Anda di halaman 1dari 18

A.

PERTIMBANGAN PEMBENTUKAN MAJELIS EKSAMINASI

1. Bahwa hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara selalu mendasarkan diri

pada dasar filosofis DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG

MAHA ESA. Dasar filosofis tersebut membawa implikasi pada diri hakim bahwa

putusan yang dijatuhkan dipertanggungjawabakan bukan hanya kepada mekanisme

pertanggungjawaban berdasarkan peraturan perundang-undangn yang berlaku, tetapi

lebih dari itu dan yang lebih esensial bahwa hakim juga bertanggung jawab kepada

Tuhan dan hati nuraninya sendiri;

2. Bahwa dalam suatu Negara Hukum (rechtstaat) yang Demokratis, tuntutan kekuasaan

kehakiman yang merdeka (independen), berwibawa, bersih, dan jujur, harus dapat

diwujudkan dalam kenyataan, walaupun sulit tujuan tersebut harus tetap diwujudkan,

karena sering terjadi apa yang dirasakan oleh masyarakat justru sebaliknya (tidak

berwibawa, tidak bersih, tidak jujur);

3. Bahwa untuk menghapuskan atau meminimalisir praktek peradilan yang

menyimpang dari prinsip-prinsip penyelenggaraan peradilan yang baik, berwibawa,

bersih dan jujur tersebut perlu diberdayakan mekanisme kontrol, baik secara internal

maupun eksternal, dengan mengundang partisipasi masyarakat yang memiliki

perhatian yang tinggi terhadap hukum dan penegakan hukum untuk melakukan

kontrol jalannya proses peradilan;

4. Bahwa perwujudan Negara Hukum (rechtstaat) yang demokratis melalui upaya

penegakan supremasi hukum dan mengupayakan pulihnya kembali citra dan wibawa

pengadilan, dipandang perlu adanya keterlibatan publik untuk melakukan kontrol

sebagai wujud tanggungjawab bersama dengan membentuk lembaga eksaminasi

yang independen yang kemudian dikenal dengan Majelis Eksaminasi untuk

melakukan verifikasi suatu putusan pengadilan yang menjadi perhatian

1
masyarakat/publik dan dinilai belum mempertimbangkan secara maksimal penerapan

hukum dan ilmu pengetahuan hukum dalam proses pengambilan putusan, sehingga

menyebabkan terusiknya rasa keadilan masyarakat;

5. Bahwa putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Putusan No.

303/Pdt.G/2003/PN.JAK.SEL) dalam perkara David Nusa Widjaya dan Tarunodjojo

Nusa melawan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) diduga terdapat

banyak kekeliruan dalam penerapan hukumnya.

B. TUJUAN EKSAMINASI

1. Menguji apakah putusan pengadilan sudah sesuai dengan kaedah hukum subtantif dan

kaedah hukum objektif, serta berdasarkan ilmu pengetahuan hukum dan hukum acara

perdata;

2. Melakukan analisis terhadap pertimbangan hukum atas Putusan Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan (PUTUSAN NO. 303/PDT.G/2003/PN.JAK.SEL) dalam perkara

Perdata David Nusa Widjaya dan Tarunodjojo Nusa sebagai Para Penggugat melawan

Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai Tergugat.

3. Mengetahui sejauh mana pertimbangan hukumnya, apakah sesuai atau tidak dengan

kaedah hukum subtantif dan kaedah hukum objektif serta prinsip-prinsip legal justice,

moral justice dan social justice;

4. Mendorong dan memberdayakan partisipasi publik untuk terlibat lebih jauh dalam

menguji proses penyelesaian suatu perkara dan putusan atas perkara itu yang dinilai

kontroversial dan melukai rasa keadilan rakyat;

5. Mensosialisasikan dan mendorong lembaga eksaminasi dengan membiasakan publik

melakukan penilaian dan pengujian terhadap suatu proses peradilan, dan putusan

lembaga pengadilan serta keputusan-keputusan lembaga penegak hukum lainnya yang

dirasakan dan dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan rasa keadilan

2
masyarakat;

6. Mendorong terciptanya independensi lembaga penegak hukum, termasuk Mahkamah

Agung, yang mempunyai akuntabiltas dan transparansi kepada publik;

7. Mendorong para hakim untuk meningkatkan integritas moral, kredibilitas,

intelektualitas dan profesionalitasnya di dalam memeriksa dan memutus suatu perkara

agar melahirkan putusan yang mampu memberikan kepastian hukum.

C. MAJELIS EKSAMINASI

1. Bahwa untuk mengeksaminasi dan menilai secara luas hal-hal yang saling berkaitan

antara Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Putusan No.

303/Pdt.G/2003/PN.JAK.SEL) dalam perkara perdata David Nusa Widjaya dan

Tarunodjojo Nusa melawan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) perlu

dibentuk Majelis Eksaminasi;

2. Bahwa untuk menjamin agar hasil pengujian dan penilaian yang dilakukan oleh

Majelis Eksaminasi tersebut dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan secara

ilmiah, maka susunan anggota Majelis Eksaminasi tersebut terdiri dari orang-orang

yang memiliki perhatian yang besar terhadap hukum dan penegakan hukum serta

yang memiliki basis keilmuan bidang hukum dan atau berpengalaman dalam praktik

penegakan hukum;

3. Bahwa Indonesia Corruption Watch sebagai pihak yang menggagas dan

menyelenggarakan eksaminasi terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

(Putusan No. 303/Pdt.G/2003/PN.JAK.SEL) dalam perkara perdata David Nusa

Widjaya dan Tarunodjojo Nusa melawan Badan Penyehatan Perbankan Nasional

(BPPN) membentuk Majelis Eksaminasi yang terdiri dari kalangan akademisi hukum

dari perguruan tinggi, praktisi hukum dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM/Ornop/NGO), yaitu:

3
a. Eliyana , S.H.

b. J. Djohansjah, S.H.,M.H.

c. Irdan Dahlan, S.H.

d. Abdul Fickar Hadjar, S.H.,M.H.

e. DR. Rosa Agustina, S.H. M.H.

f. Harry Ponto , S.H., LL.M.

g. Tony Budidjaja, S.H., LL.M.

4. Bahwa meskipun Majelis Eksaminasi terdiri dari kalangan mantan hakim, mantan

jaksa, akademisi hukum dari perguruan tinggi, dan praktisi hukum, namun mereka

dipilih berdasarkan : integritas, keahliannya (expertise), tidak ada conflict of interest

terhadap perkara yang di eksaminasi, tidak sedang aktif di lembaga peradilan dan

memiliki komitmen terhadap pembaharuan hukum di Indonesia;

5. Bahwa dengan demikian adalah keliru sekali, kalau dibentuknya Majelis Eksaminasi

publik yang independen, serta merta dianggap hanya mencari-cari kelemahan atas

proses peradilan dan kinerja lembaga pengadilan. Majelis Eksaminasi publik yang

independen haruslah dianggap sebagai lembaga yang bermanfaat bagi terwujudnya

suatu proses peradilan yang baik dan lembaga pengadilan yang berwibawa dan

bersih, yang pada gilirannya dapat mengakselerasi terwujudnya supremasi hukum;

6. Bahwa dalam eksaminasi ini, Majelis Eksaminasi hanya memeriksa Putusan

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Putusan No. 303/Pdt.G/2003/PN.JAK.SEL)

dalam perkara perdata David Nusa Widjaya dan Tarunodjojo Nusa melawan Badan

Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) melakukan pengujian terhadap Putusan

ditingkat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

4
BAGIAN PERTAMA PENGANTAR

A. PENDAHULUAN

Gelombang krisis moneter yang menimpa sektor perbankan di Indonesia pada

pertengahan tahun 1997 mengakibatkan banyak bank-bank yang collapse. Peristiwa

tersebut berawal dari merosotnya nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika. gejolak

kurs tersebut membuat banyak bank merugi, terutama mereka yang mempunyai pinjaman

dalam mata uang asing. Bank-bank yang tidak melindungi nilai kurs pinjaman valuta

asingnya, jumlahnya sangat banyak. Mereka rugi besar. Akumalasi kerugian bank akibat

gejolak kurs, ditambah dengan memburuknya arus kas (cash-flow), menyebabkan

sulitnya likuiditas.

1. Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing semakin tak terkendali. Kondisi

ini semakin diperburuk dengan adanya penarikan rupiah besar-besaran pada sejumlah

bank untuk membeli Dolar Amerika Serikat. Bebarapa bank mulai mengalami saldo

debet, alias rekeningnya di Bank Indonesia minus. Akibat berikutnya, hampir seluruh

bank menghadapi kesulitan likuiditas dalam jumlah besar

2. Menyikapi keadaan ini pemerintah dan Bank Indonesia kemudian mengambil

langkah-langkah sebagai berikut:

a. Bank-bank nasional yang sehat, tapi mengalami kesulitan likuiditas untuk

sementara dibantu.

b. Diupayakan penggabungan atau akuisisi terhadap bank-bank yang nyata-nyata

sakit oleh bank yang sehat. Jika upaya ini tidak berhasil, bank-bank jeblok itu

supaya dilikuidasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan

mengamankan semaksimal mungkin para penabung, terutama pemilik simpanan

kecil.

5
Sesungguhnya langkah yang ditempuh pemerintah dihadapkan pada pilihan yang

dilematis, yaitu:

a. Menutup sejumlah bank, namun akan mengundang kepanikan deposan,

kelumpuhan seluruh sistem perbankan, kekacauan lalu lintas pembayaran, dan

kemandekan seluruh kegiatan ekonomi nasional atau;

b. Menyelamatkan bank melalui pemberian bantuan likuiditas perbankan guna

mencegah lumpuhnya sistem perbankan nasional.

Pemerintah mengambil kedua pilihan di atas, dengan jalan menutup bank yang

tak dapat diselamatkan lagi. Namun untuk mencegah merosotnya kepercayaan

masyarakat terhadap perbankan nasional, uang deposan pada bank-bank yang ditutup,

ditalangi. Bagi bank-bank yang masih bisa diselamatkan diberikan bantuan likuiditas

melalui Bank Indonesia (BLBI). Pengucuran BLBI terhadap bank-bank yang

kekurangan likuiditas ini, rupanya tidak berpengaruh banyak terhadap kesehatan

perbankan, yang pada akhirnya Pemerintah berdasarkan UU No. 7/1992 jo UU

No.10/1998 (UU Perbankan) membentuk badan khusus untuk menangani upaya

penyehatan perbankan nasional yaitu Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)

melalui PP No.17/1999 jo PP 47/2001 (PP BPPN).

Selanjutnya, dalam rangka program pengembalian aset (asset recovery) BPPN

telah melakukan upaya penyelesaian berupa:

1. Mengalihkan kewajiban bank menjadi kewajiban pemegang saham pengendali.

Pemerintah, bersama pemegang saham bank beku operasi (BBO) dan bank beku

kegiatan usaha (BBKU), menandatangani master settlement and acquisition

agreement (MSAA) dan

2. master refinancing agreement and note issuance agreement (MRNIA). Tujuannya

untuk mengembalikan BLBI, baik melalui penyerahan aset maupun pembayaran

6
tunai kepada BPPN.

3. Pengkonversian BLBI pada bank-bank take over (BTO) menjadi penyertaan modal

sementara (PMS).

4. Mengalihkan utang bank ke pemegang saham pengendali, melalui pola penyelesaian

kewajiban pemegang saham pengendali (PKPS). Caranya dengan menandatangani

akta pengakuan utang (APU).

Pada tanggal 14 Pebruari 1998, BI melalui Surat Keputusan Direksi BI No.

30/218/KEP/DIR telah menempatkan Bank Servitia dalam program penyehatan dan

sehubungan dengan hal tersebut BI mendelegasikan tugas pelaksanaan pembinaan dan

pengawasan dalam penyehatan dan restrukturisasi Bank Servitia kepada BPPN. Namun

program penyehatan terhadap Bank Servitia ini tidak berjalan dengan baik sampai

akhirnya BI mengeluarkan keputusan Direksi No. 31/34/DIR/UPWB2/Rahasia pada

tanggal 13 Maret 1999 yang mengkategorikan Bank Servitia sebagai Bank Beku

Kegiatan Usaha (BBKU). Dengan keputusan tersebut BI menyerahkan Bank Servitia

kepada BPPN untuk penyelesaian yang konsisten dengan kebijakan dan prosedur sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU Perbankan jo PP BPPN) dalam

rangka penyelesaian asset dan pengembalian uang Negara.

Dalam kurun waktu 17 Maret 1999 sampai dengan 17 Oktober 2000 dilakukanlah

negosiasi-negosiasi penyelesaiannya dengan para pemegang saham Bank Servitia yang

dalam hal ini diwakili oleh David Nusa Widajaya sebagai Direktur Utama dan

Tarunodjojo Nusa sebagai salah satu direksi menandatangani Akta No. 28 tentang

Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (APU).

Merasa tidak puas dengan isi perjanjian APU-Sevitia akhirnya, David Nusa Widjaya dan

Tarunodjojo Nusa, selaku penanda tangan Akta Perjanjian Penyelesaian Kewajiban

Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (BBKU) PT Bank Umum Servitia Tbk tanggal

7
17 Oktober 2000 mengajukan gugatan pada tanggal 2 Juni 2003 kepada Badan

Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk membatalkan Akta Perjanjian

Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (BBKU) yang

kemudian lebih dikenal dengan APU. Ada indikasi gugatan perdata ini merupakan akal-

akalan dari bos PT. Bank Umum Servitia Tbk. tersebut untuk lari dari

pertanggungjawaban melunasi utangnya kepada BPPN.

Sebelum gugatan David Nusa Widjaya didaftarkan pada Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan, sebenarnya bos Bank Servitia itu sedang dalam tuntutan kasus korupsi

dana BLBI sebesar Rp. 1,2 triliun di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Dalam putusannya

PN Jakarta Barat menjatuhkan 1 (satu) tahun penjara. Atas keputusan tersebut Jaksa

Penuntut Umum mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta. PT Jakarta

memperberat vonis David menjadi 4 (empat) tahun penjara. Terhitung sejak tanggal

tanggal 2 Juni 2003 David Nusa Widjaya dinyatakan buron oleh kajaksaan. Hingga

akhirnya di tingkat kasasi, Mahkamah Agung menyatakan David Nusa Widjaya bersalah

melakukan tindak pidana korupsi sehubungan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia

(BLBI) yang diberikan kepada Bank Servitia dan menjatuhkan Vonis 8 (delapan) tahun

penjara, dan diharuskan membayar denda sebesar Rp.30 juta serta uang pengganti

Rp.1,29 trilyun.

B. POSISI KASUS

Pada tanggal 14 Pebruari 1998, BI melalui Surat keputusan Direksi BI No.

30/218/KEP/DIR telah menempatkan Bank Servitia dalam program penyehatan dan

sehubungan dengan hal tersebut BI mendelegasikan tugas pelaksanaan pembinaan dan

pengawasan dalam penyehatan dan restrukturisasi Bank Servitia kepada BPPN. Namun

program penyehatan terhadap Bank Servitia ini tidak berjalan dengan baik sampai

akhirnya BI mengeluarkan keputusan pada tanggal 13 Maret 1999 yang

8
mengkategorikan Bank Servitia sebagai Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Dengan

keputusan tersebut BI menyerahkan Bank Servitia kepada BPPN untuk melakukan

penyelesaian yang konsisten dengan kebijakan dan prosedur sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku (UU Perbankan jo PP BPPN) dalam rangka

penyelesaian asset dan pengembalian uang Negara. David dan Tarunodjojo dianggap oleh

BI sebagai pemegang saham pengendali Bank Servitia, dan selanjutnya mereka dituntut

pertanggung-jawabannya untuk mengembalikan dana BLBI yang telah dikucurkan

kepada Bank Servitia. Sejak tanggal 25 Maret 1999, BI menyerahkan pengurusan

penyelesaian kewajiban BBKU, termasuk Bank Servitia, kepada BPPN. Pada tanggal 22

September 1999, David dan Tarunodjojo membuat suatu kesepakatan awal dengan

BPPN, di mana David dan Tarunodjojo mengakui keberadaan utang mereka kepada

BPPN, yang jumlahnya akan ditetapkan kemudian oleh BPPN. Pada tanggal 3 Juli

2000, BPPN mengirim surat kepada David dan Tarunodjojo, yang berisi syarat-syarat dan

ketentuan-ketentuan pokok penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) dengan

melampirkan rumusan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) yang harus

dibayar David dan Tarunodjojo kepada BPPN. Pada tanggal 17 Oktober 2000, David

dan Tarunodjojo menandatangani Akta Perjanjian PKPS dan Pengakuan Utang BBKU

(APU) dengan BPPN, di hadapan Notaris Martin Roestamy, S.H. APU ini memuat

JKPS yang harus dibayar oleh David dan Tarunodjojo kepada BPPN. Menurut David

dan Tarunodjojo, mereka sebenarnya sangat berkeberatan atas JKPS yang ditetapkan

BPPN di dalam APU tersebut. Menurut David dan Tarunodjojo, JKPS tersebut tidak

didukung dengan alasan-alasan yang jelas dan berada di luar kemampuan finansial

mereka. David dan Tarunodjojo mau menanda-tangani APU tersebut, menurut mereka,

karena adanya komitmen (gentlemen agreement) dari BPPN untuk melakukan audit

ulang atas JKPS [walaupun hal ini dibantah oleh BPPN dalam persidangan]. Pada

9
tanggal 2 Juni 2003, David dan Tarunodjojo mengajukan gugatan pembatalan APU ke

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Pengadilan) yang menurut mereka, BPPN tidak

memenuhi komitmennya kepada mereka untuk melakukan audit ulang atas JKPS. Selain

BPPN gugatan juga diajukan kepada notaris, Martin Roestamay, S.H. sebagai turut

Tergugat.

David juga menjabat sebagai Direktur Utama Bank Servitia. Mahkamah Agung

melalui putusannya No.830K/Pid/2003 telah menyatakan David bersalah melakukan

tindak pidana korupsi sehubungan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)

yang diberikan kepada Bank Servitia. David dihukum 8 tahun penjara, dan diharuskan

membayar denda sebesar Rp.30 juta serta uang pengganti Rp.1,29 trilyun. Akan tetapi

hingga eksaminasi publik dilaksanakan David belum dapat dieksekusi, karena tidak

diketahui keberadaannya.

Argumentasi-argumentasi para pihak dalam perkara ini pada pokoknya adalah

sebagai berikut:

a. Gugatan David Nusa Widjaya dan Tarunodjojo Nusa

b. Jawaban Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)

Dalam Konpensi Eksepsi:

1. Gugatan Para Penggugat sudah jelas dan terang sebagai gugatan Perbuatan Melawan

Hukum (PMH), karena APU dibuat dan ditandatangani dengan melanggar hukum;

2. Gugatan Para Penggugat berdasarkan hukum;

3. Gugatan diajukan dengan itikad baik, justru Tergugat yang beritikad buruk dengan

tidak memenuhi komitmennya untuk mengaudit ulang JKPS Bank Servitia;

Pokok Perkara

1. Para Penggugat pribadi bukan pemegang saham Bank Servitia yang bertanggung

jawab dalam penandatanganan PKPS dan APU, karena pada saat pembekuan Bank

10
Servitia, 13 Maret 1999 pemegang saham Bank Servitia adalah :

a. PT. Chandranusa Multikapita (PT.CMK) (131.949.000 lbr = 66 %);

b. PT. Chandranusa Multindustries (CMD) ( 27.426.000 lbr = 14 %);

c. Masyarakat ( 40.625.000 lbr = 20 %)

2. PKPS dan APU tidak memenuhi asas kesetaraan dalam berkontrak, karena PKPS

dan APU ditetapkan secara sepihak tidak didukung oleh bukti-bukti hukum, tidak

seimbang dan menguntungkan Tergugat;

Dalam Konpensi: Eksepsi:

1. Gugatan Para Penggugat tidak jelas dan kabur, karena dalam positanya Para

Penggugat menggunakan ketentuan pasal 1320 dan pasal 1338 KUHPer, tetapi dalam

petitumnya tidak menuntut wanprestasi dan Para Penggugat tidak jelas

mengkualifikasi perbuatan Tergugat;

2. Gugatan tidak berdasar hukum, karena: APU merupakan akta otentik yang dibuat

secara sah:

3. Gugatan diajukan dengan secara licik dan diajukan dengan itikad buruk untuk

menghindari kewajiban;

Pokok Perkara:

1. Para Penggugat sebagai Direktur Utama dan Dir pemasaran PT. CMK dan CMD

menguasai 80% saham Bank Servitia memenuhi criteria sebagai pemegang saham

pengendali (SK Meko Ekuin No. Kep.12/MEKUIN/04/2000); Berdasarkan Putusan

Perkara Pidana No.504/PID.B/2001/PN.Jak.Bar jo Putusan PT DKI Jakarta

No.67/Pid/2002/PT.DKI Penggugat DNW terbukti sebagai orang yang bertanggung

jawab atas penyelewengan BLBI (Korupsi);

2. Berdasarkan UU No. 7/1992 jo UU No.10/1998 (UU Perbankan) jo PP No.17/1999 jo

PP 47/2001 (PP BPPN) Tergugat merpakan badan khusus yang dibentuk dalam

11
rangka memulihkan kepercayan masyarakat yang berfungsi untuk melakukan upaya

penyehatan perbankan nasional; Berdasarkan dokumen-dokumen (al. Cessi No.29,

tanggal 22/2/1999), Informasi dari BI, dan penelitian dan didukung Pasal 43 ayat (1)

PP 17/1999, Tergugat berhak dan berwenang untuk menghitung dan

3. APU tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian (pasal 1320 KUHPer), karena tidak

memenuhi syarat sepakat, yaitu:

- Para Penggugat tidak pernah menyetujui PKPS APU;

- adanya komitmen Tergugat untuk meng audit ulang atas JKPS;

- Tergugat tidak pernah melakukan audit ulang JKPS;

4. APU tidak memenuhi asas kebebasan berkontrak (pasal 1320 jo pasal 1338

KUHPer), karena APU ditetapkan sepihak tanpa melibatkan Para Penggugat, yang

isinya hanya mengatur dan menetapkan kewajiban Para Penggugat tanpa

memperhatikan hak-hak para Penggugat;

5. Terdapat penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) dalam

penandatanganan APU, karena berdasarkan pendapat HP Panggaben dan Van

Dunne : perkembangan ajaran penyalahgunaan keadaan salah satunya adalah

berlakunya itikad baik secara terbatas artinya sejalan dengan ketentuan pasal 1338

ayat (1) KUHPer, para pihak wajib memperhatikan (memperhitungkan) kepentingan

pihak lawan. APU mencerminkan adanya penyalahgunaan dimana Tergugat sama

sekali menetapkan kerugian yang dialami Bank dalam penyehatan;

6. APU Bank Servitia telah secara sah dibuat berdasarkan persyaratan psl 1320

KUHPer, karena:

dengan ditanda tanganinya APU oleh Para Penggugat dihadapan Notaris, terbukti

Para Penggugat telah sepakat;

Penggugat tidak dapat membuktikan adanya komitmen dari Tergugat;

12
- andai ada komitmen pelaksanaan APU tidak tergantung pada dilaksanakan

atau tidaknya audit ulang, karena sepenuhnya merupakan hak Tergugat (Psl 3 btr

3.2 APU) 4. APU telah memenuhi asas kebebasan berkontrak (psl 1320 jo psl

1338 KUHPer), karena :

dengan adanya surat menyurat dari Para Penggugat sebelum ditandatanganinya

APU membuktikan adanya proses negosiasi (kebebasan red) yang membuktikan

adanya cukup waktu bagi Para Penggugat untuk menandatangani atau tidak

menandatangani APU Servitia;

secara hukum Tergugat mempunyai kedudukan yang lebih kuat dari Para

Pengugat, karena Tergugat merupakan badan khusus yang dibentuk Negara

berdasar UU;

berdasar doktrin, dalam perkembangannya asas kebebasan berkontrak

semakin sempit dilihat dari berbagai segi antara lain kepentingan umum,

perjanjian baku, dan perjanjian dengan pemerintah; 5. Dalam penandatanganan

APU tidak ada penyalahgunaan keadaan, karena:

Doktrin (Asikin Kusumah Atmaja) antara lain: sebelum penerapan pasal 1338

inconcreto

harus diteliti dulu apakah ada keseimbangan dan keserasian antara para pihak

sebelum tercapainya konsensus. Penyalahgunaan keadaan atau penyalahgunaan

kekuasan ekonomi mencakup keadaan yang tidak dapat dimasukkan dalam

itikad baik, patut dan adil, bertentangan dengan kepentingan tidak

memperhatikan apa yang menjadi hak dan kepentingan Para Penggugat;

7. Pengembalian atas pembayaran JKPS Bank Servitia sejumlah Rp.325.000.000,-,

karena dengan batalnya APU pembayaran harus dikembalikan oleh Tergugat;

(Doktrin Subekti : pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua pihak kembali

13
pada keadan sebelum perjanjian. Kalau salah satu pihak telah menerima uang atau

barang, maka itu hharus dikembalikan)

Dalam Rekonpensi: Eksepsi:

1. Surat Kuasa Tergugat Konpensi/ Penggugat Rekonpensi tidak sesuai dengan UU No.

13/1985, karena meterai tidak diberi Tanggal, bulan dan tahun;

2. Gugatan Rekonpensi bertentangan dengan hukum dan menunjukan Penggugat

Rekonpensi/Tergugat Konpensi tidak taat dan tidak menghormati putusan pengadilan;

gugatan Penggugat Rekonpensi tidak memerinci tuntutan ganti kerugian;

Pokok Perkara

Karena APU cacat hukum, maka tidak ada kewajiban Para Tergugat Rekonpensi

(PTR) untuk membayar kewajiban pembayaran utang berdasarkan APU; APU adalah

perjanjian cacat hukum karena tidak adanya kesepakatan para pihak dan terjadi

penyelahgunaan keadaan. Dengan demikian tuntutan Penggugat Rekonpensi (PR) yang

umum sebagai pengertian klasik, karena keadan yang disalahgunakan telah ada sebelum

tercapainya kata sepakat /konsensus;

Dengan adanya bukti sebelum APU dibuat sudah ada kesepakatan awal antara

Para Penggugat dengan Tergugat, maka unsur keadaan yang disalahgunakan telah ada

sebelum tercapainya kata sepakat tidak terpenuhi, karenanya terbukti dalam pembuatan

APU telah memenuhi asas kebebasan berkontrak dan tidak ada penyalahgunaan keadaan.

Pengembalian atas pembayaran harus ditolak, karena tidak ada dasar hukum atau

bukti-bukti kuat yang diajukan Para Penggugat untuk membatalkan APU;

Dalam Rekonpensi: Eksepsi:

1. Surat Kuasa Tergugat Konpensi /Penggugat Rekonpensi telah sah dan telah diberi

meterai secukupnya, sehngga memenuhi UU No.13/1985 (Bea Meterai

(Yurisprudensi MARI tgl. 25/5/1987 No292K/Pdt/1986)

14
2. Gugatan Penggugat rekonpensi/Tergugat Konpensi tidak bertentangan dengan

hukum, tetapi semata-mata untuk mempertahankan hak, karena putusan provisi

belum bias dilaksanakan; Tuntutan ganti rugi sudah jelas dan terperinci:

Pokok Perkara

Para Tergugat Rekonpensi (PTR) telah melakukan perbuatan Wanprestasi atas

APU Servitia, karena:

a. PTR telah melanggar ketentuan tidak boleh menggugat;

b. PTR telah lalai melakukan kewajiban pembayaran hutangnya;

c. PTR telah lalai melakukan kewajibannya atas bunga dan bunga denda;

d. PTR telah lalai menyerahkan agunan dan lalai mengharuskan PTR membayar

kewajiban utang berdasarkan APU adalah tidak berdasarkan hukum. Memelihara

nilai agunan;

Akhirnya, pada tanggal 2 Desember 2003, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan, yang terdiri dari IDG. Putrajadnya, S.H. sebagai hakim ketua, Sodarjatno, S.H.,

dan Sri Mulyani Yustina, S.H. masing-masing sebagai anggota, menjatuhkan putusan

akhir dalam perkara ini, dengan amar yang pada pokoknya menyatakan:

Dalam Konpensi

Dalam Eksepsi - menolak eksepsi-eksepsi Tergugat (BPPN) seluruhnya;

Dalam Pokok Perkara

- mengabulkan seluruh gugatan Penggugat (David dan Tarunodjojo); - menyatakan batal

dan tidak mempunyai kekuatan hukum Akta PKPS dan APU PT.Bank Servitia, Tbk No.

28 tanggal 17 oktober 2000 yang dibuat dihadapan Martin Roestamy, SH Notaris di

Jakarta; - Menghukum Tergugat (BPPN) mengembalikan kepada Para Penggugat (David

dan Tarunodjojo) uang pembayaran sejumlah Rp.325 juta dalam waktu 14 hari setelah

putusan berkekuatan hukum tetap; - menghukum Turut Tergugat (Martin Roestamy, SH)

15
untuk tunduk pada putusan ini.

Dalam Rekonpensi

Menolak gugatan rekonpensi dari Penggugat Rekonpensi / Tergugat Konpensi untuk

seluruhnya. Pertimbangan-pertimbangan hukum yang diberikan oleh majelis hakim

dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Putusan No.

303/Pdt.G/2003/PN.Jak.Sel) pada pokoknya adalah sebagai berikut: Menimbang,

bahwa mencermati pasal demi pasal dari APU-Servitia termaksud, majelis melihat isinya

melulu tentang kewajiban Para Penggugat [David dan Tarunodjojo] dan hak Tergugat

[BPPN] berkenaan dengan program penyehatan perbankan yang dilaksanakan oleh

Tergugat [BPPN] selaku kepanjangan tangan pemerintah, utamanya di dalam

pengembalian aset negara termasuk penyelamatan BLBI yang telah dikucurkan oleh

Bank Indonesia kepada perbankan nasional khususnya Bank Umum Servitia Tbk. (

dst) Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti Tergugat [BPPN] bertanda T/PR-18

sampai dengan T/PR-26 dihubungkan dengan bukti Para Penggugat [David dan

Tarunodjojo] bertanda P-5 sampai dengan P-8b dan P-15 ternyata terkandung makna

yang tersirat bahwa sebenarnya di dalam persetujuan mengenai angka-angka dalam JKPS

yang lebih lanjut dituangkan dalam APU-Servitia, antara Para Penggugat [David dan

Tarunodjojo] dengan Tergugat [BPPN] sebelumnya telah ada komitmen yang hanya

dilakukan dalam bentuk gentlement agreement tentang akan diperbaiki dan dilakukannya

audit ulang guna mendapatkan angka-angka yang riel dan kongkrit berkenaan dengan

kewajiban para pihak Terhadap Putusan ini, BPPN kemudian mengajukan permohonan

banding kepada Pengadilan Tinggi Jakarta. Saat eksaminasi ini dilaksanakan, perkara ini

masih dalam proses banding.

Pemegang saham Bank Umum Servitia, in casu Para Penggugat [David dan Tarunodjojo]

terhadap tergugat [BPPN] (dst) Menimbang berdasarkan kenyataan itu yang

16
didukung pula oleh dalil jawabannya, ternyata sebenarnya dan sesungguhnya Tergugat

[BPPN] telah tidak membuka peluang dilakukannya audit ulang atas segala aset Bank

Umum Servitia, dengan mana secara nyata bahwa sebenarnya dan sesungguhnya

Tergugat [BPPN] telah menyalahgunakan kekuasaannya di dalam melakukan penekanan

secara hukum dan kekuasaan yang ada padanya terhadap Para Penggugat [David dan

Tarunodjojo] untuk sampai pada posisi penanda tanganan APU-Servitia aquo

Menimbang, bahwa gentlemen agreement memang tidak dibuat secara tertulis, namun

dari bukti-bukti tertulis lainnya sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, menunjukan

adanya kemungkinan dan hubungan kausal yang nyata bahwa angka-angka dalam JKPS

yang memberatkan Para Penggugat [David dan Tarunodjojo] nyata-nyata tidak memilki

kemampuan memenuhi syarat-syarat finansial dan jaminan untuk itu, sehingga APU-

Servitia ternyata telah pula ditanda tanganinya dalam ketidak mampuan, menurut hemat

majelis indikasi adanya komitmen-komitmen di luar apa yang tersirat dan tertulis

tersebut adalah memang benar adanya

Menimbang, bahwa permasalahannya kemudian adalah bahwa Para Penggugat [David

dan Tarunodjojo] menuntut pembatalan APU-Servitia tersebut dengan alasan bahwa

penanda tanganannya dilakukan secara melawan hukum karena melanggar prinsip

kebebasan berkontrak sebagaimana termaktub dalam Pasal 1320 Jo Pasal 1338

KUHPerdata Menimbang, bahwa melihat adanya APU-Servitia dan JKPS yang telah

ditanda tangani oleh Para Penggugat,

nyata bahwa prinsip di dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata telah terpenuhi,

namun setelah mentransfer mundur berkenaan dengan riwayat ditanda tanganinya akta-

akta tersebut, ternyata ada komitmen-komitmen yang pada akhirnya setelah APU-Servitia

dibuat dan ditanda tangani oleh Para Penggugat [David dan Tarunodjojo], ternyata

Tergugat [BPPN] tidak memenuhi komitmennya tersebut

17
Menimbang bahwa mencermati situasi dan keadaan perbankan nasional selama masa

krisis moneter yang lebih lanjut menjadi krisis ekonomi yang secara nyata telah

memberikan catatan dilikuidasinya sebagian besar bank swasta nasional termasuk juga

Bank Umum Servitia, Majelis maklum bahwa keadaan Para Penggugat [David dan

Tarunodjojo] selaku pemegang saham yang bertanggung jawab atas Bank Umum Servitia

berada pada pihak yang lemah dan harus berhadapan dengan Tergugat [BPPN] sebagai

kepanjangan tangan pemerintah di dalam menyelamatkan aset negara(dst)

Menimbang, bahwa tidak dipenuhinya komitmen tersebut walaupun merupakan hak dan

kewenangan Tergugat, jelas telah melanggar Prinsip kebebasan berkontrak untuk itu

Pasal 1321 dan Pasal 1449 KUHPerdata harus diterapkan sebagai upaya penegakan

hukum perdata yang harus dipenuhi dan dipatuhi oleh kedua belah pihak, khususnya

berkenaan dengan prinsip kebebasan berkontrak di atas

Menimbang, bahwa dengan dilanggarnya komitmen yang telah menimbulkan

kesepakatan dalam penandatanganan APU-Servitia oleh Tergugat [BPPN] dengan dalih

bahwa hal tersebut adalah merupakan kewenangannya, menurut hemat majelis

merupakan arogansi Tergugat

18

Anda mungkin juga menyukai