menyelesaikan akar konflik. Akar
konflik bukan berarti  selesai,  ketika hukum pidana bertindak.
B. Kasus Posisi 

Terdakwa mendirikan Serikat Mandiri Batanghari (SMB) 2017 yang kemudian jumlah
anggotanya mencapai 5018 orang. Pada 25 April 2018 Terdakwa mengajak seluruh anggota
SMB untuk masuk ke lokasi lahan  PT. WKS, Batanghari. Kurang lebih 1400 anggota SMB
menduduki lahan PT. WKS  termasuk membangun perumahan. Terdakwa mendirikan kantor
SMB dan jumlah anggota bertambah yang menduduki lahan PT. WKS tsb. Tanggal 13 Juli 2019
terdakwa dan sejumlah anggota SMB  mendatangai distrik VIII PT. WKS, terjadi adu mulut
antara terdakwa dan TNI/POLRI yang menjaga distrik VIII. Lalu terdakwa memerintahkan agar
mengumpulkan massa lebih banyak lagi untuk menyerang distrik VIII PT. WKS di hari yang
sama.  Terjadi serangan termasuk merusak bangunan PT. WKS, memukul petugas dan karyawan
PT. WKS dengan mengguankan bambu runcing, dan benda keras lainnya.

Terdakwa ketua SMB yang berdiri tahun 2017. Kedatangan terdakwa di VIII PT. WKS  
tanggal 13 Juli  untuk mengecek TIMDU yang akan datang ke SMB tanggal 12 dan 13 Juli 2019.
Tanggal 13 Juli 2019 terdakwa mengecek TIMDU ke PT. WKS seorang diri dan terdakwa tidak
mengetahui massa anggota SMB mengikuti dari belakang sampai di distrik VIII. Terdakwa
mengaraahkan agar semua anggota SMB segera pulang, karena polisi merasa ketakutan. Bahwa
sekitar pukul 14.30 terdakwa mendapatkan informasi jika massa anggota SMB berada di distrik
VIII melakukan penyerangan. Terdakwa menyusul ke distrik VIII Bersama Jamiluddin untuk
menghalangi massa SMB melakukan penyerangan. Terdakwa sendiri posisinya ada di luar distrik
VIII. Terdakwa tidak pernah memerintah untuk mengosongkan distrik VIII PT. WKS.
Selanjutnya dalam Keterangan terdakwa, dimasukkan BAP yang sebenarnya sudah tidak
diakui oleh Terdakwa, namun masih dicantumkan dalam keterangan terdakwa. 

C. Dakwaan

Jaksa Penuntut Umum mendakwa Terdakwa Muslim bin Marsudi  dengan dakwaan Kumulatif
yaitu didakwa  (1) Pasal  160 KUHP dan  (2) Pasal  170 ayat (2) ke-1 KUHP.

 Pasal 160 KUHP 


“Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan
pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan
undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang,
diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah.”

 Pasal 170 ayat (2) KUHP

1. Barangsiapa yang dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap


orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan;

 Tersalah dihukum :

1. dengan penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika ia dengan sengaja merusakkan barang atau
jika kekerasan yang dilakukkannya itu menyebabkan sesuatu luka;

2. dengan penjara selama-lamanya Sembilan tahun, jika kekerasan itu menyebabkan luka berat
pada tubuh

3. dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika kekerasan itu menyebabkan matinya
orang.

D. Pledoi (Pembelaan)

Dalam persidangan Muslim bin Marsudi tidak didampingi penasehat hukum, sehingga
nota pembelaan dilakukan langsung  dan lisan oleh Muslim bin Marsudi.  Pada intinya Muslim
menyatakan tidak sependapat dengan surat tuntutan JPU dan harus dibebaskan dari segala
tuntutan. Alasan terdakwa datang ke Distrik VIII  PT. WKS untuk memastikan kedatangan
TIMDU, dengan alasan jumlah massa yang datang cukup banyak dan membawa senjata. Tidak
ada perintah dari terdakwa mengosongkan apalagi menyerang distrik VIII PT. WKS

E.Putusan
Dalam amar putusannya Majelis Hakim menyatakan bahwa Terdakwa  Muslim bin
Marsudi tidak terbukti secara syah dan meyakinkan terbukti melakukan  tindak pidana
sebagaimana dakwaan kedua (Pasal 170 ayat 2 angka ke-1 KUHP), karena itu harus dibebaskan
dari tuntutan tersebut.  Namun Majelis menyatakan bahwa  Terdakwa terbukti secara syah dan
meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan pada dakwaan
pertama (Pasal 160 KUHP) dan menjatuhkan pidana 4 tahun penjara dan dikurangi dengan masa
penangkapan dan penahanan yang sudah dijalani terdakwa.

 ANALISA

A. Dakwaan

Terdapat uraian yang bertolak belakang antara dakwaan (Sebagian besar copy paste dari
BAP) dengan keterangan terdakwa. Dalam dakwaannya JPU menggunakan keterangan yang
disajikan oleh Terdakwa di BAP. Kondisi ini tentu berimplikasi pada Pasal yang didakwakan
yaitu Pasal 160 dan Pasal 170 ayat 2 ke-1 KUHP. Demikian juga keterangan terdakwa yang ada
di dalam persidangan ternyata juga di copy paste dari BAP. Padahal keterangan terdakwa yang
disampaikan di pengadilan tidak menyinggung sama sekali BAP. Selain itu, seharusnya
keterangan terdakwa yang disampaikan di pengadilan yang harus dijadikan rujukan.

B. Pertimbangan  Hukum Hakim  

Dalam pertimnbangan hukum nya, Mejelis Hakim hanya mempertimbangkan keterangan


saksi-saksi dari satu pihak pihak, yaitu karyawan PT. WKS dan Saksi dari Korem. Hakim sama
sekali tidak mempertimbangkan saksi dari dari SMB yang telah mencabut BAP dan memberikan
keterangan di bawah sumpah di pengadilan (KUHAP menyebutkan keterangan saksi adalah
keterangan yang disampaikan di pengadilan bukan di BAP). Majelis malah keberatan tentang
tujuan terdakwa datang ke lokasi bukan untuk melakukan penyerangan tetapi  untuk koordinasi
dengan TIMDU.

Berikut ini saya kutip isi Pasal 185 KUHAP ayat (1) dan ayat (6)
Jadi nyata bahwa keterangan saksi yang harus dipergunakan adalah keterangan saksi yang
disampaikan di pengadilan, bukan keterangan saksi yang ada di BAP. Namun kedua keterangan
saksi dari SMB tidak dipertimbangkan sungguh-sungguh oleh Majelis Hakim. Majelis secara
subjektif lebih memilih saksi yang dihadirkan untuk memberatkan terdakwa.

C. Tafsir Unsur Pasal  

Dalam menganalisa penerapan Pasal yang digunakan oleh Majelis Hakim sebagaimana
didakwakan oleh JPU, maka harus didalami subsansi unsur-unsur pasal yang didakwakan dan
tafsirnya. Dalam kaitan ini, saya melakukan Analisa terhadap penerapan Pasal 160 KUHP,
karena pasal inilah yang dinilai terbukti secara syah dan meyakinkan dilakukan terdakwa.

Berikut ini dijelaskan tentang unsur-unsur dari Pasal 160 beserta penjelasannya :

Unsur Penjelasan / Tafsir


Barangsiapa Barangsiapa ditafsirkan sebagai orang, perorangan
Dimuka Artinya perbuatan tersebut dilakukan bukan ditempat yang tersembunyi tetapi
umum publik dapat mengakses tempat tersebut, atau dalam Bahasa Wirjono
Prodjodikoro “bahwa ada orang banyak bisa melihatnya (in het openbaar)”. R.
Soesilo menyatakan ditempat umum diartikan sebagai suatu tempat dimana
publik dapat melihatnya. J.M. van Bemmelen dengan mengutip putusan Hoge
Raad (Mahkamah Agung Belanda) menyatakan bahwa pasal ini tidak berlaku
untuk tindakan kekerasan yang dilakukan di tempat sunyi, yang tidak
mengganggu ketenangan umum, termasuk tindak itu dilakukan di jalan raya
namun public tidak terusik, maka Pasal ini juga tidak bisa dikenakan, karena
salah satu syarat tidak terpenuhi.
Orang hanya dapat dihukum apabila hasutan itu dilakukan di tempat umum,
tempat yang didatangi publik atau dimana publik dapat mendengar. Tidak perlu
penghasut itu berdiri di tepi jalan raya misalnya, akan tetapi yang disyaratkan
ialah di tempat itu ada orang banyak. Tidak mengurangkan syarat bahwa hasutan
harus di tempat umum dan ada orang banyak, hasutan itu bisa terjadi meskipun
hanya ditujukan pada satu orang. Orang yang menghasut dalam rapat umum
dapat dihukum demikian pula di gedung bioskop, meskipun masuknya degan
karcis, karena itu adalah tempat umum.
Dalam tafsir yang dilakukan oleh Majelis Hakim, perbuatan yang dilakukan
terdakwa dalam memerintahkan anggota SMB dilakukan di muka umum.
Padahal terdakwa mengumpulkan hanya sebagian kecil ketua kelompok bukan
dilakukan di tempat umum tetapi di kantor SMB.
Lisan atau Menghasut itu dapat dilakukan baik dengan lisan, maupun dengan tulisan.
tulisan Apabila dilakukan dengan lisan, maka kejahatan itu menjadi selesai jika kata-
kata yang bersifat menghasut itu telah diucapkan. Jika menghasut dengan
tulisan, hasutan itu harus ditulis dahulu, kemudian disiarkan atau dipertontonkan
pada publik
Menghasut Menurut R. Soesilo, artinya mendorong, mengajak, membangkitkan atau
membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Dalam kata “menghasut”
tersimpul sifat “dengan sengaja”. Menghasut itu lebih keras daripada “memikat”
atau “membujuk”, akan tetapi bukan “memaksa”.
Orang memaksa orang lain untuk berbuat sesuatu, bukan berarti menghasut.
Cara menghasut orang itu misalnya secara langsung: “Seranglah polisi yang
tidak adil itu, bunuhlah, dan ambillah senjatanya!” ditujukan terhadap seorang
polisi yang sedang menjalankan pekerjaannya yang sah. Sedangkan cara
menghasut orang secara tidak langsung, seperti dalam bentuk pertanyaan:
“Saudara-saudara, apakah polisi yang tidak adil itu kamu biarkan saja, apakah
tidak kamu serang, bunuh, dan ambil senjatanya?”
Majelis hakim terlalu luas dalam memberikan makna terhadap frase menghasut.
Tidak ada perintah dari terdakwa untuk melakukan pengrusakan atau
penganiayaan. Majelis dalam tafsirnya menyatakan bahwa menghasut termasuk
di dalam “mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat
orang supaya berbuat sesuatu”. Padahal nyata bahwa terdakwa tidak ada
memberikan dorongan, ajakan atau membangkitkan semangat untuk merusak
atau menganiaya.
Melakukan R. Soesilo menyatakan bahwa “mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani
kekerasan tidak kecil secara tidak syah” misalnya memukul dengan tangan atau dengan
segala macam senjata, menyepak menendang dsb.”.

Penguasa Penguasa yang menurut undang-undang


umum

Maksud Ditujukan untuk :


hasutan 1. dilakukan suatu peristiwa pidana (pelanggaran atau kejahatan) = semua
perbuatan yang diancam dengan hukuman.
2. melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasan
3. jangan mau menurut pada peraturan perundang-undangan
4. jangan mau menurut perintah yang sah yang diberikan menurut
undang-undang

Dari penjelasan di atas tergambar bahwa Pasal 160 KUHP telah mengalami perubahan
perumusan delik dari delik yang dirumuskan secara formil menjadi delik yang dirumuskan secara
materiil. Artinya adalah pasca Putusan MK Nomor 7/PUU-VII/2009, maka Jaksa harus bisa
membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan penghasutan dengan timbulnya
akibat yang dilarang. Dalam konteks ini, perbuatan menghasutan tersebut merupakan satu-
satunya perbuatan yang menimbulkan akibat (kerusuhan, kekacauan, kerusakan, luka atau
bahkan kematian. Atau perbuatan penghasutan itu ternyata dipengaruhi oleh keadaan tertentu
(circumstances) sehingga menimbulkan akibat yang dilarang. Karena itu dua kemungkinan ini
harus bisa dijelaskan dan dibuktikan di pengadilan. Jika digambarkan maka :

Jika Pasal ini dianalisa dalam konteks penerapan yang dilakukan oleh Majelis Hakim, maka
logika yang dibangun oleh Majelis Hakim tergambar dalam bagan di bawah ini :
Menurut Analisa saya, terlalu jauh logika yang dibangun oleh Majelis Hakim antara perbuatan
yang dilakukan terdakwa dengan timbulnya pengrusakan dan penganiayaan yang dilakukan oleh
anggota SMB. Yang terbukti dalam sidang pengadilan adalah terdakwa memerintahkan agar PT.
WKS mengosongkan distrik VIII dan tidak ada perintah dari terdakwa kepada  massa dan
anggota SMB untuk melakukan pengrusakan atau penganiayaan. Perintah mengosongkan itupun
berasal dari keterangan saksi yang dibantah oleh terdakwa. Jika dianalisa dengan ajaran
kausalitas, maka tidak ada satu pun doktrin kausalitas yang bisa diterapkan atas logika yang
dibangun hakim. Logika majelis hakim bisa menimbulkan kesesatan berfikir sehingga kebenaran
materiil yang ingin ditemukan dalam kasus ini menjadi diragukan. Terlalu dini majelis hakim
menyimpulkan bahwa ada hubungan kausal antara  perintah “mengosongkan” dengan timbulnya
perbuatan pengrusakan dan penganiayaan. Membuat kesimpulan yang melompat terlalu jauh,
dan tidak disandarkan pada doktrin yang kuat. Dalam konteks ini majelis hakim sedang
“mengira-ngira” saja, bahwa setiap perintah mengosongkan pasti akan diikuti pengrusakan dan
penganiyaan. Logika berfikir seperti ini harus dikoreksi oleh Mahkamah Agung, untuk
membetulkan dan mengkoreksi logika hakim pada kasus Muslim bin Marsudi.

 Kesimpulan

Dari uraian-uraian yang dikemukan di atas, dengan mempertimbangkan fakta persidangan,


norma yang menjadi dasar tuntutan, keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa, ditambah
dengan doktrin kausalitas,  maka kesimpulan yang dilahirkan dari eksaminasi ini adalah :

1. Mejelis hakim telah melanggar KUHAP dalam mempertimbangkan  alat bukti yang
dipergunakan dalam putusan ini
2. Mejelis hakim juga keliru dalam memberikan tafsir atas unsur dimuka umum dan
menghasut yang diatur dalam Pasal 160 KUHP
3. Terjadi kesesatan berfikir dalam mengkaitkan hubungan sebab akibat dari perbuatan yang
dilakukan oleh Terdakwa dengan timbulnya akibat berupa pengrusakan dan
penganiayaan, sehingga logika yang sesat ini harus dikoreksi oleh Mahkamah Agung.

Anda mungkin juga menyukai