Anda di halaman 1dari 29

PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENGEROYOKAN DAN

PENGERUSAKAN PERLENGKAPAN RUMAH DI WILAYAH


HUKUM DI PENGADILAN NEGERI ENDE DALAM PUTUSAN
NOMOR. 60/PDI.SUS/2023/PN ENDE

OLEH:

FANY MUHAMAD ALI

2020110087

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS FLORES

ENDE

2023
A. JUDUL : PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM
PENGEROYOKAN DAN PENGERUSAKAN PERLENGKAPAN
RUMAH DI WILAYAH HUKUM DI PENGADILAN NEGRI
ENDE DALAM PUTUSAN NOMOR . 60 / PDI.SUS/2023/PN ENDE

B. BIDANG ILMU : HUKUM PIDANA

C. LATAR BELAKANG MASALAH

Pembangunan Nasional Indonesia telah mempunyai arah dan tujuan yang


jelas dan terarah, yaitu untuk mencapai suatu keadaan masyarakat Indonesia yang
adil dan makmur secara merata baik materil maupun spiritual. Indonesia adalah
negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat). yaitu Negara Indonesia berdasar
atas hukum (rechtsstaat), dan tidak berdasarkan pada kekuasaan belaka
(machtsstaat). Kalimat tersebut mempunyai makna bahwa Republik Indonesia
ialah negara hukum yang demokratis, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya.

Penegakan hukum dalam negara hukum seperti Indonesia, merupakan hal


yang penting untuk dapat menciptakan keadilan dalam masyarakat sesuai dengan
tujuan pembangunan Nasional Indonesia. Pengadilan merupakan lembaga yang
tepat untuk penegakan hukum tersebut karena pengadilan adalah suatu badan
peradilan yang merupakan tumpuan harapan untuk mencari keadilan dan
merupakan jalan yang terbaik untuk menyelesaikan seluruh perkara dalam negara
hukum.
Di Indonesia hukum dipandang sebagai panglima hukum terhadap pelaku
tindak pidana. Salah satu tindak pidala adalah pengeroyokan. Tindak pidana
pengeroykan akhir-akhir ini banyak terjadi karena tindakan dari seseorang kepada
orang lain di luar batas kewajaran. Tindak pidana yang sering terjadi adalah
pengeroyokan yang diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana yaitu pasal
170 KUHP. Biasanya tindak pidana pengeroyokan di lakukan lebih dari satu orang
pelaku dan sudah direncanakan menggunakan alat seperti balok,kayu atau senjata
tajam lainnya.

Hakim dalam melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa pelaku tindak


pidana pengeroyokan, senantiasa memperlakukan dan memperhatikan terdakwa
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga terpenuhi
hak-hak terdakwa sebagaimana yang tercantum dalam KUHAP yang salah satunya
adalah pasal (51 KUHAP) yang di mana berbunyi tersangka berhak untuk di
beritahukan dengan jelas dalam bahasa yang di mengerti olehnya tentang apa yang
disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaanya di mulai.

Salah satu peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara


Republik Indonesia ini yang melarang terjadinya suatu tindak pidana adalah Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang mengatur jenis-jenis tindak pidana
yang bersifat umum. Diantara tindak pidana yang terjadi adalah tindak pidana
pengeroyokan (Pasal 160 (1) KUHP). Perbuatan tersebut termasuk unsur diancam
pidana oleh undang-undang dan kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Maka dibutuhkan pembuktian dihadapan hakim, sehingga hakim memegang
peranan penting dalam pembuktian apakah seseorang bersalah atau tidak.

Dalam kasus perkara pada Putusan No. 60/PDI.SUS/2023/PN ENDE


tentang tindak pidana pengeroyokan sebagaimana diatur dan di ancam Pidana
susuai dengan Pasal 170 (1) KUHP. Penuntut umum didalam isi berkas dakwaan
menuntut menjatuhkan pidana terhadap terdakwa WILFRIDUS DON RAY RETU
Alias GOPAL , dan JULIANO JOAKIM WATU Alias ANO , dengan pidana
penjara selama 11 bulan. hal ini sangat berbeda jauh dari pemidanaan pasal 170
ayat (1) yaitu 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan. Jika dilihat dari fakta-fakta yang
terbukti di persidangan perbuatan pelaku tersebut merupakan tindak pidana yang
mengakibatkan korbannya kehilangan nya.

Padahal dalam lingkungan pelaksanan tugas aparatur penegak hukum, yaitu


Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, masing-masing memiliki kewenangan dan
tindakan yang berbeda yaitu meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan di pengadilan, sampai pada pelaksanaan putusan hakim. Dalam hal ini
kejaksaan menduduki posisi kunci karena dalam proses penyelesaian suatu
perkara, jaksa penuntut umum mempunyai fungsi yang berada di tengah-tengah
penyidik dan hakim. Penuntut umum adalah instansi yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan serta
penetapan pengadilan.

Salah satu wewenang penuntut umum adalah melakukan penuntutan, namun


sebelum melakukan penuntutan, seorang penuntut umum harus melakukan
prapenuntutan yaitu tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk dalam
rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik. Dalam hal ini penuntut umum
melakukan penelitian terhadap berkas perkara yang diterima dari penyidik untuk
mengetahui apakah telah memenuhi kelengkapan formal dan material, kemudian
dari hasil penyidikan inilah penuntut umum akan menyusun surat dakwaan.
Penuntut umum dalam membuat surat dakwaan harus jelas dan sesuai dengan
fakta-fakta yang ada surat dakwaan harus memenuhi syarat formil dan materil.
Dalam kasus perkara pada Putusan No. 60/PDI.SUS/2023/PN ENDE tentang
tindak pidana pengeroyokan. Lemahnya dakwaan penuntut umum yang
memberikan pasal 170 (1) KUHP dengan hukuman 11 bulan. kurungan penjara hal
ini sangat kurang efektif seharusnya penuntut umum bisa memberikan hukuman
lebih berat dari dakwaan seharunya, karena bila di lihat dari fakta- fakta yang
sebenarna bahwa pengeroyokan yang di lakukan WILFRIDUS DON RAY RETU
alias Gopal dan JULIAONO JOAKIM WATU alias ANO adalah salah satu tindak
pidana pengeroyokan karena menyebahkan seseorang mengalami luka-luka yang
sangat fatall . dan tidak sadarkan diri selama 2 hari, dan ada juga kerusakan
perlengkapan rumah yang sangat bnyak ,Lagi pula dalam kenyataannya para
terdakwa melakukan tindakan pengerokan tersebut di pengaruhin oleh dendan
dimna si korban memukul si pelaku sudah hampir 2 minggu sebelumnya. Dan
malam itu si korban dengan teman-temannya sedang mengkonsumsi minuman
keras di rumah si korban . dan terjadilah si korban mngajak teman-temanya untuk
mencari si palaku yang memukul si korban sudah hampir 2 minggu tersebut.
Dalam uraiaan kasusnya dalam berkas putusan para terdakwa dan temanya-
temanya mencari si pelaku dan dapat di rumah bapak yang sedang membuat acara
syukuran. dan melakukan pengeroyokan terhadap korban. Maka dari si penuntut
umum harus lebih teliti dan jelas dalam memberikan dakwaanagar hakim bisa
mengambil keputusan sesuai dengan apa yang seharusnya dalam hal ini begitu juga
dengan hakim yang memberikan hukuman lebih ringan dari dakwaan penuntut
umum seharusnya hakim lebih teliti dalam mengambil keputusan walaupun
memang hakim dalam putusannya ada hal yang memberatkat dan meringankan
tetapi pada hakekatnya hakim, mempunyai tugas memeriksa, menyelesaikan, dan
memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Pertama salahnya penerapan pasal yang di berikan oleh hakim yang memutus
dengan pasal 160 (1) seharusnya hakim bisa memberikan dan memutus lebih berat
dari seharunya karena di lihat dari faktanya bahwa korban setelah terjadi
pengeroyokan korban meninggal dunia seharusnya bisa menghukum lebih berat
dan memberikan pasal 170 (2) ke (3e)

Kedua tidak konsistennya pertimbangan hakim dengan fakta di persidangan


bahwa di lihat dari kasus posisi yang korban mengalami pendarahan setelah
pemukulan tetapi pada persidangan di sebutkan korban tidak mengalami
pendarahan pada saat pemukulan.

Dalam menjatuhkan putusan pidana, hakim harus mempertimbangkan tujuan dari


pemidanaan itu sendiri, yaitu membuat pelaku tindak pidana jera dan tidak akan
mengulangi perbuatannya lagi. Hakim tidak boleh hanya memperhatikan
kepentingan seseorang sebagai pelaku tindak pidana.

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka peneliti merasa tertarik untuk
melakuan penelitian lebih lanjut dengan menetapkan judul : “PERTIMBANGAN
MAJELIS HAKIM DALAM PENGEROYOKAN DAN PENGERUSAKAN
PERLENGKAPAN RUMAH DI WILAYAH HUKUM DI PENGADILAN
NEGRI ENDE DALAM PUTUSAN NOMOR . 60 / PDI.SUS/2023/PN ENDE

D. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah diatas , maka peneliti dapat merumuskan


masalah yang akan diteliti sebagai berikut :

1. Bagaimana pertimbangan Majelis Hakim terhadap tindak pidana


pengeroyokan dan pengerusakan perlengkapan rumah di wilayah hukum
di pengadilan Negeri Ende No.60/Pdi.Sus/2023/PN ?
E. RUANG LINGKUP MASALAH

Untuk memfokuskan pembahasan dalam penelitian ini , maka perlu


ditetapkan ruang lingkup masalah . hal ini dimaksudkan agar pembahasan
tidak meluas pada permasalahan yang lain . untuk itu, maka ruang lingkup
masalah dalam penelitian ini terbatas pada tinjauan yuridis terhadap tidak
pidana pengeroyokan dalam putusan Nomor No.60/Pdi.Sus/2023/PN?

F. TUJUAN PENULISAN

1. Tujuan umum

Adapun tujuan umum dari penelitian ini yakni ingin mengetahui


Pertimbangan Majelis Hakim terhadap tindak pidana pengeroyokan dan
pengerusakan perlengkapan rumah di wilayah hukum di pengadilan
Negeri Ende No.60/Pdi.Sus/2023/PN ?

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengkaji Pertimbangan Majelis Hakim terhadap tindak pidana


pengeroyokan dan pengerusakan perlengkapan rumah di wilayah hukum
di pengadilan Negeri Ende No.60/Pdi.Sus/2023/PN ?

G. Manfaat penelitian

Manfaat penelitian penulisan berharap bahwa kegiatan penulisan proposal


ini akan bermanfaat bagi penulis dan para pembaca, adapun manfaat yang
diharapakn penulis dapat di peroleh dari proposal ini antara lain.

a. Manfaat teroritis
Sebagai sumbangan pemikiran bagi penegak hukum (hakim)
dalam menganilisis tentang penerapan hukum pidana materil terhadap
tindak pidana pengeroyokan.

b. Manfaat praktik

Secara praktik penelitian ini dapat bermanfaat dan sebagai bahan


masukan bagi para hakim dalam mengambil dasar hukum terhadap
putusan tindak pidana pengeroyokan , karena pengroyokan ini sangat
kejam terhadap korban yang bisa memberi rasa keadilan dan sesuai
dengan tujuan pemindaan terhadap terdakwa maupun korban.

H. Tinjauan pustaka

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum
pidana Belanda yaitu Strafbaar feit. Strafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni
straf, baar dan feit. Straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Baar
diterjemahkan dapat atau boleh. Feit diterjemahkan tindak, peristiwa,
pelanggaran dan perbuatan. Tindak pidana merupakan pengertian dasar
dalam hukum pidana (yuridis normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat bisa
diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat
dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud in
abstracto dalam peraturan pidana.
Menurut ( Simons , 1984: 35 ) Pengertian Tindak Pidana merupakan
“tindakan melanggar hukum pidana yang telah dilakukan dengan sengaja
ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan
atas tindakannya dan oleh undang - undang hukum pidana telah dinyatakan
sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum” .

Menurut ( Moeljatno, 2005: 20 ) “Perbuatan Pidana Adalah Perbuatan


Yang Dilarang Oleh Suatu Aturan Hukum, Larangan Tersebut Disertai
Ancaman (Sanksi) Berupa Pidana Tertentu Bagi Barangsiapa Melanggar
Larangan Tersebut”.

Dalam rumusan yang dinyatakan oleh Simons tentang pengertian tindak


pidana (straafrechtfeit), juga diatur dalam asas hukum pidana Indonesia,
yaitu asas legalitas (principle of legality) atau dalam bahasa latin sering
disebut dengan “Nullum Delictum Noella Poena Sine Praevia Lege
Poenali”, adalah “Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan”,
ketentuan lainnya juga dapat ditemukan dan diatur dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP, yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali atas
kekuatan peraturan pidana dalam perundang-undangan Pasal tersebut”

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana


Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana maka harus
memenuhi beberapa unsur. Unsur-unsur tindak pidana yang diberikan
beberapa tokoh memiliki perbedaan, tetapi secara prinsip intinya sama.
Adapun unsur -unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) segi
yaitu :
a. Unsur Subyektif,
Yaitu hal-hal yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan
dengan si pelaku, yang terpenting adalah yang bersangkutan dengan
batinnya. Unsur subyektif tindak pidana meliputi:
1. Kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa);
2. Niat atau maksud dengan segala bentuknya;
3. Ada atau tidaknya perencanaan;

b. Unsur Obyektif

Merupakan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan lahiriah yaitu


dalam keadaan mana tindak pidana itu dilakukan dan berada diluar batin
si pelaku.
1. Memenuhi rumusan undang-undang;
2. Sifat melawan hukum;
3. Kualitas si pelaku;
4. Kausalitas, yaitu yang berhubungan antara penyebab
tindakan dengan akibatnya.

Pada dasarnya unsur tindak pidana tidak terlepas dari dua faktor yaitu faktor
yang ada dalam diri si pelaku itu sendiri dan faktor yang timbul dari luar diri si
pelaku atau faktor lingkungan.

3. Tindak Pidana Pengeroyokan

a. pengertian tindak pidana pengeroyokan

Menurut kamus ilmiah popular Pengertian pengeroyokan adalah


“peroses, cara perbuatan mengeroyok, mengeroyok menyerang beramai-
ramai (orang banyak)” .Dalam Pasal 170 KUHP diatur sebagai berikut:

Ayat (1) : “ Barang Siapa yang dimuka umum bersama-sama melakukan


kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selamalamanya lima
tahun enam bulan”.

Ayat (2) : Tersangka dihukum :

a. Dengan penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika ia dengan sengaja


merusakkan barang atau jika kekerasan yang dilakukannya itu
menyebabkan sesuatu luka.
b. Dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika kekerasan itu
menyebabkan luka berat pada tubuh.
Pengertian pengeroyokan menurut Soenarto Soerodibroto bahwa mengeroyok
adalah dengan sengaja menimbulkan sakit atau luka, kesengajaan ini harus
dituduhkan dalam surat tuduhan ( Soenarto Soerodibroto ).

Menurut para ahli perbuatan tindak pidana pengeroyokan yang dilakukan


secara bersama-sama yang mengakibatkan kerusakan fisik maupun non fisik
dikatakan sebagai kekerasan yang bertentangan dengan hukum, kekerasan dalam
hal ini baik berupa ancaman saja maupun sudah merupakan suatu tindakan nyata
dan memiliki akibat-akibat kerusakan terhadap harta benda atau
fisik/mengakibatkan kematian pada seseorang (definisi yang sangat luas sekali,
karena menyangkut pula “mengancam” disampinng suatu tindakan nyata).

Dengan melihat definisi tentang kekerasan tersebut, maka dalam pidana yang
dilakukan secara pengeroyokan masuk dalam kategori kekerasan kolektif
(collective violeng). Biasanya tindak pidana pengeroyokan tersebut
disertai/ditandai dengan ciri-ciri yaitu:

a. Anonimitas adalah memindah identitas dan tanggung jawab individual ke


dalam identitas dan tanggung jawab kelompok
b. Impersonalitas adalah hubungan antara individu di luar massa maupun di
dalam massa menjadi sangat impersonal;
c. Sugestibilitas adalah sifat sugestif dan menularnya ( Artonang, 2016 ).

Tindak pidana yang dilakukan secara pengeroyokan tidak ada perbedaan yang
signifikan dengan tindak pidana yang biasa kita kenal. Hanya saja yang
membedakan adalah subyek dari perbuatan tersebut yang jumlahnya lebih
banyak/lebih dari satu orang.
b. Unsur-unsur pengeroyokan

Pengeroyokan di atur dalam pasal 170 KUHP , yakni :

“Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama


menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun enam bulan”.

Dari rumusan pasal 170 KUHP , terdiri dari 3 (tiga) unsur yakni:

1. Barang siapa : Orang di dalam jumlah besar. Berapa banyaknya tidak


ditentukan KUHP, tetapi para ahli sependapat minimal dua orang.

2. Di muka umum : Perbuatan itu dilakukan bukan di tempat tersembunyi,


melainkan di tempat yang bisa diakses oleh publik.

3. Secara bersama-sama : Para pelaku bersekongkol untuk melakukan


kekerasan, baik sebelum maupun saat kejadian berlangsung.

4. Melakukan kekerasan : Menggunakan tenaga jasmani tidak kecil secara


tidak sah, seperti memukul dengan tangan atau segala macam senjata,
menendang, dan lain-lain.

5. Terhadap orang atau barang : Siapa saja tanpa memandang kedudukan


dan pangkatnya dan barang milik siapa saja tak peduli siapa pemiliknya.

Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua tindak
kekerasan (tindak pidana) yang dilakukan secara bersama-sama dapat
menggunakan Pasal 170 KUHP. Kualifikasi dari delik ini adalah untuk
mengganggu ketertiban umum, artinya harus bisa dibuktikan bahwa para pelaku
yang melakukan tindak pidana pidana punya niat ingin membuat kakacauan
sehingga menimbulkan rasa takut pada masyarakat.

Untuk membuat gangguan keamanan pada masyarakat ini, ada sekolompok


orang atau beberapa orang yang melakukan perbuatan yang menimbulkan luka
atau kematian atau kerusakan pada barang-barang di tempat umum. Jadi timbulnya
kerusakan, luka atau kematian bukanlah tujuan utama dari delik ini. Dengan
demikian, proses pembuktiannya adalah harus bisa ditemukan rangkaian perbuatan
yang menimbulkan akibat yang dilarang. Rangkaian perbuatan tersebut bersifat
logis, dan rasional.

4. Pengeroyokan Berencana

Pengeroyokan berencana adalah kejahatan merengut nyawa seseorang atau


membunuh , setelah dilakukan perencanaan menganai waktu atau metode, dengan
tujuan agar keberhasilan pengeroyokan atau menghindari penangkapan ,
pengeroyokan berencana dalam hukum umumnya merupakan tipe pengeroyokan
yang paling serius dan pelakunya dapat di jatuhkan hukum pidana menurut pasal
170 KUHP.

Pasal 170 KUHP, berbunyi: “Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan
tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan”.

Hal tersebut dapat tercapai dengan cara masyarakat berperilaku serasi


dengan orang merencanakan untuk melakukan pengeroyokan terhadap orang lain
disebabkan oleh beberapa faktor seperti pencemaran nama baik, ada dendam, ada
yang dirugikan oleh salah satu pihak, dan motif-motif lainnya. Selain itu, tidak
sedikit pula beberapa orang terlibat dalam kesalahpahaman yang mengakibatkan
perkelahian atau pertengkaran yang mendorong melakukan pengeroyokan secara
tidak sengaja.

Penggunaan kekerasan oleh seseorang atau oleh bersama-sama terhadap orang


lain, merupakan hal yang dilarang dalam hukum pidana karena penggunaan
kekerasan membawa akibat berupa luka ataupun kematian. Untuk itu dalam
KUHPidana telah dirumuskan dan diancamkan pidana terhadap berbagai cara
akibat dari perbuatan yang menggunakan kekerasan.

“KUHP mengancamkan pidana terhadap penggunaan kekerasan, antara lain


pembunuham, penganiayaan, mulai dari pembunuhan dan penganiayaan yang
merupakan serangan dari mengkombinasikan antara pendapat pertama dengan
pendapat yang kedua. “( Chainur Arrasjiid,Dasar - dasar Ilmu Hukum, Jakarta,
Sinar Grafika,2014,hlm )

5. Pemidanaan

a. Pengertian Pemidanaan

Pemidanaan diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap


pemberian sanksi dalamhukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya
diartikan sebagai hukum , sedangkan “pemidaan” pada umumnya diartikan
sebagai penghukuman . pidana dijatuhkan bukan karena telah di berbuat
jahat tapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut
melakukan kejahtan serua.
Pemidanaan adalah tindakan yang diambil oleh hakim untuk memidana
seseorang terdakwa melalui putusannya. Pemidanaan bukan dimaksudkan
sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya preventif terhadap
kejahatan serupa. ( Amir Ilyas , Op. Cit, hlm 95)
Pemberi pidana atau pemidanaan dapat benr-benar terwujud apabila
melihat beberapa tahap perencaan sebagai berikut :
1. Pemberi pidana olah pembuat undang-undan
2. Pemberi pidana oleh badan berwenang
3. Pemberi pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang

Dalam masalah pemidanaan dikenal dua sistem atau cara yang bisa
diterapkan dari jaman W.V.S Belanda sampai sekarang yakni:

a. Bahwa orang yang di pidana harus menjalani pidananya di dalam


tembok penjara .ia harus diasingkan dari masyarakat ramai terpisah
dari kebiasaan hidup sebagaimana layaknya mereka bebas. Pembina
bagi terpidana juga harus dilakukan dibalik tembok penjara.
b. Bahwa selain narapidana, mereka jugaharusdibina untuk kembali
bermasyarakat atau rehabilitas / resoalisasi.

Secara umum tujuan pemidanaan tujuan ganda, yaitu :

a. Tinjuan perlindungan masyrakat, untuk merahabilitas dan meresosialisasi


terpidana , mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat tindak
pidana ( reaksi adat ) sehingga konflik yang ada dapat selesai.
b. “Tujuan yang bersifat spiritual pancasila yaitu bahwa pemidanaan bukan
dimaksudkan untuk penderita dan dilarang untuk merendahkan martabat
manusia “. ( Erdianto Efffendi, 2011. hlm 141)
a. Teori Tujuan pemidanaan

Ada beberapa teori-teori yang telah dirumuskan oleh para ahli untuk
menjelaskan secara mendetail mengenai pemidanaan itu di jatuhkan. Alasan
pemidanaan dapat digolongkan dalam tiga golongan pokok , yaitu :

1. Teori Absolut atau teori pembalasan

Teori ini menganggap sebagai dasar dari hukuman pidana adalah alam pikiran
untuk pembalasan. Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang
telah melakukan tindakan pidana.
Menurut Kant Bahwa “Pembalasan Atau Suatu Perbuatan Melawan Hukum
Adalah Suatu Syarat Mutlak Menurut Hukum Dan Keadilan, Hukuman Mati
Terhadap Penjahat Yang Melakukan Pengeroyokan Yang Berencana Mutlak
Dijatuhkan”.
Hegel Berpendapat Bahwa “Hukum Atau Keadilan Merupakan Suatu
Kenyataan (Sebagai These). Jika Seseorang Melakukan Kejahatan Atau
Penyeranganterhadap Keadilan, Berarti Ia Mengingkari Kenyataan Adanya Hukum
, Oleh Karena Itu Harus Diikut Dengan Suatu Tindak Pidana Berupa Ketidakadilan
Bagi Pelakunya Atau Mengembalikan Suatu Keadilan Atau Kembali Tegaknya
Hukum.”

2. Teori Relatif atau teori Tujuan

“ Teori ini mendasarkan pandangan maksud dari pemidanaan , yaitu untuk


perlindungan masyarakat atau pencegahan terjadinya kejahatan . Artinya,
pertimbangan juga pencegahan untuk masa mendatang . Pengajur Teori ini antara
lain Paul Aselm Von Feuerbach yang mengemukakan hanya dengan mengandakan
ancaman pidana sejak tidak akan memadai , malainkan di perlukan penjatuhan
pidana kepada si penjahat” ( Erdianto Effendi , hlm . 142 )

Terdapat tujuan- tujuan dari pemidanaan oleh Paul Aselm Von Feuerbach ,
yakni :
a. Untuk Menakuti
Hukuman itu harus diberikan sedemikian rupa, sehingga orang takut
untuk melakukan kejahatan
b. Untuk Memperbaiki
Hukuman yang di jatuhkan dengan tujuan untuk memperbaiki si
terhukum , sehingga dikemudian hari ia menjadi orang yang berguna bagi
masyrakat dan tidak akan melanggar lagi peraturan-peraturan hukum.
c. Untuk Melindungi
Tujuan hukum ialah melindungi masyarakat terhadap perbuatan-
perbuatan jahat. Dengan diasingkannya si penjahat itu untuk sementara ,
masyarakat dilindungi dari perbuatan-perbuatan jahat orang itu .

3. Teori Gabungan

Teori gabungan merupakan teori perpaduan antara teori absolut dan teori
relatif. Teori ini tidak hanya menitikberatkan bahwa tujuan pemidanaan adalah
sekedar pembalasan tetapi juga ada unsur prenvensi dan unsur memperbaiki
penjahat yang melekat pada tiap pidana.
Dengan munculnya teori gabungan ini, maka terdapat perbedaan pendapat
dikalangan para ahli (hukum pidana) ada yang menitikberatkan pembalasan , ada
pula yang ingin unsur pembalasan dan prevensi seimbang . Pertama yang
menitikberatkan unsur pembalasan di anut oleh pompe.

Pompe Menyatakan :“ Orang tidak menutup mata pada pembalasannya . Memang ,


pidana dapat dibedakan dengan sanksi- sanksi lain, tetapi tetap ada ciri-cirinya ,
dan tidak di kecilkan artinya bahwa pidana adalah suatu sanksi, dan dengan
demikian terkait dengan tujuan sanksi-sanksi itu diterapkan jika menguntungkan
pemnuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan umum”

Grotius mengembangkan teori “gabungan yang menitiberatkan keadilan mutlak


diwujudkan dalam pembalasan , tetapi yang berguna bagi masyarakat . dasar tiap -
tiap pidana ialah yang berat sesuai beratnya perbuatan yang dilakukan oleh
terpidana . tetapi sampai batas mana seberatnya pidana yang beratnya perbuatan
dilakukan oleh terpidana dapat di ukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi
masyarakat”.
Teori gabungan yang kedua yaitu menitikberatkan pertahanan tata tertib
masyarakat . teori ini tidak boleh lebih buat dari pada yang ditimbulkan dan
gunanya juga tidak boleh lebih besar dari pada seharusnya .Pidana bersifat
pembalsan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik-delik, yaitu perbuatan yang
dilakukan secra sukarela , pembalsan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan .
tujuan pidana adalah untuk melindungi kesejahteraan masyarakat .
Menurut Vos, “pidana berfungsi sebagai prevensi umum, bukan yang khusus
kepada terpidana , karena jika ia sudah pernah masuk penjara ia tidak terlalu takut
lagi , karena sudah berpengalaman ,” Teori Gabungan Yang Ketiga , Yaitu
Memandang Pembalasan Dan Pertahanan Tata Tertib Masyarakat .
6. Dasar pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan putusan

Pidana dapat dijatuhkan apabila ada kesalahan terdakwa, yang dibuktikan


pada sidang di pengadilan . Kesalahan terdakwa tentunya sebagaimana yang
dimaksud dalam dakwaan penuntut umum . terdakwa bukan begitu saja dapat
dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana , tetapi harus dukung oleh alat bukti
minumunya yang sah . Alat Bukti itu harus dapat menyakinkan hakim akan
kesalahan terdakwa.
Hal tersebut sesuai dengan rumusan pasal 183 KUHP yang menegaskan bahwa :
“Hakim tidak boleh “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepadaseseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnyan dua alat
bukti yang sah , ia memperoleh keyakinan bahwa suatutindak pidana
benar-benar terjadi bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Dalam hal itu , undang-undang menghendaki adanya minimum alat bukti yang
dapat meyakinkan hakim akan kesalahan terdakwa dan tindak pidana yang
dilakukannya. Maksud sekurang-kurangnyabdua alat bukti yang sah tersebut adalah
minimal dua alat bukti yang sah menurut KUHAP . pasal 184 ayat (1) KUHAP ,
Menyebutkan alat bukti yang sah adalah
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
7 . Dasar pemberatan pidana

Menurut Jonkers,J.E, Hukum Pidana Hindia Belanda, judul asli: Handboek Van
het Nederlandsch Indische Strafrecht ( Dasar Umum Dari
“Strafverhogingngsgronden” Atau Dasar Pemberatan Atau Penambahan Pidana
Umum Adalah :
a. Kedudukan sebagai pegawai negri
b. Recidive ( pengulangan delik )
c. Samenloop ( gabungan atau perbarengan dua atau lebih delik ) atau
concorcus . ( Zainal Farid , 2007, hlm . 427 )

Penambahan hukuman berdasarkan undang - undang ditentukan sebagai berikut :

a. Dalam hal concurcus , sebagaimana ditentukan dalam pasal 65 KUHpidana:

a. Dalam Gabungan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai yang


berdiri sendiri-sendiri merupakan beberapa kejahatan, yang di ancam dengan
hukum utama yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana .
b. Maksimum Pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana - pidana
yang diancamkan terhadap perbuatan itu , akan tetapi tidak boleh lebih dari
maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiganya.

Dan pasal 66 KUHPidana yang berbunyi:


a. “Dalam Gabungan beberapa perbuatan yang masing-masing harus
dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri merupakan beberapa
kejahatan yang di ancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka
dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan , tetapi jumlahnya tidak boleh
lebih dari maksimum pidanayang terberat ditambah sepertiga”
b. “Hukuman Dendam dalam hal ini dihitung menurut lamanya maksimum
pidana kurangan pengganti dendan yang ditentukan perbuatan itu “.

2. Dalam hal recidive . berdasarkan pasal 486 , 487, dan 488 KUHPidana

Undang-Undang mengatur tentang tidak dasar yang menyebabkan dipeberatnya


pidana umum, adalah :
a. Dasar pemberatan karena jabatan
b. Dasar pemberatan karena pengulangan (Recidive)

Pemberatan pidana karena jabatan ditentukan dalam pasal 52 KUHP yang


rumusan lengkapnya adalah :

“ Bilamana Seorang Pejabat Melakukan Tindak Pidana , Melanggar Suatu


Kewajiban Khusus Dari Jabatanya , Atau Waktu Melakukan Tindak Pidana
Memakai Kekuasaan, Kesempatan Atau Sarana Yang Diberikan Karena
Jabatanya , Pidana Dapat Di Tambah Sepertiga “
Dasar pemberatan pidana tersebut dalam pasal 52 terletak pada keadaan jabatan dari
kualitas si pembuat ( Pejabat Atau Pegawai Negeri ) mengenai 4 ( empat ) hal ialah
dalam melakukan tindak pidana dengan :
a. Melanggarsuatu kewajiban khusus dari jabatanya
b. Memakai kekuasaan jabatanya
c. Menggunakan kesempatan karena jabatannya
d. Menggunakan sarana yang diberikan karena jabtanya

Melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana bandera


kebangsaan dirumuskan dalam pasal 52 ( a) KUHP:“ Bilaman pada waktu
melakukan kejahatan digunakan bandera kebangsaan Republik Indonesia, pidana
untuk kejahatan tersebut dapat ditambah sepertiga .
Dalam pasal 52 (a) tidak ditentukan tentang bagaimana caranya dalam
menggunakan bandera kebangsaan pada waktu melakukan kejahatan itu , oleh
sebab itu dapat menggunakan cara apapun , yanh penting kejahatan tersebut
terwujud . oleh karena itu dalam pasal 52 (a) disebutkan secara tegas penggunaan
bandera kebangsaan itu adalah waktu melakukan kejahatan, maka disini tidak
berlaku pada pelanggaran . disisini berlaku pada kejahatan manapun , termasuk
kejahatan menurut perundang-undang diluar KUHP. Pengulangan dalam arti
hukum pidana merupakan dasar pemberat pidana . tidaklah cukup hanya melihat
berulangnya melakukan tindak pidana , tetapi dikaitkan pada syarat-syarat tertentu
yang diterapkan undang-undang Undang-undang sendiri tidak mengatur tentang
pengulangan umum ( general recidive) yang artinya menentukan pengulangan
berlaku untuk semua tindak pidana . mengenai pangulangan ini KUHP mengatur
sebagai beriku :
a. Menyebutkan dengan mengelompokkan tindakan-tindakan pidan dan
syrat tertentu yang dapat terjadi pengulangannya . pengulanganhanya
terbatas pada tindak pidana tertentu yang disebutkan dalam Bab XXXI
Buku II Pasal 486, 487 dan 488 KUHP .
b. Diluar kelompok kejahatan dalam pasal 386 ,387 dan 388 KUHP juga
menentukan beberapa tindak pidana khusus tentu dapat terjadi
pengulangan , misalnya pasal 216 ayat (3) , pasal 489 ayat (2), pasal 501
ayat (2) , pasal 512 ayat (2)
Pada tindak pidana diterangkan pada butir a dan b diatas , tidak dapat terjadi
pengulangan, oleh karena itu , tidak mengenal general recidive maka
pengaturannya tidak dimuat dalam Buku 1 melainkan dikelompokan pada ketiga
pasal tersebut dalam Buku 11 dan pasal-pasal tertentu lainnya dalam Buku 11
(kejahatan) maupun Buku 111 (pelanggaran)
1. Dasar peringanan pidana
Pengurangan hukuman berdasarkan ketentuan undang-undang adalah
sebagai berikut :

a. Dalam hal umur yang masih muda ( incapacity or infacy ) berdasarkan


pasal 47 ayat(1) KUHPidana yang berbunyi .
jika hakim hukum si tersalah , maka maksimum hukuman pokok bagi
tindak pidana itu, dikurang sepertiga.
b. Dalam hal percobaan melakukan kejahatan , berdasarkan pasal 53 ayat
(2) KUHPidana yang berbunyi “ maksimum hukuman pokok yang di
tentukan atas kejahatan itu dikurangi sepertigannya dalam hal
percobaan “
c. Dalamhal membantu melakukan kejahatan, berdasarkan pasal 57(1)
yang berbunyi “ Maksimum Hukuman Pokok Yang Ditentukan Atas
Kejahatan Itu , Dikurangi Spertiga Bagi Pembantu.

I. Metode Penelitian

Jenis dan pendekatan penelitian

a. Jenis Penelitian
Jenis pengumpulan data yang digunakan dala penelitian ini , yaknin:
Metode penelitian kepustakaan ( library reseacrch) , yaitu metode yang
dilakukan dengan mengumpulkan data-data dari berbagai literatur seperti
buku ,karya ilmiah , artikel-artikel, direktori putusan , serta KUHP dan
perundang-undang yang ada hubungan dengan masalah yang di angkat .

b. Pendekatan penelitian ( field research)


Pendekatan penilitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan Empiris yakni pendekatan yang digunakan untuk mengambarkan
kondisi yang dilihat dilapangan secara apa adanya yang ditinjau dalam
pertimbangan di ambil dari majelis hakim dalam tindak pidana
pengeroyokan dan pengrusakan rumah di wilayah hukum di pengadilan
Negeri Ende No.60/Pid.Sus/2023/PN ENDE

2. Sumber data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :


a. Data Primer ,yakni data yang akan diparoleh langsung dilapangan yakni
dengan lokasi Pengadilan Nergeri Ende
b. Data Sekunder , yakni data yang diparoleh dari kepustakaan yakni diparoleh
literature, peraturan perundang-undangan juga dengan pendapat para ahli yang
relefan dengan obyek penelitian ini .

3. Teknik Pengumpulan data

Agar bisa mendapatkan data yang akurat, maka peneliti akan mengunakan
beberapa teknik untuk pengumpulan data yaitu :

a. Data primer

1. Wawancara { Interview ) yaitu wawancara langsung di kantor pengadilan


Negeri Ende terhadap perkara pidana pengeroyokan,
2. Pengamatan ( Observasi ), yaitu dengan mengumpulkan berkas yang
berkaitan dengan perkara pengeroyokan dan pengerusakan yang di tinjau
dari hasil putusan Hakim Negeri Ende Kelas II B

b. Pengumpulan data sekunder


Pengumpulan data skunder dilaksanakan dengan mencari bahan keputusan
seperti teori – teori para ahli dan peraturan perundang – undang yang
berkaitan dengan pemidanaan perkara pengeroyokan.

4. Analisis data

Data yang diperoleh dan dikumpulkan baik dalam data primer maupun data
skunder dianalisi secara kualitatif yaitu suatu cara penelitian yang dilakukan guna
mencari kebenaran kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan memberikan
penilaian pada putusan No. 60/Pdi.Sus/2023/PN Ende terhadap tindak pidana
pengeroyorokan sudah diputus dengan seadil-adilnya untuk tercapainya suatu
supremasi hukum, kemudian dipaparkan secara deskriptif yaitu dengan cara
menjelaskan yang berkaitan dengan penulisan ini.

5. Lokasi penelitian

Untuk mendapatkan data dan informai yang berkaitan dengan


permasalahan dan pembahasan penulisan porposal ini, maka penulis ini melakukan
penelitian dengan memilih lokasi Penelitian di pengadilan Negri Ende . lokasi
penelitian dipilih dengan pertimbangan bahwa lembaga peradilan yang berwennag
menangani kasus pengeroyokan adalah Pengadilan Negri Ende.
6 . Jadwal Penelitian

Rancanga penelitian ini akan dilaksanakan pada awal bulam Mei 2023
hingga akhir juli 2023

7. Waktu Penelitian

Kegiatan Mei 2023 Juni 2023 Juli 2023

Seminar Porposal

Penelitian

Pemaparan Hasil
Penelitian

8. . Anggaran dan Biaya Penelitian

No Kebutuhan Jumlah Satuan Harga Total


satuan

1 Printer 1 Unit Rp. Rp.


1.055.000 1.055.000

2 Kertas 6 Rim Rp. 55.000 Rp.


330.000
3 Tintam 2 Botol Rp. 50.000 Rp.
Hitam 100.000

4 Transportasi 1 Lot Rp. Rp.


1.250.000 1.250.000

Grand total Rp.


2.735.000

Terbilang : Dua juta tujuh ratus tiga puluh lima ribuh


DAFTAR PUTAKA

Andi Hamzah. 1987. Surat Dakwaan. Bandung : Hal. 160 161


http//www.jurnal.unisla.com

Ch Undang-undang Hukum Pidana C. Internet

D.E Wijayanto. 2014.Analisis Yuridis Tindak Pidana Pengeroyokan Dekdigd,


2005 in 257

Erdianto Finds, 2011. Pomodimerü, Refiks Adita Bandung, him141.

Endian Efendi, 2000. Ihmu Hukum, PT Citra Bandung

Hak-hak Tersangka Terdakwa Secara Umum Dalam KUHAP.


http//www.damang.web.id

hak-hak-tersangka-terdakwa-secara-umum-dalam-kuhap.

Jonkers,J.E, Hukum Pidana Hindia Belanda, judul asli: Handboek Van het
Nederlandsch Indische Strafrecht

Leden Marpaung. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta:Sinar Grafika.


Damang . 2011.

Morijatno, 2005 Kaub Undang-undang Hukan Padana, Bumi Aksara, Jakarta.

PAF Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum Pulana Infoezia, Somara Baru


Bandungs

Thon Lamintang. 2011, Delik-delik khusus terhadap nyawa, Sinar Grafika: Jakarta

Zainal Farid, 2007. Hukum Padana 1, Sinar Grafika Jakarta


Peraturan-peraturan Undang undang

http://id.wikipedia.org/wiki/pembunuhan berencana

Anda mungkin juga menyukai