Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN EKSAMINASI

KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN TERDAKWA: HERI BUDIAWAN alias


BUDI PEGO

PENGADILAN TINGGI JAWA TIMUR NOMOR 174/PID/2018/PT SBY

BAB 1

Hal-hal Yang Dimuat Dalam Putusan

Identitas Terdakwa

Nama lengkap : HERI BUDIAWAN alias BUDI PEGO;

Tempat lahir : Banyuwangi;

Umur/tanggal lahir : 38 tahun / 25 Juni 1979;

Jenis kelamin : Laki-laki;

Kebangsaan : Indonesia;

Tempat tinggal : Dusun Pancer RT.001 - RW.001, Desa

Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi;

Agama : Islam;

Pekerjaan : Wiraswasta
A. Kasus Posisi

Budi Pego adalah warga pejuang lingkungan yang memperjuangkan hak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat di Desa Sumberagung, Kec. Pesanggaran, Kab. Banyuwangi. Dirinya
dituduh melanggar Pasal 107a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 1999
tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan
terhadap Keamanan Negara tentang Penyebaran Ajaran Komunisme/ Marxisme/ Leninisme
dengan dirinya dianggap sebagai sebagai koordinator aksi yang menyebarkan ajaran komunisme,
dengan tidak mencegah dibuatnya logo palu arit bercat merah yang identik dengan simbol Partai
Komunis Indonesia (PKI) dalam spanduk yang dibawa warga ke Kec. Pesanggaran dalam aksi
penolakan tambang emas oleh karyawan PT. BSI.

Dalam pengamatan ICJR, ini adalah kasus pertama yang diadili berdasarkan ketentuan
Pasal 107a UU No 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP terkait dengan Kejahatan terhadap
Keamanan Negara. Hal menarik lainnya kasus ini tidak juga bisa dilepaskan dari sengketa
lingkungan hidup antara masyarakat dengan korporasi yang beroperasi di lingkungan tersebut.

Bahwa awalnya pada hari Senin tanggal 3 April 2017 sekitar jam 17.00 Wib terdakwa
mendapatkan informasi bahwa di daerah Gunungsalak telah dilakukan penambangan. Atas dasar
informasi tersebut terdakwa bersama beberapa orang lainnya antara lain Mustakim dan Pur
datang dan bertemu dengan Sunarto di daerah Gunungsalak dan tujuan terdakwa bersama teman
temannya tersebut adalah untuk menanyakan kenapa kegiatan pertambangan tidak minta ijin
terlebih dahulu dari masyarakat desa;

Bahwa saat terdakwa bersama teman temannya tersebut berada di Gunungsalak tidak
berhasil menemui salah satu karyawan yang melakukan kegiatan penambangan, maka
selanjutnya terdakwa memberikan instruksi agar dilanjutkan kembali esok hari pada hari Selasa
tanggal 4 April 2017 dengan kegiatan aksi yang diawali di rumah terdakwa yaitu membuat
spanduk;

Bahwa selanjutnya pada hari Selasa tanggal 4 April 2017, sesuai instruksi terdakwa
sehari sebelumnya dan informasi secara berantai dari warga masyarakat, maka berkumpulah
peserta aksi/unjuk rasa di rumah terdakwa kurang lebih sebanyak 50 (lima puluh) orang yang
kemudian membuat spanduk; - Bahwa dalam proses pembuatan spanduk yang isinya tulisan
penolakan tambang di rumah terdakwa, salah seorang yang tidak diketahui identitasnya berteriak
“ayo digambari palu arit ae”, namun terdakwa yang saat itu mengintruksikan kegiatan aksi unjuk
rasa menolak tambang yang berada di rumahnya dan juga sedang membuat spanduk tidak
menghentikan atau melarang spanduk digambari atau ditambah gambar palu arit yang identik
dengan simbol Partai Komunis Indonesia (PKI);

Bahwa selanjutnya setelah spanduk selesai dibuat, sekitar jam 13.00 Wib terdakwa
bersama sekitar 50 (lima puluh) orang melakukan aksi unjuk rasa penolakan tambang dan
memasang beberapa spanduk di pinggir jalan antara lain di tikungan Piyun daerah
Umpangkarang dan dalam spanduk tersebut terdapat gambar palu arit yang identik dengan
simbol Partai Komunis Indonesia (PKI);

Bahwa setelah selesai memasang spanduk di pinggir jalan, selanjutnya terdakwa dan
peserta aksi unjuk rasa melakukan unjuk rasa di depan Kantor Camat Pesanggaran. Dalam aksi
tersebut juga dibentangkan spanduk dari kain putih yang berisi tulisan dengan cat semprot warna
merah “KARYAWAN BSI DILARANG LEWAT JALUR INI”dan terdapat gambar palu arit
dengan cat semprot warna merah yang identik dengan simbol Partai Komunis Indonesia (PKI);

Bahwa spanduk yang terdapat simbol palu arit tersebut dibentangkan di tempat umum
yaitu di depan Kantor Camat Pesanggaran dengan maksud agar bisa dibaca oleh orang orang
yang lewat atau melihat aksi unjuk rasa tersebut dan terdakwa yang memimpin aksi dan
mengarahkan kegiatan orang orang yang melakukan unjuk rasa tidak berusaha mencegah atau
menghentikan pembentangan atau pemasangan spanduk yang memuat simbol palu arit yang
identik dengan simbol Partai Komunis Indonesia tersebut, padahal terdakwa mengetahui bahwa
paham komunis dilarang di Indonesia;

B. Dakwaan JPU

1. Melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 107 a UU No. 27 tahun 1999 tentang Perubahan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara;
C. Tuntutan

1. Menyatakan terdakwa Heri Budiawan Als. Budi Pego telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap
keamanan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 107 a UU No. 27 tahun 1999
tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan
Terhadap Keamanan Negara;

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Heri Budiawan Als. Budi Pego oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 7 (tujuh) Tahun dikurangi selama terdakwa ditahan dengan perintah tetap
ditahan;

D. Pledooi Terdakwa

1. Majelis Hakim Tingkat Pertama tidak cermat dalam menilai fakta yang terbukti dipersidangan,
dimana dalam persidangan telah terungkap fakta bahwa Terdakwa bersama warga Desa
Sumberagung yang lain sedang memperjuangkan hak atas ruang hidup masyarakat di Kecamatan
Pesanggaran akibat adanya usaha pertambangan emas yang dikelola oleh PT Merdeka Copper
Gold Tbk yang mempunyai dampak sosialekologis yang merugikan mereka, padahal menurut
pasal 66 Undangundang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup mendapatkan
hak imunitas dan tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata;

2. Bahwa pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat Pertama yang menyatakan bahwa
Terdakwa adalah pemimpin aksi/koordinator aksi hanya berdasarkan asumsi belaka dan bukan
merupakan bukti petunjuk yang saling bersesuaian karena tidak didukung oleh alat bukti lainnya;

3. Bahwa Majelis Hakim Tingkat Pertama telah keliru dalam mempertimbangkan unsur melawan
hukum pasal yang didakwakan (pasal 107a KUHP), dimana Majelis Hakim Tingkat Pertama
berpendapat unsur “melawan hukum” delik yang didakwakan telah terpenuhi karena kegiatan
aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh Terdakwa pada tanggal 4 April 2017 itu tidak diberitahukan
secara tertulis kepada aparat Kepolisian sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 9
Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum, padahal unsur
“melawan hukum” dalam delik pasal 107a KUHP tidak mempunyai hubungan/korelasi dengan
perbuatan melawan hukum yang dimaksud dalam pasal 10 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998
tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum;

4. Majelis Hakim Tingkat Pertama tidak mempertimbangkan secara seimbang dalam menilai
pendapat ahli yang diajukan oleh Penuntut Umum maupun Penasihat Hukum Terdakwa;

5. Terdakwa tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana atas adanya spanduk bergambar
palu arit dalam aksi unjuk rasa tolak tambang, sebab dari fakta yang terungkap dipersidangan
tidak ada satu alat buktipun yang dapat membuktikan kalau spanduk yang terdapat gambar palu
arit itu dibuat oleh Terdakwa atau peserta unjuk rasa lainnya, sehingga hal tersebut dapat
disimpulkan jika spanduk yang bergambar palu arit tersebut sengaja disusupkan untuk
mengkriminalisasi Terdakwa;

E. Putusan Pengadilan

1. Menyatakan Terdakwa HERI BUDIAWAN ALIAS BUDI PEGO tersebut diatas, terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “kejahatan terhadap keamanan
negara”;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10
(sepuluh) bulan;

3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan;

5. Menetapkan barang bukti berupa: - 8 (delapan) buah spanduk dari kain berwarna putih yang
berisi tulisan-tulisan; - 1 (satu) unit Flashdisk yang menyimpan video aksi Demontrasi penolakan
Tambang Emas PT. BSI (Bumi Sukses Indo); - 1 (satu) unit mobil Pick Up Mitsubishi T 120 SS
warna hitam No. Pol P 9340 VO Noka MHMU5TU2EEK126597, Nosin 4G15JY1290 Tahun
2014; - 1 (satu) buah kunci mobil Pick Up Mitsubishi T 120 SS; Dikembalikan kepada Penyidik
untuk digunakan dalam perkara Trimanto Budi Safaat dan kawan-kawan;
6. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sejumlah Rp5.000,00 (lima ribu rupiah);F.
Hakim Yang Menyidangkan

Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini adalah:

1. Edi Widodo,S.H, M.H. ( HAKIM KETUA )


2. Sumanto, SH.MH.
3. H.M.Tuchfatul Anam, SH.MH
BAB II

ANALISIS HUKUM

A. Pengantar

Pertama, bahwa kebebasan berekspresi telah dijamin dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia, pasal 19 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi
oleh Pemerintah Indonesia melalui UU 12 tahun 2005. Serta telah dijamin sebagai hak
konstitusional warga Negara dalam UUD 1945 melalui pasal 28 E ayat 2 dan 3. Dan juga
dilindungi melalui UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di
Muka Umum serta UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Kedua, menyebarkan atau mengembangkan Komunisme/Marxisme-leninisme sebagai sebuah


ajaran politik, memerlukan seseorang yang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai ajaran
tersebut sehingga memiliki kemampuan untuk menyebarkan atau mengembangkan ajaran
tersebut. ICJR memandang jika frasa “menyebarkan” dalam rumusan delik Pasal 107a KUHP
tersebut adalah terkait dengan sebuah upaya atau tindakan yang sifatnya dilakukan melalui
propaganda yang dinyatakan secara terus menerus dan berulang dengan kesadaran penuh untuk
menanamkan pengaruh dari ajaran Komunisme/Marxisme-leninisme.

Ketiga, bukti elektronik yang dihadirkan dalam persidangan berupa video aksi Demonstrasi
penolakan Tambang Emas PT. BSI tidak dilakukan berdasarkan tahapan dan prosedur
pemeriksaan bukti elektronik (digital evidence) yang semestinya. Video aksi demonstrasi
tersebut tidak dilakukan konfirmasi atau dikuatkan dengan keterangan ahli digital forensik terkait
keaslian informasi, keutuhan video serta tidak dilakukan pemeriksaan sebagaimana empat
tahapan digital forensic (Pengumpulan, Pemeliharaan, Analisa, dan Presentasi). Lebih lanjut,
bukti perekaman lambang palu arit dalam bentuk video yang dihadirkan di persidangan pada
dasarnya tidak dilakukan oleh otoritas yang berwenang dan tidak layak menjadi alat bukti yang
sah di pengadilan.

Keempat, peristiwa yang dialami Heri Budiawan dapat dikatakan sebagai bentuk dari SLAPP
(Strategic Lawsuits Against Public Participation), karena menggunakan instrument hukum
pidana untuk membungkam aktivitas dalam penolakan tambang emas. Pasal 66 UU No. 32 tahun
2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) merupakan instrument
yang melindungi para pembela HAM dari represifitas hukum pidana dan bentuk regulasi Anti-
SLAPP yang tak terbatas pada Perdata saja. Pasal 66 UU PPLH berbunyi sebagai
berikut: “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.

persoalan kriminalisasi terhadap pejuang HAM dan lingkungan hidup, telah dilindungi
oleh pasal 66 UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (PPLH).

Apa yang menimpa Heri Budiawan adalah kriminalisasi, karena tidak adanya bukti yang
dihadirkan di setiap persidangan. Menurutnya penerapan pasal kejahatan terhadap keamanan
negara yang dituduhkan terhadap Heri Budiawan tidak tepat.

“Hakim berpikir formalisitik, tidak melihat konteks bahwa itu adalah perbuatan
memperjuangankan lingkungan hidup,” tegasnya.

Kasus Heri Budiawan telah menjadi sorotan publik secara luas. Seharusnya
dengan demikian, hakim harus lebih hati-hati dalam memutuskan perkara ini. Dalam kasus ini
menangkap sejumlah keanehan, karena hakim MA malah memperberat hukuman terhadap Heri
Budiawan. Bahwa dalam kasus Heri Budiawan ini ada indikasi tekanan dari pihak-pihak yang
berkepentingan.

“Karena berdasarkan KUHAP, kewenangan hakim MA dalam tingkat kasasi hanya untuk
memeriksa apakah judex facti melampaui kewenangan, apakah judex facti salah dalam
penerapan materilnya dan formilnya,”

dalam kasus Heri Budiawan ini, tidak melihat adanya unsur melawan hukum.

“Yang dipakai oleh hakim tingkat PN untuk memutuskan putusan terhadap kasus Heri Budiawan
adalah unsur melawan hukumnya hanyalah aksi yang tidak memiliki ijin. Hakim agak kacau,
karena instrumen untuk aksi adalah pemberitahuan, bukan ijin,”
Bahwa kasus Heri Budiawan tidak memenuhi unsur melawan hukum dan terkesan
dipaksakan. Adanya unsur rekayasa agar Heri Budiawan kehilangan hak-haknya. kasus ini hanya
untuk mengalihkan isu terkait pertambangan yang ditolak oleh warga Tumpang Pitu.

“Bahwa sebenarnya pasal 107a bisa digunakan terhadap Heri Budiawan, jika ia paham dengan
ajaran komunisme. Sehingga dengan kasus ini, untuk ke depan pasal ini bisa menjadi pasal
rawan. Pihak penegak hukum hanya mendasarkan bukti formal saja dalam kasus ini,”

Dalam eksaminasi ini, dalam putusan hakim PN dan PT, ia melihat bahwa nalar hukum hakim
tidak merujuk pada satupun tradisi aliran filsafat hukum.

“Dalam filsafat hukum terdapat 6 aliran, yakni: aliran historis, naturalis, positivisme,
soiological jurisprudence, utilitarianisme, realisme. Dalam kasus ini, tidak satu pun hakim
merujuk pada aliran filsafat hukum tersebut,”

Dalam kasus Heri Budiawan ini ia tidak melihat adanya bukti yang dituduhkan. Sehingga
menurut Eksaminator, unsur pidananya tidak terpenuhi. Bahkan unsur penggulingan
pemerintahan yang sah sebagaimana tertuang dalam UURI No. 27 Tahun 1999 yang dituduhkan
terhadap Heri Budiawan juga tidak ada. Putusan hakim PN dan PT cuma copy paste dari jaksa
dan BAP pihak kepolisian
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Heri Budiawan alias Budi Pego, seorang warga penolak tambang emas di Tumpang Pitu
Banyuwangi. Hakim memutuskan Budi ‘terbukti menyebarkan ajaran komunisme atau
Marxisme–Leninisme’ sebagaimana didakwakan Pasal 107a KUHP. Ini terkait muncul spanduk
berlogo palu arit dalam aksi penolakan pertambangan emas Tumpang Pitu, 4 April 2017.

Menyimak Putusan 559/Pid.B/2017/PN.Byw jo. Putusan 174/PID/2018/PTSBY menjelaskan


bahwa putusan atau perkara ini cenderung dipaksakan. Putusan hakim yang hanya mengabulkan
tuntutan JPU dari 7 (tujuh) tahun penjara menjadi 10 (sepuluh) bulan penjara, memperlihatkan
putusan tidak cukup meyakinkan untuk menghukum. Sementara putusan MA (yang hingga kini
belum didapat salinan putusannya), justru menghukum lebih tinggi dan kini Budi Pego
menghadapi eksekusi atas putusan tersebut.

Pertama, Kasus Budi Pego, merupakan refleksi konservatisme sekaligus lemahnya imajinasi
keadilan, sehingga kerap hakim justru mengambil putusan yang bertentangan dengan keadilan.
Dalam buku _‘Judge against Justice’_, Lee Epstein et all (2012) menyatakan ada hubungan
antara ideologi dan perilaku hakim, dimana psikologi untuk berada dalam ‘zona nyaman’ dan
aman dengan putusan yang cenderung normativisme, justru berperan melemahkan imajinasi.

Kedua, Kasus ini merefleksikan bagaimana dunia peradilan semakin jauh dari rasa keadilan
publik. Pencari keadilan yang berusaha mempertahankan ruang hidup dan kehidupannya dari
pihak lain (perusahaan tambang emas), justru dihukum dengan cara menyesatkan publik, yaitu
memindahkan fokus dari kasus agraria/sumberdaya alam yang dieskploitasi eksesif menjadi
kasus politik dengan narasi ‘komunisme’. Sementara pokok kasus, Budi Pego sedang berupaya
mempertahankan tanah dan ruang hidupnya termasuk kehidupan warga kampungnya, justru
diabaikan.
Ketiga, Putusan Peradilan sama sekali tak memperhitungkan konteks kasus, bahwa Pasal 66 UU
32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, seharusnya bisa digunakan
untuk melindungi Budi Pego.

Keempat, memenjarakan Budi Pego sesungguhnya ancaman serius bagi upaya perjuangan hak
asasi manusia yang sekaligus melemahkan elemen Negara Hukum Indonesia, sebagai mandat
pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Putusan tersebut, menjustifikasi hukum dan mekanisme hukum
sebagai penindasan dengan menggunakan ‘instrumentasi demokrasi’, yakni kekuasaan
kehakiman.

Kelima, bahwa menegakkan kekuasaan kehakiman tidak cukup soal pasal-pasal, prosedur formal
dan wewenang yang dijaminkan, melainkan pula tantangan mencipta akses keadilan substantif,
yang ukurannya bukan penegakan aturan, melainkan penegakan hukum yang lebih efektif dan
berkeadilan sosial, sekaligus melipatgandakan integritas dan keteladanan. Kasus Budi Pego,
merupakan kemunduran yang menciderai dua hal sekaligus, keadilan bagi warga bangsa yang
memperjuangkan hak konstitusinya, sekaligus integritas kekuasaan kehakiman.

Anda mungkin juga menyukai